The Innovators - Walter Isaacson - 06
Evolusi microchip
membuahkan alat-alat yang, persis seperti perkiraan Hukum Moore, lebih kecil
dan lebih canggih tiap tahunnya. Namun, terdapat satu faktor lagi yang
mendorong Revolusi Komputer dan, pada akhirnya, permintaan akan PC: keyakinan
bahwa komputer bukanlah untuk mengolah angka semata. Komputer bisa dan
seharusnya asyik untuk digunakan.
Dua kultur
menyumbangkan wacana bahwa komputer harus menjadi sarana interaksi dan bermain.
Di satu sisi ada sejumlah peretas fanatik yang meyakini “kewajiban untuk turun
tangan” (maksudnya, kita wajib mencoba mengotak-atik
apa saja), gemar berbuat iseng dan menciptakan trik pemrograman yang cerdik,
serta menggandrungi mainan.1 Di sisi lain para
wirausahawan berjiwa pemberontak yang ingin sekali menerobos monopoli industri
mainan yang didominasi oleh sindikat distributor mesin pinball dan rentan
diobrak-abrik oleh disrupsi digital.
Maka, lahirlah video game, yang ternyata bukan sekadar permainan yang
menarik, melainkan juga bagian integral dari silsilah keluarga komputer. Video game turut menyebarkan wacana bahwa komputer harus
menjadi sarana interaksi langsung, dilengkapi antarmuka yang intuitif, dan
mempunyai grafis yang bagus.
STEVE RUSSELL DAN SPACEWAR
Subkultur peretas, sekaligus video
game berpengaruh, Spacewar, bersumber dari Tech Model Railroad Club,
unit kegiatan mahasiswa MIT yang didirikan pada 1946 dan berkumpul di gedung
tempat radar dikembangkan. Bungkernya hampir penuh gara-gara disesaki model
kereta api lengkap dengan lusinan rel, pengalih lintasan, troli, lampu, dan
kota, semuanya dirakit dengan menarik dan akurat secara historis.
Kebanyakan anggota
unit terobsesi menciptakan rakitan sempurna yang laik pajang. Namun, ada juga
sekelompok anggota yang lebih tertarik pada benda-benda di balik dinding papan.
Anggota Subkomite Sinyal dan Daya bertugas mengurus relay,
kabel, sirkuit, dan tuas pengontrol kereta yang dirakit di balik papan.
Jejaring ruwet tersebut justru mereka anggap indah.
“Sakelar berbaris
rapi sesuai fungsinya, relay kuningan kusam berderet
teratur, sedangkan kabel panjang merah, biru, dan kuning—mengular ke sana
sini—berbelit kusut seperti ledakan pelangi di rambut Einstein,” tulis Steven
Levy dalam Hackers, buku yang dibuka dengan paparan
meriah mengenai klub tersebut.2
Para anggota
Subkomite Sinyal dan Daya menerima istilah peretas
dengan bangga. Istilah itu menyiratkan kemahiran sekaligus kejailan, bukan
(seperti konotasinya dewasa ini) pembobolan jaringan yang melanggar hukum.
Kebetulan, mahasiswa MIT menyebut tindakan iseng—semisal menempatkan sapi hidup
di atas atap bangunan, sapi plastik di kubah agung gedung utama kampus, atau
melepaskan balon raksasa dari tengah lapangan ketika sedang berlangsung
pertandingan Harvard-Yale—sebagai hack.
“Kami di TMRC hanya
menggunakan istilah ‘hacker’ menurut makna aslinya,
yaitu untuk orang yang menggunakan akal bulusnya untuk membuahkan hasil yang
cerdik alias ‘hack’,” klub itu mengumumkan. “Esensi ‘hack’ adalah proses yang cepat, dikerjakan dengan
seadanya.”3
Sebagian peretas
awal bercita-cita menciptakan mesin yang bisa berpikir. Banyak di antaranya
mahasiswa Lab Kecerdasan Buatan MIT, yang didirikan pada 1959 oleh dua profesor
yang kelak termasyhur: John McCarthy, “kembaran” Sinterklas yang mengarang
istilah kecerdasan buatan, dan Marvin Minsky, yang
saking pintarnya sehingga tampak seperti contoh nyata yang menyanggah
keyakinannya sendiri bahwa komputer bisa melampaui kecerdasan manusia. Doktrin
yang diimani di lab itu: asalkan kemampuan pemrosesannya memadai, mesin mampu
mereplikasi jaringan saraf seperti pada otak manusia dan bisa berinteraksi
secara cerdas dengan pengguna.
Minsky, pria usil
dengan mata berbinar-binar, telah membuat mesin yang bisa belajar berdasarkan
model otak. Mesin itu dia namai SNARC (Stochastic Neural Analog Reinforcement
Calculator), mengisyaratkan bahwa dia memang serius, tetapi juga penuh kelakar.
Minsky berteori bahwa kecerdasan bisa saja merupakan produk interaksi antara
komponen-komponen tidak cerdas, semisal komputer kecil yang dihubungkan oleh
jaringan raksasa.
Momen bersejarah
bagi para peretas di Tech Model Railroad Club terjadi pada September 1961,
ketika Digital Equipment Corporation (DEC) mendonasikan purwarupa komputer
PDP-1-nya kepada MIT. PDP-1, yang ukurannya kira-kira setara tiga kulkas,
adalah komputer pertama yang didesain untuk interaksi langsung dengan pengguna.
Komputer itu bisa terhubung ke papan ketik dan monitor yang menampilkan grafis,
juga bisa dengan mudah dioperasikan oleh satu orang.
Seperti semut
merubung gula, segelintir peretas fanatik mulai mengerubungi komputer baru ini.
Mereka kemudian membentuk kelompok untuk menggagas hal-hal asyik apa saja yang
dapat dikerjakan menggunakan komputer tersebut. Kelompok ini sering berdiskusi
di apartemen bobrok di Hingham Street, Cambridge, Massachusetts, sehingga para
anggota menjulukinya Hingham Institute. Nama gagah tersebut mereka pilih secara
ironis. Tujuan mereka ialah memanfaatkan PDP-1 untuk mengerjakan hal-hal
cerdik, bukan hal-hal hebat.
Para peretas
terdahulu sempat menciptakan permainan sederhana untuk komputer-komputer awal.
Satu permainan di MIT menggambarkan titik di layar yang merepresentasikan tikus
yang tengah menjelajahi labirin untuk menemukan sekerat keju (atau, dalam
versi-versi berikutnya, martini). Permainan lain, di Brookhaven National Lab di
Long Island, menggunakan osiloskop pada komputer analog untuk menyimulasikan
pertandingan tenis. Namun, para anggota Hingham Institute tahu bahwa berkat
PDP-1, mereka berkesempatan menciptakan video game
sungguhan pertama di komputer.
Programmer terbaik di kelompok tersebut adalah Steve Russell. Dia membantu
Profesor McCarthy membuat bahasa LISP, yang didesain untuk memfasilitasi riset
kecerdasan buatan. Russell adalah maniak teknologi tulen, memiliki renjana
menggebu dan obsesi intelektual beragam mulai tentang kereta api uap sampai
mesin yang bisa berpikir. Pendek dan antusias, dia berkacamata tebal serta
berambut keriting. Bicaranya sangat cepat. Sekalipun intens dan energetik, dia
punya kecenderungan menunda-nunda pekerjaan sehingga dijuluki “Slug” alias
‘siput’.
Sama seperti
kebanyakan teman sesama peretas, Russell penggemar berat film butut dan novel
fiksi ilmiah kacangan. Penulis favoritnya adalah E.E. “Doc” Smith, insinyur
pangan miskin (pakar pemutihan tepung yang menggagas adonan donat instan),
dengan spesialisasi subgenre fiksi ilmiah norak bertajuk “opera antariksa”.
Opera antariksa biasanya menceritakan petualangan melodramatis yang
disemarakkan pertarungan melawan kejahatan, perjalanan ruang angkasa, dan
asmara klise.
Menurut Martin
Graetz—seorang anggota Tech Model Railroad Club dan Hingham Institute, yang
menuliskan kenangannya mengenai kreasi Spacewar—andaikata tulisan Doc Smith
merupakan lukisan, karya itu “dilukis dengan bor listrik”. Graetz memaparkan
kisah tipikal karangan Doc Smith sebagai berikut.
Setelah pendahuluan bertele-tele berisi uraian
nama tokoh, sekelompok pemuda gagah ideal pergi bertualang ke sepenjuru semesta
untuk menghajar gembong preman antariksa, meledakkan beberapa planet, membunuh
segala jenis makhluk jahat, dan pada intinya bersenang-senang.
Ketika terjepit,
sebagaimana yang sering terjadi, para pahlawan niscaya menggagas teori ilmiah
lengkap, kemudian menciptakan teknologi untuk mengimplementasikan teori itu dan
membuat senjata untuk meluluhlantakkan para berandal, sambil terus menyetir
pesawat luar angkasa mereka ke pelosok galaksi demi menghindari kejaran.*1
Karena menggilai opera antariksa semacam ini,
tidaklah mengherankan jika Russell, Graetz, dan kawan-kawan lantas memutuskan
meramu permainan perang-perangan luar angkasa untuk PDP-1. “Saya baru saja
selesai membaca seri Lensman karya Doc Smith,”
Russell mengenang. “Para pahlawannya sering sekali dikejar-kejar keliling
galaksi oleh penjahat dan harus menemukan solusi atas masalah selagi mereka
diburu. Skenario itulah yang mendasari pembuatan Spacewar.”4 Orang-orang yang bangga akan kemaniakannya ini menamai kelompok mereka
Hingham Institute Study Group on Space Warfare, sedangkan Slug Russell turun
tangan untuk menulis kode.5
Akan tetapi, sesuai
dengan julukannya, Russel tidak lantas menulis kode tersebut. Dia sudah tahu
harus merintis program permainan dari mana. Profesor Minsky mendapati algoritme
untuk menggambar lingkaran di PDP-1 dan telah berhasil memodifikasi algoritme
tersebut sehingga menampakkan tiga titik di layar yang bisa saling
berinteraksi, menciptakan pola-pola kecil nan indah. Minsky menyebut kreasi
tersebut Tri-Pos, tetapi para mahasiswa menamai retasannya “Minskytron”.
Algoritme hasil
modifikasi Minsky merupakan fondasi bagus untuk menciptakan permainan yang
menampilkan pesawat ruang angkasa dan misil. Berminggu-minggu Russell menelaah
Minskytron sambil terpesona dan meresapi kemampuannya membuat berbagai pola.
Namun, Russell sontak mematung ketika tiba waktunya untuk menulis subprogram
sinus-kosinus yang menentukan gerakan pesawat luar angkasa.
Saat Russell
menjelaskan tantangan ini, rekannya sesama anggota klub yang bernama Alan Kotok
tahu cara memecahkan kendala itu. Kotok bermobil ke markas besar DEC—perusahaan
pembuat PDP-1—di daerah suburban Boston dan menemui seorang insinyur simpatik
yang menyimpan subprogram untuk membuat kalkulasi tersebut. “Ini dia subprogram
sinus-kosinus itu,” Kotok memberi tahu Russell. “Sekarang apa lagi alasanmu?”
Russell belakangan mengakui, “Saya mencari-cari alasan lain, tetapi tidak
ketemu, jadi saya terpaksa duduk manis dan mulai bekerja.”6
Russell meretas
sepanjang liburan Natal 1961 dan dalam beberapa minggu dia sudah menelurkan
metode untuk menggerakkan titik-titik di layar, yaitu menggunakan tuas di panel
kendali untuk mempercepat, memperlambat, dan membelokkan titik-titik tersebut.
Kemudian, dia mengubah titik-titik itu menjadi dua pesawat luar angkasa kartun,
salah satunya segendut cerutu dan satunya lagi kurus lurus seperti pensil.
Russell juga
membuat subroutine supaya masing-masing pesawat luar
angkasa bisa menembakkan titik dari hidungnya, seperti misil. Ketika titik
misil mengenai pesawat, pesawat luar angkasa itu akan “meledak” menjadi
titik-titik yang bergerak secara acak. Pada Februari 1962 program dasar
permainan sudah rampung.
Pada saat itulah
Spacewar dilepas untuk menjadi proyek open source.
Russell menyimpan pita program dalam kotak berisi program-program PDP-1 lain,
lalu teman-temannya menambahkan perbaikan. Salah satunya, Dan Edwards,
memutuskan bahwa pasti keren jika gaya gravitasi ditambahkan ke sana maka dia
memprogram munculnya matahari besar yang menarik-narik pesawat. Jika pemain
kurang memperhatikan, pesawatnya bisa disedot dan hancur lebur. Namun, pemain
yang jago akan belajar berkelebat ke dekat matahari dan memanfaatkan tarikan
gravitasi untuk memperbesar momentum dan menambah kecepatan.
Temannya yang lain,
Peter Samson, “berpendapat bahwa bintang-bintang saya acak dan tidak
realistis,” kenang Russell.7 Samson memutuskan
permainan itu butuh “autentisitas”, alias rasi-rasi bintang yang secara
astronomis memang akurat daripada cuma sekumpulan titik acak. Jadi, Samson menciptakan
program tambahan yang dia sebut “Planetarium Mahal”.
Menggunakan
informasi dari American Ephemeris and Nautical Almanac,
Samson membuat subprogram untuk menampilkan semua bintang di langit malam
sampai magnitudo lima. Dia bahkan bisa mereplikasi kecerahan relatif bintang
satu dengan yang lainnya dengan memerinci jumlah kilatan cahaya per titik.
Sementara pesawat ruang angkasa melesat, rasi bintang pelan-pelan menggelincir
lewat.
Berkat kolaborasi open source,
tertuanglah banyak sumbangsih cerdik. Martin Graetz mencetuskan “pintu ke mana
saja”, yaitu kemampuan untuk kabur dari keadaan kepepet dengan cara menyentil
tuas sehingga pesawat menghilang sementara ke dimensi lain. “Idenya, andaikan
semua taktik lain gagal, kita bisa melompat ke dimensi keempat dan menghilang,”
Graetz menjelaskan. Dia pernah membaca tentang semacam dimensi keempat, yang
disebut “tabung hiperspasial”, dalam novel Doc Smith.
Akan tetapi, fitur
tersebut memiliki keterbatasan: kita hanya bisa menghilang tiga kali dalam satu
permainan, kaburnya pesawat kita justru memberikan peluang istirahat bagi
lawan, dan kita tidak tahu di mana pesawat luar angkasa kita akan muncul
kembali. Pesawat bisa saja muncul kembali di matahari atau tepat di depan
lawan. “Kemampuan tersebut bisa kita gunakan, tetapi kalau tidak terpaksa,
mending tidak,” Russell menjelaskan. Graetz menambahkan sebentuk penghormatan
untuk Profesor Minsky, pesawat yang menghilang menyisakan jejak berupa pola
khas Minskytron.8
Kontribusi paling
penting berasal dari dua anggota aktif Tech Model Railroad Club, yakni Alan
Kotok dan Bob Sanders. Mereka menyadari bahwa berdempeten di depan konsol PDP-1
sambil sikut-sikutan dan berebut tuas komputer untuk memainkan game bukan saja merepotkan, melainkan juga berbahaya. Jadi,
mereka merogoh relung-relung ruang klub dan menyita sejumlah tuas serta relay. Komponen-komponen ini mereka rakit dengan wadah
plastik untuk membentuk pengendali jarak jauh, lengkap dengan semua tuas fungsi
yang dibutuhkan dan tombol “pintu ke mana saja”.
Permainan tersebut
segera menyebar ke sentra-sentra komputer lain dan menjadi makanan para
peretas. DEC mulai mengirimkan komputer-komputer yang sudah diisi permainan
tersebut, sedangkan para programmer menciptakan versi
anyar untuk sistem komputer lain. Para peretas di seluruh dunia menambahkan
macam-macam fitur, seperti kemampuan melesap, melemparkan ranjau, dan cara
untuk berpindah dari sudut pandang orang pertama ke sudut pandang pilot.
Seperti dikatakan oleh Alan Kay, salah seorang pionir PC, “Permainan Spacewar
berkembang secara spontan di mana pun terdapat monitor yang bisa dihubungkan ke
komputer.”9
Tiga aspek budaya
peretas—yang akan sering disorot pada era digital kelak—demikian dominan dalam
kreasi Spacewar. Pertama, permainan itu diciptakan
secara kolaboratif. “Kami menggarapnya bersama-sama, sebagai satu tim. Memang
cara kerja seperti itulah yang kami sukai,” kata Russell. Kedua,
Spacewar adalah perangkat lunak gratis dan open source.
“Orang-orang meminta kopi program dan tentu saja kami memberikannya kepada
mereka.” Tentu saja—pada masa dan tempat ketika
perangkat lunak ingin bebas lepas.
Ketiga, permainan tersebut dibuat berdasarkan keyakinan bahwa komputer mesti
bersifat personal dan interaktif. “Dengan perantaraan Spacewar, kami bisa
memberi perintah secara langsung pada komputer dan mendapatkan respons dari
komputer tersebut secara serta-merta,” kata Russell.10
NOLAN BUSHNELL DAN ATARI
Sama seperti banyak mahasiswa sains komputer pada
1960-an, Nolan Bushnell menggilai Spacewar. “Permainan itu mengandung arti
bersejarah penting bagi siapa pun yang mencintai komputer. Bagi saya, memainkan
Spacewar merupakan pengalaman transformatif,” kenang Bushnell. “Steve Russell
bagaikan dewa di mata saya.”
Perbedaan Bushnell
dari para maniak komputer lain yang doyan memanipulasi titik-titik di layar
ialah dia juga menggandrungi taman hiburan. Bushnell sempat bekerja di taman
hiburan untuk membayar biaya kuliahnya. Selain itu, dia berpembawaan heboh khas
wirausahawan, suka menghadapi tantangan dan mengambil risiko. Demikianlah,
Nolan Bushnell kemudian berperan sebagai inovator yang mengubah satu temuan
menjadi industri.11
Sewaktu Bushnell
baru 15 tahun, ayahnya meninggal. Sang ayah berprofesi sebagai kontraktor
bangunan di pinggiran Salt Lake City yang sedang berkembang, dan meninggalkan
sejumlah pekerjaan yang belum rampung serta belum dilunasi oleh pemesan.
Bushnell belia, yang berbadan besar dan berisik, menuntaskan seluruh pekerjaan,
membuat keberaniannya kian membuncah. “Ketika kita mampu mengerjakan sesuatu
seperti itu pada usia 15 tahun, kita menjadi yakin bisa melakukan apa saja,”
katanya.12
Watak nekat
mendorongnya untuk menjadi pemain poker, tetapi untungnya—karena kalah
terus—Bushnell terpaksa bekerja sambilan di Lagoon Amusement Park sembari
kuliah di Universitas Utah. “Saya mengarang segala macam cara supaya
orang-orang mau mengeluarkan recehan. Untung saja kemampuan itu ternyata
bermanfaat.”13 Dia segera saja dipromosikan ke bagian pinball dan dingdong, tempat video game balapan seperti Speedway, buatan Chicago Coin
Machine Manufacturing Company, sedang tren.
Bushnell mujur juga
masuk ke Universitas Utah. Program studi grafis komputer di perguruan tinggi
itu yang terbaik di Amerika Serikat, dipimpin oleh Profesor Ivan Sutherland
serta Profesor David Evans, dan merupakan salah satu dari empat nodus pertama
ARPANET, yang merupakan prekursor Internet. (Alumni Universitas Utah misalnya
Jim Clark, pendiri Netscape; John Warnock, salah seorang pendiri Adobe; Ed
Catmull, salah seorang pendiri Pixar; dan Alan Kay, yang kisahnya akan
diceritakan nanti.)
Universitas ini
memiliki PDP-1, lengkap dengan permainan Spacewar. Bushnell kemudian
mengawinkan kecintaannya pada permainan itu dengan hitung-hitungan usaha
dingdong. “Saya sadar kami bisa mendapat recehan segunung apabila menempatkan
komputer yang dilengkapi game di arena dingdong,”
katanya. “Kemudian, saya menghitung-hitung dan menyadari kalaupun kami
mendapatkan segunung 25 sen per hari, jumlahnya takkan cukup untuk membeli
komputer seharga jutaan dolar. Jadi, saya pun mengurungkan niat.”14 Betul demikian, tetapi hanya untuk sementara.
Selulus kuliah pada
1968 (“di urutan buntut”, dia sering menyombong), Bushnell bekerja di Ampex,
yang membuat alat perekam. Dia dan seorang rekan kerjanya, Ted Dabney, terus
menggodok rencana untuk mengubah komputer menjadi mesin dingdong. Mereka
mempertimbangkan untuk mengadopsi Data General Nova, minikomputer sebesar
kulkas berharga $4.000 yang dirilis pada 1969. Namun, setelah menghitung-hitung
sampai jungkir balik, mereka berkesimpulan bahwa komputer itu kurang murah dan
kapasitasnya kurang memadai sebagai mesin video game.
Supaya Nova bisa
mengakomodasi Spacewar, Bushnell mencari berbagai elemen permainan tersebut,
seperti latar belakang bintang-bintang, yang bisa dimunculkan oleh sirkuit
perangkat keras alih-alih kemampuan pemrosesan komputer. “Kemudian, saya
mendapat gagasan cemerlang,” kenangnya. “Bagaimana kalau kesemuanya dibuat oleh
perangkat keras saja?” Dengan kata lain, Bushnell bisa mendesain sirkuit untuk
mengerjakan tugas-tugas yang semula dikerjakan oleh program.
Cara demikian akan
lebih murah, tetapi di sisi lain permainan juga harus disederhanakan. Maka,
Bushnell mengubah Spacewar menjadi permainan satu pesawat luar angkasa—yang
dikendalikan oleh pengguna—lawan dua piring terbang sederhana yang dikontrol
oleh perangkat keras. Yang juga dienyahkan ialah gravitasi matahari dan tombol
“pintu ke mana saja” untuk menghilangkan diri. Meski demikian, permainan itu
tetap menyenangkan dan dapat dibuat dengan biaya yang masuk akal.
Bushnell menjual
idenya kepada Bill Nutting, yang mendirikan perusahaan pembuat permainan
dingdong bernama Computer Quiz. Sejalan dengan nama
itu, perusahaan pun menamai permainan Bushnell dengan Computer Space. Bushnell
dan Nutting sangat cocok sampai-sampai Bushnell berhenti dari Ampex pada 1971
untuk pindah ke Nutting Associates.
Selagi mereka
mengerjakan konsol pertama Computer Space, Bushnell mendengar kabar bahwa dia
mempunyai pesaing. Sepasang pecandu Spacewar—lulusan Stanford bernama Bill
Pitts dan sobatnya, Hugh Tuck, dari California Polytechnic—memutuskan untuk
memodifikasi minikomputer PDP-11 menjadi mesin dingdong. Ketika mendengar ini,
Bushnell mengundang Pitts dan Tuck untuk mengunjunginya.
Mereka muak saat
mendengar betapa Bushnell rela mengorbankan—bahkan menghapus—sejumlah elemen
Spacewar semata-mata agar mesinnya bisa diproduksi dengan biaya lebih murah.
“Versi Nolan itu tinggal kerangka-kerangkanya saja,” kata Pitts geram.15 Sebaliknya, Bushnell muak akan rencana mereka menggelontorkan $20 ribu
untuk alat saja, termasuk satu PDP-11 yang akan berada di ruangan lain dan
dihubungkan ke konsol dengan bermeter-meter kabel, sedangkan pengguna hanya
akan dikutip sepuluh sen per permainan.
“Saya terkejut
karena mereka sama sekali tidak tahu apa-apa tentang model bisnis,” katanya.
“Terkejut dan lega. Begitu saya melihat rencana mereka, saya langsung tahu
bahwa mereka bukan saingan saya.”
Galaxy Game kreasi
Pitts dan Tuck tampil perdana di kedai kopi perhimpunan mahasiswa Stanford,
Tresidder, pada musim gugur 1971. Para mahasiswa mengerumuninya tiap malam
bagaikan peziarah kuil. Namun, tak peduli berapa banyak koin yang dibayarkan
untuk bermain, mustahil mesin itu impas. Akhirnya, bisnis Pitts dan Tuck gulung
tikar. “Hugh dan saya sama-sama insinyur dan kami sama sekali tidak
memperhatikan aspek bisnis,” Pitts mengakui.16 Inovasi bisa
disulut oleh bakat teknik seorang insinyur, tetapi harus dikombinasikan dengan
keterampilan bisnis supaya dapat menggegerkan dunia.
Bushnell bisa
memproduksi permainannya, Computer Space, dengan biaya $1.000 saja. Computer
Space tampil perdana beberapa minggu setelah Galaxy Game, di bar Dutch Goose di
Menlo Park dekat Palo Alto, dan terjual sebanyak 1.500 unit. Bushnell memang
wirausahawan ulung: inovatif, paham ilmu rekayasa, melek bisnis, dan tahu
permintaan konsumen. Dia juga wiraniaga hebat. Seorang reporter yang bertemu
dengannya di pameran video game Chicago menjabarkan,
“Bushnell adalah orang berusia di atas 6 tahun yang paling antusias memaparkan
sebuah permainan baru.”17
Computer Space
ternyata lebih populer di tempat nongkrong mahasiswa ketimbang di bar. Jadi,
untuk ukuran mesin dingdong, Computer Space memang kalah sukses dengan
pesaingnya, terutama mesin pinball. Namun, Computer Space nyatanya berhasil
menggaet penggemar setia. Yang lebih penting, permainan itu mengembangkan
industri baru. Arena dingdong, yang semula didominasi oleh
perusahaan-perusahaan pinball berbasis di Chicago, akan segera mengalami
transformasi berkat campur tangan para insinyur di Silicon Valley.
Tidak terkesan akan
pengalaman di Nutting Associates, Bushnell memutuskan mendirikan perusahaan
sendiri untuk meluncurkan video game berikutnya.
“Bekerja di Nutting adalah pengalaman berharga karena dari sanalah saya belajar
bahwa saya mustahil mengacau lebih parah ketimbang mereka,” kenang Bushnell.18
Dia memutuskan
menamai perusahaan anyarnya Syzygy, istilah yang sulit dilafalkan untuk
mendeskripsikan keadaan ketika tiga benda langit berada segaris. Untungnya nama
itu tidak dapat digunakan karena sudah didaftarkan oleh komune hippie pembuat lilin. Jadi, Bushnell memutuskan menamai
usaha barunya Atari, meminjam istilah dari permainan dam Jepang, Go.
PONG
Pada hari ketika Atari disahkan sebagai
perusahaan terbatas, 27 Juni 1972, Nolan Bushnell mempekerjakan insinyurnya
yang pertama. Al Alcorn, yang berasal dari daerah keras di San Fransisco,
menjadi pemain football semasa SMA dan belajar
reparasi TV secara autodidak lewat kursus jarak jauh dari RCA. Di Berkeley dia
turut serta dalam program kuliah kerja nyata yang mengantarnya ke Ampex,
bekerja di bawah Bushnell. Alcorn lulus tepat saat Bushnell tengah mendirikan
Atari.
Banyak kemitraan
kunci pada era digital terjalin di antara pasangan berbeda keterampilan dan
kepribadian, seperti John Mauchly dengan Presper Eckert, John Bardeen dengan
Walter Brattain, Steve Jobs dengan Steve Wozniak. Namun, terkadang kemitraan
berlangsung mulus dan padu karena kesamaan kepribadian dan minat, sebagaimana
dalam kasus Bushnell dan Alcorn. Mereka sama-sama gempal, suka
bersenang-senang, dan kurang ajar.
“Al termasuk orang
yang paling saya sukai di dunia,” tegas Bushnell lebih dari 40 tahun kemudian.
“Dia insinyur yang sempurna dan juga kocak, jadi dia cocok sekali untuk
mengembangkan video game.”19
Saat itu, Bushnell
terikat kontrak guna membuat video game baru untuk
perusahaan di Chicago, Bally Midway. Dia berencana membuat permainan balap mobil,
yang sepertinya lebih menarik daripada game navigasi
pesawat luar angkasa bagi para peminum bir di bar kelas pekerja. Namun, sebelum
mengoperkan tugas itu kepada Alcorn, Bushnell memutuskan memberinya pemanasan.
Dalam pameran
industri game, Bushnell sempat mengecek Magnavox
Odyssey, konsol primitif untuk memainkan video game
di televisi. Di sana tersedia permainan semacam pingpong. “Menurut saya,
permainan itu butut,” kata Bushnell bertahun-tahun berselang sesudah dirinya
dituntut atas pencurian ide. “Tidak ada suaranya, tidak ada skornya, sedangkan
bolanya segi empat. Tetapi, saya perhatikan sebagian orang suka memainkannya.”
Sekembali ke kantor
sewaan Atari di Santa Clara, Bushnell memaparkan permainan itu kepada Alcorn,
membuat gambar kasar sirkuit, dan memintanya merakit game
pingpong versi dingdong. Bushnell berbohong kepada Alcorn bahwa dia sudah
menandatangani kontrak dengan GE untuk membuat permainan tersebut. Sama seperti
banyak wirausahawan, Bushnell tidak malu-malu mendistorsi kenyataan dalam rangka
memotivasi orang. “Saya pikir tugas itu bagus buat Al, untuk latihan.”20
Alcorn
menyelesaikan purwarupa awal September 1972, dalam waktu beberapa minggu saja.
Supaya permainan tidak monoton, dia membubuhkan sejumlah fitur ekstra. Dalam
versi Alcorn, misalnya, ketika membentur bagian tengah bet, bola akan terpantul
lurus; tetapi apabila mengenai ujung bet, bola itu akan terpantul menyiku.
Dengan demikian,
permainan menjadi lebih menantang dan membutuhkan taktik. Alcorn juga
menciptakan papan skor. Dan, dengan genius, dia menambahkan bunyi “bong” yang
pas—menggunakan generator sinyal—ketika bola mental sehingga permainan tersebut
semakin mirip pingpong sungguhan.
Menggunakan
televisi Hitachi hitam-putih seharga $75, Alcorn merakit komponen-komponen menjadi
satu di dalam lemari kayu setinggi 1,2 meter. Seperti Computer Space, permainan
ini tidak mempergunakan mikroprosesor atau menjalankan program komputer;
semuanya dikerjakan oleh perangkat keras yang tipe desain logika digitalnya
mirip televisi. Kemudian, Alcorn menempelkan kotak koin bekas yang diambil dari
mesin pinball dan lahirlah bintang baru.21 Bushnell
menamainya Pong.
Salah satu aspek
terhebat Pong adalah kesederhanaannya. Computer Space membutuhkan instruksi
kompleks; di layar pembukanya, tercantum banyak sekali petunjuk (contohnya,
“tiada gravitasi di ruang angkasa; kecepatan roket hanya bisa diubah
menggunakan daya dorong mesin”), yang bahkan bisa membingungkan seorang
insinyur komputer.
Sebaliknya, Pong
yang simpel bisa dimainkan oleh pelanggan tetap bar atau mahasiswa yang teler
sesudah minum bergelas-gelas bir. Instruksi permainan hanya satu, “Pukul bola
dengan bet untuk mendapatkan skor tinggi.” Sadar atau tidak, Atari telah
menjawab salah satu tantangan rekayasa terpenting pada era digital: keharusan
menciptakan antarmuka pengguna sesederhana dan seintuitif mungkin.
Saking puasnya
dengan kreasi Alcorn, Bushnell memutuskan permainan itu mesti dijual. “Saya
berubah pikiran begitu sadar bahwa permainan tersebut betul-betul asyik ketika
kami menjadi sering memainkannya sejam atau dua jam sehabis kerja tiap malam.”22 Dia terbang ke Chicago untuk membujuk Bally Midway agar menerima Pong
sebagai pemenuhan kontrak mereka. Namun, perusahaan itu menolak dan bersikukuh
menginginkan game balap mobil. Bally Midway rupanya
enggan dengan video game yang membutuhkan dua pemain.
Atari justru mujur
karena Pong ditolak. Untuk menguji permainan itu, Bushnell dan Alcorn
menempatkan purwarupa Pong di Andy Capp’s, bar yang lantainya dikotori kulit
kacang dan sisi belakangnya dipenuhi oleh deretan pemain pinball di Kota
Sunnyvale, yang didominasi oleh kelas pekerja.
Setelah beberapa
hari, Alcorn memperoleh telepon dari manajer bar yang mengeluh karena mesin
permainannya mati. Alcorn diminta datang secepat mungkin untuk memperbaiki
mesin karena permainan itu ternyata luar biasa populer. Alcorn pun buru-buru ke
sana. Begitu dia membuka mesin, masalah langsung ketemu: kotak koin macet
karena kepenuhan uang receh. Saking banyaknya, uang receh berhamburan ke
lantai.23
Bushnell dan Alcorn
tahu mereka telah kejatuhan rezeki nomplok. Mesin dingdong rata-rata memperoleh
$10 per hari; Pong meraup $40. Keputusan Bally menolak permainan itu tiba-tiba
terkesan bagai berkah. Sosok wirausahawan tulen dalam diri Bushnell sontak keluar.
Dia memutuskan Atari akan memanufaktur permainan itu sendiri, sekalipun
perusahaan tersebut belum mempunyai dana ataupun peralatan.
Bushnell
mempertaruhkan uangnya sendiri untuk mendanai operasional keseluruhan. Bushnell
mengecek total uangnya di bank, membaginya dengan $280—biaya pembuatan mesin
per unit—dan menyimpulkan dia dapat membuat tiga belas mesin. “Tetapi, karena
itu angka sial,” kenang Bushnell, “kami putuskan membuat dua belas saja.”24
Bushnell membuat
model kecil konsol yang dia inginkan dari tanah liat dan membawa model itu ke
pembuat perahu yang kemudian memproduksi konsol dari bahan fiberglass.
Hanya butuh sepekan untuk membuat satu mesin jadi, plus beberapa hari lagi
untuk menjualnya seharga $900. Jadi, dengan laba sebesar $620 dari hasil
penjualan, Bushnell mendapatkan aliran kas positif yang kemudian bisa dia
gunakan untuk memodali pembuatan mesin berikutnya.
Sebagian keuntungan
awal dia belanjakan untuk membuat brosur penjualan bergambar wanita muda cantik
bergaun malam ketat transparan yang merangkul mesin dingdong. “Kami merekrut
dia dari bar topless di jalan dekat kantor,” papar
Bushnell 40 tahun kemudian kepada hadirin yang terdiri atas anak-anak SMA, yang
menyimak dengan serius dan tampak tercengang mendengar kisah tersebut karena
tidak tahu apa persisnya bar topless itu.25
Sistem modal
ventura, yang baru saja dirintis di Silicon Valley oleh Arthur Rock yang
mendanai Intel, tidak tersedia untuk perusahaan yang hendak membuat video game.*2 Bagaimanapun saat itu video game bukanlah komoditas menjanjikan seperti sekarang,
mesin game masih dimonopoli oleh industri pinball.
Bank menolak ketika Bushnell datang bertamu untuk minta pinjaman. Hanya Wells
Fargo yang bersedia memberikan kredit sebesar $50 ribu, di bawah jumlah yang
diminta oleh Bushnell.
Dengan uang itu,
Bushnell dapat membuka fasilitas produksi di gelanggang sepatu roda yang
terbengkalai beberapa blok dari kantor Atari di Santa Clara. Permainan Pong
tidak dibuat di jalur perakitan, tetapi di lantai oleh buruh belia yang
bergantian memasang beragam komponen. Para buruh ini didatangkan dari sentra
aktivitas untuk penganggur di dekat sana.
Setelah
mengeluarkan karyawan yang pecandu heroin atau pencuri monitor televisi, produksi
maju pesat. Mula-mula mereka membuat sepuluh unit per hari, tetapi dalam kurun
dua bulan Atari bisa menyelesaikan hampir seratus unit per hari. Keuangan
perusahaan juga membaik; biaya per unit bisa dipertahankan di angka $300 lebih
sedikit, tetapi harga penjualan dinaikkan menjadi $1.200.
Mengingat Bushnell
dan Alcorn sama-sama gemar bersenang-senang dan masih berusia dua puluhan,
pantas saja atmosfer perusahaan itu teramat santai—bahkan melebihi suasana
santai di usaha rintisan Silicon Valley yang kita kenal dewasa ini. Tiap Jumat
diadakan pesta bir dan ganja, terkadang dimeriahkan dengan acara berenang
telanjang, terutama jika target pekan itu tercapai. “Kami mendapati bahwa untuk
memotivasi karyawan supaya meraih target, imbalan berupa pesta ternyata seefektif
uang bonus,” kata Bushnell.
Bushnell sendiri
membeli rumah bagus di perbukitan Los Gatos yang tak jauh dari kantor
perusahaan. Kadang-kadang dia menggelar rapat dewan direksi atau pesta untuk
staf di kolam air panas di rumahnya itu. Ketika membangun fasilitas riset dan
teknologi baru, Bushnell menitahkan di sana harus ada kolam air panas. “Kolam
air panas berguna untuk alat rekrutmen,” dia bersikeras. “Kami belajar dari
pengalaman bahwa gaya hidup dan pesta-pesta kami bermanfaat sekali untuk menarik
karyawan. Jika kami hendak merekrut seseorang, kami undang saja dia ke pesta
kami.”26
Kultur Atari bukan
saja bermanfaat untuk menarik karyawan baru, melainkan juga merupakan
manifestasi kepribadian Bushnell. Toh, bukan berarti Bushnell memupuk budaya itu
di perusahaan hanya karena ingin bersenang-senang. Akar pemikirannya sejalan
dengan filosofi kaum hippie, yang juga berperan dalam
membentuk kultur Silicon Valley. Prinsip yang harus dipegang: pertanyakan
pemegang otoritas, terabas hierarki, kagumi ketidaklaziman, dan pupuklah
kreativitas.
Lain dengan banyak
korporasi di Pesisir Timur AS, perusahaan di Pesisir Barat, termasuk Atari,
tidak menetapkan jam kerja tertentu dan kode busana, baik di kantor maupun di
kolam air panas. “Saat itu IBM mengharuskan karyawan mengenakan kemeja putih,
celana panjang berwarna gelap, dasi hitam, dan menyematkan tanda pengenal ke
bahu atau apalah,” kata Steve Bristow, seorang insinyur. “Di Atari kinerja
lebih penting ketimbang penampilan seseorang.”27
Kesuksesan Pong mengundang gugatan hukum dari
Magnavox, perusahaan pengedar game TV Odyssey yang
Bushnell lihat di pameran. Permainan milik Magnavox dirancang oleh orang luar
perusahaan, insinyur bernama Ralph Baer. Dia tidak bisa mengklaim bahwa
dirinyalah pencipta konsep tersebut; cikal bakal permainan itu bisa dilacak
sejak 1958, ketika William Higinbotham di Brookhaven National Lab menyambungkan
osiloskop ke komputer analog untuk mementalkan sinyal di layar
bolak-balik—permainan yang dia sebut Tenis untuk Berdua.
Akan tetapi, Baer
tipe penemu yang, sama seperti Edison, meyakini pendaftaran paten sebagai
bagian tak terpisahkan dari proses penemuan itu sendiri. Baer memegang tujuh
puluh paten, termasuk atas berbagai aspek permainan buatannya. Daripada melawan
gugatan itu di pengadilan, Bushnell menggagas kesepakatan cerdik yang
menguntungkan kedua perusahaan.
Dia membayar tarif
yang relatif murah, $700 ribu saja; sebagai gantinya, Atari berhak untuk terus
membuat game itu, sedangkan Magnavox bertanggung
jawab mengawasi patennya dan menagih pembayaran royalti dari perusahaan lain,
termasuk mantan mitra Bushnell seperti Bally Midway dan Nutting Associates,
yang ingin membuat permainan serupa. Berkat kesepakatan tersebut, daya saing
Atari terdongkrak.
Inovasi membutuhkan
sekurang-kurangnya tiga komponen: ide hebat, kemampuan rekayasa untuk
mengaplikasikan ide hebat tersebut, dan manuver bisnis (plus kecerdikan dalam
menjalin kesepakatan) untuk menjadikannya produk yang sukses. Nolan Bushnell
mempunyai ketiga-tiganya saat berumur 29 tahun. Alhasil, dialah—bukan Bill
Pitts, Hugh Tuck, Bill Nutting, atau Ralph Baer—yang tercatat dalam sejarah
sebagai inovator yang memekarkan industri video game.
“Saya bangga atas
pencapaian teknis kami, bangga karena kami bisa membuat Pong, tetapi saya malah
lebih bangga karena mampu memotori dan menggerakkan roda-roda bisnis
perusahaan,” kata Bushnell. “Membuat game itu mudah.
Yang susah ialah menumbuhkan perusahaan tanpa uang.”28
J.C.R. Licklider (1915–1990).
Bob Taylor (1932–...).
Larry Roberts (1937–...).
*1 Cuplikan prosa Doc Smith,
diambil dari novelnya, Triplanetary (1948), sebagai
berikut. “Pesawat Nerado siap sedia menghadapi keadaan darurat apa pun. Lain
dengan pesawat mitranya, kapal tersebut diawaki oleh para ilmuwan yang memahami
teori fundamental senjata andalan mereka dalam pertarungan. Sinar, tongkat, dan
tombak energi yang menyala dan berkobar-kobar; layar pelindung berpendar merah
atau mendadak berkilat menyilaukan. Merah darah buram menggeletar di bawah
cecaran tirai pemusnah ungu. Bahan proyektil dan torpedo diluncurkan dengan
kecepatan penuh, tetapi ujung-ujungnya hanya meledak tanpa guna di tengah ruang
angkasa—hancur tak bersisa atau menghilang ketika menubruk layar polisiklik
kebal.”
*2 Tiga tahun berselang,
pada 1975, ketika Atari memutuskan membuat konsol Pong versi rumah, industri
modal ventura telah meledak dan Bushnell berhasil memperoleh dana $20 juta dari
Don Valentine, yang baru saja mendirikan Sequoia Capital. Atari dan Sequoia
saling bantu menyukseskan satu sama lain.
Comments
Post a Comment