The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 03


Anda Tidak Istimewa

Saya pemah mengenal seorang pria; sebut saja Jimmy. Jimmy punya berbagai lini bisnis yang sedang berjalan. Kapan pun, jika Anda bertanya apa yang sedang dikerjakan, dia akan menyebutkan dengan cepat beberapa nama perusahaan yang berkonsultasi dengannya, atau dia akan menjelaskan sebuah aplikasi kesehatan yang sedang dia carikan investor murah hati agar man menanam saham, atau dia akan berbicara mengenai bebera¬pa acara amal di mana ia didaulat menjadi pembicara utamanya, atau bagaimana dia memiliki gagasan tentang suatu jenis pompa gas yang lebih efisien yang membuatnya menjadi miliarder. Pria ini selalu beredar, selalu menyala-nyala, dan jika Anda memberinya satu inci saja celah percakapan di siang hari, dia akan menceramahi Anda tentang betapa mendunia pekerjaannya, betapa brilian ide- ide terbarunya, dan dia akan dengan mudah menyebutkan nama- nama sederet tokoh, seakan-akan Anda sedang berbicara dengan seorang reporter tabloid.
Jimmy adalah pribadi yang positif di setiap waktu. Selalu ter¬yang dipandang sebagai go-getter tulen (cih, apa coba maksudnya go-getterf).
Di balik itu semua, Jimmy adalah seorang bajingan—hanya bicara, tidak ada aksi. Sebagian besar waktunya diisi dengan mabuk-mabukan, dan menghamburkan uang di bar dan restoran ternama seraya berusaha memukau orang dengan ide bisnisnya , Jimmy adalah seorang penipu profesional, menghidupi keluarganya dengan uang haram, sama seperti setiap orang lain yang tinggal di kota, memutar-mutar ide palsu tentang gemilangnya teknologi masa depan. Tentu, kadang dia juga berupaya, atau mengangkat telepon dan membuat tawaran dengan mengatasnamakan orangorang penting dan nama-nama lain hingga kehabisan nama untuk disebut, tapi tidak ada yang pemah terwujud. Tidak satu pun “usahanya” berkembang menjadi sesuatu.
Meskipun demikian, pria ini telah melakukannya selama ber- tahun-tahun, membiayai pacar-pacamya dengan uang dari banyak saudara jauhnya hingga usia mendekati kepala tiga. Kacaunya, Jimmy merasa nyaman-nyaman saja. Kepercayaan dirinya tak lebih hanya waham dalam otaknya. la menyaya n gka n orang-orang yang menertawakan atau menutup telepon darinya, sebab dalam pikiran Jim, mereka “telah melewatkan kesempatan emas dalam hidup mereka. Baginya, orang-orang yang mencemooh ide bisnis gadungannya itu “terlalu bodoh dan tidak berpengalaman” untuk memahami kejeniusannya. Orang-orang yang menuding gaya hi* dup mabuknya semata “cemburu” kepadanya; mereka adalah para "haters” yang iri akan kesuksesannya.
Jimmy memang menghasilkan uang, meskipun biasanya melahii cara-cara yang tidak jujur, seperti menjual ide bisnis orang lain yang diaku sebagai miliknya, atau memperdaya orang lain agar memberi 
pinjaman, atau parahnya, menghasut seseorang agar menyerahkan saham perusahaan start-up mereka. Namun sebenamya, sesekali ia dibayar untuk melakukan public speaking. (Mengenai apa, saya bah¬kan tidak berani membayangkan.)
Bagian paling parahnya adalah bahwa Jimmy meyakini omong kosongnya sendiri. Khayalannya seolah seperti antipeluru, sehingga jujur, orang sulit marah padanya, justru malah terkagum-kagum.
Di era 1960-an, meningkatkan “penghargaan diri”—berpikiran dan berperasaan positif tentang diri sendiri—sangat “ngetrend” di ranah psikologi. Penelitian menemukan bahwa orang-orang yang menilai dirinya tinggi pada umumnya menunjukkan kinerja yang lebih baik dan membuat lebih sedikit masalah. Banyak peneliti dan pembuat kebijakan pada saat itu sampai pada keyakinan bahwa meningkatnya penghargaan diri penduduk dapat menuntun pada beberapa keuntungan sosial yang nyata: kejahatan yang semakin menurun, catatan akademik yang semakin membaik, lapangan pekerjaan yang semakin luas, defisit anggaran yang semakin rendah. Sebagai hasilnya, di awal dekade berikutnya, 1970- an, praktik penghargaan diri mulai diajarkan oleh para orang tua, ditekankan oleh para terapis, politisi, dan gum, serta dilembagakan dalam kurikulum-kurikulum pendidikan. Grade inflation (Kelas Pemongkokan), sebagai contoh, diselenggarakan untuk membuat anak-anak yang prestasinya kurang maksimal tidak terlalu merasa kecewa dengan rendahnya pencapaian mereka. Penganugerahan penghargaan atas partisipasi mereka beserta trofi palsu dicip- takan untuk serangkaian kegiatan yang tak terlalu menarik dan mudah ditebak. Anak-anak diberi pekerjaan rumah yang konyol, seperti menuliskan semua alasan mengapa mereka adalah pribadi yang istimewa, atau 5 hal yang paling mereka sukai tentang diri  mereka sendiri. Pastor dan pendeta berkata, meyakinkan seluruh jemaat bahwa setiap dari mereka adalah istimewa di hadapan Tuhan, dan ditakdirkan nntuk menjadi lebih, tidak sama seperti orang kebanyakan. Seminar bisnis dan motivasi mengatakan berulang kali mantra paradoks yang sama: setiap dari antara kita dapat menjadi luar biasa dan teramat sukses.
Namun bergantilah generasi berikutnya, dan terbacalah sebuah data yang berkata: tidak ada dari kita yang istimewa. Temyata, sekadar merasa bahagia atas diri Anda sendiri tidak berarti apa-apa, kecuali jika Anda memiliki satu alasan yang bagns untuk merasa bahagia atas diri Anda sendiri. Pada kenyataannya, kemalangan dan kegagalan sungguh berguna dan balikan diperlukan untuk membangun seseorang menjadi orang dewasa yang tangguh dan sukses. Faktanya, mengajar orang untuk meyakini bahwa mereka istimewa dan merasa baik tentang diri mereka sendiri dengan alasan apa ptm tidak lantas menjadikan mereka suatu populasi yang penuh dengan Bill Gates dan Martin Luther King. Ini justru menciptakan satu populasi penuh dengan pria seperti Jimmy
Jimmy, sang pendiri perusahaan yang terbuai delusinya sendiri, yang menghisap ganja setiap hari dan tidak memiliki ketrampilan menjual yang nyata selain berbicara pada dirinya sendiri dan meya- kininya. Jimmy, tipe pria yang meneriaki rekan kerjanya dengan alasan kurang dewasa, dan kemudian menggunakan kartu kredit perusahaan hingga batas maksimal di Le Bemardin demi membuat beberapa model Rusia terkesan. Jimmy, yang dalam waktu singkat dijauhi bibi dan pamannya karena terus meminjam uang.
Ya, dialah Jimmy yang percaya diri dan memiliki penghargaan diri yang tinggi. Jimmy yang menghabiskan banyak waktunya un
tuk berbicara mengenai betapa baiknya dia sehingga dia lupa untuk benar-benar melakukan sesuatu.
Yang menjadi masalah dengan gerakan peningkatan penghargaan diri ini adalah bahwa ukuran yang digunakan berdasar pada seberapa positif orang melihat diri mereka sendiri. Namun ukuran yang benar dan akurat untuk penghargaan diri seseorang sesungguhnya terletak pada bagaimana orang tersebut memahami aspek negatif dari diri mereka sendiri. Jika seseorang seperti Jimmy merasa sungguh baik selama 99,9 persen dalam hidupnya, meskipun hidupnya hancur berantakan di sekelilingnya, lalu bagaimana itu bisa menjadi alat ukur yang valid untuk sebuah hidup yang sukses dan bahagia?
Jimmy merasa istimewa, itu saja. Dia merasa seakan-akan layak mendapatkan hal-hal baik tanpa berusaha. Dia percaya diri, bisa menjadi kaya tanpa harus bekerja. Dia percaya diri, dapat disukai dan menjalin hubungan yang baik tanpa pemah membantu seorang pun. Dia percaya diri, berhak memiliki suatu gaya hidup yang luar biasa tanpa pemah mengorbankan apa pun.
Orang-orang seperti Jimmy begitu terpaku pada perasaan nyaman karena berhasil mengelabui diri mereka sendiri hingga yakin bahwa mereka sedang menyelesaikan hal-hal yang besar bahkan ketika mereka tidak melakukannya. Mereka yakin, mereka adalah pembawa acara yang brilian di atas panggung padahal mereka sedang membodohi diri mereka sendiri. Mereka menyebut diri mereka motivator dan menggalang dana untuk membantu sesama, walau masih berumur 25 tahun dan belum pemah melakukan hal mendasar apa pun dalam kehidupan mereka.
Orang-orang tersebut menampilkan sebuah kepercayaan diri di level delusional. Kepercayaan diri semacam ini bisa menarik orang lain, setidaknya untuk sementara waktu. Dalam beberapa contoh, orang-orang dengan tingkat kepercayaan diri seperti ini dapat menulari dan membantu orang-orang di sekitamya merasa lebih percaya diri juga. Di luar dari semua tipuan Jimmy, saya harus mengakui bahwa kadang menyenangkan bergaul dengannya. Anda akan merasa tidak bisa dikalahkan saat berada di dekatnya.
Namun yang menjadi persoalan dengan model kepercayaan diri semacam ini adalah bahwa ini membuat mereka perlu selalu merasa bahagia atas diri mereka sendiri, walau harus membuat orang-orang di sekitamya terganggu. Dan karena orang-orang yang seperti itu selalu harus merasa bahagia atas dirinya sendiri, mereka akhimya menghabiskan sebagian besar waktunya hanya untuk berpikir tentang diri mereka sendiri. Padahal di luar semua itu, dibutuhkan energi dan usaha yang besar untuk meyakinkan diri Anda sendiri bahwa tahi yang Anda keluarkan tidak bau busuk, apalagi jika Anda benar-benar tinggal di sebuah kakus.
Begitu orang-orang macam ini mengembangkan pola pikir yang secara konstan menafsirkan segala yang terjadi di sekitar mereka melulu untuk membuat mereka makin jemawa, akan su- per-sulit rasanya untuk menghentikan itu. Setiap ajakan untuk menggunakan akal sehat hanya dipandang sebagai “ancaman” terhadap superioritas mereka dari pihak lain yang mereka anggap tidak dapat mengimbangi” kepintaran/bakat/kegantengan/ke- suksesan mereka.
Apa yang diyakini Jimmy dan orang-orang sepertinya membuat mereka diselubungi semacam gelembung narsistik, membelokkan apa saja, dengan cara tertentu, demi semakin meneguhkan dirinya-
Orang-orang yang merasa seperti ini memandang setiap kejadian da¬lam hidup mereka entah sebagai suatu peneguhan, atau ancaman, terhadap keagungan mereka sendiri. Jika suatu hal yang baik terjadi kepada mereka, itu karena perbuatan mereka. Jika suatu hal buruk terjadi kepada mereka, itu karena seseorang cemburu dan mencoba untuk membuat mereka terlihat buruk. Orang-orang istimewa ini be- bal. Mereka menyesatkan diri sendiri dengan masuk ke dalam apa pun yang bisa memuaskan rasa superioritas mereka. Mereka mem- pertahankan pandangan mental mereka di atas segalanya, bahkan jika kadang itu menuntut mereka bersikap kasar secara fisik atau emosional terhadap orang-orang di sekitar mereka.
Meyakinkan diri sebagai makhluk yang spesial, merupakan se- buah strategi yang gagal. Ini hanya membuat Anda “tinggi”/nge-fy. Tapi, itu bukan kebahagiaan.
Pengukuran yang benar tentang penghargaan-diri seseorang bu¬kan pada bagaimana seseorang merasakan pengalaman pasitifnya, namun lebih pada bagaimana dia merasakan pengalaman negatif- nya. Seseorang seperti Jimmy bersembunyi dari permasalahannya dengan mengarang kesuksesannya sendiri di setiap kesempatan. Dan karena dia tidak bisa menghadapi masalahnya, entah sebaik apa dia menilai dirinya sendiri, ia menjadi lemah.
Seseorang yang benar-benar memiliki penghargaan diri yang tinggi mampu melihat bagian negati f dari pribadinya secara blak- blakan—“Ya, kadang saya tidak bertanggung jawab soal uang,” “Benar, kadang saya melebih-lebihkan kesuksesan saya sendiri,” “Ya, saya terlalu bersandar kepada orang lain dan seharusnya saya lebih mandiri”—kemudian bertindak untuk memperbaikinya. Na¬mun orang yang keblinger dengan dirinya sendiri, karena mereka tidak mampu mengakui masalah mereka sendiri secara terbuka dan jujur, justru tidak bisa memperbaiki hidup mereka dengan cara yang tahan lama atau bermakna. Mereka semakin tertinggal karena mengejar hal yang bertambah tinggi dan mengakumulasi tingkat penyangkalan yang semakin besar.
Namun pada akhirnya, kenyataan akan menghantam Anda, dan masalah-masalah yang mendasar akan menampakkan dirinya lagi, kali ini dengan lebih jernih. Ini hanya perkara kapan, dan seberapa sakit itu nantinya.

Hancur Berantakan

Pukul 09.00 pagi, di kelas biologi, saya menyandarkan kepala di atas lengan, sambil memandangi jarum panjang yang membuat putaran, bunyi tik-tok muncul dan tenggelam bergantian dengan penjelasan guru yang membosankan mengenai kromosom dan mitosis. Seperti anak berusia 13 tahun lain yang terjebak dalam suatu ruang kelas yang dipenuhi murid, diterangi lampu pijar, saya bosan.
Terdengar pintu diketuk. Pak Price, kepala sekolah, melongok ke dalam. Permisi mengganggu. Mark, bisakah kamu keluar dengan saya sebentar? Oh, dan bawa barang-barangmu.”
Aneh, pikir saya. Biasanya anak-anaklah yang disuruh menemui kepala sekolah, jarang kepala sekolah datang menemui mereka. Saya meraih barang-barang saya dan meninggalkan ruangan
Lorong sudah sepi. Ratusan loker berwarna kuning kunyit seperti membentuk cakrawala. “Mark, bisa antar Bapak ke lokermu, tolong?”
Tentu, jawab saya, sambil ngeloyor seperti siput menyusuri lorong, bercelana baggy, rambut acak-acaan, dengan t-shirt Pantera yang kebesaran dan lain sebagainya.
Kami sampai di Inker saya. '"Polong buka," kata Pak Price; dan
saya pun mengerjakannya. Dia melangkah di depan saya, dan mengambil jaket saya, tas olahraga saya, tas punggung saya—semua isi Inker, kecuali beberapa buku Catalan dan pensil. Dia mulai berjalan menjauh. "Tolong ikut dengan saya,” ujamya, tanpa menengok ke belakang. Saya mulai merasa tidak nyaman.
Saya mengikuti ke kantor, di sana dia meminta saya untuk duduk. Dia menutup pintu dan menguncinya. Dia berjalan ke arah jendela dan mengatur tirai agar tidak terlihat dari luar. Telapak tangan saya mulai berkeringat. Ini bukan pertemuan dengan kepala sekolah yang biasa.
Pak Price duduk dan dengan tenang menggeledah barang- barang saya, memeriksa kantong-kantong, membuka setiap ritslet- ing, mengebaskan baju olahraga saya, dan membiarkannya tergeletak di lantai.
Tanpa memandang saya, Pak Price bertanya, “Kamu tahu apa yang saya cari, Mark?”
“Tidak,” jawab saya.
"Narkoba.”
Kata tersebut nyaris membuat jantung saya copot.
"N-n-narkoba?” Saya mendadak gagap. “Jenis apa?”
Dia menatap saya dengan tajam. “Saya tidak tahu; kamu punya jenis apa?” Dia membuka salah satu binder dan memeriksa kantong- kantong kecil unmk pena.
Keringat saya bermunculan seperti jamur tumbuh di musim hujan. Menyebar dari telapak tangan saya ke lengan dan sekarang leher. Kening saya berdenyut karena derasnya darah yang mengalir
ke otak dan wajah saya. Seperti kebanyakan anak berusia 13 tahun yang baru saja dituduh memiliki narkoba dan membawanya ke sekolah, rasanya saya ingin melarikan diri dan bersembunyi.
“ Saya tidak tahu apa yang sedang Bapak bicarakan, saya memprotes, kata-kata saya terdengar jauh lebih buruk dari yang saya kira. Saya merasa sepertinya sekarang ini saya harus terdengar meyakinkan. Atau mungkin tidak. Mungkin sebaiknya saya terdengar ketakutan. Apakah pembohong terdengar ketakutan atau meyakinkan? Mau seperti apa suara yang keluar, saya selalu ingin terdengar seperti kebalikannya. Malah, karena kurangnya komponen kepercayaan diri, ketidakpercayaan diri saya tentang suara saya yang terdengar kurang percaya diri membuat saya semakin kurang percaya diri. Sial! Lingkaran setan itu lagi.
“Kita lihat saja nanti,” ujamya, memalingkan perhatian ke tas punggung saya, yang terlihat seperti punya ratusan kantong. Setiap kantong terisi dengan barang-barang konyol khas remaja—bolpoin warna, lembar catatan yang dibagikan di kelas, CD lagu awal 90-an dengan wadah yang retak, spidol cepat- kering, dan buku gambar usang yang hilang separuh halamannya, debu, serpihan kain, serta kotoran yang tertumpuk selama masa-masa SMP saya yang gila.
Peluh saya pasti bergerak dengan kecepatan cahaya, karena waktu seolah memanjang dan melebar sendiri, sehingga detik-detik yang berlalu di jam kedua biologi pukul 09.00 pagi tersebut sekarang terasa sangat lama seperti di Zaman Paleolitik, dan saya pun tumbuh dan sekarat di setiap menit. Hanya ada saya dan Pak Price dan kantong tas punggung saya yang seakan tak berdasar.
Suatu saat di Zaman Mesolitik, Pak Price pun selesai memeriksa tas saya. Karena tidak menemukan apa pun, dia terlihat bingung-
Dia membalikkan tas dan isinya berceceran di lantai kantomya. Sekarang, gantian, dia yang berkeringat, bedanya: jika saya penult rasa takut, dia justru penult amarah.
“Tidak bawa narkoba hari ini, hah?” Dia mencoba terdengar biasa saja.
“Tidak.” Begitu pula saya.
Dia menyebar barang-barang saya, memisahkan setiap benda, dan membentuk tumpukan-tumpukan kecil di sebelah alat gym saya. Jaket dan tas punggung saya sekarang terbaring kosong dan tak berdaya di pangkuannya. Dia menghela napas dan menatap dinding. Seperti kebanyakan anak berusia 13 tahun yang terkunci dalam suatu ruang bersama seorang pria yang dengan kalap melempari barang-barangnya ke lantai, saya ingin menangis.
Pak Price memindai semua barang yang telah disendiri-sendiri- kan di lantai. Tidak ada yang haram atau ilegal, tidak ada narkoba, bahkan tidak ada apa pun yang melanggar kebijakan sekolah. Dia menghela napas lagi, kemudian mengempaskan jaket dan tas punggung ke lantai. Dia sedikit membungkuk dalam posisi duduknya kemudian menyandarkan siku ke lututnya, membuat wajahnya setinggi wajah saya.
“Mark, saya akan memberimu satu kesempatan terakhir untuk mengatakan yang sebenamya. Jika kamu jujur, semua ini akan menjadi lebih mudah. Jika temyata kamu berbohong, ini akan menjadi lebih buruk.”
Seolah menyambut aba-aba, saya menelan ludah.
“Sekarang katakan yang sejujumya,” Pak Price mengomando.
“Apakah kamu membawa narkoba ke sekolah hari ini?”
Dengan melawan air mata yang hampir jatuh dan teriakan yang tertahan di tenggorokan, saya menatap balik wajah orang yangmenyiksa saya, dengan nada membela, mati-matian berusaha lolos dari horor masa remaja, saya berkata, Tidak, saya tidak punya narkoba. Saya sama sekali tidak tahu apa yang Bapak bicarakan. ’
“Baiklah,” katanya, menunjukkan tanda menyerah. “Saya rasa kamu bisa mengambil barang-barangmu dan keluar.
Rupanya dia masih berusaha, untuk terakhir kalinya, melayangkan pandangan ke tas punggung yang kempes, teronggok seperti janji yang diingkari di lantai kantomya. Sambil lain dia meletakkan satu kaki ke atasnya, menginjak ringan, benar-benar sebuah upaya terakhir. Dengan cemas saya menunggunya berlalu sehingga saya bisa meneruskan hidup saya dan melupakan seluruh mimpi buruk ini.
Namun kakinya berhenti pada sesuatu. “Apa ini?” tanyanya, mengetuk-ketuk dengan kakinya.
“Apanya yang apa?” balas saya.
“Masih ada sesuatu di sini.” Dia mengangkat tas dan mulai merasakan sesuatu di sekitar bagian bawah tas. Sontak ruangan tampak kabur; semua terasa berputar.
Ketika masih muda, saya termasuk anak yang pandai. Saya mudah berteman. Tapi saya bengal. Yang terakhir adalah kata yang paling manis yang bisa saya gunakan. Saya pemberontak, tukang bohong. Gampang naik darah dan penuh rasa kebencian. Ketika berusia 12 tahun, saya meretas sistem pengamanan rumah saya sendiri dengan magnet lemari es, jadi saya bisa menyelinap ke luar rumah tanpa ada yang tahu di tengah malam. Lain saya dan seorang teman memasukkan persneling mobil ibunya ke posisi netral dan mendorong pelan-pelan ke jalan sehingga kami bisa me- 
ngendarai mobil tanpa membangunkan seorang pun. Saya sengaja membuat tulisan tentang aborsi karena saya tahu guru Inggris saya adalah seorang Kristen konservatif garis keras. Lain waktu, saya dan seorang teman lain mencuri rokok ibrmya, dan menjualnya ke anak-anak lain di belakang sekolah.
Dan saya juga memotong bagian bawah tas punggung saya, lalu menyulapnya menjadi kantong rahasia untuk menyembunyikan ganja.
Kantong tersembunyi yang sama ditemukan Pak Price setelah menginjak narkoba di bagian bawah tas saya. Saya telah berbohong. Dan, sesuai janjinya, Pak Price mengambil tindakan serins. Beberapa jam kemudian, seperti kebanyakan anak berusia 13 tahun yang diborgol di kursi belakang mobil polisi, saya mengira hidup saya telah berakhir.
Dan benar semacam itu. Orang tua saya mengurung saya di ru¬mah. Saya tidak boleh menemui teman-teman saya dalam waktu yang tidak ditentukan. Sejak dikeluarkan dari sekolah, saya terpaksa bersekolah di rumah di sisa tahun ajaran itu. Ibu saya menyuruh saya potong rambut, dan membuang semua baju Marilyn Manson dan Metallica (yang bagi remaja di 1998, ini sama dengan dihukum mati dengan cara yang menyedihkan). Ayah saya menyeret saya ke kantornya di pagi hari, dan memerintahkan saya untuk memasukkan berkas-berkas selama berjam-jam. Begitu homeschool berakhir, saya dikirim ke sebuah sekolah Kristen swasta yang kecil, di mana—dan ini tidak akan mengejutkan Anda—saya tidak kerasan.
Dan tak lama setelah saya akhimya membersihkan perbuatan saya dan meluruskan jalan saya serta belajar nilai tanggung jawab Kristiani yang baik, orang tua saya memutuskan untuk bercerai.
Saya mengatakan semua ini kepada Anda hanya untuk menim, jukkan bahwa masa remaja saya sungguh seperti tahi. Saya kehilangan semua teman saya, komunitas saya, hak hukum saya, dan kelu- arga saya hanya dalam 9 bulan saja. Terapis saya ket.ka saya beru- sia 20 tahun menyebut ini dengan istilah “suatu pengalaman yang sungguh traumatis,” dan saya bakal menghabiskan setidaknya 10 tahun ke depan untuk bekerja keras menerima masa kelam itu, supaya tumbuli menjadi orang yang tak terlampau depresif, meski masih tetap brengsek.
Masalah di rumah saya saat itu sama sekali bukan diakibatkan oleh ucapan atau tindakan buruk; tapi lebih karena semua hal buruk yang harusnya dikatakan atau dilakukan, namun tidak terlaksana. Keluarga kami membina rumah tangga dengan cara yang sama seperti Warren Buffet menghasilkan uang atau cara Jenna Jameson menggeliat di atas ranjang: kami juaranya. Bisa saja rumah kami terbakar habis dan kami masih berkata, “Oh tidak, semua baik-baik saja. Sedikit hangat sih—tapi sungguh, semua baik-baik saja.”
Ketika orang tua saya bercerai, tidak ada piring yang pecah, tidak ada pintu yang dibanting, tidak ada saling teriak tentang ini dan itu. Mereka menyempatkan diri untuk meyakinkan saya dan abang saya bahwa kejadian ini terjadi sama sekali bukan akibat kesalahan kami, kami diberi sesi tanya jawab—ya, Anda tidak salali membaca—tentang logistik dan kesepakatan baru di kehidupan yang baru. Tidak ada tangis yang pecah. Tidak ada suara yang meninggi. Saya dan abang saya mencoba menguping pembicaraan empat mata ayah dan ibu, dan satu-satunya petunjuk yang terdengar secara jemih adalah, Tidak ada di antara kita yang selingkuh.” Oh, bagus. Ruangan cuma sedikit hangat sih, tapi sungguh, tidak ada y<m& terbakar, semua baik-baik saja.
Orang tua kami adalah orang yang baik. Saya tidak menyalahkan mereka atas peristiwa ini (tidak lagi). Saya sangat mencintai mereka. Mereka mempunyai kisah dan perjalanan hidup sendiri, sama seperti semua orang tua. Dan sama seperti yang dilakukan orang tua dari orang tua kita. Dan seperti semua orang tua, orang tua saya, dengan penuh kesadaran, meneruskan sebagian masalah mereka pada saya, seperti yang kemungkinan saya wariskan ke anak-anak saya.
Ketika “tetek bengek pengalaman traumatis” semacam ini ter- jadi dalam kehidupan kita, secara tidak sadar kita mulai merasa seolah masalah ini tidak akan pemah mampu kita selesaikan. Dan asumsi ketidakmampuan kita untuk menyelesaikan masalah ini membuat kita merasa sedih dan tak berdaya.
Tetapi ini juga mengakibatkan hal lain. Jika kita punya masalah yang tidak terselesaikan, alam bawah sadar kita tahu bahwa kita se¬benamya tidak istimewa atau gagal dalam arti tertentu. Bahwa kita, entah bagaimana, tidak seperti orang lain dan karena itu beberapa aturan berlaku berbeda untuk kita.
Alasannya sederhana: kita merasa istimewa.
Rasa sakit dari masa remaja saya menuntun saya ke jalan “keis- timewaan” sepanjang masa dewasa awal saya. Mirip dengan keis- timewaan Jimmy bermain di kancah dunia bisnis, di mana dia berpura-pura sukses besar, keistimewaan saya ada di dunia percin- taan dengan para wanita. Trauma saya membelit seputar isukein- timan dan penerimaan, jadi saya merasakan ada kebutuhan untuk mendapatkan kasih sayang secara berlebihan, untuk membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya memang dicintai dan diterima seti¬ap waktu. Dan sebagai dampaknya, saya mengejar-ngejar perempuan seperti pemadat yang mengejar boneka salju yang terbuat dari koka- in. Saya bercinta dengan panas, dan kemudian langsung tercekik.
Saya menjadi seorang buaya darat—tak dewasa, egois, namun kadang berkarisma. Dan saya menjalin rangkaian panjang hubung, an yang dangkal dan tidak sehat selama hampir 10 tahun.
Bukan melulu seks yang saya inginkan, meski itu juga menyenang¬kan. Yang saya cari adalah peneguhan. Bahwa saya diinginkan, bah¬wa saya dicintai; bahwa saya untuk untuk pertama kalinya, seingat saya, dianggap berharga. Kebutuhan untuk mendapatkan peneguhan itu, dengan cepat menjelma menjadi sebuah kebiasaan mental untuk mengistimewakan dan melebih-lebihkan diri sendiri. Saya merasa berhak untuk mengatakan atau melakukan apa pun yang saya ingin- kan, untuk menghancurkan kepercayaan seseorang, untuk menga- baikan perasaan orang lain, dan kemudian memperbaikinya lagi de¬ngan permintaan maaf yang penuh omong kosong dan kebusukan.
Meskipun periode ini tentu punya momen yang menyenangkan dan menggembirakan, dan saya berjumpa dengan beberapa wani- ta yang luar biasa, seluruh hidup saya kurang lebih hancur seperti puing. Saya cukup sering tidak punya pekerjaan, numpdng tidur di sofa teman, atau tinggal dengan ibu saya, minum-minum lebih dari yang seharusnya, menyingkirkan beberapa teman—dan ketika saya bertemu seorang wanita yang sangat saya sukai, sikap saya yang egois ini dengan cepat meluluhlantakkan semuanya.
Semakin dalam rasa sakit, semakin kita merasa tak berdaya menghadapi permasalahan kita, dan semakin banyak keistimewaan yang kita perlukan sebagai kompensasi atas permasalahan tersebut Keistimewaan ini bekerja dalam salah satu cara berikut:
1. Saya luar biasa dan kalian semua payah, jadi saya berhak mendapatkan perlakuan istimewa.
2. Saya payah dan kalian semua luar biasa, jadi saya berhak mendapatkan perlakuan istimewa.
Jalan pikir kedua hal tersebut berlawanan, tapi inti keegoisannya sama. Dalam kenyataannya, Anda akan sering melihat orang-orang bergantian menerapkan yang pertama atau yang kedua. Entah me¬reka sedang berada di atas atau di bawah roda nasib, tergantung masanya, atau seberapa baik mereka mengatasi kecanduan mereka pada saat itu.
Sebagian besar orang tepat saat mengidentifikasi orang-orang seperti Jimmy sebagai orang yang narsis yang haus perhatian. Itu karena dia terang-terangan masuk dalam penghargaan diri yang de¬lusional itu. Namun apa yang keliru diidentifikasi kebanyaan orang mengenainya adalah bahwa dia terus-menerus merasa rendali diri dan tidak berharga di dunia.
Sebab, segala upaya untuk merancang kehidupan secara sede- mikian rupa sehingga menampilkan Anda sebagai korban yang ser- ba lemah, menuntut keegoisan yang sama besar untuk motif yang sebaliknya. Seseorang butuh kepongahan delusional dan energi yang sama besarnya, baik untuk terus menerus memelihara keya- kinan bahwa dirinya memiliki segunung masalah yang tidak dapat diurai maupun untuk meyakini bahwa dirinya adalah orang yang tanpa cela sama sekali.
Sejatinya, tidak ada yang disebut masalah pribadi (personalprob¬lem). Jika Anda memiliki suatu masalah, ada peluang jutaan orang lain juga memilikinya entah dulu, sekarang, atau esok. Dan orang itu bisa jadi seseorang yang Anda kenal. Kesadaran ini tidak mengurangi masalah yang Anda hadapi atau tidak membuat rasa sakit Anda hi- lang. Juga bukan berarti, Anda bukan korban atas suatu situasi.
Ini hanya man mengatakan bahwa Anda tidak istimewa.
Seringkali, inilah kesadaran yang hams Anda ambil—bahwa siapa Anda dan apa masalah Anda itu bukanlah sesuatu yang is¬timewa di mata jutaan orang yang saat ini sedang, sebelumnya te¬lah, maupun esok akan menderita—sebagai langkah pertama dan terpenting untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Namun entah kenapa, tampaknya semakin banyak saja orang, terutama anak muda, melupakan hal ini. Sejumlah profesor dan pendidik menengarai kurangnya ketahanan emosional dan ter¬lalu dominannya kebutuhan yang egois di kalangan kaum muda sekarang. Sangat umum kita jumpai praktik ditariknya buku-buku dari dalam kelas hanya karena alasan bahwa buku tersebut akan membuat seseorang merasa buruk. Para pembicara dan profesor diteriaki untuk turun dan dicekal di kampus-kampus atas tuduhan penistaan, padahal itu hanyalah hal remeh, sesepele orang yang memberi opini bahwa mungkin beberapa kostum Halloween tak seofensif yang orang-orang kira. Penasihat sekolah menengarai bahwa saat ini lebih banyak siswa, dibanding sebelum-sebehimnya, yang menunjukkan tanda-tanda stress atas pengalaman sehari-hari di kampus yang sebenamya wajar-wajar saja, seperti pertengkaran dengan teman sekamar, atau mendapat nilai rendah di kelas.
Aneh bahwa pada usia di mana kita sehamsnya lebih terikat satu sama lain, keistimewaan selalu tampak berada di atas segala- nya. Suatu aspek dari teknologi terkini tampaknya membolehkan rasa ketidaknyamanan kita untuk membikin onar untuk pertama kalinya. Semakin banyak kebebasan yang diberikan untuk mengeks- presikan diri kita, kita akan semakin ingin terbebas dari urusan dengan siapa pun yang mungkin tidak sependapat dengan ki»
atau yang membuat kita jengkel. Semakin kita dihadapkan pada sudut pandang yang berlawanan, semakin kita naik pitam atas ke- beradaan sudut pandang tersebut. Semakin hidup kita mudah dan bebas dari masalah, kita semakin merasa berhak untuk mendapat¬kan yang balikan lebih baik lagi.
Manfaat-manfaat Internet dan media sosial tidak perlu dibantah lagi. Dalam berbagai hal, ini adalah momen terbaik dalam sejarah kehidupan. Namun mungkin, teknologi ini mempunyai efek sam- ping sosial yang tidak diinginkan. Mungkin teknologi yang telah membebaskan dan mendidik banyak orang ini, secara bersamaan juga membuat mereka merajuk untuk meminta lebih diistimewakan.

Tirani Keistimewaan

Sebagian besar dari antara kita bisa dikategorikan “biasa-biasa saja” pada hampir semua hal yang kita kerjakan. Bahkan meskipun Anda istimewa di suatu hal, kemungkinan yang ada adalah bahwa Anda berada di tengah-tengah atau justru di bawah rata-rata pada hal lainnya. Seperti itulali kodrat kehidupan. Agar bisa benar-benar luar biasa pada suatu hal, Anda harus mendedikasikan waktu dan energi yang sedemikian besar terhadapnya. Dan karena kita semua memiliki waktu dan energi yang terbatas, hanya sedikit dari antara kita yang bisa menjadi istimewa di lebih dari satu bidang.
Kita bisa kemudian mengatakan bahwa secara statistik, kecil kemungkinannya setiap orang akan menjadi seorang penampil yang luar biasa dalam semua area panggung kehidupan, atau bah¬kan dalam banyak bidang kehidupan mereka. Pelaku bisnis yang brilian seringkali gagal dalam kehidupan pribadi mereka. Para at- let yang luar biasa juga seringkali berpikiran dangkal dan berotak udang. Banyak selebritas yang kemungkinan tidak tahu adat, setali tiga uang dengan orang-orang yang menganga melihat mereka dan membuntuti setiap langkah mereka.
Kita semua, sebagian besar, adalah orang-orang biasa saja. Na¬mun hanva mereka yang ekstrem sajalali yang mendapat semua publisitas. Pada dasamya, kita sudah tahu tentang hal ini, tetapi kita jarang memikirkannya dan/atau membicarakannya, dan pasti- nya kira tidak pemah, mendiskusikan mengapa hal ini bisa menjadi sebuah masalah.
Mempunyai Internet, Google, Facebook, YouTube, dan akses ke Ema ratusan saluran televisi sungguh mengagumkan. Namun perhatian kita ada batasnya. Tidak mungkin kita dapat mempro¬ses gelombang pasang informasi yang menerjang kita setiap wak¬tu. Karena itu, satu-satunya yang mampu menerobos dan menarik perhatian kita adalah potongan informasi yang benar-benar istime¬wa—sebesar 99,999 persen.
Sepanjang hari, setiap hari, kita dibanjiri dengan hal-hal yang luar biasa. Terbaik dari yang terbaik. Terburuk dari yang terburuk. Presta- si yang paling memukau. Lelucon yang paling konyol. Berita yang paling mengecewakan. Ancaman yang paling menakutkan. Non-stop.
Hidup kita sekarang ini diisi dengan informasi dari sisi eks¬trem kurva lonceng pengalaman manusia, karena dalam bisnis media, inilah yang menjadi pusat perhatian, dan pusat perhatian menghasilkan uang. Itulah alasan utamanya. Padahal mayoritas kehidupan berada di level tengah yang membosankan. Kehidupan yang tidak istimewa, tapi biasa saja.
Banjir bandang informasi ekstrem ini telah mengkondisikan kita untuk percaya bahwa keistimewaan adalah suatu standar
kenormalan yang baru. Dan karena kita adalah orang yang biasa- biasa saja, luapan informasi yang memuat segala hal yang istimewa ini membuat kita merasa rapuh dan putus asa, karena jelas, kita, bagaimanapun juga, tidak cukup bagus. Jadi semakin lama, kita semakin merasa perlu untuk mendapatkan kompensasi melalui pengistimewaan diri dan aneka ketergantungan. Kita menggunakan satu-satunya cara yang kita tahu benar: entah dengan mengistimewakan diri sendiri atau mengistimewakan orang lain.
Beberapa di antara kita melakukannya dengan cara mengerjakan petuah-petuah cepat kaya. Lainnya dengan melintasi samudera demi meyelamatkan bayi-bayi yang kelaparan di Afrika. Lainnya berusaha tampil menonjol di sekolah dan memenangkan setiap penghargaan. Lainnya dengan menembaki sekolah. Lainnya dengan melakukan seks dengan sembarang makhluk, asalkan bisa bersuara dan bernapas.
Inilah yang menyatukan budaya keistimewaan yang sedang berkembang seperti yang saya bicarakan sebelumnya. Angkatan yang lahir di era milenum sering disalahkan atas pergeseran budaya ini, namun itu sepertinya karena mereka adalah generasi yang paling terlibat dan terlihat. Kenyataannya, kecenderungan ke arah keistimewaan ini muncul hampir di semua komunitas. Dan saya yakin ini terhubung dengan keistimewaan yang didorong oleh media massa.
Masalahnya adalah bahwa menjalarnya teknologi dan pemasaran secara masai menghancurkan banyak harapan orang-orang terhadap diri mereka sendiri. Mengenang suatu keistimewaan membuat orang-orang merasa lebih buruk tentang diri mereka sendiri, membuat mereka merasa bahwa mereka harus menjadi lebih eks
trem, lebih radikal, dan lebih percaya diri, agar bisa diperhatikan atau bisa diperhitungkan.
Ketika saya masih muda, ketidaknyamanan seputar keintiman kian diperburuk dengan semua narasi tentang maskulinitas konyol yang disebarkan melalui budaya pop. Dan beberapa kisah tersebut masih beredar: untuk menjadi seorang pria yang cool, Anda harus ikut party seperti bintang rock; supaya dihormati, Anda harus digilai wanita-wanita; seks adalah hal paling berharga yang harus dicapai oleh para pria, dan karena itu layak untuk mengorbankan apa pun (termasuk martabat Anda sendiri) demi mendapatkannya.
Gempuran omong kosong yang tidak realistis dari media ini menciptakan perasaan ketidaknyamanan dalam diri kita, dengan terlampau sering menampilkan pada kita sebuah standar yang tidak masuk akal dan mustaliil dihidupi. Kita tidak hanya akan merasa terpojok oleh masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan, kita juga merasa seperti pecundang karena dengan satu pencarian sederhana lewat Google saja, akan muncul ribuan orang.tanpa problem yang kita miliki itu.
Teknologi telah menyelesaikan masalah ekonomi di masa lalu dengan memberi kita masalah psikologis barn. Internet bukan hanya menjadi sumber informasi yang dapat diakses oleh siapa saja; ini juga menjadi sumber ketidaknyamanan, keraguan diri, dan rasa malu bagi siapa saja.

T-t-t-tapi, Jika Saya Tidak Akan Menjadi Istimewa atau Luar Biasa, Lantas Apa Gunanya Hidup?

yakinan bahwa kita semua ditakdirkan untuk menjadi sesuatu yang sungguh luar biasa telah menjadi bagian dari budaya yang kita anut sekarang ini. Para pesohor mengatakannya. Taipan bisnis me- ngatakannya. Politikus mengatakannya. Bahkan Oprah mengatakannya (jadi ini pasti benar). Semua orang dan setiap dari antara kita bisa menjadi luar biasa. Kita semua berhak menerima suatu keagungan.
Fakta bahwa pemyataan tersebut secara inheren kontradik- tif—ngomong-ngomong, jika setiap orang luar biasa, artinya tidak ada seorangpun yang luar biasa—Input dari perhatian sebagian besar orang. Dan alih-alih menanyakan apa yang sesungguhnya bisa kita raih dan tidak bisa kita raih, kita telan mentah-mentah pesan tersebut dan masih meminta lebih.
Menjadi “rata-rata” telah dianggap sebagai sebuah standar baru kegagalan. Perhatikan, hal paling buruk yang Anda hadapi adalah berada di tengah-tengah kawanan, di tengah-tengah kurva lonceng. Saat standar kesuksesan suatu budaya adalah dengan “menjadi luar biasa,” maka akan lebih baik berada di sudut bawah kurva lonceng tersebut daripada di tengah, karena di sana, minimal Anda masih dianggap istimewa dan berhak menerima perhatian. Banyak orang memilih startegi ini: untuk membuktikan kepada semua orang bahwa merekalah yang paling menderita, atau yang paling tertindas, atau yang paling menjadi korban.
Banyak orang takut menerima diri mereka yang sedang-sedang saja karena mereka yakin bahwa jika mereka menerimanya, mereka tidak akan pemah mencapai apa pun, tidak pemah berubah jadi lebih baik, dan hidup mereka tidak akan memiliki arti.
Pemikiran semacam ini berbahaya. Begitu Anda menerima premis bahwa suatu kehidupan akan berharga hanya jika benar-benar penting dan besar, maka pada dasamya Anda menerima fakta bahwa sebagian besar populasi manusia (termasuk Anda) payah dan
tidak berharga. Dan pola pikir ini dapat dengan cepat berubah men¬jadi bencana, baik bagi Anda sendiri dan orang lain.
Segelintir orang yang berhasil menjadi unggul di suatu bidang, meraih posisi tersebut bukan karena mereka meyakini diri mereka istimewa. Sebaliknya, mereka menjadi luar biasa karena mereka terobsesi dengan perbaikan. Dan obsesi ini berasal dari keyakinan yang tidak pemah salah bahwa mereka, dalam kenyataannya, sama sekali tidak istimewa. Ini adalah anti-istimewa. Orang-orang yang hebat dalam suatu hal, menjadi hebat karena mereka mengerti bahwa mereka belum benar-benar luar biasa—mereka biasa saja, masuk golongan rata-rata—dan bahwasanya, mereka bisa menjadi jauh lebih baik.
Segala nasihat tentang “setiap orang bisa menjadi luar bi¬asa dan meraih kesuksesan besar” pada dasamya hanyalah menyenang-nyenangkan ego Anda. Ini adalah sebuah pesan yang membuat Anda merasa enak dan lega, namun pada kenyataannya, ini ibarat kalori yang membuat Anda secara emosional gemuk dan membengkak, seperti Big Mac untuk jiwa dan benak Anda.
Tiket untuk meraih kesehatan emosional, sama halnya dengan kesehatan fisik, datang dari sayur-sayuran yang Anda makan— yaitu, menerima kebenaran hidup yang hambar dan biasa: kebe- naran seperti “Tindakan Anda sebenamya tidak berarti banyak dalam keseluruhan perjalanan sejarah” dan “Sebagian besar hidup Anda akan berjalan membosankan dan tidak berharga, dan itu wajar.” Resep sayuran ini akan terasa paliit awalnya. Sangat tidak enak. Anda akan berusaha menghindarinya.
Namun sekali tercema, tubuli Anda akan terbangun dengan perasaan lebih kokoh dan lebih hidup. Setelah itu, tekanan yang * belumnya Anda rasakan akan berubah menjadi sesuatu yang luar biasa, menjadi hal besar berikutnya, akan menopang Anda untuk berdiri tegak. Tekanan dan kecemasan karena selalu merasa tidak cukup dan terus-menerus perlu membuktikan kepada diri Anda sendiri akan menghilang. Dan pengetaliuan serta penerimaan terhadap eksistensi Anda sendiri yang sedang-sedang saja akan benar-benar membebaskan Anda untuk menuntaskan apa yang sungguh ingin Anda selesaikan, tanpa penilaian atau ekspektasi yang muluk-muluk.
Anda akan mampu mengapresiasi pen galaman-pengalaman sederhana di hidup Anda: nikmatnya pertemanan yang simpel, menciptakan sesuatu, membantu seseorang yang membutuhkan, membaca buku bagus, tertawa bersama seseorang yang Anda sayangi.
Terden gar membosankan, bukan? Mungkin karena hal-hal semacam ini biasa saja. Namun juga mungkin karena satu alasan: itulah yang benar-benar berarti.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02