The Innovators - Walter Isaacson - 07



SEGITIGA VANNEVAR BUSH
Inovasi kerap menyisakan jejak organisasi yang menciptakannya. Internet merupakan contoh kasus menarik karena kreatornya adalah tiga pihak yang berkolaborasi: militer, perguruan tinggi, dan korporasi swasta. Yang patut dicatat, ketiganya tidak menghimpun diri secara longgar demi mengejar tujuan masing-masing. Sebaliknya, selama dan sesudah Perang Dunia II, ketiga pemain tersebut lebur menjadi satu kesatuan, yakni segitiga militer-industri-akademik.
Orang yang paling bertanggung jawab dalam menempa persatuan itu adalah Vannevar Bush, profesor MIT yang pada 1931 membuat Differential Analyzer, komputer analog perintis yang dijabarkan dalam Bab Dua.1 Bush sangat pas menjalankan peran tersebut karena sempat menjadi bintang di ketiga kubu: Dekan MIT School of Engineering, pendiri perusahaan elektronika Raytheon, dan administrator bidang sains di dalam militer AS saat Perang Dunia II.
“Tidak ada orang Amerika yang pengaruhnya terhadap pertumbuhan sains dan teknologi sebesar Vannevar Bush,” ucap Presiden MIT Jerome Wiesner kelak, dan menambahkan, “inovasi (Bush) yang paling signifikan ialah gagasannya agar pemerintah menjalin kontrak dengan universitas dan laboratorium industri daripada membuat laboratorium besar sendiri.”2
Bush lahir di dekat Boston pada 1890. Dia putra seorang pendeta Protestan Universalis yang memulai karier sebagai juru masak di kapal nelayan makarel. Kedua kakek Bush menjadi kapten kapal penangkap paus. Barangkali karena lahir di tengah keluarga pelaut, Bush memiliki sifat blakblakan dan pedas yang membantunya menjadi manajer tegas dan administrator karismatik.
Sama seperti banyak pemimpin teknologi, Bush pakar merekayasa produk sekaligus sigap membuat keputusan. “Semua kakek dan buyut saya kapten kapal. Mereka tidak pernah ragu-ragu dalam memimpin dan memberikan komando,” dia pernah berkata. “Saya mewarisi kecenderungan untuk pegang kendali dan sok main perintah dari mereka.”3
Juga sama seperti banyak pemimpin teknologi ulung lainnya, Bush sangat menyukai ilmu humaniora dan sains ketika tumbuh besar. Dia bisa mengutip Kipling atau Umar Khayyam “di luar kepala”, memainkan seruling, menggemari simfoni, dan membaca buku filsafat untuk hiburan.
Keluarganya juga mempunyai bengkel di ruang bawah tanah, tempat Bush cilik membuat kapal-kapalan dan mainan mekanis. Sebagaimana yang kelak dilaporkan Time, “Van Bush yang ramping, lugas, dan pedas adalah seorang Yankee tulen yang kecintaannya pada sains bermula dari—sama seperti banyak pemuda Amerika—kegemaran mengotak-atik barang.”4
Berkuliah di Universitas Tufts, dia melewatkan waktu luang dengan membuat mesin survei menggunakan dua roda sepeda serta pendulum untuk merunut perimeter suatu area dan mengalkulasi luasnya—dengan kata lain, alat analog untuk menghitung kalkulus integral. Dia memperoleh paten atas alat itu, yang pertama dari ke-49 paten yang dia kumpulkan seumur hidupnya. Selagi kuliah di Tufts, Bush dan teman-teman sekamar menjadi konsultan beberapa perusahaan kecil dan, setelah lulus, mendirikan Raytheon, yang tumbuh menjadi kontraktor pertahanan raksasa sekaligus perusahaan elektronika.
Bush meraih PhD di bidang teknik elektro dari MIT dan Harvard, kemudian menjadi profesor dan Dekan Fakultas Teknik di MIT, perguruan tinggi tempatnya membuat Differential Analyzer. Dia berhasrat meninggikan derajat sains dan teknologi di tengah masyarakat pada masa ketika—pada pertengahan 1930-an—tidak tampak perkembangan menarik di kedua bidang itu.
Televisi belum menjadi consumer product, sedangkan temuan anyar paling mengesankan yang dimasukkan ke kapsul waktu pada Pameran Dunia 1939 di New York berupa arloji Mickey Mouse dan pisau cukur Gillette. Datangnya Perang Dunia II mengubah situasi tersebut, menghasilkan ledakan teknologi baru dikomandoi oleh Vannevar Bush.
Khawatir kalau-kalau pihak militer AS tertinggal dalam bidang teknologi, Bush memobilisasi Presiden Harvard, James Bryant Conant, dan para pemimpin ilmiah yang lain untuk meyakinkan Presiden Franklin Roosevelt agar membentuk National Defense Research Committee dan kemudian Office of Scientific Research and Development, yang keduanya dikepalai oleh Bush. Sambil menggigit pipa tembakau dan memegang pensil, dia lantas mengawasi Manhattan Project, yang bertujuan membuat bom atom, serta proyek-proyek pengembangan radar dan sistem pertahanan udara.
Time menjulukinya “Jenderal Fisika” di sampul salah satu edisi pada 1944. “Andai kita tidak ambil ancang-ancang dalam mengembangkan teknologi perang sejak sepuluh tahun lalu,” kata Bush sambil menggebrak meja—sebagaimana dikutip oleh Time, “kita barangkali takkan memenangi perang sialan ini.”5
Berkat gaya yang tanpa tedeng aling-aling, tetapi hangat, Bush menjadi pemimpin yang tangguh sekaligus disayang. Suatu kali sekelompok ilmuwan militer, yang frustrasi karena masalah birokratis, mendatangi kantornya untuk mengundurkan diri. Bush tidak paham apa yang mereka ributkan. “Jadi, saya katakan kepada mereka,” kenangnya, “‘Tidak boleh mengundurkan diri pada masa perang. Sana, keluar. Kembalilah bekerja. Biar saya yang urus.’”6 Mereka langsung patuh.
Sebagaimana komentar Presiden MIT Jerome Wiesner kelak, “Dia seorang pria berpendirian teguh, berapi-api dalam mengemukakan pendapat, tetapi dia terperangah kagum akan misteri alam, berkepribadian hangat, bertenggang rasa terhadap kelemahan manusia, dan berpikiran terbuka dalam menyikapi perubahan.”7
Seusai perang, Bush mengeluarkan laporan pada Juli 1945 atas permintaan Roosevelt (yang akhirnya diserahkan kepada Presiden Harry Truman) yang berisi anjuran agar pemerintah mendanai riset ilmu dasar sambil bermitra dengan perguruan tinggi dan industri. Bush memilih judul yang menggugah dan sangat Amerika, yaitu “Sains, Tapal Batas Tak Berujung” (“Science, the Endless Frontier”). Kata pengantarnya layak dibaca oleh politikus yang mengancam memangkas anggaran riset iptek. “Riset ilmu dasar menghasilkan pengetahuan baru,” tulis Bush. “Pengetahuan merupakan modal ilmiah. Dari sana dapat diciptakan terapan praktis yang bermanfaat.”8
Deskripsi Bush mengenai riset ilmu dasar yang menjadi benih bagi temuan bernilai praktis disebut “model inovasi linear”. Walaupun para sejarawan sains kelak mengkritik model linear karena terlampau menyederhanakan hubungan antara riset teori dasar dan aplikasi praktis, konsepsi tersebut masih diyakini banyak orang dan memang ada benarnya. Bush menulis perang telah “menunjukkan dengan terang benderang” bahwa sains dasar—kajian mengenai prinsip-prinsip fundamental dalam bidang fisika inti, laser, sains komputer, radar, dan lain-lain—“amatlah esensial demi menjamin keamanan nasional”.
Selain itu, riset dasar penting bagi keamanan ekonomi Amerika, imbuhnya. “Produk baru dan proses baru tidak serta-merta utuh dan matang, tetapi dibuat setahap demi setahap, semakin sempurna seiring dengan ditemukannya prinsip dan konsepsi baru. Prinsip dan konsepsi mendasar tersebut buah dari penelitian di ranah sains murni. Bangsa yang tidak proaktif dalam melakukan riset ilmu dasar akan tertinggal dalam bidang industri dan gagap bersaing di kancah perdagangan dunia.”
Pada penghujung laporannya, Bush secara puitis mengunggul-unggulkan imbas praktis penelitian ilmu dasar, “Kemajuan di bidang sains dapat kita terjemahkan menjadi ketersediaan lapangan kerja lebih banyak, upah lebih tinggi, jam kerja lebih pendek, panen berlimpah, lebih banyak waktu luang untuk berekreasi, untuk belajar, untuk menjalani hidup yang berkualitas tanpa keharusan membanting tulang bak sapi pekerja sebagaimana nasib nenek moyang kita pada masa lalu.”9
Berdasarkan laporan ini, Kongres membentuk National Science Foundation. Mula-mula Truman memveto RUU pendirian lembaga itu karena mengamanatkan penunjukan direktur oleh dewan independen daripada oleh Presiden. Namun, Bush meyakinkan Truman agar berubah pikiran dengan menjelaskan bahwa aturan itu justru menguntungkan Presiden. Dengan demikian, Presiden takkan diusik oleh orang-orang yang bermaksud mencari kedudukan politik.
“Van, Anda sebaiknya jadi politikus,” Truman memberitahunya. “Insting Anda tajam.” Bush menimpali, “Pak Presiden, memangnya Anda kira apa yang saya kerjakan di kota ini selama lima, enam tahun terakhir?”10
Penciptaan kerja sama segitiga pemerintah-industri-akademis juga merupakan inovasi signifikan. Sebab, hubungan tersebut turut berperan dalam menghasilkan Revolusi Teknologi pada akhir abad ke-20. Departemen Pertahanan AS dan National Science Foundation segera saja menjadi pemberi dana terbesar riset ilmu dasar di Amerika, menggelontorkan dana penelitian yang hampir sama besarnya dengan industri swasta sepanjang 1950 hingga 1980-an.*1
Investasi tersebut mendatangkan imbalan mahabesar, bukan saja membuahkan Internet, melainkan juga banyak landasan inovasi pascaperang dan ledakan ekonomi. Intinya, berkat kerja sama ketiga kubu itulah Amerika Serikat dapat menjadi pemimpin dunia di segala bidang.11
Beberapa pusat riset korporat, contohnya Bell Labs yang tenar, sudah berdiri sebelum perang. Namun, sesudah Bush menyeru pemerintah agar memberikan sokongan, kontrak, dan pendanaan, pusat-pusat riset hibrida mulai menjamur. Salah satu yang paling menonjol ialah RAND Corporation, yang mula-mula bertujuan menyuguhkan hasil penelitian dan pengembangan (Research ANd Development) untuk Angkatan Udara Amerika Serikat. Lalu, ada Stanford Research Institute dan sempalannya, Augmentation Research Center; serta Xerox PARC. Semua akan memainkan peran dalam mengembangkan Internet.
Dua institusi penting semacam itu berdiri di sekitar Cambridge, Massachusetts, tepat sesudah perang: Lincoln Laboratory, badan riset yang didanai oleh militer dan berafiliasi dengan MIT, serta Bolt, Beranek and Newman, perusahaan litbang yang didirikan dan dipenuhi oleh insinyur-insinyur MIT (dan segelintir insinyur Harvard). Tokoh yang berhubungan dekat dengan kedua institusi ini adalah profesor MIT berlogat Missouri kental, supel, ramah, dan berbakat merajut kerja sama tim. Pria ini yang berperan paling penting dalam penciptaan Internet.

J.C.R. LICKLIDER
Dalam upaya mengetahui Bapak Internet, orang pertama yang pantas disorot adalah psikolog dan teknolog pendiam yang anehnya menawan, murah senyum, dan cenderung skeptis. Joseph Carl Robnett Licklider lahir pada 1915 dan dipanggil “Lick” oleh semua orang. Dia memelopori dua konsep terpenting yang mendasari Internet: 1) jaringan terdesentralisasi yang memungkinkan pendistribusian informasi dari dan ke mana saja, dan 2) antarmuka yang memfasilitasi interaksi langsung mesin-manusia.
Selain itu, dia direktur sekaligus pendiri badan militer yang mendanai ARPANET, lalu kembali ke sana untuk masa jabatan kedua satu dasawarsa berselang ketika tengah diciptakan protokol untuk jaringan cikal bakal Internet. Menurut salah seorang mitra dan muridnya, Bob Taylor, “Dia adalah bapak dari semua itu.”12
Ayah Licklider berasal dari keluarga petani Missouri miskin, tetapi kemudian menjadi wiraniaga asuransi sukses di St. Louis dan sesudah itu—ketika Depresi Besar mengempaskannya—menjadi pendeta Baptis di sebuah kota pedesaan kecil. Sebagai anak tunggal yang dimanja, Lick mengubah kamarnya menjadi pabrik-pabrikan pesawat terbang dan merakit ulang mobil-mobil rongsokan dibantu oleh sang ibu yang berdiri di samping sambil mengoperinya perkakas. Walau demikian, dia merasa tidak leluasa tumbuh besar di area rural terpencil yang sarat dengan pagar kawat berduri.
Dia pertama-tama kabur ke Universitas Washington di St. Louis dan, sesudah meraih gelar doktor di bidang psikoakustik (kajian mengenai cara manusia memersepsi bunyi), bergabung ke lab psikoakustik Harvard. Karena kian lama kian tertarik pada hubungan antara psikologi dan teknologi, juga pada interaksi antara otak dan mesin, dia lantas pindah ke MIT untuk mendirikan program studi psikologi yang berbasis di Departemen Teknik Elektro.
Di MIT Licklider bergabung dengan kelompok eklektik terdiri atas insinyur, psikolog, dan budayawan di lingkaran Profesor Norbert Wiener, teoretikus yang mempelajari kerja sama antara manusia dan mesin serta menggagas istilah sibernetika—yang menjabarkan bagaimana suatu sistem, dari otak sampai mekanisme pembidik artileri, belajar lewat komunikasi, kontrol, dan umpan balik.
“Iklim intelektual di Cambridge sesudah Perang Dunia II bernas sekali,” kenang Licklider. “Wiener mengadakan acara kumpul-kumpul mingguan yang dihadiri oleh empat puluh, lima puluh orang. Mereka berhimpun bersama dan berbincang selama beberapa jam. Saya salah seorang partisipan setia acara itu.”13
Lain dengan sebagian kolega di MIT, Wiener meyakini strategi paling menjanjikan untuk sains komputer ialah merancang mesin yang bisa bekerja sama secara padu dengan benak manusia ketimbang menjadi pengganti otak manusia. “Banyak orang yang mengira mesin komputasi adalah pengganti kecerdasan dan akan mengurangi keharusan untuk mencetuskan pemikiran orisinal,” tulis Wiener. “Menurut saya, bukan begitu.”14
Semakin canggih sebuah komputer akan semakin dimanfaatkan untuk menjembatani pemikiran manusia yang imajinatif, kreatif, dan berlevel intelektual tinggi. Licklider turut menggadang-gadang pendekatan ini, yang kelak dia sebut “simbiosis manusia-komputer”.
Licklider memiliki selera humor yang jail, tetapi bersahabat. Dia gemar menonton Three Stooges dan tidak bosan akan pelesetan yang kekanak-kanakan. Terkadang, ketika seorang kolega hendak menyampaikan presentasi, Licklider diam-diam mengganti slide dengan foto wanita cantik. Untuk bekerja, dia selalu menyiapkan bekal berupa Coke dan permen dari mesin penjual otomatis. Dia juga sering membagikan cokelat batangan kepada anak-anaknya dan para mahasiswa kapan pun mereka membuatnya kegirangan.
Licklider terkenal penuh perhatian kepada para mahasiswa pascasarjana, yang kerap dia undang untuk makan malam di rumahnya di kawasan suburban Boston, Arlington. “Inti seluruh aktivitas dia adalah kolaborasi,” kata putranya, Tracy. “Dia berkeliling ke mana-mana untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri orang-orang, mendorong mereka supaya tidak gentar memecahkan persoalan.” Itulah salah satu penyebab ketertarikan Licklider pada jaringan.
“Dia tahu bahwa untuk memperoleh solusi bagus, dibutuhkan kolaborasi antara orang-orang yang berjauhan. Dia gemar melacak orang-orang berbakat dan menghimpun mereka dalam satu tim.”15
Akan tetapi, peluk kasih sayang Licklider tidak diberikan kepada orang-orang yang sok atau congkak (terkecuali Wiener). Ketika merasa seseorang melontarkan omong kosong, Licklider tidak sungkan berdiri dan mengajukan pertanyaan yang terkesan polos, tetapi menjebak. Beberapa saat berselang, begitu si pembicara sadar sudah terkena pukulan telak, barulah Licklider duduk kembali. “Dia tidak menyukai orang yang sok atau banyak lagak,” kenang Tracy. “Dia tidak pernah bersikap kejam, tetapi akan dengan cerdik melibas lagak sok orang-orang.”
Salah satu renjana Licklider adalah seni. Kapan pun bepergian, Licklider bisa menghabiskan berjam-jam di museum, terkadang menyeret kedua anaknya yang enggan. “Dia bisa tergila-gila, tidak pernah bosan,” kata Tracy. Kadang-kadang Licklider menghabiskan lima jam atau lebih di museum untuk mengagumi tiap sapuan kuas, menganalisis perpaduan warna yang membentuk kesatuan utuh dalam satu lukisan, dan coba mengambil pelajaran mengenai kreativitas dari karya seni tersebut.

Dia mempunyai insting untuk mengenali bakat dalam segala bidang, baik seni maupun sains. Namun, dia merasa bakat mumpuni mudah dikenali lewat ekspresinya yang paling murni, semisal dalam sapuan kuas pelukis atau refrein merdu gubahan seorang komposer. Licklider mengatakan bahwa dia mencari kreativitas yang serupa dalam desain komputer atau diri insinyur jaringan.
“Dia mahir melacak jejak-jejak kreativitas. Dia sering kali mendiskusikan apa sebabnya orang bisa kreatif. Dia merasa mudah mengenali seniman yang kreatif maka dia berusaha lebih keras lagi supaya bisa mengidentifikasi kreativitas dalam diri insinyur juga, yang wujud kreativitasnya tidak sejelas sapuan kuas di atas kanvas.”16
Licklider juga baik hati. Ketika bekerja di Pentagon kelak, menurut penulis biografinya, Mitchell Waldrop, Licklider melihat seorang wanita petugas kebersihan mengagumi lukisan cetak di dinding kantornya suatu malam. Wanita itu mengatakan kepadanya, “Saya sengaja membersihkan ruangan Anda paling akhir, Dr. Licklider, karena saya ingin menikmati setiap gambar tanpa terburu-buru.” Licklider menanyakan yang mana yang paling dia sukai, lalu wanita itu menunjuk lukisan cetak Cézanne. Licklider kegirangan karena gambar itu favoritnya juga, lalu dia serta-merta memberikan lukisan cetak tersebut kepada sang petugas kebersihan.17
Licklider merasa kecintaan terhadap seni membuatnya lebih intuitif. Dia bisa memproses informasi yang amat beragam dan mengidentifikasi polanya. Satu sifat lain, yang akan bermanfaat ketika dia turut menghimpun tim peletak batu fondasi Internet, ialah kegemaran berbagi ide tanpa ingin dipuja-puji sebagai penggagasnya. Saking tidak egoisnya, Licklider terkesan lebih senang membagi-bagikan ide daripada mengklaim hak milik atas ide yang tercetus di tengah percakapan.
“Sekalipun berpengaruh besar dalam bidang komputasi, Lick tetap saja rendah hati,” kata Bob Taylor. “Korban guyonan favoritnya adalah dirinya sendiri.”18


TIME-SHARING DAN SIMBIOSIS MANUSIA-KOMPUTER
Di MIT Licklider berkolaborasi dengan tokoh pionir kecerdasan buatan, John McCarthy, yang labnya menjadi tempat para peretas Tech Model Railroad Club menciptakan Spacewar. Dikomandoi oleh McCarthy, mereka membantu mengembangkan, pada periode 1950-an, sistem time-sharing komputer.
Sampai saat itu, ketika ingin menggunakan komputer untuk mengerjakan sesuatu, kita harus menyerahkan setumpuk kartu berlubang atau pita kertas kepada operator, seperti menyerahkan sesaji kepada pendeta yang melindungi seorang peramal. Metode ini dikenal dengan istilah “batch processing” dan menyebalkannya minta ampun. Butuh berjam-jam atau malah berhari-hari untuk memperoleh hasil; kekeliruan sekecil apa pun bisa saja mengharuskan kita kembali menyerahkan setumpuk kartu untuk diolah lagi; dan kita tidak punya kesempatan menyentuh atau bahkan melihat komputer itu sendiri.
Time-sharing berbeda. Dengan sistem itu, banyak terminal bisa disambungkan ke komputer mainframe yang sama sehingga lebih dari satu pengguna bisa mengetikkan perintah secara langsung dan memperoleh respons hampir seketika. Seperti grandmaster yang bermain catur dengan banyak lawan secara serempak, memori inti komputer mainframe akan melacak semua pengguna, sedangkan sistem operasinya mempunyai kemampuan multitasking dan menjalankan banyak program.
Sistem semacam ini memberikan pengalaman memikat bagi pengguna: kita bisa mengoperasikan dan berinteraksi langsung dengan komputer, seperti berbincang empat mata. “Muncul semacam sekte baru di sini, begitu orang-orang sadar bahwa proses baru tersebut lain sekali dengan batch processing,” kata Licklider.19
Time-sharing merupakan langkah maju menuju kemitraan atau simbiosis manusia-komputer yang betul-betul tak terperantarai. “Penemuan metode interaktif untuk menggunakan komputer—dalam bentuk time-sharing—malah lebih penting daripada komputer itu sendiri,” menurut Bob Taylor. “Batch processing sama seperti surat-menyurat dengan seseorang, sedangkan komputasi interaktif sama seperti mengobrol dengan orang itu.”20
Pentingnya komputasi interaktif menjadi jelas di Lincoln Laboratory, sentra riset yang didanai oleh militer dan turut didirikan oleh Licklider di MIT pada 1951. Di sanalah Licklider merajut tim, setengahnya psikolog dan setengahnya insinyur, untuk mencari cara supaya manusia bisa berinteraksi secara lebih intuitif dengan komputer dan informasi dapat disuguhkan dengan antarmuka yang lebih bersahabat.
Salah satu misi Lincoln Laboratory ialah mengembangkan komputer untuk sistem pertahanan udara yang akan memberikan peringatan awal bila musuh menyerang dan mengoordinasikan tanggap darurat. Sistem tersebut dinamai SAGE (Semi-Automatic Ground Environment) dan membutuhkan biaya serta pekerja lebih banyak daripada program pembuatan bom atom Manhattan Project.
Agar sistem SAGE berfungsi sebagaimana mestinya, para pengguna mesti bisa berinteraksi langsung dengan komputer. Ketika misil atau pesawat pengebom musuh tengah mendekat, tidak ada waktu untuk mengerjakan kalkulasi dengan batch processing.
Sistem SAGE terdiri atas 23 sentra pelacakan di seluruh Amerika Serikat, yang terhubung satu sama lain dengan sambungan langsung telepon jarak jauh. Sistem ini mampu menyebarluaskan informasi mengenai maksimal 400 pesawat yang melaju kencang secara serempak. Untuk itu, dibutuhkan komputer interaktif canggih, jaringan yang dapat mentransmisikan informasi bervolume besar, dan monitor yang bisa menyuguhkan informasi tersebut dalam bentuk grafis yang mudah dimengerti.
Berkat latar belakang di bidang psikologi, Licklider dipanggil untuk membantu mendesain tampilan antarmuka manusia-mesin (tampilan yang pengguna lihat di layar). Licklider memformulasikan seperangkat teori mengenai cara-cara memupuk simbiosis atau kemitraan yang padu supaya manusia dan mesin dapat bekerja sama untuk memecahkan persoalan. Yang terpenting, perubahan kondisi mesti bisa ditampilkan secara visual.

“Kami menginginkan metode untuk menangkap situasi udara dari detik per detik, metode untuk memplot lintasan—bukan titik-titik—dan mewarnai lintasan agar informasi terbaru bisa kelihatan dan arah geraknya bisa diprediksi,” jelas Licklider.21 Nasib Amerika Serikat mungkin akan ditentukan oleh bisa-tidaknya juru kendali konsol mengevaluasi data secara tepat dan merespons secara serta-merta.

Komputer yang interaktif, antarmuka yang intuitif, dan jaringan berkecepatan tinggi membuktikan bahwa manusia dan mesin dapat bekerja sama serta bermitra secara kolaboratif. Licklider membayangkan kerja sama semacam ini bisa dimanfaatkan lebih dari sekadar untuk sistem pertahanan udara.
Dia mulai membicarakan—menurut istilah Licklider sendiri—“sistem SAGE sungguhan” (sage berarti ‘bijak bestari’) yang bukan saja akan menghubungkan sentra-sentra pertahanan udara, tetapi juga “sentra-sentra berpikir” berupa perpustakaan pengetahuan raksasa, tempat orang-orang berinteraksi lewat konsol antarmuka ramah pengguna. Singkat kata, Licklider membayangkan dunia digital seperti yang kita kenal sekarang.
Ide pokok tersebut tertuang dalam salah satu karya ilmiah terpenting dalam sejarah teknologi pasca-Perang Dunia II, yang berjudul “Simbiosis Manusia-Komputer” dan diterbitkan oleh Licklider pada 1960. “Mudah-mudahan pada masa yang tidak lama lagi otak manusia dan mesin komputasi bisa bekerja sama dengan sangat erat,” tulis Licklider, “sedangkan hasil kemitraan tersebut bisa mengungguli daya pikir manusia serta memproses data secara lebih mumpuni ketimbang mesin pengolah informasi yang kita kenal dewasa ini.” Kalimat ini layak dibaca ulang karena mengandung salah satu konsep sentral era digital.22
Licklider sepakat dengan Norbert Wiener—penggagas teori sibernetika, yang memegang asumsi dasar kerja sama erat antara manusia dan mesin—alih-alih dengan kolega mereka di MIT seperti Marvin Minsky dan John McCarthy, yang bercita-cita menciptakan kecerdasan buatan lewat mesin berpikir yang bisa belajar sendiri dan nantinya mereplikasi daya kognitif manusia. Sebagaimana Licklider jelaskan, lebih masuk akal untuk menciptakan lingkungan yang kondusif supaya manusia dan mesin dapat “bekerja sama dalam membuat keputusan”. Dengan kata lain, manusia dan mesin akan saling melengkapi.
“Manusia menetapkan sasaran, memformulasikan hipotesis, menentukan kriteria, dan melakukan evaluasi. Mesin komputasi mengerjakan tugas-tugas rutin untuk membantu manusia menelurkan gagasan dan keputusan di ranah sains dan teknologi.”

JARINGAN KOMPUTER ANTARGALAKSI
Sambil mengawinkan minat di bidang psikologi dan rekayasa teknologi, Licklider semakin fokus saja pada komputer. Alhasil, pada 1957, dia memutuskan untuk masuk ke firma anyar yang berbasis di Cambridge, Bolt, Beranek and Newman (BBN), perusahaan riset komersial-akademis yang juga mempekerjakan banyak teman Licklider. Sama seperti di Bell Labs ketika transistor diciptakan, BBN mengumpulkan orang-orang dengan bakat beragam, antara lain para teoretikus, insinyur, teknisi, ilmuwan komputer, psikolog, dan sesekali melibatkan Kolonel Angkatan Darat.23
Salah satu tanggung jawab Licklider di BBN ialah memimpin tim yang ditugasi mencari cara supaya komputer bisa mentransformasi perpustakaan. Licklider mendiktekan laporan akhirnya, “Perpustakaan Masa Depan” (“Libraries of the Future”), dalam waktu lima jam selagi duduk di samping kolam renang ketika berada di Las Vegas untuk menghadiri konferensi.24
Laporan tersebut mengeksplorasi potensi “alat-alat dan teknik yang memerantarai interaksi manusia-komputer dalam satu jaringan”—dengan kata lain, jaringan Internet. Licklider membayangkan database raksasa yang digawangi oleh semacam pustakawan atau kurator—yang bertugas menapis dan memilah-milah informasi—supaya database itu “tidak terlalu meruah dan melantur, agar isinya tetap bisa diandalkan.”
Dalam bagian paling berwarna di laporan itu, Licklider menyuguhkan skenario fiktif. Dia membayangkan bertanya pada mesin, kemudian mesin menindaklanjuti, “Sepanjang akhir pekan, mesin meraup lebih dari 100 ribu dokumen, memindai bagian yang relevan, menganalisis bagian tersebut dan mengurutkannya berdasarkan tingkat kesesuaian, lalu mencuplik sejumlah pernyataan untuk dimasukkan ke database.”
Licklider mafhum pendekatan yang dia jabarkan niscaya akan terlampaui. “Pendekatan yang lebih canggih tentu sudah tersedia sebelum 1994,” tulisnya, meneropong ke tiga dasawarsa kemudian.25 Perkiraannya ternyata jitu. Pada 1994 dua mesin pencari pertama perambah teks, WebCrawler dan Lycos, dikembangkan untuk Internet, yang segera saja disusul oleh Excite, Infoseek, AltaVista, dan Google.
Licklider juga memprediksi sesuatu yang kontra-intuitif, tetapi ternyata benar: informasi digital takkan menggantikan media cetak sepenuhnya. “Sebagai medium untuk menyuguhkan informasi, halaman cetak amatlah luar biasa,” tulisnya. “Resolusinya sesuai dengan kebutuhan mata. Media cetak memuat informasi yang cukup untuk menyibukkan pembaca dalam rentang waktu tertentu, jenis huruf dan formatnya fleksibel. Pembaca bisa bebas membaca sesuka hati, sebanyak yang dia inginkan dan di mana saja yang dia inginkan. Media cetak berukuran kecil, ringan, portabel, bisa digunting dan tempel, mudah diganti dan diperbanyak, mudah dibuang, dan tidak mahal.”26
Oktober 1962, selagi masih mengerjakan proyek “Perpustakaan Masa Depan”, Licklider ditarik ke Washington untuk mengepalai kantor anyar yang bertanggung jawab atas pemrosesan informasi di bawah salah satu badan Departemen Pertahanan AS, yaitu Advanced Research Projects Agency alias ARPA.*2 Badan yang berkantor di Pentagon ini diberi wewenang untuk mendanai penelitian ilmu dasar di perguruan tinggi dan lembaga riset perusahaan sehingga menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam mengejawantahkan visi Vannevar Bush.
ARPA juga memiliki sasaran yang lebih gamblang. Pada 4 Oktober 1957 Rusia meluncurkan Sputnik, satelit pertama buatan manusia. Keterkaitan antara sains dan pertahanan yang disebut-sebut Bush kini tampak nyata di langit malam, berkelap-kelip bagaikan bintang. Ketika menyipitkan mata ke angkasa untuk melihat Sputnik, warga Amerika Serikat sekaligus tahu bahwa Bush benar. Bangsa yang paling serius mendanai riset sains terbaik akan memproduksi roket dan satelit terbaik pula. Publik yang panik kontan berteriak-teriak agar pemerintah lebih menaruh perhatian di bidang sains dan teknologi.
Presiden Eisenhower menyukai para ilmuwan. Kultur dan cara berpikir mereka, kemampuan mereka bersikap rasional dan tidak partisan, memikat hati Eisenhower. “Mencintai kebebasan berarti melindungi tiap pilarnya—dari kesakralan keluarga kita, kekayaan tanah kita, hingga kegeniusan ilmuwan kita,” kata Eisenhower dalam pidato pelantikannya yang pertama. Dia mengadakan pesta makan malam di Gedung Putih untuk ilmuwan seperti halnya Presiden Kennedy menggelar pesta untuk seniman, dan merekrut banyak ilmuwan sebagai penasihat.
Sputnik memberi Eisenhower alasan untuk memformalkan perkongsian dengan para ilmuwan. Kurang dari dua minggu setelah peluncuran satelit itu, Eisenhower mengumpulkan jajaran teratas penasihat sains (berjumlah lima belas orang) untuk Office of Defense Mobilization dan menanyakan—kenang ajudannya, Sherman Adams, “Di mana penelitian ilmiah mesti ditempatkan dalam struktur pemerintah federal?”27
Eisenhower kemudian sarapan bersama James Killian, Presiden MIT, dan menunjuknya sebagai Penasihat Presiden Bidang Sains Purnawaktu.28 Bersama dengan Menteri Pertahanan, Killian merumuskan rencana yang diumumkan pada Januari 1958 untuk menempatkan Advanced Research Projects Agency di Pentagon. Sebagaimana ditulis oleh sejarawan Fred Turner, “ARPA merupakan kelanjutan kolaborasi militer-perguruan tinggi berorientasi pertahanan yang bermula sejak Perang Dunia II.”29
Kantor di bawah ARPA yang dipimpin oleh Licklider bernama Command and Control Research. Misinya ialah mengkaji bagaimana komputer interaktif dapat menjembatani aliran informasi. ARPA membuka satu lagi lowongan untuk mengepalai kelompok yang mengkaji faktor-faktor psikologis dalam pembuatan keputusan militer. Licklider berargumen bahwa kedua topik ini mestinya disatukan.
“Saya mulai menggembar-gemborkan pendapat bahwa persoalan komando dan kendali sejatinya perkara interaksi manusia-komputer,” kata dia kelak.30 Licklider setuju untuk mengemban kedua tugas tersebut dan menamai kelompok baru itu Information Processing Techniques Office (IPTO).
Licklider mempunyai banyak ide menggairahkan, yang paling mencolok mengenai time-sharing, interaksi langsung manusia-mesin, dan antarmuka yang memudahkan simbiosis manusia-mesin. Kesemuanya terhimpun menjadi satu konsep sederhana: jaringan. Dengan selera humor yang sarkastis, dia mulai menyebut visinya dengan frasa yang “sengaja dibuat bombastis”, yaitu “Jaringan Komputer Antargalaksi”.31
Dalam memo tertanggal April 1963 yang ditujukan kepada “para anggota dan rekanan” jaringan impian itu, Licklider menjabarkan tujuannya, “Bayangkan apabila sejumlah sentra dapat dihubungkan satu sama lain dengan satu jaringan .... Bukankah semua sentra tersebut perlu, atau bahkan harus, menyepakati satu bahasa, atau setidaknya satu konvensi, untuk mengajukan pertanyaan seperti, ‘Apa bahasamu?’”32

BOB TAYLOR DAN LARRY ROBERTS
Lain dengan banyak pasangan yang menggerakkan kemajuan pada era digital, Bob Taylor dan Larry Roberts tidak pernah berteman, baik sebelum maupun sesudah bekerja bersama di IPTO. Malah pada tahun-tahun belakangan di sana, mereka dengan getir berlomba-lomba mengecilkan kontribusi satu sama lain.
“Larry mengklaim bahwa dia yang menghamparkan fondasi jaringan. Itu bohong,” protes Taylor pada 2014. “Jangan percayai kata-katanya. Saya kasihan padanya.”33 Sebaliknya, Roberts mengklaim Taylor mendendam karena kurang dihargai. “Menurut saya, kontribusinya hanya satu, yaitu mempekerjakan saya. Cuma itu penghargaan yang patut Bob peroleh.”34
Akan tetapi, selama empat tahun bekerja bersama di ARPA pada 1960-an, Taylor dan Roberts saling melengkapi secara pas. Taylor bukan ilmuwan brilian; dia bahkan tidak mempunyai gelar doktor. Namun, dia berkepribadian ramah dan persuasif, juga memiliki magnet yang mampu menarik orang-orang berbakat. Sebaliknya, Roberts insinyur yang sangat total dalam bekerja, berperangai kaku nyaris ketus, dan malah sempat mengukur waktu tempuh berbagai rute jalan kaki di antara kantor-kantor di Pentagon yang luas dengan stopwatch.
Para kolega tidak terpesona kepada Roberts, mereka terperangah akan kehebatannya. Dengan sikap yang tegas dan blakblakan, Roberts mampu menjadi manajer yang kompeten, kalaupun bukan manajer yang disayangi. Taylor pintar merayu orang, sedangkan Roberts membuat orang terkesan dengan kecerdasannya.
Bob Taylor lahir pada 1932 di rumah singgah untuk wanita yang hamil di luar nikah di Dallas. Dia dinaikkan ke kereta api menuju panti asuhan di San Antonio, dan diadopsi ketika berumur 28 hari oleh seorang pendeta Methodis dan istrinya. Keluarga itu pindah rumah tiap beberapa tahun untuk mewartakan Injil ke kota-kota seperti Uvalde, Ozona, Victoria, San Antonio, dan Mercedes.35 Taylor mengatakan masa kecil seperti itu meninggalkan dua jejak di kepribadiannya.
Sama seperti Steve Jobs, yang juga diadopsi, Taylor kerap diberi tahu orangtuanya bahwa dia “dipilih secara khusus”. Taylor berkelakar, “Semua orangtua lain harus terima jadi begitu saja, tetapi saya dipilih. Barangkali itulah sebabnya saya kelewat percaya diri.” Karena sering pindah, dia juga harus berkali-kali menjalin hubungan baru, mempelajari bahasa slang baru, dan mengamankan posisi di dalam tatanan sosial kota kecil. “Kami harus menjalin pertemanan baru dan berhadapan dengan prasangka baru tiap kali pindah.”36
Taylor kuliah psikologi eksperimental di Southern Methodist University, mengabdi di Angkatan Laut, dan meraih gelar magister dari Universitas Texas. Saat mengerjakan makalah psikoakustik, dia harus menyerahkan data di kartu-kartu berlubang untuk diolah dengan batch processing oleh sistem komputer di universitas.
“Saya harus membawa-bawa sekelompok kartu yang pemrosesannya butuh berhari-hari, lalu terkadang mereka bilang bahwa saya salah menempatkan koma di kartu 635 atau apalah sehingga saya harus mengulang semuanya,” kata Taylor. “Saya jadi marah karenanya.” Dia sadar ada cara lain yang lebih bagus ketika membaca makalah Licklider tentang mesin interaktif dan simbiosis manusia-mesin. Taylor sontak mendapat pencerahan. “Betul, seharusnya begini!” dia ingat sempat membatin seperti itu.37
Setelah mengajar di sekolah swasta unggulan dan bekerja di perusahaan kontraktor pertahanan di Florida, Taylor mendapat pekerjaan di markas besar NASA di Washington, D.C., sebagai penanggung jawab penelitian untuk display simulasi penerbangan. Saat itu Licklider sudah memimpin IPTO di ARPA dan, dalam kapasitas tersebut, menggelar pertemuan rutin dengan badan-badan pemerintah lain yang cakupan kerjanya serupa.
Ketika bertemu Taylor pada akhir 1962, Licklider menyebut bahwa dia tahu tentang makalah psikoakustik yang Taylor tulis di Universitas Texas. (Dosen pembimbing Taylor adalah teman Licklider.) “Saya amat tersanjung,” kenang Taylor, “mulai saat itu, saya menjadi pengagum dan teman baik Lick.”
Taylor dan Licklider terkadang bepergian ke konferensi bersama-sama sehingga kian mempererat pertemanan mereka. Dalam perjalanan ke Yunani pada 1963, Licklider mengajak Taylor ke salah satu museum seni di Athena dan mendemonstrasikan tekniknya untuk mengkaji sapuan kuas, yakni dengan memelototi satu lukisan. Di kedai minum malam itu Taylor yang supel diundang duduk bersama band dan mengajari mereka memainkan lagu-lagu Hank Williams.38
Lain dengan sebagian insinyur, Licklider dan Taylor sama-sama memahami faktor manusia; mereka mempelajari psikologi, bisa memaklumi dan bertenggang rasa dengan orang lain, dan suka mengapresiasi seni serta musik. Walaupun Taylor heboh dan Licklider cenderung kalem, mereka sama-sama suka bekerja dengan orang lain, menjalin pertemanan, dan memupuk bakat-bakat baru. Kesukaan berinteraksi dan kemampuan untuk mengapresiasi pentingnya interaksi semacam itu menjadikan keduanya cocok untuk mendesain antarmuka manusia dan mesin.
Ketika Licklider mundur dari IPTO, deputinya, Ivan Sutherland, menjadi pemimpin sementara dan, atas desakan Licklider, Taylor pindah dari NASA untuk menjadi deputi Sutherland. Taylor salah satu dari segelintir orang yang mafhum bahwa teknologi informasi mungkin saja lebih mengasyikkan daripada program antariksa. Sesudah Sutherland mengundurkan diri pada 1966 untuk menjadi dosen tetap di Harvard, Taylor bukanlah calon kuat untuk menggantikannya. Sebab, dia tidak bergelar PhD dan bukan ilmuwan komputer. Namun, Taylor akhirnya ditunjuk sebagai Kepala IPTO.
Tiga hal di IPTO menjadi sorotan utama Taylor. Pertama, tiap perguruan tinggi dan lembaga riset yang menjalin kontrak dengan ARPA menginginkan komputer terbaru berkapasitas paling canggih. Menurutnya, ini pemborosan dan tidak efektif.
Mungkin saja ada komputer untuk mengerjakan grafis di Salt Lake City dan komputer lain untuk menjaring data di Stanford. Namun, seorang peneliti yang mesti mengerjakan keduanya harus bolak-balik naik pesawat atau meminta IPTO mendanai pembelian satu komputer lagi. Tidak bisakah komputer-komputer tersebut disambungkan dengan jaringan saja supaya para pengguna dapat memanfaatkan komputer satu sama lain dengan sistem time-sharing?
Kedua, dalam perjalanan menemui para peneliti muda, Taylor mendapati bahwa orang-orang yang berada di satu tempat ingin sekali tahu tentang penelitian yang berlangsung di tempat lain. Taylor menyadari alangkah bagusnya apabila mereka dapat dihubungkan secara elektronik supaya dapat lebih mudah berbagi. Ketiga, Taylor tercengang karena tiga terminal di kantornya di Pentagon, yang masing-masing mempunyai kata kunci dan program sendiri, terhubung ke sentra komputer berlainan yang didanai oleh ARPA.
“Konyol benar,” pikirnya. “Aku seharusnya bisa mengakses sistem mana saja dari satu terminal.” Gara-gara tiga terminal itu, kata Taylor, “terbetiklah ide di benak saya.”39 Ketiga persoalan tersebut bisa dipecahkan dengan membuat jaringan data untuk menghubungkan sentra riset satu sama lain. Dengan kata lain, asalkan Taylor dapat mewujudkan impian Licklider tentang Jaringan Komputer Antargalaksi, ketiga persoalan tersebut niscaya terpecahkan.
Taylor kemudian melangkahkan kaki ke Lingkar-E Pentagon untuk menemui bosnya, Direktur ARPA Charles Herzfeld. Dengan logat Texas-nya, Taylor tahu cara memikat Herzfeld, cendekiawan pelarian dari Wina. Taylor tidak membawa bahan presentasi atau memo, tetapi langsung menjajakan proyeknya dengan penuh percaya diri. Jaringan yang didanai dan dikelola oleh ARPA bisa menjembatani penggunaan komputer antarsentra riset yang berlainan, memfasilitasi kolaborasi dalam berbagai proyek, dan memungkinkan Taylor untuk mengenyahkan dua terminal komputer di kantornya.

“Ide yang luar biasa,” kata Herzfeld. “Silakan kerjakan. Anda butuh uang berapa?”
Taylor mengakui, untuk modal awal proyek itu saja, butuh kira-kira $1 juta.
“Baiklah,” kata Herzfeld.

Dalam perjalanan kembali ke kantornya, Taylor melirik arloji. “Astaga,” gumamnya, “cuma dua puluh menit.”40
Cerita ini sering Taylor sampaikan dalam wawancara dan paparan lisannya. Herzfeld menyukai kisah tersebut, tetapi belakangan merasa perlu memberitahukan bahwa cerita itu agak menyesatkan. “Dia luput menyampaikan bahwa saya sudah tiga tahun mengkaji persoalan itu dengannya dan Licklider,” kata Herzfeld. “Memperoleh beberapa juta dolar tidaklah sulit karena saya memang sudah menanti-nantikan permintaan itu.”41
Taylor mengakui paparan Herzfeld benar dan lantas menambahkan komentar tak terduga, “Sebenarnya saya senang sekali Charlie mengambil uang itu dari anggaran untuk pengembangan sistem pertahanan rudal, yang menurut saya merupakan ide yang amat tolol dan berbahaya.”42
Taylor kini memerlukan orang untuk memimpin proyek tersebut. Larry Roberts adalah pilihan tepat—mungkin malah pilihan satu-satunya—untuk tugas itu.
Roberts sepertinya dilahirkan dan dididik demi menjadi pencipta Internet. Orangtuanya memiliki gelar doktor di bidang kimia, dan semasa kanak-kanak, Roberts yang tinggal di dekat Yale pernah merakit televisi, kumparan Tesla,*3 radio amatir, dan sambungan telepon dari nol. Dia memperoleh gelar sarjana, magister, serta doktor di bidang teknik dari MIT. Terkesan akan makalah Licklider mengenai simbiosis manusia-komputer, Roberts memilih untuk bekerja dengannya di Lincoln Laboratory dan menjadi murid Licklider di bidang time-sharing, jaringan, serta antarmuka.
Salah satu eksperimen Roberts di Lincoln Laboratory ialah mengenai penyambungan dua komputer yang berjauhan; percobaan itu didanai oleh Bob Taylor di ARPA. “Licklider mengilhami saya dengan visinya tentang jaringan yang menghubungkan komputer satu sama lain,” kenang Roberts, “dan saya memutuskan bekerja di bidang itu.”
Akan tetapi, Roberts terus saja menolak tawaran Taylor untuk pindah ke Washington dan menjadi deputinya. Dia menyukai pekerjaan di Lincoln Laboratory dan tidak terlalu menghormati Taylor. Selain itu, ada satu hal yang tidak Taylor ketahui, yaitu setahun sebelumnya Roberts telah ditawari pekerjaan sebagai Kepala IPTO. “Sewaktu Ivan hendak keluar, dia meminta saya pindah ke IPTO untuk menggantikannya sebagai direktur, tetapi itu jabatan manajerial, sedangkan saya lebih suka riset,” kata Roberts. Setelah menolak jabatan tertinggi, pantas saja Roberts tidak sudi menjadi deputi Taylor. “Lupakan saja,” katanya kepada Taylor. “Saya sibuk. Saya sedang asyik mengerjakan penelitian yang luar biasa menyenangkan.”43
Ada satu alasan lain di balik penolakan Roberts yang bisa Taylor rasakan. “Larry doktor lulusan MIT, sedangkan saya lulusan Texas dan hanya punya gelar magister pula,” Taylor kelak berkata. “Jadi, saya memperkirakan dia tidak mau bekerja di bawah saya.”44
Kendati begitu, Taylor orang Texas yang cerdik dan keras kepala. Pada musim gugur 1966 dia menanyai Herzfeld, “Charlie, bukankah 51% anggaran Lincoln Laboratory berasal dari ARPA?” Herzfeld mengiyakan. “Jadi begini, saya sedang mengerjakan proyek jaringan itu dan kesusahan merekrut manajer proyek yang saya inginkan. Kebetulan orang itu bekerja di Lincoln Laboratory.” Barangkali Herzfeld bisa menelepon kepala lab, usul Taylor, dan mengatakan demi kepentingan lembaga riset tersebut, akan lebih baik apabila Roberts menerima pekerjaan di IPTO.
Taktik culas seperti ini betul-betul khas Texas dan niscaya akan disetujui oleh presiden saat itu, Lyndon Johnson. Sang kepala lab memahami ancaman tersirat tersebut. “Mungkin akan lebih baik bagi kita semua apabila kau mempertimbangkan tawaran tersebut,” katanya kepada Roberts setelah menerima telepon Herzfeld.
Maka, pada Desember 1966, mulailah Larry Roberts bekerja di ARPA. “Larry Roberts menjadi terkenal karena saya peras,” Taylor kelak berkata.45
Ketika baru pindah ke Washington, kira-kira saat Natal, Roberts dan istrinya menginap di rumah Taylor sementara mereka masih mencari tempat tinggal. Walaupun tidak ditakdirkan menjadi sobat karib, hubungan keduanya santun dan profesional, setidak-tidaknya pada tahun-tahun kebersamaan di ARPA.46
Roberts tidak seramah Licklider, tidak seekstrover Taylor, dan tidak seegaliter Bob Noyce. “Larry sedingin es,” menurut Taylor.47 Namun, dia mempunyai sifat yang sama pentingnya untuk memupuk kreativitas kolaboratif dan mengelola tim, yakni ketegasan. Yang lebih penting, ketegasan tersebut bukanlah hasil emosi atau rasa pilih kasih, tetapi bersumber dari analisis saksama dan rasional mengenai opsi-opsi yang tersedia.
Para kolega menghormati keputusan Roberts, bahkan kalaupun mereka tidak setuju, karena dia terang-terangan, lugas, dan adil. Demikianlah satu sisi positif dari pemimpin yang insinyur produk tulen. Karena tidak nyaman menjadi deputi Taylor, Roberts meminta kepada petinggi top ARPA, Charlie Herzfeld, agar diberi jabatan sebagai ilmuwan kepala saja di badan itu. “Saya menjadi pengawas kontrak-kontrak kami pada siang hari dan mengerjakan riset jaringan pada malam hari,” kenangnya.48
Sebaliknya, Taylor berwatak periang, gemar bergurau, dan bahkan berisik. “Saya ini orang yang suka bergaul,” komentarnya. Tiap tahun dia menyelenggarakan konferensi untuk para peneliti yang didanai oleh ARPA dan acara kumpul-kumpul mahasiswa pascasarjana paling berprestasi di universitas mitra ARPA, biasanya di tempat yang menyenangkan seperti Park City, Utah, dan New Orleans. Dia menyuruh tiap peneliti menampilkan presentasi dan kemudian semua orang boleh menyampaikan pertanyaan serta saran.
Dengan cara itulah Taylor bisa mengenali siapa-siapa saja peneliti yang sedang naik daun di sepenjuru negeri, menjadikannya bak magnet yang mampu menarik orang-orang berbakat—kemampuan yang akan sangat bermanfaat ketika dia pindah kerja ke Xerox PARC. Dengan cara itu pula Taylor berhasil meraih salah satu sasaran pentingnya: supaya jaringan bisa dibuat, semua orang harus diyakinkan dahulu bahwa jaringan tersebut memang perlu dibuat.

ARPANET
Taylor tahu bahwa dia mesti menjajakan ide mengenai jaringan untuk time-sharing kepada orang-orang yang nantinya akan dibantu oleh keberadaan jaringan itu—dengan kata lain, para peneliti yang memperoleh pendanaan dari ARPA. Oleh karena itu, dia mengundang mereka untuk rapat di Universitas Michigan pada April 1967 dan di sana, Taylor dan Roberts lantas mempresentasikan rencana tersebut.
Situs-situs komputer akan terhubung satu sama lain, Roberts menjelaskan, lewat jaringan telepon. Dia menjabarkan dua tipe jaringan yang bisa dijajaki: 1) sistem simpul dengan satu komputer sentral di tempat seperti Omaha yang kemudian akan meneruskan informasi ke sana sini, atau 2) sistem mirip jaring laba-laba yang bersilangan dan berpotongan di mana-mana. Roberts dan Taylor cenderung menyukai pendekatan terdesentralisasi karena lebih aman. Informasi dapat dioperkan dari nodus ke nodus sampai tiba di tujuan.
Banyak partisipan yang ternyata enggan untuk bergabung ke jaringan. “Perguruan tinggi pada umumnya tidak mau berbagi komputer dengan yang lain,” kata Roberts. “Mereka ingin membeli mesin sendiri dan lantas bersembunyi di pojokan.”49 Selain itu, mereka tidak mau daya pemrosesan komputer mereka yang berharga dipakai untuk mengalihkan informasi ke komputer lain—suatu keniscayaan apabila mereka bergabung ke jaringan.
Orang pertama yang mengajukan keberatan adalah Marvin Minsky dari Lab Kecerdasan Buatan MIT dan mantan koleganya, John McCarthy, yang telah pindah ke Stanford. Komputer mereka, kata Minsky dan McCarthy, sudah digunakan hingga kapasitas maksimal. Apa untungnya memperkenankan komputer lain “menyedot” daya pemrosesan komputer mereka? Selain itu, mereka tidak mau menerima beban tambahan, yaitu mengalihkan lalu lintas data dari komputer-komputer yang tidak mereka kenal dan yang bahasanya lain dengan komputer mereka.
“Keduanya mengeluhkan daya komputasi yang niscaya berkurang dan mengatakan mereka tidak ingin turut serta,” kenang Taylor. “Saya katakan bahwa mereka harus mau demi menekan anggaran. Dengan demikian, saya bisa menggelontorkan dana untuk kebutuhan lain daripada hanya membeli komputer terus-menerus.”50
Taylor yang persuasif dan Roberts yang teguh mengingatkan kepada para partisipan bahwa mereka didanai oleh ARPA. “Kami akan membangun jaringan dan Anda harus berpartisipasi,” Roberts menyatakan dengan datar. “Dan, Anda harus menghubungkan jaringan itu ke komputer Anda.”51 Jika tidak menghubungkan komputer ke jaringan, mereka takkan memperoleh pendanaan tambahan untuk komputer baru.
Ide baru sering kali tercetus dalam interaksi langsung di berbagai rapat, salah satunya di penghujung sesi pertemuan di Michigan. Berkat ide tersebut, tentangan terhadap jaringan menjadi agak surut. Penggagasnya adalah Wes Clark, yang baru saja membuat personal computer berjuluk LINC di Lincoln Laboratory. Karena lebih tertarik mengembangkan komputer yang didesain untuk penggunaan pribadi daripada mempromosikan time-sharing di komputer besar, Clark tidak terlalu memperhatikan presentasi Taylor dan Roberts. Menjelang akhir pertemuan, dia menyadari apa sebabnya banyak pusat riset enggan menerima wacana pembuatan jaringan.
“Tepat sebelum kami bubar, saya mendadak sadar apa inti persoalannya,” kata Clark. “Saya mengoperkan pesan kepada Larry untuk menyampaikan bahwa saya punya ide untuk memecahkan masalah tersebut.”52 Dalam perjalanan ke bandara, di mobil sewaan yang Taylor kemudikan, Clark menjelaskan gagasannya kepada Roberts dan dua kolega lain. Daripada memaksa komputer riset di masing-masing lokasi menangani pengalihan data, kata Clark, mending ARPA mendesain dan memberikan minikomputer terstandarkan yang khusus bertugas mengalihkan lalu lintas data untuk setiap lokasi.
Komputer riset besar di setiap lokasi kemudian tinggal menyambungkan diri dengan minikomputer itu. Keuntungannya ada tiga: komputer mainframe di masing-masing tempat takkan terlalu terbebani, ARPA bisa menstandarkan jaringan, dan pengalihan data dilakukan secara terdistribusi daripada dikontrol oleh segelintir simpul besar.
Taylor langsung menerima ide tersebut. Roberts mengajukan beberapa pertanyaan dan kemudian setuju. Jaringan akan dikelola minikomputer terstandarkan seperti yang Clark sarankan. Pengalih jaringan itu disebut interface message processors (IMP) dan kelak lebih lazim dikenal sebagai router.
Setiba mereka di bandara, Taylor menanyakan siapa yang mesti membuat IMP. Clark mengatakan tugas itu harus diserahkan kepada Bolt, Beranek and Newman, firma Cambridge tempat Licklider pernah bekerja. Namun, Al Blue, yang juga berada di mobil, merupakan pengawas internal di ARPA. Dia mengingatkan yang lain bahwa proyek itu harus diumumkan lewat tender terbuka sesuai dengan peraturan perundang-undangan federal mengenai kontrak alih daya.53
Dalam konferensi lanjutan di Gatlinburg, Tennessee, Oktober 1967, Roberts mempresentasikan rencana tentang jaringan yang sudah direvisi. Dia juga memberi jaringan itu nama, ARPA Net, yang kelak lebur menjadi ARPANET. Namun, satu perkara belum terselesaikan: akankah komunikasi di antara dua tempat jaringan membutuhkan saluran langsung untuk keduanya, seperti sambungan telepon? Ataukah, ada cara praktis supaya sejumlah aliran data bisa berbagi sambungan secara serempak, ibaratnya seperti telepon paralel? Spesifikasi untuk jaringan data semacam ini telah diajukan sebelumnya, pada bulan itu juga, oleh satu komite di Pentagon.
Saat itulah seorang insinyur muda dari Inggris, Roger Scantlebury, mempresentasikan makalah tentang penelitian bosnya, Donald Davies, di National Physical Laboratory, Britania Raya. Penelitian Davies—mengenai metode untuk memecah-mecah pesan menjadi unit kecil yang dia sebut packet—berpotensi memberikan solusi.
Scantlebury menyampaikan pula bahwa ide tersebut telah dikembangkan secara independen oleh peneliti bernama Paul Baran di RAND. Sesudah presentasi, Larry Roberts dan yang lain mengerumuni Scantlebury untuk mengorek informasi lebih lanjut, kemudian beranjak ke bar guna melanjutkan diskusi sampai larut malam.

PACKET SWITCHING: PAUL BARAN, DONALD DAVIES, DAN LEONARD KLEINROCK
Ada banyak cara untuk mengirim data lewat jaringan. Cara paling sederhana disebut circuit switching, dijumpai pada sambungan telepon: seperangkat sakelar menciptakan sirkuit langsung yang bisa dilewati sinyal bolak-balik sepanjang durasi percakapan dan ujung-ujung sambungan tetap terkoneksi, bahkan saat jeda panjang.
Metode lainnya adalah message switching atau—menurut istilah operator telegraf—store-and-forward switching. Dalam sistem ini, seluruh pesan diberi kop berupa alamat, dikirim lewat jaringan, dan kemudian dioperkan dari nodus ke nodus sampai tiba di tujuan.
Metode yang malah lebih efisien disebut packet switching. Metode ini mirip dengan tipe store-and-forward karena pesan juga dioper-operkan. Hanya saja, pesan pertama-tama dipecah-pecah seukuran bit yang sama, kemudian diberi kop alamat yang menjabarkan tujuan akhirnya. Selanjutnya, pecahan-pecahan tersebut, yang disebut packet, dikirimkan ke jaringan dari nodus ke nodus, melewati sambungan mana pun yang tersedia saat itu.
Jika sambungan tertentu macet karena dilewati terlalu banyak data, sebagian packet akan dialihkan ke jalur alternatif. Setelah tiba di nodus tujuan, semua packet ditata ulang sesuai instruksi pada kop. “Intinya sama saja seperti memecah-mecah surat panjang ke dalam lusinan kartu pos, yang masing-masing dinomori dan dikirim ke alamat yang sama,” salah seorang pelopor Internet, Vint Cerf, menjelaskan. “Masing-masing kartu pos mungkin saja melalui rute yang berbeda untuk mencapai tujuan, tetapi ketika tiba di sana, kartu pos-kartu pos tersebut lantas ditata ulang menjadi satu kesatuan utuh.”54

Sebagaimana dijelaskan Scantlebury di Gatlinburg, orang yang kali pertama merumuskan secara utuh wacana jaringan packet switching ialah insinyur bernama Paul Baran. Keluarganya berimigrasi dari Polandia sewaktu umurnya 2 tahun dan menetap di Philadelphia, tempat ayahnya membuka toko kelontong kecil.
Selulus kuliah dari Drexel pada 1949, Baran masuk ke perusahaan komputer baru yang didirikan oleh Presper Eckert dan John Mauchly. Di sana dia sempat menguji komponen-komponen UNIVAC. Dia kemudian pindah ke Los Angeles, mengambil kelas malam di UCLA, dan akhirnya mendapat pekerjaan di RAND Corporation.
Ketika Rusia menguji bom hidrogen pada 1955, Baran menemukan misi hidup: ambil bagian dalam mencegah kiamat nuklir. Suatu hari di RAND, dia sedang melihat-lihat daftar mingguan yang dikirimkan oleh Angkatan Udara mengenai topik yang perlu diteliti. Baran sontak menyambar salah satu, yakni mengenai pembuatan sistem komunikasi militer yang tahan dari serangan musuh.
Dia tahu sistem semacam itu bisa membantu mencegah perang nuklir karena pihak yang takut sistem komunikasinya diputus akan lebih mungkin meluncurkan serangan pertama, sekadar untuk jaga-jaga, ketika ketegangan memuncak. Dengan sistem komunikasi yang lebih tangguh, bangsa-bangsa takkan main serang sembarangan.
Baran menelurkan dua ide kunci, yang mula-mula dia publikasikan pada 1960. Ide pertamanya adalah jaringan tidak boleh terpusat. Tidak boleh ada simpul utama yang mengendalikan seluruh aktivitas switching dan routing. Namun, jaringan juga tidak boleh sekadar terdesentralisasi, dengan pusat kendali di banyak simpul regional, seperti jaringan telepon atau rute maskapai penerbangan. Jika musuh memusnahkan segelintir simpul itu saja, sistem bisa lumpuh.
Dengan demikian, kendali harus terdistribusi sepenuhnya. Artinya, masing-masing dan semua nodus harus memiliki kemampuan setara untuk mengalihkan dan menyala-matikan aliran data. Ini akan menjadi karakter utama Internet, sifat dasar yang menyebabkan Internet mampu memberdayakan individu dan menjadikannya kebal dari kendali terpusat.


Donald Davies (1924–2000).

Leonard Kleinrock (1934–...).

Paul Baran (1926–2011).

Vint Cerf (1943–...) dan Bob Kahn (1938–...).



Baran menggambar jaringan yang mirip pukat. Semua nodus memiliki kemampuan untuk mengalihkan lalu lintas dan masing-masing terhubung ke beberapa nodus lain. Jika satu nodus yang mana pun hancur, lalu lintas akan dialihkan lewat jalur-jalur lain. “Tidak ada kontrol terpusat,” Baran menjelaskan. “Kebijakan routing lokal sederhana diberlakukan di tiap nodus.”
Dia memperkirakan, kalaupun tiap nodus hanya memiliki tiga atau empat sambungan langsung, sistem itu sendiri niscaya mempunyai daya tahan dan ketangguhan yang nyaris tak terbatas. “Mungkin tiga atau empat sambungan per nodus saja sudah memadai untuk menciptakan jaringan yang setangguh nodus dengan jumlah ketersambungan teoretis maksimal.”55

“Setelah memahami cara untuk menciptakan jaringan yang tangguh, saya kemudian harus menjajal masalah berikut, yaitu bagaimana caranya melewatkan sinyal ke jaringan yang tipenya seperti pukat,” Baran memaparkan.56 Kebutuhan tersebut lantas membuahkan idenya yang kedua, yakni memecah-mecah data menjadi blok kecil berukuran standar.
Satu pesan akan dipecah menjadi banyak blok, masing-masing akan melewati jalur yang berbeda di jaringan dan disatukan kembali setiba di tujuan. “Blok pesan yang terstandarkan secara universal mungkin akan terdiri atas 1.024 bit,” tulisnya. “Sebagian besar blok pesan dikhususkan untuk menyimpan data, apa pun jenisnya, sedangkan sisanya akan memuat informasi pengantaran seperti deteksi error atau data routing.”
Baran kemudian membentur salah satu realitas inovasi, yakni birokrasi mapan yang enggan berubah. RAND merekomendasikan wacana jaringan packet switching Baran kepada Angkatan Udara AS yang, sesudah mengkaji proposal secara menyeluruh, memutuskan untuk membangun jaringan semacam itu.
Akan tetapi, Departemen Pertahanan lantas menitahkan proyek seperti itu harus ditangani oleh Defense Communications Agency supaya bisa digunakan oleh seluruh komponen pertahanan nasional. Baran menyadari badan pemerintah adalah organisasi yang kelewat kecil sehingga takkan mampu atau mau merampungkan proyek sebesar itu.
Jadi, dia berusaha meyakinkan AT&T agar melengkapi jaringan suara berbasis circuit switching dengan jaringan data berbasis packet switching. “Mereka menolak habis-habisan,” kenang Baran. “Mereka mencoba segala macam cara untuk mencegah campur tangan kami.” AT&T bahkan tidak mengizinkan RAND menggunakan peta sirkuitnya sehingga Baran harus menggunakan peta bocoran.
Dia beberapa kali berkunjung ke markas besar AT&T di Lower Manhattan. Dalam salah satu kunjungan, seorang eksekutif senior yang juga insinyur analog kolot tampak terperangah ketika Baran menjelaskan sistemnya memungkinkan data untuk bolak-balik tanpa sirkuit khusus langsung antara ujung asal dan ujung tujuan.
“Dia memandang para koleganya di ruangan sambil mengangkat alis, kentara sekali tidak percaya,” menurut Baran. Setelah hening sejenak, sang eksekutif berkata, “Nak, begini cara kerja telepon,” lalu menyampaikan paparan simplistik dengan gaya menggurui.
Ketika Baran terus menggadang-gadang idenya yang terkesan tak masuk akal, bahwa pesan bisa dipotong-potong dan disampaikan dalam bentuk packet mungil lewat jaringan, AT&T mengundangnya dan sejumlah orang luar lain untuk menghadiri serangkaian seminar yang menjelaskan cara kerja sistem telepon. “Butuh 94 orang pembicara untuk memaparkan seluruh sistem tersebut,” kata Baran terheran-heran.
Seusai seminar, para eksekutif AT&T menanyai Baran, “Nah, sekarang Anda paham apa sebabnya packet switching mustahil dijalankan?” Mereka sontak kecewa karena Baran justru berkata, “Tidak.” AT&T sekali lagi luput menyambar kesempatan untuk memanfaatkan temuan baru. Perusahaan itu urung mempertimbangkan tipe jaringan data baru karena terlampau mengandalkan sirkuit tradisional.57
Pekerjaan Baran akhirnya berkulminasi dalam analisis rekayasa detail sepanjang sebelas volume, On Distributed Communications, yang rampung pada 1964. Dia bersikeras untuk tidak merahasiakan karyanya karena menyadari sistem jaringan semacam itu lebih bermanfaat jika Rusia punya juga.
Bob Taylor satu-satunya orang di ARPA yang pernah membaca karya Baran, itu pun hanya sebagian. Alhasil, ide Baran praktis tidak berdampak apa-apa sampai Konferensi Gatlinburg 1967 membukakan mata Larry Roberts akan gagasan tersebut. Sekembali ke Washington, Roberts mencari laporan Baran dan mulai membacanya.
Roberts juga menghimpun makalah-makalah yang ditulis kelompok Donald Davies di Inggris, yang rangkumannya dikemukakan oleh Scantlebury di Gatlinburg. Davies anak kerani pertambangan Wales yang meninggal beberapa bulan sesudah putranya lahir, pada 1924. Davies dibesarkan di Portsmouth oleh sang ibu, yang bekerja di Perusahaan Pos Britania, pengelola jaringan telepon nasional.
Dia menghabiskan masa kanak-kanak dengan memain-mainkan sirkuit telepon, kemudian mendapat gelar di bidang matematika dan fisika dari Imperial College, London. Sepanjang Perang Dunia II, dia bekerja di Universitas Birmingham guna menciptakan logam campuran untuk tabung senjata nuklir, mengasisteni Klaus Fuchs, yang ternyata seorang mata-mata Soviet. Davies selanjutnya bekerja dengan Alan Turing untuk membuat Automatic Computing Engine, komputer berprogram tersimpan, di National Physical Laboratory.
Seiring perjalanan kariernya, Davies menaruh minat pada dua hal: time-sharing komputer, yang dia pelajari pada 1965 ketika menyambangi MIT, dan penggunaan saluran telepon untuk komunikasi data. Mengombinasikan kedua ide tersebut dalam benaknya, Davies kemudian memasang target untuk mencari metode serupa time-sharing untuk memaksimalkan penggunaan jalur komunikasi. Cita-cita inilah yang membuahkan konsep sama dengan yang Baran kembangkan mengenai efisiensi penyampaian pesan berunit bit.
Davies juga yang menggagas istilah packet untuk merujuk pada unit pesan semacam itu. Ketika berusaha meyakinkan Perusahaan Pos Britania untuk mengadopsi sistem tersebut, Davis menghadapi masalah sama seperti Baran di depan pintu AT&T. Namun, mereka berdua rupanya mendapat penggemar di Washington. Larry Roberts bukan saja menyambut ide mereka dengan tangan terbuka, melainkan juga mengadopsi istilah packet.58
Kontributor packet switching yang ketiga dan kontroversial adalah Leonard Kleinrock, pria riang, ramah, dan sesekali gemar mempromosikan diri sendiri. Kleinrock pakar aliran data dalam jaringan, yang menjadi teman dekat Larry Roberts ketika keduanya berbagi kantor sewaktu menempuh studi doktoral di MIT. Kleinrock tumbuh besar di New York City dalam keluarga imigran miskin.
Minatnya pada elektronika tersulut ketika, pada usia 6 tahun, dia membaca komik Superman dan melihat instruksi untuk membuat radio kristal tanpa baterai. Dia kemudian merakit tisu gulung, silet, kawat, dan grafit dari pensil menjadi satu, lalu meyakinkan sang ibu supaya mengajaknya naik kereta bawah tanah ke Lower Manhattan untuk membeli kapasitor variabel di toko elektronik. Alat itu ternyata berfungsi dan mekarlah antusiasmenya pada elektronika.
“Saya masih terkagum-kagum sampai sekarang,” dia mengenang radio tersebut. “Ajaib sekali.” Kleinrock menjadi sering berburu manual radio tabung di toko barang bekas dan memulung radio yang dibuang ke tempat sampah, memereteli komponen-komponennya untuk membuat radio sendiri.59
Karena tidak punya uang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, bahkan ke City College of New York yang bebas uang kuliah, Kleinrock bekerja di perusahaan elektronik pada siang hari dan mengambil kelas malam saja. Para dosen kelas malam memberikan pengajaran lebih praktis ketimbang dosen siang; daripada diajari teori transistor, Kleinrock ingat bahwa dosennya memberitahukan seberapa sensitif transistor terhadap panas dan cara merancang sirkuit dengan mempertimbangkan suhu.
“Kita tidak pernah diajari hal-hal praktis pada siang hari,” kenangnya. “Para dosen siang memang tidak mengetahui yang semacam itu.”60
Setelah lulus, dia meraih beasiswa untuk melanjutkan studi doktoral ke MIT. Di sana dia mempelajari teori antrean, yang mengkaji persoalan seperti faktor-faktor yang memengaruhi waktu tunggu rata-rata. Dalam disertasinya, Kleinrock merumuskan formula matematika untuk menganalisis aliran pesan dan munculnya kemacetan dalam jaringan data berbasis circuit switching. Selain sekantor dengan Roberts, Kleinrock merupakan teman sekelas Ivan Sutherland dan mengikuti kuliah Claude Shannon serta Norbert Wiener. “Betul-betul kawah candradimuka intelektual,” kenangnya mengenai MIT pada masa itu.61
Suatu hari, larut malam di lab komputer MIT, Kleinrock yang kelelahan sedang menjalankan salah satu mesin, komputer eksperimental mahabesar yang dinamai TX-2. Kemudian, dia mendengar bunyi “pssssss” yang asing. “Saya khawatir sekali,” kenangnya. “Salah satu bagian mesin telah diambil untuk diperbaiki dan tempatnya kosong. Sewaktu saya mendongak, saya melihat dua mata yang menatap saya dari tempat kosong itu!” Si pemilik mata rupanya Larry Roberts, yang sedang menjailinya.62
Kleinrock yang ceria dan Roberts yang kaku tetap berkawan, sekalipun (atau mungkin justru karena) berbeda kepribadian. Mereka suka ke kasino Las Vegas bersama-sama untuk mencoba mengakali bandar. Roberts menelurkan strategi menghitung kartu untuk blackjack—yakni dengan melacak kartu-kartu tinggi dan rendah mana saja yang sudah keluar dan masih disimpan—yang dia ajarkan pula kepada Kleinrock.
“Kami pernah diusir sekali sewaktu bermain dengan istri saya di Hilton. Para manajer kasino mengawasi kami lewat langit-langit dan curiga ketika saya memasang taruhan pada saat yang tidak lazim. Kecuali pemain tahu masih banyak kartu tinggi yang tersisa, mustahil memasang taruhan saat itu,” kenang Roberts.
Satu taktik lainnya, memperkirakan lintasan bola di meja rolet menggunakan pencacah dari transistor dan osilator. Dengan mengukur kecepatan bola dan memprediksi di sisi mana bola itu akan berhenti, mereka bisa memasang taruhan yang pas. Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan, Roberts menyembunyikan alat perekam di tangannya yang dibalut perban. Curiga ada yang tidak beres, karyawan kasino memandangi mereka dan bertanya, “Mau kupatahkan lenganmu yang satu lagi?” Roberts dan Kleinrock tidak mau, kemudian angkat kaki saja.63
Dalam proposal disertasi di MIT, yang ditulis pada 1961, Kleinrock mengusulkan telaah matematika untuk memprediksi kemacetan lalu lintas di jaringan yang menyerupai sarang laba-laba. Selain itu, dalam proposal ini dan makalah-makalah terkait, Kleinrock menjabarkan jaringan store-and-forward—“(penyampaian pesan lewat) jejaring komunikasi yang tiap nodusnya berfungsi sebagai penyimpan (sementara)”—tetapi bukan jaringan berbasis packet switching murni, yang pesannya dipecah menjadi unit-unit amat kecil berukuran persis sama.
Kleinrock menyinggung persoalan “(waktu) tunda rata-rata pesan yang melewati jaringan” dan menganalisis pemberlakuan sistem prioritas—salah satunya dengan memecah pesan tersebut kecil-kecil—untuk mengatasi persoalan itu. Namun, Kleinrock tidak menggunakan istilah packet untuk menjabarkan konsep yang mirip dengan packet switching tersebut.64
Kleinrock adalah rekan kerja yang riuh dan penuh semangat, tetapi dia lain dengan Licklider yang enggan membangga-banggakan kontribusi pribadinya. Kleinrock kelak menyebabkan banyak developer Internet antipati karena menegaskan, dalam disertasi PhD dan proposal disertasinya (dua-duanya ditulis setelah Baran memformulasikan konsep packet switching di RAND), bahwa dirinya telah “mengembangkan prinsip dasar packet switching” dan “teori matematika jaringan berbasis packet, teknologi yang melandasi Internet.”65
Sejak pertengahan 1990-an Kleinrock malah mulai mengampanyekan diri “sebagai Bapak Jaringan Data Modern”.66 Dalam wawancara pada 1996, dia mengklaim, “Disertasi sayalah yang memberikan landasan bagi packet switching.”67
Klaim ini menuai kecaman dari banyak pelopor Internet lainnya, yang secara terbuka mengkritik pedas Kleinrock dan mengatakan bahwa pernyataan sepintas mengenai pemotongan pesan menjadi unit-unit kecil tidak pantas dibanggakan sebagai rumusan yang memelopori packet switching.
“Kleinrock bermulut besar,” kata Bob Taylor. “Klaim bahwa dirinya berperan mencetuskan konsep packet switching semata-mata merupakan sebentuk promosi diri sendiri. Kegemaran membanggakan diri sendiri memang kejelekannya sedari dahulu.”68 (Kleinrock menangkis, “Taylor kesal karena tidak memperoleh penghargaan yang menurutnya layak dia terima.”69)
Donald Davies, peneliti Britania yang mengarang istilah packet, adalah seorang yang lembut, pendiam, dan tidak pernah menyombongkan prestasinya. Orang-orang bahkan menyebutnya kelewat rendah hati. Namun, di ambang ajalnya, Davies menulis makalah—yang diterbitkan setelah dia meninggal—yang mengecam keras Kleinrock.
“Pekerjaan Kleinrock sebelum dan sampai 1964 tidak bisa dinyatakan sebagai cikal bakal packet switching,” tulis Davies selepas menjabarkan analisis komprehensif. “Kalimat dalam bukunya mengenai prioritas antrean time-sharing, jika dijajaki lebih lanjut, mungkin saja sampai pada kesimpulan tentang packet switching, tetapi nyatanya tidak .... Saya tidak menemukan satu bukti pun bahwa dia memahami prinsip packet switching.”70
Alex McKenzie, insinyur penanggung jawab sentra kendali jaringan BBN, belakangan malah lebih blakblakan lagi, “Kleinrock mengklaim dialah yang memperkenalkan wacana packet. Omong kosong. Di seluruh buku terbitan 1964 itu wacana packet tidak disebut-sebut, dianalisis, atau disiratkan sama sekali.” McKenzie menyebut klaim Kleinrock “konyol”.71
Saking gencarnya kecaman terhadap Kleinrock, topik tersebut dibahas dalam artikel New York Times pada 2001 oleh Katie Hafner. Dalam artikelnya, Hafner menggambarkan bahwa sikap para pelopor Internet yang biasanya penuh persahabatan diluluhlantakkan oleh Kleinrock, yang menuntut agar dirinya diakui sebagai penggagas utama konsep packet switching.
Paul Baran, yang memang layak dijuluki Bapak Packet Switching, tampil ke depan untuk mengatakan “Internet sejatinya buah karya ribuan orang” dan dengan ketus menyatakan sebagian besar orang yang terlibat tidak teriak-teriak minta dihargai. “Kasus remeh ini saja yang menjadi perkecualian,” imbuhnya, mencemooh Kleinrock secara tersirat.72
Hal yang menarik, sampai pertengahan 1990-an, Kleinrock selalu menyebut-nyebut orang lain sebagai penggagas packet switching. Dalam makalah terbitan November 1978, dia menyebut Baran dan Davies sebagai pelopor konsep tersebut. “Pada awal 1960-an Paul Baran menjabarkan beberapa karakteristik jaringan data dalam sebuah seri makalah RAND Corporation .... Pada 1968 Donald Davies di National Physical Laboratories di Inggris mulai menulis tentang jaringan berbasis packet switching.”73
Dalam makalah pada 1979 mengenai pengembangan jaringan terdistribusi, Kleinrock juga tidak menyebut-nyebut ataupun menyitir karya ilmiah yang dikerjakannya pada awal 1960-an. Sampai 1990, dia masih menyatakan Baran-lah orang pertama yang menelurkan konsep packet switching: “(Baran) adalah orang pertama yang menggagas ide tersebut.”74
Akan tetapi, ketika makalahnya yang dibuat pada 1979 dicetak ulang pada 2002, Kleinrock membubuhkan kata pengantar anyar yang mengklaim, “Sayalah yang mengembangkan dasar-dasar packet switching sebagaimana tertuang dalam makalah pertama mengenai topik tersebut pada 1961.”75
Walau begitu, entah Kleinrock mengklaim karyanya pada awal 1960-an sudah menyinggung-nyinggung konsep packet switching atau tidak, dia memang patut diapresiasi sebagai salah seorang pionir Internet. Tidak dapat disangsikan bahwa Kleinrock termasuk orang pertama yang merumuskan teori aliran data dalam jaringan dan juga tokoh penting yang memimpin pembangunan ARPANET.
Dia termasuk orang pertama yang mengalkulasikan dampak dari pesan terpecah-pecah yang disampaikan dari nodus ke nodus. Selain itu, Roberts menilai rumusan teoretis Kleinrock bermanfaat dan merekrutnya menjadi anggota tim pelaksana ARPANET. Inovasi dikemudikan oleh orang-orang yang mempunyai teori bagus sekaligus berkesempatan menjadi anggota tim yang dapat mengimplementasikan teori tersebut.
Kontroversi seputar Kleinrock menarik untuk disorot karena menunjukkan bahwa sebagian besar kreator Internet lebih menyukai bentuk apresiasi yang—meminjam metafora Internet sendiri—terdistribusi sepenuhnya. Mereka secara instingtif mengucilkan dan menghindari nodus mana pun yang coba-coba mengklaim dirinya lebih penting ketimbang yang lain.
Internet merupakan anak kandung etos kolaborasi kreatif dan pengambilan keputusan secara terdistribusi sehingga wajar para pembuatnya ingin melindungi warisan tersebut. Egalitarianisme dan semangat kerja sama tertanam dalam kepribadian para kreator Internet—dan dalam rancang bangun Internet sendiri.

TERKAIT DENGAN NUKLIR?
Salah satu narasi yang diterima secara luas mengenai Internet ialah tujuan pendiriannya yang berkaitan dengan nuklir. Kalau terjadi serangan nuklir, dibutuhkan sistem komunikasi yang tetap mampu bertahan dari gempuran. Internet mewujudkan sistem semacam itu.
Narasi tersebut membuat marah banyak arsitek Internet, termasuk Bob Taylor dan Larry Roberts, yang berkali-kali bersikeras menyatakan itu mitos belaka. Namun, sama seperti banyak inovasi pada era digital, terdapat lebih dari satu sebab dan asal usul. Pelaku yang berbeda mempunyai sudut pandang berlainan. Sebagian orang yang berkedudukan lebih tinggi daripada Taylor dan Roberts, serta mengetahui pasti alasan di balik kucuran dana riset, justru mengatakan mitos itu benar. Mari kita kupas lapisan sejarah satu demi satu.

Tidak diragukan lagi ketika Paul Baran mengusulkan jaringan berbasis packet switching dalam laporan untuk RAND, ketahanan dari serangan nuklir merupakan salah satu tujuannya. “Penting untuk memiliki sistem strategis yang dapat bertahan dari serangan pertama dan kemudian membalikkan keadaan,” jelas Baran. “Masalahnya, kita tidak mempunyai sistem komunikasi setangguh itu sehingga rudal Soviet yang ditembakkan ke rudal AS akan menghancurleburkan seluruh sistem komunikasi-telepon.”76
Kondisi seperti itu sarat ketegangan. Sebab, bangsa yang takut sistem komunikasi dan pertahanannya musnah gara-gara serangan nuklir akan cenderung meluncurkan serangan nuklir terlebih dahulu untuk jaga-jaga. “Asal usul packet switching terkait erat dengan suasana Perang Dingin yang sarat ketegangan,” kata Baran. “Saya pribadi sangat menaruh minat pada kajian mengenai bagaimana caranya membuat sistem komando dan kendali yang andal dan tangguh.”77
Jadi, pada 1960 Baran merintis konsep tentang “jaringan komunikasi yang beberapa ratus stasiunnya masih bisa saling berhubungan bahkan sesudah musuh menyerang”.78
Demikianlah tujuan Baran, tetapi perlu diingat bahwa dia tidak berhasil meyakinkan Angkatan Udara untuk membangun sistem semacam itu. Konsepnya justru diadopsi oleh Roberts dan Taylor, yang bersikeras bahwa mereka semata-mata bermaksud menciptakan jaringan supaya para peneliti ARPA dapat berbagi informasi dan sumber daya, bukan jaringan yang tahan terhadap serangan bersenjata.
“Orang-orang membicarakan tulisan Paul Baran tentang jaringan pertahanan nuklir yang aman dan menyamakannya dengan ARPANET,” kata Roberts. “Keduanya tentu saja tidak berkaitan. Saya katakan kepada Kongres, tujuannya ialah masa depan sains di seluruh dunia—untuk ranah sipil sekaligus militer—dan pihak militer akan sama untungnya dengan yang lain. Namun, sudah jelas ARPANET dibangun bukan untuk tujuan militer. Saya juga tidak menyinggung-nyinggung perang nuklir.”79
Majalah Time sempat melaporkan bahwa Internet dibuat untuk menjamin keberlangsungan komunikasi bilamana terjadi serangan nuklir. Taylor kemudian mengirimkan surat untuk editor yang meralat pernyataan tersebut, tetapi Time tidak memuat suratnya. “Mereka mengirimi surat balasan, memberi tahu saya bahwa narasumber mereka benar,” kenangnya.80
Narasumber Time memang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada Taylor. Orang-orang yang bekerja di IPTO, kantor penanggung jawab proyek tersebut, mungkin saja meyakini sepenuh hati pekerjaan mereka tidak tersangkut paut dengan ketahanan nuklir. Namun, sejumlah petinggi ARPA percaya itulah salah satu sasaran utama proyek tersebut. Sasaran ini pula yang mereka kemukakan kepada Kongres kala meminta pendanaan.
Stephen Lukasik menjabat Deputi Direktur ARPA dari 1967 sampai 1970 dan kemudian direktur sampai 1975. Pada Juni 1968 dia berhasil memperoleh pengesahan dan lampu hijau resmi untuk proyek pembangunan jaringan yang sedang dikerjakan oleh Roberts. Ketika itu baru beberapa bulan berlalu semenjak Serangan Tet dan Pembantaian My Lai di Vietnam. Protes antiperang sedang gencar-gencarnya, demonstrasi mahasiswa di sejumlah universitas top sempat rusuh.

Anggaran Departemen Pertahanan tidak mengucur deras ke program-program mahal yang didesain sekadar untuk menjembatani kolaborasi para peneliti akademik. Senator Mike Mansfield dan lain-lain mulai menuntut agar pendanaan hanya diberikan untuk proyek yang relevan dengan misi militer.
“Jadi, dalam iklim demikian,” kata Lukasik, “saya mustahil memperoleh kucuran uang untuk pembangunan jaringan yang tujuannya hanya meningkatkan produktivitas peneliti. Alasan itu kurang kuat. Alasan yang kuat ialah packet switching lebih tangguh, lebih tahan terhadap kerusakan .... Dalam situasi strategis—serangan nuklir, maksud saya—presiden masih bisa berkomunikasi ke stasiun-stasiun peluncur rudal. Jadi, kebutuhan itulah yang ingin saya penuhi ketika menandatangani cek sejak 1967 dan seterusnya.”81

Pada 2011 Lukasik merasa geli dan agak kesal dengan keyakinan umum bahwa ARPANET dibangun bukan karena tujuan militer strategis. Jadi, dia menulis esai berjudul “Alasan Pembuatan ARPANET” (“Why the ARPANET was Build”), yang diedarkan kepada para kolega. “Eksistensi ARPA dan satu-satunya tujuan pendiriannya ialah menindaklanjuti masalah keamanan nasional yang baru saat itu,” Lukasik menjelaskan. “Masalah paling mendesak ialah keberlangsungan komando dan kendali kekuatan militer bila terjadi serangan senjata nuklir.”82
Pernyataan ini kontradiktif dengan keterangan pendahulu Lukasik di kursi Direktur ARPA, Charles Herzfeld, pengungsi Wina yang menyetujui proposal Bob Taylor tentang jaringan riset time-sharing pada 1965. “Lain dengan yang diklaim oleh banyak orang dewasa ini, ARPANET mula-mula bukan bertujuan sebagai sistem komando dan kendali yang tahan terhadap serangan nuklir,” Herzfeld bersikeras bertahun-tahun kemudian. “Dari sudut pandang militer, kebutuhan akan sistem semacam itu memang mendesak, tetapi bukan itu misi ARPA.”83
Dua sejarah semi-ofisial yang penulisannya disahkan oleh ARPA berdiri di kubu berseberangan. “Desas-desus palsu bahwa ARPANET tersangkut paut dengan misi pertahanan terhadap serangan nuklir berakar dari laporan RAND,” kata sejarah yang ditulis oleh Internet Society. “Laporan RAND memaparkan pentingnya membuat jaringan yang tahan terhadap perang nuklir, tetapi ARPANET bukanlah pengejawantahan jaringan semacam itu.”84
Sebaliknya, “Laporan Akhir” dari National Science Foundation yang terbit pada 1995 menyatakan, “Sebagai perpanjangan dari Advanced Research Projects Agency—yang merupakan badan di bawah Departemen Pertahanan—proyek packet switching ARPANET dimaksudkan untuk menciptakan saluran komunikasi andal bila terjadi serangan nuklir.”85
Jadi, pandangan siapa yang benar? Dalam kasus ini, kedua-duanya benar. Bagi para akademisi dan peneliti yang berperan langsung dalam membangun jaringan itu, ARPANET semata-mata bertujuan damai. Untuk sebagian orang yang mengawasi dan mendanai proyek tersebut, terutama orang-orang Pentagon dan Kongres, ARPANET juga mempunyai latar belakang militer.
Stephen Crocker adalah mahasiswa pascasarjana pada akhir 1960-an yang turut berperan dalam mengoordinasikan perancangan ARPANET. Crocker tidak pernah mempertimbangkan ketahanan nuklir sebagai bagian dari misinya. Namun, ketika Lukasik mengedarkan makalahnya pada 2011, Crocker membaca esai tersebut, tersenyum, dan merevisi pemikirannya.
“Saya duduk paling atas, sedangkan Anda di paling bawah. Jadi, tentu saja Anda tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa maksud kami,” Lukasik memberitahunya. Dengan kelakar yang bijaksana, Crocker menjawab, “Saya di paling bawah, sedangkan Anda duduk di paling atas, maka tentu saja Anda tidak tahu apa yang sebenarnya kami kerjakan dan apa maksud kami.”86
Crocker akhirnya menyadari, “Tidak mungkin semua orang yang terlibat menyepakati apa tujuan pembuatan ARPANET.” Leonard Kleinrock, yang juga dosen pembimbing Crocker di UCLA, sampai pada kesimpulan serupa. “Kami takkan pernah tahu apakah ketahanan nuklirlah tujuan utama proyek tersebut. Pernyataan itu tidak bisa dijawab. Bagi saya, tujuan militer sama sekali tidak terpikirkan. Namun, semakin kita naik ke jajaran komando, saya yakin akan ada yang mengatakan ketahanan nuklir merupakan alasan utama.”87
ARPANET akhirnya mengejawantahkan persilangan kepentingan antara militer dan akademisi secara menarik. Proyek itu didanai oleh Departemen Pertahanan, yang cenderung menginginkan sistem komando hierarkis dengan kontrol terpusat. Namun, Pentagon mendelegasikan perancangan jaringan kepada sekelompok akademisi, yang sebagiannya enggan direkrut dan kebanyakan curiga pada kekuasaan sentralistis. Karena mereka memilih struktur dengan jumlah nodus tak terbatas, yang masing-masing memiliki router sendiri, dan bukan struktur yang mengandalkan segelintir simpul terpusat, jaringan itu akan sukar dikendalikan.

“Saya punya keinginan pribadi membangun jaringan terdesentralisasi,” kata Taylor. “Dengan begitu, akan sukar bagi satu kelompok untuk memegang kontrol. Saya tidak percaya pada organisasi besar sentralistis. Watak saya memang seperti itu.”88 Dengan memilih orang-orang seperti Taylor untuk membangun jaringannya, Pentagon menyemai jaringan yang mustahil dikontrol sepenuhnya.
Di sisi lain, arsitektur jaringan yang terdesentralisasi dan terdistribusi menjadikannya lebih andal. Bahkan, jaringan tersebut bisa tahan terhadap serangan nuklir. Bukan pembuatan sistem komando dan kendali yang tangguh sekaligus tahan terhadap serangan yang memotivasi para peneliti ARPA. Bahkan, tujuan semacam itu tidak terbetik di benak mereka. Namun, ironisnya, justru karena jaringan buatan mereka memenuhi syarat tersebutlah, dana untuk proyek terus mengucur dari Pentagon dan Kongres.
Bahkan, sesudah ARPANET bermetamorfosis menjadi Internet pada awal 1980-an, jaringan tersebut akan terus dimanfaatkan untuk kegunaan militer ataupun sipil. Vint Cerf, pemikir kalem dan serius yang turut menciptakan Internet, mengenang, “Saya ingin mendemonstrasikan bahwa teknologi kami dapat bertahan dari serangan nuklir.”
Jadi, pada 1982 dia menggelar serangkaian tes yang menyimulasikan serangan nuklir secara artifisial. “Lumayan banyak simulasi dan demonstrasi semacam itu. Sebagian malah teramat ambisius. Demonstrasi tersebut melibatkan Strategic Air Command juga. Suatu saat kami menyebarkan packet radio di lapangan sekaligus menggunakan sistem berbasis udara untuk merajut kembali fragmen-fragmen Internet yang telah terputus akibat simulasi serangan nuklir.”
Radia Perlman, perempuan insinyur jaringan paling terkemuka, mengembangkan protokol untuk menjamin ketahanan jaringan terhadap serangan di MIT. Dia juga membantu Cerf menciptakan metode untuk memartisi dan merekonstruksi ARPANET bilamana perlu supaya keberlangsungannya lebih langgeng.89
Tarik ulur antara motif militer dan akademis tertanam ke dalam Internet. “Desain ARPANET dan Internet mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh militer—seperti ketahanan, fleksibilitas, dan kinerja tinggi—dan bukan tujuan komersial semisal biaya rendah, kesederhanaan, atau daya tarik bagi konsumen,” komentar sejarawan teknologi Janet Abbate. “Pada saat bersamaan, kelompok yang mendesain dan membangun jaringan ARPA didominasi oleh ilmuwan akademik, yang menginkorporasikan nilai-nilai mereka sendiri—antara lain kemitraan, desentralisasi kekuasaan, dan keterbukaan berbagi informasi—ke dalam sistem itu.”90
Para peneliti akademik pada akhir 1960-an, banyak di antaranya yang punya keterkaitan dengan budaya tandingan antiperang, menciptakan sistem yang menghalau komando terpusat. Tak hanya mampu mengantisipasi kerusakan akibat serangan nuklir, tetapi sistem tersebut juga dapat menghindari segenap upaya untuk memaksakan kontrol.
LOMPATAN RAKSASA: ARPANET MENDARAT, OKTOBER 1969
Musim panas 1968, ketika sebagian besar pelosok dunia, mulai Praha sampai Chicago, sedang diguncang kemelut politik, Larry Roberts mengirimkan undangan tender bagi perusahaan yang mungkin berminat membuat minikomputer untuk router—alias Interface Message Processor—guna dikirimkan ke sentra-sentra riset atau tertarik berpartisipasi membangun ARPANET.
Dalam rencana Roberts tercantum konsep packet switching, yang digagas oleh Paul Baran dan Donald Davies; usulan mengenai IMP terstandarkan dari Wes Clark; landasan teoretis sumbangan J.C.R. Licklider, Les Earnest, dan Leonard Kleinrock; serta kontribusi dari banyak inovator lain.
Di antara 140 perusahaan yang menerima undangan, hanya selusin yang memutuskan mengajukan proposal tender. IBM salah satu yang tidak berminat. Perusahaan tersebut ragu IMP dapat dibuat dengan harga ekonomis. Roberts menghadiri rapat komite di Monterey, California, untuk mengevaluasi semua proposal yang masuk, sedangkan Al Blue, sang pengawas internal, mengambil foto tiap proposal sambil membandingkannya dengan penggaris untuk menunjukkan berapa tebal masing-masing.
Raytheon, kontraktor pertahanan besar yang berbasis di Boston dan salah seorang pendirinya, Vannevar Bush, tampak sebagai kandidat paling menjanjikan dan bahkan sudah merundingkan harga dengan Roberts. Namun, Bob Taylor turun tangan dan mengungkapkan pendapat—yang sudah diduga oleh Wes Clark—bahwa kontrak sebaiknya diberikan pada BBN, yang tidak dibebani oleh birokrasi korporat berbelit-belit.
“Saya katakan bahwa Raytheon dan universitas-universitas riset tidak akan padu, seperti minyak dan air,” kenang Taylor.91 Sebagaimana dikatakan oleh Clark, “Bob memveto putusan komite.” Roberts mengiyakan saja. “Raytheon mengajukan proposal bagus yang bisa bersaing dengan BBN. Satu-satunya yang lebih menonjol, yang memengaruhi saya dalam membuat keputusan akhir, ialah BBN mempunyai tim lebih kompak dan diorganisasikan dengan cara yang menurut saya lebih efektif,” kenang Roberts.92
Kontras dengan Raytheon yang birokratis, BBN terdiri atas sekawanan insinyur brilian dan tangkas yang dipimpin oleh dua pindahan dari MIT, Frank Heart dan Robert Kahn.93 Mereka malah membantu menyempurnakan proposal Roberts: ketika packet dilewatkan dari satu IMP ke IMP berikutnya, IMP pengirim akan menyimpan paket data sampai IMP penerima mengiyakan dan, apabila IMP penerima tidak segera mengiyakan, IMP pengirim akan kembali mengirim paket data tersebut. Fitur tersebut menjadi kunci bagi keandalan Internet. Seiring tiap pengerjaan, desain jaringan diperbaiki dan disempurnakan lewat kreativitas kolektif.

Tepat sebelum Natal, Roberts mengejutkan banyak pihak dengan mengumumkan terpilihnya BBN dan bukan Raytheon. Senator Ted Kennedy seperti biasa mengirimkan telegram kepada konstituen yang memenangi kontrak proyek federal besar. Dalam telegram itu, Kennedy menyelamati BBN karena terpilih untuk membuat Interfaith Message Processor—deskripsi pas untuk menggambarkan peran Interface Message Processor sebagai penjembatan komunikasi antarpihak yang keyakinannya berbeda-beda.94
Roberts memilih empat sentra riset sebagai nodus pertama ARPANET: UCLA, tempat Len Kleinrock bekerja; Stanford Research Institute (SRI), yang mewadahi Douglas Engelbart sang visioner; Universitas Utah, tempat Ivan Sutherland berada; dan University of California di Santa Barbara. Mereka ditugasi memikirkan bagaimana cara menyambungkan komputer besar yang berfungsi sebagai host ke IMP standar yang akan dikirimkan kepada mereka. Layaknya profesor senior, para peneliti di sentra-sentra tersebut merekrut kru mahasiswa pascasarjana untuk mengerjakan tugas itu.
Para anggota tim muda ini berkumpul di Santa Barbara untuk merancang strategi kerja dan di sana, mereka mendapati satu adagium yang kebenarannya tetap terbukti bahkan pada era jejaring sosial digital: berkumpul secara langsung—bertatap muka dalam arti sebenarnya—bukan saja bermanfaat, melainkan juga asyik.
“Kesannya seperti reuni keluarga besar saja. Misalnya, kami bertemu kenalan baru yang ternyata karyanya pernah kami baca dan kutip, atau yang temannya ternyata teman kami juga, dan yang memiliki banyak persamaan minat dengan kami,” kenang Stephen Crocker, mahasiswa pascasarjana dari tim UCLA yang bermobil ke Santa Barbara bersama sahabat dan koleganya, Vint Cerf. Jadi, para peneliti muda ini kemudian memutuskan bertemu secara rutin, bergiliran di markas kerja masing-masing.
Crocker, yang santun, berwajah besar, dan memiliki senyum yang malah lebih besar, mempunyai kepribadian pas untuk menjadi koordinator proses kolaboratif khas era digital tersebut. Lain dengan Kleinrock, Crocker—yang jarang menggunakan kata saya—lebih tertarik mendistribusikan penghargaan daripada mengklaimnya sendiri. Berkat kepekaan terhadap orang lain, Crocker mempunyai kemampuan instingtif mengoordinasikan kelompok tanpa berusaha menegakkan kontrol atau kewenangan secara terpusat, cocok dengan model jaringan yang tengah mereka bangun.
Berbulan-bulan berlalu dan para mahasiswa pascasarjana masih rutin bertemu serta berbagi ide sembari menantikan kedatangan “Pihak Berwenang” untuk memberi mereka perintah. Mereka mengasumsikan pemangku kekuasaan dari Pesisir Timur niscaya akan datang membawakan aturan, regulasi, serta protokol resmi untuk dipatuhi oleh para manajer rendahan di lokasi komputer host.
“Kami cuma sekelompok mahasiswa pascasarjana yang mengajukan diri untuk bekerja. Jadi, saya yakin suatu saat korps pemegang kekuasaan atau orang penting dari Washington atau Cambridge akan datang dan memberitahukan aturan apa saja yang mesti kami patuhi,” kenang Crocker.
Akan tetapi, ini era baru. Karena jaringan tersebut mesti terdistribusi, kekuasaan atasnya juga sama. Penciptaan dan aturannya akan digagas oleh pengguna. Keseluruhan proses berlangsung terbuka. Walaupun sebagian pendanaan dikucurkan demi memfasilitasi komando dan kendali militer, jaringan itu mesti memiliki karakter yang kebal terhadap komando dan kontrol terpusat. Para kolonel telah menyerahkan tongkat komando kepada para peretas dan akademisi.
Jadi, selepas acara kumpul-kumpul nan menyenangkan di Utah pada awal April 1967, gerombolan mahasiswa pascasarjana yang menamai diri Regu Pelaksana Jaringan ini memutuskan mending mereka menuliskan saja apa-apa yang sudah dicetuskan.95 Crocker, yang kesopanan dan kerendahan hatinya mampu memikat segerombol peretas untuk mencapai kata sepakat, ditunjuk menjadi juru rangkum. Dia sangat berhati-hati dalam mencari pendekatan yang tidak terkesan sok.
“Saya menyadari, dengan menuliskan hasil obrolan saja, bisa-bisa kami dikira sok kuasa sehingga kemudian diomeli habis-habisan—barangkali oleh orang-orang besar dari timur.” Hasrat Crocker untuk menjaga kesantunan akan membuatnya terjaga pada malam hari dalam arti sesungguhnya. “Ketika itu saya tinggal dengan pacar saya dan bayinya dari hubungan sebelumnya, di rumah orangtuanya. Satu-satunya tempat untuk bekerja pada malam hari tanpa mengganggu orang ialah di dalam kamar mandi. Jadi, saya sering di sana malam-malam, berdiri telanjang sambil menulis catatan.”96
Crocker menyadari bahwa dia butuh judul yang biasa-biasa saja untuk menamai daftar usulan dan tindakan tersebut. “Untuk menekankan sifatnya yang informal, saya mendapat gagasan konyol untuk menamainya ‘Request for Comment’ atau RFC (‘Minta Komentar’)—tak peduli apakah kami memang meminta komentar atau tidak.” Frasa tersebut sangat sempurna untuk mendorong kolaborasi pada zaman Internet—terkesan sopan, bersahabat, tidak sok memerintah, dan inklusif.
“Mungkin untung bahwa pada masa itu kami menghindari paten dan batasan-batasan lain; tanpa insentif finansial untuk mengontrol protokol, lebih mudah mencapai kata sepakat,” tulis Crocker empat puluh tahun kemudian.97
RFC pertama keluar pada 7 April 1969, dikirimkan dalam amplop yang biasa-biasa saja lewat pos. (Surel belum ada karena jaringan Internet belum dibuat.) Dengan nada hangat dan kasual, tanpa lagak main perintah sama sekali, Crocker mengomandoi diskusi mengenai bagaimana cara menyambungkan komputer host di tiap institusi dengan jaringan baru. “Pada musim panas 1968 wakil-wakil dari empat situs pertama bertemu beberapa kali untuk membahas perangkat lunak host,” tulisnya.
“Di sini saya suguhkan kesepakatan sementara yang telah kami capai dan beberapa pertanyaan terbuka yang kami jumpai. Butir-butir yang kami tulis di sini hanyalah usulan sementara. Kami menunggu tanggapannya.”98 Orang-orang yang menerima RFC 1 merasa diikutsertakan dalam proses yang mengasyikkan daripada diperintah oleh diktator protokol. Karena yang sedang mereka bahas itu jaringan, masuk akal untuk menjaring masukan dari semua orang.
Proses RFC menjadi pelopor pengembangan perangkat lunak, protokol, dan konten berbasis open source. “Proses yang terbuka ialah aspek esensial yang memungkinkan Internet tumbuh dan berkembang secara spektakuler seperti sekarang,” kata Crocker kelak.99 Dari kacamata yang lebih luas, proses terbuka semacam itu menjadi standar kolaborasi pada era digital.
Tiga puluh tahun setelah RFC 1, Vint Cerf menulis RFC filosofis berjudul “Percakapan Hebat” (“The Great Conversation”) yang dimulai sebagai berikut, “Dahulu kala, di jaringan nun jauh di sana ....” Setelah menjabarkan asal usul RFC yang informal, Cerf melanjutkan, “Yang tersembunyi di dalam sejarah RFC ialah sejarah institusi manusia yang bekerja sama demi meraih tujuan.”100 Pernyataan itu mungkin terkesan bombastis, tetapi benar adanya.
RFC membuahkan seperangkat standar host-to-IMP pada penghujung Agustus 1969, tepat ketika IMP pertama dikirimkan ke lab Kleinrock. Setibanya kiriman di gudang UCLA, selusin orang datang untuk menyambut benda itu: Crocker, Kleinrock, beberapa anggota tim, serta Cerf dan istrinya, Sigrid, yang membawa sampanye.
Mereka terkejut saat melihat IMP ternyata seukuran kulkas dan casing-nya—sesuai spesifikasi untuk mesin militer—berupa baja abu-abu sewarna kapal tempur. Alat itu diantar dengan troli ke ruang komputer, disambungkan ke listrik, dan langsung dinyalakan. BBN telah bekerja hebat, mengantarkan produk tepat waktu dan sesuai anggaran.
Satu mesin tidak cukup untuk membuat jaringan. Sebulan kemudian, ketika IMP kedua diantarkan ke SRI di pinggiran kampus Stanford, barulah ARPANET betul-betul berjalan. Pada 29 Oktober koneksi sudah siap dibuat. Ajang itu pun terkesan kasual, sebagaimana lazimnya. Sama sekali tidak ada pengumuman dramatis “satu langkah kecil bagi seorang manusia, satu langkah raksasa bagi umat manusia”, seperti ketika pendaratan di bulan beberapa minggu sebelumnya disiarkan di televisi dan ditonton oleh setengah miliar orang.
Hanya seorang mahasiswa program sarjana bernama Charley Kline, diawasi oleh Crocker dan Cerf, yang mengenakan headset telepon untuk berkoordinasi dengan seorang peneliti di SRI sambil mengetikkan urut-urutan perintah login supaya terminalnya di UCLA dapat menyambung lewat jaringan ke komputer 567 kilometer jauhnya di Palo Alto.
Kline mengetik “L”. Orang SRI memberitahunya bahwa pesan telah diterima. Kemudian, dia mengetik “O”. Penerimaan pesan itu pun dikonfirmasi. Ketika Kline mengetik “G”, sistem mendadak macet gara-gara fitur auto-complete. Namun, pesan pertama telah dikirimkan lewat ARPANET. Dalam buku lognya, Kline mencatatkan entri minimalis, “22:30. Komunikasi host-to-host dengan SRI. CSK.”101
Demikianlah, pada paruh kedua 1969—di tengah-tengah riuh rendah Woodstock, kecelakaan Chappaquiddick, protes Perang Vietnam, pembunuhan Charles Manson, persidangan Chicago Eight, dan kerusuhan di Altamont—tercapai tiga prestasi bersejarah, yang masing-masing berkulminasi setelah proses panjang hampir sedekade.
NASA berhasil mengirimkan orang ke bulan, para insinyur di Silicon Valley berhasil menggagas cara membuat komputer terprogram di atas chip yang disebut mikroprosesor, sedangkan ARPA menciptakan jaringan yang dapat menghubungkan komputer-komputer yang berjauhan. Hanya yang pertama di antara ketiga prestasi ini (dan barangkali paling tidak signifikan di antara ketiganya?) yang dimuat sebagai berita utama di koran-koran.

INTERNET

ARPANET belum bisa disebut Internet. ARPANET hanya terdiri atas satu jaringan. Dalam beberapa tahun kemudian, muncullah jaringan-jaringan lain berbasis packet switching yang mirip, tetapi belum terhubung satu sama lain. Contohnya, para insinyur di Xerox Palo Alto Research Center (PARC) menginginkan jaringan lokal untuk menghubungkan komputer kantor yang mereka rancang pada awal 1970-an.

Sementara itu, lulusan PhD baru dari Harvard bernama Bob Metcalfe menggagas cara untuk menggunakan kabel koaksial (tipe yang digunakan untuk sambungan TV kabel) untuk menciptakan sistem bandwidth tinggi yang dia namai “Ethernet”. Modelnya berdasarkan ALOHAnet, jaringan nirkabel yang dikembangkan di Hawaii, yang mengirimkan paket data lewat UHF dan sinyal satelit.
Selain itu, ada jaringan packet radio di San Francisco, yang dikenal sebagai PRNET, dan versi satelit yang disebut SATNET. Kendati sistemnya agak mirip, jaringan yang kesemuanya berbasis packet switching tersebut tidak kompatibel ataupun bisa disambungkan satu sama lain.
Pada awal 1973 Robert Kahn ambil ancang-ancang untuk mengatasi kendala itu. Harus ada cara, dia memutuskan, supaya semua jaringan bisa saling terhubung. Kebetulan posisi Kahn memungkinkannya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dia telah meninggalkan BBN, tempatnya sempat membantu mengembangkan IMP, untuk menjadi manajer proyek di Information Processing Techniques Office-nya ARPA.
Karena pernah menggarap ARPANET dan kemudian PRNET, Kahn bercita-cita menciptakan metode untuk menghubungkan keduanya dan jaringan-jaringan berbasis packet switching lain, sistem yang kemudian disebut Kahn dan para koleganya sebagai “internetwork”. Beberapa lama berselang, kata itu dipendekkan menjadi “Internet”.
Untuk dijadikan mitra dalam misi ini, Kahn menggaet Vint Cerf, yang merupakan tangan kanan Steve Crocker di kelompok penulis RFC dan perumus protokol ARPANET. Cerf dibesarkan di Los Angeles, tempat ayahnya bekerja di perusahaan yang membuat mesin untuk program antariksa Apollo. Sama seperti Gordon Moore, dia suka memainkan alat praktikum kimia pada masa ketika mainan tersebut berbahaya, tetapi mengasyikkan.
“Kami mendapatkan bahan-bahan seperti magnesium bubuk, aluminium bubuk, belerang, gliserin, dan kalium permanganat,” kenangnya. “Ketika semuanya dicampur menjadi satu, muncullah ledakan api.” Di kelas lima dia bosan pada matematika sehingga sang guru memberinya buku aljabar untuk kelas tujuh. “Saya menghabiskan seluruh musim panas dengan mengerjakan semua soal di buku itu,” kata Cerf. “Saya suka soal yang menggunakan kata karena kesannya seperti memecahkan cerita misteri. Kita harus mencari tahu si ‘x’ itu siapa dan saya selalu penasaran apakah ‘x’ itu.”
Dia juga menaruh minat mendalam pada fiksi ilmiah, terutama cerita-cerita karangan Robert Heinlein, dan mulai membaca trilogi Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien, yang nantinya dia baca ulang hampir tiap tahun.102
Karena lahir prematur, pendengaran Cerf kurang tajam dan dia mulai menggunakan alat bantu dengar sewaktu berusia 13 tahun. Kira-kira saat itu jugalah dia mulai bersekolah sambil mengenakan jas dan dasi serta membawa aktentas. “Saya tidak mau sama seperti semua orang,” katanya. “Saya ingin kelihatan lain, ingin diperhatikan. Berbusana mencolok adalah cara yang sangat efektif untuk itu, tetapi mending mengenakan jas ketimbang anting hidung, apalagi saat itu masih tahun 1950-an. Selain itu, saya kira Ayah takkan suka.”103
Di SMA dia menjalin persahabatan dengan Crocker dan mereka menghabiskan akhir pekan bersama untuk mengerjakan proyek sains serta bermain catur 3D. Setelah lulus dari Stanford dan bekerja di IBM dua tahun, dia kuliah doktoral di UCLA dan bekerja dalam kelompok Kleinrock. Di sana pulalah Cerf bertemu Bob Kahn. Mereka masih menjalin hubungan dekat setelah Kahn bekerja di BBN dan kemudian di ARPA.
Ketika menjajaki misi internetwork pada musim semi 1973, Kahn menyambangi Cerf dan memaparkan semua jaringan berbasis packet switching yang telah berkembang selain ARPANET. “Kau hendak menyambungkan jaringan berbasis paket yang lain-lain itu dengan cara bagaimana?” tanya Kahn. Cerf sontak menyambar tantangan tersebut dan mereka berdua kemudian meluncurkan kolaborasi selama tiga bulan yang nantinya membuahkan internet.
“Dia dan saya langsung sepikiran,” Kahn kelak berkata. “Vint tipe orang yang suka menyingsingkan lengan baju dan tidak segan-segan menerima tantangan apa pun. Saya suka optimisme semacam itu.”104
Mereka mulai mengorganisasikan pertemuan di Stanford pada Juni 1973 untuk menghimpun ide. Sebagai hasil pendekatan kolaboratif ini, Cerf kelak berkata, solusi “yang tercetus ialah protokol terbuka, yang dikembangkan oleh semua orang”.105 Namun, pengembangan utamanya dikerjakan oleh duet Kahn dan Cerf, yang berembuk intens di Rickeys Hyatt House di Palo Alto atau di hotel dekat Bandara Dulles.
“Vint sering kali bangkit dan membuat gambar jaring laba-laba,” kenang Kahn. “Kami melontarkan ide bolak-balik dan kemudian dia kerap berkata, ‘Sini, biar kugambar.’”106
Suatu hari pada Oktober 1973 Cerf membuat sketsa sederhana di lobi sebuah hotel di San Fransisco yang merumuskan pendekatan mereka. Sketsa itu menggambarkan macam-macam jaringan seperti ARPANET dan PRNET, masing-masing terdiri atas banyak komputer host, dan perangkat komputer “penghubung” yang akan mengoperkan paket data dari satu jaringan ke jaringan lain. Akhirnya, mereka menghabiskan akhir pekan bersama-sama di kantor ARPA dekat Pentagon dan begadang hampir dua malam, kemudian merayakan keberhasilan dengan makan sarapan di Marriott.
Mereka menolak gagasan bahwa jaringan yang berlainan boleh mempertahankan protokolnya sendiri, sekalipun gagasan macam itu niscaya lebih gampang dijual. Mereka menginginkan protokol bersama. Dengan demikian, internetwork yang baru dapat menyebar luas secara cepat. Sebab, komputer atau jaringan mana pun yang menggunakan protokol anyar tersebut bisa ikut menghubungkan diri tanpa membutuhkan sistem penerjemahan program.
Lalu lintas antara ARPANET dan jaringan lain niscaya mulus dan lancar. Jadi, mereka mengusulkan agar tiap komputer mengadopsi metode dan templat yang sama untuk mengolah paket data. Ini bisa dianalogikan dengan menetapkan aturan bahwa tiap kartu pos yang dikirimkan harus mencantumkan empat baris alamat yang memuat nomor jalan, kota, dan negara menggunakan huruf Latin.
Hasilnya berupa Internet Protocol (IP), yang berisi perintah spesifik mengenai cara meletakkan alamat tujuan di “kop” paket data dan menentukan alur perjalanan paket di dalam jaringan untuk mencapai tujuan tersebut. Setingkat di atas IP ada Transmission Control Protocol (TCP), yang menginstruksikan cara menyusun paket-paket seperti semula, mengecek apakah ada paket yang hilang, dan meminta transmisi ulang apabila ada informasi yang hilang. Protokol ini disebut TCP/IP. Kahn dan Cerf memublikasikannya dalam makalah berjudul “Protokol untuk Paket Jaringan Interkoneksi” (“A Protocol for Packet Network Interconnection”). Maka, terlahirlah Internet.
Pada ulang tahun ke-20 ARPANET pada 1989 Kleinrock dan Cerf serta banyak pionir lain berkumpul di UCLA, tempat dipasangnya nodus jaringan pertama. Sejumlah puisi, lagu, dan pantun jenaka ditulis untuk merayakan acara tersebut. Cerf mendeklamasikan parodi karya Shakespeare, berjudul “Rosencrantz dan Ethernet”, yang mengajukan pertanyaan mengenai pilihan antara packet switching dan sambungan sirkuit langsung:

Seluruh dunia dihubungkan oleh jaringan! Dan, semua data di dalamnya hanyalah paket yang mesti mengantre untuk diantarkan dan kemudian tak kedengaran lagi rimbanya. Jaringan ini ingin dimutakhirkan!
Dimutakhirkan ke packet switching atau tidak? Itulah pertanyaannya:
Bijaksanakah membiarkan jaringan macet
Karena antrean yang terlalu panjang,
Atau perlukah kita rentangkan sirkuit khusus
Supaya segunung paket dapat diantar langsung?107

Satu generasi berselang, pada 2014, Cerf bekerja di kantor Google di Washington, D.C. Dia masih menyukai pekerjaannya dan terkagum-kagum akan dampak ajaib Internet. Sambil mengenakan Google Glass, dia mengomentari bahwa tiap tahun muncul sesuatu yang baru. “Jejaring sosial—saya bergabung ke Facebook untuk eksperimen—aplikasi bisnis, teknologi mobile, hal-hal baru terus bermunculan di Internet,” katanya.
“Internet telah membesar jutaan kali lipat. Tak banyak yang bisa mengembang sebesar itu tanpa menjadi rusak. Namun, protokol lama yang kami buat ternyata masih baik-baik saja sampai sekarang.”108
KREATIVITAS YANG BERJEJARING
Jadi, siapa yang paling layak diapresiasi sebagai penemu Internet? Jawabannya sama seperti pada pernyataan siapa penemu komputer, Internet diciptakan lewat kolaborasi kreatif. Sebagaimana berikut dijelaskan oleh Paul Baran kepada penulis teknologi, Katie Hafner dan Matthew Lyon, dengan analogi indah yang bisa diterapkan untuk segala jenis inovasi.
Proses pengembangan teknologi ibarat pembangunan sebuah katedral. Dalam durasi beratus-ratus tahun, datanglah orang-orang baru dan masing-masing meletakkan balok batu di atas fondasi lama, masing-masing mengatakan, “Saya membangun katedral.” Bulan berikut, balok batu lainnya diletakkan di atas balok batu terdahulu. Kemudian, muncullah seorang sejarawan yang bertanya, “Jadi, siapa yang membangun katederal ini?”
Peter menambahkan batu-batu di sebelah sana, sedangkan Paul menambahkan beberapa batu lagi. Jika tidak hati-hati, kita bisa menipu diri dengan mengatakan bahwa kitalah yang paling berjasa membangun katederal. Namun, kenyataannya, tiap kontribusi merupakan kelanjutan dari pekerjaan sebelumnya. Semua terkait satu sama lain.109
Internet sampai tingkat tertentu dibuat oleh Pemerintah AS dan juga perusahaan swasta, tetapi sebagian besar merupakan hasil kreasi para akademisi dan peretas yang berafiliasi secara longgar, bekerja sama sebagai rekan setara serta secara leluasa tukar-menukar ide kreatif. Kebiasaan berbagi sebagai rekan setara menghasilkan jaringan yang karakternya memfasilitasi tukar-menukar secara setara pula. Ini bukan kebetulan belaka.
Pembuatan Internet dilatarbelakangi keyakinan bahwa kekuasaan mesti didistribusikan daripada dikontrol secara terpusat dan keyakinan bahwa titah otoriter mesti diakali. Sebagaimana disampaikan oleh Dave Clark, salah seorang partisipan awal Internet Engineering Task Force, “Kami menolak raja, presiden, dan pemungutan suara. Kami meyakini konsensus umum dan kode garis besar.”110 Hasilnya berupa jejaring masyarakat, tempat inovasi dapat dibentuk bersama-sama secara terbuka.
Inovasi bukanlah buah karya seorang penyendiri, Internet dapat menjadi contoh utamanya. “Berkat jaringan komputer, kesendirian aktivitas penelitian digantikan oleh kebersamaan riset yang subur dan kaya,” demikian menurut edisi pertama ARPANET News, nawala resmi jaringan baru yang digagas oleh Cerf-Kahn.
Dua pionir jaringan, J.C.R. Licklider dan Bob Taylor, sadar bahwa Internet—karena caranya dibuat—secara inheren cenderung memupuk tumbuhnya koneksi peer-to-peer dan pembentukan komunitas daring. Karakter bawaan ini membukakan pintu bagi aneka kemungkinan indah.
“Kehidupan menjadi lebih membahagiakan bagi individu yang terkoneksi jaringan karena orang-orang yang kita ajak berinteraksi ialah yang memiliki kesamaan minat dan tujuan, bukan yang kebetulan saja berdekatan dengan kita,” tulis mereka dalam makalah visioner terbitan 1968 berjudul “Komputer sebagai Alat Komunikasi” (“The Computer as a Communication Revice”).
Optimisme mereka bahkan menjurus utopis. “Akan tersedia banyak peluang bagi semua orang (yang mampu membeli konsol) untuk menemukan panggilan hidupnya. Sebab, informasi apa saja, dari segala bidang dan disiplin ilmu, bisa diakses dengan mudah.”111
Akan tetapi, visi tersebut tidak serta-merta terwujud. Sesudah diciptakan pada pertengahan 1970-an, masih diperlukan beberapa inovasi lagi supaya jaringan komputer bisa menjadi sarana yang sungguh-sungguh transformatif, menjadi Internet seperti yang kita kenal sekarang. Internet masih merupakan jaringan yang dipagari, umumnya hanya terbuka untuk para peneliti di institusi militer dan akademik. Jaringan mirip ARPANET yang dibuka untuk warga sipil baru tersedia awal 1980-an, sedangkan para pengguna biasa di rumah baru bisa ikut masuk ke jaringan pada 1990-an.
Selain itu, terdapat satu lagi rintangan pelik: orang-orang yang dapat menggunakan Internet hanyalah yang punya akses langsung ke komputer. Padahal, komputer masih benda besar dan mahal yang susah digunakan, serta tidak bisa dibeli begitu saja di toko elektronik. Era digital baru betul-betul transformatif sesudah komputer menjadi barang yang personal.

 
Ken Kesey (1935–2001) duduk di bus sambil memegang seruling.

Stewart Brand (1938–...).

Edisi pertama, musim gugur 1968.

*1 Pada 2010 anggaran Pemerintah Federal AS untuk riset telah merosot, nilainya hanya setengah dari anggaran total riset industri swasta.
*3 Pemerintah AS berkali-kali mengganti nama badan itu dengan mencoret atau membubuhkan huruf D (untuk Defense Department alias Departemen Pertahanan) di akronimnya. Badan yang diciptakan pada 1958 dinamai ARPA. Namanya diganti menjadi DARPA pada 1972, kemudian kembali lagi ke ARPA pada 1993, lalu menjadi DARPA lagi pada 1996.
*4 Transformator frekuensi tinggi yang bisa mengambil tegangan biasa, semisal tegangan 120 volt dari colokan listrik di Amerika Serikat, dan menaikkannya menjadi tegangan teramat tinggi, sering kali sambil memercikkan sambaran energi tinggi mirip lecutan petir yang keren.


Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02