The Innovators - Walter Isaacson - 07
SEGITIGA VANNEVAR BUSH
Inovasi kerap menyisakan jejak organisasi yang
menciptakannya. Internet merupakan contoh kasus menarik karena kreatornya
adalah tiga pihak yang berkolaborasi: militer, perguruan tinggi, dan korporasi
swasta. Yang patut dicatat, ketiganya tidak menghimpun diri secara longgar demi
mengejar tujuan masing-masing. Sebaliknya, selama dan sesudah Perang Dunia II,
ketiga pemain tersebut lebur menjadi satu kesatuan, yakni segitiga
militer-industri-akademik.
Orang yang paling
bertanggung jawab dalam menempa persatuan itu adalah Vannevar Bush, profesor
MIT yang pada 1931 membuat Differential Analyzer, komputer analog perintis yang
dijabarkan dalam Bab Dua.1 Bush sangat pas
menjalankan peran tersebut karena sempat menjadi bintang di ketiga kubu: Dekan
MIT School of Engineering, pendiri perusahaan elektronika Raytheon, dan
administrator bidang sains di dalam militer AS saat Perang Dunia II.
“Tidak ada orang
Amerika yang pengaruhnya terhadap pertumbuhan sains dan teknologi sebesar
Vannevar Bush,” ucap Presiden MIT Jerome Wiesner kelak, dan menambahkan,
“inovasi (Bush) yang paling signifikan ialah gagasannya agar pemerintah
menjalin kontrak dengan universitas dan laboratorium industri daripada membuat
laboratorium besar sendiri.”2
Bush lahir di dekat
Boston pada 1890. Dia putra seorang pendeta Protestan Universalis yang memulai
karier sebagai juru masak di kapal nelayan makarel. Kedua kakek Bush menjadi
kapten kapal penangkap paus. Barangkali karena lahir di tengah keluarga pelaut,
Bush memiliki sifat blakblakan dan pedas yang membantunya menjadi manajer tegas
dan administrator karismatik.
Sama seperti banyak
pemimpin teknologi, Bush pakar merekayasa produk sekaligus sigap membuat
keputusan. “Semua kakek dan buyut saya kapten kapal. Mereka tidak pernah
ragu-ragu dalam memimpin dan memberikan komando,” dia pernah berkata. “Saya
mewarisi kecenderungan untuk pegang kendali dan sok main perintah dari mereka.”3
Juga sama seperti
banyak pemimpin teknologi ulung lainnya, Bush sangat menyukai ilmu humaniora
dan sains ketika tumbuh besar. Dia bisa mengutip Kipling atau Umar Khayyam “di
luar kepala”, memainkan seruling, menggemari simfoni, dan membaca buku filsafat
untuk hiburan.
Keluarganya juga
mempunyai bengkel di ruang bawah tanah, tempat Bush cilik membuat kapal-kapalan
dan mainan mekanis. Sebagaimana yang kelak dilaporkan Time,
“Van Bush yang ramping, lugas, dan pedas adalah seorang Yankee tulen yang
kecintaannya pada sains bermula dari—sama seperti banyak pemuda Amerika—kegemaran
mengotak-atik barang.”4
Berkuliah di
Universitas Tufts, dia melewatkan waktu luang dengan membuat mesin survei
menggunakan dua roda sepeda serta pendulum untuk merunut perimeter suatu area
dan mengalkulasi luasnya—dengan kata lain, alat analog untuk menghitung
kalkulus integral. Dia memperoleh paten atas alat itu, yang pertama dari ke-49
paten yang dia kumpulkan seumur hidupnya. Selagi kuliah di Tufts, Bush dan
teman-teman sekamar menjadi konsultan beberapa perusahaan kecil dan, setelah
lulus, mendirikan Raytheon, yang tumbuh menjadi kontraktor pertahanan raksasa
sekaligus perusahaan elektronika.
Bush meraih PhD di
bidang teknik elektro dari MIT dan Harvard, kemudian menjadi profesor dan Dekan
Fakultas Teknik di MIT, perguruan tinggi tempatnya membuat Differential
Analyzer. Dia berhasrat meninggikan derajat sains dan teknologi di tengah
masyarakat pada masa ketika—pada pertengahan 1930-an—tidak tampak perkembangan
menarik di kedua bidang itu.
Televisi belum
menjadi consumer product, sedangkan temuan anyar paling
mengesankan yang dimasukkan ke kapsul waktu pada Pameran Dunia 1939 di New York
berupa arloji Mickey Mouse dan pisau cukur Gillette. Datangnya Perang Dunia II
mengubah situasi tersebut, menghasilkan ledakan teknologi baru dikomandoi oleh
Vannevar Bush.
Khawatir
kalau-kalau pihak militer AS tertinggal dalam bidang teknologi, Bush
memobilisasi Presiden Harvard, James Bryant Conant, dan para pemimpin ilmiah
yang lain untuk meyakinkan Presiden Franklin Roosevelt agar membentuk National
Defense Research Committee dan kemudian Office of Scientific Research and
Development, yang keduanya dikepalai oleh Bush. Sambil menggigit pipa tembakau
dan memegang pensil, dia lantas mengawasi Manhattan Project, yang bertujuan
membuat bom atom, serta proyek-proyek pengembangan radar dan sistem pertahanan
udara.
Time menjulukinya “Jenderal Fisika” di sampul salah satu edisi pada 1944.
“Andai kita tidak ambil ancang-ancang dalam mengembangkan teknologi perang
sejak sepuluh tahun lalu,” kata Bush sambil menggebrak meja—sebagaimana dikutip
oleh Time, “kita barangkali takkan memenangi perang
sialan ini.”5
Berkat gaya yang
tanpa tedeng aling-aling, tetapi hangat, Bush menjadi pemimpin yang tangguh
sekaligus disayang. Suatu kali sekelompok ilmuwan militer, yang frustrasi
karena masalah birokratis, mendatangi kantornya untuk mengundurkan diri. Bush
tidak paham apa yang mereka ributkan. “Jadi, saya katakan kepada mereka,”
kenangnya, “‘Tidak boleh mengundurkan diri pada masa perang. Sana, keluar.
Kembalilah bekerja. Biar saya yang urus.’”6 Mereka langsung
patuh.
Sebagaimana
komentar Presiden MIT Jerome Wiesner kelak, “Dia seorang pria berpendirian
teguh, berapi-api dalam mengemukakan pendapat, tetapi dia terperangah kagum
akan misteri alam, berkepribadian hangat, bertenggang rasa terhadap kelemahan
manusia, dan berpikiran terbuka dalam menyikapi perubahan.”7
Seusai perang, Bush
mengeluarkan laporan pada Juli 1945 atas permintaan Roosevelt (yang akhirnya
diserahkan kepada Presiden Harry Truman) yang berisi anjuran agar pemerintah
mendanai riset ilmu dasar sambil bermitra dengan perguruan tinggi dan industri.
Bush memilih judul yang menggugah dan sangat Amerika, yaitu “Sains, Tapal Batas
Tak Berujung” (“Science, the Endless Frontier”). Kata pengantarnya layak dibaca
oleh politikus yang mengancam memangkas anggaran riset iptek. “Riset ilmu dasar
menghasilkan pengetahuan baru,” tulis Bush. “Pengetahuan merupakan modal
ilmiah. Dari sana dapat diciptakan terapan praktis yang bermanfaat.”8
Deskripsi Bush
mengenai riset ilmu dasar yang menjadi benih bagi temuan bernilai praktis
disebut “model inovasi linear”. Walaupun para sejarawan sains kelak mengkritik
model linear karena terlampau menyederhanakan hubungan antara riset teori dasar
dan aplikasi praktis, konsepsi tersebut masih diyakini banyak orang dan memang
ada benarnya. Bush menulis perang telah “menunjukkan dengan terang benderang”
bahwa sains dasar—kajian mengenai prinsip-prinsip fundamental dalam bidang
fisika inti, laser, sains komputer, radar, dan lain-lain—“amatlah esensial demi
menjamin keamanan nasional”.
Selain itu, riset
dasar penting bagi keamanan ekonomi Amerika, imbuhnya. “Produk baru dan proses
baru tidak serta-merta utuh dan matang, tetapi dibuat setahap demi setahap,
semakin sempurna seiring dengan ditemukannya prinsip dan konsepsi baru. Prinsip
dan konsepsi mendasar tersebut buah dari penelitian di ranah sains murni.
Bangsa yang tidak proaktif dalam melakukan riset ilmu dasar akan tertinggal
dalam bidang industri dan gagap bersaing di kancah perdagangan dunia.”
Pada penghujung laporannya,
Bush secara puitis mengunggul-unggulkan imbas praktis penelitian ilmu dasar,
“Kemajuan di bidang sains dapat kita terjemahkan menjadi ketersediaan lapangan
kerja lebih banyak, upah lebih tinggi, jam kerja lebih pendek, panen berlimpah,
lebih banyak waktu luang untuk berekreasi, untuk belajar, untuk menjalani hidup
yang berkualitas tanpa keharusan membanting tulang bak sapi pekerja sebagaimana
nasib nenek moyang kita pada masa lalu.”9
Berdasarkan laporan
ini, Kongres membentuk National Science Foundation. Mula-mula Truman memveto
RUU pendirian lembaga itu karena mengamanatkan penunjukan direktur oleh dewan
independen daripada oleh Presiden. Namun, Bush meyakinkan Truman agar berubah
pikiran dengan menjelaskan bahwa aturan itu justru menguntungkan Presiden.
Dengan demikian, Presiden takkan diusik oleh orang-orang yang bermaksud mencari
kedudukan politik.
“Van, Anda
sebaiknya jadi politikus,” Truman memberitahunya. “Insting Anda tajam.” Bush
menimpali, “Pak Presiden, memangnya Anda kira apa yang saya kerjakan di kota
ini selama lima, enam tahun terakhir?”10
Penciptaan kerja
sama segitiga pemerintah-industri-akademis juga merupakan inovasi signifikan.
Sebab, hubungan tersebut turut berperan dalam menghasilkan Revolusi Teknologi
pada akhir abad ke-20. Departemen Pertahanan AS dan National Science Foundation
segera saja menjadi pemberi dana terbesar riset ilmu dasar di Amerika,
menggelontorkan dana penelitian yang hampir sama besarnya dengan industri
swasta sepanjang 1950 hingga 1980-an.*1
Investasi tersebut
mendatangkan imbalan mahabesar, bukan saja membuahkan Internet, melainkan juga
banyak landasan inovasi pascaperang dan ledakan ekonomi. Intinya, berkat kerja
sama ketiga kubu itulah Amerika Serikat dapat menjadi pemimpin dunia di segala
bidang.11
Beberapa pusat
riset korporat, contohnya Bell Labs yang tenar, sudah berdiri sebelum perang.
Namun, sesudah Bush menyeru pemerintah agar memberikan sokongan, kontrak, dan
pendanaan, pusat-pusat riset hibrida mulai menjamur. Salah satu yang paling
menonjol ialah RAND Corporation, yang mula-mula bertujuan menyuguhkan hasil
penelitian dan pengembangan (Research ANd Development) untuk Angkatan
Udara Amerika Serikat. Lalu, ada Stanford Research Institute dan sempalannya,
Augmentation Research Center; serta Xerox PARC. Semua akan memainkan peran
dalam mengembangkan Internet.
Dua institusi
penting semacam itu berdiri di sekitar Cambridge, Massachusetts, tepat sesudah
perang: Lincoln Laboratory, badan riset yang didanai oleh militer dan
berafiliasi dengan MIT, serta Bolt, Beranek and Newman, perusahaan litbang yang
didirikan dan dipenuhi oleh insinyur-insinyur MIT (dan segelintir insinyur
Harvard). Tokoh yang berhubungan dekat dengan kedua institusi ini adalah
profesor MIT berlogat Missouri kental, supel, ramah, dan berbakat merajut kerja
sama tim. Pria ini yang berperan paling penting dalam penciptaan Internet.
J.C.R. LICKLIDER
Dalam upaya mengetahui Bapak Internet, orang
pertama yang pantas disorot adalah psikolog dan teknolog pendiam yang anehnya
menawan, murah senyum, dan cenderung skeptis. Joseph Carl Robnett Licklider
lahir pada 1915 dan dipanggil “Lick” oleh semua orang. Dia memelopori dua
konsep terpenting yang mendasari Internet: 1) jaringan terdesentralisasi yang
memungkinkan pendistribusian informasi dari dan ke mana saja, dan 2) antarmuka
yang memfasilitasi interaksi langsung mesin-manusia.
Selain itu, dia
direktur sekaligus pendiri badan militer yang mendanai ARPANET, lalu kembali ke
sana untuk masa jabatan kedua satu dasawarsa berselang ketika tengah diciptakan
protokol untuk jaringan cikal bakal Internet. Menurut salah seorang mitra dan
muridnya, Bob Taylor, “Dia adalah bapak dari semua itu.”12
Ayah Licklider
berasal dari keluarga petani Missouri miskin, tetapi kemudian menjadi wiraniaga
asuransi sukses di St. Louis dan sesudah itu—ketika Depresi Besar
mengempaskannya—menjadi pendeta Baptis di sebuah kota pedesaan kecil. Sebagai
anak tunggal yang dimanja, Lick mengubah kamarnya menjadi pabrik-pabrikan
pesawat terbang dan merakit ulang mobil-mobil rongsokan dibantu oleh sang ibu
yang berdiri di samping sambil mengoperinya perkakas. Walau demikian, dia
merasa tidak leluasa tumbuh besar di area rural terpencil yang sarat dengan
pagar kawat berduri.
Dia pertama-tama
kabur ke Universitas Washington di St. Louis dan, sesudah meraih gelar doktor
di bidang psikoakustik (kajian mengenai cara manusia memersepsi bunyi),
bergabung ke lab psikoakustik Harvard. Karena kian lama kian tertarik pada
hubungan antara psikologi dan teknologi, juga pada interaksi antara otak dan
mesin, dia lantas pindah ke MIT untuk mendirikan program studi psikologi yang
berbasis di Departemen Teknik Elektro.
Di MIT Licklider
bergabung dengan kelompok eklektik terdiri atas insinyur, psikolog, dan
budayawan di lingkaran Profesor Norbert Wiener, teoretikus yang mempelajari
kerja sama antara manusia dan mesin serta menggagas istilah sibernetika—yang
menjabarkan bagaimana suatu sistem, dari otak sampai mekanisme pembidik
artileri, belajar lewat komunikasi, kontrol, dan umpan balik.
“Iklim intelektual
di Cambridge sesudah Perang Dunia II bernas sekali,” kenang Licklider. “Wiener
mengadakan acara kumpul-kumpul mingguan yang dihadiri oleh empat puluh, lima
puluh orang. Mereka berhimpun bersama dan berbincang selama beberapa jam. Saya
salah seorang partisipan setia acara itu.”13
Lain dengan
sebagian kolega di MIT, Wiener meyakini strategi paling menjanjikan untuk sains
komputer ialah merancang mesin yang bisa bekerja sama secara padu dengan benak
manusia ketimbang menjadi pengganti otak manusia. “Banyak orang yang mengira
mesin komputasi adalah pengganti kecerdasan dan akan mengurangi keharusan untuk
mencetuskan pemikiran orisinal,” tulis Wiener. “Menurut saya, bukan begitu.”14
Semakin canggih
sebuah komputer akan semakin dimanfaatkan untuk menjembatani pemikiran manusia
yang imajinatif, kreatif, dan berlevel intelektual tinggi. Licklider turut
menggadang-gadang pendekatan ini, yang kelak dia sebut “simbiosis
manusia-komputer”.
Licklider memiliki
selera humor yang jail, tetapi bersahabat. Dia gemar menonton Three Stooges dan
tidak bosan akan pelesetan yang kekanak-kanakan. Terkadang, ketika seorang
kolega hendak menyampaikan presentasi, Licklider diam-diam mengganti slide dengan foto wanita cantik. Untuk bekerja, dia selalu
menyiapkan bekal berupa Coke dan permen dari mesin penjual otomatis. Dia juga
sering membagikan cokelat batangan kepada anak-anaknya dan para mahasiswa kapan
pun mereka membuatnya kegirangan.
Licklider terkenal
penuh perhatian kepada para mahasiswa pascasarjana, yang kerap dia undang untuk
makan malam di rumahnya di kawasan suburban Boston, Arlington. “Inti seluruh
aktivitas dia adalah kolaborasi,” kata putranya, Tracy. “Dia berkeliling ke
mana-mana untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri orang-orang, mendorong
mereka supaya tidak gentar memecahkan persoalan.” Itulah salah satu penyebab
ketertarikan Licklider pada jaringan.
“Dia tahu bahwa
untuk memperoleh solusi bagus, dibutuhkan kolaborasi antara orang-orang yang
berjauhan. Dia gemar melacak orang-orang berbakat dan menghimpun mereka dalam satu
tim.”15
Akan tetapi, peluk
kasih sayang Licklider tidak diberikan kepada orang-orang yang sok atau congkak
(terkecuali Wiener). Ketika merasa seseorang melontarkan omong kosong,
Licklider tidak sungkan berdiri dan mengajukan pertanyaan yang terkesan polos,
tetapi menjebak. Beberapa saat berselang, begitu si pembicara sadar sudah
terkena pukulan telak, barulah Licklider duduk kembali. “Dia tidak menyukai
orang yang sok atau banyak lagak,” kenang Tracy. “Dia tidak pernah bersikap
kejam, tetapi akan dengan cerdik melibas lagak sok orang-orang.”
Salah satu renjana
Licklider adalah seni. Kapan pun bepergian, Licklider bisa menghabiskan
berjam-jam di museum, terkadang menyeret kedua anaknya yang enggan. “Dia bisa
tergila-gila, tidak pernah bosan,” kata Tracy. Kadang-kadang Licklider
menghabiskan lima jam atau lebih di museum untuk mengagumi tiap sapuan kuas,
menganalisis perpaduan warna yang membentuk kesatuan utuh dalam satu lukisan,
dan coba mengambil pelajaran mengenai kreativitas dari karya seni tersebut.
Dia mempunyai
insting untuk mengenali bakat dalam segala bidang, baik seni maupun sains.
Namun, dia merasa bakat mumpuni mudah dikenali lewat ekspresinya yang paling
murni, semisal dalam sapuan kuas pelukis atau refrein merdu gubahan seorang
komposer. Licklider mengatakan bahwa dia mencari kreativitas yang serupa dalam
desain komputer atau diri insinyur jaringan.
“Dia mahir melacak
jejak-jejak kreativitas. Dia sering kali mendiskusikan apa sebabnya orang bisa
kreatif. Dia merasa mudah mengenali seniman yang kreatif maka dia berusaha
lebih keras lagi supaya bisa mengidentifikasi kreativitas dalam diri insinyur
juga, yang wujud kreativitasnya tidak sejelas sapuan kuas di atas kanvas.”16
Licklider juga baik
hati. Ketika bekerja di Pentagon kelak, menurut penulis biografinya, Mitchell
Waldrop, Licklider melihat seorang wanita petugas kebersihan mengagumi lukisan
cetak di dinding kantornya suatu malam. Wanita itu mengatakan kepadanya, “Saya
sengaja membersihkan ruangan Anda paling akhir, Dr. Licklider, karena saya
ingin menikmati setiap gambar tanpa terburu-buru.” Licklider menanyakan yang
mana yang paling dia sukai, lalu wanita itu menunjuk lukisan cetak Cézanne.
Licklider kegirangan karena gambar itu favoritnya juga, lalu dia serta-merta
memberikan lukisan cetak tersebut kepada sang petugas kebersihan.17
Licklider merasa
kecintaan terhadap seni membuatnya lebih intuitif. Dia bisa memproses informasi
yang amat beragam dan mengidentifikasi polanya. Satu sifat lain, yang akan
bermanfaat ketika dia turut menghimpun tim peletak batu fondasi Internet, ialah
kegemaran berbagi ide tanpa ingin dipuja-puji sebagai penggagasnya. Saking
tidak egoisnya, Licklider terkesan lebih senang membagi-bagikan ide daripada
mengklaim hak milik atas ide yang tercetus di tengah percakapan.
“Sekalipun
berpengaruh besar dalam bidang komputasi, Lick tetap saja rendah hati,” kata
Bob Taylor. “Korban guyonan favoritnya adalah dirinya sendiri.”18
TIME-SHARING DAN SIMBIOSIS MANUSIA-KOMPUTER
Di MIT Licklider berkolaborasi dengan tokoh
pionir kecerdasan buatan, John McCarthy, yang labnya menjadi tempat para
peretas Tech Model Railroad Club menciptakan Spacewar. Dikomandoi oleh
McCarthy, mereka membantu mengembangkan, pada periode 1950-an, sistem time-sharing komputer.
Sampai saat itu,
ketika ingin menggunakan komputer untuk mengerjakan sesuatu, kita harus
menyerahkan setumpuk kartu berlubang atau pita kertas kepada operator, seperti
menyerahkan sesaji kepada pendeta yang melindungi seorang peramal. Metode ini
dikenal dengan istilah “batch processing” dan
menyebalkannya minta ampun. Butuh berjam-jam atau malah berhari-hari untuk
memperoleh hasil; kekeliruan sekecil apa pun bisa saja mengharuskan kita
kembali menyerahkan setumpuk kartu untuk diolah lagi; dan kita tidak punya
kesempatan menyentuh atau bahkan melihat komputer itu sendiri.
Time-sharing berbeda. Dengan sistem itu, banyak terminal bisa disambungkan ke
komputer mainframe yang sama sehingga lebih dari satu
pengguna bisa mengetikkan perintah secara langsung dan memperoleh respons
hampir seketika. Seperti grandmaster yang bermain
catur dengan banyak lawan secara serempak, memori inti komputer mainframe akan melacak semua pengguna, sedangkan sistem
operasinya mempunyai kemampuan multitasking dan
menjalankan banyak program.
Sistem semacam ini
memberikan pengalaman memikat bagi pengguna: kita bisa mengoperasikan dan
berinteraksi langsung dengan komputer, seperti berbincang empat mata. “Muncul
semacam sekte baru di sini, begitu orang-orang sadar bahwa proses baru tersebut
lain sekali dengan batch processing,” kata Licklider.19
Time-sharing merupakan langkah maju menuju kemitraan atau simbiosis
manusia-komputer yang betul-betul tak terperantarai. “Penemuan metode interaktif untuk menggunakan komputer—dalam bentuk time-sharing—malah lebih penting daripada komputer itu
sendiri,” menurut Bob Taylor. “Batch processing sama
seperti surat-menyurat dengan seseorang, sedangkan komputasi interaktif sama
seperti mengobrol dengan orang itu.”20
Pentingnya
komputasi interaktif menjadi jelas di Lincoln Laboratory, sentra riset yang
didanai oleh militer dan turut didirikan oleh Licklider di MIT pada 1951. Di
sanalah Licklider merajut tim, setengahnya psikolog dan setengahnya insinyur,
untuk mencari cara supaya manusia bisa berinteraksi secara lebih intuitif
dengan komputer dan informasi dapat disuguhkan dengan antarmuka yang lebih
bersahabat.
Salah satu misi
Lincoln Laboratory ialah mengembangkan komputer untuk sistem pertahanan udara
yang akan memberikan peringatan awal bila musuh menyerang dan mengoordinasikan
tanggap darurat. Sistem tersebut dinamai SAGE (Semi-Automatic Ground
Environment) dan membutuhkan biaya serta pekerja lebih banyak daripada program
pembuatan bom atom Manhattan Project.
Agar sistem SAGE
berfungsi sebagaimana mestinya, para pengguna mesti bisa berinteraksi langsung
dengan komputer. Ketika misil atau pesawat pengebom musuh tengah mendekat,
tidak ada waktu untuk mengerjakan kalkulasi dengan batch
processing.
Sistem SAGE terdiri
atas 23 sentra pelacakan di seluruh Amerika Serikat, yang terhubung satu sama
lain dengan sambungan langsung telepon jarak jauh. Sistem ini mampu
menyebarluaskan informasi mengenai maksimal 400 pesawat yang melaju kencang
secara serempak. Untuk itu, dibutuhkan komputer interaktif canggih, jaringan
yang dapat mentransmisikan informasi bervolume besar, dan monitor yang bisa
menyuguhkan informasi tersebut dalam bentuk grafis yang mudah dimengerti.
Berkat latar
belakang di bidang psikologi, Licklider dipanggil untuk membantu mendesain
tampilan antarmuka manusia-mesin (tampilan yang pengguna lihat di layar).
Licklider memformulasikan seperangkat teori mengenai cara-cara memupuk
simbiosis atau kemitraan yang padu supaya manusia dan mesin dapat bekerja sama
untuk memecahkan persoalan. Yang terpenting, perubahan kondisi mesti bisa ditampilkan
secara visual.
“Kami menginginkan
metode untuk menangkap situasi udara dari detik per detik, metode untuk memplot
lintasan—bukan titik-titik—dan mewarnai lintasan agar informasi terbaru bisa
kelihatan dan arah geraknya bisa diprediksi,” jelas Licklider.21 Nasib Amerika Serikat mungkin akan ditentukan oleh bisa-tidaknya juru
kendali konsol mengevaluasi data secara tepat dan merespons secara serta-merta.
Komputer yang
interaktif, antarmuka yang intuitif, dan jaringan berkecepatan tinggi membuktikan
bahwa manusia dan mesin dapat bekerja sama serta bermitra secara kolaboratif.
Licklider membayangkan kerja sama semacam ini bisa dimanfaatkan lebih dari
sekadar untuk sistem pertahanan udara.
Dia mulai
membicarakan—menurut istilah Licklider sendiri—“sistem SAGE sungguhan” (sage berarti ‘bijak bestari’) yang bukan saja akan
menghubungkan sentra-sentra pertahanan udara, tetapi juga “sentra-sentra
berpikir” berupa perpustakaan pengetahuan raksasa, tempat orang-orang
berinteraksi lewat konsol antarmuka ramah pengguna. Singkat kata, Licklider
membayangkan dunia digital seperti yang kita kenal sekarang.
Ide pokok tersebut
tertuang dalam salah satu karya ilmiah terpenting dalam sejarah teknologi
pasca-Perang Dunia II, yang berjudul “Simbiosis Manusia-Komputer” dan
diterbitkan oleh Licklider pada 1960. “Mudah-mudahan pada masa yang tidak lama
lagi otak manusia dan mesin komputasi bisa bekerja sama dengan sangat erat,”
tulis Licklider, “sedangkan hasil kemitraan tersebut bisa mengungguli daya
pikir manusia serta memproses data secara lebih mumpuni ketimbang mesin
pengolah informasi yang kita kenal dewasa ini.” Kalimat ini layak dibaca ulang
karena mengandung salah satu konsep sentral era digital.22
Licklider sepakat
dengan Norbert Wiener—penggagas teori sibernetika, yang memegang asumsi dasar
kerja sama erat antara manusia dan mesin—alih-alih dengan kolega mereka di MIT
seperti Marvin Minsky dan John McCarthy, yang bercita-cita menciptakan
kecerdasan buatan lewat mesin berpikir yang bisa belajar sendiri dan nantinya
mereplikasi daya kognitif manusia. Sebagaimana Licklider jelaskan, lebih masuk
akal untuk menciptakan lingkungan yang kondusif supaya manusia dan mesin dapat
“bekerja sama dalam membuat keputusan”. Dengan kata lain, manusia dan mesin
akan saling melengkapi.
“Manusia menetapkan
sasaran, memformulasikan hipotesis, menentukan kriteria, dan melakukan
evaluasi. Mesin komputasi mengerjakan tugas-tugas rutin untuk membantu manusia
menelurkan gagasan dan keputusan di ranah sains dan teknologi.”
JARINGAN KOMPUTER ANTARGALAKSI
Sambil mengawinkan minat di bidang psikologi dan
rekayasa teknologi, Licklider semakin fokus saja pada komputer. Alhasil, pada
1957, dia memutuskan untuk masuk ke firma anyar yang berbasis di Cambridge,
Bolt, Beranek and Newman (BBN), perusahaan riset komersial-akademis yang juga
mempekerjakan banyak teman Licklider. Sama seperti di Bell Labs ketika
transistor diciptakan, BBN mengumpulkan orang-orang dengan bakat beragam,
antara lain para teoretikus, insinyur, teknisi, ilmuwan komputer, psikolog, dan
sesekali melibatkan Kolonel Angkatan Darat.23
Salah satu tanggung
jawab Licklider di BBN ialah memimpin tim yang ditugasi mencari cara supaya
komputer bisa mentransformasi perpustakaan. Licklider mendiktekan laporan
akhirnya, “Perpustakaan Masa Depan” (“Libraries of the Future”), dalam waktu
lima jam selagi duduk di samping kolam renang ketika berada di Las Vegas untuk
menghadiri konferensi.24
Laporan tersebut
mengeksplorasi potensi “alat-alat dan teknik yang memerantarai interaksi
manusia-komputer dalam satu jaringan”—dengan kata lain, jaringan Internet.
Licklider membayangkan database raksasa yang
digawangi oleh semacam pustakawan atau kurator—yang bertugas menapis dan
memilah-milah informasi—supaya database itu “tidak
terlalu meruah dan melantur, agar isinya tetap bisa diandalkan.”
Dalam bagian paling
berwarna di laporan itu, Licklider menyuguhkan skenario fiktif. Dia
membayangkan bertanya pada mesin, kemudian mesin menindaklanjuti, “Sepanjang
akhir pekan, mesin meraup lebih dari 100 ribu dokumen, memindai bagian yang
relevan, menganalisis bagian tersebut dan mengurutkannya berdasarkan tingkat
kesesuaian, lalu mencuplik sejumlah pernyataan untuk dimasukkan ke database.”
Licklider mafhum
pendekatan yang dia jabarkan niscaya akan terlampaui. “Pendekatan yang lebih
canggih tentu sudah tersedia sebelum 1994,” tulisnya, meneropong ke tiga
dasawarsa kemudian.25 Perkiraannya ternyata jitu. Pada 1994 dua
mesin pencari pertama perambah teks, WebCrawler dan Lycos, dikembangkan untuk
Internet, yang segera saja disusul oleh Excite, Infoseek, AltaVista, dan
Google.
Licklider juga
memprediksi sesuatu yang kontra-intuitif, tetapi ternyata benar: informasi
digital takkan menggantikan media cetak sepenuhnya. “Sebagai medium untuk
menyuguhkan informasi, halaman cetak amatlah luar biasa,” tulisnya.
“Resolusinya sesuai dengan kebutuhan mata. Media cetak memuat informasi yang
cukup untuk menyibukkan pembaca dalam rentang waktu tertentu, jenis huruf dan
formatnya fleksibel. Pembaca bisa bebas membaca sesuka hati, sebanyak yang dia
inginkan dan di mana saja yang dia inginkan. Media cetak berukuran kecil,
ringan, portabel, bisa digunting dan tempel, mudah diganti dan diperbanyak,
mudah dibuang, dan tidak mahal.”26
Oktober 1962, selagi masih mengerjakan proyek
“Perpustakaan Masa Depan”, Licklider ditarik ke Washington untuk mengepalai
kantor anyar yang bertanggung jawab atas pemrosesan informasi di bawah salah
satu badan Departemen Pertahanan AS, yaitu Advanced Research Projects Agency
alias ARPA.*2 Badan yang berkantor di Pentagon ini diberi wewenang untuk mendanai
penelitian ilmu dasar di perguruan tinggi dan lembaga riset perusahaan sehingga
menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam mengejawantahkan visi Vannevar
Bush.
ARPA juga memiliki
sasaran yang lebih gamblang. Pada 4 Oktober 1957 Rusia meluncurkan Sputnik,
satelit pertama buatan manusia. Keterkaitan antara sains dan pertahanan yang
disebut-sebut Bush kini tampak nyata di langit malam, berkelap-kelip bagaikan
bintang. Ketika menyipitkan mata ke angkasa untuk melihat Sputnik, warga
Amerika Serikat sekaligus tahu bahwa Bush benar. Bangsa yang paling serius
mendanai riset sains terbaik akan memproduksi roket dan satelit terbaik pula.
Publik yang panik kontan berteriak-teriak agar pemerintah lebih menaruh
perhatian di bidang sains dan teknologi.
Presiden Eisenhower
menyukai para ilmuwan. Kultur dan cara berpikir mereka, kemampuan mereka
bersikap rasional dan tidak partisan, memikat hati Eisenhower. “Mencintai
kebebasan berarti melindungi tiap pilarnya—dari kesakralan keluarga kita,
kekayaan tanah kita, hingga kegeniusan ilmuwan kita,” kata Eisenhower dalam
pidato pelantikannya yang pertama. Dia mengadakan pesta makan malam di Gedung
Putih untuk ilmuwan seperti halnya Presiden Kennedy menggelar pesta untuk
seniman, dan merekrut banyak ilmuwan sebagai penasihat.
Sputnik memberi
Eisenhower alasan untuk memformalkan perkongsian dengan para ilmuwan. Kurang
dari dua minggu setelah peluncuran satelit itu, Eisenhower mengumpulkan jajaran
teratas penasihat sains (berjumlah lima belas orang) untuk Office of Defense
Mobilization dan menanyakan—kenang ajudannya, Sherman Adams, “Di mana
penelitian ilmiah mesti ditempatkan dalam struktur pemerintah federal?”27
Eisenhower kemudian
sarapan bersama James Killian, Presiden MIT, dan menunjuknya sebagai Penasihat
Presiden Bidang Sains Purnawaktu.28 Bersama dengan Menteri
Pertahanan, Killian merumuskan rencana yang diumumkan pada Januari 1958 untuk
menempatkan Advanced Research Projects Agency di Pentagon. Sebagaimana ditulis
oleh sejarawan Fred Turner, “ARPA merupakan kelanjutan kolaborasi
militer-perguruan tinggi berorientasi pertahanan yang bermula sejak Perang
Dunia II.”29
Kantor di bawah
ARPA yang dipimpin oleh Licklider bernama Command and Control Research. Misinya
ialah mengkaji bagaimana komputer interaktif dapat menjembatani aliran
informasi. ARPA membuka satu lagi lowongan untuk mengepalai kelompok yang
mengkaji faktor-faktor psikologis dalam pembuatan keputusan militer. Licklider
berargumen bahwa kedua topik ini mestinya disatukan.
“Saya mulai
menggembar-gemborkan pendapat bahwa persoalan komando dan kendali sejatinya
perkara interaksi manusia-komputer,” kata dia kelak.30 Licklider setuju
untuk mengemban kedua tugas tersebut dan menamai kelompok baru itu Information
Processing Techniques Office (IPTO).
Licklider mempunyai
banyak ide menggairahkan, yang paling mencolok mengenai time-sharing,
interaksi langsung manusia-mesin, dan antarmuka yang memudahkan simbiosis
manusia-mesin. Kesemuanya terhimpun menjadi satu konsep sederhana: jaringan. Dengan
selera humor yang sarkastis, dia mulai menyebut visinya dengan frasa yang
“sengaja dibuat bombastis”, yaitu “Jaringan Komputer Antargalaksi”.31
Dalam memo
tertanggal April 1963 yang ditujukan kepada “para anggota dan rekanan” jaringan
impian itu, Licklider menjabarkan tujuannya, “Bayangkan apabila sejumlah sentra
dapat dihubungkan satu sama lain dengan satu jaringan .... Bukankah semua
sentra tersebut perlu, atau bahkan harus, menyepakati satu bahasa, atau
setidaknya satu konvensi, untuk mengajukan pertanyaan seperti, ‘Apa bahasamu?’”32
BOB TAYLOR DAN LARRY ROBERTS
Lain dengan banyak pasangan yang menggerakkan
kemajuan pada era digital, Bob Taylor dan Larry Roberts tidak pernah berteman,
baik sebelum maupun sesudah bekerja bersama di IPTO. Malah pada tahun-tahun
belakangan di sana, mereka dengan getir berlomba-lomba mengecilkan kontribusi
satu sama lain.
“Larry mengklaim
bahwa dia yang menghamparkan fondasi jaringan. Itu bohong,” protes Taylor pada
2014. “Jangan percayai kata-katanya. Saya kasihan padanya.”33 Sebaliknya, Roberts mengklaim Taylor mendendam karena kurang dihargai.
“Menurut saya, kontribusinya hanya satu, yaitu mempekerjakan saya. Cuma itu
penghargaan yang patut Bob peroleh.”34
Akan tetapi, selama
empat tahun bekerja bersama di ARPA pada 1960-an, Taylor dan Roberts saling
melengkapi secara pas. Taylor bukan ilmuwan brilian; dia bahkan tidak mempunyai
gelar doktor. Namun, dia berkepribadian ramah dan persuasif, juga memiliki
magnet yang mampu menarik orang-orang berbakat. Sebaliknya, Roberts insinyur
yang sangat total dalam bekerja, berperangai kaku nyaris ketus, dan malah
sempat mengukur waktu tempuh berbagai rute jalan kaki di antara kantor-kantor
di Pentagon yang luas dengan stopwatch.
Para kolega tidak
terpesona kepada Roberts, mereka terperangah akan kehebatannya. Dengan sikap
yang tegas dan blakblakan, Roberts mampu menjadi manajer yang kompeten,
kalaupun bukan manajer yang disayangi. Taylor pintar merayu orang, sedangkan
Roberts membuat orang terkesan dengan kecerdasannya.
Bob Taylor lahir pada 1932 di rumah singgah untuk
wanita yang hamil di luar nikah di Dallas. Dia dinaikkan ke kereta api menuju
panti asuhan di San Antonio, dan diadopsi ketika berumur 28 hari oleh seorang
pendeta Methodis dan istrinya. Keluarga itu pindah rumah tiap beberapa tahun
untuk mewartakan Injil ke kota-kota seperti Uvalde, Ozona, Victoria, San
Antonio, dan Mercedes.35 Taylor mengatakan masa kecil seperti itu
meninggalkan dua jejak di kepribadiannya.
Sama seperti Steve
Jobs, yang juga diadopsi, Taylor kerap diberi tahu orangtuanya bahwa dia
“dipilih secara khusus”. Taylor berkelakar, “Semua orangtua lain harus terima
jadi begitu saja, tetapi saya dipilih. Barangkali itulah sebabnya saya kelewat
percaya diri.” Karena sering pindah, dia juga harus berkali-kali menjalin
hubungan baru, mempelajari bahasa slang baru, dan mengamankan posisi di dalam
tatanan sosial kota kecil. “Kami harus menjalin pertemanan baru dan berhadapan
dengan prasangka baru tiap kali pindah.”36
Taylor kuliah
psikologi eksperimental di Southern Methodist University, mengabdi di Angkatan
Laut, dan meraih gelar magister dari Universitas Texas. Saat mengerjakan
makalah psikoakustik, dia harus menyerahkan data di kartu-kartu berlubang untuk
diolah dengan batch processing oleh sistem komputer
di universitas.
“Saya harus
membawa-bawa sekelompok kartu yang pemrosesannya butuh berhari-hari, lalu
terkadang mereka bilang bahwa saya salah menempatkan koma di kartu 635 atau
apalah sehingga saya harus mengulang semuanya,” kata Taylor. “Saya jadi marah
karenanya.” Dia sadar ada cara lain yang lebih bagus ketika membaca makalah
Licklider tentang mesin interaktif dan simbiosis manusia-mesin. Taylor sontak
mendapat pencerahan. “Betul, seharusnya begini!” dia ingat sempat membatin
seperti itu.37
Setelah mengajar di
sekolah swasta unggulan dan bekerja di perusahaan kontraktor pertahanan di
Florida, Taylor mendapat pekerjaan di markas besar NASA di Washington, D.C.,
sebagai penanggung jawab penelitian untuk display
simulasi penerbangan. Saat itu Licklider sudah memimpin IPTO di ARPA dan, dalam
kapasitas tersebut, menggelar pertemuan rutin dengan badan-badan pemerintah
lain yang cakupan kerjanya serupa.
Ketika bertemu
Taylor pada akhir 1962, Licklider menyebut bahwa dia tahu tentang makalah
psikoakustik yang Taylor tulis di Universitas Texas. (Dosen pembimbing Taylor
adalah teman Licklider.) “Saya amat tersanjung,” kenang Taylor, “mulai saat
itu, saya menjadi pengagum dan teman baik Lick.”
Taylor dan
Licklider terkadang bepergian ke konferensi bersama-sama sehingga kian
mempererat pertemanan mereka. Dalam perjalanan ke Yunani pada 1963, Licklider
mengajak Taylor ke salah satu museum seni di Athena dan mendemonstrasikan
tekniknya untuk mengkaji sapuan kuas, yakni dengan memelototi satu lukisan. Di
kedai minum malam itu Taylor yang supel diundang duduk bersama band dan mengajari mereka memainkan lagu-lagu Hank
Williams.38
Lain dengan
sebagian insinyur, Licklider dan Taylor sama-sama memahami faktor manusia;
mereka mempelajari psikologi, bisa memaklumi dan bertenggang rasa dengan orang
lain, dan suka mengapresiasi seni serta musik. Walaupun Taylor heboh dan
Licklider cenderung kalem, mereka sama-sama suka bekerja dengan orang lain,
menjalin pertemanan, dan memupuk bakat-bakat baru. Kesukaan berinteraksi dan
kemampuan untuk mengapresiasi pentingnya interaksi semacam itu menjadikan
keduanya cocok untuk mendesain antarmuka manusia dan mesin.
Ketika Licklider
mundur dari IPTO, deputinya, Ivan Sutherland, menjadi pemimpin sementara dan,
atas desakan Licklider, Taylor pindah dari NASA untuk menjadi deputi
Sutherland. Taylor salah satu dari segelintir orang yang mafhum bahwa teknologi
informasi mungkin saja lebih mengasyikkan daripada program antariksa. Sesudah
Sutherland mengundurkan diri pada 1966 untuk menjadi dosen tetap di Harvard,
Taylor bukanlah calon kuat untuk menggantikannya. Sebab, dia tidak bergelar PhD
dan bukan ilmuwan komputer. Namun, Taylor akhirnya ditunjuk sebagai Kepala
IPTO.
Tiga hal di IPTO
menjadi sorotan utama Taylor. Pertama, tiap perguruan
tinggi dan lembaga riset yang menjalin kontrak dengan ARPA menginginkan
komputer terbaru berkapasitas paling canggih. Menurutnya, ini pemborosan dan
tidak efektif.
Mungkin saja ada
komputer untuk mengerjakan grafis di Salt Lake City dan komputer lain untuk
menjaring data di Stanford. Namun, seorang peneliti yang mesti mengerjakan
keduanya harus bolak-balik naik pesawat atau meminta IPTO mendanai pembelian
satu komputer lagi. Tidak bisakah komputer-komputer tersebut disambungkan
dengan jaringan saja supaya para pengguna dapat memanfaatkan komputer satu sama
lain dengan sistem time-sharing?
Kedua, dalam perjalanan menemui para peneliti muda, Taylor mendapati bahwa
orang-orang yang berada di satu tempat ingin sekali tahu tentang penelitian
yang berlangsung di tempat lain. Taylor menyadari alangkah bagusnya apabila
mereka dapat dihubungkan secara elektronik supaya dapat lebih mudah berbagi. Ketiga, Taylor tercengang karena tiga terminal di kantornya
di Pentagon, yang masing-masing mempunyai kata kunci dan program sendiri,
terhubung ke sentra komputer berlainan yang didanai oleh ARPA.
“Konyol benar,”
pikirnya. “Aku seharusnya bisa mengakses sistem mana saja dari satu terminal.”
Gara-gara tiga terminal itu, kata Taylor, “terbetiklah ide di benak saya.”39 Ketiga persoalan tersebut bisa dipecahkan dengan membuat jaringan data
untuk menghubungkan sentra riset satu sama lain. Dengan kata lain, asalkan
Taylor dapat mewujudkan impian Licklider tentang Jaringan Komputer
Antargalaksi, ketiga persoalan tersebut niscaya terpecahkan.
Taylor kemudian
melangkahkan kaki ke Lingkar-E Pentagon untuk menemui bosnya, Direktur ARPA
Charles Herzfeld. Dengan logat Texas-nya, Taylor tahu cara memikat Herzfeld,
cendekiawan pelarian dari Wina. Taylor tidak membawa bahan presentasi atau
memo, tetapi langsung menjajakan proyeknya dengan penuh percaya diri. Jaringan
yang didanai dan dikelola oleh ARPA bisa menjembatani penggunaan komputer
antarsentra riset yang berlainan, memfasilitasi kolaborasi dalam berbagai proyek,
dan memungkinkan Taylor untuk mengenyahkan dua terminal komputer di kantornya.
“Ide yang luar
biasa,” kata Herzfeld. “Silakan kerjakan. Anda butuh uang berapa?”
Taylor mengakui,
untuk modal awal proyek itu saja, butuh kira-kira $1 juta.
“Baiklah,” kata
Herzfeld.
Dalam perjalanan
kembali ke kantornya, Taylor melirik arloji. “Astaga,” gumamnya, “cuma dua
puluh menit.”40
Cerita ini sering
Taylor sampaikan dalam wawancara dan paparan lisannya. Herzfeld menyukai kisah
tersebut, tetapi belakangan merasa perlu memberitahukan bahwa cerita itu agak
menyesatkan. “Dia luput menyampaikan bahwa saya sudah tiga tahun mengkaji
persoalan itu dengannya dan Licklider,” kata Herzfeld. “Memperoleh beberapa
juta dolar tidaklah sulit karena saya memang sudah menanti-nantikan permintaan
itu.”41
Taylor mengakui
paparan Herzfeld benar dan lantas menambahkan komentar tak terduga, “Sebenarnya
saya senang sekali Charlie mengambil uang itu dari anggaran untuk pengembangan
sistem pertahanan rudal, yang menurut saya merupakan ide yang amat tolol dan
berbahaya.”42
Taylor kini
memerlukan orang untuk memimpin proyek tersebut. Larry Roberts adalah pilihan
tepat—mungkin malah pilihan satu-satunya—untuk tugas itu.
Roberts sepertinya dilahirkan dan dididik demi
menjadi pencipta Internet. Orangtuanya memiliki gelar doktor di bidang kimia,
dan semasa kanak-kanak, Roberts yang tinggal di dekat Yale pernah merakit
televisi, kumparan Tesla,*3 radio amatir, dan
sambungan telepon dari nol. Dia memperoleh gelar sarjana, magister, serta
doktor di bidang teknik dari MIT. Terkesan akan makalah Licklider mengenai
simbiosis manusia-komputer, Roberts memilih untuk bekerja dengannya di Lincoln
Laboratory dan menjadi murid Licklider di bidang time-sharing,
jaringan, serta antarmuka.
Salah satu
eksperimen Roberts di Lincoln Laboratory ialah mengenai penyambungan dua
komputer yang berjauhan; percobaan itu didanai oleh Bob Taylor di ARPA.
“Licklider mengilhami saya dengan visinya tentang jaringan yang menghubungkan
komputer satu sama lain,” kenang Roberts, “dan saya memutuskan bekerja di
bidang itu.”
Akan tetapi,
Roberts terus saja menolak tawaran Taylor untuk pindah ke Washington dan
menjadi deputinya. Dia menyukai pekerjaan di Lincoln Laboratory dan tidak
terlalu menghormati Taylor. Selain itu, ada satu hal yang tidak Taylor ketahui,
yaitu setahun sebelumnya Roberts telah ditawari pekerjaan sebagai Kepala IPTO.
“Sewaktu Ivan hendak keluar, dia meminta saya pindah ke IPTO untuk
menggantikannya sebagai direktur, tetapi itu jabatan manajerial, sedangkan saya
lebih suka riset,” kata Roberts. Setelah menolak jabatan tertinggi, pantas saja
Roberts tidak sudi menjadi deputi Taylor. “Lupakan saja,” katanya kepada
Taylor. “Saya sibuk. Saya sedang asyik mengerjakan penelitian yang luar biasa
menyenangkan.”43
Ada satu alasan
lain di balik penolakan Roberts yang bisa Taylor rasakan. “Larry doktor lulusan
MIT, sedangkan saya lulusan Texas dan hanya punya gelar magister pula,” Taylor
kelak berkata. “Jadi, saya memperkirakan dia tidak mau bekerja di bawah saya.”44
Kendati begitu,
Taylor orang Texas yang cerdik dan keras kepala. Pada musim gugur 1966 dia
menanyai Herzfeld, “Charlie, bukankah 51% anggaran Lincoln Laboratory berasal
dari ARPA?” Herzfeld mengiyakan. “Jadi begini, saya sedang mengerjakan proyek
jaringan itu dan kesusahan merekrut manajer proyek yang saya inginkan.
Kebetulan orang itu bekerja di Lincoln Laboratory.” Barangkali Herzfeld bisa
menelepon kepala lab, usul Taylor, dan mengatakan demi kepentingan lembaga
riset tersebut, akan lebih baik apabila Roberts menerima pekerjaan di IPTO.
Taktik culas
seperti ini betul-betul khas Texas dan niscaya akan disetujui oleh presiden
saat itu, Lyndon Johnson. Sang kepala lab memahami ancaman tersirat tersebut.
“Mungkin akan lebih baik bagi kita semua apabila kau mempertimbangkan tawaran
tersebut,” katanya kepada Roberts setelah menerima telepon Herzfeld.
Maka, pada Desember
1966, mulailah Larry Roberts bekerja di ARPA. “Larry Roberts menjadi terkenal
karena saya peras,” Taylor kelak berkata.45
Ketika baru pindah
ke Washington, kira-kira saat Natal, Roberts dan istrinya menginap di rumah
Taylor sementara mereka masih mencari tempat tinggal. Walaupun tidak
ditakdirkan menjadi sobat karib, hubungan keduanya santun dan profesional,
setidak-tidaknya pada tahun-tahun kebersamaan di ARPA.46
Roberts tidak
seramah Licklider, tidak seekstrover Taylor, dan tidak seegaliter Bob Noyce.
“Larry sedingin es,” menurut Taylor.47 Namun, dia mempunyai
sifat yang sama pentingnya untuk memupuk kreativitas kolaboratif dan mengelola
tim, yakni ketegasan. Yang lebih penting, ketegasan tersebut bukanlah hasil
emosi atau rasa pilih kasih, tetapi bersumber dari analisis saksama dan
rasional mengenai opsi-opsi yang tersedia.
Para kolega
menghormati keputusan Roberts, bahkan kalaupun mereka tidak setuju, karena dia
terang-terangan, lugas, dan adil. Demikianlah satu sisi positif dari pemimpin
yang insinyur produk tulen. Karena tidak nyaman menjadi deputi Taylor, Roberts
meminta kepada petinggi top ARPA, Charlie Herzfeld, agar diberi jabatan sebagai
ilmuwan kepala saja di badan itu. “Saya menjadi pengawas kontrak-kontrak kami
pada siang hari dan mengerjakan riset jaringan pada malam hari,” kenangnya.48
Sebaliknya, Taylor
berwatak periang, gemar bergurau, dan bahkan berisik. “Saya ini orang yang suka
bergaul,” komentarnya. Tiap tahun dia menyelenggarakan konferensi untuk para
peneliti yang didanai oleh ARPA dan acara kumpul-kumpul mahasiswa pascasarjana
paling berprestasi di universitas mitra ARPA, biasanya di tempat yang
menyenangkan seperti Park City, Utah, dan New Orleans. Dia menyuruh tiap
peneliti menampilkan presentasi dan kemudian semua orang boleh menyampaikan
pertanyaan serta saran.
Dengan cara itulah
Taylor bisa mengenali siapa-siapa saja peneliti yang sedang naik daun di
sepenjuru negeri, menjadikannya bak magnet yang mampu menarik orang-orang
berbakat—kemampuan yang akan sangat bermanfaat ketika dia pindah kerja ke Xerox
PARC. Dengan cara itu pula Taylor berhasil meraih salah satu sasaran
pentingnya: supaya jaringan bisa dibuat, semua orang harus diyakinkan dahulu
bahwa jaringan tersebut memang perlu dibuat.
ARPANET
Taylor tahu bahwa dia mesti menjajakan ide
mengenai jaringan untuk time-sharing kepada
orang-orang yang nantinya akan dibantu oleh keberadaan jaringan itu—dengan kata
lain, para peneliti yang memperoleh pendanaan dari ARPA. Oleh karena itu, dia
mengundang mereka untuk rapat di Universitas Michigan pada April 1967 dan di
sana, Taylor dan Roberts lantas mempresentasikan rencana tersebut.
Situs-situs
komputer akan terhubung satu sama lain, Roberts menjelaskan, lewat jaringan
telepon. Dia menjabarkan dua tipe jaringan yang bisa dijajaki: 1) sistem simpul
dengan satu komputer sentral di tempat seperti Omaha yang kemudian akan
meneruskan informasi ke sana sini, atau 2) sistem mirip jaring laba-laba yang
bersilangan dan berpotongan di mana-mana. Roberts dan Taylor cenderung menyukai
pendekatan terdesentralisasi karena lebih aman. Informasi dapat dioperkan dari
nodus ke nodus sampai tiba di tujuan.
Banyak partisipan
yang ternyata enggan untuk bergabung ke jaringan. “Perguruan tinggi pada
umumnya tidak mau berbagi komputer dengan yang lain,” kata Roberts. “Mereka
ingin membeli mesin sendiri dan lantas bersembunyi di pojokan.”49 Selain itu, mereka tidak mau daya pemrosesan komputer mereka yang
berharga dipakai untuk mengalihkan informasi ke komputer lain—suatu keniscayaan
apabila mereka bergabung ke jaringan.
Orang pertama yang
mengajukan keberatan adalah Marvin Minsky dari Lab Kecerdasan Buatan MIT dan
mantan koleganya, John McCarthy, yang telah pindah ke Stanford. Komputer
mereka, kata Minsky dan McCarthy, sudah digunakan hingga kapasitas maksimal.
Apa untungnya memperkenankan komputer lain “menyedot” daya pemrosesan komputer
mereka? Selain itu, mereka tidak mau menerima beban tambahan, yaitu mengalihkan
lalu lintas data dari komputer-komputer yang tidak mereka kenal dan yang
bahasanya lain dengan komputer mereka.
“Keduanya
mengeluhkan daya komputasi yang niscaya berkurang dan mengatakan mereka tidak
ingin turut serta,” kenang Taylor. “Saya katakan bahwa mereka harus mau demi
menekan anggaran. Dengan demikian, saya bisa menggelontorkan dana untuk
kebutuhan lain daripada hanya membeli komputer terus-menerus.”50
Taylor yang
persuasif dan Roberts yang teguh mengingatkan kepada para partisipan bahwa
mereka didanai oleh ARPA. “Kami akan membangun jaringan dan Anda harus
berpartisipasi,” Roberts menyatakan dengan datar. “Dan, Anda harus
menghubungkan jaringan itu ke komputer Anda.”51 Jika tidak
menghubungkan komputer ke jaringan, mereka takkan memperoleh pendanaan tambahan
untuk komputer baru.
Ide baru sering
kali tercetus dalam interaksi langsung di berbagai rapat, salah satunya di
penghujung sesi pertemuan di Michigan. Berkat ide tersebut, tentangan terhadap
jaringan menjadi agak surut. Penggagasnya adalah Wes Clark, yang baru saja
membuat personal computer berjuluk LINC di Lincoln
Laboratory. Karena lebih tertarik mengembangkan komputer yang didesain untuk
penggunaan pribadi daripada mempromosikan time-sharing
di komputer besar, Clark tidak terlalu memperhatikan presentasi Taylor dan
Roberts. Menjelang akhir pertemuan, dia menyadari apa sebabnya banyak pusat
riset enggan menerima wacana pembuatan jaringan.
“Tepat sebelum kami
bubar, saya mendadak sadar apa inti persoalannya,” kata Clark. “Saya
mengoperkan pesan kepada Larry untuk menyampaikan bahwa saya punya ide untuk
memecahkan masalah tersebut.”52 Dalam perjalanan ke
bandara, di mobil sewaan yang Taylor kemudikan, Clark menjelaskan gagasannya
kepada Roberts dan dua kolega lain. Daripada memaksa komputer riset di masing-masing
lokasi menangani pengalihan data, kata Clark, mending ARPA mendesain dan
memberikan minikomputer terstandarkan yang khusus bertugas mengalihkan lalu
lintas data untuk setiap lokasi.
Komputer riset
besar di setiap lokasi kemudian tinggal menyambungkan diri dengan minikomputer
itu. Keuntungannya ada tiga: komputer mainframe di
masing-masing tempat takkan terlalu terbebani, ARPA bisa menstandarkan
jaringan, dan pengalihan data dilakukan secara terdistribusi daripada dikontrol
oleh segelintir simpul besar.
Taylor langsung
menerima ide tersebut. Roberts mengajukan beberapa pertanyaan dan kemudian
setuju. Jaringan akan dikelola minikomputer terstandarkan seperti yang Clark
sarankan. Pengalih jaringan itu disebut interface message
processors (IMP) dan kelak lebih lazim dikenal sebagai router.
Setiba mereka di
bandara, Taylor menanyakan siapa yang mesti membuat IMP. Clark mengatakan tugas
itu harus diserahkan kepada Bolt, Beranek and Newman, firma Cambridge tempat
Licklider pernah bekerja. Namun, Al Blue, yang juga berada di mobil, merupakan
pengawas internal di ARPA. Dia mengingatkan yang lain bahwa proyek itu harus
diumumkan lewat tender terbuka sesuai dengan peraturan perundang-undangan
federal mengenai kontrak alih daya.53
Dalam konferensi lanjutan di Gatlinburg,
Tennessee, Oktober 1967, Roberts mempresentasikan rencana tentang jaringan yang
sudah direvisi. Dia juga memberi jaringan itu nama, ARPA Net, yang kelak lebur
menjadi ARPANET. Namun, satu perkara belum terselesaikan: akankah komunikasi di
antara dua tempat jaringan membutuhkan saluran langsung untuk keduanya, seperti
sambungan telepon? Ataukah, ada cara praktis supaya sejumlah aliran data bisa
berbagi sambungan secara serempak, ibaratnya seperti telepon paralel? Spesifikasi
untuk jaringan data semacam ini telah diajukan sebelumnya, pada bulan itu juga,
oleh satu komite di Pentagon.
Saat itulah seorang
insinyur muda dari Inggris, Roger Scantlebury, mempresentasikan makalah tentang
penelitian bosnya, Donald Davies, di National Physical Laboratory, Britania
Raya. Penelitian Davies—mengenai metode untuk memecah-mecah pesan menjadi unit
kecil yang dia sebut packet—berpotensi memberikan
solusi.
Scantlebury
menyampaikan pula bahwa ide tersebut telah dikembangkan secara independen oleh
peneliti bernama Paul Baran di RAND. Sesudah presentasi, Larry Roberts dan yang
lain mengerumuni Scantlebury untuk mengorek informasi lebih lanjut, kemudian
beranjak ke bar guna melanjutkan diskusi sampai larut malam.
PACKET SWITCHING: PAUL BARAN, DONALD DAVIES, DAN LEONARD KLEINROCK
Ada banyak cara untuk mengirim data lewat
jaringan. Cara paling sederhana disebut circuit switching,
dijumpai pada sambungan telepon: seperangkat sakelar menciptakan sirkuit
langsung yang bisa dilewati sinyal bolak-balik sepanjang durasi percakapan dan
ujung-ujung sambungan tetap terkoneksi, bahkan saat jeda panjang.
Metode lainnya
adalah message switching atau—menurut istilah
operator telegraf—store-and-forward switching. Dalam
sistem ini, seluruh pesan diberi kop berupa alamat, dikirim lewat jaringan, dan
kemudian dioperkan dari nodus ke nodus sampai tiba di tujuan.
Metode yang malah
lebih efisien disebut packet switching. Metode ini
mirip dengan tipe store-and-forward karena pesan juga
dioper-operkan. Hanya saja, pesan pertama-tama dipecah-pecah seukuran bit yang
sama, kemudian diberi kop alamat yang menjabarkan tujuan akhirnya. Selanjutnya,
pecahan-pecahan tersebut, yang disebut packet,
dikirimkan ke jaringan dari nodus ke nodus, melewati sambungan mana pun yang
tersedia saat itu.
Jika sambungan
tertentu macet karena dilewati terlalu banyak data, sebagian packet akan dialihkan ke jalur alternatif. Setelah tiba di
nodus tujuan, semua packet ditata ulang sesuai
instruksi pada kop. “Intinya sama saja seperti memecah-mecah surat panjang ke
dalam lusinan kartu pos, yang masing-masing dinomori dan dikirim ke alamat yang
sama,” salah seorang pelopor Internet, Vint Cerf, menjelaskan. “Masing-masing
kartu pos mungkin saja melalui rute yang berbeda untuk mencapai tujuan, tetapi ketika
tiba di sana, kartu pos-kartu pos tersebut lantas ditata ulang menjadi satu
kesatuan utuh.”54
Sebagaimana
dijelaskan Scantlebury di Gatlinburg, orang yang kali pertama merumuskan secara
utuh wacana jaringan packet switching ialah insinyur
bernama Paul Baran. Keluarganya berimigrasi dari Polandia sewaktu umurnya 2
tahun dan menetap di Philadelphia, tempat ayahnya membuka toko kelontong kecil.
Selulus kuliah dari
Drexel pada 1949, Baran masuk ke perusahaan komputer baru yang didirikan oleh
Presper Eckert dan John Mauchly. Di sana dia sempat menguji komponen-komponen
UNIVAC. Dia kemudian pindah ke Los Angeles, mengambil kelas malam di UCLA, dan
akhirnya mendapat pekerjaan di RAND Corporation.
Ketika Rusia
menguji bom hidrogen pada 1955, Baran menemukan misi hidup: ambil bagian dalam
mencegah kiamat nuklir. Suatu hari di RAND, dia sedang melihat-lihat daftar
mingguan yang dikirimkan oleh Angkatan Udara mengenai topik yang perlu
diteliti. Baran sontak menyambar salah satu, yakni mengenai pembuatan sistem komunikasi
militer yang tahan dari serangan musuh.
Dia tahu sistem
semacam itu bisa membantu mencegah perang nuklir karena pihak yang takut sistem
komunikasinya diputus akan lebih mungkin meluncurkan serangan pertama, sekadar
untuk jaga-jaga, ketika ketegangan memuncak. Dengan sistem komunikasi yang
lebih tangguh, bangsa-bangsa takkan main serang sembarangan.
Baran menelurkan
dua ide kunci, yang mula-mula dia publikasikan pada 1960. Ide pertamanya adalah
jaringan tidak boleh terpusat. Tidak boleh ada simpul utama yang mengendalikan
seluruh aktivitas switching dan routing.
Namun, jaringan juga tidak boleh sekadar terdesentralisasi, dengan pusat
kendali di banyak simpul regional, seperti jaringan telepon atau rute maskapai
penerbangan. Jika musuh memusnahkan segelintir simpul itu saja, sistem bisa
lumpuh.
Dengan demikian,
kendali harus terdistribusi sepenuhnya. Artinya,
masing-masing dan semua nodus harus memiliki kemampuan setara untuk mengalihkan
dan menyala-matikan aliran data. Ini akan menjadi karakter utama Internet,
sifat dasar yang menyebabkan Internet mampu memberdayakan individu dan
menjadikannya kebal dari kendali terpusat.
Donald Davies (1924–2000).
Leonard Kleinrock (1934–...).
Paul Baran (1926–2011).
Vint Cerf (1943–...) dan Bob Kahn (1938–...).
Baran menggambar
jaringan yang mirip pukat. Semua nodus memiliki kemampuan untuk mengalihkan
lalu lintas dan masing-masing terhubung ke beberapa nodus lain. Jika satu nodus
yang mana pun hancur, lalu lintas akan dialihkan lewat jalur-jalur lain. “Tidak
ada kontrol terpusat,” Baran menjelaskan. “Kebijakan routing
lokal sederhana diberlakukan di tiap nodus.”
Dia memperkirakan,
kalaupun tiap nodus hanya memiliki tiga atau empat sambungan langsung, sistem
itu sendiri niscaya mempunyai daya tahan dan ketangguhan yang nyaris tak
terbatas. “Mungkin tiga atau empat sambungan per nodus saja sudah memadai untuk
menciptakan jaringan yang setangguh nodus dengan jumlah ketersambungan teoretis
maksimal.”55
“Setelah memahami
cara untuk menciptakan jaringan yang tangguh, saya kemudian harus menjajal
masalah berikut, yaitu bagaimana caranya melewatkan sinyal ke jaringan yang
tipenya seperti pukat,” Baran memaparkan.56 Kebutuhan
tersebut lantas membuahkan idenya yang kedua, yakni memecah-mecah data menjadi
blok kecil berukuran standar.
Satu pesan akan
dipecah menjadi banyak blok, masing-masing akan melewati jalur yang berbeda di
jaringan dan disatukan kembali setiba di tujuan. “Blok pesan yang terstandarkan
secara universal mungkin akan terdiri atas 1.024 bit,” tulisnya. “Sebagian
besar blok pesan dikhususkan untuk menyimpan data, apa pun jenisnya, sedangkan
sisanya akan memuat informasi pengantaran seperti deteksi error
atau data routing.”
Baran kemudian
membentur salah satu realitas inovasi, yakni birokrasi mapan yang enggan
berubah. RAND merekomendasikan wacana jaringan packet
switching Baran kepada Angkatan Udara AS yang, sesudah mengkaji proposal
secara menyeluruh, memutuskan untuk membangun jaringan semacam itu.
Akan tetapi,
Departemen Pertahanan lantas menitahkan proyek seperti itu harus ditangani oleh
Defense Communications Agency supaya bisa digunakan oleh seluruh komponen
pertahanan nasional. Baran menyadari badan pemerintah adalah organisasi yang
kelewat kecil sehingga takkan mampu atau mau merampungkan proyek sebesar itu.
Jadi, dia berusaha
meyakinkan AT&T agar melengkapi jaringan suara berbasis circuit
switching dengan jaringan data berbasis packet
switching. “Mereka menolak habis-habisan,” kenang Baran. “Mereka mencoba
segala macam cara untuk mencegah campur tangan kami.” AT&T bahkan tidak
mengizinkan RAND menggunakan peta sirkuitnya sehingga Baran harus menggunakan
peta bocoran.
Dia beberapa kali
berkunjung ke markas besar AT&T di Lower Manhattan. Dalam salah satu
kunjungan, seorang eksekutif senior yang juga insinyur analog kolot tampak
terperangah ketika Baran menjelaskan sistemnya memungkinkan data untuk
bolak-balik tanpa sirkuit khusus langsung antara ujung asal dan ujung tujuan.
“Dia memandang para
koleganya di ruangan sambil mengangkat alis, kentara sekali tidak percaya,”
menurut Baran. Setelah hening sejenak, sang eksekutif berkata, “Nak, begini
cara kerja telepon,” lalu menyampaikan paparan simplistik dengan gaya
menggurui.
Ketika Baran terus
menggadang-gadang idenya yang terkesan tak masuk akal, bahwa pesan bisa
dipotong-potong dan disampaikan dalam bentuk packet
mungil lewat jaringan, AT&T mengundangnya dan sejumlah orang luar lain
untuk menghadiri serangkaian seminar yang menjelaskan cara kerja sistem
telepon. “Butuh 94 orang pembicara untuk memaparkan seluruh sistem tersebut,”
kata Baran terheran-heran.
Seusai seminar,
para eksekutif AT&T menanyai Baran, “Nah, sekarang Anda paham apa sebabnya packet switching mustahil dijalankan?” Mereka sontak kecewa
karena Baran justru berkata, “Tidak.” AT&T sekali lagi luput menyambar
kesempatan untuk memanfaatkan temuan baru. Perusahaan itu urung
mempertimbangkan tipe jaringan data baru karena terlampau mengandalkan sirkuit
tradisional.57
Pekerjaan Baran
akhirnya berkulminasi dalam analisis rekayasa detail sepanjang sebelas volume, On Distributed Communications, yang rampung pada 1964. Dia
bersikeras untuk tidak merahasiakan karyanya karena menyadari sistem jaringan
semacam itu lebih bermanfaat jika Rusia punya juga.
Bob Taylor
satu-satunya orang di ARPA yang pernah membaca karya Baran, itu pun hanya
sebagian. Alhasil, ide Baran praktis tidak berdampak apa-apa sampai Konferensi
Gatlinburg 1967 membukakan mata Larry Roberts akan gagasan tersebut. Sekembali
ke Washington, Roberts mencari laporan Baran dan mulai membacanya.
Roberts juga
menghimpun makalah-makalah yang ditulis kelompok Donald Davies di Inggris, yang
rangkumannya dikemukakan oleh Scantlebury di Gatlinburg. Davies anak kerani
pertambangan Wales yang meninggal beberapa bulan sesudah putranya lahir, pada
1924. Davies dibesarkan di Portsmouth oleh sang ibu, yang bekerja di Perusahaan
Pos Britania, pengelola jaringan telepon nasional.
Dia menghabiskan
masa kanak-kanak dengan memain-mainkan sirkuit telepon, kemudian mendapat gelar
di bidang matematika dan fisika dari Imperial College, London. Sepanjang Perang
Dunia II, dia bekerja di Universitas Birmingham guna menciptakan logam campuran
untuk tabung senjata nuklir, mengasisteni Klaus Fuchs, yang ternyata seorang
mata-mata Soviet. Davies selanjutnya bekerja dengan Alan Turing untuk membuat
Automatic Computing Engine, komputer berprogram tersimpan, di National Physical
Laboratory.
Seiring perjalanan
kariernya, Davies menaruh minat pada dua hal: time-sharing
komputer, yang dia pelajari pada 1965 ketika menyambangi MIT, dan penggunaan
saluran telepon untuk komunikasi data. Mengombinasikan kedua ide tersebut dalam
benaknya, Davies kemudian memasang target untuk mencari metode serupa time-sharing untuk memaksimalkan penggunaan jalur
komunikasi. Cita-cita inilah yang membuahkan konsep sama dengan yang Baran
kembangkan mengenai efisiensi penyampaian pesan berunit bit.
Davies juga yang
menggagas istilah packet untuk merujuk pada unit
pesan semacam itu. Ketika berusaha meyakinkan Perusahaan Pos Britania untuk
mengadopsi sistem tersebut, Davis menghadapi masalah sama seperti Baran di
depan pintu AT&T. Namun, mereka berdua rupanya mendapat penggemar di
Washington. Larry Roberts bukan saja menyambut ide mereka dengan tangan
terbuka, melainkan juga mengadopsi istilah packet.58
Kontributor packet switching
yang ketiga dan kontroversial adalah Leonard Kleinrock, pria riang, ramah, dan
sesekali gemar mempromosikan diri sendiri. Kleinrock pakar aliran data dalam
jaringan, yang menjadi teman dekat Larry Roberts ketika keduanya berbagi kantor
sewaktu menempuh studi doktoral di MIT. Kleinrock tumbuh besar di New York City
dalam keluarga imigran miskin.
Minatnya pada
elektronika tersulut ketika, pada usia 6 tahun, dia membaca komik Superman dan melihat instruksi untuk membuat radio kristal
tanpa baterai. Dia kemudian merakit tisu gulung, silet, kawat, dan grafit dari
pensil menjadi satu, lalu meyakinkan sang ibu supaya mengajaknya naik kereta
bawah tanah ke Lower Manhattan untuk membeli kapasitor variabel di toko
elektronik. Alat itu ternyata berfungsi dan mekarlah antusiasmenya pada
elektronika.
“Saya masih
terkagum-kagum sampai sekarang,” dia mengenang radio tersebut. “Ajaib sekali.”
Kleinrock menjadi sering berburu manual radio tabung di toko barang bekas dan
memulung radio yang dibuang ke tempat sampah, memereteli komponen-komponennya
untuk membuat radio sendiri.59
Karena tidak punya
uang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, bahkan ke City College of New York
yang bebas uang kuliah, Kleinrock bekerja di perusahaan elektronik pada siang
hari dan mengambil kelas malam saja. Para dosen kelas malam memberikan
pengajaran lebih praktis ketimbang dosen siang; daripada diajari teori
transistor, Kleinrock ingat bahwa dosennya memberitahukan seberapa sensitif
transistor terhadap panas dan cara merancang sirkuit dengan mempertimbangkan
suhu.
“Kita tidak pernah
diajari hal-hal praktis pada siang hari,” kenangnya. “Para dosen siang memang
tidak mengetahui yang semacam itu.”60
Setelah lulus, dia
meraih beasiswa untuk melanjutkan studi doktoral ke MIT. Di sana dia
mempelajari teori antrean, yang mengkaji persoalan seperti faktor-faktor yang
memengaruhi waktu tunggu rata-rata. Dalam disertasinya, Kleinrock merumuskan
formula matematika untuk menganalisis aliran pesan dan munculnya kemacetan
dalam jaringan data berbasis circuit switching.
Selain sekantor dengan Roberts, Kleinrock merupakan teman sekelas Ivan
Sutherland dan mengikuti kuliah Claude Shannon serta Norbert Wiener.
“Betul-betul kawah candradimuka intelektual,” kenangnya mengenai MIT pada masa
itu.61
Suatu hari, larut
malam di lab komputer MIT, Kleinrock yang kelelahan sedang menjalankan salah
satu mesin, komputer eksperimental mahabesar yang dinamai TX-2. Kemudian, dia
mendengar bunyi “pssssss” yang asing. “Saya khawatir sekali,” kenangnya. “Salah
satu bagian mesin telah diambil untuk diperbaiki dan tempatnya kosong. Sewaktu
saya mendongak, saya melihat dua mata yang menatap saya dari tempat kosong
itu!” Si pemilik mata rupanya Larry Roberts, yang sedang menjailinya.62
Kleinrock yang
ceria dan Roberts yang kaku tetap berkawan, sekalipun (atau mungkin justru
karena) berbeda kepribadian. Mereka suka ke kasino Las Vegas bersama-sama untuk
mencoba mengakali bandar. Roberts menelurkan strategi menghitung kartu untuk blackjack—yakni dengan melacak kartu-kartu tinggi dan
rendah mana saja yang sudah keluar dan masih disimpan—yang dia ajarkan pula
kepada Kleinrock.
“Kami pernah diusir
sekali sewaktu bermain dengan istri saya di Hilton. Para manajer kasino
mengawasi kami lewat langit-langit dan curiga ketika saya memasang taruhan pada
saat yang tidak lazim. Kecuali pemain tahu masih banyak kartu tinggi yang
tersisa, mustahil memasang taruhan saat itu,” kenang Roberts.
Satu taktik
lainnya, memperkirakan lintasan bola di meja rolet menggunakan pencacah dari
transistor dan osilator. Dengan mengukur kecepatan bola dan memprediksi di sisi
mana bola itu akan berhenti, mereka bisa memasang taruhan yang pas. Untuk
mengumpulkan data yang dibutuhkan, Roberts menyembunyikan alat perekam di
tangannya yang dibalut perban. Curiga ada yang tidak beres, karyawan kasino
memandangi mereka dan bertanya, “Mau kupatahkan lenganmu yang satu lagi?”
Roberts dan Kleinrock tidak mau, kemudian angkat kaki saja.63
Dalam proposal disertasi
di MIT, yang ditulis pada 1961, Kleinrock mengusulkan telaah matematika untuk
memprediksi kemacetan lalu lintas di jaringan yang menyerupai sarang laba-laba.
Selain itu, dalam proposal ini dan makalah-makalah terkait, Kleinrock
menjabarkan jaringan store-and-forward—“(penyampaian
pesan lewat) jejaring komunikasi yang tiap nodusnya berfungsi sebagai penyimpan
(sementara)”—tetapi bukan jaringan berbasis packet switching
murni, yang pesannya dipecah menjadi unit-unit amat kecil berukuran persis
sama.
Kleinrock
menyinggung persoalan “(waktu) tunda rata-rata pesan yang melewati jaringan”
dan menganalisis pemberlakuan sistem prioritas—salah satunya dengan memecah
pesan tersebut kecil-kecil—untuk mengatasi persoalan itu. Namun, Kleinrock
tidak menggunakan istilah packet untuk menjabarkan
konsep yang mirip dengan packet switching tersebut.64
Kleinrock adalah
rekan kerja yang riuh dan penuh semangat, tetapi dia lain dengan Licklider yang
enggan membangga-banggakan kontribusi pribadinya. Kleinrock kelak menyebabkan
banyak developer Internet antipati karena menegaskan, dalam disertasi PhD dan
proposal disertasinya (dua-duanya ditulis setelah Baran memformulasikan konsep packet switching di RAND), bahwa dirinya telah
“mengembangkan prinsip dasar packet switching” dan
“teori matematika jaringan berbasis packet, teknologi
yang melandasi Internet.”65
Sejak pertengahan
1990-an Kleinrock malah mulai mengampanyekan diri “sebagai Bapak Jaringan Data
Modern”.66 Dalam wawancara pada 1996, dia mengklaim, “Disertasi sayalah yang
memberikan landasan bagi packet switching.”67
Klaim ini menuai
kecaman dari banyak pelopor Internet lainnya, yang secara terbuka mengkritik
pedas Kleinrock dan mengatakan bahwa pernyataan sepintas mengenai pemotongan
pesan menjadi unit-unit kecil tidak pantas dibanggakan sebagai rumusan yang
memelopori packet switching.
“Kleinrock bermulut
besar,” kata Bob Taylor. “Klaim bahwa dirinya berperan mencetuskan konsep packet switching semata-mata merupakan sebentuk promosi
diri sendiri. Kegemaran membanggakan diri sendiri memang kejelekannya sedari
dahulu.”68 (Kleinrock menangkis, “Taylor kesal karena tidak memperoleh
penghargaan yang menurutnya layak dia terima.”69)
Donald Davies,
peneliti Britania yang mengarang istilah packet,
adalah seorang yang lembut, pendiam, dan tidak pernah menyombongkan
prestasinya. Orang-orang bahkan menyebutnya kelewat rendah hati. Namun, di
ambang ajalnya, Davies menulis makalah—yang diterbitkan setelah dia
meninggal—yang mengecam keras Kleinrock.
“Pekerjaan
Kleinrock sebelum dan sampai 1964 tidak bisa dinyatakan sebagai cikal bakal packet switching,” tulis Davies selepas menjabarkan
analisis komprehensif. “Kalimat dalam bukunya mengenai prioritas antrean time-sharing, jika dijajaki lebih lanjut, mungkin saja
sampai pada kesimpulan tentang packet switching,
tetapi nyatanya tidak .... Saya tidak menemukan satu bukti pun bahwa dia
memahami prinsip packet switching.”70
Alex McKenzie,
insinyur penanggung jawab sentra kendali jaringan BBN, belakangan malah lebih
blakblakan lagi, “Kleinrock mengklaim dialah yang memperkenalkan wacana packet. Omong kosong. Di seluruh buku terbitan 1964 itu
wacana packet tidak disebut-sebut, dianalisis, atau
disiratkan sama sekali.” McKenzie menyebut klaim Kleinrock “konyol”.71
Saking gencarnya
kecaman terhadap Kleinrock, topik tersebut dibahas dalam artikel New York Times pada 2001 oleh Katie Hafner. Dalam
artikelnya, Hafner menggambarkan bahwa sikap para pelopor Internet yang
biasanya penuh persahabatan diluluhlantakkan oleh Kleinrock, yang menuntut agar
dirinya diakui sebagai penggagas utama konsep packet
switching.
Paul Baran, yang
memang layak dijuluki Bapak Packet Switching, tampil
ke depan untuk mengatakan “Internet sejatinya buah karya ribuan orang” dan
dengan ketus menyatakan sebagian besar orang yang terlibat tidak teriak-teriak
minta dihargai. “Kasus remeh ini saja yang menjadi perkecualian,” imbuhnya,
mencemooh Kleinrock secara tersirat.72
Hal yang menarik,
sampai pertengahan 1990-an, Kleinrock selalu menyebut-nyebut orang lain sebagai
penggagas packet switching. Dalam makalah terbitan
November 1978, dia menyebut Baran dan Davies sebagai pelopor konsep tersebut.
“Pada awal 1960-an Paul Baran menjabarkan beberapa karakteristik jaringan data
dalam sebuah seri makalah RAND Corporation .... Pada 1968 Donald Davies di
National Physical Laboratories di Inggris mulai menulis tentang jaringan
berbasis packet switching.”73
Dalam makalah pada
1979 mengenai pengembangan jaringan terdistribusi, Kleinrock juga tidak
menyebut-nyebut ataupun menyitir karya ilmiah yang dikerjakannya pada awal
1960-an. Sampai 1990, dia masih menyatakan Baran-lah orang pertama yang
menelurkan konsep packet switching: “(Baran) adalah
orang pertama yang menggagas ide tersebut.”74
Akan tetapi, ketika
makalahnya yang dibuat pada 1979 dicetak ulang pada 2002, Kleinrock membubuhkan
kata pengantar anyar yang mengklaim, “Sayalah yang mengembangkan dasar-dasar packet switching sebagaimana tertuang dalam makalah pertama
mengenai topik tersebut pada 1961.”75
Walau begitu, entah
Kleinrock mengklaim karyanya pada awal 1960-an sudah menyinggung-nyinggung
konsep packet switching atau tidak, dia memang patut
diapresiasi sebagai salah seorang pionir Internet. Tidak dapat disangsikan
bahwa Kleinrock termasuk orang pertama yang merumuskan teori aliran data dalam
jaringan dan juga tokoh penting yang memimpin pembangunan ARPANET.
Dia termasuk orang
pertama yang mengalkulasikan dampak dari pesan terpecah-pecah yang disampaikan
dari nodus ke nodus. Selain itu, Roberts menilai rumusan teoretis Kleinrock
bermanfaat dan merekrutnya menjadi anggota tim pelaksana ARPANET. Inovasi
dikemudikan oleh orang-orang yang mempunyai teori bagus sekaligus berkesempatan
menjadi anggota tim yang dapat mengimplementasikan teori tersebut.
Kontroversi seputar
Kleinrock menarik untuk disorot karena menunjukkan bahwa sebagian besar kreator
Internet lebih menyukai bentuk apresiasi yang—meminjam metafora Internet
sendiri—terdistribusi sepenuhnya. Mereka secara instingtif mengucilkan dan
menghindari nodus mana pun yang coba-coba mengklaim dirinya lebih penting
ketimbang yang lain.
Internet merupakan
anak kandung etos kolaborasi kreatif dan pengambilan keputusan secara
terdistribusi sehingga wajar para pembuatnya ingin melindungi warisan tersebut.
Egalitarianisme dan semangat kerja sama tertanam dalam kepribadian para kreator
Internet—dan dalam rancang bangun Internet sendiri.
TERKAIT DENGAN NUKLIR?
Salah satu narasi yang diterima secara luas
mengenai Internet ialah tujuan pendiriannya yang berkaitan dengan nuklir. Kalau
terjadi serangan nuklir, dibutuhkan sistem komunikasi yang tetap mampu bertahan
dari gempuran. Internet mewujudkan sistem semacam itu.
Narasi tersebut
membuat marah banyak arsitek Internet, termasuk Bob Taylor dan Larry Roberts,
yang berkali-kali bersikeras menyatakan itu mitos belaka. Namun, sama seperti
banyak inovasi pada era digital, terdapat lebih dari satu sebab dan asal usul.
Pelaku yang berbeda mempunyai sudut pandang berlainan. Sebagian orang yang
berkedudukan lebih tinggi daripada Taylor dan Roberts, serta mengetahui pasti
alasan di balik kucuran dana riset, justru mengatakan mitos itu benar. Mari
kita kupas lapisan sejarah satu demi satu.
Tidak diragukan
lagi ketika Paul Baran mengusulkan jaringan berbasis packet
switching dalam laporan untuk RAND, ketahanan dari serangan nuklir
merupakan salah satu tujuannya. “Penting untuk memiliki sistem strategis yang
dapat bertahan dari serangan pertama dan kemudian membalikkan keadaan,” jelas
Baran. “Masalahnya, kita tidak mempunyai sistem komunikasi setangguh itu
sehingga rudal Soviet yang ditembakkan ke rudal AS akan menghancurleburkan
seluruh sistem komunikasi-telepon.”76
Kondisi seperti itu
sarat ketegangan. Sebab, bangsa yang takut sistem komunikasi dan pertahanannya
musnah gara-gara serangan nuklir akan cenderung meluncurkan serangan nuklir
terlebih dahulu untuk jaga-jaga. “Asal usul packet switching
terkait erat dengan suasana Perang Dingin yang sarat ketegangan,” kata Baran.
“Saya pribadi sangat menaruh minat pada kajian mengenai bagaimana caranya
membuat sistem komando dan kendali yang andal dan tangguh.”77
Jadi, pada 1960
Baran merintis konsep tentang “jaringan komunikasi yang beberapa ratus
stasiunnya masih bisa saling berhubungan bahkan sesudah musuh menyerang”.78
Demikianlah tujuan
Baran, tetapi perlu diingat bahwa dia tidak berhasil meyakinkan Angkatan Udara
untuk membangun sistem semacam itu. Konsepnya justru diadopsi oleh Roberts dan
Taylor, yang bersikeras bahwa mereka semata-mata bermaksud menciptakan jaringan
supaya para peneliti ARPA dapat berbagi informasi dan sumber daya, bukan
jaringan yang tahan terhadap serangan bersenjata.
“Orang-orang
membicarakan tulisan Paul Baran tentang jaringan pertahanan nuklir yang aman
dan menyamakannya dengan ARPANET,” kata Roberts. “Keduanya tentu saja tidak
berkaitan. Saya katakan kepada Kongres, tujuannya ialah masa depan sains di
seluruh dunia—untuk ranah sipil sekaligus militer—dan pihak militer akan sama
untungnya dengan yang lain. Namun, sudah jelas ARPANET dibangun bukan untuk
tujuan militer. Saya juga tidak menyinggung-nyinggung perang nuklir.”79
Majalah Time sempat melaporkan bahwa Internet dibuat untuk menjamin
keberlangsungan komunikasi bilamana terjadi serangan nuklir. Taylor kemudian
mengirimkan surat untuk editor yang meralat pernyataan tersebut, tetapi Time tidak memuat suratnya. “Mereka mengirimi surat
balasan, memberi tahu saya bahwa narasumber mereka benar,” kenangnya.80
Narasumber Time memang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada
Taylor. Orang-orang yang bekerja di IPTO, kantor penanggung jawab proyek
tersebut, mungkin saja meyakini sepenuh hati pekerjaan mereka tidak tersangkut
paut dengan ketahanan nuklir. Namun, sejumlah petinggi ARPA percaya itulah
salah satu sasaran utama proyek tersebut. Sasaran ini pula yang mereka
kemukakan kepada Kongres kala meminta pendanaan.
Stephen Lukasik
menjabat Deputi Direktur ARPA dari 1967 sampai 1970 dan kemudian direktur
sampai 1975. Pada Juni 1968 dia berhasil memperoleh pengesahan dan lampu hijau
resmi untuk proyek pembangunan jaringan yang sedang dikerjakan oleh Roberts.
Ketika itu baru beberapa bulan berlalu semenjak Serangan Tet dan Pembantaian My
Lai di Vietnam. Protes antiperang sedang gencar-gencarnya, demonstrasi
mahasiswa di sejumlah universitas top sempat rusuh.
Anggaran Departemen
Pertahanan tidak mengucur deras ke program-program mahal yang didesain sekadar
untuk menjembatani kolaborasi para peneliti akademik. Senator Mike Mansfield
dan lain-lain mulai menuntut agar pendanaan hanya diberikan untuk proyek yang
relevan dengan misi militer.
“Jadi, dalam iklim
demikian,” kata Lukasik, “saya mustahil memperoleh kucuran uang untuk
pembangunan jaringan yang tujuannya hanya meningkatkan produktivitas peneliti.
Alasan itu kurang kuat. Alasan yang kuat ialah packet
switching lebih tangguh, lebih tahan terhadap kerusakan .... Dalam
situasi strategis—serangan nuklir, maksud saya—presiden masih bisa
berkomunikasi ke stasiun-stasiun peluncur rudal. Jadi, kebutuhan
itulah yang ingin saya penuhi ketika menandatangani cek sejak 1967 dan
seterusnya.”81
Pada 2011 Lukasik
merasa geli dan agak kesal dengan keyakinan umum bahwa ARPANET dibangun bukan karena tujuan militer strategis. Jadi, dia menulis
esai berjudul “Alasan Pembuatan ARPANET” (“Why the ARPANET was Build”), yang
diedarkan kepada para kolega. “Eksistensi ARPA dan satu-satunya tujuan
pendiriannya ialah menindaklanjuti masalah keamanan nasional yang baru saat
itu,” Lukasik menjelaskan. “Masalah paling mendesak ialah keberlangsungan
komando dan kendali kekuatan militer bila terjadi serangan senjata nuklir.”82
Pernyataan ini
kontradiktif dengan keterangan pendahulu Lukasik di kursi Direktur ARPA,
Charles Herzfeld, pengungsi Wina yang menyetujui proposal Bob Taylor tentang
jaringan riset time-sharing pada 1965. “Lain dengan
yang diklaim oleh banyak orang dewasa ini, ARPANET mula-mula bukan bertujuan
sebagai sistem komando dan kendali yang tahan terhadap serangan nuklir,”
Herzfeld bersikeras bertahun-tahun kemudian. “Dari sudut pandang militer,
kebutuhan akan sistem semacam itu memang mendesak, tetapi bukan itu misi ARPA.”83
Dua sejarah
semi-ofisial yang penulisannya disahkan oleh ARPA berdiri di kubu
berseberangan. “Desas-desus palsu bahwa ARPANET tersangkut paut dengan misi
pertahanan terhadap serangan nuklir berakar dari laporan RAND,” kata sejarah
yang ditulis oleh Internet Society. “Laporan RAND memaparkan pentingnya membuat
jaringan yang tahan terhadap perang nuklir, tetapi ARPANET bukanlah
pengejawantahan jaringan semacam itu.”84
Sebaliknya,
“Laporan Akhir” dari National Science Foundation yang terbit pada 1995
menyatakan, “Sebagai perpanjangan dari Advanced Research Projects Agency—yang
merupakan badan di bawah Departemen Pertahanan—proyek packet
switching ARPANET dimaksudkan untuk menciptakan saluran komunikasi andal
bila terjadi serangan nuklir.”85
Jadi, pandangan
siapa yang benar? Dalam kasus ini, kedua-duanya benar. Bagi para akademisi dan
peneliti yang berperan langsung dalam membangun jaringan itu, ARPANET
semata-mata bertujuan damai. Untuk sebagian orang yang mengawasi dan mendanai
proyek tersebut, terutama orang-orang Pentagon dan Kongres, ARPANET juga
mempunyai latar belakang militer.
Stephen Crocker
adalah mahasiswa pascasarjana pada akhir 1960-an yang turut berperan dalam
mengoordinasikan perancangan ARPANET. Crocker tidak pernah mempertimbangkan
ketahanan nuklir sebagai bagian dari misinya. Namun, ketika Lukasik mengedarkan
makalahnya pada 2011, Crocker membaca esai tersebut, tersenyum, dan merevisi
pemikirannya.
“Saya duduk paling
atas, sedangkan Anda di paling bawah. Jadi, tentu saja Anda tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi dan apa maksud kami,” Lukasik memberitahunya. Dengan kelakar
yang bijaksana, Crocker menjawab, “Saya di paling bawah, sedangkan Anda duduk
di paling atas, maka tentu saja Anda tidak tahu apa yang sebenarnya kami
kerjakan dan apa maksud kami.”86
Crocker akhirnya
menyadari, “Tidak mungkin semua orang yang terlibat menyepakati apa tujuan
pembuatan ARPANET.” Leonard Kleinrock, yang juga dosen pembimbing Crocker di
UCLA, sampai pada kesimpulan serupa. “Kami takkan pernah tahu apakah ketahanan
nuklirlah tujuan utama proyek tersebut. Pernyataan itu tidak bisa dijawab. Bagi
saya, tujuan militer sama sekali tidak terpikirkan. Namun, semakin kita naik ke
jajaran komando, saya yakin akan ada yang mengatakan ketahanan nuklir merupakan
alasan utama.”87
ARPANET akhirnya mengejawantahkan persilangan
kepentingan antara militer dan akademisi secara menarik. Proyek itu didanai
oleh Departemen Pertahanan, yang cenderung menginginkan sistem komando
hierarkis dengan kontrol terpusat. Namun, Pentagon mendelegasikan perancangan
jaringan kepada sekelompok akademisi, yang sebagiannya enggan direkrut dan
kebanyakan curiga pada kekuasaan sentralistis. Karena mereka memilih struktur
dengan jumlah nodus tak terbatas, yang masing-masing memiliki router sendiri, dan bukan struktur yang mengandalkan
segelintir simpul terpusat, jaringan itu akan sukar dikendalikan.
“Saya punya
keinginan pribadi membangun jaringan terdesentralisasi,” kata Taylor. “Dengan
begitu, akan sukar bagi satu kelompok untuk memegang kontrol. Saya tidak
percaya pada organisasi besar sentralistis. Watak saya memang seperti itu.”88 Dengan memilih orang-orang seperti Taylor untuk membangun jaringannya,
Pentagon menyemai jaringan yang mustahil dikontrol sepenuhnya.
Di sisi lain,
arsitektur jaringan yang terdesentralisasi dan terdistribusi menjadikannya
lebih andal. Bahkan, jaringan tersebut bisa tahan terhadap serangan nuklir.
Bukan pembuatan sistem komando dan kendali yang tangguh sekaligus tahan
terhadap serangan yang memotivasi para peneliti ARPA. Bahkan, tujuan semacam
itu tidak terbetik di benak mereka. Namun, ironisnya, justru karena jaringan
buatan mereka memenuhi syarat tersebutlah, dana untuk proyek terus mengucur
dari Pentagon dan Kongres.
Bahkan, sesudah
ARPANET bermetamorfosis menjadi Internet pada awal 1980-an, jaringan tersebut
akan terus dimanfaatkan untuk kegunaan militer ataupun sipil. Vint Cerf,
pemikir kalem dan serius yang turut menciptakan Internet, mengenang, “Saya
ingin mendemonstrasikan bahwa teknologi kami dapat bertahan dari serangan
nuklir.”
Jadi, pada 1982 dia
menggelar serangkaian tes yang menyimulasikan serangan nuklir secara
artifisial. “Lumayan banyak simulasi dan demonstrasi semacam itu. Sebagian
malah teramat ambisius. Demonstrasi tersebut melibatkan Strategic Air Command
juga. Suatu saat kami menyebarkan packet radio di lapangan sekaligus menggunakan sistem berbasis
udara untuk merajut kembali fragmen-fragmen Internet yang telah terputus akibat
simulasi serangan nuklir.”
Radia Perlman,
perempuan insinyur jaringan paling terkemuka, mengembangkan protokol untuk menjamin
ketahanan jaringan terhadap serangan di MIT. Dia juga membantu Cerf menciptakan
metode untuk memartisi dan merekonstruksi ARPANET bilamana perlu supaya
keberlangsungannya lebih langgeng.89
Tarik ulur antara
motif militer dan akademis tertanam ke dalam Internet. “Desain ARPANET dan
Internet mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh militer—seperti
ketahanan, fleksibilitas, dan kinerja tinggi—dan bukan tujuan komersial semisal
biaya rendah, kesederhanaan, atau daya tarik bagi konsumen,” komentar sejarawan
teknologi Janet Abbate. “Pada saat bersamaan, kelompok yang mendesain dan
membangun jaringan ARPA didominasi oleh ilmuwan akademik, yang
menginkorporasikan nilai-nilai mereka sendiri—antara lain kemitraan,
desentralisasi kekuasaan, dan keterbukaan berbagi informasi—ke dalam sistem
itu.”90
Para peneliti
akademik pada akhir 1960-an, banyak di antaranya yang punya keterkaitan dengan
budaya tandingan antiperang, menciptakan sistem yang menghalau komando
terpusat. Tak hanya mampu mengantisipasi kerusakan akibat serangan nuklir,
tetapi sistem tersebut juga dapat menghindari segenap upaya untuk memaksakan
kontrol.
LOMPATAN RAKSASA: ARPANET MENDARAT, OKTOBER 1969
Musim panas 1968, ketika sebagian besar pelosok
dunia, mulai Praha sampai Chicago, sedang diguncang kemelut politik, Larry
Roberts mengirimkan undangan tender bagi perusahaan yang mungkin berminat
membuat minikomputer untuk router—alias Interface
Message Processor—guna dikirimkan ke sentra-sentra riset atau tertarik
berpartisipasi membangun ARPANET.
Dalam rencana
Roberts tercantum konsep packet switching, yang
digagas oleh Paul Baran dan Donald Davies; usulan mengenai IMP terstandarkan
dari Wes Clark; landasan teoretis sumbangan J.C.R. Licklider, Les Earnest, dan
Leonard Kleinrock; serta kontribusi dari banyak inovator lain.
Di antara 140
perusahaan yang menerima undangan, hanya selusin yang memutuskan mengajukan
proposal tender. IBM salah satu yang tidak berminat. Perusahaan tersebut ragu
IMP dapat dibuat dengan harga ekonomis. Roberts menghadiri rapat komite di
Monterey, California, untuk mengevaluasi semua proposal yang masuk, sedangkan
Al Blue, sang pengawas internal, mengambil foto tiap proposal sambil
membandingkannya dengan penggaris untuk menunjukkan berapa tebal masing-masing.
Raytheon, kontraktor
pertahanan besar yang berbasis di Boston dan salah seorang pendirinya, Vannevar
Bush, tampak sebagai kandidat paling menjanjikan dan bahkan sudah merundingkan
harga dengan Roberts. Namun, Bob Taylor turun tangan dan mengungkapkan
pendapat—yang sudah diduga oleh Wes Clark—bahwa kontrak sebaiknya diberikan
pada BBN, yang tidak dibebani oleh birokrasi korporat berbelit-belit.
“Saya katakan bahwa
Raytheon dan universitas-universitas riset tidak akan padu, seperti minyak dan
air,” kenang Taylor.91 Sebagaimana dikatakan oleh Clark, “Bob
memveto putusan komite.” Roberts mengiyakan saja. “Raytheon mengajukan proposal
bagus yang bisa bersaing dengan BBN. Satu-satunya yang lebih menonjol, yang
memengaruhi saya dalam membuat keputusan akhir, ialah BBN mempunyai tim lebih
kompak dan diorganisasikan dengan cara yang menurut saya lebih efektif,” kenang
Roberts.92
Kontras dengan
Raytheon yang birokratis, BBN terdiri atas sekawanan insinyur brilian dan
tangkas yang dipimpin oleh dua pindahan dari MIT, Frank Heart dan Robert Kahn.93 Mereka malah membantu menyempurnakan proposal Roberts: ketika packet dilewatkan dari satu IMP ke IMP berikutnya, IMP
pengirim akan menyimpan paket data sampai IMP penerima mengiyakan dan, apabila
IMP penerima tidak segera mengiyakan, IMP pengirim akan kembali mengirim paket
data tersebut. Fitur tersebut menjadi kunci bagi keandalan Internet. Seiring
tiap pengerjaan, desain jaringan diperbaiki dan disempurnakan lewat kreativitas
kolektif.
Tepat sebelum
Natal, Roberts mengejutkan banyak pihak dengan mengumumkan terpilihnya BBN dan
bukan Raytheon. Senator Ted Kennedy seperti biasa mengirimkan telegram kepada
konstituen yang memenangi kontrak proyek federal besar. Dalam telegram itu,
Kennedy menyelamati BBN karena terpilih untuk membuat Interfaith
Message Processor—deskripsi pas untuk menggambarkan peran Interface Message
Processor sebagai penjembatan komunikasi antarpihak yang keyakinannya
berbeda-beda.94
Roberts memilih empat sentra riset sebagai nodus
pertama ARPANET: UCLA, tempat Len Kleinrock bekerja; Stanford Research
Institute (SRI), yang mewadahi Douglas Engelbart sang visioner; Universitas
Utah, tempat Ivan Sutherland berada; dan University of California di Santa
Barbara. Mereka ditugasi memikirkan bagaimana cara menyambungkan komputer besar
yang berfungsi sebagai host ke IMP standar yang akan
dikirimkan kepada mereka. Layaknya profesor senior, para peneliti di
sentra-sentra tersebut merekrut kru mahasiswa pascasarjana untuk mengerjakan
tugas itu.
Para anggota tim
muda ini berkumpul di Santa Barbara untuk merancang strategi kerja dan di sana,
mereka mendapati satu adagium yang kebenarannya tetap terbukti bahkan pada era
jejaring sosial digital: berkumpul secara langsung—bertatap muka dalam arti
sebenarnya—bukan saja bermanfaat, melainkan juga asyik.
“Kesannya seperti
reuni keluarga besar saja. Misalnya, kami bertemu kenalan baru yang ternyata
karyanya pernah kami baca dan kutip, atau yang temannya ternyata teman kami
juga, dan yang memiliki banyak persamaan minat dengan kami,” kenang Stephen
Crocker, mahasiswa pascasarjana dari tim UCLA yang bermobil ke Santa Barbara
bersama sahabat dan koleganya, Vint Cerf. Jadi, para peneliti muda ini kemudian
memutuskan bertemu secara rutin, bergiliran di markas kerja masing-masing.
Crocker, yang santun,
berwajah besar, dan memiliki senyum yang malah lebih besar, mempunyai
kepribadian pas untuk menjadi koordinator proses kolaboratif khas era digital
tersebut. Lain dengan Kleinrock, Crocker—yang jarang menggunakan kata saya—lebih tertarik mendistribusikan penghargaan daripada
mengklaimnya sendiri. Berkat kepekaan terhadap orang lain, Crocker mempunyai
kemampuan instingtif mengoordinasikan kelompok tanpa berusaha menegakkan
kontrol atau kewenangan secara terpusat, cocok dengan model jaringan yang
tengah mereka bangun.
Berbulan-bulan
berlalu dan para mahasiswa pascasarjana masih rutin bertemu serta berbagi ide
sembari menantikan kedatangan “Pihak Berwenang” untuk memberi mereka perintah.
Mereka mengasumsikan pemangku kekuasaan dari Pesisir Timur niscaya akan datang
membawakan aturan, regulasi, serta protokol resmi untuk dipatuhi oleh para
manajer rendahan di lokasi komputer host.
“Kami cuma
sekelompok mahasiswa pascasarjana yang mengajukan diri untuk bekerja. Jadi,
saya yakin suatu saat korps pemegang kekuasaan atau orang penting dari
Washington atau Cambridge akan datang dan memberitahukan aturan apa saja yang
mesti kami patuhi,” kenang Crocker.
Akan tetapi, ini
era baru. Karena jaringan tersebut mesti terdistribusi, kekuasaan atasnya juga
sama. Penciptaan dan aturannya akan digagas oleh pengguna. Keseluruhan proses
berlangsung terbuka. Walaupun sebagian pendanaan dikucurkan demi memfasilitasi
komando dan kendali militer, jaringan itu mesti memiliki karakter yang kebal
terhadap komando dan kontrol terpusat. Para kolonel telah menyerahkan tongkat
komando kepada para peretas dan akademisi.
Jadi, selepas acara
kumpul-kumpul nan menyenangkan di Utah pada awal April 1967, gerombolan
mahasiswa pascasarjana yang menamai diri Regu Pelaksana Jaringan ini memutuskan
mending mereka menuliskan saja apa-apa yang sudah dicetuskan.95 Crocker, yang kesopanan dan kerendahan hatinya mampu memikat
segerombol peretas untuk mencapai kata sepakat, ditunjuk menjadi juru rangkum.
Dia sangat berhati-hati dalam mencari pendekatan yang tidak terkesan sok.
“Saya menyadari,
dengan menuliskan hasil obrolan saja, bisa-bisa kami dikira sok kuasa sehingga
kemudian diomeli habis-habisan—barangkali oleh orang-orang besar dari timur.”
Hasrat Crocker untuk menjaga kesantunan akan membuatnya terjaga pada malam hari
dalam arti sesungguhnya. “Ketika itu saya tinggal dengan pacar saya dan bayinya
dari hubungan sebelumnya, di rumah orangtuanya. Satu-satunya tempat untuk
bekerja pada malam hari tanpa mengganggu orang ialah di dalam kamar mandi.
Jadi, saya sering di sana malam-malam, berdiri telanjang sambil menulis
catatan.”96
Crocker menyadari
bahwa dia butuh judul yang biasa-biasa saja untuk menamai daftar usulan dan
tindakan tersebut. “Untuk menekankan sifatnya yang informal, saya mendapat
gagasan konyol untuk menamainya ‘Request for Comment’ atau RFC (‘Minta
Komentar’)—tak peduli apakah kami memang meminta komentar atau tidak.” Frasa
tersebut sangat sempurna untuk mendorong kolaborasi pada zaman
Internet—terkesan sopan, bersahabat, tidak sok memerintah, dan inklusif.
“Mungkin untung
bahwa pada masa itu kami menghindari paten dan batasan-batasan lain; tanpa
insentif finansial untuk mengontrol protokol, lebih mudah mencapai kata
sepakat,” tulis Crocker empat puluh tahun kemudian.97
RFC pertama keluar
pada 7 April 1969, dikirimkan dalam amplop yang biasa-biasa saja lewat pos.
(Surel belum ada karena jaringan Internet belum dibuat.) Dengan nada hangat dan
kasual, tanpa lagak main perintah sama sekali, Crocker mengomandoi diskusi
mengenai bagaimana cara menyambungkan komputer host
di tiap institusi dengan jaringan baru. “Pada musim panas 1968 wakil-wakil dari
empat situs pertama bertemu beberapa kali untuk membahas perangkat lunak host,” tulisnya.
“Di sini saya
suguhkan kesepakatan sementara yang telah kami capai dan beberapa pertanyaan
terbuka yang kami jumpai. Butir-butir yang kami tulis di sini hanyalah usulan
sementara. Kami menunggu tanggapannya.”98 Orang-orang yang
menerima RFC 1 merasa diikutsertakan dalam proses yang mengasyikkan daripada
diperintah oleh diktator protokol. Karena yang sedang mereka bahas itu jaringan, masuk akal untuk menjaring masukan dari semua
orang.
Proses RFC menjadi
pelopor pengembangan perangkat lunak, protokol, dan konten berbasis open source. “Proses yang terbuka ialah aspek esensial yang
memungkinkan Internet tumbuh dan berkembang secara spektakuler seperti
sekarang,” kata Crocker kelak.99 Dari kacamata yang lebih
luas, proses terbuka semacam itu menjadi standar kolaborasi pada era digital.
Tiga puluh tahun
setelah RFC 1, Vint Cerf menulis RFC filosofis berjudul “Percakapan Hebat”
(“The Great Conversation”) yang dimulai sebagai berikut, “Dahulu kala, di
jaringan nun jauh di sana ....” Setelah menjabarkan asal usul RFC yang
informal, Cerf melanjutkan, “Yang tersembunyi di dalam sejarah RFC ialah
sejarah institusi manusia yang bekerja sama demi meraih tujuan.”100 Pernyataan itu mungkin terkesan bombastis, tetapi benar adanya.
RFC membuahkan seperangkat standar host-to-IMP pada penghujung Agustus 1969, tepat ketika IMP
pertama dikirimkan ke lab Kleinrock. Setibanya kiriman di gudang UCLA, selusin
orang datang untuk menyambut benda itu: Crocker, Kleinrock, beberapa anggota
tim, serta Cerf dan istrinya, Sigrid, yang membawa sampanye.
Mereka terkejut
saat melihat IMP ternyata seukuran kulkas dan casing-nya—sesuai
spesifikasi untuk mesin militer—berupa baja abu-abu sewarna kapal tempur. Alat
itu diantar dengan troli ke ruang komputer, disambungkan ke listrik, dan
langsung dinyalakan. BBN telah bekerja hebat, mengantarkan produk tepat waktu dan
sesuai anggaran.
Satu mesin tidak
cukup untuk membuat jaringan. Sebulan kemudian, ketika IMP kedua diantarkan ke
SRI di pinggiran kampus Stanford, barulah ARPANET betul-betul berjalan. Pada 29
Oktober koneksi sudah siap dibuat. Ajang itu pun terkesan kasual, sebagaimana
lazimnya. Sama sekali tidak ada pengumuman dramatis “satu langkah kecil bagi
seorang manusia, satu langkah raksasa bagi umat manusia”, seperti ketika
pendaratan di bulan beberapa minggu sebelumnya disiarkan di televisi dan
ditonton oleh setengah miliar orang.
Hanya seorang
mahasiswa program sarjana bernama Charley Kline, diawasi oleh Crocker dan Cerf,
yang mengenakan headset telepon untuk berkoordinasi
dengan seorang peneliti di SRI sambil mengetikkan urut-urutan perintah login supaya terminalnya di UCLA dapat menyambung lewat
jaringan ke komputer 567 kilometer jauhnya di Palo Alto.
Kline mengetik “L”.
Orang SRI memberitahunya bahwa pesan telah diterima. Kemudian, dia mengetik
“O”. Penerimaan pesan itu pun dikonfirmasi. Ketika Kline mengetik “G”, sistem
mendadak macet gara-gara fitur auto-complete. Namun,
pesan pertama telah dikirimkan lewat ARPANET. Dalam buku lognya, Kline
mencatatkan entri minimalis, “22:30. Komunikasi host-to-host
dengan SRI. CSK.”101
Demikianlah, pada
paruh kedua 1969—di tengah-tengah riuh rendah Woodstock, kecelakaan
Chappaquiddick, protes Perang Vietnam, pembunuhan Charles Manson, persidangan
Chicago Eight, dan kerusuhan di Altamont—tercapai tiga prestasi bersejarah,
yang masing-masing berkulminasi setelah proses panjang hampir sedekade.
NASA berhasil
mengirimkan orang ke bulan, para insinyur di Silicon Valley berhasil menggagas
cara membuat komputer terprogram di atas chip yang
disebut mikroprosesor, sedangkan ARPA menciptakan jaringan yang dapat
menghubungkan komputer-komputer yang berjauhan. Hanya yang pertama di antara
ketiga prestasi ini (dan barangkali paling tidak signifikan di antara
ketiganya?) yang dimuat sebagai berita utama di koran-koran.
INTERNET
ARPANET belum bisa disebut Internet. ARPANET
hanya terdiri atas satu jaringan. Dalam beberapa tahun kemudian, muncullah
jaringan-jaringan lain berbasis packet switching yang
mirip, tetapi belum terhubung satu sama lain. Contohnya, para insinyur di Xerox
Palo Alto Research Center (PARC) menginginkan jaringan lokal untuk
menghubungkan komputer kantor yang mereka rancang pada awal 1970-an.
Sementara itu,
lulusan PhD baru dari Harvard bernama Bob Metcalfe menggagas cara untuk
menggunakan kabel koaksial (tipe yang digunakan untuk sambungan TV kabel) untuk
menciptakan sistem bandwidth tinggi yang dia namai
“Ethernet”. Modelnya berdasarkan ALOHAnet, jaringan nirkabel yang dikembangkan
di Hawaii, yang mengirimkan paket data lewat UHF dan sinyal satelit.
Selain itu, ada
jaringan packet radio di
San Francisco, yang dikenal sebagai PRNET, dan versi satelit yang disebut
SATNET. Kendati sistemnya agak mirip, jaringan yang kesemuanya berbasis packet switching tersebut tidak kompatibel ataupun bisa
disambungkan satu sama lain.
Pada awal 1973
Robert Kahn ambil ancang-ancang untuk mengatasi kendala itu. Harus ada cara,
dia memutuskan, supaya semua jaringan bisa saling terhubung. Kebetulan posisi
Kahn memungkinkannya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dia telah meninggalkan
BBN, tempatnya sempat membantu mengembangkan IMP, untuk menjadi manajer proyek
di Information Processing Techniques Office-nya ARPA.
Karena pernah
menggarap ARPANET dan kemudian PRNET, Kahn bercita-cita menciptakan metode
untuk menghubungkan keduanya dan jaringan-jaringan berbasis packet
switching lain, sistem yang kemudian disebut Kahn dan para koleganya
sebagai “internetwork”. Beberapa lama berselang, kata
itu dipendekkan menjadi “Internet”.
Untuk dijadikan
mitra dalam misi ini, Kahn menggaet Vint Cerf, yang merupakan tangan kanan
Steve Crocker di kelompok penulis RFC dan perumus protokol ARPANET. Cerf
dibesarkan di Los Angeles, tempat ayahnya bekerja di perusahaan yang membuat
mesin untuk program antariksa Apollo. Sama seperti Gordon Moore, dia suka memainkan
alat praktikum kimia pada masa ketika mainan tersebut berbahaya, tetapi
mengasyikkan.
“Kami mendapatkan
bahan-bahan seperti magnesium bubuk, aluminium bubuk, belerang, gliserin, dan
kalium permanganat,” kenangnya. “Ketika semuanya dicampur menjadi satu,
muncullah ledakan api.” Di kelas lima dia bosan pada matematika sehingga sang
guru memberinya buku aljabar untuk kelas tujuh. “Saya menghabiskan seluruh
musim panas dengan mengerjakan semua soal di buku itu,” kata Cerf. “Saya suka
soal yang menggunakan kata karena kesannya seperti memecahkan cerita misteri.
Kita harus mencari tahu si ‘x’ itu siapa dan saya selalu penasaran apakah ‘x’
itu.”
Dia juga menaruh
minat mendalam pada fiksi ilmiah, terutama cerita-cerita karangan Robert
Heinlein, dan mulai membaca trilogi Lord of the Rings
karya J.R.R. Tolkien, yang nantinya dia baca ulang hampir tiap tahun.102
Karena lahir
prematur, pendengaran Cerf kurang tajam dan dia mulai menggunakan alat bantu
dengar sewaktu berusia 13 tahun. Kira-kira saat itu jugalah dia mulai
bersekolah sambil mengenakan jas dan dasi serta membawa aktentas. “Saya tidak
mau sama seperti semua orang,” katanya. “Saya ingin kelihatan lain, ingin
diperhatikan. Berbusana mencolok adalah cara yang sangat efektif untuk itu,
tetapi mending mengenakan jas ketimbang anting hidung, apalagi saat itu masih
tahun 1950-an. Selain itu, saya kira Ayah takkan suka.”103
Di SMA dia menjalin
persahabatan dengan Crocker dan mereka menghabiskan akhir pekan bersama untuk
mengerjakan proyek sains serta bermain catur 3D. Setelah lulus dari Stanford
dan bekerja di IBM dua tahun, dia kuliah doktoral di UCLA dan bekerja dalam
kelompok Kleinrock. Di sana pulalah Cerf bertemu Bob Kahn. Mereka masih
menjalin hubungan dekat setelah Kahn bekerja di BBN dan kemudian di ARPA.
Ketika menjajaki
misi internetwork pada musim semi 1973, Kahn
menyambangi Cerf dan memaparkan semua jaringan berbasis packet
switching yang telah berkembang selain ARPANET. “Kau hendak
menyambungkan jaringan berbasis paket yang lain-lain itu dengan cara bagaimana?”
tanya Kahn. Cerf sontak menyambar tantangan tersebut dan mereka berdua kemudian
meluncurkan kolaborasi selama tiga bulan yang nantinya membuahkan internet.
“Dia dan saya
langsung sepikiran,” Kahn kelak berkata. “Vint tipe orang yang suka menyingsingkan
lengan baju dan tidak segan-segan menerima tantangan apa pun. Saya suka
optimisme semacam itu.”104
Mereka mulai
mengorganisasikan pertemuan di Stanford pada Juni 1973 untuk menghimpun ide.
Sebagai hasil pendekatan kolaboratif ini, Cerf kelak berkata, solusi “yang
tercetus ialah protokol terbuka, yang dikembangkan oleh semua orang”.105 Namun, pengembangan utamanya dikerjakan oleh duet Kahn dan Cerf, yang
berembuk intens di Rickeys Hyatt House di Palo Alto atau di hotel dekat Bandara
Dulles.
“Vint sering kali
bangkit dan membuat gambar jaring laba-laba,” kenang Kahn. “Kami melontarkan
ide bolak-balik dan kemudian dia kerap berkata, ‘Sini, biar kugambar.’”106
Suatu hari pada
Oktober 1973 Cerf membuat sketsa sederhana di lobi sebuah hotel di San
Fransisco yang merumuskan pendekatan mereka. Sketsa itu menggambarkan
macam-macam jaringan seperti ARPANET dan PRNET, masing-masing terdiri atas
banyak komputer host, dan perangkat komputer
“penghubung” yang akan mengoperkan paket data dari satu jaringan ke jaringan lain.
Akhirnya, mereka menghabiskan akhir pekan bersama-sama di kantor ARPA dekat
Pentagon dan begadang hampir dua malam, kemudian merayakan keberhasilan dengan
makan sarapan di Marriott.
Mereka menolak
gagasan bahwa jaringan yang berlainan boleh mempertahankan protokolnya sendiri,
sekalipun gagasan macam itu niscaya lebih gampang dijual. Mereka menginginkan
protokol bersama. Dengan demikian, internetwork yang
baru dapat menyebar luas secara cepat. Sebab, komputer atau jaringan mana pun
yang menggunakan protokol anyar tersebut bisa ikut menghubungkan diri tanpa
membutuhkan sistem penerjemahan program.
Lalu lintas antara
ARPANET dan jaringan lain niscaya mulus dan lancar. Jadi, mereka mengusulkan
agar tiap komputer mengadopsi metode dan templat yang sama untuk mengolah paket
data. Ini bisa dianalogikan dengan menetapkan aturan bahwa tiap kartu pos yang
dikirimkan harus mencantumkan empat baris alamat yang memuat nomor jalan, kota,
dan negara menggunakan huruf Latin.
Hasilnya berupa
Internet Protocol (IP), yang berisi perintah spesifik mengenai cara meletakkan
alamat tujuan di “kop” paket data dan menentukan alur perjalanan paket di dalam
jaringan untuk mencapai tujuan tersebut. Setingkat di atas IP ada Transmission
Control Protocol (TCP), yang menginstruksikan cara menyusun paket-paket seperti
semula, mengecek apakah ada paket yang hilang, dan meminta transmisi ulang
apabila ada informasi yang hilang. Protokol ini disebut TCP/IP. Kahn dan Cerf
memublikasikannya dalam makalah berjudul “Protokol untuk Paket Jaringan
Interkoneksi” (“A Protocol for Packet Network Interconnection”). Maka,
terlahirlah Internet.
Pada ulang tahun
ke-20 ARPANET pada 1989 Kleinrock dan Cerf serta banyak pionir lain berkumpul
di UCLA, tempat dipasangnya nodus jaringan pertama. Sejumlah puisi, lagu, dan
pantun jenaka ditulis untuk merayakan acara tersebut. Cerf mendeklamasikan
parodi karya Shakespeare, berjudul “Rosencrantz dan Ethernet”, yang mengajukan
pertanyaan mengenai pilihan antara packet switching
dan sambungan sirkuit langsung:
Seluruh dunia
dihubungkan oleh jaringan! Dan, semua data di dalamnya hanyalah paket yang
mesti mengantre untuk diantarkan dan kemudian tak kedengaran lagi rimbanya.
Jaringan ini ingin dimutakhirkan!
Dimutakhirkan ke packet switching atau tidak? Itulah pertanyaannya:
Bijaksanakah
membiarkan jaringan macet
Karena antrean yang
terlalu panjang,
Atau perlukah kita
rentangkan sirkuit khusus
Supaya segunung paket
dapat diantar langsung?107
Satu generasi
berselang, pada 2014, Cerf bekerja di kantor Google di Washington, D.C. Dia
masih menyukai pekerjaannya dan terkagum-kagum akan dampak ajaib Internet.
Sambil mengenakan Google Glass, dia mengomentari bahwa tiap tahun muncul
sesuatu yang baru. “Jejaring sosial—saya bergabung ke Facebook untuk
eksperimen—aplikasi bisnis, teknologi mobile, hal-hal
baru terus bermunculan di Internet,” katanya.
“Internet telah
membesar jutaan kali lipat. Tak banyak yang bisa mengembang sebesar itu tanpa
menjadi rusak. Namun, protokol lama yang kami buat ternyata masih baik-baik
saja sampai sekarang.”108
KREATIVITAS YANG BERJEJARING
Jadi, siapa yang paling layak diapresiasi sebagai
penemu Internet? Jawabannya sama seperti pada pernyataan siapa penemu komputer,
Internet diciptakan lewat kolaborasi kreatif. Sebagaimana berikut dijelaskan
oleh Paul Baran kepada penulis teknologi, Katie Hafner dan Matthew Lyon, dengan
analogi indah yang bisa diterapkan untuk segala jenis inovasi.
Proses pengembangan teknologi ibarat pembangunan
sebuah katedral. Dalam durasi beratus-ratus tahun, datanglah orang-orang baru
dan masing-masing meletakkan balok batu di atas fondasi lama, masing-masing
mengatakan, “Saya membangun katedral.” Bulan berikut, balok batu lainnya
diletakkan di atas balok batu terdahulu. Kemudian, muncullah seorang sejarawan
yang bertanya, “Jadi, siapa yang membangun katederal ini?”
Peter menambahkan
batu-batu di sebelah sana, sedangkan Paul menambahkan beberapa batu lagi. Jika
tidak hati-hati, kita bisa menipu diri dengan mengatakan bahwa kitalah yang
paling berjasa membangun katederal. Namun, kenyataannya, tiap kontribusi
merupakan kelanjutan dari pekerjaan sebelumnya. Semua terkait satu sama lain.109
Internet sampai tingkat tertentu dibuat oleh
Pemerintah AS dan juga perusahaan swasta, tetapi sebagian besar merupakan hasil
kreasi para akademisi dan peretas yang berafiliasi secara longgar, bekerja sama
sebagai rekan setara serta secara leluasa tukar-menukar ide kreatif. Kebiasaan
berbagi sebagai rekan setara menghasilkan jaringan yang karakternya
memfasilitasi tukar-menukar secara setara pula. Ini bukan kebetulan belaka.
Pembuatan Internet
dilatarbelakangi keyakinan bahwa kekuasaan mesti didistribusikan daripada
dikontrol secara terpusat dan keyakinan bahwa titah otoriter mesti diakali.
Sebagaimana disampaikan oleh Dave Clark, salah seorang partisipan awal Internet
Engineering Task Force, “Kami menolak raja, presiden, dan pemungutan suara.
Kami meyakini konsensus umum dan kode garis besar.”110 Hasilnya berupa
jejaring masyarakat, tempat inovasi dapat dibentuk bersama-sama secara terbuka.
Inovasi bukanlah
buah karya seorang penyendiri, Internet dapat menjadi contoh utamanya. “Berkat
jaringan komputer, kesendirian aktivitas penelitian digantikan oleh kebersamaan
riset yang subur dan kaya,” demikian menurut edisi pertama ARPANET
News, nawala resmi jaringan baru yang digagas oleh Cerf-Kahn.
Dua pionir
jaringan, J.C.R. Licklider dan Bob Taylor, sadar bahwa Internet—karena caranya
dibuat—secara inheren cenderung memupuk tumbuhnya koneksi peer-to-peer
dan pembentukan komunitas daring. Karakter bawaan ini membukakan pintu bagi
aneka kemungkinan indah.
“Kehidupan menjadi
lebih membahagiakan bagi individu yang terkoneksi jaringan karena orang-orang
yang kita ajak berinteraksi ialah yang memiliki kesamaan minat dan tujuan,
bukan yang kebetulan saja berdekatan dengan kita,” tulis mereka dalam makalah
visioner terbitan 1968 berjudul “Komputer sebagai Alat Komunikasi” (“The
Computer as a Communication Revice”).
Optimisme mereka
bahkan menjurus utopis. “Akan tersedia banyak peluang bagi semua orang (yang
mampu membeli konsol) untuk menemukan panggilan hidupnya. Sebab, informasi apa
saja, dari segala bidang dan disiplin ilmu, bisa diakses dengan mudah.”111
Akan tetapi, visi
tersebut tidak serta-merta terwujud. Sesudah diciptakan pada pertengahan
1970-an, masih diperlukan beberapa inovasi lagi supaya jaringan komputer bisa
menjadi sarana yang sungguh-sungguh transformatif, menjadi Internet seperti
yang kita kenal sekarang. Internet masih merupakan jaringan yang dipagari,
umumnya hanya terbuka untuk para peneliti di institusi militer dan akademik.
Jaringan mirip ARPANET yang dibuka untuk warga sipil baru tersedia awal
1980-an, sedangkan para pengguna biasa di rumah baru bisa ikut masuk ke jaringan
pada 1990-an.
Selain itu,
terdapat satu lagi rintangan pelik: orang-orang yang dapat menggunakan Internet
hanyalah yang punya akses langsung ke komputer. Padahal, komputer masih benda
besar dan mahal yang susah digunakan, serta tidak bisa dibeli begitu saja di
toko elektronik. Era digital baru betul-betul transformatif sesudah komputer
menjadi barang yang personal.
Ken Kesey (1935–2001) duduk di bus sambil
memegang seruling.
Stewart Brand (1938–...).
Edisi pertama, musim gugur 1968.
*1 Pada 2010 anggaran
Pemerintah Federal AS untuk riset telah merosot, nilainya hanya setengah dari
anggaran total riset industri swasta.
*3 Pemerintah AS
berkali-kali mengganti nama badan itu dengan mencoret atau membubuhkan huruf D
(untuk Defense Department alias Departemen Pertahanan) di akronimnya. Badan
yang diciptakan pada 1958 dinamai ARPA. Namanya diganti menjadi DARPA pada
1972, kemudian kembali lagi ke ARPA pada 1993, lalu menjadi DARPA lagi pada
1996.
*4 Transformator frekuensi
tinggi yang bisa mengambil tegangan biasa, semisal tegangan 120 volt dari
colokan listrik di Amerika Serikat, dan menaikkannya menjadi tegangan teramat
tinggi, sering kali sambil memercikkan sambaran energi tinggi mirip lecutan petir
yang keren.
Comments
Post a Comment