The Innovators - Walter Isaacson - 01



    Komputer dan Internet tergolong temuan terpenting pada zaman kita. Namun, hanya segelintir orang yang mengetahui siapa pencipta keduanya. Komputer dan Internet tidak diciptakan begitu saja di loteng atau garasi oleh seorang penemu yang bisa digadang-gadang di sampul majalah atau dimuliakan sejajar dengan Edison, Bell, dan Morse.
Sebaliknya, kebanyakan inovasi pada era digital justru hasil kolaborasi. Banyak orang hebat yang terlibat di dalamnya, sebagian panjang akal dan segelintir di antaranya sangat genius. Buku ini memaparkan kisah para pionir, peretas, penemu, dan wirausahawan—siapa saja mereka, bagaimana cara pikirnya, dan apa latar belakang kreativitasnya yang menakjubkan. Buku ini juga menarasikan cara mereka berkolaborasi dan apa sebabnya kerja sama tim justru membuat mereka semakin kreatif.
Kerja sama tim penting untuk diceritakan karena kita jarang menyoroti betapa sentralnya aspek itu dalam inovasi. Ada ribuan biografi yang berisi puja-puji, atau mitologi, tentang seorang penemu. Saya sendiri sempat membuat buku semacam itu. Coba masukkan kata “penemu” di kotak pencari Amazon dan Anda niscaya mendapatkan 1.860 buku sebagai hasilnya. Namun, kisah tentang kreativitas kolaboratif jarang dibukukan. Padahal, Revolusi Teknologi dewasa ini justru dibentuk oleh kolaborasi. Selain itu, kisah tentang kreativitas kolaboratif bisa jadi lebih menarik.
Saking seringnya kita membicarakan inovasi akhir-akhir ini, kata tersebut menjadi semacam slogan belaka yang artinya tidak jelas. Itu sebabnya, dalam buku ini saya bermaksud memaparkan proses lahirnya inovasi yang sebenar-benarnya di dunia nyata. Bagaimanakah para inovator paling imajinatif pada masa kita mewujudkan ide-ide nyeleneh? Saya memfokuskan kajian pada belasan terobosan paling signifikan pada era digital berikut para pembuatnya. Apa saja dasar kreativitas mereka? Keterampilan apa yang paling bermanfaat? Bagaimana cara mereka memimpin dan berkolaborasi? Mengapa sebagian sukses, sedangkan yang lain gagal?
Saya juga menelaah atmosfer sosiokultural di balik aneka inovasi. Era digital, misalnya saja, lahir di tengah ekosistem riset yang dipupuk oleh belanja pemerintah dan dikelola dengan kolaborasi militer-industri-akademisi. Ekosistem tersebut pun diramaikan ikatan longgar yang terdiri atas aktivis akar rumput, hippie yang peduli komunitas, penggemar elektronik yang hobi merakit barang sendiri, serta peretas autodidak yang sebagian besar curiga kepada pemegang otoritas sentralistis.
Dalam penulisan sejarah, satu kejadian dapat dijelaskan dengan penekanan yang berbeda-beda. Contohnya sejarah Mark I, komputer elektromekanis pertama buatan Harvard/IBM. Salah seorang programmer-nya, Grace Hopper, menulis sejarah yang difokuskan pada sang penemu utama, Howard Aiken. IBM menangkis dengan sejarah yang menekankan arti penting para insinyur anonim perusahaan itu, yang berkat beragam inovasi kecil-kecilan—dari pencacah (counter) sampai card feeder—telah ikut menyumbangkan komponen penyusun mesin tersebut.
Perdebatan seputar peran individu hebat versus arus sosiokultural dalam menggiring jalannya sejarah memang bukan masalah baru. Pada pertengahan abad ke-19 Thomas Carlyle menyatakan, “Apalah sejarah dunia jika bukan biografi orang-orang hebat,” sedangkan Herbert Spencer menanggapi dengan teori yang menggarisbawahi arti penting kekuatan sosial. Para akademisi dan pelaku sejarah kerap tidak sepakat dalam menilai perimbangan tersebut.
“Sebagai seorang profesor, saya cenderung beranggapan bahwa sejarah disetir oleh kekuatan-kekuatan impersonal,” kata Henry Kissinger kepada para wartawan selagi menjalani misi diplomatik di Timur Tengah pada 1970-an. “Tetapi, pada praktiknya, kita melihat sosok pribadi dapat mengubah (jalannya sejarah).”1 Sama seperti dalam upaya perdamaian di Timur Tengah, inovasi era digital merupakan buah dari macam-macam kekuatan personal dan kultural. Adalah tujuan saya untuk merangkai yang personal dan yang impersonal itu menjadi satu narasi utuh dalam buku ini.
Internet awalnya dibuat untuk memfasilitasi kolaborasi. Sebaliknya, personal computer (PC), terutama yang ditujukan buat penggunaan di rumah, dirancang guna mengakomodasi kreativitas individual. Selama lebih dari satu dasawarsa, semenjak awal 1970-an, kemajuan di bidang jaringan komputer dan PC berjalan sendiri-sendiri, tidak terkait antara satu dan yang lain.
Perkembangan di kedua bidang ini baru bersinggungan pada akhir 1980-an, berkat munculnya modem, penyedia jasa Internet, dan World Wide Web. Sama seperti perkawinan antara mesin uap dan mesin-mesin inovatif yang melahirkan Revolusi Industri, perkawinan antara komputer dan jaringan terdistribusi Internet mencetuskan Revolusi Digital sehingga siapa pun kini bisa menciptakan, menyebarluaskan, dan mengakses informasi dari mana saja.
Para sejarawan sains terkadang enggan membubuhkan istilah revolusi untuk era perubahan besar-besaran karena menganggap kemajuan sebagai proses yang evolusioner. “Buku ini memaparkan rangkaian kejadian yang kerap disebut ‘Revolusi Sains’—istilah yang salah kaprah karena yang namanya ‘Revolusi Sains’ itu tidak ada,” demikianlah kalimat pembuka nan pedas dalam buku karya profesor Harvard, Steven Shapin, mengenai periode itu.
Untuk mengelak dari kontradiksi yang setengah serius-setengah bercanda, Shapin mencatat, para pelaku utama dalam periode itu “secara menggebu-gebu mengekspresikan pendapat” bahwa mereka tengah ambil bagian dalam revolusi. “Kita memersepsikan telah terjadi perubahan radikal karena para pelaku sejarah berpendapat demikian.”2
Layaknya pelaku sejarah, kebanyakan dari kita dewasa ini merasa kemajuan digital sepanjang setengah abad terakhir telah mengubah cara hidup secara mendasar—menghasilkan revolusi, bukan sekadar transformasi. Saya pribadi ingat betapa antusiasnya saya tiap kali terobosan baru tercapai. Sama seperti banyak tokoh di dalam buku ini, saya gemar menyolder papan sirkuit, membongkar radio, menguji tabung vakum, atau mengotak-atik transistor dan resistor di bengkel bawah tanah semenjak kanak-kanak dan remaja gara-gara ketularan ayah dan paman saya yang insinyur elektro. Sebagai seorang maniak elektro yang menggandrungi Heathkit dan radio amatir (WA5JTP), saya ingat kapan tabung vakum digantikan oleh transistor.
Semasa kuliah saya belajar melakukan pemrograman dengan kartu berlubang, dan saya masih ingat betapa batch processing yang membuat frustrasi digantikan oleh interaksi langsung yang menggairahkan. Pada 1980-an saya kegirangan mendengar derit dan dengung modem kala tersambung ke jaringan yang membukakan pintu ke dunia ajaib layanan daring dan forum diskusi.
Sedangkan pada awal 1990-an, saya sempat ikut mengelola divisi digital di Time dan Time Warner, yang meluncurkan inovasi anyar berupa World Wide Web serta layanan Internet broadband. Menyitir kata-kata Wordsworth mengenai para simpatisan yang hadir pada awal Revolusi Prancis, “Bahagia nian rasanya hidup pada kala fajar.”
Saya mulai menggarap buku ini lebih dari sedasawarsa silam. Cikal bakalnya ialah kekaguman saya terhadap kemajuan era digital yang saya saksikan sendiri dan penulisan biografi Benjamin Franklin, seorang inovator, penemu, penerbit koran, pelopor jasa pos, wirausahawan, dan pakar networking. Saya ingin beranjak dari penulisan biografi, yang cenderung menyoroti peran individu, dan kembali ke kajian tentang kolaborasi seperti The Wise Men—buku tentang kerja sama kreatif enam kawan dalam membentuk kebijakan Perang Dingin AS—yang saya tulis dengan seorang rekan.
Saya mula-mula berencana untuk berkonsentrasi pada tim yang menciptakan Internet. Namun, dalam wawancara dengan Bill Gates, dia meyakinkan saya bahwa kisah tentang kemajuan serempak Internet dan PC tentu lebih kaya dan bernas. Saya mengesampingkan buku ini untuk sementara pada awal 2009 demi mengerjakan biografi Steve Jobs. Namun, riwayat hidup Jobs semata-mata memperbesar minat saya merunut keterkaitan antara perkembangan Internet dan komputer sehingga, seusai menggarap buku tersebut, saya langsung kembali ke buku ini, kembali merumuskan kisah mengenai para inovator era digital.
Protokol Internet dirancang oleh kolaborasi peer-to-peer dan hasilnya pun secara inheren sangat pas untuk memfasilitasi kolaborasi serupa. Tiap jaringan memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan dan menyebarluaskan informasi, sedangkan upaya memaksakan kontrol atau hierarki akan serta-merta ditampik dan diakali.
Tanpa bermaksud menyamakan teknologi dengan manusia—yang mempunyai kepribadian dan tujuan—saya rasa tidak keliru apabila kita menyimpulkan sistem jaringan terbuka yang terdiri atas komputer yang dikendalikan oleh individu (mirip dengan mesin cetak di Eropa pada abad ke-16) berpotensi merebut distribusi informasi dari para pemangku kekuasaan, pemegang otoritas pusat, serta institusi yang mempekerjakan kerani dan juru propaganda. Intinya, menjadi lebih mudah bagi orang biasa untuk menciptakan dan berbagi konten.
Kolaborasi yang melahirkan era digital bukan hanya terjadi antar-rekan sebaya, melainkan juga antargenerasi. Ide diwariskan dari satu jajaran inovator ke jajaran berikutnya. Tema lain yang mengemuka dalam penelusuran saya ialah kreativitas pengguna dalam mengooptasi inovasi digital, yang kemudian mereka manfaatkan untuk menjembatani komunikasi dan interaksi sosial.
Hal yang juga menarik menurut saya ialah kemajuan di bidang kecerdasan buatan—cita-cita untuk menciptakan mesin yang bisa berpikir sendiri lebih tepatnya—relatif mandek, kontras dengan banyaknya cara baru untuk menjalin kemitraan atau simbiosis antara manusia dan mesin. Dengan kata lain, kolaborasi antara mesin dan manusia pun salah satu bentuk kolaborasi kreatif yang menjadi ciri khas era digital.
Hal terakhir yang membuat saya terkesan ialah betapa kreativitas sejati pada era digital dicetuskan oleh orang-orang yang mampu menghubungkan seni dengan sains. Mereka meyakini keindahan itu penting. “Semasa kanak-kanak, saya menganggap diri saya ini orang humaniora, tetapi saya suka elektro,” kata Jobs saat saya mengerjakan biografinya. “Kemudian, saya membaca bahwa salah seorang idola saya, Edwin Land, pendiri Polaroid, mengatakan bahwa orang-orang yang mampu berdiri di persimpangan antara humaniora dan sains memegang arti penting. Saya lantas memutuskan itulah yang ingin saya lakukan.” Orang-orang yang nyaman berdiri di persimpangan humaniora-teknologi berperan dalam menciptakan simbiosis manusia-mesin yang menjadi inti kisah ini.
Sama seperti banyak aspek dari era digital, pemahaman bahwa inovasi bersemayam di persinggungan antara seni dan sains bukanlah wacana baru. Leonardo da Vinci adalah contoh orang kreatif yang subur berkarya pada area persilangan antara ilmu humaniora dan ilmu alam. Ketika sedang pusing mengerjakan risalah Relativitas Umum, Einstein kerap mengambil biola dan memainkan komposisi Mozart sampai dia bisa kembali menghubungkan diri ke—menurut istilah Einstein sendiri—harmoni antara ranah-ranah yang berlainan.

Terkait komputer, ada seorang tokoh historis, tidak setenar da Vinci atau Einstein, yang mengejawantahkan perpaduan antara seni dan sains. Sebagaimana ayahnya yang terkenal, wanita tersebut memahami romantisme puisi. Lain dengan sang ayah, dia juga mafhum akan romantisme matematika dan mesin. Dari tokoh tersebutlah cerita ini berawal.
 

 Ada, Countess of Lovelace (1815–1852), dilukis oleh Margaret Sarah Carpenter pada 1836.


 Lord Byron (1788–1824), ayah Ada, mengenakan busana tradisional Albania, dilukis oleh Thomas Philips pada 1835.


 Charles Babbage (1791–1871), potret dibuat kira-kira pada 1837.



SAINS YANG PUITIS
Mei 1833, sewaktu usianya 17 tahun, Ada Byron termasuk salah seorang perempuan muda yang, sesuai tradisi saat itu, diperkenalkan di lingkungan istana Inggris. Keluarganya sempat cemas kalau-kalau Ada tidak bisa membawa diri karena wataknya yang emosional dan independen. Namun, menurut sang ibu, gadis itu ternyata bersikap “lumayan sopan”. Dari sekian banyak orang yang Ada temui malam itu, dua di antaranya adalah Duke of Wellington, yang sifat blakblakannya dikagumi oleh gadis tersebut, dan Duta Besar Prancis berumur 79 tahun, Talleyrand, yang dia juluki “monyet tua”.1
Sebagai anak sah satu-satunya dari pujangga Lord Byron, Ada mewarisi jiwa romantis ayahnya. Konon untuk memperlunak sifat tersebut, ibunya menyuruh dia belajar matematika. Demikianlah, Ada tumbuh besar dengan kecintaan terhadap “sains yang puitis”, istilah rekaan imajinasinya yang liar untuk menggambarkan betapa indahnya angka-angka. Bagi banyak orang, termasuk ayahnya sendiri, sentimen Romantisisme yang berkelas tidak dapat diakurkan dengan semangat pasaran tekno-industri era Revolusi Industri. Walau begitu, Ada rupanya merasa nyaman di persimpangan kedua zaman.
Alhasil, tidaklah mengherankan jika kunjungan perdana Ada ke istana yang glamor ternyata kurang berkesan ketimbang kehadirannya beberapa minggu berselang dalam acara penting lain di London, ketika berjumpa dengan Charles Babbage, duda 41 tahun yang merupakan ilmuwan dan matematikawan termasyhur serta terpandang di kalangan atas London. “Ada lebih senang dalam pesta yang dia hadiri pada Rabu ketimbang saat berada di tengah-tengah para aristokrat,” ibunya bercerita kepada seorang teman. “Di sana dia bertemu sejumlah tokoh sains—salah seorangnya adalah Babbage, yang sangat dia sukai.”2
Arisan mingguan Babbage, yang bisa dihadiri sampai tiga ratus tamu, mempersatukan para bangsawan yang mengenakan jas berekor dan para wanita terhormat bergaun brokat dengan penulis, industrialis, penyair, aktor, negarawan, penjelajah, ahli botani, dan ilmuwan—alias “scientist”, istilah yang baru-baru saja dicetuskan oleh teman Babbage.3 Dengan mendatangkan para cendekiawan sains ke tengah-tengah lingkup pergaulan terpandang, Babbage—menurut seorang geolog terkemuka—“berhasil meninggikan derajat sains di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana seharusnya”.4
Pesta-pesta tersebut dimeriahkan dansa-dansi, pembacaan buku dan puisi, permainan, kuliah, serta sajian berupa macam-macam hidangan laut, daging sapi, dan ayam hutan, minuman eksotis, serta sajian penutup yang manis berlabur es. Para wanita menggelar tableaux vivants, yakni reka ulang lukisan-lukisan terkenal. Para ahli astronomi memajang teleskop. Para peneliti memamerkan alat-alat ajaib yang bekerja berdasarkan prinsip kelistrikan dan kemagnetan. Sementara itu, Babbage memperkenankan para tamu untuk memainkan boneka-boneka mekanisnya.
Daya tarik utama pestanya—dan satu dari sekian banyak alasan Babbage mengundang tamu-tamu tersebut—adalah demonstrasi model Mesin Selisih, alat hitung mekanis raksasa yang tengah dia rakit di dalam bangunan tahan api di samping rumahnya. Babbage memamerkan model tersebut secara dramatis, memutar lengan mesin untuk mengalkulasikan sederet bilangan dan, tepat saat hadirin mulai bosan, menunjukkan betapa pola bilangan bisa berubah mendadak, mengikuti instruksi yang dimasukkan ke mesin.5 Orang-orang yang kelihatannya paling tertarik akan diundang ke halaman untuk selanjutnya masuk ke bekas istal, tempat mesin yang utuh sedang dirakit.
Mesin Selisih Babbage, yang dapat memecahkan persamaan polinomial, menghasilkan kekaguman yang berlainan bagi orang-orang. Duke of Wellington berkomentar bahwa mesin itu bisa bermanfaat untuk menganalisis macam-macam variabel yang mungkin dihadapi oleh seorang panglima sebelum terjun ke pertempuran.6 Ibu Ada, Lady Byron, memuji alat tersebut sebagai “mesin yang bisa berpikir”.
Ada kelak mengatakan bahwa mesin tidak bisa berpikir dalam arti sebenarnya. Namun, menurut pengamatan seorang kawan yang ikut dengan mereka ke acara demonstrasi, “Nona Byron, sekalipun masih belia, memahami cara kerja mesin tersebut dan mafhum bahwa kreasi tersebut luar biasa indah.”7
Berkat kecintaan terhadap puisi dan matematika, Ada mampu mengapresiasi indahnya mesin komputasi. Ada merupakan anak zamannya, era Romantisisme sains yang dicirikan antusiasme puitis akan inovasi dan penemuan. Pada periode itu, “Imajinasi dan kegairahan menggebu-gebu merupakan bagian tak terpisahkan dari kerja ilmiah,” demikian tulisan Richard Holmes dalam The Age of Wonder. “Yang mendorong penemuan baru ialah komitmen pribadi yang intens, bahkan gegabah.”8
Singkatnya, zaman itu tidak lain-lain amat dengan era kita sekarang. Kemajuan Revolusi Industri, termasuk munculnya temuan baru seperti mesin uap, mesin tenun mekanis, dan telegraf, mengubah abad ke-19 sebagaimana Revolusi Digital—dengan temuan seperti komputer, sirkuit terpadu, dan Internet—mengubah era kita. Di jantung kedua era itu berdirilah para inovator yang memadukan imajinasi dan renjana dengan teknologi mumpuni, racikan yang Ada sebut sebagai “sains yang puitis” dan didapuk oleh penyair abad ke-20, Richard Brautigan, sebagai “mesin maha pengasih”.

LORD BYRON
Ada mewarisi temperamen yang puitis dan tak bisa diatur dari ayahnya, tetapi kecintaan terhadap mesin bukanlah turunan dari Lord Bryon. Malahan, ayah Ada sejatinya seorang Luddite—kubu yang menentang industrialisasi, otomatisasi, komputerisasi, dan teknologi baru secara umum. Dalam pidato perdana di House of Lords pada Februari 1812, pada usia 24 tahun, Byron membela para pengikut Ned Ludd, yang merusak mesin-mesin tenun mekanis.
Byron dengan sarkastis mengejek para pemilik pemintalan di Nottingham yang mengajukan rancangan undang-undang supaya penghancuran mesin tenun otomatis dikategorikan sebagai tindak kriminal yang dapat dijatuhi hukuman mati. “Mesin-mesin tersebut menguntungkan mereka karena mereka lantas tidak perlu mempekerjakan buruh banyak-banyak,” Byron menyatakan. “Karena dibutakan oleh ketidaktahuan, alih-alih bersukacita menyambut perkembangan yang begitu bermanfaat bagi umat manusia, para buruh yang menganggur dan dibayang-bayangi ancaman kelaparan itu menganggap diri mereka dikorbankan demi kemajuan.”
Dua pekan berselang Byron menerbitkan dua kanto pertama syair wiracaritanya, “Childe Harold’s Pilgrimage”. Syair ini berisi kisah yang didramatisasi mengenai perjalanannya ke Portugal, Malta, serta Yunani, dan sebagaimana komentarnya kelak, “Aku terbangun suatu pagi dan mendapati diriku sontak terkenal.”
Rupawan, menggoda, galau, pemurung, dan menggemari petualangan seksual, Lord Byron menjalani hidup bak arketipe pahlawan yang dia ciptakan dalam puisinya. Dia dipuja-puji oleh para penggiat dan penggila sastra di London serta diagung-agungkan sebagai tamu kehormatan dalam pesta tiga kali sehari—yang paling lain daripada yang lain ialah pesta dansa pagi mewah yang digelar oleh Lady Caroline Lamb.
Lady Caroline, sekalipun sudah menikah dengan seorang aristokrat yang berpengaruh secara politik dan kelak menjadi perdana menteri, jatuh cinta setengah mati kepada Byron. Sang penyair berpendapat bahwa Lady Caroline “terlalu kurus”, tetapi wanita itu memiliki penampilan androgini (dia gemar berpakaian seperti anak laki-laki) yang menurut Byron menggairahkan. Mereka menjalin asmara yang berapi-api dan setelah perselingkuhan tersebut kandas, Lady Caroline memata-matai Byron dengan obsesif. Wanita tersebut konon pernah mengatakan bahwa Byron “sinting, bengal, dan berbahaya untuk dikenal”. Deskripsi itu sebenarnya berlaku pula bagi Lady Caroline sendiri.
Dalam pesta Lady Caroline, Lord Byron memperhatikan kehadiran seorang perempuan muda pendiam yang, kenangnya, “berbusana lebih sederhana”. Annabella Milbanke, 19 tahun, berasal dari keluarga kaya dengan sejibun gelar. Pada malam sebelum pesta Annabella sempat membaca “Childe Harold” dan tidak bisa memuji karya tersebut sepenuh hati. “Paparannya terlampau bombastis,” tulis Annabella. “Keahliannya menguraikan perasaan yang mendalam hingga sedetail mungkin.”
Saat melihat Byron di seberang ruangan dalam pesta, perasaannya ternyata campur aduk. “Aku tidak ingin susah payah berkenalan dengannya. Sebab, semua perempuan berlomba-lomba untuk memikat hatinya dan mendambakan lecutan satirenya,” tulis Annabella dalam surat untuk ibunya. “Aku tidak menghasratkan tempat di dalam syairnya. Aku tidak mempersembahkan diri ke kuil Childe Harold, tetapi aku takkan menolak perkenalan jika kesempatan itu datang kepadaku.”9
Kesempatan tersebut ternyata memang datang. Setelah diperkenalkan secara resmi dengan Annabella, Byron memutuskan wanita muda itu mungkin cocok sebagai istrinya. Jarang-jarang Lord Byron mendahulukan nalar ketimbang romantisisme seperti ini. Alih-alih membakar hasratnya, Annabella tipe perempuan yang lebih mungkin menjinakkan dan mengekang kebiasaan Byron yang berlebih-lebihan—sekaligus membayar utangnya yang bertumpuk. Byron melamar Annabella setengah hati lewat surat. Dengan bijak dia menolak.
Byron kemudian menjalani aneka petualangan cinta yang tidak pantas, salah satunya dengan kakak tirinya, Augusta Leigh. Namun, setelah setahun, Annabella menyambung kembali hubungan asmara mereka. Byron, yang sudah semakin terjerat utang, melihat bahwa hubungan dengan Annabella, kalaupun tidak romantis, setidaknya merupakan solusi ampuh bagi masalah keuangannya.
“Satu-satunya yang dapat menyelamatkan saya ialah pernikahan secepatnya,” dia mengakui kepada bibi Annabella. “Jika keponakan Anda bersedia, saya akan memilihnya; jika tidak, perempuan mana pun yang kelihatannya takkan meludahi saya juga boleh.”10 Lord Byron sang penyair Romantik ternyata tidak selalu romantis. Dia dan Annabella menikah pada Januari 1815.
Sang penyair menginisiasi perkawinannya dengan hasrat menggebu-gebu yang khas. “Meniduri Lady Byron di sofa sebelum makan malam,” tulisnya mengenai kejadian pada hari pernikahan mereka.11 Hubungan keduanya masih terjalin ketika mengunjungi kakak tiri Byron dua bulan kemudian karena Annabella hamil kira-kira saat itu. Namun, pada kunjungan inilah Annabella mulai curiga hubungan suaminya dengan Augusta lebih dari sekadar kakak-adik, terutama setelah Byron tidur-tiduran di sofa dan meminta kedua wanita tersebut menciuminya bergiliran.12 Demikianlah, pernikahan mereka mulai memburuk.
Annabella memperoleh pelajaran Matematika semasa belia, fakta yang membuat Lord Byron geli. Pada masa pendekatan dengan Annabella, Byron sempat berkelakar mengenai ketidaksukaannya pada sifat pasti bilangan. “Aku tahu dua tambah dua sama dengan empat—dan akan dengan senang hati membuktikannya jika aku bisa,” tulis Byron, “namun harus kukatakan apabila aku bisa mengubah dua tambah dua menjadi lima, proses itu akan jauh lebih menggembirakan bagiku.”
Pada masa awal hubungan mereka, Byron memberi Annabella julukan sayang “Putri Jajaran Genjang”. Namun, ketika perkawinan mereka mulai memburuk, Byron meralat gambaran matematika tersebut, “Kita adalah dua garis sejajar yang ditakdirkan untuk berdampingan selamanya tanpa pernah bertemu.” Belakangan dalam kanto pertama syair wiracaritanya, “Don Juan”, Byron mengolok-olok sang istri, “Matematika adalah ilmu kesukaannya .... Langkahnya selalu penuh perhitungan.”
Pernikahan tersebut tidak selamat meski putri mereka lahir pada 10 Desember 1815. Sang putri dinamai Augusta Ada Byron. Nama depan sang anak sama dengan kakak tiri yang kelewat dicintai oleh Byron. Ketika Lady Byron yakin akan kebejatan suaminya, dia hanya mau memanggil putrinya dengan nama tengahnya. Lima minggu kemudian Annabella mengangkut semua barang ke kereta kuda dan pulang ke rumah orangtuanya di desa bersama Ada yang masih bayi.
Ada tidak pernah melihat ayahnya lagi. Lord Byron meninggalkan Inggris pada April 1816 setelah Lady Byron, dalam surat yang demikian penuh perhitungan sampai-sampai dia memperoleh julukan “Medea Matematis”, mengancam akan membongkar skandal inses dan homoseksual suaminya agar mendapatkan hak asuh anak selepas perceraian.13

Pembukaan kanto III “Childe Harold”, yang ditulis beberapa pekan berselang, menyiratkan bahwa Ada sumber inspirasi Byron:

Apakah wajahmu mirip ibumu, wahai anakku manis?
Ada putriku satu-satunya, satu-satunya kesayangan hatiku!
Mata beliamu bersinar-sinar biru kali terakhir aku melihatmu,
Dan kemudian, terpisahkanlah kita.

Byron menulis larik-larik ini dalam vila di pinggir Danau Jenewa, tempatnya tinggal bersama penyair Percy Bysshe Shelley dan wanita yang kelak menjadi istri Shelley, Mary. Hujan turun terus-menerus. Untuk melipur jemu karena terperangkap di dalam rumah selama berhari-hari, Byron mengusulkan agar mereka menulis cerita horor. Byron menelurkan kisah vampir, salah satu karya sastra pertama mengenai makhluk tersebut. Namun, yang menjadi cerita klasik ialah gubahan Mary: Frankenstein, or The Modern Prometheus.
Meramu ulang mitologi Yunani mengenai pahlawan yang membuat manusia hidup dari tanah liat dan mencuri api dewa-dewi supaya dapat digunakan oleh orang-orang, Frankenstein berkisah tentang ilmuwan yang merakit potongan tubuh dan, dengan daya kejut listrik, menghidupkannya menjadi sosok yang bisa berpikir. Parabel ini mewanti-wanti pembaca mengenai risiko sains dan teknologi. Kisah tersebut juga memunculkan pertanyaan yang kerap dikaitkan dengan Ada: bisakah mesin buatan manusia berpikir dalam arti yang sebenar-benarnya?
Kanto ketiga “Childe Harold” ditutup dengan prediksi Byron bahwa Annabella akan berusaha mencegah Ada untuk mengenal ayahnya, prediksi yang ternyata tepat. Potret Lord Byron terpampang di rumah mereka, tetapi Lady Byron senantiasa menutupi lukisan tersebut dan Ada baru melihat potret ayahnya ketika sudah berusia 20 tahun.14
Sebaliknya, Lord Byron menyimpan potret Ada di mejanya ke mana pun dia pergi. Surat-suratnya sering kali berisi permintaan mengenai kabar atau potret terbaru putrinya. Ketika sang putri berusia 7 tahun, Byron menulis kepada Augusta, “Kuharap kau bisa mencari-cari keterangan mengenai watak Ada dari Lady B .... Apakah anak perempuan itu imajinatif? .... Apakah dia menggebu-gebu dalam mengungkapkan perasaan? Jadi apa pun dia, aku tidak keberatan, asalkan tidak puitis—orang bodoh yang seperti itu cukup satu saja dalam keluarga kita.” Lady Byron menuturkan bahwa Ada gemar “mengkhayalkan mesin yang fungsinya macam-macam”.15
Kira-kira saat itulah Byron, yang telah mengembara keliling Italia sambil terus menulis dan melalui sekian banyak perselingkuhan, merasa bosan dan akhirnya memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Yunani yang berjuang merebut kemerdekaan dari Kesultanan Turki Utsmani. Dia berlayar ke Missolonghi dan di sana mengemban tugas sebagai komandan pasukan pemberontak yang bersiap-siap menyerang benteng Turki.
Akan tetapi, sebelum sempat terjun ke dalam pertempuran, dia terkena demam parah, yang semakin memburuk setelah dibekam oleh dokter. Lord Byron meninggal pada 19 April 1824. Menurut pelayan pribadinya, salah satu pesan terakhir Byron, “Oh, anakku tersayang yang malang! Ada-ku sayang! Ya, Tuhan, andai aku dapat melihatnya! Sampaikan salam sayangku kepadanya.”16
ADA
Agar Ada tidak menjadi seperti ayahnya, Lady Byron menyuruh putrinya tekun belajar matematika, seolah-olah matematika merupakan obat penawar imajinasi puitis nan beracun. Pada usia yang baru 5 tahun, Ada menunjukkan minat lebih pada bidang geografi. Namun, Lady Byron memerintahkan agar geografi diganti dengan pelajaran aritmetika tambahan. Tidak lama kemudian, pengasuh Ada dengan bangga melaporkan, “Dia sudah bisa menjumlahkan bilangan hingga lima atau enam baris secara akurat.”
Kendati berbagai upaya pencegahan sudah dikerahkan, perilaku Ada masih saja menyerupai ayahnya. Ketika berusia belasan tahun, Ada sempat menjalin asmara dengan salah seorang tutornya dan, selepas mereka ketahuan serta sang tutor diusir, Ada sempat mencoba kabur dari rumah agar bisa bersama pria tersebut. Selain itu, emosi Ada kerap mengalami pasang surut secara dramatis—kegembiraan yang meluap-luap bisa berubah menjadi keputusasaan dalam sekejap—dan dia menderita berbagai penyakit, baik secara fisik maupun psikologis.
Ada menerima keyakinan ibunya bahwa karakter turunan Byron dapat dijinakkan dengan menceburkan diri ke dalam matematika. Selepas perselingkuhan berbahaya dengan tutornya, dan terinspirasi Mesin Selisih Babbage, Ada memutuskan, pada usia 18 tahun, untuk mempelajari cabang-cabang matematika secara lebih giat.
“Saya harus berhenti menginginkan kehidupan yang tujuannya semata-mata demi mencari kesenangan atau memuaskan diri sendiri,” tulis Ada dalam surat untuk tutor barunya. “Saya merasa satu-satunya cara untuk mengendalikan imajinasi saya yang liar ialah dengan mempelajari kajian ilmiah secara saksama dan sungguh-sungguh .... Yang pertama tebersit di benak saya ialah belajar matematika.”
Sang tutor setuju dengan resep tersebut. “Anda benar bahwa telaah intelektual yang disiplin merupakan solusi dan pelindung terbaik Anda saat ini. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak ada bidang yang lebih unggul daripada matematika.”17 Tutornya meresepkan geometri Euklides, dilanjutkan dengan trigonometri dan aljabar. Obat itu semestinya mujarab. Demikianlah yang diyakini oleh mereka berdua untuk menyembuhkan siapa saja dari gairah artistik dan romantis yang berlebihan.
Minat Ada terhadap teknologi tumbuh saat ibunya mengajak berkeliling kawasan industri Britania untuk melihat berbagai pabrik dan mesin anyar. Ada paling terkesan dengan mesin tenun otomatis yang menggunakan kartu berlubang untuk menghasilkan kain dengan motif-motif tertentu, dan dia menggambar sketsa mekanisme alat tenun tersebut.
Pidato terkenal ayahnya di House of Lords berisi pembelaan atas kaum Luddite yang menghancurkan mesin semacam itu karena takut akan dampak teknologi terhadap umat manusia. Namun, Ada justru memuji-muji mesin tenun otomatis dan membayangkannya sebagai cikal bakal mesin serbaguna—yang kelak kita sebut komputer. “Mesin ini mengingatkanku pada Babbage dan (Mesin Selisih) yang hebat,” tulis Ada.18
Ketertarikan Ada pada sains terapan semakin terstimulasi ketika bertemu dengan satu dari segelintir matematikawan dan ilmuwan terkemuka Britania, Mary Somerville. Somerville baru saja rampung menulis salah satu adikaryanya, On the Connexion of the Physical Sciences, yang menguraikan keterkaitan antara perkembangan astronomi, optika, kelistrikan, kimia, fisika, botani, dan geologi.*1
Sebagaimana yang sedang tren pada zamannya, wacana Somerville membungkus seluruh temuan luar biasa yang bermekaran ketika itu ke dalam satu kesatuan. Dia menyatakan dalam kalimat pembuka, “Perkembangan sains modern, terutama dalam lima tahun terakhir ini, patut kita soroti karena keberhasilannya dalam menyederhanakan hukum alam dan mempersatukan bidang-bidang yang berlainan di bawah payung berupa prinsip-prinsip umum.”
Somerville menjadi teman, guru, pemberi inspirasi, dan mentor bagi Ada. Somerville bertemu Ada secara rutin, mengiriminya buku-buku matematika, mengajukan persoalan untuk dipecahkan, dan dengan sabar menjelaskan jawaban yang benar. Somerville juga berkawan baik dengan Babbage serta, pada musim gugur 1834, dia dan Ada kerap menyambangi pesta malam Sabtu yang digelar oleh Babbage. Putra Somerville, Woronzow Greig, membantu menjodohkan Ada dengan menyebutkan kepada mantan teman seangkatannya di Cambridge bahwa Ada Byron barangkali cocok—atau menarik, setidak-tidaknya—sebagai istri.
William King adalah pria yang terpandang secara sosial, mapan secara ekonomi, lumayan pintar, dan memiliki sifat pendiam yang sepadan dengan sifat emosional Ada. Sama seperti Ada, William mempelajari sains, tetapi fokusnya lebih praktis dan kurang puitis. Minat utama William ialah teori rotasi tanaman pangan dan kemajuan dalam teknik pembudidayaan hewan. Baru beberapa minggu berkenalan dengan Ada, William sudah mengajaknya menikah. Lamaran itu serta-merta diterima oleh Ada.
Ibu Ada, dilatarbelakangi motif yang hanya dapat dipahami oleh psikiater, memutuskan William harus diberi tahu mengenai percobaan Ada untuk kawin lari dengan tutornya. Kabar ini tidak menyurutkan niat William menikahi Ada pada Juli 1835. “Tuhan Maha Pengasih, yang telah bermurah hati memberimu kesempatan untuk meninggalkan jalan yang bertabur onak dan duri, kini memberimu seorang teman dan pelindung,” tulis Lady Byron dalam surat untuk sang putri, sekaligus menambahkan bahwa Ada mesti memanfaatkan peluang itu untuk “mengucapkan selamat tinggal” pada semua “keganjilan, keplinplanan, dan keegoisanmu”.19
Pernikahan tersebut didasari hitung-hitungan yang rasional. Bagi Ada, perkawinan itu membukakan pintu ke kehidupan yang lebih mapan dan stabil serta, yang lebih penting, memberinya kesempatan untuk melarikan diri dari kebergantungan pada ibunya yang berkepribadian dominan. Bagi William, menikahi Ada berarti memiliki istri yang menarik dan eksentrik dari keluarga kaya nan terkenal.
Sepupu Lady Byron, Viscount Melbourne (yang sialnya pernah menikah dengan Lady Caroline Lamb, yang saat itu sudah meninggal), menjabat sebagai perdana menteri. Dalam daftar penerima anugerah kebangsawanan untuk merayakan penobatan Ratu Victoria, dia membubuhkan nama William yang akan digelari Earl of Lovelace. Dengan demikian, istrinya menjadi Ada, Countess of Lovelace. Sejak saat itu, dia disebut sebagai Ada atau Lady Lovelace, kendati kini lazim dikenal sebagai Ada Lovelace.
Natal 1835, Ada menerima lukisan ayahnya yang seukuran asli dari sang ibu. Dilukis oleh Thomas Philips, potret itu menggambarkan Lord Byron dalam pose menyamping, mengenakan busana tradisional Albania berupa jas beledu merah dan tutup kepala, dengan pedang seremonial. Selama bertahun-tahun dipajang di atas rak perapian di rumah kakek-nenek Ada, potret tersebut ditutupi kain hijau sejak hari perpisahan orangtuanya. Kini Ada dipercaya bukan hanya untuk melihat potret itu, melainkan juga memilikinya, beserta peninggalan lain dari ayahnya berupa wadah tinta dan pena.
Lady Byron melakukan sesuatu yang malah lebih mengejutkan ketika anak pertama suami istri Lovelace, bayi laki-laki, lahir beberapa bulan kemudian. Walaupun membenci mendiang suaminya, dia setuju ketika Ada menamai putranya Byron. Tahun berikutnya Ada melahirkan putri yang dinamai Annabella, dari nama ibunya. Ada kemudian terserang penyakit misterius, yang menyebabkannya tidak bisa meninggalkan tempat tidur selama berbulan-bulan.
Kesehatan Ada akhirnya relatif membaik sehingga bisa melahirkan anak ketiga, putra bernama Ralph. Namun, dia tidak pernah pulih benar. Dia menderita penyakit pencernaan dan pernapasan akut yang diperparah oleh konsumsi obat berupa laudanum (ekstrak opium), morfin, dan varian opium, yang menyebabkan pasang surut emosi dan terkadang delusi.
Ada semakin terpukul gara-gara peristiwa dramatis—yang bahkan janggal menurut ukuran keluarga Byron—yang melibatkan Medora Leigh, anak perempuan kakak tiri sekaligus kekasih Byron. Menurut rumor yang dipercayai oleh kalangan luas, Medora adalah putri Byron. Medora seolah bertekad menunjukkan bukan turunan keluarga Byron namanya jika tidak berbuat macam-macam. Dia berselingkuh dengan suami saudarinya sendiri, lalu kabur dengan pria itu ke Prancis dan melahirkan dua anak di luar nikah. Lady Byron dengan gagah pergi ke Prancis untuk menyelamatkan Medora, lalu membeberkan kisah inses ayah Ada kepada putrinya.
“Kisah yang teramat janggal dan mengerikan” itu sepertinya tidak mengejutkan Ada. “Aku sama sekali tidak kaget,” tulisnya dalam surat untuk sang ibu. “Ibu semata-mata mengonfirmasi kecurigaan yang sudah bertahun-tahun kuyakini.”20 Anehnya, alih-alih merasa berang, Ada justru makin bersemangat berkat kabar itu. Dia menyatakan bisa memahami hasrat ayahnya untuk melawan norma-norma dan keharusan yang berlaku.
Dalam surat untuk ibunya, setelah menyebut kegeniusan ayahnya telah disalahgunakan, Ada mengatakan, “Jika beliau menurunkan sedikit saja kegeniusannya kepadaku, aku akan memanfaatkannya untuk menguak fakta-fakta dan kebenaran hebat. Menurutku, beliau telah mewariskan tugas ini kepadaku. Demikianlah firasatku dan aku akan dengan senang hati menjalankan titipannya.”21
Ada sekali lagi mendalami studi matematika demi menenangkan diri. Kali ini dia berusaha meyakinkan Babbage agar bersedia menjadi tutornya. “Cara saya belajar tidaklah biasa dan saya merasa membutuhkan orang yang tidak biasa pula untuk mengajari saya dengan sukses,” tulis Ada dalam suratnya untuk Babbage. Entah karena opium atau efek setelah melahirkan atau keduanya, Ada mulai menilai kemampuannya kelewat tinggi dan bahkan menyebut diri genius.
Dalam suratnya untuk Babbage, dia menulis, “Jangan anggap saya besar kepala, ... tetapi saya sungguh meyakini bahwa saya mempunyai bakat untuk maju sejauh yang saya inginkan. Saya merasa yang saya miliki bukan sekadar rasa penasaran atau antusiasme, melainkan kegeniusan alami.”22
Babbage menampik permintaan Ada, keputusan yang barangkali bijaksana. Pertemanan mereka menjadi tetap langgeng karena itu sehingga membukakan jalan bagi kolaborasi yang malah lebih penting pada masa mendatang. Selain itu, Ada berhasil merekrut tutor matematika kelas satu, yakni Augustus De Morgan, pria terpandang yang sabar dan merupakan pionir di bidang logika simbolis. De Morgan mengedepankan konsep yang kelak Ada terapkan bahwa persamaan aljabar bukan saja berlaku bagi bilangan. Hubungan antara simbol (misalkan a + b = b + a) dapat diterapkan untuk logika nonnumerik.
Ada bukanlah matematikawan hebat sebagaimana diklaim sebagian orang. Namun, dia murid yang antusias, mampu mencerna konsep-konsep kalkulus paling mendasar, dan berkat pembawaannya yang artistik, gemar memvisualisasikan kurva naik-turun yang dijabarkan persamaan matematika. De Morgan mendorongnya untuk belajar memecahkan macam-macam persamaan, tetapi Ada lebih tertarik mendiskusikan konsep-konsep fundamental. Sama seperti pendekatannya untuk belajar geometri, Ada kerap menanyakan cara visual untuk menggambarkan persoalan, misalnya pembagian lingkaran berdasarkan jari-jarinya yang menghasilkan berbagai macam bangun datar.
Kemampuan Ada mengapresiasi keindahan matematika merupakan anugerah yang jarang dimiliki, termasuk oleh sebagian orang yang menganggap diri cendekiawan. Ada menyadari bahwa matematika adalah bahasa yang indah, bahasa yang dapat menggambarkan harmoni semesta dan adakalanya puitis. Kendati sang ibu sudah berusaha keras, Ada tetap putri ayahnya. Berkat sensibilitasnya yang puitis, Ada dapat memandang suatu persamaan sebagai sapuan kuas yang menggambarkan kemegahan alam, sebagaimana dia bisa memvisualisasikan “laut merah anggur” atau wanita yang “berjalan secantik malam”.
Akan tetapi, daya tarik matematika malah lebih dari itu. Bagi Ada, matematika memiliki unsur spiritual. Matematika “adalah satu-satunya bahasa yang memadai untuk mengekspresikan fakta-fakta penting mengenai alam semesta” katanya, dan matematika memungkinkan kita untuk menggambarkan “perubahan relasional” yang terjadi di jagat raya. Matematika merupakan “instrumen bagi pikiran manusia yang terbatas untuk membaca karya Penciptanya secara paling efektif”.
Kemampuan untuk menerapkan sains secara imajinatif menjadi salah satu ciri khas Revolusi Industri, sekaligus Revolusi Komputer, sedangkan Ada tak ubahnya dewi pelindung yang menyimbolkan revolusi tersebut. Ada menyampaikan kepada Babbage bahwa dia memahami keterkaitan antara puisi dan analisis matematika, keahlian yang melampaui bakat ayahnya. “Saya meyakini ayah saya tidak pernah (dan juga tidak mungkin) menjadi penyair yang semumpuni saya sebagai analis; padahal menurut saya, keduanya tidak terpisahkan, senantiasa seiring-sejalan,” tulis Ada.23
Kembalinya dia ke dunia matematika, kata Ada kepada sang ibu, telah melecut kreativitasnya dan menghasilkan ledakan “imajinasi yang kian lama kian meletup-letup, sampai-sampai aku merasa, jika aku terus melanjutkan studi, aku niscaya menjadi seorang Penyair”.24 Imajinasi, terutama yang diterapkan pada teknologi, merupakan topik menarik bagi Ada.
“Apa itu imajinasi?” tanyanya dalam sebuah esai pada 1841. “Imajinasi adalah keterampilan untuk meramu; kemampuan untuk meracik aneka hal, fakta, ide, dan konsepsi sehingga menghasilkan kombinasi anyar yang orisinal dan beragam .... Imajinasi adalah teropong untuk melihat yang tak kasat mata di sekitar kita, teropong dunia Sains.”25
Saat itu Ada sudah meyakini dirinya mempunyai kemampuan istimewa, bahkan supernatural, yang dia sebut “persepsi intuitif untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi”. Justru karena kelewat percaya diri pada bakatnya, Ada terdorong untuk mengejar cita-cita yang tidak biasa bagi seorang ibu dan wanita aristokrat zaman Victoria awal. “Selain aku, tidak ada orang yang lebih tepat untuk menguak realitas tersembunyi alam raya,” jelasnya dalam surat untuk sang ibu pada 1841. “Aku bisa menangkap sorot-sorot pencerahan dari sepenjuru semesta dan mengumpulkannya sehingga menjadi satu berkas yang terang.”26
Dalam pola pikir seperti inilah, Ada memutuskan kembali menjalin diskusi dengan Charles Babbage, yang arisannya dia hadiri kali pertama delapan tahun sebelumnya.


CHARLES BABBAGE DAN MESINNYA
Sejak belia Charles Babbage menaruh minat pada mesin-mesin yang bisa merampungkan pekerjaan manusia. Semasa dia kanak-kanak, ibunya mengajak mengunjungi banyak ekshibisi dan museum yang menjamur di London pada awal 1800-an. Di aula ekshibisi di Hanover Square, si pemilik yang bernama Merlin—seperti penyihir dalam dongeng—mengundang Babbage ke bengkel loteng yang menyimpan beragam boneka mekanis, yang disebut “automata”. Salah satunya adalah boneka perempuan penari berwarna perak.
Tinggi boneka itu kira-kira tiga puluh sentimeter, lengannya bergerak gemulai dan tangannya memegang burung yang dapat menggoyangkan ekor, mengepakkan sayap, serta membuka paruh. Kemampuan Perempuan Perak mengekspresikan perasaan dan kepribadian memikat perhatian si bocah. “Matanya sarat imajinasi,” kenang Babbage. Bertahun-tahun kemudian dia menemukan Perempuan Perak itu dalam lelang setelah pemiliknya bangkrut dan langsung membeli automata tersebut. Sang Perempuan Perak menjadi daya tarik dalam pesta-pesta Babbage yang bertemakan kehebatan teknologi.
Di Cambridge Babbage berteman dengan sekelompok orang, antara lain John Hertzfeld dan George Peacock, yang kecewa dengan pengajaran matematika di perguruan tinggi itu. Mereka mendirikan klub yang dinamai Analytical Society. Klub ini berkampanye supaya Cambridge meninggalkan notasi kalkulus buatan alumnusnya, Newton, yang mengandalkan penggunaan titik, dan mengganti dengan notasi Leibniz, yang menggunakan dx dan dy untuk melambangkan penjumlahan inkremental tak hingga dan disebut notasi “d”. Babbage memberi manifesto mereka judul “Prinsip D-isme sebagai Alternatif bagi Prinsip Titik-Titik dalam Pengajaran di Universitas” (“The Principles of Pure D-ism in Opposition to the Dot-age of the University”).27 Babbage konon pemarah, tetapi dia ternyata memiliki selera humor.
Suatu hari Babbage sibuk bekerja di ruangan Analytical Society dengan tabel logaritma yang salah di sana sini. Herschel menanyakan apa yang sedang dia pikirkan. “Aku berdoa kepada Tuhan kalau saja kalkulasi ini dikerjakan oleh mesin uap,” jawab Babbage. Menanggapi wacana mengenai penggunaan metode mekanis untuk menghitung logaritma, Herschel menjawab, “Ide yang masuk akal.”28 Pada 1821 Babbage merintis upaya untuk merakit mesin semacam itu.
Selama bertahun-tahun sudah banyak yang mencoba membuat mesin hitung. Pada 1640-an Blaise Pascal, matematikawan dan filsuf Prancis, menciptakan kalkulator mekanis untuk mengurangi beban kerja ayahnya sebagai supervisor pajak. Kalkulator tersebut memiliki roda logam beruas dengan digit 0 sampai 9 pada jari-jarinya. Dalam menjumlahkan atau mengurangi bilangan, operator menggunakan stilus untuk memutar angka, seperti menggunakan telepon putar, kemudian memutar angka berikutnya; dengan tuas mengambil atau meminjam 1 bila diperlukan. Kreasi Pascal ini merupakan kalkulator pertama yang dipatenkan dan diperdagangkan secara komersial.
Tiga tahun kemudian Gottfried Leibniz, matematikawan dan filsuf Jerman, mengembangkan alat Pascal dengan membuat “tabung berjenjang” yang mampu melakukan perkalian dan pembagian. Alat tersebut dilengkapi silinder bergigi yang bersinggungan dengan roda penghitung dan bisa diputar dengan tuas. Namun, Leibniz membentur masalah yang kelak akan sering ditemui pada era digital.
Lain dengan Pascal, insinyur serbabisa yang paham teori-teori ilmiah sekaligus piawai mengotak-atik mesin, Leibniz hanya mempunyai sedikit keterampilan rekayasa dan tidak berkawan dengan orang-orang yang memiliki bakat bertukang. Itu sebabnya, seperti banyak teoretikus hebat yang tidak bekerja sama dengan teknisi, Leibniz gagal menghasilkan mesin yang andal. Namun, konsep temuannya, yang disebut roda Leibniz, kelak memengaruhi desain kalkulator pada masa Babbage.
Babbage tahu tentang alat Pascal dan Leibniz, tetapi dia berusaha menciptakan sesuatu yang lebih kompleks. Dia ingin mengonstruksi metode mekanis untuk menghitung logaritma, sinus, kosinus, dan tangen.*2 Oleh karena itu, Babbage mengadopsi ide yang dikemukakan oleh matematikawan Prancis, Gaspard de Prony, pada 1790-an.
Untuk menyusun tabel logaritma dan trigonometri, de Prony memecah operasi-operasi yang dibutuhkan ke dalam langkah paling mendasar yang hanya terdiri atas penjumlahan dan pengurangan. Dia kemudian memberikan instruksi sederhana sehingga sejumlah pekerja, yang hanya tahu sedikit sekali mengenai matematika, dapat menjalankan tugas-tugas simpel tersebut dan mengoperkan jawaban mereka kepada tim pekerja berikutnya.
Dengan kata lain, de Prony menciptakan jalur produksi, salah satu inovasi besar era industri yang dianalisis secara saksama oleh Adam Smith dalam paparannya mengenai pembagian kerja di pabrik pembuat peniti. Setelah mendengar tentang metode de Prony selagi berkunjung ke Paris, Babbage menulis, “Mendadak terbetik di benakku untuk menerapkan metode yang sama guna mewujudkan pekerjaan besar yang sudah membebani pikiranku. Akan kurakit logaritma seperti orang merakit peniti.”29
Babbage sadar bahwa operasi matematika paling kompleks sekalipun dapat dipecah menjadi perhitungan sederhana “selisih bilangan bulat”, alias penjumlahan dan pengurangan. Contohnya, untuk menyusun tabel pangkat dua—12, 22, 32, 42, dan seterusnya—kita bisa merunut angka-angka awalnya dalam urutan sebagai berikut: 1, 4, 9, 16 .... Angka-angka ini lantas kita masukkan ke kolom A. Di sampingnya, dalam kolom B, kita bisa merunut selisih antara tiap bilangan tersebut, yaitu 3, 5, 7, 9 .... Kolom C akan memuat selisih tiap bilangan di kolom B, yaitu 2, 2, 2, 2 ....
Setelah kita menyederhanakannya, proses itu bisa dibalik dan berbagai tugas yang dibutuhkan dapat dibagi-bagi untuk diselesaikan oleh para pekerja tak terdidik. Satu orang ditugasi menambahkan 2 ke angka terakhir di kolom B, kemudian dia diperintahkan mengoperkan hasil penjumlahannya kepada orang berikut, yang lantas menjumlahkan hasil tersebut dengan angka terakhir di kolom A, berikut seterusnya sehingga dihasilkan urut-urutan bilangan pangkat dua.
Babbage merancang cara untuk mengerjakan proses tersebut secara mekanis dan menyebut alatnya Mesin Selisih. Mesin tersebut bisa menghitung fungsi polinomial mana saja dan menjawab persamaan diferensial secara aproksimasi dengan metode digital.
Bagaimana cara kerjanya? Mesin Selisih menggunakan selot vertikal berisi sejumlah piringan yang dapat diputar ke angka berapa saja. Piringan-piringan ini terhubung dengan gigi roda yang bisa diengkol untuk menjumlahkan angka (atau menguranginya) dengan piringan dari selot sebelah. Alat tersebut bahkan bisa “menyimpan” hasil sementara di selot lain. Yang paling kompleks ialah mekanisme untuk “membawa” atau “meminjam” bila perlu, sebagaimana yang kita lakukan dengan alat tulis ketika menghitung 36 + 19 atau 42 – 17. Berpatokan pada alat Pascal, Babbage menciptakan sejumlah mekanisme cerdik yang memungkinkan gigi roda dan selot untuk mengoperasikan perhitungan.

 

Mesin tenun Jacquard.

Replika Mesin Selisih.
 

Replika Mesin Analitis.

Potret sutra Joseph-Marie Jacquard (1752–1834), hasil anyaman mesin tenun Jacquard.


Secara konseptual, Mesin Selisih memang hebat bukan main. Babbage bahkan menemukan cara untuk menciptakan tabel bilangan primer sampai angka 10 juta. Pemerintah Britania pun terkesan, setidaknya mula-mula. Pada 1823 Pemerintah Britania menginvestasikan £1.700 dan belakangan malah menggelontorkan lebih dari £17 ribu, dua kali lipat biaya perakitan kapal perang, untuk mendanai upaya Babbage merakit mesin jadi.
Akan tetapi, proyek itu lantas menghadapi dua persoalan. Pertama, Babbage dan insinyur yang dia pekerjakan tidak memiliki keterampilan memadai untuk membuat alat yang fungsional. Kedua, Babbage mulai memimpikan kreasi baru yang lebih bagus.
Ide anyar Babbage, yang dicetuskan pada 1834, adalah komputer serbaguna yang dapat menjalankan beragam operasi berdasarkan instruksi pemrograman. Alat tersebut bisa mengerjakan satu tugas, lalu beralih mengerjakan tugas lain. Mesin itu bahkan bisa memerintahkan diri sendiri untuk beralih tugas—atau mengubah “pola kegiatannya”, meminjam penjelasan Babbage—berdasarkan kalkulasi interimnya sendiri. Babbage menamai bakal ciptaannya ini Mesin Analitis. Babbage ternyata lebih maju seratus tahun daripada zamannya.
Mesin Analitis merupakan produk dari—menurut istilah Ada Lovelace dalam esainya mengenai imajinasi—“keterampilan untuk meramu”. Babbage telah mengombinasikan macam-macam inovasi di bidang lain, trik yang dipraktikkan oleh banyak penemu. Dia mula-mula menggunakan silinder logam berpaku-paku untuk mengontrol perputaran di selot. Namun, Babbage kemudian mempelajari, sama seperti Ada, mesin tenun otomatis yang diciptakan pada 1801 oleh pria Prancis bernama Joseph-Marie Jacquard, teknologi yang mentransformasi industri pemintalan sutra.
Mesin tenun menciptakan motif menggunakan kait untuk mengangkat benang pakan, kemudian palang mendorong benang lungsin ke bawah. Jacquard menciptakan metode yang menggunakan kartu-kartu berlubang untuk mengontrol proses penenunan. Lubang-lubang menentukan kait dan palang mana yang akan diaktifkan untuk tiap tahap penenunan, alhasil menciptakan motif-motif rumit secara otomatis. Tiap kali disisipkan teropong berisi gulungan benang baru, akan ditambahkan pula kartu berlubang baru.
Pada 30 Juni 1836, di dalam “Buku Corat-Coret” (“Scribbling Books”), Babbage mencatatkan entri yang merupakan lompatan besar dalam prasejarah komputer, “Mengusulkan mesin tenun Jacquard sebagai pengganti silinder.”30 Dengan menggunakan kartu berlubang alih-alih silinder logam, instruksi yang dapat dimasukkan menjadi tidak terbatas. Selain itu, urut-urutan tugas bisa dimodifikasi sehingga mempermudah perancangan mesin serbaguna yang betul-betul multifungsi dan bisa diprogram ulang.
Babbage membeli potret Jacquard dan mulai memamerkan lukisan itu dalam acara-acaranya. Lukisan tersebut menggambarkan sang penemu duduk di kursi berlengan, berlatar belakang mesin tenun, sambil memegang jangka yang ditumpukan di atas kartu-kartu segi empat berlubang. Babbage menghibur para tamu dengan mempersilakan mereka menebak apa tepatnya lukisan itu. Sebagian besar mengira lukisan tersebut merupakan ukiran yang cermat.
Babbage lalu mengungkapkan bahwa lukisan itu sebenarnya tenunan sutra halus, yang terdiri atas 24 ribu baris anyaman, masing-masing tenunan dikendalikan oleh kartu berlubang tersendiri. Ketika mendatangi salah satu pesta Babbage, Pangeran Albert, suami Ratu Victoria, menanyai Babbage mengapa menurutnya anyaman tersebut menarik sekali. Babbage menjawab, “Anyaman ini sangat bermanfaat untuk menjelaskan hakikat alat hitung saya: Mesin Analitis.”31
Walau begitu, hanya segelintir orang yang mafhum akan keindahan mesin baru yang diusulkan oleh Babbage, sedangkan Pemerintah Britania tidak berkeinginan mendanainya. Sekalipun sudah berusaha, Babbage tidak bisa menarik perhatian media massa populer ataupun jurnal ilmiah.

Meski demikian, ada satu orang yang memercayainya. Ada Lovelace mampu mengapresiasi konsep mesin serbaguna. Yang lebih penting, Ada membayangkan kegunaan yang niscaya menjadikan mesin itu betul-betul menakjubkan: Mesin Analitis berpotensi bukan saja untuk memproses angka-angka, melainkan juga notasi simbolis apa pun, termasuk notasi musik dan artistik. Ada berpendapat bahwa konsep tersebut amat puitis dan dia pun berusaha meyakinkan orang lain agar sependapat dengannya.
Ada membanjiri Babbage dengan surat, sebagian cenderung sok, meski pria itu 24 tahun lebih tua daripada dia. Dalam salah satu surat, Ada menjabarkan permainan soliter menggunakan 26 kelereng yang tujuannya melakukan “lompatan” sebanyak mungkin sehingga hanya tersisa satu kelereng. Ada sudah menguasai permainan itu, tetapi ingin menurunkan “formula matematika ... yang dapat memberikan solusi umum dan yang bisa diekspresikan dengan bahasa simbolis”. Kemudian, Ada bertanya, “Apakah saya terlampau imajinatif di mata Anda? Saya yakin tidak.”32
Ada ingin bekerja sama dengan Babbage sebagai publisis dan mitranya dalam rangka menggalang dukungan untuk merakit Mesin Analitis. “Saya ingin sekali berbincang dengan Anda,” tulis Ada pada awal 1841. “Akan saya beri Anda petunjuk, apa persisnya yang ingin saya perbincangkan. Saya merasa, pada masa mendatang ... Anda barangkali berkenan memberdayakan kepala saya untuk mewujudkan tujuan dan rencana Anda. Jika demikian, jika saya layak Anda berdayakan, silakan manfaatkan kepala saya sesuka Anda.”33
Setahun berselang kesempatan emas yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.


CATATAN LADY LOVELACE
Demi mencari dukungan untuk Mesin Analitis, Babbage menerima undangan berpidato di hadapan Kongres Ilmuwan Italia di Torino. Yang berperan sebagai notulis adalah insinyur militer muda, Kapten Luigi Menabrea, yang kelak menjabat Perdana Menteri Italia. Dengan bantuan Babbage, Menabrea menerbitkan deskripsi detail mengenai mesin itu dalam bahasa Prancis pada Oktober 1842.
Salah seorang teman Ada menyarankan agar dia menerbitkan terjemahan artikel Menabrea lewat Scientific Memoirs, media berkala khusus makalah ilmiah. Ini peluang bagi Ada untuk membantu Babbage dan memamerkan bakatnya sendiri. Ketika artikel terjemahannya rampung, Ada memberi tahu Babbage, yang senang sekaligus terkejut. “Saya tanyakan apa sebabnya dia tidak menulis makalah orisinal saja, apalagi dia paham benar akan topik tersebut,” kata Babbage.34 Ada menjawab bahwa tidak terpikirkan olehnya untuk menulis makalah orisinal mengenai Mesin Analitis. Pada zaman itu membuat makalah ilmiah untuk konsumsi publik tidak lazim bagi perempuan.
Babbage menyarankan agar Ada melengkapi artikel Menabrea dengan sejumlah “catatan”, proyek yang disambutnya dengan antusias. Dia mulai menggarap segmen berjudul “Catatan Penerjemah” (“Notes by the Translator”) sepanjang 19.136 kata, lebih dari dua kali lipat artikel asli Menabrea. Ditandatangani dengan inisial “A.A.L.”, singkatan Augusta Ada Lovelace, “Catatan” (“Notes”) ini ujung-ujungnya lebih terkenal ketimbang artikel Menabrea dan menjadikan sang penulis sebagai tokoh ikonik dalam sejarah ilmu komputer.35
Sepanjang pengerjaan catatannya di griya pedesaan milik Lovelace di Surrey pada musim panas 1843, Ada dan Babbage rutin surat-menyurat. Pada musim gugur mereka bertemu berkali-kali sekembalinya Ada ke rumah di London. Dewasa ini muncul subspesialisasi akademik dan perdebatan panas yang dipicu wacana gender terkait siapa yang lebih banyak menyumbangkan pikiran ke dalam penulisan “Catatan”, Ada sendiri ataukah Babbage.
Dalam memoarnya, Babbage memberikan penghargaan atas besarnya peran Ada, “Bersama-sama kami membahas beragam ilustrasi yang mungkin perlu dibubuhkan. Saya mengusulkan beberapa, tetapi pilihan akhir berada di tangannya sendiri. Begitu pula dengan solusi aljabar untuk macam-macam persoalan, terkecuali yang menyangkut deret Bernoulli. Saya mengajukan diri untuk menyelesaikan yang satu itu supaya Lady Lovelace tidak usah repot-repot. Namun, dia lantas mengembalikan perhitungan itu untuk saya koreksi. Sebab, Lady Lovelace menemukan kesalahan besar di dalamnya.”36
Di dalam “Catatan” itu, Ada menelaah empat konsep yang akan kembali dieksplorasi seabad mendatang, ketika komputer akhirnya lahir. Pertama, konsep mengenai mesin serbaguna yang bukan saja dapat mengerjakan satu tugas spesifik, melainkan juga diprogram berkali-kali untuk menyelesaikan rangkaian tugas tak terbatas. Dengan kata lain, Ada membayangkan komputer modern.
Konsep ini menjadi tema utama dalam “Catatan A”, yang menggarisbawahi perbedaan Mesin Selisih yang lama dengan mesin baru Babbage: Mesin Analitis. “Mesin Selisih dirancang untuk menghitung fungsi Δ7ux = 0,” Ada memulai, sembari menjelaskan bahwa fungsi mesin tersebut untuk menyusun tabel kelautan. “Sebaliknya, Mesin Analitis dapat menghitung fungsi apa saja, bukan hanya satu fungsi spesifik.”
Setelah perbedaan ini jelas, Ada menerangkan bahwa Mesin Analitis dioperasikan dengan “memanfaatkan prinsip yang mula-mula dirancang oleh Jacquard, yaitu penggunaan kartu-kartu berlubang untuk menghasilkan tenunan brokat bermotif rumit”. Dibandingkan dengan Babbage, Ada jauh lebih menyadari pentingnya penggunaan kartu berlubang. Berkat inovasi tersebut, mesin bisa berfungsi layaknya komputer dewasa ini. Dengan kata lain, mesin yang serbaguna, alih-alih hanya bisa menyelesaikan satu persoalan aritmetika spesifik. Ada menjelaskan sebagai berikut.

Ketika muncul ide untuk menggunakan kartu, batasan aritmetika sontak terlampaui. Mesin Analitis tidak sama dengan “mesin hitung”. Mesin Analitis memiliki keistimewaan tersendiri. Mekanisme kerjanya memungkinkan kita untuk mengombinasikan simbol-simbol apa saja, dengan urut-urutan dan ragam tak terbatas, sehingga menjembatani proses mental abstrak dengan pengoperasian benda.37

Redaksional kalimatnya memang berbelit-belit, tetapi layak dibaca dengan saksama. Ada pada dasarnya menjabarkan esensi komputer modern. Dia pun membumbui konsep tersebut dengan paparan puitis. “Mesin Analitis merajut pola-pola aljabar, sebagaimana mesin tenun Jacquard merajut kembang dan dedaunan,” tulisnya. Ketika membaca “Catatan A” (“Note A”), Babbage kegirangan dan tidak membuat satu koreksi pun. “Tolong jangan diubah,” katanya.38
Konsep kedua Ada yang patut dicermati termuat dalam deskripsinya tentang mesin serbaguna. Ada menyadari mesin serbaguna bisa dimanfaatkan bukan hanya untuk menghitung angka dan menjalankan operasi matematika. Terilhami penggunaan aljabar dalam logika formal yang diajarkan oleh tutornya, de Morgan, Ada menegaskan bahwa pada prinsipnya Mesin Analitis bisa menyimpan, memanipulasi, memproses, dan menindaklanjuti apa pun yang dapat diekspresikan sebagai simbol, entah itu kata, logika, musik, ataupun yang lain-lain.
Untuk menjelaskan ide tersebut, Ada mendefinisikan apa tepatnya operasi komputer itu, “Kata ‘operasi’ mungkin perlu dijelaskan. ‘Operasi’ yang kami maksud ialah segala proses yang mengubah keterhubungan dua benda atau lebih, apa pun bentuk keterhubungan itu.” Ada menegaskan operasi komputer bukan saja dapat mengubah hubungan antarbilangan, melainkan juga hubungan antarsimbol yang memiliki keterkaitan logis satu sama lain.
“Operasi yang dimaksud dapat diterapkan pada hal-hal selain bilangan, asalkan hubungan benda-benda itu satu sama lain bisa diekspresikan secara abstrak menggunakan simbol.” Bahkan, secara teoretis, Mesin Analitis seharusnya bisa memainkan notasi musik. “Andaikan hubungan fundamental antara frekuensi titinada dan komposisi musik bisa diekspresikan ke dalam operasi simbolis formal, mesin tersebut mungkin saja menggubah musik yang kompleks secara ilmiah.” Contoh tersebut secara pas mengilustrasikan konsep Ada mengenai “sains yang puitis”: komposisi musik yang digubah secara ilmiah menggunakan mesin! Ayahnya tentu akan bergidik.
Pemahaman ini merupakan konsep inti yang menggerakkan abad digital: konten, data, atau informasi apa saja—musik, teks, gambar, bilangan, simbol, suara, video—dapat diekspresikan dalam format digital dan dimanipulasi oleh mesin. Bahkan, Babbage luput memahami konsep ini seutuhnya; fokusnya tercurah semata-mata pada bilangan. Namun, Ada menyadari bahwa digit-digit pada gigi roda dapat merepresentasikan hal-hal selain kuantitas matematika.
Itu sebabnya, dia mampu menghasilkan lompatan konseptual dari mesin yang berfungsi sebagai kalkulator belaka ke mesin yang sekarang kita sebut komputer. Doron Swade, sejarawan komputer dengan bidang keahlian kajian mesin Babbage, menyatakan bahwa inilah salah satu warisan historis Ada Lovelace. “Andaikan kita menapis sejarah untuk mencari-cari suatu transisi, transisi itu dinyatakan secara eksplisit oleh Ada dalam makalah pada 1843,” kata Swade.39
Kontribusi Ada yang ketiga, dalam “Catatan G” (“Note G”), ialah uraian bertahap untuk mengerjakan proses yang dewasa ini kita kenal dengan istilah program komputer atau algoritme. Contoh yang dia gunakan berupa program untuk menghitung angka-angka dalam deret Bernoulli,*3 deret tak hingga nan pelik yang berperan dalam teori bilangan.
Untuk menunjukkan bahwa Mesin Analitis dapat menghasilkan deret Bernoulli, Ada mendeskripsikan operasi-operasi secara berurutan dan membuat bagan yang menunjukkan tahap demi tahap pengerjaan tiap operasi oleh mesin. Lewat paparan ini, Ada berperan merancang konsep subroutine (instruksi berurut untuk mengerjakan tugas tertentu, misalnya menghitung kosinus atau mengalkulasi bunga majemuk, yang bisa disisipkan ke dalam program yang lebih besar jika perlu) dan recursive loop (instruksi berurut yang berulang terus-menerus).*4
Proses ini menjadi mungkin berkat kartu-kartu berlubang. Ada menjelaskan bahwa 75 kartu dibutuhkan untuk menghitung satu bilangan, kemudian tiap bilangan yang dihasilkan dimasukkan kembali ke dalam proses untuk menghitung bilangan berikutnya. “Ketujuh puluh lima ragam kartu yang sama kemudian dipergunakan kembali untuk menghitung angka berikut dan demikianlah seterusnya,” tulis Ada.
Dia membayangkan sebuah perpustakaan yang menyimpan subroutine-subroutine yang sering digunakan, sesuatu yang seabad kemudian dibuat oleh para penerus tongkat intelektualnya, termasuk para perempuan seperti Grace Hopper di Harvard serta Kay McNulty dan Jean Jennings di Universitas Pennsylvania. Selain itu, karena memungkinkan proses untuk melompati urut-urutan perintah, bergantung pada hasil sementara yang keluar, Mesin Analitis sekaligus meletakkan fondasi bagi proses yang sekarang kita kenal dengan istilah conditional branching atau percabangan kondisional, mengalihkan jalur instruksi apabila kondisi-kondisi tertentu dipenuhi.
Babbage membantu Ada menghitung deret Bernoulli, tetapi surat-surat di antara keduanya menunjukkan betapa seriusnya Ada mendalami detail terkecil sekalipun. “Saya dengan gigih memelototi dan menelaah proses pengurangan bilangan-bilangan Bernoulli, sampai jauh ke bawah,” tulis Ada pada Juli, beberapa minggu sebelum terjemahan dan catatannya dijadwalkan naik cetak. “Saya kalut sendiri karena terjerumus di tengah angka-angka memusingkan ini. Mustahil saya menyelesaikannya hari ini .... Saya tengah didera rasa linglung yang menakjubkan.”40
Ketika perhitungannya rampung, Ada malah menambahkan kontribusi buah pikirannya sendiri: tabel dan diagram yang menunjukkan bagaimana tepatnya algoritme dimasukkan ke komputer, tahap demi tahap, termasuk di antaranya dua recursive loop. Tabel tersebut memuat daftar instruksi yang antara lain berisi register tujuan, operasi, dan komentar pribadinya—detail yang niscaya tidak asing bagi coder C++ mana saja dewasa ini.
“Saya telah bekerja giat seharian ini dengan hasil memuaskan,” tulis Ada dalam surat untuk Babbage. “Anda pasti akan sangat mengagumi Tabel dan Diagram buatan saya. Keduanya saya buat dengan teramat hati-hati.” Berdasarkan semua suratnya, jelas bahwa Ada sendiri yang menyusun tabel itu; satu-satunya bantuan berasal dari sang suami yang tidak paham matematika, tetapi bersedia menebalkan tulisan pensil Ada dengan tinta. “Lord L bermurah hati menebalkan semua tulisan saya dengan tinta,” tulisnya dalam surat untuk Babbage. “Saya harus mengerjakan (instruksi dan perhitungan).”41
Diagram inilah yang dilampirkan untuk menjabarkan proses rumit guna menghasilkan angka-angka deret Bernoulli dan menyebabkan para penggemar menjuluki Ada “programmer komputer pertama di dunia”. Julukan ini barangkali kurang tepat. Babbage sendiri telah menguraikan lebih dari dua puluh proses yang secara teoretis bisa dikerjakan Mesin Analitis. Namun, tak satu pun uraiannya diterbitkan dan tidak ada penjelasan terperinci mengenai urut-urutan operasi yang dibutuhkan untuk mengerjakan proses tersebut.
Toh, rasanya tidak keliru apabila kita katakan bahwa algoritme dan deskripsi pemrograman detail untuk menghasilkan deret Bernoulli merupakan program komputer pertama yang diterbitkan di dunia. Dan, yang patut dicatat, inisial yang tertera di akhir makalah itu ialah singkatan nama Ada Lovelace.
Satu lagi konsep signifikan yang Ada kemukakan dalam “Catatan”-nya mungkin akan mengingatkan kita pada cerita Frankenstein, yang dikarang oleh Mary Shelley selepas berakhir pekan dengan Lord Byron. Ada mempertanyakan konsep yang sampai saat ini masih merupakan topik metafisika paling menarik terkait komputer, yakni mengenai kecerdasan buatan: bisakah mesin berpikir?
Menurut Ada, tidak. Mesin seperti buatan Babbage dapat menjalankan operasi sesuai perintah, tetapi tidak mampu menelurkan ide atau niat sendiri. “Mesin Analitis sama sekali tidak mempunyai inisiatif apa pun,” tulis Ada. “Mesin tersebut dapat mengerjakan apa saja yang kita perintahkan. Mesin tersebut dapat menuruti analisis buatan kita, tetapi tidak mampu memahami relasi ataupun kebenaran analitis.” Seabad berselang pernyataan ini akan disebut “Sanggahan Lady Lovelace” oleh sang pionir komputer: Alan Turing (lihat Bab 3).

Ada ingin karyanya dinilai sebagai makalah ilmiah yang serius dan bukan hanya lembar rilis untuk pers. Jadi, di awal “Catatan”, Ada menyatakan “takkan mengomentari” keengganan pemerintah untuk mendanai pekerjaan Babbage. Babbage ternyata tidak senang dan kemudian menulis pernyataan berisi kecaman terhadap pemerintah. Babbage ingin Ada melampirkan pernyataan itu ke “Catatan”, tanpa memuat namanya, tetapi menyebutnya opini Ada sendiri. Ada menolak. Dia tidak ingin karyanya tercemari.
Tanpa memberi tahu Ada, Babbage mengirimkan adendum secara langsung ke Scientific Memoirs. Tim editor memutuskan lampiran tersebut mesti diterbitkan secara terpisah dan menyampaikan agar Babbage “bertindak jantan” dengan membubuhkan namanya sendiri. Babbage bisa bersikap menawan jika sedang ingin, tetapi bisa juga menjadi pemarah, keras kepala, dan membangkang seperti sebagian besar inovator. Solusi yang diusulkan oleh tim editor malah membuat Babbage berang, lalu dia menyurati Ada untuk memintanya menarik makalah itu.
Kini giliran Ada yang geram. Menggunakan salam pembuka yang lazim dilontarkan antarsesama teman lelaki, Ada menulis, “Babbage yang Budiman ... mencabut terjemahan dan ‘Catatan’ saya (merupakan) tindakan yang tidak kesatria dan tak dapat dibenarkan.” Dia menutup surat itu dengan, “Yakinilah bahwa saya sahabat Anda; bahwa saya tidak mungkin membantu Anda melakukan perbuatan yang secara prinsipiil saya anggap keliru, juga merugikan diri sendiri.”42
Babbage mengurungkan niat dan setuju menerbitkan pernyataannya secara terpisah di terbitan berkala yang lain. Hari itu Ada mengeluh kepada ibunya seperti berikut.

Babbage mendesak dan mencecarku dengan sedemikian menjengkelkan .... Sayangnya aku mesti berkesimpulan bahwa dia termasuk orang yang paling rewel, egois, dan seenaknya yang pernah kukenal .... Serta-merta kukatakan kepada Babbage bahwa tak seorang pun berhak memaksaku turut campur dalam pertengkarannya ataupun menjadi perpanjangan tangannya .... Dia marah-marah. Aku tetap teguh dan tak terpengaruh oleh sikapnya.43

Tanggapan Ada atas perselisihan tersebut berupa surat aneh sepanjang enam belas halaman untuk Babbage, berisi kalimat-kalimat menggebu yang secara gamblang menggambarkan pasang surut emosi dan delusinya. Ada merayu sekaligus mengomeli Babbage, memuji dan mencelanya. Bahkan, Ada mengontraskan motivasi mereka berdua.
“Prinsip saya yang tak dapat ditawar-tawar ialah mendahulukan cinta pada kebenaran dan Tuhan daripada cinta pada ketenaran dan kejayaan,” Ada mengklaim. “Tetapi, Anda justru lebih mencintai ketenaran, kejayaan, dan penghormatan daripada kebenaran dan Tuhan.”
Ada menyatakan dirinya bukan saja akan meraih ketenaran, melainkan juga kemuliaan. “Saya mesti menambahkan bahwa saya piawai dalam menjelaskan dan menafsirkan Yang Mahakuasa berikut hukum-hukum-Nya ... saya akan merasa sangat tersanjung apabila dapat menjadi salah seorang nabi-Nya yang paling terkemuka.”44
Setelah membeberkan dasar pemikiran yang bertele-tele, Ada mengusulkan kepada Babbage agar mereka menjalin kemitraan bisnis dan politik. Ada akan memanfaatkan koneksi dan kemampuan persuasinya untuk membantu Babbage merakit Mesin Analitis asalkan pria itu mengizinkannya mengontrol seluruh keputusan bisnis. “Saya beri Anda prioritas pertama untuk memanfaatkan jasa dan kepintaran saya,” tulis Ada. “Jangan gegabah dalam menolak tawaran saya.”
Surat itu tampak seperti rangkuman lembar kerja sama modal usaha atau atau surat perjanjian pranikah, lengkap dengan opsi pengajuan arbitrase. “Anda wajib menaati keputusan saya (atau keputusan siapa pun yang Anda tunjuk sebagai penengah bilamana kita bersilang pendapat) dalam seluruh perkara praktis,” Ada menyatakan. Sebaliknya, Ada berjanji akan “menyodorkan dua proposal serius dan eksplisit kepada Anda dalam waktu satu atau dua tahun”.45
Surat tersebut akan terkesan mencengangkan apabila isinya berbeda dari sekian banyak surat lain yang dia tulis. Masalahnya, gaya penulisan seperti itu memang khas Ada. Surat di atas semata-mata menunjukkan betapa ambisi yang melangit terkadang membuatnya lupa diri. Namun, Ada layak dihormati sebagai seseorang yang sukses melampaui batasan bagi wanita aristokrat pada zamannya dan mengatasi masalah keluarga untuk secara tekun mendedikasikan diri demi memecahkan persoalan matematika yang pelik serta luput atau mustahil dikerjakan sebagian besar kita. (Deret Bernoulli saja niscaya membuat banyak orang kewalahan.)
Apalagi, hasil kerja kerasnya yang mengagumkan dalam membedah persoalan matematika dan buah pikirannya yang imajinatif itu lahir di tengah insiden Medora Leigh serta serangan penyakit yang menyebabkan Ada bergantung pada zat-zat opiat (varian opium) sehingga memperparah pasang surut emosinya. Ada menjelaskan pada akhir suratnya kepada Babbage, “Kawan yang budiman, jika Anda tahu betapa memilukan dan memedihkannya pengalaman saya, yang mustahil Anda pahami, Anda tentu akan merasa bersimpati kepada saya.”
Kemudian, setelah menyimpang sejenak untuk mengutarakan penggunaan kalkulus selisih bilangan bulat guna menghitung angka-angka Bernoulli, dia minta maaf karena “surat ini sayangnya kena noda tinta di mana-mana” dan menanyakan, “Sudikah kiranya Anda menggunakan jasa peri perempuan ini?”46
Ada yakin Babbage akan menerima tawarannya untuk menjadi rekan bisnis. “Dia tahu pasti akan sangat menguntungkan apabila penaku menjadi abdinya, sekalipun aku juga mengajukan syarat-syarat yang berat,” tulis Ada dalam suratnya untuk sang ibu. “Jika dia menyetujui usulanku, aku barangkali bisa menjauhkannya dari kemelut dan mewujudkan mesinnya menjadi kenyataan.”47 Namun, Babbage berpendapat bahwa lebih bijak untuk menolak. Babbage menemui Ada dan “menolak semua syarat”.48
Meskipun tidak pernah lagi berkolaborasi di bidang sains, hubungan mereka ternyata tetap langgeng. “Pertemananku dengan Babbage lebih akrab ketimbang sebelumnya,” tulis Ada dalam surat untuk sang ibu pekan berikutnya.49 Selain itu, Babbage setuju menyambangi Ada di rumah pedesaan keluarga Lovelace bulan berikutnya dan dalam suratnya yang penuh kasih, menyebut Ada sebagai “Penyihir Bilangan” serta “Penerjemah tersayang yang sangat saya kagumi”.
Bulan itu, September 1843, terjemahan dan “Catatan” Lady Ada Lovelace akhirnya dimuat di Scientific Memoirs. Untuk sementara, Ada bisa sepuas-puasnya menikmati pujian dari para teman dan berharap, sama seperti mentornya, Mary Somerville, akan dianggap serius di ranah ilmiah serta sastra. Publikasi karyanya membuatnya merasa bak “seorang profesional seutuhnya”, kata Ada dalam surat untuk seorang pengacara. “Saya sungguh-sungguh telah memiliki profesi, sama seperti Anda.”50
Akan tetapi, impian Ada akhirnya kandas. Babbage gagal memperoleh pendanaan, Mesin Analitis tidak pernah dibuat, dan dia meninggal dalam keadaan miskin. Kolaboratornya, Lady Lovelace, tidak pernah menerbitkan makalah ilmiah lagi. Dia justru kian terpuruk, larut dalam ketergantungan terhadap judi dan zat-zat opiat. Dia sempat berselingkuh dengan mitranya bermain judi, yang kemudian memerasnya sehingga Ada terpaksa menggadaikan permata keluarga.
Pada tahun terakhir hidupnya, Ada berjuang melawan kanker rahim yang menyakitkan diiringi perdarahan terus-menerus. Saat meninggal pada 1852, pada umur 36 tahun, Ada dikuburkan sesuai permintaan terakhirnya di makam desa di samping ayahnya, sang penyair yang tidak pernah dia kenal, yang meninggal saat seusia dengannya.
Revolusi Industri sejatinya berdasarkan dua konsep besar yang amat sederhana. Para inovator menggagas cara untuk mempermudah pekerjaan, yakni dengan memecah pekerjaan itu menjadi unit-unit tugas yang lebih kecil dan simpel, dapat dituntaskan di jalur perakitan. Kemudian, dipelopori industri tekstil, para penemu membuat alat-alat—banyak di antaranya diberdayakan oleh mesin uap—yang dapat menyelesaikan pekerjaan secara mekanis.
Babbage, yang mengembangkan ide Pascal dan Leibniz, berusaha menerapkan kedua proses tersebut untuk memproduksi hitungan sehingga menciptakan cikal bakal mekanisme komputer modern. Lompatan konseptual paling signifikan yang Babbage sumbangkan: bahwa mesin semacam itu dapat mengerjakan banyak proses daripada satu saja, menggunakan kartu-kartu berlubang untuk memprogram dan memprogram ulang kerjanya.

Ada mampu mengapresiasi keindahan dan arti penting ide tersebut, sekaligus menyumbangkan gagasan yang malah lebih menggairahkan: bahwa mesin semacam itu bukan saja dapat memproses angka, melainkan juga segala hal yang dapat diekspresikan dengan simbol.
Bertahun-tahun selepas wafat, Ada Lovelace digadang-gadang sebagai ikon feminisme dan pionir komputer. Contohnya, Departemen Pertahanan AS mendaulat bahasa pemrograman tingkat tinggi berorientasi objek dengan nama Ada. Walau demikian, Ada juga dicemooh sebagai tukang khayal yang delusional, hanya sedikit berkontribusi dalam “Catatan” yang memuat inisialnya.
Sebagaimana yang Ada tulis sendiri di dalam “Catatan”—yang merujuk pada Mesin Analitis, tetapi bisa juga diterapkan bagi reputasinya sendiri yang kerap naik turun, “Pada kala menimbang-nimbang suatu subjek baru, terdapat kecenderungan untuk, mula-mula, melebih-lebihkan aspek yang kita anggap menarik atau luar biasa; yang selanjutnya diikuti dengan reaksi, barangkali secara instingtif, untuk meremehkan makna pentingnya.”
Nyatanya kontribusi Ada memang spektakuler sekaligus inspiratif. Lebih daripada Babbage ataupun orang lain sezamannya, Ada sanggup membayangkan masa depan, masa ketika mesin-mesin akan menjadi mitra bagi imajinasi manusia, bersama-sama merajut karya seindah anyaman mesin tenun Jacquard.
Apresiasi terhadap potensi “sains yang puitis” mendorong Ada untuk menggadang-gadang penciptaan mesin serbaguna yang ditepis begitu saja oleh para pembesar sains pada zamannya. Dia juga mafhum bahwa alat semacam itu dapat digunakan untuk memproses berbagai jenis informasi. Demikianlah Ada, Countess of Lovelace, menaburkan benih era digital yang akan mekar seratus tahun kemudian.

1 Dalam ulasan mengenai buku tersebut, salah seorang kawan Babbage, William Whewell, mengajukan istilah scientist, yang merujuk pada praktisi di bidang-bidang tersebut. Dengan memberikan julukan yang sama untuk mereka semua, dia menyiratkan adanya keterkaitan di antara berbagai disiplin yang berlainan tersebut.
2 Lebih tepatnya, Babbage ingin menggunakan metode selisih terbagi untuk menghampiri (aproksimasi) fungsi logaritma dan trigonometri.
*3 Dinamai dari matematikawan Swiss abad ke-17, Jacob Bernoulli, yang mengkaji deret pangkat tetap bilangan bulat, deret Bernoulli menyumbang peran nan menarik dalam teori bilangan, analisis matematika, dan topologi diferensial.
*4 Dalam contohnya, Ada menghitung fungsi polinomial menggunakan sejumlah subfungsi yang lebih pendek dan demikian seterusnya (fungsi di dalam fungsi).

 
Vannevar Bush (1890–1974) beserta Differential Analyzer-nya di MIT.

Alan Turing (1912–1954)
di Sherborne School pada 1928.

 
Claude Shannon (1916–2001) pada 1951.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02