The Innovators - Walter Isaacson - 04


Penemuan komputer tidak serta-merta mencetuskan revolusi karena komputer awalnya mengandalkan tabung vakum yang besar, repih, mahal sekaligus memakan banyak daya. Hanya perusahaan, universitas riset, dan pihak militer yang mampu mendanai pembuatan serta pemeliharaannya. Kelahiran era digital—era ketika alat elektronik menjadi tak terpisahkan dengan kehidupan kita sehari-hari—baru sungguh terjadi pada Selasa, 16 Desember 1947, di Murray Hill, New Jersey, tak lama selepas waktu makan siang.
Hari itu dua ilmuwan di Bell Labs berhasil merakit alat yang terbuat dari beberapa lembaran emas, sekeping bahan semikonduktor, dan klip kertas yang dibengkokkan. Bila diotak-atik sedemikian rupa, komponen tersebut dapat menguatkan arus listrik dan menyala-matikannya. Komponen itu, yang kemudian dinamai transistor, menjadi bahan baku penting bagi era digital, sepenting mesin uap dalam Revolusi Industri.
Berkat berbagai inovasi sesudahnya yang memungkinkan pemasangan jutaan transistor ke microchip mungil, kemampuan pemrosesan beribu-ribu ENIAC bisa disimpan di berbagai peranti. Dari moncong roket ulang-alik, komputer yang ada di pangkuan kita, kalkulator dan pemutar musik yang muat di saku, hingga gawai (gadget) segenggaman tangan yang bisa tukar-menukar informasi atau ragam hiburan ke simpul jaringan di belahan dunia mana saja.
Tiga kolega yang memiliki keseriusan dan totalitas menggebu, yang kepribadiannya saling melengkapi sekaligus berlawanan, akan tercatat dalam sejarah sebagai penemu transistor: pakar eksperimen terampil bernama Walter Brattain; ilmuwan teori kuantum, John Bardeen; dan yang paling bersemangat di antara ketiganya—hingga berujung tragis—ahli fisika keadaan padat, William Shockley.
Akan tetapi, ada satu lagi pemain dalam drama ini yang sama penting dengan orang-orang itu, yakni Bell Labs, tempat kerja ketiga pria tersebut. Transistor bisa tercipta berkat berkumpulnya orang-orang dengan bakat beragam, bukan karena lompatan imajinasi seorang genius belaka. Untuk menciptakan transistor, dibutuhkan tim beranggotakan teoretikus yang paham fenomena kuantum, ilmuwan teknik material yang lihai mengolah bermacam bahan menjadi silikon, pakar eksperimen yang terampil, ahli kimia industri, spesialis bidang manufaktur, dan tukang otak-atik yang banyak akal.

BELL LABS
Pada 1907 American Telephone and Telegraph Company menghadapi krisis. Paten milik pendiri perusahaan, Alexander Graham Bell, telah kedaluwarsa dan posisi dominannya sebagai penyedia layanan telepon tampak terancam. Dewan Direksi AT&T memanggil kembali presidennya yang sudah pensiun, Theodore Vail. Dia kemudian memutuskan untuk merevitalisasi perusahaan dengan menetapkan target ambisius: membangun sistem yang bisa menghubungkan telepon antara New York dan San Francisco.
Untuk menjawab tantangan tersebut, keahlian di bidang rekayasa mesti dipadukan dengan lompatan besar dalam bidang ilmu murni. Memanfaatkan tabung vakum dan teknologi anyar lain, AT&T membuat repeater dan penguat demi mencapai target tersebut, yang tercapai pada Januari 1915.
Panggilan telepon transkontinental bersejarah itu—selain dihadiri oleh Vail dan Presiden Woodrow Wilson—diikuti oleh Bell sendiri, yang mengulangi ucapannya 39 tahun sebelumnya, “Tuan Watson, tolong ke sini. Saya ingin bertemu Anda.” Kali ini mantan asistennya, Thomas Watson, yang berada di San Francisco, menjawab, “Baiklah, tetapi butuh waktu seminggu.”1
Proyek ini merupakan cikal bakal organisasi industrial baru yang belakangan dinamai Bell Labs. Laboratorium riset tersebut—yang mula-mula terletak di tepi barat Greenwich Village, Manhattan, dan menghadap ke Sungai Hudson—mempersatukan para teoretikus, ilmuwan teknik material, ahli metalurgi, insinyur, dan bahkan teknisi penyambung telepon AT&T. Di sanalah George Stibitz mengembangkan komputer yang menggunakan relay elektromagnetik dan Claude Shannon merumuskan teori informasi.

Sama seperti Xerox PARC dan lembaga riset perusahaan lainnya pada masa mendatang, Bell Labs menunjukkan bahwa inovasi berkesinambungan tercetus ketika orang-orang dengan bakat beragam dikumpulkan dalam satu wadah, terutama yang memungkinkan mereka sering-sering bersinggungan dan berinteraksi secara langsung. Begitulah sisi positifnya.
Sisi negatifnya, lembaga riset tersebut bagaimanapun anak dari perusahaan dengan birokrasi besar dan berbelit-belit; ketika organisasi industrial macam Bell Labs dan Xerox PARC tidak mempunyai pemimpin dan pembangkang yang penuh hasrat, inovasi hebat temuan mereka niscaya tidak terejawantahkan menjadi produk unggulan.
Kepala Departemen Tabung Vakum Bell Labs adalah orang Missouri yang meledak-ledak bernama Mervin Kelly. Dia kuliah metalurgi di Missouri School of Mines dan meraih gelar PhD Fisika di bawah bimbingan Robert Millikan di Universitas Chicago. Kelly merancang sistem pendingin air untuk membuat tabung vakum yang lebih andal, tetapi dia sadar bahwa metode amplifikasi atau switching menggunakan tabung vakum tidak efektif. Pada 1936 dia dipromosikan menjadi Direktur Riset di Bell Labs dan prioritas pertamanya ialah mencari alternatif untuk tabung vakum.
Kelly punya ide cemerlang terhadap Bell Labs. Organisasi ini awalnya hanya mewadahi riset di bidang rekayasa praktis serta fokus pada penelitian di bidang sains dan teori dasar, yang sampai saat itu menjadi domain eksklusif perguruan tinggi. Kelly pun mulai mencari doktor-doktor fisika muda paling cerdas dari sepenjuru Amerika Serikat. Misinya, menjadikan organisasi industrial sebagai tempat penggodokan inovasi reguler, menggantikan peran orang-orang genius eksentrik yang mendapat wangsit dari langit sewaktu mengurung diri di dalam garasi dan ruang bawah tanah.
“Wacana tentang apakah sebenarnya kunci penemuan itu—kegeniusan individu atau kolaborasi—telah menjadi bahan renungan di Bell Labs,” tulis Jon Gertner dalam The Idea Factory, buku kajian mengenai Bell Labs.2 Jawabannya ialah keduanya. “Butuh banyak orang dari banyak bidang sains, yang menghimpun aneka bakat mereka, untuk mengerjakan penelitian guna mengembangkan satu alat baru,” Shockley kelak menjelaskan.3 Dia benar.
Akan tetapi, di sisi lain, Shockley jarang bersikap rendah hati seperti itu. Lebih daripada siapa pun, Shockley meyakini arti penting individu genius, seperti dirinya sendiri. Bahkan, Kelly, yang menggadang-gadang pentingnya kolaborasi, menyadari kegeniusan individu juga perlu dipupuk. “Sekalipun kepemimpinan, organisasi, dan kerja sama tim memang dibutuhkan, individu tetap menjadi yang utama—yang berperan paling penting,” Kelly pernah berkata. “Dalam benak satu oranglah ide dan konsep-konsep kreatif dilahirkan.”4
Intinya, tidak ada kontradiksi antara memupuk kegeniusan individu dan mendorong kerja sama kolaboratif. Keduanya bisa seiring sejalan. Hal itu pula yang terjadi sepanjang era digital. Para genius kreatif (John Mauchly, William Shockley, Steve Jobs) melahirkan ide-ide inovatif. Para insinyur yang memiliki kemampuan praktis (Presper Eckert, Walter Brattain, Steve Wozniak) bermitra secara padu dengan mereka untuk mewujudkan konsep menjadi kenyataan.
Tim yang terdiri atas teknisi dan wirausahawan juga berkolaborasi untuk mengubah temuan menjadi produk praktis. Ketika ekosistem tersebut kekurangan satu komponen saja, seperti yang dialami oleh John Atanasoff di Universitas Iowa atau Charles Babbage dalam gudang di belakang rumahnya di London, konsep-konsep hebat kerap kali masuk tong sampah sejarah. Ketika tim hebat kehilangan pemimpin visioner, seperti yang terjadi di Universitas Pennsylvania selepas ditinggal Mauchly dan Eckert, Princeton sepeninggal von Neumann, atau Bell Labs setelah Shockley, inovasi pun perlahan-lahan layu.
Teoretikus dan insinyur di Bell Labs dipersatukan oleh kebutuhan, terutama dalam satu bidang yang kian lama kian penting saja, yaitu fisika keadaan padat, yang mempelajari aliran elektron di benda padat. Pada 1930-an para insinyur Bell Labs sibuk mengotak-atik sejumlah material seperti silikon—yang merupakan unsur kedua terbanyak di kerak bumi setelah oksigen dan salah satu unsur penyusun pasir—untuk menghantarkan listrik. Pada saat berbarengan di bangunan yang sama, para teoretikus Bell sedang pusing mencerna temuan-temuan mekanika kuantum nan mencengangkan.
Mekanika kuantum didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh fisikawan Denmark, Niels Bohr, dan lainnya mengenai bagian dalam atom. Pada 1913 Bohr membuat model struktur atom, yang elektronnya mengelilingi inti di tingkat-tingkat energi tertentu. Elektron bisa melakukan lompatan kuantum dari satu tingkat energi ke tingkat energi berikut, tetapi tidak ke antaranya. Sifat kimia dan fisika suatu unsur—salah satunya kemampuan menghantarkan listrik—bergantung pada jumlah elektron terluarnya.
Sebagian unsur, seperti tembaga, adalah konduktor listrik yang baik. Yang lain, seperti belerang, payah dalam menghantarkan listrik sehingga bagus sebagai isolator. Ada juga unsur yang bersifat di tengah-tengah, seperti silikon dan germanium, yang disebut semikonduktor. Semikonduktor bermanfaat karena mudah dimanipulasi supaya daya hantar listriknya lebih baik. Contohnya, jika kita mengotori silikon dengan arsen atau boron sedikit saja, elektronnya menjadi lebih bebas bergerak.
Kemajuan dalam teori mekanika kuantum tercapai tepat saat para ahli metalurgi di Bell Labs menemukan cara untuk menciptakan material baru menggunakan metode pemurnian mutakhir, trik kimia, dan resep untuk mengombinasikan mineral langka dengan mineral biasa.
Dalam rangka memecahkan persoalan sehari-hari, seperti filamen tabung vakum yang terlalu cepat terbakar atau diafragma speaker telepon yang menghasilkan suara mendengung, para ahli metalurgi mencampur lakur (logam campuran) baru dan mengembangkan metode untuk memanaskan atau mendinginkan campuran sampai fungsinya lebih baik. Dengan cara coba-coba, seperti juru masak di dapur, mereka menciptakan revolusi di bidang teknik material yang akan beriringan dengan revolusi yang terjadi di ranah teori mekanika kuantum.
Selagi bereksperimen dengan sampel silikon dan germanium, para insinyur kimia di Bell Labs menemukan bukti yang menyokong sangkaan para teoretikus.*1 Menjadi jelas bahwa para teoretikus, insinyur, dan ahli metalurgi bisa banyak belajar dari satu sama lain. Jadi, pada 1936 dibentuklah kelompok studi fisika keadaan padat di Bell Labs, yang beranggotakan para teoretikus dan insinyur.
Kelompok tersebut bertemu seminggu sekali pada sore hari untuk berbagi temuan, berbantah-bantahan ala akademisi, kemudian melanjutkan acara dengan diskusi informal kerap hingga larut malam. Berkumpul secara langsung lebih menguntungkan ketimbang membaca makalah satu sama lain saja. Sebab, interaksi yang intens bisa melecut ide ke tingkat yang lebih tinggi dan, sama seperti elektron, terkadang melontarkannya dari orbit sehingga memicu reaksi berantai.
Di antara semua anggota ada satu orang yang menonjol. William Shockley, teoretikus yang tiba di Bell Labs tepat saat kelompok studi dibentuk, membuat yang lain terkesan dan adakalanya ngeri berkat kecerdasan dan semangatnya.

WILLIAM SHOCKLEY
William Shockley tumbuh besar dengan kecintaan terhadap seni dan sains. Ayahnya kuliah teknik pertambangan di MIT, belajar musik secara formal di New York, dan mempelajari tujuh bahasa selagi keluyuran di Eropa dan Asia sebagai penjelajah dan spekulan tambang. Ibu Shockley meraih gelar ganda—di bidang matematika dan seni—dari Stanford dan tercatat sebagai salah seorang pendaki pertama yang sukses menaiki Gunung Whitney seorang diri. Ayah dan ibunya bertemu di Tonopah, desa pertambangan kecil di Nevada, tempat ayahnya sedang mengklaim laba investasinya dan sang ibu melakukan survei. Setelah menikah, keduanya pindah ke London, tempat putra mereka lahir pada 1910.
William anak tunggal pasangan tersebut. Orangtuanya justru bersyukur karena William sudah temperamental sejak bayi. Saking nyaring tangisan marah putranya, mereka berkali-kali kehilangan pengasuh anak dan apartemen. Dalam jurnalnya, sang ayah menggambarkan putranya “menjerit dengan suara sekeras-kerasnya dan menggoyang-goyangkan tubuh ke depan dan belakang” serta mencatat anak itu “sudah berkali-kali menggigit ibunya”.5 Kegigihannya luar biasa. Dalam situasi apa pun, keinginannya mesti dituruti.
Suami istri Shockley akhirnya mengalah. Mereka tidak lagi berusaha mendisiplinkannya dan, sampai William berusia 8 tahun, orangtuanya mendidik dia di rumah. Saat itu mereka sudah pindah ke Palo Alto, tempat orangtua ibunya tinggal.
Yakin putra mereka genius, orangtua William meminta evaluasi dari Lewis Terman*2, yang merancang tes IQ Stanford-Binet dan tengah merencanakan kajian jangka panjang mengenai anak-anak berbakat. Shockley belia meraih skor di atas 125, yang memang tinggi, tetapi tidak masuk kategori genius. Shockley kelak akan terobsesi dengan tes IQ dan menggunakannya untuk menilai pelamar kerja dan bahkan kolega, juga berperan dalam mengembangkan teori penuh hasutan tentang ras dan kecerdasan turunan yang meracuni tahun-tahun terakhir kehidupannya.6
Barangkali Shockley semestinya menyadari berdasarkan perjalanan hidupnya sendiri bahwa tes IQ bukanlah tolok ukur keberhasilan. Walaupun digolongkan nongenius, Shockley nyatanya cukup pintar sehingga boleh melompati SMP, bisa mendapat gelar akademik dari Caltech, dan meraih gelar doktor di bidang fisika keadaan padat dari MIT.
Shockley berotak encer, kreatif, dan ambisius. Kendati gemar memperagakan trik sulap dan mencandai orang lain, dia tidak pernah belajar bersikap santai atau bersahabat. Intensitas intelektual dan personalnya, yang sudah tampak sejak kanak-kanak, membuatnya sukar diajak bergaul, apalagi kala dia semakin sukses.
Ketika Shockley lulus dari MIT pada 1936, Mervin Kelly datang dari Bell Labs untuk mewawancarai dan langsung menawarinya pekerjaan. Kelly juga memberi Shockley satu misi: cari cara untuk mengganti tabung vakum dengan alat yang lebih stabil, solid, dan murah. Setelah tiga tahun, yakinlah Shockley solusinya ialah penggunaan benda padat seperti silikon, bukan filamen yang berpendar di dalam bohlam.
“Hari ini terbetik di benak saya bahwa penggunaan semikonduktor, bukan tabung vakum, sebagai penguat pada prinsipnya mungkin,” tulis Shockley dalam jurnal lab-nya pada 29 Desember 1939.7
Shockley memiliki kemampuan memvisualisasikan teori kuantum, termasuk menjelaskan gerakan elektron berdasarkan teori itu, sebagaimana koreografer dapat memvisualisasikan tarian. Para kolega mengatakan bahwa Shockley bisa melihat elektron saat memandangi bahan semikonduktor. Walau begitu, untuk mengejawantahkan intuisinya yang bak seniman menjadi temuan nyata, Shockley membutuhkan mitra yang piawai bereksperimen seperti halnya Mauchly membutuhkan Eckert.
Di Bell Labs, tempat Shockley bekerja, terdapat banyak orang piawai semacam itu. Yang paling mencolok adalah Walter Brattain, sosok periang sekaligus penggerutu serta gemar membuat macam-macam alat dari senyawa semikonduktor seperti tembaga oksida. Salah satu alat buatan Brattain adalah penyearah, yang mengubah arus bolak-balik menjadi arus searah berdasarkan prinsip bahwa listrik hanya mengalir searah di antarmuka antara tembaga dan tembaga oksida.
Brattain tumbuh besar di peternakan terpencil di wilayah timur Negara Bagian Washington. Semasa kanak-kanak, dia sering menggembalakan ternak. Dengan suara serak dan sikap apa adanya, Brattain berpembawaan layaknya koboi yang suka mengolok-olok diri sendiri. Dia mempunyai bakat sebagai tukang otak-atik berjari lincah, juga gandrung merancang percobaan.
“Dia bisa membuat macam-macam menggunakan lilin penyegel dan klip kertas,” kenang seorang insinyur yang pernah bekerja dengan Brattain di Bell Labs.8 Namun, Brattain, yang cerdik dan santai, kerap lebih suka mencari jalan pintas ketimbang harus banting tulang untuk melakukan percobaan berkali-kali.
Untuk membuat pengganti tabung vakum dari bahan padat, Shockley mengusulkan peletakan grid di lapisan tembaga oksida. Brattain menyikapi ide itu dengan skeptis. Dia tertawa dan mengatakan kepada Shockley bahwa dia pernah mencoba pendekatan itu, yang gagal menghasilkan bahan amplifier. Namun, Shockley terus memaksa.

“Kalau kau menjelaskan bagaimana persisnya kau ingin benda itu dibuat,” Brattain akhirnya berkata, “akan kita coba.”9 Namun, persis seperti yang diprediksi oleh Brattain, cara itu tidak berhasil.
Sebelum Shockley dan Brattain sempat menemukan penyebab kegagalan, pecahlah Perang Dunia II. Shockley pergi untuk menjadi Direktur Riset di kelompok penelitian antikapal selam Angkatan Laut dan di sana mengembangkan analisis kedalaman detonasi bom untuk memperbaiki akurasi serangan terhadap kapal selam Jerman. Dia kemudian bepergian ke Eropa dan Asia untuk membantu skuadron pesawat pengebom B-29 menggunakan radar.
Brattain juga meninggalkan Bell Labs, menggarap teknologi deteksi kapal selam untuk Angkatan Laut di Washington dengan fokus penelitian pada alat magnetik yang bisa diterbangkan.
TIM FISIKA KEADAAN PADAT
Selagi Shockley dan Brattain pergi, perang ternyata mengubah Bell Labs menjadi bagian dari segitiga pemerintah-universitas riset-industri swasta. Sebagaimana disampaikan oleh sejarawan Jon Gertner, “Pada tahun-tahun awal selepas Pearl Harbor, Bell Labs menerima hampir seribu proyek yang berlainan dari pihak militer—segalanya mulai perangkat radio untuk tank, sistem komunikasi bagi pilot yang mengenakan masker oksigen, hingga mesin pemecah sandi rahasia.”10 Jumlah stafnya pun berlipat dua, menjadi sembilan ribu orang.
Karena markas besar di Manhattan tidak memadai lagi, sebagian besar aktivitas Bell Labs dipindahkan ke lahan seluas 80,9 hektare di Murray Hill, New Jersey. Mervin Kelly dan rekan-rekan ingin rumah baru mereka punya suasana kampus akademik, tetapi tidak memisahkan disiplin berlainan ke gedung yang berbeda. Mereka tahu kreativitas bisa lahir dari perjumpaan yang kebetulan. “Semua bangunan terhubung satu sama lain sehingga mencegah keterpisahan geografis antardepartemen dan mempermudah kontak langsung serta tukar pendapat bebas,” tulis seorang eksekutif.11
Ada sejumlah koridor yang sangat panjang, lebih dari panjang dua lapangan football, dan didesain supaya orang-orang yang memiliki bakat dan bidang keahlian berbeda bisa berpapasan satu sama lain, strategi yang ditiru oleh Steve Jobs kala merancang markas besar baru Apple 70 tahun kemudian. Siapa pun yang sedang berjalan di Bell Labs mungkin saja dihujani beragam ide, menyerapnya seperti panel surya. Claude Shannon, teoretikus informasi yang eksentrik, terkadang mondar-mandir di koridor teraso merah dengan sepeda roda satu sambil bermain juggling dengan tiga bola dan mengangguk kepada rekan-rekannya.*3
Pada November 1941 Brattain menorehkan entri terakhir di jurnal #18.194 sebelum meninggalkan Bell Labs di Manhattan untuk mengikuti dinas perang. Hampir empat tahun kemudian dia membuka jurnal tersebut di lab barunya di Murray Hill dan menuliskan, “Perang sudah usai.” Kelly menugaskan Brattain dan Shockley ke tim riset yang “bertujuan merancang pendekatan terpadu secara teoretis dan eksperimental di bidang fisika keadaan padat”. Misi mereka sama seperti sebelum perang, yakni menciptakan bahan semikonduktor untuk pengganti tabung vakum.12
Ketika Kelly mengedarkan daftar anggota tim riset keadaan padat, Brattain memuji tentang tidak adanya pecundang di dalam kelompok tersebut. “Wah, wah, wah! Tak satu orang pun payah dalam kelompok ini,” Brattain ingat berkata begitu, tetapi kemudian khawatir dan menceletuk, “Mungkin akulah orang payah itu.” Belakangan, dia menyatakan, “Barangkali kamilah salah satu tim riset terhebat yang pernah dihimpun.”13
Shockley menjadi teoretikus utama. Namun, karena dia juga menjabat supervisor tim dan berkantor di lantai berbeda, mereka memutuskan merekrut seorang teoretikus lain. Mereka memilih pakar fisika kuantum dengan tutur kata lembut, John Bardeen. Dikenal genius sejak kanak-kanak—dia lompat tiga kelas di SD—Bardeen menulis disertasi di bawah bimbingan Eugene Wigner di Princeton dan saat dinas perang di Laboratorium Persenjataan Angkatan Laut sempat mendiskusikan desain torpedo dengan Einstein.
Bardeen salah seorang pakar terdepan mekanika kuantum terapan, mampu menjelaskan daya hantar listrik dalam material tertentu dengan teori kuantum. Selain itu, menurut para kolega, Bardeen “mudah bekerja sama dengan para pakar eksperimen ataupun teoretikus”.14 Mula-mula Bardeen tidak punya kantor sendiri, dia menumpang di lab Brattain. Ini langkah yang jitu, sang teoretikus dan penggila percobaan bisa saling melontarkan ide secara langsung dari hari ke hari; sekali lagi membuktikan bahwa interaksi merupakan pemicu kreativitas.
Lain dengan Brattain, yang berisik dan cerewet, Bardeen sangat pendiam sampai-sampai dijuluki “John si Pembisik”. Untuk memahami perkataannya, setiap orang harus mencondongkan badan dekat-dekat. Namun, mereka belajar dari pengalaman bahwa Bardeen layak didekati. Bardeen juga kontemplatif dan hati-hati, lain dengan Shockley yang—walaupun memang berotak encer—berpembawaan impulsif dan gemar melontarkan teori serta spekulasi secara serampangan.
Satu hal yang pasti, semakin sering mereka bertemu, semakin banyak ide yang mengalir. “Kolaborasi antara pakar eksperimen dengan teoretikus terjalin di seluruh tahap riset, mulai penggagasan eksperimen sampai analisis hasil,” kata Bardeen.15 Rapat dadakan, yang biasanya dipimpin oleh Shockley, berlangsung hampir tiap hari. “Jika sedang ingin, kami langsung berdiskusi saja,” kata Brattain. “Banyak di antara kami yang memperoleh ide selagi mendiskusikannya dalam kelompok, komentar satu orang mencetuskan ide di benak yang lain.”16
Rapat ini dijuluki “sesi papan tulis” atau “obrolan kapur” karena Shockley kerap berdiri untuk mengguratkan ide di papan tulis dengan kapur. Brattain yang banyak omong mondar-mandir di sisi belakang ruangan dan melontarkan keberatannya atas sebagian usul Shockley, terkadang bertaruh sedolar idenya takkan berhasil. Shockley tidak suka kalah.
“Saya baru tahu betapa jengkelnya dia ketika kalah taruhan suatu kali dan membayar saya sepuluh sen,” kenang Brattain.17 Mereka bukan cuma berinteraksi di tempat kerja, melainkan juga di luar. Mereka sering main golf bersama, minum-minum bir di kedai bernama Snuffy’s, dan bertanding bridge sambil mengajak serta pasangan masing-masing.

TRANSISTOR
Bersama tim baru di Bell Labs, Shockley membangkitkan kembali teori yang sudah dia jajaki lima tahun sebelumnya terkait bahan padat pengganti tabung vakum. Menurut perkiraan Shockley, jika medan listrik kuat ditempatkan tepat di samping bahan semikonduktor, medan tersebut akan menarik sejumlah elektron ke permukaan bahan sehingga menimbulkan arus listrik.
Jika benar demikian, semikonduktor bisa dimanfaatkan untuk memperkuat sinyal listrik. Input berupa arus listrik lemah kemudian bisa dikontrol (atau dinyala-matikan) oleh bahan tersebut sehingga menghasilkan keluaran berupa arus yang lebih kuat. Demikianlah, semikonduktor kemudian dapat digunakan sebagai penguat atau sakelar, sama seperti tabung vakum.
Masalahnya, ketika Shockley menguji “efek medan”—selembar pelat diberi tegangan listrik seribu volt dan diletakkan satu milimeter dari permukaan semikonduktor—teorinya ternyata tidak terbukti. “Tidak tampak perubahan arus yang dapat diamati,” tulis Shockley dalam jurnal labnya. “Sungguh misterius,” komentarnya kelak.
Ketika tahu penyebab satu teori tidak terbukti secara eksperimental, kita bisa merumuskan teori alternatif yang lebih sempurna. Maka, Shockley meminta Bardeen menjelaskan apa kira-kira penyebabnya. Mereka berdua menghabiskan berjam-jam untuk mendiskusikan “keadaan permukaan”, sifat elektronik, dan deskripsi mekanika kuantum untuk lapisan atom yang paling dekat dengan permukaan bahan. Setelah lima bulan, Bardeen akhirnya mendapat pencerahan. Dia menghampiri papan tulis di ruang kerjanya dengan Brattain dan mulai menulis.
Bardeen menyadari bahwa ketika semikonduktor diberi tegangan, elektron terperangkap di bagian permukaan dan tidak bisa bergerak bebas. Elektron-elektron ini membentuk “tameng” sehingga medan listrik, bahkan yang kuat dan hanya berjarak satu milimeter, tidak dapat menembus tameng tersebut. “Elektron-elektron tersebut terjebak di permukaan, tidak bisa bergerak,” catat Shockley. “Dampaknya, keadaan permukaan tersebut menamengi interior semikonduktor dari pengaruh pelat kontrol yang bermuatan positif.”18
Tim kini menetapkan misi baru: bagaimana caranya menerobos “tameng” di permukaan semikonduktor. “Untuk menindaklanjuti kondisi permukaan (sebagaimana yang dikemukakan oleh) Bardeen, fokus kami sekarang merancang eksperimen baru,” Shockley menjelaskan. Supaya konduktor bisa dimanfaatkan untuk mengatur, menyala-matikan, dan memperkuat arus, mereka pertama-tama harus mampu menerobos tameng.19
Kemajuan setahun berikutnya ternyata cukup lambat, tetapi pada November 1947 tercapailah serangkaian terobosan. Alhasil, bulan itu dijuluki Bulan Ajaib. Bardeen mendapat gagasan untuk mengaplikasikan “efek fotovoltaik”, yakni terjadinya tegangan listrik ketika dua bahan berlainan yang bersentuhan disinari. Bardeen memperkirakan proses itu mungkin bisa melepaskan sebagian elektron yang membentuk tameng di permukaan. Brattain, yang bekerja berdampingan dengan Bardeen, merancang percobaan cerdik untuk menguji cara-cara melakukan hal itu.
Setelah beberapa lama, keberuntungan tampak mulai mengakrabi mereka. Brattain melakukan sebagian eksperimen di dalam termos supaya bisa mengubah-ubah temperatur. Namun, pengukuran menjadi terganggu karena timbulnya kondensasi pada silikon. Cara terbaik untuk mencegah kondensasi ialah memasukkan semua alat dan bahan ke dalam vakum. Namun, pekerjaan tersebut kelewat merepotkan.
“Saya ini pada dasarnya fisikawan pemalas,” Brattain mengakui. “Jadi, saya celupkan saja seluruh sistem ke dalam cairan dielektrik.”20 Brattain mengisi termos dengan air—taktik sederhana untuk mencegah kondensasi. Pada 17 November dia dan Bardeen melakukan percobaan yang ternyata sukses besar.
Hari itu Senin. Sepanjang pekan tersebut, keduanya giat melontarkan ide teoretis dan eksperimental. Pada Jumat Bardeen mengemukakan alternatif supaya mereka tidak perlu mencelupkan aparatus ke dalam air. Mereka tinggal meneteskan air, atau gel, ke tempat ujung lancip logam menusuk silikon. “Sip, John!” timpal Brattain dengan antusias. “Mari kita coba.”
Kendalanya, ujung logam tidak boleh bersentuhan dengan tetesan air. Namun, Brattain yang banyak akal memecahkan persoalan itu dengan sedikit lilin penyegel. Brattain mengambil sebongkah silikon, memberinya setetes air, melapisi kawat dengan lilin agar tidak terkena air, dan menghunjamkan kawat itu ke dalam silikon. Percobaan tersebut berhasil. Silikon mampu memperkuat arus, sekalipun hanya sedikit. Dari alat “titik kontak” inilah transistor dilahirkan.
Keesokan paginya Bardeen mencatat hasil eksperimen itu dalam jurnal di kantor. “Percobaan-percobaan ini menunjukkan bahwa mungkin saja menyisipkan elektrode atau grid untuk mengontrol arus pada semikonduktor,” ia menyimpulkan.21 Bahkan, Bardeen masuk kantor pada Minggu, yang lazimnya dia khususkan untuk main golf. Mereka berdua juga memutuskan sudah waktunya menghubungi Shockley, yang berbulan-bulan sibuk menekuri persoalan lain. Dua minggu selanjutnya Shockley sering kali mampir dan menyumbangkan saran, tetapi dia lebih suka mempersilakan duo lihai tersebut meneruskan pekerjaan seperti biasa.
Sambil duduk berdampingan di bangku lab Brattain, Bardeen dengan kalem menyodorkan ide dan Brattain akan mencobanya penuh antusias. Terkadang Bardeen menulis di jurnal lab Brattain saat eksperimen berlangsung. Thanksgiving berlalu begitu saja selagi mereka mencoba macam-macam desain: germanium daripada silikon, pernis daripada lilin, kawat dari emas.
Teori Bardeen-lah yang lazimnya memandu eksperimen Brattain, tetapi terkadang proses itu dibalik: hasil tak terduga menghasilkan teori baru. Dalam salah satu percobaan germanium, arus sepertinya mengalir berlawanan arah dengan yang mereka perkirakan semula. Namun, faktor penguatan arus mencapai lebih dari tiga ratus, jauh lebih besar dibanding yang mereka raih dalam eksperimen-eksperimen terdahulu.
Layaknya fisikawan sejati, mereka kemudian memutar otak untuk menemukan penjelasan teoretis. Bardeen segera mencetuskan teori yang tepat. Dia menyadari bahwa voltase negatif menghalau elektron sehingga menambah “lubang elektron”, ini terjadi ketika tidak ada elektron di posisi yang sebenarnya bisa ditempati oleh elektron. Keberadaan lubang inilah yang menarik aliran elektron.
Masih ada satu masalah, metode baru ini tidak menguatkan frekuensi yang lebih tinggi, termasuk bunyi audible. Dengan kata lain, metode tersebut tidak bisa digunakan untuk telepon. Bardeen berteori bahwa tetesan air atau elektrolit memperlambat aliran elektron. Itu sebabnya, dia merancang beberapa desain lain. Salah satunya ialah dengan memperkecil jarak antara titik kawat yang menusuk germanium dan pelat emas yang menciptakan medan listrik.
Desain ini sukses sedikit memperkuat voltase dan dapat berfungsi untuk frekuensi yang lebih tinggi. Bardeen sekali lagi mengemukakan teori untuk menjelaskan hasil yang tak terduga, “Eksperimen ini menyiratkan bahwa lubang mengalir dari permukaan germanium ke emas.”22
Seperti duet penggubah lagu, Bardeen dan Brattain melanjutkan kolaborasi kreatif mereka. Keduanya menyadari cara terbaik untuk meningkatkan amplifikasi ialah membuat dua titik kontak yang berjarak sangat berdekatan di germanium. Bardeen mengalkulasikan jaraknya harus kurang dari 0,002 inci. Tantangan tersebut sukar, bahkan bagi Brattain. Namun, dia lantas mengajukan metode yang cerdik: mengelem lembaran emas ke secuil plasik yang mirip mata panah, kemudian menggunakan silet untuk membuat sayatan tipis pada lembaran di ujung mata plastik sehingga menciptakan dua titik kontak emas yang berdekatan.
“Cuma itu yang saya lakukan,” kenang Brattain. “Saya menyayat dengan hati-hati menggunakan silet sampai sirkuit terbuka, kemudian menempelkannya ke pegas dan menancapkannya ke germanium.”23
Ketika Brattain dan Bardeen mencoba kreasi itu pada Selasa siang, 16 Desember 1947, terjadilah sesuatu yang menakjubkan. Alat mereka berhasil. “Ternyata hasil otak-atik saya pas,” kenang Brattain, “alhasil saya mendapatkan amplifier dengan daya amplifikasi sepuluh pangkat seratus, sampai ke rentang audio.”24 Dalam perjalanan pulang malam itu, Brattain yang cerewet dan supel memberitahukan orang-orang yang berbagi mobil dengannya bahwa dia baru saja mengerjakan “eksperimen terpenting sepanjang hidupku”. Dia kemudian menyuruh mereka bersumpah agar tidak memberi tahu siapa-siapa.25
Sesuai pembawaannya, Bardeen tidak banyak bicara. Namun, sepulang ke rumah malam itu, Bardeen melakukan sesuatu yang tak biasa, yakni memberi tahu sang istri tentang kejadian di kantor. Dia hanya menyampaikan satu kalimat. Selagi sang istri mengupas wortel di depan bak cuci di dapur, Bardeen bergumam pelan, “Kami menemukan sesuatu yang penting hari ini.”26
Betul bahwa transistor merupakan salah satu temuan terpenting pada abad ke-20. Temuan ini buah karya kemitraan seorang teoretikus dan pakar eksperimen yang bekerja berdampingan, menjalin simbiosis mutualisme, melontarkan teori dan hasil bolak-balik tanpa kenal lelah.
Temuan itu juga lahir karena keduanya berada di lingkungan yang memfasilitasi perjumpaan kebetulan dengan para ahli yang mampu memanipulasi impuritas dalam germanium, atau pembentukan kelompok studi beranggotakan orang-orang yang memahami mekanika kuantum dan fisika keadaan padat, atau kesempatan untuk duduk-duduk di kantin dengan para insinyur yang mengetahui segala macam trik untuk mentransmisikan sinyal telepon lewat jarak jauh.
Shockley menggelar demonstrasi untuk para anggota tim semikonduktor yang lain dan segelintir supervisor Bell Labs pada Selasa berikutnya, pada 23 Desember. Para eksekutif mengenakan earphone dan berbicara bergiliran ke mikrofon agar bisa mendengarkan suara mereka sendiri yang diperkeras menggunakan alat semikonduktor sederhana. Momen ini seharusnya semenggugah kali pertama Alexander Graham Bell berkata-kata lewat pesawat telepon. Namun, kelak tak seorang pun ingat akan kata-kata apa saja yang diucapkan pada siang bersejarah itu.
Peristiwa tersebut hanya diabadikan dalam entri kecil di jurnal lab. “Pemasangan alat tersebut bisa memperkeras suara (di telepon),” tulis Brattain.27 Entri yang dituliskan Bardeen malah lebih lugas, “Penguatan voltase diperoleh menggunakan dua elektrode emas yang ditancapkan ke preparat germanium.”28
MISI PERSONAL SHOCKLEY
Shockley menandatangani entri jurnal Bardeen yang bersejarah sebagai saksi, tetapi tidak membuat catatan sendiri hari itu. Perasaannya jelas-jelas berkecamuk. Kebanggaan yang mestinya Shockley rasakan berkat kesuksesan timnya dibayang-bayangi oleh hasrat kompetitif yang menggebu-gebu. “Emosi saya memang campur aduk,” dia belakangan mengakui.
“Saya girang akan kesuksesan kelompok kami, tetapi saya kecewa karena luput menjadi salah seorang penemu. Saya frustrasi karena kerja keras pribadi yang sudah saya rintis lebih dari delapan tahun sebelumnya gagal menghasilkan kontribusi signifikan.”29 Batin Shockley ternyata digerogoti rasa kelam. Pertemanannya dengan Bardeen dan Brattain menjadi renggang. Dia justru mulai bekerja habis-habisan demi memperoleh apresiasi setimpal atas temuan baru dan demi menciptakan versi yang lebih bagus, seorang diri.
Tidak lama setelah Natal, Shockley naik kereta api ke Chicago untuk menghadiri dua konferensi. Namun, dia menghabiskan sebagian besar waktu di kamarnya di Hotel Bismarck untuk merevisi metode pembuatan alat baru tersebut. Pada malam Tahun Baru, sementara para tamu pesta menari-nari dalam balairung di lantai bawah, Shockley menulis catatan sepanjang tujuh halaman di kertas milimeter block. Ketika terbangun pada Tahun Baru 1948, Shockley menulis tiga belas halaman lagi. Catatan tersebut diposkan secara kilat kepada seorang kolega di Bell Labs, yang mengelem lembaran itu ke jurnal lab Shockley, kemudian dia minta ditandatangani oleh Bardeen sebagai saksi.
Saat itu Mervin Kelly telah menugasi salah seorang pengacara Bell Labs untuk secepat mungkin menyiapkan dokumen pendaftaran paten atas alat anyar. Bell Labs bukanlah Universitas Iowa, yang tak mempunyai staf untuk mengerjakan tugas semacam itu. Sepulang Shockley dari Chicago, dia mendapati Bardeen dan Brattain telah diajak berkonsultasi dalam pembuatan dokumen paten. Shockley dongkol karenanya.
Shockley lalu memanggil Bardeen dan Brattain sendiri-sendiri ke kantornya dan menjelaskan mengapa namanya harus dicantumkan sebagai penemu utama—atau mungkin malah penemu satu-satunya. “Menurutnya,” kenang Brattain, “dia bisa menulis paten, mulai dari efek medan. Pokoknya semua.” Bardeen diam saja, sesuai wataknya, sekalipun sempat menggerutu seusai pertemuan. Sebaliknya, Brattain bereaksi blakblakan seperti biasa. “Ya, ampun, Shockley,” bentaknya. “Tenang saja. Semua orang bakal kebagian pujian.”30
Shockley mendesak para pengacara Bell Labs agar mengajukan paten bercakupan sangat luas, berdasarkan gagasan awalnya bahwa efek tameng dapat memengaruhi lingkungan di dalam semikonduktor. Namun, berdasarkan riset, para pengacara menemukan pada 1930-an telah dianugerahkan paten kepada fisikawan tak terkenal bernama Julius Lilienfeld, yang mengusulkan (tetapi tidak pernah membuat ataupun memahami) perakitan alat yang memanfaatkan efek tameng.

Jadi, mereka memutuskan mengajukan paten bercakupan lebih sempit, yakni untuk metode titik kontak guna membuat alat semikonduktor. Nama yang dicantumkan dalam permohonan tersebut hanya Bardeen dan Brattain.
Para pengacara menanyai keduanya secara terpisah dan dua-duanya mengatakan bahwa temuan mereka merupakan hasil karya bersama, kontribusi masing-masing praktis setara. Shockley murka karena namanya tidak disertakan dalam pendaftaran paten terpenting itu. Para eksekutif Bell berusaha melunakkan hati Shockley dengan mengharuskan semua foto publisitas dan rilis pers menyertakan ketiga pria itu.
Selama beberapa minggu berikutnya, Shockley semakin gelisah sampai-sampai sulit untuk tidur.31 “Hasrat berpikir” dia—menurut istilah Shockley sendiri—diusik oleh “motivasi saya sendiri untuk memainkan peran personal yang lebih signifikan, dan bukan peran manajerial belaka, dalam mengembangkan sesuatu yang berpotensi penting.”32 Pada malam buta dia kerap mondar-mandir sambil memutar otak untuk mencari cara lebih bagus guna membuat alat tersebut.
Pada pagi 23 Januari 1948, sebulan setelah peragaan temuan Bardeen-Brattain, Shockley mendapat ilham saat terbangun. Permenungannya sejak melakukan perjalanan ke Chicago kini membuahkan ide konkret. Sambil duduk di balik meja dapur, dia mulai menulis gila-gilaan.
Shockley memikirkan cara membuat penguat semikonduktor yang lebih mantap ketimbang alat seadanya buatan Bardeen dan Brattain. Alih-alih menusukkan titik emas ke germanium, Shockley membayangkan pendekatan junction—alias sambungan—yang lebih sederhana dan menyerupai roti isi. Kita tinggal menyiapkan dua lapis germanium yang didoping impuritas supaya elektronnya berlebih, kemudian di antaranya kita sisipkan seiris tipis germanium yang berlubang-lubang, alias kekurangan elektron. Lapisan dengan elektron berlebih disebut germanium “tipe N”, singkatan dari negatif, sedangkan lapisan yang berlubang atau kekurangan elektron disebut “tipe P”, singkatan dari positif.
Masing-masing lapisan kemudian disambungkan ke kabel supaya tegangannya bisa diatur-atur. Lapis tengah akan berfungsi sebagai pembatas yang, bergantung pada tegangan yang diterimanya, mengatur aliran elektron antara lapis atas dan bawah. Shockley menulis, dengan memberikan tegangan positif kecil ke pembatas ini, “aliran elektron (antara lapis atas dan bawah) akan meningkat secara eksponensial”.

Semakin besar muatan di lapisan tipe P, semakin lapisan itu akan menarik elektron dari lapisan tipe N. Dengan kata lain, konstruksi semacam ini bisa menguatkan atau menghentikan arus yang mengalir di semikonduktor—dalam waktu hanya sepermiliar detik pula.
Shockley membuat catatan di jurnal labnya, tetapi merahasiakan ide ini selama hampir sebulan. “Hasrat kompetitif mendorong saya untuk merumuskan temuan penting mengenai transistor seorang diri,” dia belakangan mengakui.33 Dia baru memberi tahu para kolega pada pertengahan Februari ketika mereka menghadiri presentasi proyek terkait yang dikerjakan salah seorang ilmuwan Bell Labs.
Shockley ingat merasa “tercengang” ketika sang ilmuwan mempresentasikan temuan yang memberikan landasan teoretis bagi peranti junction dan tersadarlah dia bahwa salah seorang hadirin, kemungkinan besar Bardeen, bisa saja membuat lompatan logis berikutnya.
“Sejak saat itu,” tegas Shockley, “konsep mengenai penggunaan junction P-N, dan bukan titik kontak logam, merupakan langkah kecil belaka dan terciptanya transistor junction sudah niscaya.” Jadi, sebelum Bardeen atau yang lain sempat mengusulkan pembuatan alat semacam itu, Shockley sontak tampil ke depan untuk mengungkapkan desain yang dia gagas. “Saya tidak mau dikecualikan lagi,” tulisnya belakangan.34
Bardeen dan Brattain terperanjat. Kenyataan bahwa Shockley menutup-nutupi ide barunya—melanggar etos berbagi yang merupakan bagian dari kultur Bell—mengesalkan mereka. Namun, mereka mau tak mau terkesan akan indahnya pendekatan Shockley yang sederhana.
Setelah permohonan paten untuk kedua metode diajukan, para pembesar Bell Labs memutuskan sudah waktunya memublikasikan peranti anyar tersebut. Namun, pertama-tama mereka membutuhkan nama untuk alat itu. Orang-orang dalam Bell Labs menjuluki alat itu “triode semikonduktor” dan “amplifier kondisi permukaan”, tetapi nama tersebut bertele-tele. Temuan yang akan mengubah dunia—demikianlah yang mereka yakini dan memang begitu—layak memperoleh nama yang lebih mudah diingat.
Suatu hari seorang kolega bernama John Pierce mengeluyur ke kantor Brattain. Selain insinyur ulung, dia pintar merangkai kata dan menulis fiksi ilmiah dengan pseudonim J.J. Coupling. Di antara sekian banyak kalimatnya yang terkenal, dua di antaranya, “Alam membenci tabung vakum,” dan “Setelah tumbuh liar selama bertahun-tahun, ilmu komputer akhirnya mencapai masa kanak-kanak.”
Ketika Pierce masuk, Brattain menyatakan, “Engkaulah orang yang sedang aku cari-cari.” Dia bertanya mengenai nama dan, sekejap kemudian, Pierce mengajukan saran. Karena alat itu memiliki sifat transimpedansi dan harus dinamai mirip termistor dan varistor, Pierce mengusulkan transistor. Brattain sontak berseru, “Itu dia!” Penamaan tetap harus melalui proses formal pemungutan suara, tetapi mayoritas insinyur memilih nama transistor, yang unggul jauh dari lima opsi lain.35
Pada 30 Juni 1948 pers berkumpul di auditorium gedung lama Bell Labs di West Street, Manhattan. Acara itu menampilkan Shockley, Bardeen, dan Brattain sebagai satu kelompok, sedangkan Direktur Riset, Ralph Brown, yang mengenakan setelan jas kelam serta dasi kupu-kupu berwarna cerah, berperan sebagai moderator.
Bown menekankan bahwa inovasi adalah buah perpaduan antara kerja kolaboratif dan kecemerlangan individu. “Semakin jelas dewasa ini, riset ilmiah adalah kerja kelompok .... Yang kami tampilkan kepada Anda hari ini contoh bagus kerja sama tim, kontribusi individual yang brilian, dan pentingnya riset dasar dalam organisasi industrial.”36 Racikan itulah tepatnya yang merupakan formula inovasi pada era digital.
New York Times menyisipkan berita tersebut di halaman 46 sebagai artikel terakhir di kolom “Berita Radio”, setelah laporan mengenai siaran konser musik organ yang akan datang. Namun, Time menjadikan pengumuman transistor sebagai berita utama—berjudul “Sel Otak Kecil” (“Little Brain Cell”)—di seksi sains.
Bell Labs membuat peraturan yang mengharuskan Shockley ikut berpose dalam tiap foto publisitas yang menampilkan Bardeen dan Brattain. Yang paling terkenal foto mereka bertiga di lab Brattain. Tepat saat foto itu hendak diambil, Shockley duduk di kursi Brattain, seolah-olah itulah meja dan mikroskopnya, dan menjadi fokus foto tersebut.
Bertahun-tahun kemudian Bardeen menyebutkan bahwa Brattain masih menyimpan kekecewaan dan kejengkelan kepada Shockley. “Wah, Walter benci foto ini .... Itu peralatan dan eksperimen Walter, sedangkan Bill sama sekali tidak pernah turun tangan di sana.”37
RADIO TRANSISTOR
Bell Labs ibarat kawah candradimuka inovasi. Selain transistor, Bell Labs memelopori teknologi sirkuit komputer, teknologi laser, dan telepon seluler. Sayangnya, Bell Labs kurang mumpuni dalam menguangkan temuannya. Sebagai bagian dari perusahaan terbatas yang memiliki monopoli atas sebagian besar layanan telepon, tidak ada hasrat menggebu untuk menghasilkan produk anyar. Di samping itu, aturan hukum memang melarang Bell Labs dan AT&T memanfaatkan monopoli untuk memasuki pasar industri lain.
Dalam rangka menghalau kritikan publik dan gugatan antimonopoli, Bell Labs bermurah hati melisensikan paten-patennya pada perusahaan-perusahaan lain. Misalnya, Bell Labs menetapkan harga teramat murah—$25 ribu saja—untuk perusahaan mana pun yang ingin membuat transistor dan bahkan menyelenggarakan seminar untuk menjelaskan teknik manufakturnya.
Walaupun Bell Labs mempunyai kebijakan royal macam itu, nyatanya ada satu firma anyar yang kesulitan memperoleh lisensi, yaitu perusahaan eksplorasi minyak berbasis di Dallas yang baru saja mereorientasi bisnisnya dan mengubah nama menjadi Texas Instruments. Wakil Presiden Texas Instruments, Pat Haggerty, yang kelak akan memimpin perusahaan tersebut, sempat mengabdi di Biro Aeronautika Angkatan Laut AS dan meyakini alat elektronik akan mentransformasi seluruh aspek kehidupan. Ketika mendengar tentang transistor, Haggerty memutuskan bahwa Texas Instruments mesti mencari cara untuk memanfaatkan teknologi tersebut.
Lain dengan banyak perusahaan yang sudah mapan, Texas Instruments memiliki keberanian mengubah diri. Namun, orang-orang di Bell Labs, kenang Haggerty, “Kentara sekali merasa geli karena kami dengan nekat meyakini mampu memupuk kompetensi untuk bersaing di bidang itu.” Mula-mula, Bell menolak menjual lisensi kepada Texas Instruments. “Bisnis ini bukan untuk Anda,” kata Bell Labs kepada firma tersebut. “Menurut kami, Anda takkan bisa melakukannya.”38
Pada musim semi 1952 Haggerty akhirnya berhasil meyakinkan Bell Labs untuk menjual lisensi kepada Texas Instruments sehingga perusahaan tersebut boleh merakit transistor. Haggerty juga merekrut Gordon Teal, peneliti kimia yang semula bekerja di salah satu koridor panjang Bell Labs dekat tim semikonduktor.
Teal memiliki kepakaran dalam memanipulasi germanium. Namun, saat pindah ke Texas Instruments, dia lebih berminat pada silikon, unsur lebih berlimpah yang kinerjanya pada temperatur tinggi lebih baik ketimbang germanium. Pada Mei 1954 Teal berhasil membuat transistor silikon dengan junction N-P-N yang arsitekturnya didesain oleh Shockley.

Saat berbicara dalam konferensi bulan itu, menjelang akhir pembacaan makalah sepanjang 31 halaman yang meninabobokan pendengar, Teal mengejutkan hadirin dengan menyatakan, “Sekalipun para kolega saya memperkirakan prospek suram bagi transistor silikon, saya kebetulan membawa transistor semacam itu di saku saya.” Dia kemudian mencelupkan transistor germanium yang tersambung ke pemutar piringan hitam ke segelas minyak panas, dan ternyata alat itu mati.
Selanjutnya, dia melakukan hal yang sama terhadap silikon transistor. Namun, kali ini lagu “Summit Ridge Drive” yang dimainkan oleh Artie Shaw dalam piringan hitam tetap menggelegar nyaring. “Sebelum sesi itu usai,” kata Teal belakangan, “hadirin yang terpana berebut meminta salinan pidato, yang kebetulan saja kami bawa.”39
Inovasi berlangsung secara bertahap. Terkait transistor, tahap pertama adalah penemuan itu sendiri, yang dipimpin oleh Shockley, Bardeen, dan Brattain. Berikutnya, tahap produksi yang dipimpin oleh insinyur seperti Teal. Tahap terakhir, yang sama pentingnya, pelepasan ke pasar yang dipimpin oleh wirausahawan. Tahap terakhir ini sangat krusial terutama bagi produk baru yang belum memiliki pasar, seperti transistor. Bos Teal, Pat Haggerty, yang bernyali besar, merupakan contoh pelaksana andal tahap ketiga dalam inovasi.
Sama seperti Steve Jobs, Haggerty mampu menyihir orang-orang sedemikian rupa sehingga meyakini hal yang semula mereka anggap mustahil. Pada 1954 transistor dijual ke pihak militer seharga $16 dolar per unit. Namun, dalam rangka menembus pasar konsumen, Haggerty meminta para insinyur mencari cara supaya transistor bisa dijual dengan harga kurang dari $3 dolar. Mereka ternyata berhasil memenuhi permintaannya. Sebagaimana Jobs kelak, Haggerty pun mahir menggagas alat-alat yang didambakan—bahkan dibutuhkan oleh—para konsumen, tetapi belum ada (dan karena itu, para konsumen belum tahu bahwa mereka mendambakan alat-alat tersebut).
Agar transistor laris, Haggerty mengusulkan pembuatan radio saku kecil. Ketika dia berusaha meyakinkan RCA dan perusahaan pembuat radio meja lainnya agar mau menjadi mitra bisnis Texas Instruments dalam proyek tersebut, mereka menyoroti bahwa para konsumen tidak meminta radio saku (dan memang benar). Namun, Haggerty memahami arti penting merambah pasar baru daripada hanya mengejar yang lama.
Dia pun meyakinkan perusahaan kecil Indianapolis yang membuat booster antena TV agar bergabung dalam proyek pembuatan radio—yang kelak dinamai radio Regency TR-1. Haggerty meneken kesepakatan pada Juni 1954 dan, sesuai kebiasaannya yang sigap, bersikeras agar alat itu sudah dilempar ke pasar selambat-lambatnya pada November. Target itu pun ternyata tercapai.
Radio Regency, yang kira-kira seukuran kamus saku, menggunakan empat transistor dan dijual seharga 49 dolar 95 sen. Benda itu mula-mula dipasarkan sebagai—salah satunya—alat keamanan, seolah menanggapi kekhawatiran rakyat AS akan Rusia yang memiliki bom atom. “Andaikan musuh menyerang, Regency TR-1 akan menjadi salah satu harta Anda yang paling bernilai,” demikianlah yang diumumkan manual penggunaan pertama.
Akan tetapi, radio tersebut segera menjadi salah satu consumer product kegemaran remaja. Seperti i-Pod, radio itu tersedia dalam empat pilihan warna casing plastik: hitam, putih gading, merah delima, dan abu-abu. Dalam waktu setahun, telah terjual 100 ribu unit radio, menjadikannya salah satu produk anyar terpopuler sepanjang sejarah.40
Semua orang di Amerika mendadak tahu apa itu transistor. Direktur IBM, Thomas Watson Jr., membeli seratus radio Regency dan memberikannya kepada para eksekutif top perusahaan itu, menyuruh mereka mencari cara memanfaatkan transistor di komputer.41
Hal yang lebih fundamental lagi, radio transistor menjadi peranti pertama yang mengilustrasikan tren kunci pada era digital: peran teknologi dalam memberikan nilai personal bagi satu peranti. Radio bukan lagi sebuah alat yang harus dinikmati bersama-sama di ruang keluarga, melainkan peranti pribadi yang memungkinkan kita mendengarkan musik pilihan kita sendiri di mana pun dan kapan pun—termasuk jenis musik yang dilarang oleh orangtua kita.
Simbiosis antara radio transistor dan rock and roll juga perlu dicatat. Rekaman musik komersial Elvis Presley yang pertama, “That’s All Right”, dirilis berbarengan dengan dilepasnya radio Regency ke pasar. Musik baru bernuansa pemberontakan membuat tiap anak mendambakan radio. Karena telah tersedia radio yang bisa dibawa ke pantai atau ruang bawah tanah, jauh dari pendengaran dan jari orangtua yang mengontrol, musik tersebut bisa menjadi populer.
“Satu-satunya penyesalan saya terkait transistor adalah penggunaannya untuk rock and roll,” ratap salah seorang penemu transistor, Walter Brattain, kemungkinan besar setengah bercanda. Roger McGuinn, vokalis utama The Byrds, memperoleh radio transistor saat ulang tahunnya yang ketiga belas pada 1955. “Saya mendengar Elvis,” kenangnya. “Hidup saya sontak berubah.”42
Maka, tumbuhlah pergeseran persepsi mengenai teknologi elektronika, khususnya di kalangan anak muda. Teknologi elektronika bukan lagi monopoli korporasi besar dan militer. Teknologi ternyata bisa memberdayakan individu, membukakan ruang kebebasan pribadi, dan bahkan memfasilitasi ekspresi jiwa pemberontak.
MENGGEGERKAN DUNIA
Tim sukses, terutama yang anggotanya berkepribadian intens, kerap kali bubar. Butuh pemimpin istimewa—mampu mengilhami sekaligus mengayomi, punya semangat kompetitif, tetapi juga kolaboratif—untuk melestarikan tim semacam itu. Sayangnya Shockley tidak memiliki karakteristik tersebut. Seperti yang ditunjukkan ketika merancang transistor junction seorang diri, Shockley bahkan tidak sungkan-sungkan berkompetisi dan main rahasia-rahasiaan dengan rekannya sendiri.
Satu lagi prasyarat pemimpin hebat ialah kemampuannya menumbuhkan semangat kemitraan dan persaudaraan yang tidak hierarkis. Shockley pun payah dalam hal ini. Sifatnya autokrat, bahkan sering kali melibas inisiatif rekan dan anak buahnya. Brattain dan Bardeen sukses besar justru ketika Shockley memberikan segelintir masukan, tetapi tidak menyetir mereka. Sesudah kejadian itu, Shockley menjadi semakin seenaknya dan mengekang.
Saat main golf pada akhir pekan, Bardeen dan Brattain adakalanya berbagi keluhan tentang Shockley. Suatu saat Brattain memutuskan bahwa Mervin Kelly, Presiden Bell Labs, perlu diberi kisikan tentang tindak tanduk Shockley. “Apa kau mau meneleponnya atau biar aku saja?” tanyanya kepada Bardeen. Tugas itu lantas jatuh ke tangan Brattain yang lebih pintar bicara.
Brattain dan Kelly bertemu suatu siang dalam ruang kerja berpanel kayu di rumah Kelly, di kawasan Short Hills yang relatif dekat dari markas Bell Labs. Brattain memaparkan daftar keluhan mereka, menjabarkan sikap Shockley yang bertangan besi sebagai manajer dan kolega. Kelly menepis semua keluhan itu. “Jadi, tanpa memikirkan dampaknya, saya spontan mengatakan kepadanya bahwa John Bardeen dan saya mengetahui kejadian ketika Shockley menemukan transistor PNP,” kenang Brattain.
Dengan kata lain, dia melontarkan ancaman terselubung bahwa sebagian konsep dalam permohonan paten untuk transistor junction, yang mencantumkan nama Shockley sebagai penemu, sejatinya buah karya Brattain dan Bardeen. “Kelly menyadari bahwa baik Bardeen maupun saya, andaikata kami maju ke sidang gugatan paten, takkan berbohong mengenai apa yang kami ketahui. Oleh sebab itu, sikapnya langsung berubah. Sesudahnya, posisi saya di (Bell) Laboratories menjadi sedikit lebih memuaskan.”43 Bardeen dan Brattain tidak perlu lagi melapor kepada Shockley.
Tatanan baru ini rupanya tetap kurang memuaskan untuk Bardeen, yang berpaling dari semikonduktor dan mulai memfokuskan perhatian pada teori superkonduktivitas. Dia kemudian menerima pekerjaan dari Universitas Illinois. “Kesulitan yang saya rasakan berakar dari penemuan transistor,” tulisnya dalam surat pengunduran diri untuk Kelly. “Sebelum itu, atmosfer riset di sini sungguh luar biasa .... Sesudah penemuan itu, Shockley mula-mula menolak anggota lain dalam tim ikut serta mencari solusi. Singkat kata, dia memanfaatkan kelompok semata-mata untuk mengkaji ide-idenya sendiri.”44
Pengunduran diri Bardeen dan keluhan Brattain menyebabkan reputasi Shockley di Bell Labs kian tercoreng. Selain itu, kepribadian yang pemarah membuatnya tak kunjung menerima kenaikan jabatan. Shockley mengajukan keberatan kepada Kelly dan bahkan kepada Presiden AT&T, tetapi sia-sia saja. “Persetan,” katanya kepada seorang kolega. “Akan kudirikan bisnisku sendiri. Akan kuraup jutaan dolar dengan cara itu. Dan, omong-omong, aku akan mendirikan bisnisku di California.”
Ketika mendengar rencana Shockley, Kelly tidak berusaha membujuknya agar mengurungkan niat. Justru sebaliknya, “Saya katakan kepadanya, jika menurutnya dia bisa mendapatkan jutaan dolar, silakan saja!” Kelly bahkan menelepon Laurence Rockefeller untuk merekomendasikan agar dia membantu mendanai usaha Shockley.45
Selagi menghadapi situasi berkecamuk pada 1954, Shockley mengalami krisis paruh baya. Setelah mendampingi istrinya melawan kanker rahim, Shockley meninggalkan sang istri yang sedang menjalani pemulihan dan menggaet pacar baru, yang belakangan dia nikahi. Dia kemudian minta cuti dari Bell Labs. Tipikal krisis paruh baya, Shockley bahkan membeli mobil sport berupa Jaguar hijau seri XK120 berkursi dua.
Shockley melewatkan satu semester sebagai dosen tamu di Caltech dan menerima pekerjaan sampingan sebagai konsultan Kelompok Evaluasi Sistem Persenjataan Angkatan Darat di Washington. Namun, sebagian besar waktunya dihabiskan dengan bepergian keliling negeri untuk menjajaki usaha baru, menyambangi perusahaan-perusahaan teknologi, dan menjumpai wirausahawan sukses seperti William Hewlett dan Edwin Land.
“Akan kucoba mengumpulkan modal untuk mendirikan usahaku sendiri,” tulisnya dalam surat untuk sang pacar. “Bagaimanapun, jelas aku ini lebih pintar, lebih energetik, dan lebih paham orang daripada kebanyakan orang lain.” Dalam jurnalnya pada 1954, tampak Shockley tengah berjuang mengartikulasikan misi pribadi. “Kurang apresiasi dari bos, artinya apa?” dia sempat menulis begitu.
Layaknya biografi orang terkenal, tema “mengikuti jejak ayah” pun muncul dalam perjalanan hidup Shockley. Terkait rencananya untuk mendirikan perusahaan yang akan semakin memopulerkan penggunaan transistor, Shockley menulis, “Ingin menggegerkan dunia supaya Ayah bangga.”46
Menggegerkan dunia. Walaupun nantinya tetap saja tidak sukses dalam bisnis, Shockley ternyata mampu mewujudkan cita-cita itu. Perusahaan yang akan dia dirikan kelak mentransformasi sebidang lembah, yang semula dikenal karena kebun-kebun aprikotnya, menjadi kawasan tenar tempat silikon bisa diubah menjadi emas.

SHOCKLEY SEMICONDUCTOR
Dalam acara gala tahunan Kamar Dagang Los Angeles pada Februari 1995, dua pionir elektronika diberi penghargaan: Lee de Forest, yang menciptakan tabung vakum, dan Shockley, yang menciptakan penggantinya. Shockley duduk bersama industrialis terkemuka, Arnold Beckman, yang menjabat Wakil Ketua Kamar Dagang.
Sama seperti Shockley, Beckman pernah bekerja di Bell Labs dan di sana dia mengembangkan teknik pembuatan tabung vakum. Sebagai dosen di Caltech, Beckman menciptakan beragam alat ukur, salah satunya adalah alat pengukur keasaman lemon. Dia menggunakan temuan tersebut sebagai fondasi untuk membuat perusahaan manufaktur besar.
Agustus itu Shockley mengundang Beckman untuk duduk di dewan direksi perusahaan transistor yang hendak dia dirikan. “Saya tanyakan kepada dia, siapa lagi yang akan menjadi anggota dewan direksi,” kenang Beckman, “dan ternyata, dia menginginkan dewan direksi yang seluruh anggotanya bergerak di bisnis instrumen, alias kompetitornya sendiri.”
Beckman menyadari “betapa naifnya” Shockley. Jadi, demi membujuk pria itu agar bertindak lebih bijak, Beckman mengundangnya untuk melewatkan waktu sepekan di Newport Beach, tempat Beckman melabuhkan perahu layarnya.47
Shockley berencana membuat transistor menggunakan difusi gas untuk mendoping silikon dengan impuritas. Dengan menyesuaikan waktu, tekanan, dan suhu, dia bisa mengontrol proses itu secara saksama sehingga menciptakan metode produksi massal untuk beraneka ragam transistor. Terkesan akan ide tersebut, Beckman lantas meyakinkan Shockley untuk mengurungkan niat mendirikan perusahaan sendiri dan memimpin divisi baru saja di Beckman Instruments, yang akan Beckman danai.
Beckman ingin industri itu berlokasi di Los Angeles, sama seperti kebanyakan divisi perusahaannya. Namun, Shockley bersikeras mendirikan usaha di Palo Alto, tempatnya dibesarkan, agar bisa tinggal dekat dengan ibu yang sudah sepuh. Shockley dan ibunya memanjakan satu sama lain, yang menurut orang lain agak aneh, tetapi keinginan Shockley untuk berdekatan dengan sang ibu ternyata berdampak historis—berperan dalam membentuk Silicon Valley menjadi seperti sekarang.
Palo Alto masih kota kecil yang dikelilingi perkebunan, sama seperti pada masa kanak-kanak Shockley. Namun, pada 1950-an populasinya telah berlipat dua, menjadi 52 ribu jiwa, dan punya dua belas sekolah dasar baru. Migrasi penduduk sebagian disebabkan oleh ledakan di bidang industri pertahanan, efek dari Perang Dingin. Tabung berisi film yang dijatuhkan dari pesawat mata-mata U-2 Amerika dikirimkan ke Ames Research Center milik NASA di Kota Sunnyvale, tidak jauh dari sana.
Perusahaan-perusahaan kontraktor pertahanan berdiri di area sekeliling Palo Alto, antara lain Divisi Misil dan Antariksa Lockheed, yang membuat rudal balistik kapal selam, serta Westinghouse, yang memproduksi tabung dan transformator untuk sistem rudal. Kompleks perumahan pun bermunculan untuk menampung para insinyur muda dan dosen junior Stanford. “Di sekeliling kami banyak perusahaan (kontraktor) militer yang bergerak di bidang teknologi mutakhir,” kenang Steve Jobs, yang lahir pada 1955 dan tumbuh besar di area itu. “Suasananya serbamisterius dan serbacanggih. Asyik sekali tinggal di sana.”48
Di samping perusahaan kontraktor pertahanan, menjamur pula perusahaan yang membuat alat ukur listrik dan peranti teknologi lain. Sektor tersebut telah menancapkan kuku di sana sejak 1938, ketika Dave Packard sang wirausahawan elektronika dan istri barunya pindah ke suatu rumah di Palo Alto, yang dilengkapi gudang tempat kawannya, Bill Hewlett, mendekam tidak lama berselang.
Rumah itu juga bergarasi—ruangan bermanfaat yang menjadi ikonis di dalam sejarah Silicon Valley—tempat Hewlett dan Packard mengotak-atik bermacam barang sampai menghasilkan produk pertama mereka, yaitu osilator audio. Pada 1950-an Hewlett-Packard termasuk pemain terdepan di bidang teknologi dan teladan bagi usaha-usaha rintisan lain di kawasan tersebut.49
Untungnya terdapat tempat untuk wirausahawan yang garasinya sudah kesempitan. Pada 1953 Fred Terman, yang dibimbing oleh Vannevar Bush dalam studi doktoral di MIT dan kemudian menjadi Dekan Fakultas Teknik di Universitas Stanford, menyediakan tujuh ratus lahan kosong milik Stanford untuk kompleks perindustrian—yang dinamai Stanford Industrial Park. Di sana perusahaan teknologi dapat menyewa tanah dengan biaya murah dan membangun kantor baru. Pembukaan kompleks itu berperan dalam mengubah kawasan Palo Alto dan sekitarnya.
Hewlett dan Packard sempat menjadi mahasiswa Terman dan, ketika mereka mendirikan perusahaan, dia membujuk keduanya agar menetap di Palo Alto daripada pindah ke timur seperti kebanyakan alumnus top Stanford. Duo tersebut menjadi salah satu penyewa pertama di kawasan industri Stanford.
Sepanjang 1950-an Terman, yang kemudian menjadi Rektor Stanford, mengembangkan kawasan industri itu dengan cara mendorong para penghuninya agar menjalin simbiosis mutualisme dengan Stanford; para karyawan dan petinggi perusahaan boleh kuliah atau mengajar paruh waktu di universitas itu, sedangkan para dosen dipersilakan berperan sebagai penasihat untuk usaha-usaha baru. Sampai saat ini kompleks milik Stanford telah mewadahi pertumbuhan ratusan perusahaan, dari Varian sampai Facebook.
Begitu mengetahui Shockley bermaksud membuka usaha di Palo Alto, Terman mengirimkan surat pinangan yang menjabarkan keuntungan apa saja yang akan diperoleh apabila mendirikan kantornya di dekat Stanford. “Saya meyakini lokasi (di Palo Alto) akan menguntungkan (perusahaan Shockley sekaligus Universitas Stanford),” Terman menyimpulkan. Shockley sepakat. Selagi markas besarnya di Palo Alto dibangun, Shockley Semiconductor Laboratory, divisi dari Beckman Instruments, membuka kantor sementara di Quonset, di gudang yang dahulu menyimpan aprikot. Silikon telah datang ke lembah itu.

ROBERT NOYCE DAN GORDON MOORE
Shockley berusaha merekrut sejumlah peneliti dari Bell Labs, tetapi mereka sudah terlampau mengenal wataknya. Itu sebabnya, dia menyusun daftar insinyur semikonduktor terbaik dari sepenjuru negeri dan langsung menelepon mereka tanpa ba-bi-bu. Yang paling terkemuka—dan ternyata pilihan tepat—adalah Robert Noyce, pemuda Iowa yang karismatik, berprestasi, dan memiliki gelar doktor dari MIT.
Saat itu Noyce, yang berusia 28 tahun, telah menjadi Manajer Riset Philco di Philadelphia. Pada Januari 1956 Noyce mengangkat telepon dan mendengar kata-kata, “Ini Shockley.” Noyce seketika tahu siapa yang menelepon. “Kesannya seperti mengangkat telepon dari Tuhan,” Noyce menyatakan.50 Dia belakangan berkelakar, “Ketika sedang mencari orang untuk Shockley Labs, dia bersiul dan datanglah saya.”51
Noyce—anak ketiga dari empat kakak-adik, semuanya laki-laki—adalah putra seorang pendeta Kongregasionalis. Dia tinggal berpindah-pindah semasa kanak-kanak, dari satu kota pertanian ke kota pertanian lainnya di Iowa—Burlington, Atlantic, Decorah, Webster City—sesuai dengan penugasan ayahnya. Kedua kakek Noyce juga pendeta Gereja Kongregasionalis, gerakan Protestan Nonkonformis yang merupakan produk Reformasi Puritan. Sekalipun tidak mewarisi iman keagamaan ayah dan kakeknya, Noyce ketularan rasa antipati denominasi tersebut terhadap hierarki, otoritas terpusat, dan kepemimpinan otokratis.52
Sewaktu Noyce berumur 12 tahun, keluarganya menetap di Grinnell (yang berpopulasi 5.200 saat itu), kira-kira delapan puluh kilometer di timur ibu kota Iowa, Des Moines, tempat ayahnya memperoleh pekerjaan administratif di Majelis Gereja. Tempat terpenting kota itu adalah Grinnell College, yang didirikan pada 1846 oleh sekelompok penganut Kristen Kongregasionalis dari New England. Noyce, yang senyumnya menyihir, bertubuh kencang berotot, dan berpostur tegap, punya reputasi sebagai anak pintar, atlet, dan pemuda yang ditaksir oleh banyak gadis saat SMA.
“Senyum simpul, tindak tanduk sopan, keluarga terhormat, rambut ikal yang tersibak dari kening, pembawaan jail—sungguh kombinasi yang memikat,” tulis penulis biografinya, Leslie Berlin. Kata pacar Noyce sewaktu SMA, “Dia mungkin pria paling gagah yang pernah saya jumpai.”53
Bertahun-tahun kemudian wartawan sekaligus sastrawan, Tom Wolfe, menulis profil Noyce di majalah Esquire, memujinya setinggi langit.
Bob memiliki gaya yang khas dalam mendengarkan dan memandang. Dia menundukkan kepala sedikit dan melirikkan mata dengan tatapan yang menyilaukannya bukan main. Selagi memandang kita, dia seolah tidak pernah berkedip dan tidak pernah menelan ludah. Dia menyerap semua yang kita katakan dan kemudian—dengan suara bariton lembut dan sering kali sambil menyunggingkan senyum yang memamerkan deretan gigi sempurna—dia menyampaikan tanggapan dengan sangat kalem.
Tatapannya, suaranya, dan senyumnya setara dengan pesona film yang dimainkan oleh alumnus Grinnell College paling termasyhur, Gary Cooper. Berkat wajah berkarakter, perawakan atletis, dan pembawaan mirip Gary Cooper, Bob Noyce seolah mempunyai daya magis. Daya magis itu membuat Noyce terkesan tahu persis apa yang dia lakukan dan, yang lebih penting, menyebabkan kita ingin mengaguminya. Intinya, kita seakan tersihir saat melihat dia.54
Semasa kanak-kanak, Noyce menuai untung dari situasi yang lazim dijumpai masa itu. “Ayah saya punya semacam bengkel di ruang bawah tanah.” Noyce belia gemar merakit barang, termasuk radio tabung vakum, papan seluncur berbaling-baling, dan lampu sorot untuk menerangi jalan sewaktu dia mengantar koran pagi-pagi. Yang paling terkenal adalah ciptaan berupa hang glider, yang melaju dengan ancang-ancang dari belakang mobil berkecepatan tinggi atau melompat dari atap lumbung.
“Saya tumbuh besar di kota kecil Amerika sehingga saya harus mandiri. Jika ada yang rusak, kami mesti memperbaikinya sendiri.”55


Robert Noyce (1927–1990) di Fairchild pada 1960.

Gordon Moore (1929–...) di Intel pada 1970.

Gordon Moore (sudut kiri), Robert Noyce (tengah depan), dan anggota “delapan pengkhianat” lainnya yang pada 1957 meninggalkan Shockley untuk mendirikan Fairchild Semiconductor.


Sama seperti saudara-saudara lelakinya, Noyce bintang pelajar. Dia memotongkan rumput halaman rumah Grant Gale, dosen favorit yang mengajar fisika di Grinnell College. Dengan bantuan sang ibu, yang mengenal suami istri Gale karena segereja dengan mereka, Noyce mendapat izin untuk mengambil mata kuliah Gale pada tahun terakhirnya di SMA. Gale kemudian menjadi mentor intelektual Noyce dan peran ini berlanjut tahun berikutnya ketika Noyce mulai kuliah di Grinnell.
Di sana dia mengambil gelar ganda di bidang matematika dan fisika, lalu dengan luwesnya meraih prestasi dalam semua yang dia kerjakan, baik di ranah akademik maupun ekstrakurikuler. Dia bersusah payah menurunkan tiap rumus dari dasar sekali dalam mata kuliah Fisika, menjadi juara selam se-Midwest dari tim renang, bermain obo dalam band, berperan sebagai tokoh utama dalam drama radio, dan membantu dosen matematika mengajar mata kuliah Kalkulus Bilangan Kompleks. Hebatnya, meski memiliki segudang prestasi, banyak orang tetap menyukai Noyce daripada iri kepadanya.
Keisengan Noyce terkadang membuatnya terlibat kesulitan. Ketika asramanya memutuskan mengadakan pesta musim semi saat dia di tingkat tiga, Noyce dan seorang temannya secara sukarela mencarikan babi untuk dipanggang. Setelah minum-minum, mereka menyelinap ke peternakan terdekat, memadukan kekuatan dan ketangkasan, lalu menculik seekor anak babi seberat sebelas kilogram. Setelah menyembelih si babi yang menguik dengan pisau di kamar mandi asrama, mereka pun memanggang hewan itu.
Keesokan paginya mereka merasa pusing sekaligus bersalah. Noyce beserta temannya mendatangi si peternak dan mengaku, menawarkan untuk membayar babi yang sudah mereka ambil. Andai ini cerita dongeng, Noyce barangkali akan memperoleh imbalan karena sudah bersikap jujur.
Akan tetapi, di kawasan peternakan Iowa yang mesti bergelut demi mempertahankan eksistensi usahanya, pencurian yang Noyce lakukan sama sekali tidak lucu ataupun termaafkan. Pemilik peternakan itu wali kota yang tak punya selera humor, dan dia mengancam akan menuntut. Akhirnya, Profesor Gale membantu menengahi kesepakatan: Noyce harus membayar babi dan diskors satu semester, tetapi tidak dikeluarkan. Noyce menyikapi hukuman tersebut dengan santai.56
Ketika Noyce kembali kuliah pada Februari 1949, Gale menyumbangkan jasa yang mungkin malah lebih besar. Sang profesor adalah teman kuliah John Bardeen dan, ketika membaca tentang transistor yang Bardeen buat di Bell Labs, Gale mengirim surat dan meminta sampel. Dia juga mengontak Presiden Bell Labs, yang alumnus Grinnell dan dua anaknya sedang kuliah di sana. Sampailah setumpuk monograf teknis, disertai satu transistor.
“Grant Gale memperoleh salah satu transistor titik kontak pertama,” kenang Noyce. “Kejadiannya sewaktu saya tingkat tiga. Saya rasa itulah salah satu hal yang memengaruhi saya sehingga terlibat di bidang transistor.” Dalam wawancara yang lebih belakangan, Noyce menjabarkan antusiasmenya secara lebih menggebu-gebu. “Saya merasa bagai ditampar. Konsep itu menakjubkan sekali. Hebat bahwa penguatan bisa didapat tanpa menggunakan tabung vakum. Teknologi transistor tergolong ide yang bisa mengubah pola pikir kita 180 derajat.”57
Saat lulus, Noyce memperoleh penghargaan tertinggi bagi orang sesupel dan sememesona dirinya, yang dianugerahkan berdasarkan hasil pemungutan suara rekan-rekan seangkatan: Brown Derby Prize, untuk “mahasiswa senior yang meraih nilai terbaik dengan usaha paling sedikit”. Namun, setiba di MIT untuk mengambil gelar doktor, Noyce tersadar bahwa dia harus lebih rajin. Pemahamannya akan fisika teori dianggap kurang sehingga dia harus mengambil mata kuliah pengantar dalam topik itu.
Pada tahun kedua Noyce telah berhasil menyesuaikan diri dan malah memenangi beasiswa. Topik disertasinya adalah manifestasi efek fotoelektrik pada keadaan permukaan isolator. Sekalipun metode penelitian dan analisisnya tidak orisinal-orisinal amat, disertasinya memperkenalkan Noyce pada riset Shockley di bidang tersebut.
Itu sebabnya, ketika memperoleh panggilan dari Shockley, tentu saja Noyce menerima dengan antusias. Namun, ada satu rintangan yang mesti dia lewati. Shockley, yang gagal menaklukkan tes IQ semasa kanak-kanak dan mulai menunjukkan paranoia mencekam yang kelak akan menodai kariernya, bersikeras agar semua calon anak buahnya menjalani serangkaian ujian psikologi dan kecerdasan.
Jadi, Noyce mengikuti tes bercak tinta, mengemukakan pendapat tentang gambar-gambar aneh, dan mengisi kuisioner bakat seharian di firma psikologi di Manhattan. Dia dinilai sebagai seorang introver dan kurang cocok menjadi manajer, penilaian yang mengungkapkan keterbatasan tes semacam itu, bukannya karakter Noyce.58
Satu lagi orang hebat yang dipekerjakan oleh Shockley—dan yang menurut tes psikologi juga tidak cocok menjadi manajer—adalah kimiawan yang lembut dalam bertutur. Gordon Moore pun ditelepon oleh Shockley secara sekonyong-konyong. Shockley dengan saksama menghimpun tim beranggotakan ilmuwan dan insinyur yang bakatnya beragam supaya kondusif bagi terciptanya inovasi.
“Dia tahu ahli kimia berguna di Bell Labs. Jadi, menurutnya, dibutuhkan kimiawan juga dalam usaha barunya. Dia mendapatkan nama saya dan kemudian menelepon saya,” kata Moore. “Untungnya saya mengenali siapa dirinya. Sewaktu saya mengangkat telepon, dia mengatakan, ‘Halo, ini Shockley.’”59
Berkat kerendahan hati dan keramahan yang menyembunyikan pikiran tajamnya, Gordon Moore menjadi salah satu tokoh paling dihormati dan dicintai di Silicon Valley. Dia tumbuh besar di dekat Palo Alto, tepatnya di Redwood City, tempat ayahnya menjabat deputi sheriff. Ketika umurnya 11 tahun, anak tetangga sebelah memperoleh seperangkat alat lab.
“Pada masa itu kita bisa mencoba banyak hal dengan perangkat lab semacam itu,” kenang Moore, sembari menyesali aturan pemerintah dan kekhawatiran orang tua yang menyebabkan mainan macam itu menjadi kian membosankan dewasa ini, serta mungkin menyebabkan sejumlah calon ilmuwan masa depan luput terjaring.
Berkat sedikit nitrogliserin yang diproduksi dengan perangkat lab itu, yang jelas, Moore berhasil membuat dinamit. “Beberapa ons dinamit bisa digunakan untuk membuat petasan yang fantastis,” kenang Moore riang dalam sebuah wawancara sambil menggerak-gerakkan kesepuluh jarinya untuk menunjukkan bahwa dia selamat sekalipun pernah gegabah semasa kanak-kanak.60 Moore menyatakan keasyikan bermain dengan perangkat lab membukakan jalan baginya untuk meraih gelar akademik di bidang kimia dari Berkeley dan gelar doktor dari Caltech.
Sejak lahir sampai menamatkan studi doktoral, Moore tidak pernah merambah ke timur Pasadena. Dia orang California tulen yang berwatak supel dan periang. Sesudah memperoleh PhD, dia sempat bekerja sebentar di laboratorium fisika Angkatan Laut di Maryland. Namun, Moore dan istri tercintanya, Betty, yang juga asli California utara, gelisah terus karena ingin pulang. Alhasil, dia reseptif sekali ketika mendapat telepon dari Shockley.
Ketika datang untuk wawancara, Moore berusia 27 tahun, setahun lebih muda daripada Noyce, dan sudah mulai botak seperti profesor. Shockley menghujaninya dengan pertanyaan dan teka-teki sambil memegang stopwatch untuk menghitung berapa lama dia menjawab. Saking bagusnya kinerja Moore, Shockley lantas mengajaknya makan malam di Rickeys Hyatt House, salah satu tempat nongkrong terkenal di daerah itu, dan memamerkan trik sulap membengkokkan sendok tanpa kekuatan otot.61
Selusin insinyur yang direkrut oleh Shockley, hampir semuanya berumur di bawah 30 tahun, menganggapnya agak aneh, tetapi juga brilian. “Dia datang begitu saja ke lab saya di MIT suatu hari. Dalam pertemuan itu, saya serta-merta berpikir, ya Tuhan, saya tidak pernah bertemu siapa pun yang sebrilian ini,” kenang fisikawan Jay Last. “Saya mengubah seluruh rencana karier saya dan mengatakan, saya ingin ke California dan bekerja dengan pria ini.” Di antara orang-orang yang Shockley rekrut, dua di antaranya adalah Jean Hoerni, fisikawan kelahiran Swiss, dan Eugene Kleiner, yang belakangan menjadi pemodal ventura aktif.
Pada April 1956 jumlah karyawan baru sudah cukup banyak sehingga pantas untuk menggelar pesta selamat datang. Noyce menyetir dari Philadelphia, bergegas supaya tiba tepat waktu. Dia sampai pada pukul 22.00, selagi Shockley sedang menari tango sendirian sambil menggigit setangkai mawar.
Salah seorang insinyur memaparkan kedatangan Noyce kepada penulis biografinya, Berlin, “Dia belum bercukur, kelihatan seperti belum ganti baju selama seminggu—dan dia kehausan. Ada semangkuk besar martini di meja. Noyce mengambil mangkuk itu dan langsung minum dari sana. Dia kemudian pingsan. Saya pun membatin, ‘Wah, sepertinya bakalan asyik.’”62

SHOCKLEY MENGGILA
Sebagian pemimpin tetap bisa mengilhami anak buah sekalipun bersikap seenaknya dan banyak menuntut. Pemimpin macam ini mempunyai kenekatan yang malah terkesan karismatik. Contohnya, Steve Jobs. Manifesto pribadinya, yang dibahasakan dalam iklan TV, berbunyi, “Bersulang untuk mereka yang gila. Lain. Tukang berontak. Biang onar. Aneh sendiri.” Pendiri Amazon, Jeff Bezos, juga memiliki kemampuan serupa untuk menginspirasi orang lain.
Para pemimpin hebat mampu memengaruhi orang-orang sehingga bersedia mengikuti mereka, termasuk untuk mencapai tujuan yang semula terkesan mustahil, dengan cara berbagi motivasi dan misi pribadi dengan mereka. Shockley tidak mempunyai bakat ini. Berkat auranya, Shockley berhasil merekrut para karyawan brilian. Namun, tidak lama sesudah mulai bekerja bersama, mereka menjadi naik pitam gara-gara gaya manajemen “tangan besi”-nya, sama seperti Brattain dan Bardeen dahulu.
Pemimpin yang baik tahu kapan harus menerabas kritikan para peragu dan kapan harus menghiraukan mereka. Shockley juga tidak punya kemampuan ini. Suatu kali, dia merancang diode empat lapis yang dikira bakal lebih cepat dan lebih bermanfaat daripada transistor tiga lapis. Di satu sisi, betul bahwa alat itu semacam cikal bakal sirkuit terpadu karena mampu mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan empat atau lima transistor di satu papan sirkuit.
Akan tetapi, alat tersebut sukar dimanufaktur (silikon setipis kertas harus didoping dengan proporsi impuritas yang berbeda-beda di masing-masing sisinya), dan sebagian besar alat yang berhasil diproduksi ternyata tidak berguna. Noyce berusaha membujuk Shockley supaya mengesampingkan diode empat lapis, tetapi sia-sia saja.
Banyak inovator penggagas teknologi transformatif yang keras kepala dalam menggadang-gadang ide anyar. Namun, Shockley melintasi garis tipis yang membedakan seorang visioner dengan pengkhayal sinting, menjadikannya contoh pemimpin yang tidak boleh ditiru. Demi mencapai misi membuat diode empat lapis, Shockley bersikap rigid, penuh rahasia, otoriter, dan paranoid. Dia membentuk tim-tim tertutup dan menolak berbagi informasi dengan Noyce, Moore, dan lain-lain.
“Dia tidak mau menerima bahwa dia membuat keputusan jelek. Jadi, dia mulai menyalahkan semua orang di sekelilingnya,” kenang Jay Last, salah seorang insinyur yang menentang ide Shockley. “Dia sewenang-wenang sekali. Saya berubah dari bocah kesayangannya menjadi biang kerok.”63
Watak paranoid Shockley, yang kian hari kian kental, mengemuka dalam berbagai peristiwa. Contohnya, ketika jari seorang sekretaris perusahaan tersayat sewaktu membuka pintu, Shockley meyakini itu aksi sabotase. Dia memerintahkan semua orang untuk dites dengan detektor kebohongan. Sebagian besar menolak sehingga Shockley akhirnya terpaksa mengurungkan niat. Belakangan baru ketahuan sayatan itu disebabkan oleh bekas paku payung yang digunakan untuk menempelkan pengumuman di pintu.
“Menurut saya, kata ‘tiran’ tidaklah memadai untuk menjabarkan sifat Shockley,” kata Moore. “Dia jauh lebih kompleks daripada itu. Dia sangat kompetitif dan bahkan berkompetisi dengan orang-orang yang bekerja untuknya. Menurut diagnosis amatir saya, dia juga paranoid.”64
Hal yang lebih parah, obsesi Shockley terhadap diode empat lapis ternyata keliru. Terkadang yang membedakan antara orang genius dan menjengkelkan ialah benar tidaknya ide mereka. Jika diode Shockley bisa berfungsi, atau jika dikembangkan menjadi sirkuit terpadu, dia mungkin akan kembali dipandang sebagai seorang visioner. Namun, bukan itu yang terjadi.
Situasi justru memburuk setelah Shockley beserta kedua mantan rekannya, Bardeen dan Brattain, memenangi Nobel. Ketika Shockley mendapat telepon pagi-pagi sekali pada 1 November 1956, reaksi pertamanya ialah mengira telepon tersebut trik Halloween belaka. Belakangan dia curiga ada orang-orang yang berusaha mencegahnya meraih Nobel dan dia kemudian menyurati komite Nobel untuk meminta informasi mengenai siapa saja yang menentangnya, permintaan yang ditolak oleh komite tersebut. Namun, setidaknya sehari itu, ketegangan mengendur dan muncul kesempatan untuk bergembira. Guna merayakan kemenangan Shockley, diadakanlah pesta makan siang—lengkap dengan sampanye—di Rickeys.
Hubungan Shockley dengan Bardeen dan Brattain masih berjarak, tetapi mereka bisa bersopan santun ketika berkumpul dengan keluarga di Stockholm untuk menghadiri upacara penganugerahan Nobel. Dalam pidatonya, Ketua Komite Nobel menyoroti penemuan transistor sebagai buah kegeniusan individu yang berpadu dengan kerja sama tim. Dia menyebut inovasi tersebut “kreasi kelas satu yang lahir dari wawasan, kecerdikan, dan kegigihan individu serta kelompok”.
Larut malam itu, Bardeen dan Brattain sedang minum-minum di bar di Grand Hotel ketika, tidak lama sesudah tengah malam, Shockley berjalan masuk. Mereka praktis tidak pernah bicara kepadanya selama enam tahun, tetapi malam itu keduanya mengesampingkan perbedaan dengan Shockley dan mengundangnya minum bersama.

Sepulang dari Stockholm, Shockley besar kepala, tetapi perasaan tidak aman yang menggerogoti batinnya tetap tak berkurang. Dalam obrolan dengan seorang rekan kerja, Shockley berkomentar bahwa “sudah waktunya” kontribusi dia diakui. Suasana di Shockley Semiconductor “semakin memburuk saja”, menurut Last, sampai perusahaan itu mulai menyerupai “rumah sakit jiwa raksasa”. Noyce memberi tahu Shockley mengenai “rasa dongkol yang secara umum (kian membuncah)”, tetapi peringatannya tidak digubris.65
Karena tidak mau saling percaya dengan rekan kerja, sulit bagi Shockley untuk menciptakan iklim kolaborasi. Ketika sejumlah karyawannya menulis makalah untuk dipresentasikan di hadapan American Physical Society pada Desember 1956, sebulan setelah dia meraih Nobel, Shockley menuntut agar namanya dicantumkan sebagai salah satu penulis. Tuntutan serupa diajukan pula untuk sebagian besar permohonan paten yang diajukan oleh perusahaan.
Anehnya, secara kontradiktif, Shockley bersikeras mengatakan penemu sejati benda apa pun hanya ada satu karena “hanya satu orang yang mendapat ilham dari langit”. Orang-orang lain yang terlibat “cuma pembantu”, imbuhnya.66 Pengalaman Shockley sendiri terkait transistor, yang diciptakan oleh tim, seharusnya menyadarkan dia bahwa keyakinan itu keliru besar.
Ego membuat Shockley berbenturan bukan saja dengan para bawahan, melainkan juga bos dan pemilik perusahaan, Arnold Beckman. Ketika Beckman terbang ke Palo Alto untuk merapatkan pentingnya pengendalian biaya, Shockley mengejutkan semua orang dengan mengumumkan—di depan seluruh staf senior, “Arnold, jika kau tidak menyukai yang kami kerjakan di sini, aku bisa membawa pergi kelompok ini dan mencari dukungan dari tempat lain.” Dia kemudian keluar dari ruangan dengan bersungut-sungut, mempermalukan pemilik usaha di depan jajaran staf.
Itu sebabnya, wajar jika Beckman menyimak baik-baik ketika pada Mei 1957 dihubungi oleh Gordon Moore, yang ditunjuk oleh para kolega yang gelisah sebagai juru bicara untuk mengemukakan protes mereka. “Keadaan di sana tidak bagus, ya?” tanya Beckman.
“Memang tidak,” jawab Moore, yang meyakinkan Beckman bahwa para staf utama akan bertahan jika Shockley mengundurkan diri.67 Sebaliknya juga benar, Moore memperingatkan bahwa jika Shockley tidak digantikan oleh manajer kompeten, staf mungkin saja angkat kaki.
Moore dan para kolega, yang baru saja menonton The Caine Mutiny, mulai menggagas pemberontakan untuk menjatuhkan Kapten Queeg—tokoh streng dalam film itu—versi mereka.68 Beberapa pekan berikutnya, dalam serangkaian rapat dan acara makan malam rahasia yang dihadiri oleh Beckman dan tujuh staf utama yang dipimpin oleh Moore, ditekenlah kesepakatan untuk menggeser Shockley ke jabatan konsultan senior tanpa tanggung jawab manajerial. Beckman kemudian mengajak Shockley makan malam dan memberitahukan perubahan itu.
Shockley mula-mula menerima. Dia akan memperkenankan Noyce mengelola lab dan berperan sebagai penyumbang ide serta penasihat strategi saja. Namun, Shockley lantas berubah pikiran. Menyerahkan kontrol tidak termasuk bakatnya. Selain itu, dia ragu Noyce mampu menjadi pemimpin. Shockley memberi tahu Beckman bahwa Noyce bukan “pemimpin yang agresif” dan kurang tegas dalam membuat keputusan—kritik yang ada benarnya.
Shockley mungkin memang terlalu tegas dan memaksa, tetapi Noyce, yang berpembawaan egaliter dan akomodatif, barangkali memang perlu lebih galak. Tantangan bagi seorang manajer ialah bagaimana menyeimbangkan ketegasan dengan egalitarianisme, sedangkan Shockley dan Noyce sama-sama tidak punya perpaduan karakter yang pas untuk menjadi pemimpin.
Ketika dipaksa memilih antara Shockley atau para staf, Beckman menjadi gentar. “Saya salah mencurahkan loyalitas. Saya merasa berutang budi kepada Shockley dan karena itu, berkewajiban memberinya kesempatan untuk membuktikan diri,” Beckman menjelaskan kelak. “Andai dahulu mengetahui hal yang saya ketahui sekarang, saya tentu akan mengucapkan selamat tinggal kepada Shockley.”69
Beckman mencengangkan Moore dan rekan-rekan dengan keputusannya. “Beckman pada dasarnya memberi tahu kami, ‘Shockley-lah sang bos. Kalau kalian tidak terima, pergi saja,’” kenang Moore. “Tahulah kami bahwa sekelompok doktor muda tidak bisa dengan mudah mengesampingkan seseorang yang baru saja menang Nobel.” Pemberontakan tak terelakkan. “Kami diperlakukan dengan semena-mena. Kami kemudian sadar bahwa kami harus pergi,” kata Last.70
Meninggalkan usaha yang sudah mapan untuk merintis bisnis tandingan tidak lazim dipraktikkan saat itu. Maka, keputusan mereka memang butuh keberanian. “Budaya bisnis di negara ini ialah, ketika kita bekerja di suatu perusahaan, kita mesti bertahan di sana sampai pensiun,” komentar Regis McKenna, suhu marketing perusahaan teknologi pada masa itu. “Demikianlah tradisi di Pesisir Timur—dan bahkan di daerah Midwestern—Amerika.”
Tradisi tersebut sudah ketinggalan zaman tentu saja, dan para pemberontak Shockley turut berperan dalam mengubah budaya bisnis di Amerika Serikat. “Kesannya saja yang mudah karena tradisi kita di kota ini—yang dirintis oleh pria-pria itu—sekarang seperti ini,” kata Michael Malone, sejarawan Silicon Valley. “Mending keluar dan mendirikan perusahaan sendiri, dan kemudian gagal ketimbang bertahan di satu perusahaan selama tiga puluh tahun. Namun, kondisinya tidak seperti itu pada 1950-an. Pasti menakutkan sekali membuat keputusan tersebut.”71
Moore kemudian mengonsolidasikan kelompok pemberontak. Mereka mula-mula berjumlah tujuh orang—Noyce belum bergabung—dan memutuskan membuat perusahaan sendiri. Namun, butuh dana untuk mendirikan perusahaan. Jadi, salah seorang dari mereka, Eugene Kleiner, menyurati pialang saham ayahnya di firma broker tenar di Wall Street, Hayden, Stone & Co. Setelah menjabarkan latar belakang dan kompetensi mereka, Kleiner menyatakan, “Kami yakin perusahaan bisa masuk ke bisnis semikonduktor dalam kurun tiga bulan.”
Surat tersebut sampai di meja Arthur Rock, analis berusia 30 tahun yang telah sukses dalam investasi-investasi riskan sejak kuliah di Harvard Business School. Rock meyakinkan bosnya, Bud Coyle, bahwa proposal itu layak ditindaklanjuti dengan perjalanan ke barat supaya mereka bisa menyelidiki langsung.72
Ketika bertemu dengan ketujuh orang itu di Hotel Clift, San Fransisco, Rock dan Coyle menyadari kurangnya satu hal: pemimpin. Maka, mereka mendesak kelompok tersebut agar merekrut Noyce, yang sempat menolak karena komitmennya kepada Shockley. Akhirnya, Moore berhasil membujuk Noyce agar menghadiri pertemuan berikutnya. Rock terkesan. “Begitu melihat Noyce, saya terkesima akan karismanya dan saya langsung tahu bahwa dialah pemimpin natural mereka. Mereka tunduk kepadanya.”73
Dalam pertemuan tersebut, kelompok itu, termasuk Noyce, berjanji akan angkat kaki bersama-sama untuk mendirikan perusahaan baru. Coyle mengeluarkan beberapa lembar uang dolar baru yang licin, yang mereka tanda tangani sebagai bentuk kontrak simbolis satu sama lain.
Dahulu sukar mendapatkan uang, terutama dari korporasi yang sudah mapan, untuk mendirikan perusahaan independen. Wacana pemberian modal untuk usaha rintisan dalam bentuk seed funding belum terpikirkan ketika itu; inovasi penting tersebut masih harus menunggu sampai—sebagaimana akan kita lihat nanti—Noyce dan Moore membuat usaha baru lagi. Jadi, mereka mencari korporasi yang bersedia menjadi sponsor sebagai divisi semiotonom, seperti yang Beckman lakukan untuk Shockley.
Selama beberapa hari berikutnya kelompok tersebut menelaah Wall Street Journal dan mencatat 35 perusahaan yang mungkin mau mengadopsi mereka. Rock mulai menghubungi perusahaan ini itu sepulang ke New York, tetapi tidak mendapatkan hasil.
“Tak satu pun bersedia menerima divisi terpisah di dalam perusahaan mereka,” kenang Rock. “Mereka merasa bisa-bisa karyawan mereka sendiri keberatan. Beberapa bulan kami berkeliling dan sudah hampir menyerah ketika seseorang mengusulkan agar saya menemui Sherman Fairchild.”74
Kemitraan tersebut teramat pas. Fairchild, pemilik Fairchild Camera and Instrument, adalah inovator, playboy, wirausahawan, dan pemilik saham personal terbesar di IBM, yang salah seorang pendirinya adalah ayah Fairchild. Pria yang jago otak-atik ini membuat kamera dengan lampu flash tersinkronisasi pertama di dunia sewaktu masih mahasiswa tingkat satu di Harvard. Dia kemudian mengembangkan teknologi fotografi udara, kamera radar, pesawat terbang khusus, metode untuk menerangi lapangan tenis, tape recorder berkecepatan tinggi, mesin ofset untuk mencetak koran, mesin tatah warna, dan korek api tahan angin.
Dalam prosesnya, kekayaan dia bertambah selain dari warisan. Fairchild pun menghasilkan dan membelanjakan uang dengan sama girangnya. Dia sering mengunjungi klub malam El Morocco dan 21 Club sambil menggandeng (menurut Fortune) “gadis cantik baru tiap beberapa hari”, dan merancang sendiri rumah futuristik berdinding serta bertangga kaca di Upper East Side, Manhattan, yang menghadap ke taman serambi berbatu yang dibungkus keramik hijau.75
Fairchild dengan sigap menyediakan $1,5 juta untuk mendirikan perusahaan baru—kira-kira dua kali lipat estimasi kedelapan pendiri—dengan imbalan berupa opsi penjualan. Apabila perusahaan itu sukses, Fairchild meminta opsi untuk membelinya seharga $3 juta.
“Delapan pengkhianat”—julukan mereka—membuka usaha di jalan yang sama dengan Shockley, di pinggiran Palo Alto. Shockley Semiconductor tidak pernah pulih. Enam tahun berselang, Shockley menyerah dan menjadi dosen saja di Stanford. Paranoianya semakin parah dan dia menjadi yakin bahwa secara genetis, orang kulit hitam memiliki IQ rendah sehingga harus dicegah memiliki keturunan. Sang genius yang menggagas transistor dan memimpin orang-orang ke “tanah terjanji”, Silicon Valley, akhirnya menjadi paria yang tiap kali memberi kuliah selalu dihadiahi teriakan protes.
Sebaliknya, delapan pengkhianat yang mendirikan Fairchild Semiconductor ternyata orang-orang yang tepat pada waktu yang tepat. Angka permintaan transistor sedang meningkat berkat radio saku yang dirilis oleh Pat Haggerty lewat Texas Instruments, dan angka itu masih akan melonjak semakin tinggi.
Pada 4 Oktober 1957, tiga hari sesudah berdirinya Fairchild Semiconductor, Rusia meluncurkan satelit Sputnik dan memulai lomba di luar angkasa dengan Amerika Serikat. Program antariksa sipil, serta program pembuatan rudal balistik militer, melambungkan permintaan akan komputer ataupun transistor. Berkat situasi itu pula perkembangan kedua bidang menjadi saling terkait. Karena komputer harus dibuat sekecil mungkin agar muat di dalam hidung roket, penting untuk mencari cara guna menjejalkan ratusan dan kemudian ribuan transistor ke dalam peranti yang mungil.


Jack Kilby (1923–2005) di Texas Instruments pada 1965.

Arthur Rock (1926–...) pada 1997.

Microchip Kilby.

Andy Grove (1936–...) bersama Noyce dan Moore di Intel pada 1978.

*1 Contohnya, para insinyur dan teoretikus menemukan silikon (yang memiliki empat elektron terluar) yang didoping dengan fosfor atau arsen (yang memiliki lima elektron terluar) mempunyai satu elektron sisa dan karena itu membawa satu muatan negatif. Hasilnya disebut sebagai semikonduktor tipe N. Silikon yang didoping dengan boron (yang mempunyai tiga elektron terluar) kekurangan satu elektron—“berlubang” di tempat elektron biasanya berada—dan bermuatan positif satu, menjadikannya semikonduktor tipe P.
*2 Putranya, Fred Terman, kelak menjadi dekan dan rektor tenar di Stanford.
*3 Untuk menyaksikan video pendek Shannon dan mesinnya yang melakukan juggling, bisa unduh dan lihat di https://www2.bc.edu/~lewbel/shortsha.mov.



Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02