The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02

Kebahagiaan itu Masalah

Sekitar dua ribu lima ratus tahun lalu, di kaki bukit Himala¬ya yang sekarang dikenal dengan Nepal, tinggalah di sebuah istana yang megah, seorang raja yang menunggu kelahiran seorang putra. Terhadap anaknya ini, sang raja memiliki sebuah ide besar; ia akan membuat hidup anaknya sempuma. Putra mahkota tidak akan pemah mengenal apa yang disebut penderitaan—setiap kebutuhan dan keinginannya senantiasa akan dipenuhi.
Raja mendirikan dinding yang tinggi mengelilingi istana untuk mencegah pangeran mengetahui dunia luar. Ia memanjakan anak¬nya, melimpahinya dengan makanan dan dan hadiah, mengelilingi - nya dengan para pelayan yang melayani setiap rengekannya. Dan seperti yang direncanakan, anak tersebut tumbuh tanpa mengenal kejamnya kehidupan manusia.
Seluruh masa kecil pangeran berjalan seperti ini. Meskipun mendapat kemewahan dan kelimpahan, pangeran itu menjadi anak muda yang judes. Tidak lama, setiap pengalaman terasa hampa dan tidak bernilai. Masalahnya adalah, apa pim yang diberikan sang ayah, tampak tidak pemah cukup, tidak pemah berarti apa pun.
Di suatu malam yang sudah larut, pangeran menyelinap keluar istana untuk melihat apa yang ada di balik dinding. Ia menyuruh salah satu pelayan untuk mengantarkannya ke desa setempat, dan apa yang ia lihat di sana menakutkannya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, pangeran menyaksikan penderitaan manusia. Dia melihat orang sakit, orang lanjut usia, gelandangan, orang yang kesakitan, balikan orang yang sekarat.
Si pangeran kembali ke istana dan mendapati dirinya berada dalam sejenis krisis eksistensial. Karena tidak mampu mencema apa yang dilihatnya barusan, ia menjadi galau atas semua perkara dan banyak mengeluh. Dan, seperti anak muda pada umumnya, pangeran pada akhimya menyalahkan ayahnya atas segala hal yang telali dilakukan sang ayah kepadanya. Masalahnya terletak pada kekayaan, pikir pangeran, dan itu membuatnya sangat menderita, sehingga hidupnya terlihat begitu tak berarti. la pun memutuskan untuk melarikan diri.
Namun tanpa disadari, pangeran justru menjadi seperti, balikan melebihi, ayahnya. la memiliki ide besar juga. la tidak hanya akan melarikan diri; dia berencana melepaskan kekayaannya, keluarganya, dan semua miliknya, lalu tinggal di jalanan, tidur di tempat kotor seperti binatang. Di sana, ia akan membuat dirinya kelaparan, tersiksa, dan mengemis sisa makanan dari orang asing sepanjang hidupnya.
Malam berikutnya, pangeran menyelinap keluar dari istana lagi, kali ini ia tidak pemah kembali. Selama bertahun-tahun ia hidup seperti seorang gelandangan, sampali masyarakat yang dibuang dan dilupakan, seperti kotoran anjing yang mengerak di bagian paling bawah “tiang totem” sosial. Dan seperti yang direncanakan, pangeran sangat menderita. Dia merasakan penderitaan lewat penyakit, kelaparan, rasa sakit, kesepian, dan membusuk. Dia menghadapi jurang kematian, cukup sering hanya makan satu keping kacang setiap hari.
Beberapa tahun berlalu. Lalu beberapa tahun lagi. Dan kemudian ... tidak ada yang terjadi. Sang pangeran mulai menyadari kalau hidup yang penulr penderitaan ini tidak seperti yang diharapkannya. Ini tidak memberi pencerahan yang dimaui. Ini tidak berhasil mengungkap misteri dunia atau tujuan akhir dunia yang lebih dalam.
Malahan, pangeran menemukan jenis pemahaman yang selalu ada dalam benak sebagian orang: bahwa penderitaan sangat menyebalkan. Dan tidak ada maknanya juga. Sama halnya dengan kekayaan, penderitaan tidak akan bemilai jika dilakukan tanpa ada tujuan. Dan pangeran pun sampai pada kesimpulan bahwa ide besamya itu, seperti ide ayahnya, pada realitanya sungguh sebuah ide yang buruk dan dia harus segera melalukan sesuatu yang lain.
Dalam kondisi benar-benar bingung, pangeran membersihkan dirinya dan menuju sebuah pohon yang besar di dekat sungai. la memutuskan untuk tetap duduk di bawah pohon itu hingga ia mendapat ide besar lainnya.
Seperti yang dikisahkan dalam legenda, si pangeran yang bingung itu bertapa di bawah pohon selama 49 hari. Tentu kita tidak usah mendiskusikan apakah mungkin seseorang bisa duduk di tempat yang sama selama 49 hari, yang jelas bisa dikatakan bahwa dalam rentang waktu itu, sang pangeran menemukan sejumlah kesadaran yang mendalam
Salah satu kesadarannya adalah ini: bahwa hidup itu sendiri adalah suatu bentuk penderitaan. Orang kaya menderita karena kekayaannya. Orang miskin menderita karena kemiskinannya. Orang yang tidak punya keluarga menderita karena mereka tak punya keluarga. Orang yang mengejar kenikmatan duniawi menderita karena kenikmatan duniawinya. Orang yang tidak merasakan kenikmatan duniawi menderita karena tidak pemah merasakannya.
Bukan berarti, semua penderitaan itu sama. Beberapa penderitaan tentu lebih menyakitkan ketimbang penderitaan yang lain. Meskipun demikian kita semua pasti menderita.
Tahun demi tahun berlalu, pangeran mendirikan bangunan filo- sofinya sendiri lalu menyebarkannya ke pelosok dunia, dan ini yang menjadi prinsip pertama dan utama: bahwa rasa sakit dan kehilangan tidak dapat dielakkan dan kita hams belajar untuk berhenti menolaknya. Pangeran itu kemudian dikenal sebagai Buddha. Dan andaikata Anda belum pernah mendengamya, pribadi ini sungguh luar biasa.
Ada sebuah premis yang mendasari semua asumsi dan keyakinan kita. Premis itu adalah bahwa kebahagiaan itu bersifat algo- ritmik, bisa diutak-atik dan diperoleh dan dicapai, seperti masuk sekolah hukum atau membangun set Lego yang sangat rumit. Jika saya mencapai X, maka saya akan bahagia. Jika saya terlihat seperti Y, maka saya akan bahagia. Jika saya dapat menjadi seseorang seperti Z, maka saya akan bahagia.
Premis inilah masalahnya. Kebahagiaan bukanlah suatu persamaan yang dapat dipecahkan. Ketidakpuasan dan kegelisahan merupakan bagian yang inheren dari sifat manusia dan, seperti yang akan kita lihat bersama, komponen yang penting untuk mencip- takan kebahagiaan yang konsisten. Sang Buddha menyampaikan pendapatnya dari perspektif teologis dan filosofis. Saya juga akan
memberikan argumen yang sama di bab ini, namun saya akan lebih biologis, dan dengan perumpamaan seekor panda.

Rentetan Kesialan Si Panda Nyinyir

Jika saya dapat menciptakan satu pahlawan super, saya akan men- ciptakan pahlawan yang disebut Panda Nyinyir. Dia akan memakai sebuah topeng mata murahan dan kaos (dengan huruf kapital T di atasnya) yang terlalu kecil untuk perut pandanya yang besar, dan kekuatan supemya adalah mengatakan kepada orang-orang, kebenaran yang menyakitkan dan tergolong pedas tentang diri mereka sendiri yang perlu mereka dengar namun tidak ingin mereka terima.
la akan pergi dari pintu ke pintu seperti salesman Kitab Suci dan membunyikan bel pintu lalu mengatakan hal-hal seperti, “Tentu, menghasilkan banyak uang membuat Anda merasa senang, namun itu tidak akan otomatis membuat anak-anak Anda mencintai Anda,” atau “Jika Anda ditanya apakah Anda memercayai istri Anda, mungkin hati kecil Anda menjawab tidak,” atau “Apa yang Anda anggap sebagai ’pertemanan’ sesungguhnya adalah upaya Anda secara konstan untuk membuat orang lain terkesan.” Lalu ia akan berkata kepada tuan rumah semoga harinya menyenangkan, dan melenggang ke rumah berikutnya.
Ini akan terdengar luar biasa. Dan gila. Dan menyedihkan sth. Tapi jelas memotivasi. Dan penting. Lagipula, kebenaran yang paling agung dalam kehidupan biasanya kebenaran yang paling tidak enak didengar.
Panda Nyinyir akan menjadi pahlawan yang tidak diinginkan seorang pun namun diperlukan siapa pun. la akan menjadi sayuran untuk melawan makanan sampah yang dikonsumsi mental kita.
Dia akan membuat hidup kita lebih baik meskipun membuat kita merasa lebih buruk. Dia akan membuat kita lebih kuat dengan membuat kita menangis, mcnccrahkan masa depan kita dengan menunjukkan kepada kita seperti apa itu kegelapan. Mendengarnya akan seperti menonton sebuah film di mana sang pahlawan mati di akhir cerita: Anda akan semakin menyukainya meskipun membuat Anda merasa tidak karuan, karena itu nyata.
Jadi, selagi Anda masih di sini, perkenankan saya memakai topeng Panda dan menyampaikan kebenaran yang tidak menyenangkan lainnya untuk Anda:
Alasan sederhana mengapa kita mengalami penderitaan adalah bahwa secara biologis penderitaan bermanfaat. Ini adalah agen alami yang diperlukan untuk perubahan yang menginspirasi. Kita telali berevolusi untuk selalu hidup dengan deraj at ketidakpuasan dan kegelisahan tertentu, karena hanya makhluk yang kurang puas dan tak terlalu amanlah yang mampu berinovasi dan bertahan hidup. Kita merasa tidak puas dengan apa pun yang kita miliki dan merasa puas hanya dengan sesuatu yang tidak kita miliki Ketidakpuasan konstan ini telah membuat spesies kita terus bertarung dan berjuang, membangun dan menaklukkan. Jadi, jelas keliru—rasa sakit dan penderitaan kita bukanlah hama bagi evolusi manusia; itu adalah suatu keistimewan.
Rasa sakit, dalam segala bentuk, merupakan alat yang paling efektif dari tubuh kita untuk mendorong suatu aksi. Ambil contoh sederhana seperti ketika tersandung sesuatu. Jika Anda seperti saya, ketika kaki Anda terantuk sesuatu Anda akan meneriakkan 4 huruf berawalan “F” (dalam bahasa Inggris—red.) yang akan membuat Paus Fransiskus menangis. Anda mungkin juga menyalahkan beberapa benda mati atas penderitaan Anda. “Meja goblok,” teriak 
Anda. Atau mungkin Anda bahkan bertindak lebih jauh lagi seperti mempertanyakan seluruh filosofi desain interior gara-gara kaki yang tersandung: “Orang idiot mana yang menaruh kursi di sini? Punya otak nggak!”
Beralih dari kesakitan tersebut. Rasa sakit karena jari kaki yang tersandung itu, yang Anda dan saya, bahkan Paus sendiri benci, ada karena sebuah alasan yang kuat. Penderitaan fisik tersebut merupakan produk sistem syaraf kita, sebuah mekanisme umpan balik yang memberi kita pengetahuan akan proporsi fisik kita sendiri—di mana kita dapat dan tidak dapat bergerak dan apa yang dapat dan tidak dapat kita sentuh. Ketika kita melewati batasan itu, sistem syaraf kita, sebagaimana mestinya, menghukum kita dengan memastikan agar kita benar-benar memperhatikannya dan tidak pernah melakukannya lagi.
Dan rasa sakit ini, sebagaimana kita membencinya, ternyata ber- guna. Rasa sakit memberi pelajaran kepada kita akan apa yang harus kita perhatikan ketika kita masih muda dan suka teledor. Ini membantu memmjukkan kepada kita apa yang baik dan apa yang buruk bagi kita. Ini membantu kita memahami dan menaati batasan kita masing-masing. Ini mendidik kita agar tidak main-main di sekitar kompor atau menempelkan benda logam ke colokan listrik. Itulah alasannya bahwa menghindari rasa sakit dan mengejar kenikmatan tidak selalu berguna, karena rasa sakit dapat, sewaktu-waktu, me- nentukan hidup-mati kita.
Tetapi rasa sakit tidak semata-mata secara fisik. Seseorang yang telah menonton prekuel Star Wars pertama akan berkata kepada Anda kalau kita, manusia, mampu mengalami rasa sakit psikologis yang akut juga. Faktanya, penelitian telah menemukan bahwa otak kita tidak mencatat banyak perbedaan antara rasa sakit fisik dan psikis. Jadi ketika saya bercerita kepada Anda tentang pacar pertama saya yang selingkuh dan mencampakkan saya, dan itu membuat saya merasa seperti ada alat pemecah es yang dimasukkan pelan-pelan ke tengah-tengah jantung saya, well, kenyataannya memang kejadian ini sangat pedih, persis seperti ditusuk perlahan dengan alat pemecah es tepat di tengah jantung.
Sama halnya dengan rasa sakit fisik, rasa sakit psikologis merupakan indikasi adanya sesuatu yang keluar dan keadaan wajar, ada beberapa batasan yang telah dilanggar. Dan seperti rasa sakit fisik, rasa sakit psikis kita tidak selamanya buruk atau bahkan tidak diinginkan. Dalam beberapa kasus, mengalami rasa sakit emosional atau psikis justru menyehatkan atau perlu. Seperti halnya jari kaki yang terantuk mendidik kita untuk tidak lagi tersandung meja, derita emosional akibat penolakan atau kegagalan mengajarkan kita bagaimana cara mencegah kesalahan yang sama di masa depan.
Dan inilah hal yang sangat berbahaya dari suatu masyarakat yang dari hari ke hari, selalu mengelak dari ketidaknyamanan hidup yang jelas-jelas ada: kita kehilangan manfaat dari mengalami dosis rasa sakit yang menyehatkan, sebuah kerugian karena kita terputus dari kenyataan dunia di sekitar kita.
Anda boleh saja ngiler dengan ide tentang kehidupan yang bebas dan masalah, penuh dengan kebahagiaan yang tidak pemah berakhir dan kasih yang abadi, namun di bumi ini masalah tidak pemah berakhir. Sungguh, masalah tidak akan pemah selesai. Si Panda Nyinyir barn saja mampir. Kami minum margarita, dan dia mengatakan kepada saya tentang semua hal itu: problem tidak ada habisnya, katanya—masalah-masalah itu sekadar meningkatkan diri. Warren Buffett punya masalah keuangan; gelandangan mabuk yang tergeletak di Kwik-E Mart juga punya masalah keuangan. Be-
danya, masalah keuangan yang dihadapi Buffett lebih baik ketimbang gelandangan itu. Begitulah kehidupan.
“Pada intinya, hidup hanyalah rentetan masalah yang tidak ada ujungnya, Mark,” ujar panda itu. Dia menyeruput minumannya dan membetulkan letak hiasan payung merah jambu kecil di gelasnya. “Solusi terhadap satu masalah hanya akan menciptakan masalah lain.”
Waktu berlalu, kemudian saya heran dari mana panda tukang ngoceh ini datang. Dan hey, siapa yang membuat margarita ini?
“Jangan mengharapkan suatu kehidupan yang bebas dari masalah,” kata panda. “Tidak ada hal seperti itu. Sebaliknya, berharaplah akan hidup yang penuh dengan masalah-masalah yang baik.”
Setelah itu, ia meletakan gelasnya, membetulkan letak sombre- ro-Ttya., dan berjalan heroik menuju matahari terbenam.

Kebahagiaan Berasal dari Memecahkan Masalah

Masalah merupakan konstanta di kehidupan ini. Ketika Anda me¬mecahkan. masalah kesehatan Anda dengan cara membayar kartu anggota gym, Anda menciptakan masalah baru, seperti harus bangun lebih awal agar bisa ke tempat latihan tepat waktu, mandi keringat selama 30 menit di atas elliptical (mesin latihan stasioner), kemudian mandi dan ganti baju sebelum ke tempat kerja supaya tidak menyebarkan bau tak sedap di seluruh kantor. Ketika Anda menemukan solusi untuk masalah lain seperti tidak bisa meluangkan waktu bersama pasangan Anda untuk “kencan malarn” pada malam Rabu yang sudah direncanakan, sebenamya Anda menciptakan masalah baru, seperti mencari ide apa yang sebaiknya dilakukan setiap Rabu, sesuatu yang disukai kalian berdua, memastikan
kalau Anda punya cukup uang untuk makan malam romantis, kembali mencari tahu keintiman dan getaran yang rasanya sudah hilang di antara kalian berdua, serta mencari bahan untuk bercinta dalam sebuah bathub kecil yang terisi terlalu banyak gelembung.
Masalah ridak pemah berhenti; mereka hanya datang silih berganti dan/atau meningkat.
Kebahagiaan datang dari keberhasilan untuk memecahkan masalah. Kata kuncinya di sini adalah “memecahkan.” Jika Anda berusaha menghindari masalah Anda atau merasa seakan-akan tidak punya masalah apa pirn, Anda akan membuat diri Anda sengsara. Jika Anda merasa kalau Anda memiliki masalah yang tidak dapat Anda selesaikan, sama halnya Anda membuat diri sendiri sengsara. Bumbu rahasianya ada dalam kata memecahkan masalah, dan bukan pada: punya atau tidak punya masalah.
Untuk menjadi bahagia, kita memerlukan sesuatu untuk dipecahkan. Dengan demikian kebahagiaan merupakan suatu bentuk tindakan; ini adalah sebuah kegiatan, bukan sesuatu.yang diam- diam diberikan kepada kita, bukan sesuatu yang secara ajaib Anda temukan dalam salah satu dari 10 artikel urutan teratas di Huffington Post dari gum atau pengajar tertentu. Ini tidak secara ajaib muncul ketika pada akhimya Anda memiliki uang yang cukup untuk membuat satu kamar tambalian di rumah. Anda tidak akan pemah menjumpai kebahagiaan sedang menunggu Anda di suatu tempat, suatu ide, suatu pekerjaan—atau bahkan sebuah buku yang membahas hal itu.
Kebahagiaan merupakan proses kerja yang konstan, karena me¬mecahkan masalah juga adalah proses kerja yang konstan—solusi terhadap masalah kita hari ini akan meletakkan fondasi untuk ma
salah di esok hari, dan seterusnya. Kebahagiaan yang sejati akan terwujud hanya jika ketika Anda menemukan masalah, Anda menikmatinya, dan menikmati proses pemecahannya.
Kadangkala masalah-masalah tersebut sederhana: makan makanan sehat, pergi ke tempat baru, menamatkan video game yang baru saja Anda beli. Di lain waktu, masalah tersebut abstrak dan rumit: memperbaiki hubungan dengan ibu Anda, mendapatkan karier yang Anda sukai, menumbuhkan persahabatan yang lebih baik.
Apa pun masalah Anda, konsepnya sama: selesaikan masalah; lalu berbahagialah. Sayangnya, bagi banyak orang, rasanya hidup tidak sesederhana itu. Itu karena mereka menghadapi masalah dengan paling tidak satu dari dua cara berikut:
1.Penyangkalan. Beberapa orang mengingkari kenyataan bahwa mereka memiliki masalah. Dan karena mereka menyangkal kenyataan itu, mereka harus secara konstan menipu atau mengalihkan diri mereka dari kenyataan hidup. Ini dapat membuat mereka merasa nyaman dalam jangka pendek, namun ini justru menuntun pada hidup yang rapuh, neurotisme, dan pengekangan emosional.

2.Mentalitas korban. Beberapa orang memilih untuk meyakini bahwa tidak ada yang dapat mereka l akukan untuk menyelesaikan masalah mereka, bahkan ketika faktanya mereka mampu. Para korban ini memilih untuk menyalahkan orang lain atas masalah mereka atau menyalahkan situasi di luar diri mereka. Ini dapat membuat mereka merasa lebih baik untuk sementara waktu, namun ini akan menggiring mereka pada kehidupan yang penuh amarah, ketakberdayaan, dan keputusasaan. 
Orang-orang menyangkal dan menjadikan orang lain kambing hitam atas masalah mereka hanya karena tindakan semacam itu sangat mudah dan enak dilakukan, sementara di sisi lain menyelesaikan masalah itu sulit dan kadang terasa tidak menyenangkan. Segala bentuk tindakan menyalahkan dan menyangkal membuat kita cepat “tinggi”. Ini adalah cara untuk sementara waktu lari dari masalah kita, dan pelarian itu rupanya memberi kita jalan pintas yang membuat kita merasa nyaman.
Orang bisa merasa “tinggi” karena macam-macam hal. Entah dari zat seperti alkohol, pembenaran moral yang datang dari menyalahkan orang lain, atau sensasi mendebarkan dari beberapa petualangan berisiko yang baru, ini adalah cara yang sangat dangkal dan tidak produktif dalam kehidupan seseorang. Dunia lebih banyak menjajakan hal-hal yang membuat kita “tinggi” ketimbang cara untuk memecahkan masalah yang masuk akal. Banyak guru kepribadian mengajari Anda bentuk penyangkalan baru dan menyemangati Anda dengan latihan-latihan yang terasa enak dalam waktu pendek, padahal itu mengabaikan isu yang mendasar. Ingat, tidak seorang pun yang mengklaim dirinya bahagia, masih perlu berdiri di depan cermin dan berulang-ulang berkata pada di- rinya sendiri kalau dia bahagia.
“Tinggi” juga mengakibatkan kecanduan. Semakin Anda mengalami ketergantungan pada hal -hal yang membuat Anda merasa lebih baik, Anda akan semakin sering mencarinya. Dalam pemahaman ini, hampir segala hal bisa mengakibatkan kecanduan, tergantung pada motivasi yang ada di baliknya. Kita semua memiliki metode yang kita pilih sendiri untuk mematikan rasa sakit dari masalah kita, asal dalam dosis normal itu tidak masalah. Namun semakin lama kita menghindar dan semakin lama kita mematikan 
rasa sakit, akan semakin besar rasa sakit ketika pada akhirnya kita benar-benar menghadapi permasalahan tersebut.

Emosi Dinilai Terlalu Tinggi

Emosi berkembang untuk satu tujuan spesifik: membuat kita hi¬dup dan membuatnya sedikit lebih baik. Itu saja. Emosi adalah mekanisme umpan balik yang mengatakan kepada kita apakah sesuatu itu sepertinya benar atau salah untuk kita—tidak kurang, tidak lebih.
Seperti halnya rasa sakit akibat menyentuh kompor yang panas mengajari Anda agar tidak menyentuhnya lagi, kesedihan kare¬na kesepian mengajari Anda untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat Anda merasa sangat kesepian lagi. Emosi hanyalah sinyal biologis yang dirancang untuk mengarahkan Anda ke perubahan yang bermanfaat.
Tolong pahami, bukan maksud saya untuk memantik krisis paruh baya Anda atau fakta bahwa ayah Anda yang pemabuk men- curi sepeda Anda ketika Anda masih delapan tahun dan Anda ma¬sih belum dapat melupakannya, tapi ketika itu terjadi pada Anda, kemudian Anda merasa sedih, itu karena otak Anda berkata bahwa di situ ada suatu masalah yang belum tersentuh atau ti dak tersele- saikan. Dengan kata lain, emosi negatif adalah suatu panggilan un¬tuk bertindak. Ketika Anda merasakannya, itu karena seharusnya Anda melakukan sesuatu. Emosi positif, sebaliknya, merupakan im- balan atas tindakan yang tepat. Ketika Anda mulai merasakannya, hidup akan terlihat sederhana dan tidak ada hal lain yang layak dilakukan selain menikmatinya. Dan, seperti hal -hal lain, emosi positif pun akan berlalu, seiring datangnya masalah-masalah baru.
Emosi hanya sebagian dari persamaan dalam kehidupan kita, bukan seluruhnya. Hanya karena sesuatu terasa enak, tidak berar¬ti itu baik. Hanya karena sesuatu terasa tidak enak bukan berarti itu buruk. Emosi hanya plang penunjuk jalan, anjuran yang disam- paikan neurobiologi dalam diri kita, bukan perintah. Karena itu, se- baiknya kita tidak langsung memercayai emosi kita sendiri. Malah, saya yakin kalau kita sebaiknya membiasakan diri untuk memper- tanyakan emosi kita masing-masing.
Banyak orang diajari untuk menekan emosi mereka demi ber- bagai alasan pribadi, sosial, atau budaya—terutama emosi negatif. Sedihnya, menyangkal emosi negatif berarti menolak mekanisme umpan balik yang membantu seseorang untuk menyelesaikan ma¬salah. Sebagai hasilnya, banyak individu yang tertekan ini berjuang menghadapi masalah mereka sepanjang hidup. Dan jika mereka ti¬dak bisa memecahkan masalah, mereka tidak bisa bahagia. Ingat, ada alasan di balik rasa sakit.
Namun ada orang-orang yang mengenali emosi secara berlebih- an. Semua hal dibenarkan hanya berdasar pada apa yang mereka rasakan. “Oh, saya mematahkan kaca depan mobihnu, itu karena saya sungguh marah; saya tidak bisa menahannya.” Atau “Saya ke- luar dari sekolah dan pindah ke Alaska hanya karena rascmya itu keputusan yang tepat.” Pengambilan keputusan berdasar intui- si emosional, tanpa dibantu penalaran agar tetap pada jalumya, biasanya membuat sesak di akhir. Apakah Anda tahu siapa yang menyandarkan seluruh hidup pada emosinya? Balita. Dan anjing. Anda tahu selain balita dan seekor anjing? Tahi di karpet.
Obsesi dan perhatian yang berlebihan terhadap emosi akan menggagalkan kita karena alasan sederhana, yaitu bahwa emosi ti¬dak kekal. Apapun yang membuat kita bahagia hari ini tidak akan 
membuat kita bahagia lagi esok, karena biologi kita selalu membutuhkan sesuatu yang lebih. Fiksasi terhadap kebahagiaan secara niscaya akan meminta kita untuk tiada habisnya mengejar “sesuatu yang lain”—rumah barn, hubungan barn, tambah momongan, kenaikan gaji. Tak peduli seberapa keras jerih payah yang telah kita keluarkan, kita akan bertemu pada semacam perasaan menakutkan yang serupa saat kita memulai semua ini: tidak cukup.
Psikolog kadang menyebut konsep ini sebagai “treadmill hedonis”: idenya adalah bahwa kita selalu bekerja keras untuk mengubah situasi hidup kita, namun sebenamya kita tidak pernah merasa sangat berbeda.
Inilah mengapa masalah kita selalu berulang dan tidak dapat dihindari. Orang yang Anda nikahi adalah orang yang dengannya Anda beradu mulut. Rumah yang Anda beli adalah rumah yang Anda perbaiki. Pekerjaan idaman yang Anda miliki adalah pekerjaan yang membuat Anda stres. Setiap hal didapat melalui suatu pengorbanan—apa pun yang membuat kita merasa nyaman, tak dapat disangkal, juga akan membuat kita merasa buruk. Apa yang kita dapatkan adalah apa yang kita lepaskan. Apa yang menciptakan pengalaman positif kita akan menentukan pengalaman negatif kita.
Ini adalah pil pahit yang sulit ditelan. Kita menyukai ide bahwa ada beberapa kebahagiaan yang pada akhimya dapat dicapa i. Kita menyukai ide bahwa kita dapat meringankan semua penderitaan kita secara permanen. Kita menyukai ide bahwa kita dapat merasa penuli dan puas dengan hidup kita selamanya.
Tapi kita tidak mampu.
Pilih Medan Juang Anda

Jika saya bertanya kepada Anda, “Apa yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini?” dan bila jawaban Anda kira-kira bakalan begini, “Saya ingin bahagia dan memiliki sebuah keluarga dan pekerjaan yang saya suka.”, tanggapan Anda tersebut sangat lazim dan sepertinya, tiada ada artinya sama sekali.
Setiap orang menikmati apa yang mengenakkan. Setiap orang ingin hidup dengan riang gembira, senang dan mudah, jatuh cinta dan merasakan seks dan hubungan yang luar biasa, terlihat sempurna dan berduit, populer, dihormati dan dikagumi, dan jadi jagoan di lantai dansa, yang membuat kerumunan orang akan terbelah seperti Laut Merah ketika Anda berjalan santai memasuki ruangan.
Setiap orang menginginkannya. Mudah untuk menginginkannya.
Sebuah pertanyaan yang lebih menarik, sebuah pertanyaan yang tidak pemah disadari sebagian besar orang, adalah,77 Rasa sakit apa yang Anda inginkan dalam hidup Anda? Apa yang membuat Anda rela berjuang?” Karena itu tampak seperti faktor yang sangat menentukan menjadi apa hidup kita nantinya.
Sebagai contoh, sebagian besar orang ingin mendapatkan posisi pimcak di perusahaan dan mendapatkan banyak uang—namun tidak banyak orang yang bersedia menderita selama 60 jam minggu kerja, perjalanan pergi-pulang kantor yang jauh, berkas kerja yang memuak- kan, dan menghadapi hirarki perusahaan yang sewenang-wenang demi melarikan diri dari neraka kubikel yang tak berujung.
Hampir semua orang menginginkan seks yang memuaskan dan hubungan yang luar biasa, namun tidak setiap orang mau menjalani percakapan yang alot, keheningan yang menyiksa, perasaan yang tersakiti, dan psikodrama emosional untuk sampai ke sana. 
Jadi mereka pikir lebih baik diam saja. Mereka memilih diam, dan selama bertahun-tahun gusar oleh angan-angan sendiri, “Seandainya saja...”, hingga angan-angan itu menjelma, dari “Seandainya saja..” menjadi “ Terns sekarang apa lagi?” Sampai ketika akhimya para pengacara sudah pulang dan cek tunjangan perceraian ada dalam surel, pertanyaan itu menjadi “Untuk apa ini semua?” Jika bukan demi memenuhi standar dan harapan mediokret mereka yang dibuat 20 tahun sebelumnya, lalu untuk apa?
Karena kebahagiaan membutuhkan perjuangan. Kebahagiaan tumbuh dari masalah. Kegembiraan tidak keluar dari tanali seperti bunga aster dan pelangi. Kepenuhan dan makna hidup yang nyata, serius, berumur panjang harus diraih dengan cara memilih dan mengelola medan juang kita sendiri. Entah Anda menderita karena rasa cemas dan kesepian atau gangguan kompulsif obsesif atau akibat seorang bos brengsek yang menghancurkan separuh jam kerja Anda setiap hari, solusinya terletak pada penerimaan dan keterlibatan aktif atas pengalaman negatif tersebut—bukan dengan menghindarinya, bukan pula dengan adanya penyelamat yang datang.
Orang-orang mendambakan fisik yang mengagumkan. Namun Anda tidak akan mencapainya kecuali Anda sungguh menghargai rasa sakit dan tekanan fisik yang menyertai aktivitas Anda di tempat kebugaran jam demi jam, kecuali Anda rajin menghitung dan mengkalibrasi makanan yang Anda konsumsi, merencanakan hidup Anda dalam porsi piring berukuran kecil.
Orang ingin memulai bisnis mereka sendiri. Tapi Anda tidak akan menjadi seorang wirausahawan yang sukses kecuali Anda mampu menghargai risiko, ketidakpastian, kegagalan yang datang berulang-ulang, investasi waktu gila-gilaan yang mungkin hanya demi sesuatu yang tidak menghasilkan apa pun.
Orang-orang menginginkan pacar, pasangan hidup. Namun Anda tidak akan mampu menarik perhatian seseorang yang Anda sukai tanpa menghargai goncangan emosional yang disertai penolakan, mengatur ketegangan seksual yang tidak pernah tersalurkan, dan menatap kosong telepon yang tidak pernah berdering. Inilah bagian dari permainan cinta. Anda tidak akan pernah memenangkannya jika Anda tidak ikut bermain.
Apa yang menentukan kesuksesan Anda bukanlah, “Apa yang ingin Anda nikmati?” Pertanyaan yang relevan adalah, “Rasa sakit apa yang ingin Anda tahan?” Jalan setapak menuju kebahagiaan adalah jalan yang penuh dengan tangisan dan rasa malu.
Anda harus menentukan pilihan. Anda tidak mungkin memiliki hidup yang bebas dari rasa sakit. Hidup tidak bisa selalu mekar seperti mawar, dan fantastis seperti unicorn. Pertanyaan tentang kenikmatan tergolong mudah karena hampir semua orang punya jawaban serupa.
Pertanyaan yang lebih menarik adalah tentang penderitaan. Derita apa yang ingin Anda hadapi? Itulah pertanyaan sulit yang perlu disadari, pertanyaan yang sebenarnya akan mengantar Anda ke suatu tempat. Inilah pertanyaan yang dapat mengubah sebuah sudut pandang, sebuah kehidupan. Inilah yang membentuk saya; saya dan Anda; Anda. Inilah yang menentukan pribadi kita dan yang membedakan kita, serta yang pada ujungnya menyatukan lagi kita semua.
Selama masa remaja dan awal dewasa, saya berfantasi menjadi seorang pemusik—rock star, persisnya. Setiap kali mendengar musik dengan iringan gitar yang kencang, saya selalu menutup mata dan membayangkan diri saya berada di atas panggung, memainkan gitar di tengah teriakan kerumunan penonton, dan orang-orang puu
pasti akan lupa diri mendengar permainan jari saya yang memukau. Fantasi ini bisa menghanyutkan saya selaina berjam-jam. Bagi saya, pertanyaannya bukan bagaimana jika saya bisa di atas sana bermain di depan para penonton yang terus berteriak, tapi kapan. Saya harus merencanakan itu semua. Sederhana, saya harus terlebih dahulu menentukan waktu sebelum saya mencurahkan tenaga dan upaya untuk sampai di sana dan menorehkan nama saya. Pertama, saya harus selesai sekolah. Kemudian, saya perlu mendapatkan uang tambahan untuk membeli peralatan band. Lain saya perlu mencari waktu luang yang cukup untuk berlatih. Selanjutnya saya perlu membuat jaringan dan merencanakan proyek pertama saya. Kemudian ... seterusnya hingga tidak ada yang perlu saya kerjakan.
Meskipun saya terus memfantasikan ini lebih dari separuh usia saya, dalam kenyataannya, hasilnya tidak pemah terwujud. Dan saya perlu waktu yang lama dan perjuangan yang melelahkan sampai pada akhimya tahu alasannya: saya tidak benar-benar menginginkannya.
Saya jatuh cinta dengan hasil akhir—bayangan saya di atas panggung, orang-orang menyoraki, menumpahkan emosi saya dalam nada yang saya mainkan—tetapi saya tidak jatuh cinta pada prosesnya. Dan karena itu, saya gagal. Berulangkali. Sial, bahkan kegagalan itu pun bukan hasil dari perjuangan apa pun. Saya hampir tidak pemah berusaha. Kebosanan saat bermusik, koordinasi untuk menemukan grup band dan mengatur gladi kotor, rasa lelah mengadakan pertunjukan dan sulitnya mengajak orang untuk datang dan membeli tiket, senar yang putus, tabung amplifier yang meledak, mengangkut peralatan sebesar 20 kg ke dan dari tempat latihan tanpa mobil. Itulah gambaran impian yang serupa puncak gunung, dan seseorang hams berjuang mendakinya. Dan dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi saya untuk mengetahui bahwa
saya tidak suka mendaki gunung itu. Saya hanya suka membayangkan puncak gunungnya.
Narasi di luaran secara umum akan memborbardir dengan aneka petuah, bahwa saya telah gagal, bahwa saya orang yang cepat menyerah atau pecundang, bahwa saya hanya kurang ini dan itu , bahwa saya menyerah atas mimpi saya, dan bahwa mungkin saya membiarkan diri saya tumbang oleh tekanan masyarakat.
Namun kebenaran jauh tidak menarik daripada salah satu penjelasan tersebut. Kebenarannya adalah, saya pikir saya menginginkan sesuatu, namun pada kenyataannya tidak. Habis perkara.
Saya menginginkan imbalan bukannya jerih payah. Saya menginginkan hasil dan bukan proses. Saya hanya jatuh cinta pada kemenangan dan bukan perjuangan.
Dan hidup tidak berjalan seperti itu.
Siapa diri Anda yang sebenamya ditentukan oleh apa yang ingin Anda perjuangkan. Orang-orang yang menikmati perjuangan di gym adalah orang-orang yang mengikuti triathlon dan memiliki bentuk perut seperti dipahat dan bisa bench-press satu rumah kecil. Orang- orang yang menikmati berminggu-minggu kerja yang panjang dan saling sikut di perusahaan adalah mereka yang terbang melampaui hal-hal tersebut. Orang-orang yang menikmati tekanan dan ketidakpastian gaya hidup dari seorang seniman kelaparan adalah mereka yang pada akhimya mampu menghidupi dan menjalaninya.
Ini bukan tentang kekuatan kehendak atau omong kosong tentang keuletan. Ini juga bukan contoh nyata dari ungkapan atto patn, no gain ( tidak ada yang bisa didapat tanpa perjuangan”). Ini adalah komponen hidup kita yang paling sederhana dan mendasar. perjuangan kita menentukan kesuksesan kita. Permasalahan-
permasalahan kita melahirkan kebahagiaan kita, seiring dengan masalah-masalah yang naik levelnya, menjadi semakin baik.
Lihat: ini adalah spiral yang merambat ke atas tanpa pemah selesai. Dan jika Anda masih berpikir bahwa Anda boleh berhenti mendaki di titik mana pun, saya khawatir Anda belum cukup paham. Karena kegembiraannya justru terletak pada pendakian itu sendiri.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01