The Innovators - Walter Isaacson - 08
“BERPIKIR SEPERTI KITA”
Ide tentang personal computer
(PC), komputer yang bisa dioperasikan orang-orang biasa dan dibawa pulang ke
rumah, diangankan pada 1945 oleh Vannevar Bush. Setelah membuat komputer analog
besar di MIT dan membantu menciptakan segitiga militer-industri-akademik, Bush
menulis esai untuk majalah Atlantic edisi Juli 1945
berjudul “Berpikir seperti Kita” (“As We May Think”).1*1 Di dalam esainya, Bush mereka-reka sebuah mesin personal, yang dia
juluki memex, yang dapat menyimpan dan mengambil
kembali kata-kata, foto, dan informasi lain-lain milik seseorang.
“Bayangkan alat
masa depan untuk individu, yang menjadi semacam lemari arsip dan perpustakaan mekanis
.... Memex adalah alat yang dapat digunakan oleh
individu untuk menyimpan semua buku, koleksi musik, dan arsip komunikasinya,
dan yang bersifat mekanis sehingga simpanannya dapat dicek dan diambil secara
cepat dan fleksibel. Alat tersebut akan menjadi perpanjangan pribadi dari
memori manusia.” Kata pribadi bermakna penting. Fokus
Bush dan para pengikutnya ialah bagaimana agar manusia dan mesin bisa
berinteraksi secara dekat, erat, dan pribadi.
Bush membayangkan
mesin tersebut akan memiliki mekanisme “akses langsung”, seperti papan ketik,
untuk memerantarai kita dalam memasukkan informasi dan rekaman ke memorinya.
Dia bahkan memperkirakan tautan hypertext, aktivitas
berbagi berkas, dan cara-cara berkolaborasi dalam suatu proyek. “Akan tercipta
ensiklopedia berformat anyar, sarat dengan jejak asosiatif yang bisa dimasukkan
ke memex dan di sana diamplifikasi,” tulis Bush,
memprediksi Wikipedia setengah abad sebelum pembentukannya.
Akan tetapi,
komputer mula-mula tidak bertransformasi seperti yang dibayangkan oleh Bush.
Alih-alih menjadi alat pribadi dan bank memori untuk
individu, komputer berkembang sebagai mesin raksasa milik industri dan militer
yang bisa dimanfaatkan oleh para peneliti dengan sistem time-sharing,
tetapi tak tersentuh oleh orang awam. Pada awal 1970-an sejumlah perusahaan
inovatif seperti DEC telah membuat minikomputer seukuran kulkas kecil, tetapi
bahkan perusahaan-perusahaan tersebut menepis wacana akan ada pasar untuk
komputer model desktop yang bisa dimiliki serta
dioperasikan oleh orang biasa.
“Mana ada orang
yang menginginkan komputer sendiri?!” Presiden DEC Ken Olsen menyatakan dalam
rapat Mei 1974 ketika komite operasional perusahaan memperdebatkan mesti
menciptakan komputer PDP-8 versi kecil untuk konsumen perorangan atau tidak.2 Hasilnya, Revolusi Personal Computer (PC),
ketika pertama-tama meledak pada pertengahan 1970-an, justru dipimpin oleh para
wirausahawan kucel di pusat perbelanjaan dan garasi yang mendirikan perusahaan
seperti Altair dan Apple.
RACIKAN KULTURAL
PC terwujud berkat sejumlah kemajuan teknologi
terutama mikroprosesor, sirkuit yang ditorehkan di atas chip
mungil dan memadukan seluruh fungsi unit pemrosesan sentral satu komputer di
dalam sekeping silikon. Namun, kekuatan sosial juga berperan dalam mendorong dan
membentuk inovasi, yang kemudian membawa jejak-jejak kultural pembentuknya.
Kawasan Teluk San Fransisco pada awal 1960-an merupakan kuali yang memuat
beragam bahan kultural tokcer dan gelegaknya lantas menghasilkan racikan berupa
komputer rumahan.
Suku-suku apa saja
yang meramu racikan kultural tersebut?3 Yang pertama, para
insinyur yang memakai saku pelindung, yang bermigrasi ke area itu seiring
dengan pertumbuhan kontraktor pertahanan seperti Westinghouse dan Lockheed.
Berikutnya, perintis kultur wirausaha—contohnya Intel dan Atari—yang melecut
kreativitas dan antipati terhadap birokrasi yang mengekang. Para peretas yang
pindah ke barat dari MIT membawa serta hasrat akan komputer yang bisa mereka
pegang dan mainkan.
Lalu, ada para
maniak elektronika kelas berat yang gemar meretas jaringan telepon Bell System
atau komputer time-sharing milik perusahaan besar.
Pada saat bersamaan di San Fransisco dan Berkeley, menjamur pula para idealis
dan aktivis komunitas yang mencari cara guna—menurut istilah salah seorangnya,
Liza Loop—“mengooptasi kemajuan teknologi untuk kepentingan progresif demi
mengalahkan pola pikir birokratis”.4
Racikan tersebut
dipermanis oleh tiga aliran budaya tandingan. Ada kaum hippie,
yang pembangkangan cerianya dihidupi oleh zat-zat psikotropika dan musik rock. Ada pula aktivis Kiri Baru, yang menyerukan Gerakan
Kebebasan Berpendapat di Berkeley dan protes antiperang di kampus seluruh
dunia. Gerakan ketiga yang berpadu dengan kesemuanya dilahirkan oleh para
aktivis komune Whole Earth, yang meyakini indahnya berbagi dan kepemilikan
bersama, juga menolak konformitas dan kekuasaan terpusat yang dipaksakan oleh
kaum elite.
Sekalipun sebagian
suku tersebut sangat berbeda satu sama lain, dunia mereka berkelindan dan
mereka memiliki banyak kesamaan nilai. Mereka memegang teguh etos kemandirian
dan kreativitas yang dipupuk sejak kecil oleh kegandrungan merakit radio
amatir, dimekarkan sewaktu kuliah berkat membaca Whole Earth
Catalog, dan diekspresikan lewat cita-cita untuk masuk ke komune.
Di dalam diri
mereka tertanam keyakinan yang sangat Amerika, yang sangat disalahpahami oleh
Tocqueville, bahwa individualisme dan semangat kebersamaan betul-betul
kompatibel satu sama lain, bahkan saling melengkapi, terutama dalam rangka
menciptakan hal-hal baru secara kolaboratif. Budaya kreator di Amerika Serikat,
sejak masa ketika warga desa mendirikan lumbung bersama-sama atau berkumpul
untuk merajut selimut, mengisyaratkan swadaya komunitas daripada kemandirian
egois.
Selain itu, di
antara suku-suku Teluk San Fransisco pada akhir 1960-an ini, banyak yang
memandang miring kaum elite pemegang kekuasaan dan berhasrat untuk mengontrol
sendiri akses mereka terhadap informasi. Teknologi semestinya dibuat
bersahabat, terbuka, dan mengasyikkan, bukan mencekam, misterius, dan otoriter.
Seperti dikatakan oleh Lee Felsenstein, salah seorang tokoh aliran budaya
tandingan tersebut, “Kami menginginkan PC supaya dapat membebaskan diri dari
kekangan institusi, entah itu pemerintah ataupun korporasi.”5
Ken Kesey adalah pamong aliran hippie. Setelah lulus dari Universitas Oregon, dia pindah
ke kawasan Teluk San Fransisco pada 1958 untuk menempuh kuliah pascasarjana
Jurusan Penulisan Kreatif di Stanford. Selagi di sana, dia bekerja malam di
rumah sakit jiwa dan mendaftarkan diri sebagai kelinci percobaan dalam
serangkaian eksperimen yang didanai oleh CIA, Project MKUltra, guna menguji
efek obat psikotropika LSD.
Kesey
ujung-ujungnya sangat menyukai obat itu. Kuliah penulisan kreatif, konsumsi
narkoba demi imbalan uang, dan pekerjaan sebagai mantri di rumah sakit jiwa
berpadu sedemikian rupa sehingga melahirkan novel pertamanya, One Flew Over the Cuckoo’s Nest.
Sementara
orang-orang mendirikan perusahaan elektronika di seputar Stanford, Kesey
menggunakan royalti dari bukunya, beserta sejumlah pil LSD yang berhasil dia
dapatkan dari eksperimen CIA, untuk membentuk komune hippie
yang dinamai Merry Prankster. Pada 1964 dia dan kelompoknya bertualang lintas
negeri menggunakan bekas bus sekolah berjulukan Furthur
yang dicat dengan warna-warni pelangi.
Sepulang dari
pengembaraan, Kesey mulai sering menggelar pesta narkoba di rumahnya dan pada
penghujung 1965 memutuskan, karena dia wirausahawan sekaligus seorang hippie, untuk memperkenalkan pil tersebut kepada publik.
Acara bagi-bagi pil pertama berlangsung Desember tahun itu di Big Ng, klub
musik di San Jose. Kesey merekrut band bar yang dia
sukai, pimpinan Jerry Garcia, yang baru saja berganti nama dari The Warlocks
menjadi Grateful Dead.6 Generasi bunga pun terlahir.
Pada saat
berbarengan, muncul fenomena kultural yang sama-sama dijiwai semangat
pemberontakan, yaitu gerakan perdamaian. Perkawinan antara etos hippie dan antiperang membuahkan memorabilia berkesan yang
sekarang mungkin menggelikan, tetapi dahulu dianggap berbobot, seperti poster warna-warni
bertulisan “Bercinta, jangan berperang” (“Make Love Not War”) dan kaus ikat
celup bergambar simbol perdamaian.
Kaum hippie dan gerakan antiperang sama-sama waswas akan
komputer, paling tidak pada awalnya. Komputer mainframe
mahabesar yang putaran pitanya berdengung nyaring dan lampunya berkedip-kedip
menyilaukan dianggap mengintimidasi dan tidak personal, alat perpanjangan
tangan korporasi, Pentagon, dan status quo. Dalam The Myth of the Machine, sosiolog Lewis Mumford memperingatkan
bahwa kebangkitan komputer bisa saja menjadikan “manusia sebagai binatang pasif
tanpa tujuan yang dikondisikan oleh mesin”.7
Dalam protes-protes
perdamaian dan di komune-komune hippie, dari Sproul
Plaza di Berkeley hingga Haight-Ashbury di San Francisco, kalimat cetakan di
kartu berlubang yang berbunyi, “Jangan dilipat, dipuntir, ataupun
dipotong-potong”, menjadi semacam jargon ironis.
Akan tetapi, pada
awal 1970-an, ketika kemungkinan munculnya PC mulai dijajaki, sikap terhadap
komputer turut berubah. “Komputer yang semula diremehkan sebagai alat kontrol
birokratis lambat laun direngkuh sebagai simbol ekspresi dan kebebasan
individual,” tulis John Markoff dalam karya sejarahnya mengenai periode itu, What the Dormouse Said.8
Dalam The Greening of America, yang merupakan manifesto untuk era
baru tersebut, seorang profesor Yale, Charles Reich, mengecam hierarki sosial
dan korporasi gaya lama, sekaligus menyerukan struktur masyarakat baru yang
menyokong kolaborasi dan memerdekakan individu. Daripada mengutuk komputer
sebagai alat kuasa, Reich berargumen bahwa komputer bisa dimanfaatkan untuk
membuka kesadaran masyarakat asalkan mesin tersebut dibuat lebih personal.
“Setelah dibuat,
mesin dapat digunakan untuk kepentingan manusia agar manusia bisa kembali
menjadi sosok kreatif yang mampu memperbarui serta menciptakan kehidupannya
sendiri.”9
Teknotribalisme
mulai mengemuka. Karya suhu-suhu teknologi seperti Norbert Wiener, Buckminster
Fuller, dan Marshall McLuhan menjadi bacaan wajib di setiap komune dan asrama.
Pada 1980-an Timothy Leary sang penganjur LSD akan memutakhirkan mantranya yang
terkenal, dari “Diam, konsentrasi, lepaskan” menjadi “Colok, nyalakan,
sambungkan”.10 Richard Brautigan diundang sebagai penyair tamu di Caltech pada 1967
dan tahun itu, dia menangkap etos anyar tersebut dalam sebuah puisi, “All
Watched Over by Machines of Loving Grace” (Diawasi oleh Mesin Maha Pengasih).11 Pembukaan puisi itu sebagai berikut.
Aku ingin berpikir
(lebih cepat lebih
baik!)
agar terwujud padang
sibernetika
tempat mamalia dan komputer
bisa hidup terprogram
bersama-sama secara
harmonis
bagaikan air bening
yang menggapai langit
jernih.
STEWART BRAND
Orang yang paling pas mengejawantahkan dan paling
antusias menggadang-gadang hubungan antara penggila teknik dan kaum hippie adalah sosok jangkung kurus murah senyum bernama
Stewart Brand, yang kerap mencuat bagaikan jembalang di persilangan
gerakan-gerakan kultural yang asyik hingga sekian dekade mendatang.
“Ketidaksukaan budaya tandingan terhadap kekuasaan sentralistis adalah landasan
filosofis dari Revolusi PC,” tulisnya dalam esai di majalah Time
pada 1995 berjudul “Kita Berutang Budi kepada Kaum Hippie”
(“We Owe It All to the Hippies”).
Komunalisme dan politik libertarian kaum hippie merupakan akar Revolusi Cyber
Modern .... Kebanyakan orang seangkatan kami mencemooh komputer sebagai
perwujudan kuasa terpusat. Namun, sekelompok kecil orang—yang belakangan
disebut “peretas”—justru merengkuh dan mengubah komputer sebagai sarana
pembebasan. Inilah yang kemudian membukakan jalan ke masa depan gemilang ...
para programmer komputer belia beraksi untuk memimpin
perabadan menjauhi komputer mainframe yang
sentralistis.12
Brand lahir pada 1938 di Rockford, Illinois,
tempat ayahnya menjadi mitra di perusahaan periklanan dan, sama seperti banyak
bapak kewirausahaan digital, merupakan operator radio amatir. Setelah lulus
dengan gelar akademik di bidang biologi dari Stanford, Brand, yang menjadi
anggota Pasukan Cadangan Angkatan Darat semasa kuliah, lalu mengabdi dua tahun
sebagai perwira infantri.
Bahkan, dia
mengikuti pelatihan udara dan sempat bertugas sebagai fotografer Angkatan
Darat. Dia kemudian merintis kehidupan menggembirakan, mondar-mandir di antara
komunitas berlainan pada masa menggairahkan ketika seni pertunjukan dan teknologi
berkelindan.13
Kehidupan di titik
persinggungan antara teknologi dan seni kreatif pula yang memperkenalkan Brand
pada LSD. Dia kali pertama mencicipi “obat” di klinik-klinikan dekat Stanford
pada 1962 dan kemudian rajin menghadiri acara Merry Prankster yang digelar oleh
Kesey. Brand juga menjadi fotografer, teknisi, dan produser di komunitas seni
multimedia bernama USCO, yang menyelenggarakan ajang musik rok dan seni
pertunjukan berbumbu psikotropika, sihir teknologi, lampu sorot, proyeksi gambar,
dan partisipasi audiensi.
Terkadang komunitas
mereka menggelar bincang-bincang yang dihadiri oleh Marshall McLuhan, Dick
Alpert, dan suhu-suhu new age lainnya. Media promosi
USCO menyebutkan komunitas itu “mempersatukan kultus-kultus mistisisme dengan
teknologi sebagai wadah bagi introspeksi dan komunikasi”, kalimat sumir yang
dirasa cocok sebagai kredo kaum tekno-spiritualis. Teknologi adalah sarana
ekspresi yang bisa memperluas cakrawala kreativitas dan, sama seperti
obat-obatan serta musik rok, memfasilitasi semangat perlawanan.
Di mata Brand
slogan protes 1960-an seperti, “Kekuasaan untuk rakyat”, terkesan hampa,
apalagi ketika yang menggembar-gemborkannya para aktivis politik Kiri Baru.
Namun, dia percaya bahwa komputer benar-benar bisa memberdayakan individu.
“Kekuasaan untuk rakyat adalah dusta romantis belaka,” dia belakangan berkata.
“Ketimbang politik, komputer lebih banyak berperan dalam mengubah masyarakat.”14
Dia mengunjungi
Laboratorium Kecerdasan Buatan Stanford (Stanford Artificial Intelligence
Laboratory-SAIL) dan, dalam artikel untuk Rolling Stone
pada 1972, menyebutkan lab itu “tempat tersibuk dan paling riuh yang pernah
saya datangi sejak pesta narkoba Merry Prankster.” Kombinasi budaya tandingan
dengan cyberculture ini, Brand menyadari, merupakan
resep pas untuk Revolusi Digital.
“Orang-orang aneh
yang merancang sains komputer” akan merebut kekuasaan dari tangan
“institusi-institusi kaya dan perkasa”, tulisnya. “Siap atau tidak, komputer
akan mendatangi masyarakat. Ini kabar bagus, barangkali yang terbaik sejak
kabar diciptakannya psikotropika.” Visi utopis ini, imbuh Brand, “sejalan
dengan fantasi romantis para Bapak Iptek, seperti Norbert Wiener, J.C.R.
Licklider, John von Neumann, dan Vannevar Bush.”15
Seluruh pengalaman
tersebut berkulminasi pada salah satu ajang bersejarah bagi budaya tandingan
1960-an, yaitu Trips Festival di Longshoreman’s Hall, San Fransisco. Setelah
menikmati asyiknya pesta psikotropika yang diadakan tiap minggu sepanjang
Desember 1965, Brand mengusulkan kepada Kesey agar menyelenggarakan versi
besar-besaran selama tiga hari. Pesta besar nan heboh itu dibuka oleh grup
Brand sendiri, America Needs Indians, yang menampilkan “sensorium” berupa
pentas musik dan tari-tarian Indian Amerika lengkap dengan pertunjukan lampu
dan gambar proyektor nan canggih.
Performa tersebut
kemudian dilanjutkan dengan—menurut paparan brosur acara—“pencerahan, proyeksi
audio, ledakan tak berkesudahan, The Congress of Wonders, proyeksi cair, dan
The Jazz Mice”. Padahal, itu baru malam pertama. Acara keesokan malamnya dibuka
oleh Kesey, yang ditangkap atas kepemilikan narkoba di atap rumah Brand di
North Beach beberapa hari sebelumnya, tetapi telah dibebaskan dengan jaminan
dan kini mengorkestrasi seluruh kegiatan dari atas perancah.
Acara itu antara
lain menampilkan Merry Prankster beserta Psychedelic Symphony, Big Brother and
the Holding Company, Grateful Dead, serta para anggota geng motor Hells Angels.
Tom Wolfe sang penulis berusaha menangkap esensi tekno-psikotropika ini dalam karya
jurnalistik “gaya baru”, The Electric Kool-Aid Acid Test.
Cahaya dan film
berkelebat ke sana sini; lima proyektor film menyala plus entah berapa banyak
mesin penghasil cahaya dan interferometer. Dinding tak ubahnya lautan fiksi
ilmiah antargalaksi, pengeras suara mendentum di sepenjuru aula mengelilingi
kandelir yang menyala-nyala. Ke mana pun mata memandang, tampak bola-bola disko
mengilap dan cat fosforesens menyilaukan. Di tiap pintu masuk lampu-lampu
jalanan menyorotkan warna merah dan kuning yang terang. Gadis-gadis aneh
berbaju ketat berkeliaran di mana-mana sambil berjingkrak dan bersuit.
Malam terakhir, teknologi dirayakan secara lebih
menggebu-gebu lagi. “Karena LISTRIK merupakan elemen yang dijumpai dalam semua
pertunjukan, malam ini akan disemarakkan oleh hiruk pikuk MESIN PINBALL,”
demikian pengumuman brosur acara. “Hadirin dipersilakan mengenakan BAJU MERIAH
dan membawa ALAT ELEKTRONIK sendiri (colokan listrik akan disediakan).”16
Betul, kombinasi
obat-obatan, musik, dan teknologi yang ditawarkan oleh Trips Festival memang
bisa memusingkan kepala saking noraknya. Namun, fusi yang terkesan serampangan
ini justru merupakan arketipe era PC: teknologi, budaya tandingan,
kewirausahaan, musik, seni, dan rekayasa.
Dari Stewart Brand
sampai Steve Jobs, para inovator di kawasan Teluk San Fransisco adalah
orang-orang yang merasa nyaman di persimpangan antara Silicon Valley dan
Haight-Ashbury—berjiwa artistik sekaligus melek teknologi. Menurut sejarawan
budaya Fred Turner, “Trips Festival adalah momen ketika Stewart Brand muncul ke
permukaan sebagai wirausahawan budaya tandingan—tetapi spontanitasnya disetir
pula oleh pertimbangan yang sangat teknokratik.”17
Sebulan sesudah Trips Festival, Februari 1966,
Brand sedang duduk-duduk di atap rumah di North Beach, San Fransisco, sambil
menikmati efek dari 100 mikrogram LSD. Menatap langit, dia merenungkan ucapan
Buckminster Fuller: kita memersepsikan bahwa bumi itu datar dan terbentang
tanpa batas, bukan kecil bundar, karena kita tidak pernah melihatnya dari luar
angkasa. Dibantu zat psikotropika, Brand mulai menekuri betapa kecilnya bumi
dan merasa penting agar orang-orang mengapresiasi fakta itu juga.
“Orang-orang mesti
peduli pada berbagai masalah dan penyakit yang mendera bumi kita,” kenangnya.
“Apa lagi yang lebih pas untuk menyiarkan poin fundamental itu kalau bukan
foto—foto berwarna dari luar angkasa. Orang akan melihat betapa mungilnya bumi,
melayang-layang di ruang angkasa, dan kemudian cara pandang mereka niscaya
berubah.”18 Brand yakin foto bumi akan memicu orang untuk berpikir secara
menyeluruh, memandang dunia dari kacamata yang lebih luas, berempati pada
seluruh penghuni bumi, dan merasakan keterkaitan dengan alam semesta.
Brand bertekad
meyakinkan NASA agar memotret foto seperti itu. Jadi, dengan gaya arif yang
santai berkat pengaruh LSD, dia memutuskan memproduksi ratusan pin supaya
orang-orang pada zaman pra-Twitter dapat menyebarkan efek getok tular. “Kenapa
kami belum juga melihat foto seisi bumi?” bunyi pin itu. Rencana Brand
sederhana sekali. “Saya menyiapkan papan pengumuman berwarna terang beserta
meja kecil untuk memuat barang dagangan; mengenakan baju terusan putih, sepatu
bot, dan topi tinggi dengan kristal berbentuk hati dan bunga; lalu saya
langsung meluncur ke Sather Gate di Universitas Berkeley untuk menjual pin saya
seharga 25 sen.”
Para ofisial
universitas membantu Brand dengan mengusirnya dari kampus, menjadikan kisahnya
masuk ke San Francisco Chronicle dan turut
memublikasikan misinya. Brand berkeliling ke perguruan tinggi lain di seluruh
negeri, mengakhiri perjalanan di Harvard dan MIT. “Siapa pula itu?” tanya
seorang Dekan MIT saat melihat Brand berceramah spontan sambil berjualan pin.
“Itu saudara saya,” kata Peter Brand, dosen di MIT.19
Akhirnya, pada
November 1967 NASA menurut. Satelit ATS-3 milik lembaga itu memotret bumi 34
ribu kilometer dari atas. Foto tersebut terpampang dan mengilhami proyek Brand
yang berikut, yakni Whole Earth Catalog. Sesuai
namanya, terbitan itu berupa (atau menyaru sebagai) katalog, tetapi mengaburkan
batasan antara konsumerisme dengan komunalisme. Subjudulnya, “Access to
Tools”—menginformasikan atau mengiklankan alat-alat terbaru—dan mengemban misi
untuk menyiarkan budaya tandingan yang membumi dan memberdayakan individu lewat
teknologi.
Di halaman pertama
edisi awal katalog, Brand menulis, “Ranah kekuasaan yang pribadi dan intim
tengah mengemuka—kekuasaan bagi individu untuk mendidik dirinya sendiri,
memetik inspirasi, membentuk lingkungannya, dan berbagi petualangan dengan
siapa saja yang berminat. Alat-alat yang menjembatani proses ini diliput dan
dipromosikan lewat Whole Earth Catalog.” Buckminster
Fuller mengikuti dengan puisi yang dibuka kalimat, “Aku melihat Tuhan pada
instrumen dan mekanisme yang kerjanya andal.”
Edisi perdana itu
menampilkan barang-barang berupa buku Cybernetics
karya Norbert Wiener dan kalkulator HP yang dapat diprogram, juga jaket kulit
dan manik-manik. Katalog tersebut seolah menunjukkan bahwa cinta bumi dan cinta
teknologi bisa seiring sejalan, kaum hippie mesti
mencari persamaan dengan para insinyur, dan masa depan harus seperti festival
yang menyediakan colokan listrik.20
Pendekatan Brand
tidak politis layaknya kaum Kiri Baru. Juga tidak antimaterialis. Whole Earth Catalog menggembar-gemborkan permainan dan alat
elektronik yang bisa dibeli. Namun, Brand mampu dengan lihai merajut sekian
banyak aliran kultural pada periode itu menjadi satu, dari kaum hippie penikmat LSD sampai para insinyur dan orang-orang
idealis berjiwa komunal yang menolak kendali terpusat atas teknologi. “Brand
memasarkan konsep PC lewat Whole Earth Catalog,” kata
temannya, Lee Felsenstein.21
DOUGLAS ENGELBART
Tak lama setelah edisi pertama Whole Earth Catalog beredar, Brand membantu memproduksi
program yang seakan merupakan gema tekno-koreografinya dalam Trips Festival
Januari 1966. Bertajuk “Ibu dari Segala Demo” (“Mother of All Demos”), acara
menggegerkan pada Desember 1968 ini menjadi peristiwa penting dalam sejarah PC,
sama seperti Trips Festival bagi subkultur hippie.
Acara itu terwujud
karena, bagaikan magnet, Brand secara natural mampu memikat dan mendekatkan
diri dengan orang-orang yang menarik. Kali ini salah satunya insinyur bernama
Douglas Engelbart, yang punya misi hidup mencari cara supaya komputer dapat
melengkapi kecerdasan manusia.
Ayah Engelbart
seorang insinyur elektro yang memiliki toko di Portland, Oregon, tempat menjual
dan memperbaiki radio; kakek Engelbart, yang mengoperasikan bendungan di
Amerika Serikat Barat Laut, suka mengajak keluarganya ke pabrik pembangkit
listrik raksasa untuk melihat kerja turbin dan generator. Maka, wajar jika
Engelbart menggandrungi elektronika.
Di SMA dia
mendengar bahwa Angkatan Laut mengembangkan program pelatihan rahasia bagi para
teknisi supaya mereka melek teknologi misterius baru yang disebut radar. Dia
belajar habis-habisan agar diterima dalam program tersebut dan untungnya,
harapan Engelbart terkabul.22
Engelbart mendapat
pencerahan sewaktu mengabdi di Angkatan Laut. Dia diangkut ke kapal yang
berlayar dari selatan Bay Bridge di San Fransisco dan, selagi mereka
melambaikan salam perpisahan kepada orang-orang di darat, pengeras suara
mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah dan Perang Dunia II sudah usai.
“Kami semua
berteriak,” Engelbart menceritakan, “‘Putar balik! Ayo, kita pulang dan
merayakan kemenangan!’” Namun, kapal terus saja berlayar, “Meninggalkan
kungkungan kabut, menyongsong mabuk laut,” ke Selat Leyte di Filipina.23
Di Pulau Leyte
Engelbart menyepi kapan pun sempat di rumah panggung yang berfungsi sebagai
perpustakaan Palang Merah. Di sanalah dia terpikat akan majalah Life yang sarat ilustrasi dan mencantumkan artikel lengkap
Vannevar Bush dari Atlantic, yakni “Berpikir seperti
Kita”, yang membayangkan sistem pengelola informasi personal.24 “Saya tergugah akan wacana bahwa kita bisa membantu orang-orang
bekerja dan berpikir dengan cara demikian,” kenangnya.25
Selepas mengabdi di
Angkatan Laut, dia meraih gelar insinyur dari Oregon State University dan
kemudian bekerja di cikal bakal NASA, yaitu Ames Research Center di Silicon
Valley. Engelbart yang sangat pemalu mengikuti kelas tari tradisional Yunani
tingkat menengah di Palo Alto Community Center untuk mencari jodoh dan akhirnya
memang bertemu dengan sang calon istri. Pada hari pertunangan, selagi menyetir
ke kantor, dia merasa takut dan hilang arah. “Setiba di tempat kerja, saya
tersadar bahwa saya tidak punya tujuan hidup lagi.”26
Selama dua bulan
berikutnya, Engelbart dengan tekun menugasi diri sendiri untuk mencari tujuan
hidup yang bernilai. “Saya menelaah segala jenis misi yang diperjuangkan oleh
orang-orang, mencari tahu di bidang apa saya bisa merintis kehidupan baru.”
Engelbart tercengang karena upaya apa pun untuk memperbaiki dunia ternyata
kompleks. Misalnya, orang-orang yang berusaha memerangi malaria atau
meningkatkan produksi makanan di area miskin lambat laun membentur sederet
masalah kompleks lain, dari overpopulasi sampai erosi.
Agar sukses dalam
proyek ambisius apa pun, kita harus mencermati seluruh akibat pelik dari
tindakan tertentu, menimbang-nimbang kemungkinan, berbagi informasi,
mengorganisasi orang, dan sebagainya. “Suatu hari, saya sekonyong-konyong
tersadar bahwa kompleksitas adalah elemen
fundamental,” kenangnya. “Saya sontak berpikir, kalau saya bisa memberikan
sumbangsih untuk membantu manusia dalam menyikapi kompleksitas dan urgensi,
kontribusi semacam itu tentu akan bermanfaat secara universal.”27 Upaya tersebut bukan hanya akan menjawab satu persoalan spesifik,
melainkan juga memberdayakan orang-orang untuk memecahkan persoalan apa saja.
Cara terbaik untuk
membantu orang-orang menyikapi kompleksitas adalah merintis upaya untuk
mewujudkan cita-cita Bush, demikian Engelbart memutuskan. Selagi membayangkan
bagaimana cara menyampaikan informasi di layar grafis secara seketika,
Engelbart teringat akan pendidikannya di bidang radar. “Kurang dari sejam, saya
berkhayal duduk di depan layar besar yang menampilkan segala macam simbol,”
kenangnya, “dan kita bisa mengoperasikan segala macam fitur untuk
mengoperasikan komputer.”28
Hari itu dia
bersumpah akan mencari cara agar orang-orang bisa secara visual menggambarkan
isi pikiran mereka dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain agar mereka
dapat berkolaborasi—dengan kata lain, Engelbart membayangkan terciptanya
komputer interaktif berlayar grafis yang terhubung satu sama lain lewat
jaringan.
Cita-cita ini
mengemuka pada 1950, lima tahun sebelum Bill Gates dan Steve Jobs lahir.
Bahkan, komputer komersial pertama, yaitu UNIVAC, belum tersedia di pasar.
Namun, Engelbart mengimani visi Bush bahwa suatu hari kelak orang-orang akan
memiliki mesin pribadi yang dapat digunakan untuk memanipulasi, menyimpan,
serta berbagi informasi.
Konsepsi ambisius
ini membutuhkan istilah megah yang sebanding dan Engelbart pun menamainya augmented intelligence. Agar sanggup mencapai misinya,
Engelbart mendaftarkan diri ke Berkeley untuk kuliah sains komputer dan meraih
gelar doktoral di sana pada 1955.
Engelbart tipe orang yang mampu memancarkan
intensitas sekalipun bicaranya sangat kalem dan monoton sampai-sampai
menegakkan bulu roma. “Ketika tersenyum, wajahnya kekanak-kanakan dan penuh
nostalgia, tetapi begitu energi geraknya direm dan dia termenung, mata biru
pucatnya seolah-olah mengekspresikan kesedihan atau rasa kesepian,” kata
seorang teman dekatnya. “Saat menyapa kita, dia mengeluarkan suara lirih yang
seolah berasal dari jauh. Laki-laki itu tertutup tetapi hangat, lembut tetapi
keras kepala.”29
Singkat kata,
Engelbart terkadang mirip makhluk dari planet lain, menyebabkannya kesulitan
mendapatkan dana untuk proyek. Akhirnya, dia dipekerjakan pada 1957 untuk
menggarap sistem penyimpanan magnetik di Stanford Research Institute, lembaga
independen nirlaba yang didirikan oleh perguruan tinggi itu pada 1946. Topik
hangat di SRI saat itu kecerdasan buatan, khususnya misi untuk menciptakan
sistem yang menirukan jaringan saraf otak manusia.
Akan tetapi,
Engelbart tidak tertarik pada kecerdasan buatan. Cita-citanya ialah
mengamplifikasi kecerdasan manusia dengan menciptakan mesin seperti memex rekaan Bush yang dapat bekerja secara erat bersama
manusia dan membantu mengelola informasi. Tujuan ini, Engelbart berkata, lahir
dari rasa takzim pada “ciptaan luar biasa” berupa akal manusia. Daripada
berusaha membuat mesin yang mereplikasi kecerdasan manusia, Engelbart fokus
menjembatani “interaksi antara komputer dan kita, yang sudah mempunyai
bermacam-macam kapabilitas.”30
Bertahun-tahun dia
menggarap draf demi draf yang menjabarkan visinya, sampai makalahnya membengkak
sepanjang 45 ribu kata, setara satu buku kecil. Dia menerbitkan karya tulisnya
pada Oktober 1962, manifesto berjudul “Melengkapi Kecerdasan Manusia”
(“Augmenting Human Intellect”). Engelbart memulai uraian dengan menjelaskan
bahwa dia tidak ingin mengganti pikiran manusia dengan kecerdasan buatan.
Dia justru
berargumen bahwa akal manusia perlu dikombinasikan dengan kemampuan pemrosesan
mesin dalam rangka menghasilkan “domain terpadu, tempat insting, perasaan,
taktik coba-coba, dan firasat manusia berkoeksistensi secara bermanfaat dengan
konsep hebat, terminologi dan notasi ramping, metode canggih, dan alat bantu
elektronik berdaya tinggi.” Secara detail dia memberikan contoh-contoh
simbiosis manusia-komputer, seperti arsitek yang menggunakan komputer untuk
mendesain bangunan dan seorang profesional yang menyusun laporan berilustrasi
dengan bantuan komputer.31
Saat mengerjakan
makalah itu, Engelbart menulis surat penggemar untuk Vannevar Bush dan malah
menyisihkan satu bagian makalahnya untuk menjabarkan mesin memex.32 Tujuh belas tahun setelah Bush menulis “Berpikir seperti Kita”,
konsepnya—bahwa manusia dan komputer mesti berinteraksi secara seketika, dengan
peranti antarmuka sederhana berupa layar grafis, tanda penunjuk, dan alat input—masih terkesan radikal.
Engelbart
menekankan, sistemnya bukan untuk matematika belaka. “Tiap orang yang berpikir
dengan konsep simbolis (entah dalam bentuk bahasa Inggris, piktograf, logika
formal, atau matematika) semestinya akan menuai keuntungan yang signifikan.”
Ada Lovelace pasti kegirangan setengah mati.
Manifesto Engelbart
terbit pada bulan yang sama ketika Licklider, yang telah menjajaki konsep
serupa dua bulan sebelumnya dalam makalah “Simbiosis Manusia-Komputer”,
menduduki jabatan kepala di Information Processing Techniques Office-nya ARPA.
Salah satu tugas Licklider dalam pekerjaan baru itu ialah memberikan hibah
federal untuk proyek-proyek yang menjanjikan. Engelbart pun ikut mengantre.
“Saya berdiri di
depan pintu sambil membawa laporan tahun 1962 dan sebundel proposal,”
kenangnya. “Saya pikir, ‘Yang ingin dia lakukan sama denganku. Jadi, mana
mungkin dia menolakku?’”33 Memang tidak mungkin.
Jadi, Engelbart mendapat dana dari ARPA. Bob Taylor, yang saat itu masih di
NASA, juga memberi Engelbart dana.
Demikianlah,
Engelbart akhirnya bisa mendirikan Augmentation Research Center di SRI.
Peristiwa tersebut merupakan satu lagi contoh bahwa pendanaan pemerintah untuk
riset spekulatif bisa saja menuai laba beratus-ratus kali lipat dalam wujud
aplikasi praktis.
TETIKUS DAN NLS
Hibah NASA dari Taylor hanya boleh digunakan
untuk satu proyek tersendiri. Dana itu lantas dimanfaatkan oleh Engelbart untuk
mencari cara mempermudah interaksi antara manusia dan mesin.34 “Ayo, kita buat alat untuk mengoperasikan grafis di layar,” Engelbart
menyarankan kepada koleganya, Bill English.35 Tujuannya ialah
mencari cara termudah bagi pengguna untuk menunjuk dan memilih sesuatu di
layar.
Lusinan opsi untuk
menggerakkan kursor di layar dicoba-coba oleh para peneliti, antara lain pulpen
berlampu, joystick, bola pelacak gerak, bantalan
sentuh, tablet berstilus, dan bahkan satu alat yang bisa dikontrol oleh
pengguna dengan lutut. Engelbart dan English menguji semua satu-satu.
“Kami menghitung
berapa lama waktu yang dibutuhkan tiap pengguna untuk menggerakkan kursor ke
objek,” kata Engelbart.36 Pulpen berlampu
kelihatannya paling sederhana, tetapi pengguna harus memungut benda itu tiap
kali hendak menggerakkan kursor sehingga merepotkan.
Mereka merangkum
semua keuntungan dan kekurangan alat-alat tersebut dalam tabel, membantu
Engelbart membayangkan alat macam apa yang belum digagas. “Sama seperti tabel
periodik yang berperan dalam penemuan unsur-unsur baru, tabel tersebut juga
mengarahkan kami untuk menciptakan alat yang belum ada, tetapi sifat-sifatnya
kami inginkan,” kata Engelbart.
Suatu hari pada
1961, ketika sedang menghadiri konferensi, dia sekonyong-konyong melamun. Dia
teringat akan alat mekanis yang sempat memukaunya di SMA, planimeter, yang
apabila digulirkan mengikuti perimeter satu area maka dapat mengalkulasi
luasnya. Dua roda tegak lurus—satu horizontal dan satu lagi vertikal—berputar
untuk menunjukkan jarak yang telah dirunut alat tersebut. “Begitu memikirkan
kedua roda itu, kesemuanya seketika menjadi enteng, lalu saya buat saja sebuah
sketsa,” kenang Engelbart.37
Dalam notes saku,
Engelbart menggambarkan bagaimana alat tersebut bisa berputar di atas meja
dengan dua roda yang akan bergerak sembari mengukur tegangan tinggi atau
rendah. Tegangan itu dapat ditransmisikan lewat kabel ke layar komputer untuk
menggerakkan kursor atas-bawah dan kiri-kanan.
Hasilnya, simpel
sekaligus spektakuler, berupa contoh klasik alat yang menjadi perpanjangan
fungsi tubuh manusia. Alat itu memanfaatkan kemampuan koordinasi
otak-tangan-mata manusia untuk memerantarai interaksi langsung dan natural
dengan mesin. Daripada bertindak independen, manusia dan mesin kini dapat
bertindak secara serempak dan padu.
Engelbart
memberikan sketsanya kepada Bill English, yang mengukir kayu mahoni untuk membuat
model awal. Ketika mereka mencoba alat itu di kelompok penguji, hasilnya
ternyata lebih bagus ketimbang alat-alat lain. Kabel mula-mula terletak di
depan, tetapi segera mereka sadar bahwa lebih baik kabel mencuat dari belakang
saja, seperti ekor. Mereka lantas menamai alat itu “tetikus” (mouse).
Kebanyakan genius
sejati (Kepler, Newton, Einstein, dan bahkan Steve Jobs, misalnya)
menggandrungi kesederhanaan. Lain halnya dengan Engelbart. Berhasrat untuk
menjejalkan fungsi sebanyak-banyaknya ke dalam sistem apa pun yang dia buat,
Engelbart ingin agar tetikus mempunyai banyak tombol, barangkali sampai
sepuluh. Oleh karena itu, dia kecewa ketika pengujian menunjukkan jumlah tombol
optimum pada tetikus hanya tiga. Ternyata tiga pun masih kebanyakan karena dua
saja sudah cukup (atau mungkin, seperti kata Jobs si penggila kesederhanaan,
satu saja lebih dari cukup).
Selama enam tahun
berikutnya, berkulminasi pada 1968, Engelbart sibuk merancang sistem augmentasi
utuh yang dia sebut “oNLine System” atau NLS. Selain tetikus, NLS terdiri atas
banyak komponen yang akan mencetuskan dan menunjang Revolusi PC: grafis pada
layar, banyak jendela pada layar, penerbitan digital, jurnal serupa blog,
kolaborasi ala wiki, fitur berbagi dokumen, surel, pesan instan, tautan hypertext, telekonferensi ala Skype, dan penataan format
dokumen.
Salah seorang
muridnya, Alan Kay, yang kelak mengembangkan ide-ide itu lebih jauh di Xerox
PARC, berkomentar tentang Engelbart, “Saya tidak tahu Silicon Valley akan
berbuat apa ketika sudah kehabisan ide Doug.”38
IBU DARI SEGALA DEMO
Engelbart lebih menggemari tarian tradisional
Yunani daripada Trips Festivals. Namun, dia berkenalan dengan Stewart Brand
ketika mereka coba-coba mencicipi LSD di lab yang sama. Aneka usaha Brand,
termasuk Whole Earth Catalog, bermarkas beberapa blok
saja dari Augmentation Research Center-nya Engelbart. Itu sebabnya, wajar jika
keduanya bahu-membahu dalam demonstrasi oNLine System karya Engelbart pada
Desember 1968.
Berkat insting
tajam Brand sebagai impresario, peragaan tersebut—yang kelak lebih dikenal
dengan sebutan Ibu dari Segala Demo—menjadi ajang multimedia nan menggegerkan,
laiknya Trips Festival versi chip silikon. Kancah ini
akan diingat sebagai perkawinan serasi antara kultur hippie
dan budaya peretas yang belum bisa diungguli sampai sekarang—bahkan oleh
peluncuran produk Apple—sebagai demonstrasi teknologi paling memukau dan
berpengaruh pada era digital.39
Tahun 1968 identik
dengan periode yang penuh gonjang-ganjing di Amerika Serikat. Pada tahun itu
Serangan Tet membalikkan pandangan rakyat Amerika sehingga menentang Perang
Vietnam, Robert Kennedy dan Martin Luther King dibunuh, sedangkan Lyndon
Johnson mengumumkan takkan kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Unjuk
rasa menuntut perdamaian menyebabkan berbagai universitas besar tutup dan
mengganggu Konvensi Nasional Partai Demokrat di Chicago. Rusia menggilas Musim
Semi Praha, Richard Nixon terpilih sebagai presiden, dan Apollo 8 mengorbit
bulan. Pada tahun itu pula Intel didirikan dan Stewart Brand menerbitkan Whole Earth Catalog pertama.
Peragaan Engelbart
yang berdurasi sembilan puluh menit berlangsung pada 9 Desember di depan hampir
seribu hadirin—semuanya berdiri—dalam konferensi industri komputer di San
Francisco. Sambil mengenakan kemeja putih lengan pendek dan dasi tipis berwarna
gelap, Engelbart duduk di kanan panggung, di balik meja kantor ramping
rancangan Herman Miller. Monitor komputernya diproyeksikan ke layar enam meter
di belakangnya. “Mudah-mudahan Anda memaklumi tatanan panggung yang tak biasa
ini,” dia memulai.
Engelbart
mengenakan headset seperti yang digunakan oleh pilot,
bicaranya monoton seperti suara komputer yang berusaha menirukan narator berita
zaman dahulu. Howard Rheingold, suhu dan periwayat cyberculture,
belakangan mengatakan bahwa Engelbart mirip “komandan kosmos komputer yang
dengan kalem mengetes apakah sistem barunya laik jalan, lalu melapor kepada
warga bumi yang tercengang dengan suaranya yang pelan dan tenang”.40
“Andaikan di
kantor,” kata Engelbart dengan nada datar, “Anda sebagai pekerja intelektual
disuguhi layar komputer yang hidup seharian dan secara seketika merespons tiap
tindakan Anda, seberapa bernilainya benda itu, menurut Anda?” Engelbart
menjanjikan teknologi kombinasi yang akan dia demonstrasikan, “Sangatlah
menarik,” dan kemudian menambahkan dengan amat lirih, “menurut saya.”
Kamera yang
dihubungkan ke terminal komputer Engelbart menangkap wajahnya, sedangkan kamera
lain di atas menunjukkan tangannya yang mengendalikan tetikus serta papan
ketik. Bill English, sang pengukir tetikus, duduk di bagian belakang auditorium
seperti produser berita untuk memilah-milah gambar mana saja yang akan
dipadukan, dipasangkan, dan diproyeksikan ke layar besar.
Doug Engelbart (1925–2013).
Stewart Brand (tengah) sedang bantu-bantu dalam
ajang Ibu dari Segala Demo pada 1968.
Tetikus pertama Engelbart.
Stewart Brand
berada hampir lima puluh kilometer dari sana, di lab Engelbart dekat Stanford,
sibuk memunculkan gambar-gambar dari komputer dan mengarahkan kamera. Dua
pemancar gelombang mikro sewaan dan koneksi telepon mentransmisikan tiap
pencetan tetikus dan papan ketik yang Engelbart buat ke lab tersebut, kemudian
mengirimkan gambar-gambar dan informasi kembali ke auditorium.
Hadirin menonton
sambil terperangah saat Engelbart berkolaborasi dengan kolega lewat jarak jauh
untuk menciptakan dokumen; orang-orang yang berlainan menyunting, menambahkan
grafis, mengubah tampilan, membubuhkan peta, dan melampirkan elemen audio dan
visual saat itu juga. Bahkan, mereka mampu menciptakan tautan hypertext bersama-sama.
Singkat kata, pada
1968, Engelbart menunjukkan bahwa hampir semua yang bisa dikerjakan oleh
komputer terhubung jaringan Internet saat ini. Demonstrasinya berlangsung
mulus, tanpa cela dan kesalahan teknis sama sekali. Khalayak memberinya tepuk
tangan meriah. Beberapa orang malah merangsek naik ke panggung seolah-olah
Engelbart selebritas, dan memang benar demikian.41
Tidak jauh dari
auditorium tempat demonstrasi Engelbart, masih satu lantai, tengah berlangsung
sesi lain yang disuguhkan oleh Les Earnest. Bersama pindahan dari MIT, John
McCarthy, Earnest mendirikan Lab Kecerdasan Buatan Stanford. Sebagaimana
dilaporkan oleh John Markoff dalam What the Dormouse Said,
mereka menampilkan film tentang robot yang bersikap seolah bisa mendengar dan
melihat.
Kedua demo tersebut
menyuguhkan secara kontras perbedaan tujuan antara kecerdasan buatan dan augmented intelligence. Misi Engelbart terkesan janggal
ketika dia pertama-tama merintisnya. Namun, saat Engelbart menunjukkan seluruh
elemen augmented intelligence dalam demo pada
Desember 1968—PC yang bisa digunakan secara interaktif seketika itu juga,
jaringan yang menjembatani kreativitas kolaboratif—oNLine System jauh
mengungguli si robot.
Dalam surat kabar San Francisco Chronicle, edisi
keesokan hari, berita utama dari konferensi itu tentang demonstrasi
Engelbart—“Dunia Fantastis Komputer Masa Depan” (“Fantastic World of Tomorrow’s
Computer”)—bukan si robot.42
Seolah-olah
mengesahkan penyatuan antara budaya tandingan dan cyberculture,
Brand mengajak Ken Kesey ke lab Engelbart untuk menjajal oNLine System. Kesey,
yang saat itu sudah terkenal berkat buku laris Tom Wolfe, The
Electric Kool-Aid Acid Test, diberi penjelasan lengkap mengenai
kapabilitas sistem itu menggunting, menempel, mengambil, dan menciptakan buku
serta dokumen lain secara kolaboratif.
Dia terkesan.
“Benda ini bakal dicari orang,” Kesey mengumumkan.43
ALAN KAY
Alan Kay harus mengerahkan seluruh tenaga supaya
bisa menghadiri ajang Ibu dari Segala Demo-nya Engelbart. Dia sedang sakit
tenggorokan karena infeksi saluran pernapasan atas dan demamnya mencapai 39
derajat. Walau begitu, dia memaksa diri untuk naik pesawat dari Utah, tempatnya
sedang menempuh studi pascasarjana. “Saya menggigil dan mual-mual serta hampir
tidak bisa berjalan,” kenangnya, “tetapi saya bertekad harus ke sana.”44
Dia telah mendengar
dan memahami ide-ide Engelbart, tetapi demonstrasi dramatis itu menyerunya
bagai pekik perang. “Bagi saya, dia itu ibarat Musa yang membelah Laut Merah,”
kata Kay. “Dia menunjuki kami tanah terjanji yang mesti ditemukan, juga lautan
serta sungai yang mesti kami seberangi untuk sampai ke sana.”45
Sama seperti Musa,
Engelbart ternyata tidak sampai ke tanah terjanji. Justru Kay dan sekawanan
kolega riang gembira di sentra riset perusahaan pembuat mesin fotokopi yang
akan memimpin implementasi ide-ide Licklider dan Engelbart ke ranah surgawi PC.
Kay belajar
mencintai bidang humaniora dan sains sejak kanak-kanak di Massachusetts tengah,
tempat kelahirannya pada 1940. Ayah Kay seorang fisiolog yang merancang lengan
dan kaki buatan. Selagi berjalan-jalan jauh di alam terbuka dengan sang ayah,
tumbuhlah kecintaan Kay terhadap sains, tetapi dia juga menggilai musik.
Ibunya seorang
seniman dan musisi, sedangkan kakeknya (ayah dari ibu Kay) seorang ilustrator
dan penulis terkemuka, Clifton Johnson, yang kerap memainkan organ pipa di
gereja setempat. “Karena ayah saya ilmuwan dan ibu saya seniman, saya sudah
dikondisikan sejak kanak-kanak untuk mengekspresikan bermacam ide dengan
bermacam cara. Sampai sekarang, saya tidak pernah membeda-bedakan ‘seni’ dengan
‘sains’.”46
Pada usia 17 tahun
Kay mengikuti perkemahan musik dan di sana dia bermain gitar serta menjadi
anggota grup musik jaz. Sama seperti sang kakek, dia sangat menyukai organ pipa
dan kelak membantu seorang perajin membuat organ pipa bergaya barok Spanyol
untuk seminari Lutheran. Kay, yang cerdik dan banyak membaca, sering mendapat
masalah di sekolah terutama karena tidak patuh, sifat yang dipunyai oleh banyak
inovator teknologi. Dia hampir saja dikeluarkan. Namun, dia juga membintangi
acara radio nasional, Quiz Kids.
Kay masuk ke
Bethany College di West Virginia untuk kuliah matematika dan biologi, tetapi
dikeluarkan pada musim semi pada tahun pertama karena “absen berkepanjangan
tanpa alasan”. Selama beberapa waktu, dia luntang-lantung di Denver, tempat
seorang temannya bekerja sebagai operator komputer untuk sistem pemesanan tiket
pesawat United Airlines. Kay terbengong-bengong karena komputer sepertinya
menambah daripada mengurangi pekerjaan menjemukan manusia.
Daripada dijaring
keharusan wajib militer, Kay memilih mendaftar atas kemauan sendiri ke Angkatan
Udara. Sebagai peraih skor tertinggi dalam psikotes, dia direkrut untuk
mengikuti pelatihan programmer komputer. Dia bekerja
menggunakan IBM 1401, komputer pertama yang dipasarkan secara luas untuk usaha
kecil. “Pada masa itu pemrograman adalah profesi level bawah dan kebanyakan programmer adalah perempuan,” kata Kay. “Mereka jago-jago.
Bos saya perempuan.”47
Seusai masa
pengabdiannya, dia masuk ke Universitas Colorado dan di sana memuaskan semua
kegemarannya: dia belajar biologi, matematika, musik, dan teater sembari
menyambi di National Center for Atmospheric Research sebagai programmer superkomputer.
Dia kemudian
mengeluyur ke sekolah pascasarjana di Universitas Utah yang, menurutnya kelak,
merupakan “nasib termujur yang pernah saya dapat”. David Evans sang pionir
sains komputer kebetulan tengah merintis program studi grafis komputer terbaik
di Amerika Serikat. Pada hari kedatangan Kay pada musim gugur 1966, Evans
menyerahkan dokumen dari setumpuk berkas di meja dan menyuruh dia membacanya.
Dokumen tersebut
merupakan disertasi doktoral MIT karya Ivan Sutherland, yang saat itu mengajar
di Harvard, tetapi akan segera pindah ke Utah. Ditulis di bawah bimbingan
teoretikus informasi, Claude Shannon, disertasi itu berjudul “Sketchpad: Sistem
Komunikasi Grafis Manusia-Mesin” (“Sketchpad: A Man-Machine Graphical
Communications System”).48
Sketchpad adalah
program komputer yang memelopori penggunaan graphical user
interface, fitur antarmuka yang menampilkan ikon dan grafis di layar
seperti komputer dewasa ini. Tampilan grafis semacam itu, yang dapat
dimunculkan dan dimanipulasi dengan pulpen berlampu, merupakan cara anyar nan
memikat untuk memerantarai interaksi manusia dengan komputer. “Sistem Sketchpad
memungkinkan manusia dan komputer untuk berdialog dengan cepat lewat medium
berupa garis-garis gambar,” tulis Sutherland.
Kesadaran bahwa
seni dan teknologi bisa berpadu guna menciptakan antarmuka komputer yang sedap
dipandang menggugah antusiasme Kay untuk mewujudkan masa depan yang
mengasyikkan. Ide-ide Sutherland, katanya, ibarat “secercah surga” dan
“membekaskan” hasrat untuk menciptakan PC yang ramah pengguna pada diri Kay.49
Kontak pertama Kay
dengan Engelbart terjadi awal 1967, beberapa bulan setelah dia menjumpai ide
Sketchpad Sutherland. Engelbart sedang berkeliling universitas, memberikan
kuliah tentang ide-ide yang nantinya dia paparkan lewat ajang Ibu dari Segala
Demo sambil menggunakan proyektor model lama untuk menampilkan film tentang
oNLine System. “Dia menyetop adegan dan memutarnya bolak-balik dengan kecepatan
berbeda-beda,” kenang Kay. “Kemudian, dia berkata, ‘Itu kursor. Perhatikan apa
yang akan dilakukan kursor sehabis ini!’”50
Bidang grafis
komputer dan antarmuka pengguna natural sedang menjadi tren. Jadi, Kay
berkesempatan menyerap ide dari banyak sumber. Dia mendengarkan kuliah dari
peneliti MIT, Marvin Minsky, mengenai kecerdasan buatan dan sekolah yang tidak
mengajari murid-murid untuk menyikapi kompleksitas secara imajinatif sehingga
melibas kreativitas mereka. “Dia mencecar metode pendidikan tradisional dengan
hebatnya,” kenang Kay.51
Dia kemudian
bertemu dengan kolega Minsky, Seymour Papert, pencipta bahasa pemrograman
bernama LOGO yang cukup sederhana untuk digunakan oleh anak sekolah. Dengan
LOGO, misalnya, murid bisa menggunakan perintah sederhana untuk menggerakkan
kura-kura robot mengelilingi ruang kelas. Setelah mendengar paparan Papert, Kay
mulai menggambar sketsa untuk mengira-ngira tampilan PC yang ramah anak.
Dalam konferensi di
Universitas Illinois, Kay melihat layar datar sederhana dari kaca tipis dengan
gas neon. Mengombinasikan layar datar itu dengan demonstrasi oNLine System dari
Engelbart, sambil membuat perhitungan kasar dampak Hukum Moore, Kay menyadari
tampilan grafis dengan jendela, ikon, hypertext, dan
kursor yang dikontrol tetikus tentu sudah menjadi bagian dari komputer kecil
selambat-lambatnya 10 tahun lagi.
“Saya hampir-hampir
takut akan implikasinya,” kata Kay dengan dramatis. “Pasti kegamangan seperti
itulah yang orang-orang rasakan ketika mendongak ke langit setelah membaca
Copernicus.”
Kay melihat masa
depan dengan amat jernih dan dia menjadi tidak sabar, ingin cepat-cepat
mewujudkannya. “Akan ada jutaan mesin dan pengguna pribadi, sebagian besar
berada di luar kendali langsung institusi,” ujarnya. Untuk itu, diperlukan
komputer kecil pribadi dengan tampilan grafis yang mudah digunakan, bahkan oleh
anak-anak, dan berharga terjangkau sehingga bisa dibeli oleh perorangan.
“Gambaran mengenai PC yang sempurna serta-merta terbayang di benak saya.”
Dalam disertasi doktoralnya,
Kay menjabarkan sejumlah karakter PC, terutama berupa kesederhanaan (“Komputer
tersebut harus bisa dipelajari sendiri”) dan ramah pengguna (“Keramahan harus
menjadi bagian integral”). Kay mendesain komputer laiknya seorang humanis
sekaligus insinyur. Dia terilhami oleh juru cetak Italia awal abad ke-16
bernama Aldus Manutius, yang menyadari buku pribadi harus muat di kantong
pelana sehingga dia memproduksi ukuran buku yang sekarang lumrah.
Sama seperti
Manutius yang mempertimbangkan kenyamanan pengguna, Kay juga mafhum PC ideal
tidak boleh lebih besar daripada buku tulis. “Mudah saja menentukan apa yang
selanjutnya mesti dikerjakan,” kenang Kay. “Saya membuat model dari kardus
untuk melihat akan seperti apa tampilan dan ‘rasa’ benda tersebut.”52
Kay terilhami oleh pekerjaan Engelbart di
Augmentation Research Center. Namun, daripada bergabung ke sana, dia justru
masuk ke Lab Kecerdasan Buatan Stanford pimpinan Profesor John McCarthy.
Kombinasi ini tidak cocok. Sebab, McCarthy berfokus pada kecerdasan buatan,
bukan pengembangan teknologi untuk memperlengkapi kecerdasan manusia. Dia tidak
berminat dengan PC. McCarthy semata-mata meyakini arti penting komputer besar
yang digunakan dengan sistem time-sharing.
Dalam makalah
akademik yang disuguhkan pada 1970, tidak lama sesudah Kay masuk ke Lab
Kecerdasan Buatan Stanford, McCarthy menjabarkan visi tentang sistem time-sharing menggunakan terminal-terminal yang kemampuan
pemrosesan dan memorinya kecil. “Tiap terminal dapat dihubungkan lewat telepon
ke komputer time-sharing yang mempunyai akses
langsung ke arsip buku, majalah, koran, katalog, jadwal penerbangan,” tulis
McCarthy. “Lewat terminal tersebut, pengguna bisa memperoleh informasi apa pun
yang diinginkan, bisa berjual beli, bisa berkomunikasi dengan institusi dan
orang lain, serta memproses informasi secara bermakna.”53
McCarthy
memperkirakan metode seperti itu akan memicu tumbuhnya sumber informasi gaya
baru yang bisa bersaing dengan media tradisional, sekalipun dia mengira
sumber-sumber tersebut akan disokong oleh pembayaran dari konsumen, dan bukan
iklan seperti sekarang. “Karena penyimpanan berkas informasi di dalam komputer
dan penyediaannya kepada publik hanya membutuhkan biaya yang ringan, seorang
murid SMA bahkan bisa bersaing dengan New Yorker jika
tulisannya bagus, jika kabar dari mulut ke mulut dan penilaian positif dari
pengulas tepercaya memopulerkannya kepada khalayak umum.”
McCarthy juga
memprediksi konten berbasis crowdsourcing: pengguna
dapat “memberi tahu sistem apakah obat kebotakan tahun kemarin manjur atau
tidak, kemudian memperoleh rangkuman opini dari orang-orang yang sempat
mencatat pengalaman masing-masing tentang obat yang pernah mereka coba”.
McCarthy pun berpandangan positif mengenai ranah yang kelak kita kenal sebagai
dunia blog nan riuh rendah.
“Kontroversi publik
dapat ditelaah secara lebih panjang lebar ketimbang saat ini. Jika saya membaca
sesuatu yang terkesan kontroversial, saya bisa menanyakan kepada sistem apakah
sudahkah ada tanggapan. Tanggapan tersebut, berpadu dengan kapabilitas penulis
untuk meralat pernyataan awalnya, akan menuntun orang-orang agar lebih
bijaksana dalam mempertimbangkan pendapat masing-masing.”
Visi McCarthy
nantinya memang terwujud, tetapi ada satu perbedaan mendasar dengan visi Kay
dan Internet yang kita kenal sekarang. McCarthy tidak pernah mengangankan PC
yang mempunyai memori dan kemampuan pemrosesan memadai. Dia justru yakin bahwa
setiap individu hanya akan memiliki terminal bodoh berharga murah yang kemudian
dihubungkan dengan komputer-komputer cerdas nun jauh di sana.
Bahkan, sesudah
klub-klub penggemar komputer amatir meruyak di mana-mana, McCarthy tetap saja
mengadang-gadang “Home Terminal Club”, yang akan menyewakan terminal mirip
mesin faks seharga $75 per bulan kepada orang-orang supaya dapat mengakses
komputer mainframe di tempat jauh dengan sistem time-sharing.54
Sebaliknya, Kay
membayangkan komputer-komputer kecil yang hebat, masing-masing memiliki memori
dan kekuatan pemrosesan mumpuni, yang akan menjadi alat personal untuk
mengekspresikan kreativitas individu. Dia memimpikan anak-anak yang berkeliaran
ke hutan dan duduk-duduk di bawah pohon sambil menggunakan alat tersebut
seperti menggunakan krayon dan segepok kertas.
Maka, setelah dua
tahun banting tulang di antara para penganjur time-sharing
di Lab Kecerdasan Buatan Stanford, pada 1971 Kay menerima tawaran untuk bekerja
di lembaga riset korporasi berjarak tiga kilometer dari Stanford. Kebetulan
lembaga riset itu sedang gencar-gencarnya merekrut inovator muda yang ingin
membuat komputer berkarakter personal, ramah pengguna, dan cocok untuk
individu. McCarthy kelak menepis tujuan tersebut sebagai “bidah ala Xerox”,55 tetapi justru inovator-inovator belia itulah yang nanti menyetir
perkembangan komputer ke era PC.
XEROX PARC
Pada 1970 Xerox Corporation mengikuti jejak
langkah Bell System dengan meresmikan lab yang didedikasikan murni untuk riset.
Supaya tidak tercemari pola pikir korporasi yang birokratis atau target bisnis,
sentra riset itu didirikan di kompleks perindustrian Stanford, 4.000 kilometer
lebih dari markas besar perusahaan di Rochester, New York.56
Salah seorang yang
direkrut untuk memimpin Xerox’s Palo Alto Research Center, alias Xerox PARC,
adalah Bob Taylor, yang baru saja meninggalkan IPTO setelah membantu membangun
ARPANET. Berkat kunjungannya ke sejumlah sentra riset yang didanai oleh ARPA
dan konferensi yang dia gelar untuk mewadahi para mahasiswa pascasarjana paling
cemerlang, Taylor semakin jeli saja dalam mengenali orang berbakat.
“Taylor telah
mendanai dan bekerja dengan banyak kelompok penelitian sains komputer pada
periode tersebut,” kenang Chuck Thacker, salah satu rekrutan Taylor. “Posisinya
yang unik memungkinkan Taylor untuk menarik staf paling berkualitas.”57
Taylor mempunyai
satu lagi bakat kepemimpinan yang diasah lewat pertemuan dengan para peneliti
ARPA dan mahasiswa pascasarjana: dia mampu menyulut “pergesekan kreatif”, yaitu
semangat untuk mempertanyakan dan bahkan mengkritik habis-habisan ide satu sama
lain, disusul dengan kerelaan untuk mengartikulasikan keuntungan dari ide yang
tidak kita sukai. Taylor memfasilitasi proses tersebut dalam—menurut
istilahnya—rapat “Bandar” (mengibaratkan para peserta sebagai pemain yang harus
mengalahkan bandar dalam blackjack).
Dalam rapat
tersebut, satu orang diharuskan menyuguhkan ide, sedangkan yang lain
dipersilakan melontarkan kritik (yang biasanya konstruktif). Taylor sendiri
bukan genius teknologi, tetapi dia tahu caranya memancing para anggota kelompok
untuk menajamkan gagasan lewat duel yang bersahabat.58 Sebagai
moderator, dia pandai mendesak, membujuk, memprovokasi, dan memuji-muji
orang-orang kawakan yang temperamental sehingga mau bertukar ide dan
berkolaborasi. Taylor lebih lihai melunakkan ego para bawahan ketimbang
menjilat para bos, tetapi justru itu daya pikatnya—terutama jika kita bukan
bosnya.
Salah seorang
rekrutan pertama Taylor adalah Alan Kay, yang dia kenal lewat konferensi ARPA.
“Saya bertemu Alan waktu dia masih mahasiswa doktoral di Utah dan saya sangat
menyukainya,” kata Taylor.59 Walau begitu, Taylor
tidak menarik Kay ke labnya sendiri di PARC, tetapi menempatkan dia ke kelompok
lain. Itulah cara Taylor menebarkan bibit unggul secara merata.
Ketika datang ke
PARC untuk wawancara formal, Kay ditanyai cita-citanya. “Menciptakan komputer
yang personal,” jawabnya. Ketika ditanya apa maksudnya, Kay mengambil buku
gambar dan membuka sampulnya, kemudian mengatakan, “Komputer yang berlayar
datar untuk menyuguhkan tampilan. Di bawahnya ada papan ketik. Dayanya cukup
untuk menyimpan surat, berkas, musik, karya seni, dan buku. Semua dibungkus
kemasan kira-kira sebesar ini dan beratnya beberapa kilogram saja. Itulah
maksud saya.” Si pewawancara cuma garuk-garuk kepala dan bergumam, “Terserah.”
Kendati demikian, Kay mendapatkan pekerjaan di PARC.
Dengan mata
berbinar-binar dan kumis tebal, Kay dianggap biang onar—label yang mungkin
memang tepat. Bagaikan bocah yang jail sekaligus rewel, dia senang merongrong
para eksekutif perusahaan fotokopi supaya membuat komputer kecil ramah pengguna
untuk anak-anak. Direktur Perencanaan Xerox, Don Pendery, pria masam asal New
England, mengalami apa yang oleh profesor Harvard, Clay Christensen, disebut
“dilema inovator”: ke mana pun menoleh, dia melihat hantu yang bakal menggerogoti
laba bisnis fotokopi Xerox.
Pendery
berkali-kali meminta Kay dan lain-lain agar memberinya “analisis tren pasar”
jika ingin proyek mereka diberi lampu hijau oleh perusahaan. Dalam satu sesi
yang menjengkelkan, Kay—seolah mengoleksi kata mutiara dalam otaknya—spontan
mengatakan, “Cara terbaik untuk memprediksi masa depan ialah dengan menciptakan
masa depan itu sendiri.”60
Untuk menulis
artikel Rolling Stone pada 1972 mengenai kultur
teknologi yang tengah berkembang di Silicon Valley, Stewart Brand menyambangi
Xerox PARC, menyebabkan markas besar perusahaan di timur ketar-ketir ketika
artikel itu terbit. Dengan menggebu-gebu, Brand memaparkan bahwa penelitian
PARC telah “beranjak menjauhi yang besar dan yang terpusat, untuk menyongsong
yang kecil dan yang personal, dalam rangka menghadirkan komputer berdaya
maksimum di tangan individu-individu yang menginginkannya.”
Brand antara lain
mewawancarai Kay, yang mengatakan, “Orang-orang di sini tidak takut mencoba apa
saja.” Berkat orang-orang seperti Kay, PARC mempunyai semangat bekerja sambil
bermain, layaknya para peretas di Tech Model Railroad Club MIT. “Di tempat ini
kita tetap bisa menjadi seorang artisan,” katanya kepada Brand.61
Kay sadar bahwa dia membutuhkan nama yang gampang
diingat untuk PC kecil buatannya, maka dijulukinya komputer itu Dynabook. Kay
juga menggagas nama imut untuk sistem operasinya, yaitu Smalltalk. Nama itu
dipilih supaya tidak mengintimidasi pengguna baru dan tidak membangkitkan
ekspektasi berlebihan dari para insinyur kelas berat. “Smalltalk adalah label
yang manis sekali sehingga, menurut saya, andaikan kapabilitasnya lumayan,
orang-orang tentu sudah senang,” komentar Kay.
Dia bertekad
membuat Dynabook yang bisa dijual dengan harga kurang dari $500, “supaya bisa
kami bagi-bagikan ke sekolah”. Komputer itu juga mesti kecil dan personal agar
“seorang anak bisa membawanya ke mana pun dia ingin bersembunyi”, dengan bahasa
pemrograman yang ramah pengguna. “Benda sederhana mesti sederhana, benda rumit
mesti bisa dibuat,” Kay menyatakan.62
Kay menulis
deskripsi tentang Dynabook, berjudul “PC untuk Anak-Anak Segala Usia” (“A
Personal Computer for Children of All Ages”), yang dimaksudkan sebagai
proposal, tetapi lebih mirip manifesto. Kay membuka paparan dengan mengutip
pandangan Ada Lovelace bahwa komputer mestinya bisa dipergunakan untuk kerja
kreatif. “Mesin Analitis merajut pola-pola aljabar, sebagaimana mesin tenun
Jacquard merajut kembang dan dedaunan.”
Dalam penjabaran
mengenai penggunaan Dynabook oleh anak-anak (segala usia), Kay menunjukkan
bahwa dia berada di kubu “komputer sebagai alat ekspresi kreativitas individu”
alih-alih di kubu “komputer sebagai terminal yang menjembatani kolaborasi”. Kay
menulis, “Meskipun komputer dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang
lain lewat ‘sarana pengetahuan’ masa depan seperti ‘perpustakaan’ sekolah, kami
berpendapat bahwa kebanyakan akan dimanfaatkan sebagai medium kontemplasi dan
ekspresi pribadi oleh si pengguna, sebagaimana kita memakai kertas dan notes
saat ini.”
Dynabook, Kay
melanjutkan, harus kurang dari dua kilogram dan tidak melebihi besar buku
tulis. “Dengan begitu, si pemilik bisa mengolah dan menyunting teks serta
program kapan pun dan di mana pun dia ingin. Perlukah kami tambahkan bahwa
benda tersebut bisa digunakan di dalam hutan?” Dengan kata lain, Dynabook yang
Kay angankan bukan sekadar terminal bodoh yang didesain untuk dihubungkan
dengan metode time-sharing ke komputer utama yang
jauh di sana.
Kendati demikian,
Kay sudah membayangkan masa depan ketika komputer pribadi dapat dihubungkan
satu sama lain lewat jaringan digital. “Kombinasi alat portabel dengan saluran
informasi global seperti jaringan ARPA atau televisi berlangganan akan
menghadirkan perpustakaan dan sekolah (juga toko dan baliho) di dalam rumah.”63 Visi ini menarik, tetapi baru bisa terwujud dua dasawarsa berselang.
Untuk
memperjuangkan misi menciptakan Dynabook, Kay menghimpun tim kecil dan
memetakan tujuan yang romantis, menggugah, sekaligus sumir. “Saya hanya
mempekerjakan orang-orang yang matanya berbinar ketika mendengar tentang
komputer notebook,” kenang Kay. “Siang hari kerap
kami habiskan di luar PARC untuk main tenis, bersepeda, minum-minum bir, makan
masakan Tiongkok, dan mengobrolkan Dynabook beserta potensinya untuk
memperpanjang jangkauan manusia dan menyodorkan cara baru dalam berpikir untuk
peradaban yang sedang terengah-engah sehingga amat membutuhkannya.”64
Sebagai langkah
pertama dalam mewujudkan Dynabook, Kay mengusulkan pembuatan mesin “interim”.
Ukurannya kira-kira sebesar tas tenteng dan berlayar grafis kecil. Pada Mei
1972 Kay meminta izin dari para bos perangkat keras Xerox PARC untuk membuat
tiga puluh mesin. Mesin itu kemudian bisa dibawa ke ruang kelas guna menguji
apakah murid-murid dapat menggunakannya buat mengerjakan pemrograman sederhana.
“Tujuan kita ialah
membuat alat elektronik yang bisa disimpan di rumah, digunakan untuk menyunting
dan membaca, serta berfungsi sebagai terminal pintar. Manfaatnya sudah jelas,”
kata Kay kepada para insinyur dan manajer yang duduk-duduk di kursi empuk. “Mari
kita rakit tiga puluh dulu supaya bisa segera dicoba.”
Target ini
disampaikan dengan penuh percaya diri, lazimnya kebiasaan Kay, tetapi tidak
cukup untuk meyakinkan Jerry Elkind, Manajer Lab Komputer PARC. “Jerry Elkind
dan Alan Kay bagaikan makhluk dari dua planet yang berbeda, yang satu insinyur
kaku lagi lurus dan satunya petualang nekat berpembawaan filosofis,” menurut
Michael Hiltzik, yang menulis sejarah Xerox PARC.
Mata Elkind tidak
berbinar ketika membayangkan anak-anak yang menggunakan mesin Xerox untuk
memprogram kura-kura mainan. “Biar saya kritisi,” respons Elkind.
Insinyur-insinyur lain langsung siaga satu, merasa akan keluar cecaran
bertubi-tubi. Elkind mengingatkan, PARC diberi mandat menciptakan kantor masa
depan. Jadi, buat apa mereka masuk ke bisnis mainan anak-anak? Lingkungan
korporasi justru cocok untuk komputer besar yang dioperasikan dengan sistem time-sharing. Maka, bukankah lebih baik PARC terus mengejar
peluang itu saja?
Setelah diberondong
pertanyaan semacam itu, Kay merasa ingin masuk ke lubang bawah tanah saja.
Seusai sesi tersebut, dia menangis. Permintaannya untuk membuat satu set
Dynabook interim ditolak.65
Bill English, yang
telah bekerja sama dengan Engelbart dan membuat tetikus pertama, ketika itu
berada di PARC. Sehabis rapat, English mengajak Kay menepi, menghiburnya, dan
menyampaikan masukan. Kay harus berhenti berangan-angan seorang diri dan
menyingsingkan lengan baju untuk menyusun proposal meyakinkan lengkap dengan
rencana anggaran. “Rencana anggaran itu apa?” tanya Kay.66
Kay merevisi
impiannya dan mengajukan rencana simulasi mesin interim. Dia akan menggunakan
anggaran $230 ribu yang dipunyai untuk mengemulasi Dynabook di Nova,
minikomputer sebesar loker buatan Data General. Namun, dia memang tidak
antusias akan rencana tersebut.
Saat inilah dua
bintang dari tim Bob Taylor di PARC, Butler Lampson dan Chuck Thacker, mampir
ke kantor Kay untuk membawakan usulan lain.
“Apa kau punya
uang?” tanya mereka.
“Ya, kira-kira $230
ribu untuk Nova,” jawab Kay. “Kenapa?”
“Kalau kami buatkan
mesin kecilmu itu, bagaimana?” tanya mereka, mengacu pada Dynabook interim yang
sudah ditolak oleh Elkind.
“Asyik!” ujar Kay
mengiyakan.67
Karena Thacker
ingin membuat PC versinya sendiri dan mafhum bahwa Lampson serta Kay memiliki
tujuan yang lebih-kurang sama, mereka memutuskan mengumpulkan sumber daya
menjadi satu dan maju terus tanpa menunggu persetujuan.
“Jerry bagaimana?”
tanya Kay mengenai Elkind, musuh bebuyutannya.
“Jerry ditunjuk ke
gugus tugas korporasi. Jadi, dia akan absen beberapa bulan dari kantor ini,”
kata Lampson. “Pokoknya kita diam-diam saja sebelum dia kembali.”68
Bob Taylor membantu
meracik rencana karena ingin menjauhkan timnya dari pembuatan komputer berbasis
time-sharing. Yang Taylor dambakan untuk timnya ialah
proyek pembuatan “mesin-mesin kecil berlayar grafis yang saling terkoneksi”.69 Dia pun kegirangan karena tiga insinyur favoritnya—Lampson, Thacker,
dan Kay—akan berkolaborasi dalam proyek tersebut.
Perimbangan tim itu
bagus: Lampson dan Thacker orang yang realistis, sedangkan Kay sosok visioner
yang berani mencita-citakan mesin paripurna dan menantang mereka untuk meraih
yang mustahil.
Mesin yang mereka
desain dinamai Xerox Alto (walaupun Kay bersikukuh menyebutnya “Dynabook
interim”). Tampilannya berbasis bitmap, yang berarti tiap piksel di layar bisa
dinyalakan atau dimatikan untuk memunculkan grafis, huruf, sapuan kuas, atau
apa pun. “Kami memilih pencitraan bitmap murni. Dengan demikian, tiap piksel di
layar sama dengan satu bit di memori utama,” Thacker menjelaskan.
Bahwa pendekatan
tersebut membebani memori tidak menjadi masalah karena, sesuai dengan Hukum
Moore, memori akan bertambah murah secara eksponensial. Interaksi pengguna
dengan tampilan di layar dikendalikan oleh papan ketik dan tetikus, seperti
yang didesain oleh Engelbart. Ketika mesin itu rampung pada Maret 1973,
layarnya menampilkan grafis lukisan Kay yang bergambar Cookie Monster dari
Sesame Street sedang memegang huruf “C”.
Dengan mencamkan
anak-anak (segala usia), Kay dan kawan-kawan mengembangkan konsep Engelbart
selangkah lebih jauh. Mereka telah menunjukkan, dalam praktiknya, konsep
Engelbart bisa diejawantahkan menjadi mesin yang sederhana, intuitif, dan ramah
pengguna. Sayangnya Engelbart tidak menempuh jalan yang sama dengan Kay dan kawan-kawan.
Dia justru berambisi memasukkan fungsi sebanyak-banyaknya ke oNLine System;
dengan kata lain, dia tidak berhasrat menciptakan komputer yang kecil dan
personal.
“Arah mereka sangat
lain denganku,” katanya kepada para kolega mengenai Xerox Alto. “Jika kita
membatasi diri di bungkus sekecil itu, banyak fungsi yang mesti kita
korbankan.”70 Itulah sebabnya, Engelbart, sekalipun merupakan teoretikus ulung,
kurang berhasil sebagai inovator: dia terus-menerus menambahkan fungsi,
instruksi, tombol, dan kompleksitas ke dalam sistemnya. Kay justru mempermudah
penggunaan mesin dan, dengan demikian, menunjukkan bahwa kesederhanaan—produk
yang mudah digunakan oleh manusia—merupakan kunci dari komputer yang personal.
Xerox mengirimkan Alto ke sentra riset di sepenjuru
Amerika Serikat, menyebarluaskan inovasi yang digagas oleh para insinyur PARC.
Sistem operasi Alto bahkan memuat prekursor internet
protocol, yaitu PARC Universal Packet, yang menjembatani interkoneksi
antarjaringan berbasis packet switching yang berlainan.
“Sebagian besar teknologi yang menjadi prasyarat Internet telah diciptakan di
Xerox PARC pada 1970-an,” Taylor kelak mengklaim.71
Alan Kay (1940–...) di Xerox PARC pada 1974.
Lee Felsenstein (1945–...).
Sketsa Dynabook buatan Kay pada 1972.
Edisi pertama, Oktober 1972.
Walaupun Xerox PARC
yang membukakan jalan ke negeri PC, bukan Xerox Corporation yang memimpin
migrasi ke sana. Perusahaan itu membuat dua ribu Alto, terutama untuk digunakan
di kantor-kantor Xerox atau institusi yang berafiliasi dengannya, tetapi tidak
memasarkan Alto sebagai consumer product.*1 “Perusahaan itu tidak punya kemampuan untuk menindaklanjuti inovasi,”
kenang Kay. “Membuat kemasan baru, manual baru, memberi pelatihan lagi kepada
karyawan, memutakhirkan produk, melokalkan produk di negara-negara
lain—perusahaan tidak siap melakukan semua itu.”72
Taylor ingat betapa
dirinya membentur tembok tiap kali berhadapan dengan para pembesar Xerox di
timur. Kepala fasilitas riset Xerox di Webster, New York, malah pernah
mengatakan kepada Taylor, “Komputer tidak mungkin menjadi sepenting mesin
fotokopi.”73
Dalam konferensi
internal Xerox yang mewah di Boca Raton, Florida (menghadirkan Henry Kissinger,
yang dibayar sebagai pembicara utama), sistem Alto dipamerkan. Pada pagi hari
diadakan peragaan yang mirip-mirip dengan ajang Ibu dari Segala Demo-nya
Engelbart dan pada siang hari, tiga puluh Alto disiapkan di ruang pameran untuk
digunakan oleh siapa saja yang berminat. Para eksekutif, yang kesemuanya
laki-laki, tidak menunjukkan minat, tetapi istri mereka serta-merta
mencoba-coba tetikus dan papan ketik.
“Para pria rupanya
merasa bahwa mengetik adalah aktivitas yang merendahkan derajat mereka,” kata Taylor,
yang tidak diundang, tetapi datang saja sendiri. “Mengetik adalah pekerjaan
sekretaris. Jadi, mereka tidak menanggapi Alto secara serius, mengira hanya
kaum perempuan yang akan menyukai mesin itu. Saat itulah saya sadar Xerox tidak
punya kemauan untuk mengembangkan PC.”74
Para inovator sigap
berjiwa kewirausahaanlah yang justru akan memimpin perambahan ke pasar PC.
Sebagian malah akan membayar lisensi atau mencuri ide dari Xerox PARC. Namun,
PC buatan paling awal adalah racikan rumahan yang hanya mungkin dicintai oleh
penggila elektronika.
ORGANISATOR KOMUNITAS
Pada tahun-tahun menjelang kelahiran PC,
bermekaranlah kelompok organisatoris komunitas dan aktivis perdamaian di area
Teluk San Fransisco yang belajar mencintai komputer sebagai sarana untuk meletakkan
kekuasaan di tangan rakyat. Mereka merengkuh teknologi berskala kecil, Operating Manual for Spaceship Earth karya Buckminster
Fuller, dan nilai-nilai kemandirian. Namun, lain dengan kelompok Whole Earth,
mereka tidak menggandrungi psikotropika ataupun Grateful Dead.
Fred Moore contoh
aktivis semacam ini. Moore putra seorang kolonel Angkatan Darat yang berkantor
di Pentagon dan dia pindah ke barat pada 1959 untuk kuliah teknik di Berkeley.
Kendati Amerika Serikat bahkan belum meluncurkan serangan militer ke Vietnam,
Moore sudah memutuskan untuk menjadi demonstran antiperang. Dia berkemah di
depan undakan Sproul Plaza, yang akan segera menjadi episentrum demonstrasi
mahasiswa, sambil membawa spanduk yang mengecam program pelatihan militer untuk
mahasiswa.
Protesnya hanya
bertahan dua hari (sang ayah datang menjemputnya pulang), tetapi Moore
mendaftar lagi ke Berkeley pada 1962 dan meneruskan pemberontakannya. Dia
dipenjara dua tahun karena menolak wajib militer dan kemudian, pada 1968,
menyetir van Volkswagen untuk pindah ke Palo Alto
sambil membawa serta seorang bayi perempuan yang ibunya sudah menghilang entah
ke mana.75
Moore berencana
menjadi koordinator gerakan antiperang di sana, tetapi dia menemukan komputer
di Stanford Medical Center dan langsung kepincut. Karena tidak kunjung diusir,
Moore duduk saja di depan komputer seharian sementara sang putri keluyuran di
lorong atau bermain di dalam Volkswagen. Dia lambat laun meyakini komputer bisa
membantu orang-orang mengendalikan hidup mereka sendiri dan membentuk
komunitas. Moore percaya jika bisa memanfaatkan komputer sebagai sarana
pemberdayaan dan pembelajaran pribadi, orang biasa dapat membebaskan diri dari
dominasi militer-industri.
“Fred seorang
pasifis radikal yang berjanggut acak-acakan dan bermata menusuk,” kenang Lee
Felsenstein, yang menjadi bagian dari gerakan akar rumput dan pencinta komputer
di Palo Alto. “Dia tipe orang yang berani berjuang sampai titik darah
penghabisan. Kita mustahil mengabaikannya begitu saja.”76
Sebagai aktivis
perdamaian yang menggandrungi teknologi, tidaklah mengherankan jika Moore
tercebur ke tengah-tengah kawanan Whole Earth pimpinan Stewart Brand. Dia malah
berperan penting dalam salah satu ajang teraneh pada era itu: pesta pembubaran Whole Earth Catalog pada 1971. Terbitan itu menutup buku
dengan—hebatnya—uang sebesar $20 ribu di bank dan, untuk merayakan pembubaran Whole Earth Catalog, Brand memutuskan menyewa Palace of
Fine Arts, bangunan bergaya Yunani klasik di Marina District, San Fransisco.
Brand mengundang
seribu orang yang punya semangat sama ke pesta. Salah satu agenda acaranya
ialah rapat untuk menentukan hendak diapakan uang $20 ribu itu. Brand membawa
segepok pecahan seratus dolar, berkhayal khalayak pencinta musik rok dan
narkoba akan mencapai kata sepakat terkait uang tersebut. “Mana mungkin kita
meminta orang-orang lain di dunia ini untuk mencapai konsensus kalau kita
sendiri tidak bisa?” tanya Brand kepada khalayak.77
Perdebatan
berlarut-larut selama sepuluh jam. Sambil mengenakan jubah hitam pendeta
lengkap dengan tudungnya, Brand mempersilakan tiap pembicara berpidato kepada
hadirin sambil memegang segepok uang dan dia juga tak lupa menerakan
saran-saran di papan tulis. Paul Krassner, anggota Merry Prankster teman Ken
Kesey, menyampaikan pidato menggebu-gebu mengenai nasib kaum Indian
Amerika—“Kita memoroti orang-orang Indian sewaktu kita datang ke sini!”—dan
mengatakan uang itu harus diberikan kepada mereka.
Istri Brand, Lois,
yang kebetulan orang Indian Amerika, tampil ke depan untuk menyatakan bahwa dia
dan orang-orang Indian lain tidak menginginkan uang itu. Pria bernama Michael
Kay mengatakan uang itu mesti dibagi-bagikan kepada mereka sendiri dan kemudian
mulai menyerahkan lembar-lembar uang kepada khalayak; Brand menyergah dan
mengatakan akan lebih bermanfaat apabila seluruh uang digunakan untuk satu
tujuan dan kemudian meminta orang-orang mengembalikan uang kepadanya. Sebagian
memang mengembalikan uang tersebut sehingga menuai tepuk tangan.
Lusinan saran lain
dilontarkan, dari yang sembarangan hingga yang sinting. Guyur ke toilet! Beli
gas tertawa lagi untuk dipakai pesta! Buat simbol lingga raksasa dari plastik
untuk dihunjamkan ke bumi! Saking berkepanjangannya perdebatan itu, seorang
anggota band Golden Toad berteriak, “Bisa fokus,
tidak? Usulan sudah banyak! Pilih satu, bisa, kan? Bisa-bisa acara ini belum
selesai sampai tahun depan. Aku ke sini untuk main musik, tahu!” Bukannya
membuahkan keputusan, omelan tersebut justru ditanggapi dengan jeda musik
singkat, menampilkan seorang penari perut yang ujung-ujungnya menjatuhkan diri
ke lantai sambil menggeliat-geliut.
Saat itulah Fred
Moore, yang berambut acak-acakan dan berambut ikal, maju ke podium dan
menyampaikan kewajibannya sebagai “manusia”. Moore mengecam khalayak karena
peduli pada uang dan, supaya lebih meyakinkan, mengambil uang $2 dari saku,
lalu membakarnya. Sempat terjadi perdebatan seputar pemungutan suara, yang juga
Moore kecam karena merupakan metode memecah belah daripada mempersatukan orang.
Saat itu sudah pukul 03.00, sedangkan khalayak yang sudah bingung sedari awal
telah kian bingung saja.
Moore mendesak
mereka untuk memberitahukan nama masing-masing supaya bisa membentuk jaringan.
“Persatuan di antara semua orang yang hadir di sini malam ini lebih penting
daripada membiarkan diri kita terpecah belah gara-gara uang,” dia menyatakan.78 Ketika pidato panjang Moore usai, kira-kira tinggal dua puluh orang
paling fanatik yang tersisa. Diputuskanlah untuk menyerahkan uang itu kepada
Moore sampai terbetik ide yang lebih bagus.79
Karena tidak mempunyai rekening bank, Moore
mengubur $14.905 yang tersisa dari $20 ribu awal di halaman belakangnya.
Akhirnya, setelah banyak kejadian dramatis dan kedatangan tamu tak diundang
yang meminta uang, Moore mendistribusikan uang itu sebagai pinjaman atau hibah
kepada segelintir organisasi yang bergerak di bidang penyediaan komputer dan
pendidikan di area tersebut. Para penerima merupakan bagian dari komunitas hippie penggila teknologi yang tumbuh di Palo Alto dan
Menlo Park di seputar Brand dan kawanan Whole Earth-nya.
Salah satu penerima
dana adalah penerbit Whole Earth Catalog, yaitu
Portola Institute, lembaga nirlaba alternatif yang menggadang-gadang
“pendidikan komputer untuk seluruh siswa sekolah”. Program belajarnya yang
luwes dikelola oleh Bob Albrecht, seorang insinyur yang meninggalkan karier di
korporasi untuk mengajarkan pemrograman komputer kepada anak-anak dan tari
tradisional Yunani kepada Doug Engelbart dan orang-orang dewasa lain. “Selagi
tinggal di jalan paling rawan di San Francisco, Lombard, saya sering kali
mengoordinasi pengajaran pemrograman komputer, pesta mencicipi anggur, dan
pesta tarian Yunani,” kenangnya.80
Albrecht dan
kawan-kawan membuka sentra komputer untuk umum, yang menyediakan komputer
PDP-8. Dia mengajak sejumlah murid terbaik untuk berkarya wisata, salah satunya
mengunjungi Engelbart di lab augmented intelligence-nya.
Edisi awal Whole Earth Catalog menampilkan foto
Albrecht yang berambut rancung sedang mengajari anak-anak menggunakan
kalkulator.
Albrecht, yang menulis
buku-buku panduan belajar mandiri, antara lain My Computer
Likes Me (When I Speak BASIC) yang populer,
juga meluncurkan terbitan berjudul People’s Computer Company,
yang bukan perusahaan sungguhan, melainkan mengambil inspirasi dari nama band Janis Joplin, Big Brother and the Holding Company.
Nawala tak rutin ini bersemboyan “Kekuatan komputer untuk rakyat”.
Sampul edisi
pertamanya, terbit Oktober 1972, bergambar perahu yang berlayar menyongsong
matahari terbenam dan tulisan tangan berbunyi, “Komputer umumnya digunakan
untuk memperalat alih-alih untuk memberdayakan rakyat; untuk mengendalikan
alih-alih membebaskan rakyat. Sekaranglah waktunya untuk mengubah semua itu
dengan PEOPLE’S COMPUTER COMPANY.”81
Sebagian besar
edisi menampilkan gambar naga—“Saya sudah menggandrungi naga sejak berusia 13
tahun,” kenang Albrecht—dan artikel-artikel tentang pendidikan komputer,
pemrograman BASIC, festival teknologi swadaya serta bermacam kursus.82 Nawala itu membantu mempersatukan peminat elektronika, tukang otak-atik,
dan aktivis akar rumput.
Kultur aktivisme akar rumput diejawantahkan pula
oleh Lee Felsenstein, demonstran antiperang nan tulus yang bergelar Sarjana
Teknik Elektro Berkeley dan tampil dalam buku Hackers
karya Steven Levy. Felsenstein jauh sekali dari Merry Prankster. Bahkan, pada
masa ketika gerakan mahasiswa sedang bergejolak di Berkeley, dia berpantang
seks dan obat-obatan.
Felsenstein rajin
mengorganisasi komunitas laiknya aktivis, sekaligus gemar membuat alat dan
jaringan komunikasi laiknya maniak elektronika. Sebagai pembaca setia Whole Earth Catalog, dia mengapresiasi etos swadaya yang
kental dalam komunitas-komunitas di AS dan meyakini bahwa keterbukaan akses
terhadap alat komunikasi akan membantu masyarakat merebut kuasa dari pemerintah
serta korporasi.83
Semangat
berorganisasi dan kecintaan terhadap elektronika sudah tertanam dalam diri
Felsenstein sejak kanak-kanak di Philadelphia, kota tempatnya dilahirkan pada
1945. Ayahnya seorang mekanik lokomotif yang sesekali bekerja sebagai seniman
bayaran, sedangkan ibunya seorang fotografer. Keduanya diam-diam menjadi
anggota Partai Komunis. “Secara umum, orangtua saya beranggapan kita disuapi
berita palsu oleh media. ‘Palsu’ merupakan salah satu kata kesukaan ayah saya,”
kenang Felsenstein. Bahkan, sesudah keluar dari Partai Komunis, orangtua
Felsenstein tetap menjadi aktivis kiri.
Semasa kanak-kanak,
Felsenstein ikut membentuk pagar betis untuk para pengunjuk rasa yang memprotes
kedatangan pemimpin militer dan pernah membantu mengorganisasi demonstrasi di
depan toko serba-ada Woolworth untuk mendukung para penentang segregasi di
negara bagian selatan AS. “Saya selalu membawa kertas untuk menggambar sewaktu
kecil. Sebab, orangtua saya mendorong kami agar kreatif dan imajinatif,”
kenangnya. “Kertas yang saya bawa biasanya brosur stensilan untuk publikasi
acara, yang bagian belakangnya kosong.”84
Minat Felsenstein
terhadap teknologi ditanamkan oleh sang ibu, yang berulang-ulang menceritakan
bahwa mendiang ayahnya menciptakan mesin diesel kecil untuk truk dan kereta
api. “Saya menangkap isyarat bahwa Ibu ingin agar saya menjadi seorang penemu,”
kata Felsenstein. Suatu kali, ketika dimarahi guru karena melamun, dia
menjawab, “Saya bukan melamun, saya sedang mereka-reka temuan.”85
Di dalam keluarga
yang juga beranggotakan seorang kakak lelaki yang kompetitif dan seorang
saudari angkat, Felsenstein gemar menyepi ke ruang bawah tanah rumah dan
memainkan alat elektronik. Kebiasaan ini memberi Felsenstein keyakinan bahwa
teknologi komunikasi semestinya memberdayakan individu. “Teknologi elektronika
menjanjikan sesuatu yang rupanya sangat saya damba-dambakan—komunikasi dengan
orang-orang di luar struktur hierarkis keluarga.”86
Dia mengambil
kursus jarak jauh dan dari situ memperoleh berbagai buklet serta perangkat uji.
Dia juga membeli buku panduan radio dan transistor 99 sen supaya bisa belajar
mewujudkan gambar skematis menjadi sirkuit sungguhan yang berfungsi. Karena
tumbuh besar sebagai peretas yang hobi merakit barang (yang mesti disolder
sendiri), Felsenstein belakangan prihatin melihat generasi muda tumbuh besar
dengan alat-alat tersegel yang tak bisa diotak-atik.*2 “Saya belajar
elektronika semasa kanak-kanak dengan mengotak-atik radio. Sebab, radio zaman
dahulu didesain gampang dibuka supaya dapat diperbaiki jika rusak.”87
Insting politik dan
minat teknologi Felsenstein terekspresikan lewat kecintaan terhadap fiksi
ilmiah, terutama tulisan-tulisan Robert Heinlein. Sama seperti para gamer dan maniak komputer yang berperan dalam menciptakan
kultur PC, Felsenstein terilhami oleh motif paling lazim dalam genre itu, yakni
tentang pahlawan peretas yang menggunakan keahlian teknis untuk menjatuhkan
penguasa jahat.
Dia masuk ke
Berkeley pada 1963 dan mengikuti kuliah Teknik Elektro, tepat saat
gonjang-ganjing anti-Perang Vietnam sedang panas-panasnya. Salah satu aksi
pertama di Berkeley, ia ikut berunjuk rasa bersama-sama dengan Allen Ginsberg
sang penyair untuk menentang kunjungan seorang petinggi Vietnam Selatan. Demonstrasi
berlangsung berkepanjangan melewati jadwal semula, sampai-sampai Felsenstein
harus naik taksi supaya sempat mengikuti praktikum kimia.
Untuk membayar uang
kuliah, dia mengikuti program kuliah kerja nyata di NASA, tepatnya di Edwards
Air Force Base, tetapi terpaksa berhenti ketika pihak berwenang mengetahui
bahwa orangtuanya komunis. Felsenstein menelepon ayahnya untuk menanyakan
apakah tuduhan itu benar. “Ayah tidak mau membicarakannya di telepon,” timpal
sang ayah.88
“Asalkan tidak
macam-macam, Nak, kau pasti takkan kesulitan memperoleh kembali pekerjaanmu,”
Felsenstein dinasihati demikian oleh seorang perwira Angkatan Udara. Namun,
sudah menjadi bawaan Felsenstein untuk pantang diperintah-perintah. Insiden
tersebut justru menyebabkannya kian antipati terhadap pemegang kuasa yang
sewenang-wenang.
Dia kembali ke
kampus pada Oktober 1964, tepat saat protes Gerakan Kebebasan Berpendapat
tengah meledak dan, bagaikan pahlawan fiksi ilmiah, Felsenstein memutuskan
memanfaatkan keterampilan teknologinya untuk membantu perjuangan. “Kami
mencari-cari senjata nonkekerasan dan saya mendadak sadar bahwa senjata
nonkekerasan yang paling hebat adalah aliran informasi.”89
Suatu saat tersiar
rumor polisi telah mengepung kampus dan seseorang sontak berteriak kepada Felsenstein,
“Cepat! Buatkan radio polisi untuk kita.” Meski tidak bisa serta-serta membuat
benda semacam itu, Felsenstein memetik pelajaran dari pengalaman tersebut.
“Saya bertekad untuk berdiri di jajaran terdepan guna membantu semua orang
mengaplikasikan teknologi demi kepentingan sosial.”90
Kesadaran paling
penting yang diperoleh oleh Felsenstein: cara terbaik merebut kekuasaan dari
tangan institusi besar ialah dengan menciptakan jaringan komunikasi jenis baru.
Dia menyadari itulah esensi dari gerakan kebebasan
berpendapat. “Gerakan Kebebasan Berpendapat bermaksud meruntuhkan
batasan komunikasi di antara orang-orang supaya masyarakat bisa membentuk
keterhubungan dan komunitas sendiri, bukan hanya terima jadi struktur-struktur
sosial bentukan institusi yang berkuasa,” dia kelak menulis. “Gerakan tersebut
menyiapkan fondasi bagi perlawanan sejati terhadap korporasi dan pemerintah
yang mendominasi kehidupan kita.”91
Dia mulai
memikirkan struktur informasi macam apa yang bisa memfasilitasi komunikasi
langsung antarorang. Dia pertama-tama mencoba media cetak, yaitu meluncurkan
nawala untuk para anggota koperasi mahasiswa, dan kemudian bergabung dengan
mingguan bawah tanah, Berkeley Barb. Di sana dia
memperoleh gelar yang agak mengejek, “editor militer”, setelah menulis cerita
tentang landing ship dock (LSD, sama dengan inisial
zat psikotropika yang sedang tren kala itu) atau kapal perang pengangkut
kendaraan amfibi.
Felsenstein
berharap “media cetak bisa menjadi sarana komunikasi baru”, tetapi lantas patah
arang ketika dia “melihat media cetak berubah menjadi struktur sentralistis
yang sekadar menjual tontonan.”92 Dia pernah juga membuat
megafon yang terhubung dengan jejaring kabel supaya khalayak bisa balas
berteriak. “Alat itu tidak punya pusat sehingga tidak bisa digunakan secara
terpusat oleh satu orang,” katanya. “Desainnya mirip internet. Desain itu
dimaksudkan untuk mendistribusikan kemampuan komunikasi secara merata kepada
semua orang.”93
Felsenstein
menyadari masa depan akan dibentuk oleh media siaran seperti televisi, yang
“mentransmisikan informasi identik dari satu titik sentral, nyaris tanpa
saluran balik untuk menyampaikan informasi dari bawah”, dan media nonsiaran,
“yang tiap partisipannya menjadi penerima sekaligus narasumber informasi”. Bagi
Felsenstein, komputer yang terhubung dengan jaringan akan menjadi alat yang
membantu orang-orang untuk mengambil kendali atas kehidupan mereka sendiri.
“Akan kita antarkan lokus kekuasaan ke bawah, langsung kepada orang-orang,” dia
kelak menjelaskan.94
Pada zaman pra-Internet, sebelum muncul Facebook
dan Craigslist, terdapat organisasi akar rumput bernama Switchboards yang
berfungsi menghubungkan seseorang dengan orang lain atau jasa yang mungkin
mereka butuhkan. Organisasi itu tidak mengandalkan teknologi canggih, hanya
berkisar di seputar orang-orang yang duduk mengelilingi sejumlah telepon di
atas meja, sementara di dinding sekitar mereka terpampang banyak kartu dan
selebaran. Orang-orang tersebut tak ubahnya router
yang menciptakan jejaring sosial.
“Tiap subkomunitas
sepertinya punya wadah semacam itu,” kenang Felsenstein. “Saya berkeliling ke
sana untuk mencari tahu kira-kira teknologi apa yang mereka butuhkan.” Suatu
saat seorang teman menyetop Felsenstein di jalan untuk menyampaikan kabar
menggairahkan: salah satu komunitas tersebut berhasil membeli komputer mainframe berkat sumbangan dari sejumlah hartawan liberal
San Fransisco.
Informasi itu
menggugah Felsenstein untuk mendirikan lembaga nirlaba bernama Resource One,
yang bertujuan merekonfigurasi komputer raksasa tersebut supaya dapat
dipergunakan oleh Switchboards lain-lain dengan sistem time-sharing.
“Kami mendapat ide untuk menjadi komputernya budaya tandingan,” kata
Felsenstein.95
Kira-kira saat itu
pula Felsenstein memasang iklan pribadi di Berkeley Barb
yang berbunyi, “Pria Renaisans, Insinyur, dan Pejuang Revolusi, mendambakan
percakapan.”96 Lewat iklan inilah Felsenstein berjumpa dengan salah seorang peretas
dan perempuan aktivis cyber pertama, Jude Milhon,
yang menulis dengan nama alias St. Jude. Milhon kemudian memperkenalkan
Felsenstein kepada rekannya, Efrem Lipkin, seorang systems
programmer.
Resource One tidak
kunjung mendapat klien untuk time-sharing komputer.
Jadi, Lipkin lantas menyarankan agar mereka merintis proyek anyar saja, yaitu menggunakan
komputer tersebut sebagai semacam papan pengumuman elektronik. Proyek ini
kemudian dinamai Community Memory. Maka, pada Agustus 1973 mereka menyiapkan
terminal—yang disambungkan via telepon ke komputer mainframe—di
Leopold’s Records, toko musik milik mahasiswa di Berkeley.97
Felsenstein telah
turut mencetuskan ide gemilang: apabila memiliki akses ke jaringan komputer,
orang-orang bisa secara swadaya membentuk komunitas yang didasari kesamaan
minat atau kepentingan. Brosur berisi iklan sekaligus manifesto mengenai proyek
tersebut berbunyi, “Saluran komunikasi nonhierarkis—entah dengan komputer dan
modem, pulpen dan tinta, atau tatap muka—merupakan senjata ampuh untuk
merevitalisasi dan menguasai kembali komunitas kita sendiri.”98
Felsenstein dan kawan-kawan
mengambil keputusan cerdas dengan tidak memprogram kata-kata kunci tertentu,
seperti lowongan, mobil,
atau pengasuh anak, ke dalam sistem. Mereka justru
mempersilakan pemasang iklan menggunakan kata kunci apa pun yang disukai.
Dengan demikian, yang menentukan penggunaan sistem ialah masyarakat akar rumput
sendiri, bukan para operator.
Terminal tersebut
menjadi papan pengumuman elektronik tempat memajang puisi, mengorganisasi
kegiatan antar-jemput bersama, berbagi informasi mengenai restoran, dan mencari
rekan yang cocok entah untuk main catur, belajar, berlatih yoga, atau apa saja.
Dipandu oleh St. Jude, orang-orang menciptakan persona daring sendiri dan
mengembangkan bakat puitis yang mustahil difasilitasi di papan pengumuman
luring.99
Pada dasarnya,
Community Memory merupakan pendahulu dari forum-forum Internet yang sekarang
kita kenal. “Kami membukakan pintu ke cyberspace dan
mendapati bahwa ranah itu ternyata bisa dihuni,” komentar Felsenstein.100
Kesadaran lain yang
Felsenstein pegang teguh—yang juga kunci penting pada era digital—terpatri kuat
setelah bersilang pendapat dengan Lipkin. Rekannya itu ingin membuat terminal
yang terkunci rapat supaya para anggota komunitas tidak dapat membobolnya,
sedangkan Felsenstein justru menganjurkan pendekatan sebaliknya. Jika misi
mereka memberdayakan orang dengan komputer, hak untuk mencoba apa saja—termasuk
membobol jaringan—mesti dihormati.
“Kata Efrem, jika
dipersilakan mencoba apa saja, orang-orang sudah pasti akan merusaknya,” kenang
Felsenstein. “Saya memegang—menurut istilah sekarang—filosofi Wikipedia. Jika
dipersilakan mencoba apa saja, orang-orang justru akan protektif dan turun
tangan memperbaiki ketika ada yang rusak.” Felsenstein meyakini komputer harus
diperlakukan bak mainan. “Andaikan kita mendorong orang-orang agar memainkan
dan mengotak-atik alat, komputer dan komunitas niscaya akan tumbuh pesat
bersama-sama.”101
Insting dan cara pandang Felsenstein terkristal
menjadi filosofi ketika ayahnya, tepat sesudah Felsenstein dan kawan-kawan
menempatkan terminal di Leopold’s, mengiriminya buku berjudul Tools for Conviviality, karya Ivan Illich, filsuf dan
pastor Katolik kelahiran Austria yang dibesarkan di AS, berisi kritikan
terhadap dominasi kaum teknokrat elite.
Salah satu resep
obat yang disuguhkan oleh Illich berupa penciptaan teknologi yang bersifat
intuitif, mudah dipelajari, dan “bersahabat”. Tujuannya, tulis Illich, supaya
“orang-orang memiliki alat yang menjamin hak mereka untuk bekerja secara
independen, tetapi efisien.”102 Sama seperti Engelbart
dan Licklider, Illich membicarakan perlunya “simbiosis” antara pengguna dan
alat.
Felsenstein
merengkuh konsepsi Illich bahwa komputer mesti dirakit sedemikian rupa supaya
pengguna terdorong dan dimudahkan untuk mencoba mengotak-atiknya sendiri. “Tulisannya
menyemangati saya untuk merintis pembuatan alat-alat yang mudah digunakan oleh
orang.”
Puluhan tahun
kemudian, ketika mereka akhirnya bertemu, Illich menanyainya, “Jika Anda ingin
menghubungkan orang-orang, kenapa Anda malah memosisikan komputer di antara
mereka?” Felsenstein menjawab, “Saya ingin komputer menjadi sarana yang
menghubungkan orang-orang satu sama lain dan menjadi mesin yang berdampingan
secara harmonis dengan manusia.”103
Felsenstein merajut
menjadi satu, dengan cara yang sangat Amerika, karakteristik ideal “budaya
kreator”—rasa senang dan puas berkat pengalaman belajar mandiri dan informal
yang dibimbing oleh sejawat—dengan antusiasme peretas akan teknologi dan
insting gerakan Kiri Baru akan pengorganisasian komunitas akar rumput.*4
Sebagaimana
dikatakan oleh Felsenstein di depan ruangan penuh penggila teknologi yang
serius pada Bay Area Maker Faire 2013, sesudah mengomentari bahwa ganjil,
tetapi dapat dimengerti acara semacam itu mengundang aktivis revolusioner
1960-an sebagai pembicara utama, “Akar PC dapat kita temukan pada Gerakan
Kebebasan Berpendapat yang muncul di Berkeley pada 1964 dan pada Whole Earth Catalog yang menyebarluaskan idealisme
kemandirian.”104
Pada musim gugur
1974 Felsenstein merancang spesifikasi untuk “Tom Swift Terminal” yang,
katanya, merupakan “Alat Sibernetika Bersahabat” yang dinamai dari “tokoh
dongeng Amerika yang suka mengotak-atik barang”.105 Terminal kukuh
itu dirancang untuk menghubungkan komputer mainframe
ke jaringan. Felsenstein tidak berhasil membuat terminal sesuai yang
diinginkan. Namun, dia membuat kopi stensilan berisi spesifikasi mesin dan
membagikannya kepada orang-orang yang mungkin tertarik.
Lewat dokumen
tersebut, Felsenstein secara tidak langsung menyebarkan keyakinan bahwa
komputer mesti personal dan ramah pengguna—supaya dapat dimanfaatkan oleh orang
biasa daripada para elite teknologi saja—kepada khalayak Community Memory dan
Whole Earth. Meminjam kata-kata Richard Brautigan, komputer harus menjadi “machine of loving grace” alias “mesin maha pengasih”. Itu
sebabnya, Felsenstein kemudian menamai perusahaan konsultan yang didirikannya
Loving Grace Cybernetics.
Felsenstein memiliki bakat bawaan sebagai
koordinator dan organisator maka wajar saja dia memutuskan untuk menciptakan
komunitas beranggotakan orang-orang yang sefilosofi dengannya. “Meneladani
proposisi Illich, saya berpendapat bahwa komputer hanya bisa lestari apabila
terdapat klub komputer yang mengembangkannya,” Felsenstein menjelaskan.
Bersama Fred Moore
dan Bob Albrecht, dia rutin menghadiri acara makan malam yang digelar tiap Rabu
di People’s Computer Center. Peserta rutin lainnya adalah Gordon French,
insinyur ceking yang gemar merakit komputer sendiri. Mereka membahas banyak
topik, antara lain, “Akan seperti apakah PC jika nantinya terwujud betulan?”
Ketika pada awal
1975 acara makan malam bersama semakin jarang digelar, Moore, French, dan
Felsenstein memutuskan membentuk klub baru. Selebaran pertama mereka berisi
tulisan, “Apa kau suka merakit komputer sendiri? Terminal informasi? Mesin
ketik TV? Alat I/O? Atau, kotak hitam digital ajaib lainnya? Kalau iya, mari
kita berkumpul dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan serupa.”106
Homebrew Computer
Club, nama klub tersebut, menjaring para maniak digital berlatar belakang lain-lain
dari sepenjuru kawasan Teluk San Fransisco. “Ada penikmat psikotropika (tidak
banyak), penggemar radio amatir yang taat aturan, profesional muda, teknisi dan
insinyur nyeleneh, dan macam-macam orang antik
lain—termasuk wanita anggun nan berwibawa yang suka duduk di depan yang,
belakangan saya diberi tahu, pernah menjadi pilot pribadi Presiden Eisenhower
sewaktu dia masih laki-laki,” kenang Felsenstein.
“Mereka semua
menginginkan PC, juga ingin mematahkan kekangan institusi, entah itu
pemerintah, IBM, atau perusahaan tempat mereka bekerja. Pokoknya orang-orang
ini ingin turun tangan langsung dan berperan serta dalam menentukan nasib
sendiri.”107
Pertemuan pertama
Homebrew Computer Club berlangsung ketika hujan turun pada Rabu, 5 Maret 1975,
dalam garasi Gordon French di Menlo Park. Pertemuan itu digelar tepat ketika
komputer pertama yang betul-betul personal telah tersedia di pasar, bukan dari
Silicon Valley, melainkan pusat perbelanjaan di tengah-tengah padang bersemak.
ED ROBERTS DAN ALTAIR
Ada satu lagi tipe karakter yang berperan dalam
menciptakan PC, yaitu wirausahawan sejati. Kelak spesies pendiri usaha rintisan
pecandu kafein ini akan mendominasi Silicon Valley, meminggirkan kaum hippie, kawanan Whole Earth, aktivis komunitas, dan
peretas. Namun, orang pertama dari spesies ini yang sukses menciptakan PC laik
pasar justru bermukim jauh dari Silicon Valley dan sentra komputer Pesisir
Timur.
Ketika
mikroprosesor Intel 8080 hendak dilepas ke pasar pada April 1974, Ed Roberts
sempat membaca tulisan tangan yang memaparkan spesifikasi komponen tersebut.
Wirausahawan gempal yang berkantor di sebuah toko di Albuquerque, New Mexico,
ini kemudian memutar otak untuk memanfaatkan “komputer di dalam sekeping chip” tersebut. Akhirnya, terbetiklah gagasan sederhana:
dia akan menggunakan chip berkapasitas bak komputer
untuk membuat komputer.108
Roberts bukan
ilmuwan komputer atau bahkan peretas. Dia tidak membayangkan teori-teori hebat
seperti penggunaan antarmuka grafis untuk memerantarai kecerdasan dan simbiosis
manusia-komputer. Dia tidak pernah mendengar tentang Vannevar Bush atau Doug
Engelbart. Namun, dia memiliki hobi otak-atik. Menurut seorang rekan kerjanya,
Roberts mempunyai rasa penasaran dan semangat menggebu-gebu yang menjadikannya
“tukang otak-atik nomor satu sedunia”.109
Dia bukan tipe
orang yang senang membicarakan “budaya kreator” sampai berbusa-busa, tetapi
justru tipe orang yang siap sedia melayani kebutuhan bocah-bocah jerawatan yang
gemar menerbangkan model pesawat dan menembakkan roket di halaman belakang
rumah (Roberts sendiri barangkali merupakan versi dewasa dari bocah semacam
itu). Roberts membantu menghadirkan periode ketika PC digadang-gadang bukan
oleh bocah genius dari Stanford dan MIT, melainkan perakit radio amatir yang
doyan mencium bau harum solder.
Roberts, yang lahir
di Miami pada 1941, adalah putra tukang reparasi barang rumah tangga. Dia masuk
Angkatan Udara, yang mengutusnya ke Oklahoma State University untuk kuliah
teknik dan kemudian menugasinya ke divisi laser di lab senjata Albuquerque. Di
kota itulah Roberts mulai mendirikan bisnis, salah satunya membuat boneka
mekanis untuk pajangan Natal di toko-toko serba-ada.
Pada 1969 Roberts
dan rekan sesama anggota Angkatan Udara bernama Forrest Mims meluncurkan
perusahaan yang menyasar pencinta model roket, pasar yang volumenya kecil,
tetapi terdiri atas orang-orang fanatik. Perusahaan tersebut membuat mainan
rakitan yang memungkinkan para kadet antariksa merancang suar miniatur dan
gawai radio agar dapat melacak roket rakitan mereka.
Roberts memiliki
kepercayaan diri segunung laiknya maniak usaha rintisan mana saja. Menurut
Mims, “Ed yakin sekali bakat wirausahanya akan mengantarnya meraih cita-cita,
yakni mendapatkan jutaan dolar, bisa menerbangkan pesawat, mempunyai pesawat
sendiri, tinggal di peternakan, dan lulus sekolah kedokteran.”110
Roberts dan Mims
menamai perusahaan mereka MITS, supaya mirip MIT, dan dari situ baru
menciptakan nama lengkap Micro Instrumentation and Telemetry Systems. Kantor
mereka, yang disewa seharga $100 per bulan, semula adalah toko makanan kecil,
diapit oleh panti pijat serta tempat cuci otomatis, dan terletak di pusat
perbelanjaan yang sudah bobrok. Plang lama bertuliskan “The Enchanted Sandwich
Shop” menggelayut di atas pintu MITS.
Mengikuti jejak
Jack Kilby dari Texas Instruments, Roberts berikutnya merambah ke bisnis
kalkulator elektronik. Karena memahami mentalitas tukang otak-atik, Roberts
sengaja menjual kalkulatornya dalam bentuk belum dirakit, sekalipun selisih
biaya—antara kalkulator rakitan dan kalkulator tak dirakit—tidaklah besar. Saat
itu Roberts beruntung bertemu dengan Les Solomon, editor teknik majalah Popular Electronics, yang sedang
berkunjung ke Albuquerque untuk mencari bahan artikel.
Solomon menugasi
Roberts untuk menulis artikel berjudul “Kalkulator Meja Elektronik Rakitan
Sendiri” (“Electronic Desk Calculator You Can Build”), yang tampil di sampul
majalah edisi November 1971. Pada 1973 MITS sudah memiliki 110 karyawan dan
angka penjualan senilai $1 juta. Namun, perusahaan tidak mendapat laba karena
harga kalkulator saku makin lama makin merosot. “Kami melalui periode ketika
biaya per unit kalkulator adalah $39, sedangkan harga pasarannya $29,” Roberts
mengenang.111 Pada penghujung 1974 MITS sudah berutang lebih dari $350 ribu.
Laiknya wirausahawan
nekat, Roberts merespons krisis ini dengan meluncurkan bisnis baru. Karena
sudah lama menggandrungi komputer, dia mengasumsikan bahwa tukang otak-atik
lain juga sama. Tujuannya, kata Roberts penuh semangat kepada seorang teman,
membuat komputer untuk orang awam yang akan meruntuhkan Jajaran Petinggi
Komputer selama-lamanya.
Setelah mempelajari
manual Intel 8080, Roberts menyimpulkan bahwa MITS sanggup membuat set komputer
rakitan yang bisa dijual sangat murah, di bawah $400, sehingga semua penggila
elektronika niscaya akan menyambarnya. “Kami kira dia sudah sinting,” seorang
koleganya kelak mengakui.112
Intel menjual
mikroprosesor 8080 dengan harga retail $360. Namun, Roberts menawar
habis-habisan dan alhasil, Intel setuju menjual mikroprosesor seharga $75 per
unit asalkan dia membeli seribu. Roberts kemudian meminta pinjaman bank dengan
agunan berupa janji bahwa barangnya pasti laku seribu, meski secara pribadi dia
khawatir pesanan awal paling banter hanya dua ratus. Tidak jadi soal. Roberts
sama sekali tidak takut menantang risiko. Pilihannya hanya dua: sukses dan
mengubah sejarah, atau semakin terlilit utang dan bangkrut.
Mesin yang dibuat
oleh Roberts dan krunya takkan mengesankan Engelbart, Kay, dan lain-lain di lab
seputar Stanford. Memori komputer itu hanya 256 byte,
juga tidak dilengkapi papan ketik ataupun alat input lain. Satu-satunya cara
memasukkan data atau instruksi ialah dengan kenop yang berderet di panel
kendali. Para pakar di Xerox PARC sedang sibuk merancang antarmuka grafis yang
bisa menampilkan informasi; sedangkan Enchanted Sandwich Shop mengeluarkan
mesin yang hanya bisa menampilkan jawaban kode biner berupa lampu yang
menyala-mati di panel depan.
Walaupun bukan
kreasi teknologi nan hebat, barang itulah yang sudah ditunggu-tunggu oleh para
penggemar elektronika. Pasar untuk komputer buatan sendiri ternyata sebesar
pasar radio rakitan sendiri.
Ed Roberts (1941–2010).
Altair di sampul Popular
Electronics edisi Januari 1975.
Supaya inovasi betul-betul bisa dimanfaatkan, kesadaran
publik menjadi komponen penting. Andaikan komputer diciptakan di ruang bawah
tanah Iowa, lalu tak seorang pun menceritakannya kepada siapa-siapa, lumrah
apabila kita menyatakan komputer tersebut tidak bermakna jika dilihat dari
kacamata sejarah.
Ajang Ibu dari
Segala Demo membantu menyebarluaskan ide-ide inovatif Engelbart. Itulah
sebabnya, peluncuran produk begitu penting. Mesin MITS mungkin akan teronggok
di dalam gudang di Albuquerque, bernasib sama dengan kalkulator-kalkulator tak
laku, andaikan Roberts tidak berteman dengan Les Solomon dari Popular Electronics, majalah
panduan para pencinta elektronika laiknya Rolling Stone
bagi para penggemar musik rok.
Solomon, petualang
kelahiran Brooklyn yang semasa muda sempat berjuang berdampingan dengan
Menachem Begin dan kaum Zionis di Palestina, memang sudah ingin menampilkan
komputer di sampul majalahnya. Majalah pesaing telah menampilkan komputer
rakitan bernama Mark-8—mesin payah yang mengandalkan mikroprosesor Intel 8008
berkapasitas rendah—di sampulnya. Solomon tahu dia harus cepat-cepat
mengungguli artikel itu.
Roberts mengirimi
Solomon satu-satunya purwarupa mesin MITS yang berfungsi via jasa kurir, yang
malah menghilangkannya. (Perusahaan kurir tepercaya itu bangkrut beberapa bulan
berselang.) Alhasil, yang ditampilkan oleh Popular Electronics pada sampul edisi Januari 1975 adalah versi
bohongan. Karena majalah mesti buru-buru naik cetak, Roberts belum menamai
mesinnya. Menurut Solomon, anak perempuannya—penggemar berat Star Trek—menyarankan agar komputer tersebut dinamai
berdasarkan bintang yang dikunjungi oleh pesawat antariksa malam itu, yakni
Altair. Demikianlah, PC fungsional tulen pertama untuk konsumen awam dinamai
Altair 8800.113
“Era komputer di
rumah Anda—topik kegemaran para penulis fiksi ilmiah—telah tiba!” artikel utama
Popular Electronics
mengumumkan demikian.114 Inilah kali pertama komputer yang
terjangkau dan mudah digunakan dipasarkan kepada publik. “Menurut saya,” kata
Bill Gates kelak, “Altair adalah mesin pertama yang layak disebut personal computer.”115
Pada hari edar Popular Electronics edisi itu,
pesanan mulai mengalir. Bahkan, Roberts harus mempekerjakan tenaga ekstra di
Albuquerque untuk menjawab telepon. Dalam satu hari saja, mereka memperoleh
empat ratus pesanan dan, dalam kurun lima bulan, telah terjual lima ribu set
rakitan (semua dibuat berdasarkan pesanan dan dijual sendiri oleh MITS;
perusahaan tidak mengapalkan komputer tersebut ke toko-toko lain karena tidak
sanggup membuat barang secepat itu).
Orang-orang
mengirimkan cek ke perusahaan yang namanya tidak pernah mereka dengar, ke kota
yang namanya sulit dieja, demi memperoleh sekardus komponen yang bisa mereka
rakit dan solder sendiri, yang mudah-mudahan ketika beres bisa berkedip-kedip
berdasarkan instruksi yang disampaikan secara susah payah lewat kenop. Para
penggemar elektronika itu setengah mati menginginkan komputer sendiri—yang bisa
mereka mainkan di kamar atau ruang bawah tanah, bukan yang bisa digunakan
dengan sistem time-sharing ataupun sebagai alat
perajut jejaring sosial.
Hasilnya, para
penggemar elektronika, sejalan dengan kaum hippie Whole
Earth dan para peretas, meluncurkan industri baru, yakni industri PC yang
nantinya mendorong pertumbuhan ekonomi dan mentransformasi cara kita bekerja
dan hidup. Bagaikan alat perjuangan rakyat, komputer direbut dari kontrol
tunggal korporasi dan militer untuk kemudian diserahkan ke tangan individu yang
memanfaatkannya untuk memberdayakan diri, meningkatkan produktivitas, dan
mengekspresikan kreativitas.
“Masyarakat
distopia yang dibayangkan oleh George Orwell selepas Perang Dunia II ternyata
tidak terwujud,” tulis sejarawan Michael Riordan dan Lillian Hoddeson. “Salah
satu penyebab utamanya ialah alat elektronik bertransistor telah lebih
memberdayakan individu kreatif dan para wirausahawan tangkas daripada pemegang
kuasa.”116
DEBUT HOMEBREW
Dalam pertemuan pertama Homebrew Computer Club
pada Maret 1975, Altair menjadi pusat perhatian. MITS telah mengirimkan Altair
ke People’s Computer Company untuk tinjauan, kemudian
komputer itu dioperkan kepada Felsenstein, Lipkin, dan lain-lain sebelum dibawa
ke pertemuan.
Di dalam garasi
Altair dipelototi oleh sekawanan penggila elektronika, hippie,
dan peretas. Kebanyakan justru kecewa—“Mesin itu tidak ada apa-apanya, cuma
berkenop dan berlampu,” kata Felsenstein—tetapi mereka punya firasat bahwa
Altair menandakan datangnya era baru. Tiga puluh orang duduk berkeliling dan
berbagi pengetahuan. “Barangkali saat itulah PC mulai menjadi alat teknologi
yang sungguh-sungguh menciptakan kebersamaan,” kenang Felsenstein.117
Seorang peretas
kelas berat, Steve Dompier, menceritakan dirinya sempat datang sendiri ke
Albuquerque untuk mengemis mesin dari MITS, yang kesulitan memenuhi pesanan.
Pada rapat Homebrew ketiga, April 1975, Dompier menyampaikan temuan menarik.
Dia telah menulis program untuk mengurutkan angka dan, selagi menjalankan
program itu di Altair, dia mendengarkan perkiraan cuaca di radio transistor
frekuensi rendah. Radio tiba-tiba mendengungkan bunyi “zzz-zzz”
naik-turun.
Dompier sontak
membatin, “Wah, ternyata radio bisa dijadikan aksesori komputer nirkabel!” Dia
pun bereksperimen. “Saya mencoba-coba program lain untuk mencari tahu bunyinya
seperti apa saja. Sesudah delapan jam mengotak-atik, saya berhasil membuat
program penghasil musik.”118 Dia merunut
masing-masing nada yang dihasilkan oleh loop program dan
akhirnya memasukkan program itu ke dalam komputer menggunakan kenop di panel
kendali.
Ketika program
dijalankan, komputer pun memainkan lagu “The Fool on the Hill” karya The
Beatles di radio kecil Dompier.*5 Alunan nadanya memang
tidak merdu, tetapi para anggota Homebrew terbengong-bengong sesaat, kemudian
bersorak dan minta tambah. Dompier kemudian membuat Altair-nya memainkan “Daisy
Bell (Bicycle Built for Two)”, lagu pertama yang pernah dimainkan menggunakan
komputer, yaitu oleh IBM 704 di Bell Labs pada 1961, dan kemudian lagi pada
1968 oleh HAL ketika dibongkar dalam film Stanley Kubrick, 2001:
A Space Odyssey.
“Diturunkan secara
genetis,” komentar Dompier mengenai lagu tersebut. Para anggota Homebrew Club
telah menemukan komputer yang bisa mereka bawa pulang dan operasikan untuk
mengerjakan macam-macam, termasuk—sebagaimana prediksi Ada Lovelace—hal indah
seperti musik.
Program musik yang
diterbitkan oleh Dompier pada edisi People’s Computer
Company berikutnya menuai tanggapan—yang mungkin patut dicatat oleh
sejarah—dari seorang pembaca yang tercengang-cengang. “Steven Dompier memuat
artikel di People’s Computer Company mengenai program
musik yang dia tulis untuk Altair,” tulis Bill Gates—mahasiswa Harvard yang
sedang cuti dan bekerja menulis ulasan perangkat lunak untuk MITS di
Albuquerque—di nawala Altair. “Artikel tersebut menyebutkan program dan data
musik untuk ‘The Fool on the Hill’ dan ‘Daisy’. Dompier tidak menjelaskan cara
kerjanya dan saya sendiri tidak paham. Ada yang tahu?”119
Jawaban sederhananya,
saat menjalankan program, komputer itu memproduksi interferensi frekuensi yang
pengaturan waktunya dikontrol menggunakan loop dan
ditangkap oleh radio AM.
Saat pertanyaannya
diterbitkan, Gates telah terlibat perseteruan dengan Homebrew Computer Club.
Penyebabnya, masalah fundamental yang merupakan arketipe perseteruan dua kubu
berikut: kubu pertama yang diwakili oleh Gates memegang teguh etos komersial,
meyakini informasi sebagai hak milik pribadi (dan korporasi); sedangkan kubu
kedua yang diwakili oleh Homebrew Computer Club beretos peretas, yang meyakini
informasi wajib disebarkan secara bebas dan terbuka.
Paul Allen (1953–...) dan Bill Gates (1955–...)
di ruang komputer sekolah Lakeside.
Gates ditangkap karena mengebut, 1977.
Tim Microsoft, tak lama sebelum meninggalkan
Albuquerque pada Desember 1978. Gates di paling kiri bawah, sedangkan Allen
paling kanan bawah.
*1 Esai itu dimuat pada
bulan yang sama ketika Bush menghaturkan, kepada Presiden Truman, esai
terobosan lain, “Sains, Tapal Batas Tak Berujung”, yang mengusulkan kolaborasi
penelitian antarlembaga pemerintah, industri, dan perguruan tinggi. Lihat Bab
7.
*1 Komputer Xerox Star baru
diperkenalkan pada 1981, delapan tahun setelah pembuatan Alto. Selain itu, Star
awalnya tidak dipasarkan sebagai mesin yang dijual tersendiri, tetapi sebagai
bagian dari “sistem perkantoran terpadu” yang terdiri atas penyimpan berkas,
mesin cetak, dan komputer-komputer lain.
*3 Pada 2014 Felsenstein
tengah menggarap mainan logika untuk murid SMP yang mirip blok Lego. Mainan
tersebut dimaksudkan untuk membantu murid-murid memvisualisasikan bit, komponen
elektronik, dan fungsi logika seperti bukan, atau, serta dan.
*4 Ketika membahas budaya
kreator dalam edisi April 2011, majalah Wired menampilkan
perempuan untuk kali pertama di sampulnya, yaitu wirausahawan lulusan MIT
bernama Limor Fried, yang berjulukan “ladyada” dan nama perusahaannya Adafruit
Industries sebagai bentuk penghormatan kepada Ada Lovelace.
*5 Untuk mendengarkan Altair
milik Dompier memainkan “Fool on the Hill”, silakan kunjungi
http://startup.nmnaturalhistory.org/gallery/story.php?ii=46.
Comments
Post a Comment