The Innovators - Walter Isaacson - 03


Terdapat satu tahap penting dalam perkembangan komputer modern yang belum kita bahas. Semua mesin yang dirakit pada masa perang bertujuan untuk mengerjakan—paling tidak awalnya—satu tugas spesifik, semisal menjawab persamaan atau memecahkan kode. Komputer sungguhan, seperti yang diangankan oleh Ada Lovelace dan kemudian Alan Turing, harus bisa mengerjakan, secara andal dan cepat, operasi logika apa saja. Untuk itu, mesin bukan hanya membutuhkan perangkat keras, melainkan juga perangkat lunak alias program yang dapat dijalankan.
Turing sekali lagi menjabarkan konsep tersebut secara jelas. “Kita tidak memerlukan bermacam mesin yang pekerjaannya lain-lain,” tulisnya pada 1948. “Satu mesin semestinya sudah cukup. Kendala rekayasa guna memproduksi beragam mesin digantikan oleh kendala untuk ‘memprogram’ mesin universal agar dapat menyelesaikan bermacam pekerjaan.”1
Menurut teori, mesin seperti ENIAC bisa diprogram dan bahkan memenuhi kriteria sebagai mesin serbaguna. Namun, pada praktiknya, memasukkan program anyar merupakan proses yang memakan waktu—terkadang mengharuskan pencopotan dan pemasangan kembali, secara manual, kabel-kabel penghubung unit yang berlainan pada komputer. Mesin-mesin zaman perang tidak bisa beralih program dengan kecepatan elektronis. Untuk mengatasi kendala tersebut, mesin harus bisa menyimpan program di dalam memori elektroniknya. Ini pula yang menjadi capaian berikut pada perkembangan komputer modern.
GRACE HOPPER
Semenjak Charles Babbage, para pria penemu komputer terutama memfokuskan perhatian pada perangkat keras. Namun, para perempuan yang terlibat dalam Perang Dunia II sudah mafhum sedari awal akan pentingnya pemrograman, sama seperti Ada Lovelace. Mereka pun mengembangkan cara untuk memasukkan kode instruksi yang memerintahkan perangkat keras menjalankan operasi tertentu. Dalam perangkat lunak tersebut, tersimpanlah formula ajaib yang bisa mengubah mesin secara menakjubkan.

Pelopor paling bersemangat adalah perwira Angkatan Laut yang nekat dan penuh semangat sekaligus memikat dan supel bernama Grace Hopper, yang belakangan bekerja untuk Howard Aiken di Harvard dan kemudian untuk Presper Eckert dan John Mauchly. Lahir dengan nama Grace Brewster Murray pada 1906, dia berasal dari keluarga makmur penghuni Upper West Side di Manhattan.
Kakeknya seorang insinyur sipil yang kerap mengajaknya ikut melakukan survei keliling New York, ibunya seorang matematikawan, sedangkan ayahnya seorang eksekutif asuransi. Dia lulus dari Vassar dengan gelar di bidang matematika dan fisika, lalu meneruskan studi ke Yale dan dari sana memperoleh PhD Matematika pada 1934.2
Pendidikannya yang tinggi bukanlah hal luar biasa. Dia perempuan kesepuluh yang memperoleh gelar Doktor Matematika dari Yale; perempuan pertama memperolehnya pada 1895.3 Pada 1930-an banyak perempuan, terutama dari keluarga berpunya, yang kuliah doktoral di bidang matematika. Malahan, situasi tersebut lebih lumrah ketimbang satu generasi berselang.
Jumlah perempuan Amerika yang mendapat gelar Doktor Matematika pada 1930-an mencapai 113 orang, yaitu 15% dari seluruh peraih gelar Doktor Matematika di Amerika. Pada dasawarsa 1950-an hanya 106 perempuan yang mendapat gelar Doktor Matematika, yakni 4% saja dari jumlah total. (Pada dasawarsa pertama 2000-an proporsi tersebut sudah naik. Perempuan peraih gelar Doktor Matematika berjumlah 1.600 atau 30% dari jumlah total.)
Setelah menikahi dosen Sastra Komparatif, Vincent Hopper, Grace menjadi salah seorang pengajar Vassar. Lain dengan kebanyakan dosen matematika, dia bersikeras agar mahasiswanya bisa menulis dengan baik. Dalam mata kuliah Probabilitas, dia memulai pengajaran tentang formula matematika favoritnya*1 dan meminta para mahasiswa menulis esai mengenai topik itu. Esai tersebut akan dia nilai berdasarkan gaya dan kejelasan penulisan.
“Saya corat-coret (esai yang banyak salah) dengan tinta dan kemudian para mahasiswa akan memprotes, mengatakan bahwa mereka mengambil mata kuliah Matematika, bukan mata kuliah Bahasa Inggris,” kenangnya. “Lalu, saya jelaskan bahwa percuma saja belajar matematika jika kita tidak bisa mengomunikasikannya kepada orang lain.”4 Seumur hidup, Hopper piawai dalam menerjemahkan persoalan-persoalan ilmiah—tentang lintasan, aliran fluida, ledakan, pola cuaca, dan lain-lain—ke dalam persamaan matematika dan kemudian bahasa awam. Bakat ini membantunya menjadi programmer andal.
Pada 1940 Grace Hopper kebosanan. Dia tidak mempunyai anak, perkawinannya menjemukan, sedangkan mengajar matematika tidak memuaskan batin sebagaimana harapannya. Dia cuti sementara dari Vassar untuk belajar di bawah bimbingan matematikawan terkemuka, Richard Courant dari Universitas New York, mengenai metode pemecahan persamaan diferensial parsial. Dia masih belajar di bawah bimbingan Courant ketika Jepang menyerang Pearl Harbor pada Desember 1941.
Terlibatnya Amerika Serikat dalam Perang Dunia II memberi Hopper kesempatan untuk mengubah hidup. Dalam kurun delapan belas bulan sesudahnya, dia mengundurkan diri dari Vassar, menceraikan suaminya, dan pada usia 36 tahun masuk ke Angkatan Laut AS. Dia dikirim ke Naval Reserve Midshipmen’s School di Smith College, Massachusetts, dan pada Juni 1944 lulus dengan nilai tertinggi seangkatan sebagai Letnan Grace Hopper.
Hopper mengasumsikan akan ditempatkan ke regu kriptografi dan sandi. Namun, yang mengejutkan, dia justru diperintahkan melapor ke Universitas Harvard untuk menggarap Mark I, komputer digital raksasa dengan relay elektromekanis lambat dan selot berputar yang digerakkan oleh motor—buah pemikiran Howard Aiken pada 1937. Saat Hopper ditugaskan menangani Mark I, mesin tersebut telah diambil alih oleh Angkatan Laut; Aiken masih menjadi penanggung jawab, tetapi sebagai komandan Angkatan Laut, bukan anggota staf Harvard.
Ketika Hopper melapor untuk bertugas pada Juli 1944, Aiken memberinya salinan memoar Charles Babbage dan mengajaknya melihat Mark I. “Itu mesin komputasi,” Aiken memberitahunya. Hopper hanya menatap mesin tersebut sambil melongo beberapa lama. “Saya melihat mesin raksasa yang berisiknya minta ampun,” kenang Hopper. “Semua terbuka, tidak bertutup, dan sangat ribut.”5 Sadar bahwa dia harus memahami mesin tersebut sepenuhnya supaya bisa mengoperasikan dengan baik, Hopper menghabiskan bermalam-malam untuk menganalisis cetak biru Mark I.
Keunggulan Hopper ialah mampu menerjemahkan (sama seperti di Vassar) masalah lapangan menjadi persamaan matematika, lalu mengomunikasikan persamaan matematika tersebut sehingga bisa dimengerti oleh operator mesin itu sendiri. “Saya mempelajari bahasa oseanografi, penyapu ranjau, detonator, proximity fuse, biomedis,” Hopper menjelaskan.

“Kami harus mempelajari bahasa-bahasa itu supaya bisa memecahkan masalah di bidang tersebut. Saya bisa mengubah redaksional kalimat saya dan berbicara dengan bahasa sangat teknis kepada para programmer, kemudian menyampaikan hal yang sama kepada manajer beberapa jam kemudian, tetapi menggunakan bahasa yang sangat lain.” Inovasi akan sia-sia apabila kita tidak bisa mengomunikasikannya.

Karena kemampuan komunikasi yang presisi, Aiken menugasi Hopper menulis panduan pemrograman komputer pertama di dunia. “Tulislah sebuah buku,” kata Aiken suatu hari sambil berdiri di samping meja Hopper.
“Saya tidak bisa menulis buku,” timpal Hopper. “Saya tidak pernah menulis buku.”
“Anda sekarang di Angkatan Laut,” Aiken menyatakan. “Jadi, Anda harus bisa.”6
Hasilnya ialah buku sepanjang lima ratus halaman yang memuat sejarah Mark I sekaligus panduan pemrogramannya.7 Bab pertama menjabarkan mesin-mesin hitung terdahulu, dengan penekanan pada mesin buatan Pascal, Leibniz, dan Babbage. Sampul dalamnya memuat gambar sebagian Mesin Selisih Babbage yang Aiken pajang di kantor, sedangkan Hopper mengawali buku dengan epigraf dari Babbage.
Dia memahami, sama seperti Ada Lovelace, bahwa Mesin Analitis Babbage mempunyai kekhususan yang—Hopper dan Aiken percaya—akan membuat Mark I kreasi Harvard berbeda dengan komputer-komputer lain pada zaman itu. Terinspirasi oleh konsep Mesin Analitis Babbage, Aiken bercita-cita membuat Mark I yang bisa menerima perintah lewat kertas berlubang sehingga bisa diprogram dengan berbagai instruksi baru.
Tiap malam Hopper membacakan kepada Aiken halaman-halaman yang sudah ditulis hari itu, membantunya memperbaiki tulisan, “Menurut (Aiken), jika kalimat terkesan janggal ketika kita bacakan keras-keras, lebih baik kita perbaiki saja kalimat tersebut. Tiap hari saya harus membaca lima halaman tulisan saya.”8
Kalimat-kalimat Hopper lantas menjadi sederhana, lugas, dan jelas. Berkat kemitraan mereka yang padu, Hopper dan Aiken seolah meneladani kerja sama Lovelace-Babbage seabad sebelumnya. Semakin banyak yang Hopper ketahui mengenai Ada Lovelace, semakin Hopper merasa sejiwa dengannya. “Ada Lovelace-lah yang menulis loop pertama itu,” kata Hopper. “Saya takkan pernah melupakan jasanya. Tak seorang pun dari kami akan melupakan jasanya.”9
Dalam buku Hopper, bab berisi penjelasan historis terfokus pada sosok pribadi. Dengan demikian, bukunya menekankan peran penting individu. Kontras dengan pendekatan tersebut, tidak lama sesudah buku Hopper rampung, para eksekutif IBM memesan penulisan sejarah Mark I dengan menitikberatkan peran penting tim IBM di Endicott, New York, yang telah merakit mesin tersebut. “Lebih untung bagi IBM apabila mereka mengganti sejarah individu dengan sejarah perusahaan,” demikian tulis sejarawan Kurt Beyer dalam kajian tentang Hopper.
“Menurut IBM, lokus inovasi teknologi adalah perusahaan. Mitos penemu tunggal yang bekerja keras di laboratorium atau ruang bawah tanah digantikan realitas berupa tim beranggotakan para insinyur anonim yang menyumbangkan perbaikan kecil setahap demi setahap.”10 Dalam sejarah versi IBM, Mark I merupakan akumulasi dari inovasi kecil-kecilan, mulai pencacah searah sampai card feed bertingkat dua, yang menurut buku IBM ialah karya cipta para insinyur yang bekerja secara kolaboratif di Endicott.*2
Perbedaan antara sejarah versi Hopper dan IBM lebih fundamental ketimbang persoalan “siapa yang paling patut dihormati sebagai penemu”. Keduanya memandang sejarah inovasi dari sudut pandang yang berlainan secara mendasar. Seperti paparan Hopper, sebagian kajian teknologi dan sains menekankan sumbangsih penemu kreatif yang berhasil membuat lompatan inovatif. Kajian lain menekankan peran tim dan institusi, seperti kerja kolaboratif di Bell Labs dan laboratorium IBM di Endicott.
Pendekatan kedua berusaha menunjukkan bahwa “lompatan kreatif” semata-mata proses evolusioner, persilangan antara ide, konsep, teknologi, dan metode rekayasa yang tumbuh dan mekar bersama-sama. Namun, untuk menjelaskan kemajuan teknologi, kedua pendekatan sama-sama tidak memuaskan apabila digunakan sebagai satu-satunya sudut pandang. Sebagian besar inovasi hebat pada era digital dicetuskan oleh para individu kreatif (Mauchly, Turing, von Neumann, Aiken) yang lantas bekerja sama dengan tim yang mampu mengimplementasikan ide-ide mereka.

Mitra Hopper dalam mengoperasikan Mark I adalah Richard Bloch, alumnus Matematika Harvard sekaligus pemain seruling band kampus yang gemar berkelakar dan sempat mengabdi di Angkatan Laut. Bloch mulai bekerja untuk Aiken tiga bulan sebelum kedatangan Hopper dan serta-merta turun tangan untuk membimbing si orang baru ketika Hopper tiba.
“Saya ingat duduk-duduk sampai larut malam sambil menekuri cara kerja mesin, cara memprogramnya,” kata Bloch. Tiap dua belas jam sekali, dia dan Hopper bergantian meladeni mesin serta sang komandan yang sama rewelnya, Aiken. “Terkadang dia datang pukul 4.00 pagi,” kata Bloch, “dan sontak berkomentar, ‘Apa angka-angka masih keluar?’ Dia waswas sekali tiap kali mesin berhenti bekerja.”11
Pendekatan Hopper terhadap pemrograman amat sistematis. Dia memecah tiap persoalan fisika atau persamaan matematika ke dalam langkah-langkah aritmetika sederhana. “Kita hanya perlu memberi mesin perintah setahap demi setahap,” Hopper menjelaskan. “Ambil bilangan ini, jumlahkan dengan bilangan itu, kemudian letakkan jawabannya di sana. Setelah itu, ambil bilangan ini dan kalikan dengan angka yang itu, kemudian letakkan di sana.”12
Setelah program disandikan dengan membuat lubang-lubang di kartu dan tiba waktu untuk mengujinya, kru Mark I punya gurauan yang kemudian menjadi ritual, yaitu bersimpuh di tikar sembahyang sambil menghadap ke timur dan berdoa semoga pekerjaan mereka berterima.
Pada larut malam Bloch terkadang mengotak-atik sirkuit perangkat keras Mark I, menyebabkan program perangkat lunak yang ditulis oleh Hopper tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hopper memiliki kepribadian meletup-letup dibumbui bahasa pedas. Omelan menusuk yang dia lontarkan kepada Bloch, yang jangkung dan kalem, tidak ada bedanya dengan perseteruan dan persahabatan yang lazim terjalin antara para insinyur perangkat keras dan perangkat lunak pada masa mendatang.
“Tiap kali saya berhasil membuat program yang fungsional, dia mengubah sirkuit komputer malam-malam sehingga keesokan paginya program tidak bisa berjalan,” ratap Hopper. “Yang lebih parah lagi, dia tidur di rumah sehingga tidak bisa memberi tahu saya apa yang sudah dia lakukan.” Bilamana itu terjadi, “Celaka dua belas,” kata Bloch. “Menurut Aiken, kejadian seperti itu sama sekali tidak lucu.”13
Karena insiden semacam itu, Hopper kerap dianggap kurang peka terhadap perasaan orang lain. Memang betul demikian, tetapi—sama seperti para programmer generasi mendatang—sikap Hopper yang blakblakan dan sering kurang ajar berpadu dengan antusiasme untuk bekerja sama dengan orang lain. Pembawaan ala kru kapal perompak ini justru membebaskan daripada mengekang Hopper. Sebagaimana ditulis oleh Beyer, “Kemampuan kolaboratif Hopper-lah, bukan wataknya yang pembangkang, yang membukakan ruang bagi pola pikir dan tindakannya yang independen.”14
Nyatanya, dibanding Hopper yang berapi-api, justru Bloch yang kalem lebih sering tidak akur dengan Komandan Aiken. “Dick selalu saja terjerat masalah,” klaim Hopper. “Saya jelaskan kepada dia bahwa Aiken sama seperti komputer. Tindak tanduknya sudah terprogram, seperti komputer. Untuk menjalin kerja sama yang mulus dengannya, kita mesti memahami pembawaannya yang sudah terprogram itu.”15
Aiken, yang mula-mula memprotes kehadiran perempuan di jajaran perwiranya, segera menunjuk Hopper sebagai programmer utama sekaligus tangan kanannya. Bertahun-tahun kemudian Aiken dengan penuh kasih sayang mengenang kontribusi Hopper dalam melahirkan pemrograman komputer. “Grace memang orang baik,” Aiken menyatakan.16
Salah satu praktik pemrograman yang Hopper sempurnakan adalah subroutine, yakni blok kode yang disimpan untuk mengerjakan tugas tertentu, tetapi bisa dipanggil kembali apabila diperlukan pada tahap lain kala pengerjaan program utama. “Subroutine itu program sederhana yang sering digunakan,” tulis Hopper. “Mark I buatan Harvard mempunyai subroutine untuk mengerjakan sinus x, log10 x, dan 10 x, masing-masing dapat dipanggil menggunakan satu kode operasional.”17 Konsep ini yang diperkenalkan oleh Ada Lovelace dalam “Catatan”-nya tentang Mesin Analitis.
Saking banyak subroutine yang Hopper kumpulkan, jumlahnya bahkan setara koleksi buku seperpustakaan. Selagi memprogram Mark I, Hopper juga mengembangkan konsep compiler. Nantinya konsep itu akan memfasilitasi penulisan program yang berfungsi sama untuk banyak mesin, yakni dengan menerjemahkan source code ke dalam bahasa-bahasa mesin yang berlainan sesuai dengan prosesor komputer yang menggunakannya.
Selain itu, krunya ikut memopulerkan istilah bug dan debugging. Mark II buatan Harvard disimpan dalam bangunan yang tidak berjendela. Suatu malam mesin itu macet dan kru serta-merta mencari biang masalahnya. Mereka menemukan seekor ngengat gepeng dengan rentang sayap sepanjang sepuluh sentimeter tersangkut di salah satu relay elektromekanis. Bangkai ngengat kemudian diambil dan ditempelkan ke buku log dengan selotip.
“Panel F (ngengat) dalam relay,” demikian tertulis di dalam buku. “Kasus pertama ditemukannya seekor serangga betulan.”18 Sejak saat itu, proses memperbaiki kemacetan dan cela disebut dengan “debugging” alias ‘membasmi serangga’.
Pada 1945, terutama berkat peran Hopper, Mark I buatan Harvard menjadi komputer besar pertama yang paling mudah diprogram di dunia. Untuk mengubah kerja mesin, pengguna tinggal memasukkan kartu berlubang berisi instruksi baru daripada merekonfigurasi perangkat keras atau kabelnya. Namun, capaian ini nyaris tidak dihiraukan, baik saat itu maupun dari kacamata sejarah hari ini, karena Mark I (dan penerusnya, Mark II, yang rampung 1947) menggunakan relay elektromekanis yang lambat alih-alih komponen elektronik seperti tabung vakum.
“Ketika orang-orang tahu akan eksistensi mesin itu,” kata Hopper terkait Mark II, “dia sudah ketinggalan zaman karena yang lain sudah menggunakan komponen elektronik.”19
Para inovator komputer, sama seperti pionir-pionir lain, bisa tertinggal kemajuan zaman apabila bersikukuh dengan cara-cara lama. Sifat yang berjasa dalam melahirkan inovasi, seperti kekeraskepalaan dan totalitas, bisa jadi menyebabkan mereka enggan berubah ketika muncul ide baru. Steve Jobs terkenal keras kepala dan total dalam bekerja. Namun, Jobs membuat para kolega terpesona dan terbengong-bengong ketika mendadak berubah pikiran, begitu dia sadar bahwa memang perlu mengubah cara pikir.
Sayangnya, Aiken tidak sefleksibel itu. Dia kurang luwes sehingga sukar putar haluan. Lazimnya komandan Angkatan Laut, Aiken punya insting kuasa nan dominan. Alhasil, krunya tidak sebebas tim Mauchly-Eckert di Universitas Pennsylvania. Aiken juga lebih mengutamakan keandalan daripada kecepatan. Itu sebabnya, Aiken terus berpegang erat pada relay elektromekanis yang andal dan telah teruji, bahkan selepas orang-orang di Universitas Pennsylvania dan Bletchley Park mafhum bahwa tabung vakum akan membukakan jalan ke masa depan. Mark I kreasi Aiken hanya mampu mengolah tiga perintah per detik, sedangkan ENIAC yang dirakit di Universitas Pennsylvania dapat mengolah lima ribu perintah pada saat bersamaan.
Ketika datang ke Universitas Pennsylvania untuk melihat ENIAC dan menghadiri sejumlah ceramah, “Aiken menggunakan kacamata kuda,” laporan salah satu pertemuan mencatat demikian, “alhasil dia tidak bisa mengapresiasi betapa pentingnya mesin elektronik yang baru itu.”20
Hopper juga berpandangan sama ketika melihat ENIAC pada 1945. Dia berpendapat Mark I superior karena mudah diprogram, lain dengan ENIAC yang, katanya, “Harus dibongkar pasang untuk mengerjakan satu tugas spesifik. Padahal, kami tinggal memprogram dan mengontrol komputer berdasarkan program-program yang kami buat, tidak perlu membongkar pasang.”21 Waktu yang dibutuhkan untuk memprogram ENIAC—yang terkadang bisa sampai sehari penuh—menghapus keunggulannya dalam kecepatan pemrosesan, kecuali mesin tersebut mengerjakan tugas yang sama berulang-ulang.

Lain dengan Aiken, Hopper berpikiran terbuka sehingga dengan cepat mengubah sudut pandangnya. Tahun itu ENIAC sudah bisa diprogram dengan lebih cepat. Hopper malah semakin senang karena yang berdiri paling depan dalam Revolusi Pemrograman itu seorang perempuan.
PEREMPUAN-PEREMPUAN ENIAC
Perangkat keras ENIAC dibuat oleh insinyur yang semuanya laki-laki. Sekelompok perempuan, khususnya enam orang, yang ternyata berperan sama penting dalam pengembangan komputasi modern kurang diagung-agungkan dalam sejarah. Saat tengah dirakit di Universitas Pennsylvania pada 1945, ENIAC diproyeksikan untuk mengerjakan perhitungan tertentu secara berulang-ulang, semisal menentukan lintasan misil menggunakan beragam variabel. Namun, pada penghujung perang, mesin itu ternyata dibutuhkan untuk mengerjakan banyak jenis kalkulasi—gelombang sonik, pola cuaca, dan kekuatan ledakan bom atom tipe baru—sehingga harus sering diprogram ulang.
Memprogram ulang ENIAC berarti memasang copot kabel-kabel yang bersilang sengkarut dan mengeset ulang sakelar-sakelarnya. Mula-mula pemrograman dianggap sebagai pekerjaan rutin yang remeh—barangkali ini pula sebabnya tugas tersebut dibebankan kepada kaum perempuan, yang masa itu tidak dianjurkan menjadi insinyur. Namun, perempuan-perempuan ENIAC segera menunjukkan—sebagaimana para laki-laki menyadari belakangan—pemrograman komputer ternyata sesignifikan desain perangkat kerasnya.
Kisah Jean Jennings bisa mewakili perjalanan hidup banyak pelopor perempuan programmer.22 Dia lahir di peternakan di pinggiran Alanthus Grove, Missouri (populasi 104 orang), di tengah keluarga yang pas-pasan dan mengapresiasi pentingnya pendidikan. Ayahnya seorang guru di sekolah yang gedungnya hanya terdiri atas satu ruangan. Di sekolah yang sama Jean menjadi pitcher andalan dan satu-satunya perempuan dalam tim sofbol. Sang ibu, kendati putus sekolah sewaktu kelas delapan, membantu mengajarinya aljabar dan geometri.
Jean anak keenam dari tujuh bersaudara, yang semuanya mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Pada zaman itu pemerintah negara-negara bagian di Amerika Serikat paham benar bahwa pendidikan sangat penting maka pemerintah menjamin supaya pendidikan terjangkau oleh semua orang.
Jennings kuliah di Northwest Missouri State Teachers College di Maryville, yang biayanya hanya $76 per tahun. (Pada 2013 besaran itu setara dengan $14 ribu per tahun untuk mahasiswa yang warga asli negara bagian, kira-kira naik dua belas kali lipat setelah menyesuaikan dengan inflasi.) Dia mula-mula kuliah di bidang jurnalisme, tetapi karena tidak suka pada dosen pembimbingnya, dia pindah ke jurusan Matematika, yang sangat dia sukai.
Setelah lulus kuliah pada Januari 1945, dosen Kalkulus-nya menunjukkan selebaran yang menyeru ahli matematika perempuan untuk bekerja di Universitas Pennsylvania. Di sana para perempuan dikaryakan sebagai “komputer”—manusia yang mengerjakan persoalan-persoalan matematika—terutama untuk mengalkulasi lintasan tembak, yang dibutuhkan oleh Angkatan Darat. Salah satu iklan berbunyi sebagai berikut.

Dicari: Perempuan Bergelar Akademik di bidang Matematika .... Kaum perempuan dipersilakan melamar pekerjaan di ranah sains dan teknologi yang semula lebih dikhususkan bagi laki-laki. Kinilah saatnya mempertimbangkan karier di bidang sains dan teknologi .... “LOWONGAN UNTUK PEREMPUAN” terbuka di mana-mana!23

Jennings, yang tidak pernah keluar dari Missouri, melamar pekerjaan tersebut. Ketika memperoleh telegram penerimaan, dia naik kereta tengah malam Wabash yang menuju timur dan tiba di Universitas Pennsylvania empat puluh jam kemudian. “Tentu saja mereka terkejut sekali karena saya sampai secepat itu,” kenangnya.24
Saat Jennings datang pada Maret 1945, pada usia 20 tahun, tujuh puluh perempuan di Universitas Pennsylvania bekerja menggunakan mesin penjumlahan dan menuliskan angka-angka di lembaran besar kertas. Istri Kapten Herman Goldstine, Adele, bertanggung jawab merekrut dan melatih pekerja baru. “Saya takkan pernah melupakan kali pertama berjumpa Adele,” kata Jennings. “Dia melenggang ke dalam kelas sambil menjepit rokok di sudut mulutnya, berjalan menghampiri meja, duduk di tepi meja dengan santai, dan memulai kuliah dengan logat Brooklyn-nya.”
Bagi Jennings, yang tumbuh besar sebagai anak tomboi penuh semangat dan sering dongkol atas perlakuan diskriminatif karena dirinya perempuan, pengalaman tersebut sungguh transformatif. “Saya tahu saya sudah jauh sekali dari Maryville, tempat perempuan harus mengendap-endap ke dalam rumah kaca jika ingin merokok.”25
Beberapa bulan setelah kedatangan Jennings, beredarlah memo di antara para perempuan berisi enam lowongan baru untuk mengerjakan mesin misterius yang tersembunyi di balik pintu terkunci di Lantai 1 Moore School of Engineering Universitas Pennsylvania.
“Saya tidak tahu pekerjaan apa tepatnya atau apa ENIAC itu,” kenang Jennings. “Saya hanya tahu barangkali akan menemukan sesuatu yang baru di Lantai Dasar. Saya juga yakin bisa mempelajari dan mengerjakan apa pun sepiawai orang lain.” Selain itu, Jennings ingin mengerjakan tugas yang lebih menantang ketimbang menghitung lintasan tembak belaka.
Ketika Jennings hadir di pertemuan, Goldstine menanyakan apa yang dia ketahui mengenai listrik. “Saya katakan pernah mengambil mata kuliah Fisika dan tahu E sama dengan IR,” kenang Jennings, mengacu pada hukum Ohm, yang menjabarkan hubungan antara arus listrik dengan tegangan dan hambatan. “Bukan, bukan,” timpal Goldstine, “saya tidak peduli soal itu, tetapi takutkah Anda pada listrik?”26 Pekerjaan itu mengharuskan operator memasang kabel dan menggerakkan sakelar, jelas Goldstine. Jennings mengatakan bahwa dia tidak takut. Selagi Jennings diwawancarai, masuklah Adele Goldstine, yang kemudian memandanginya dan mengangguk. Jennings pun terpilih.
Selain Jean Jennings (kelak Bartik), ada Marlyn Wescoff (kelak Meltzer), Ruth Lichterman (kelak Teitelbaum), Betty Snyder (kelak Holberton), Frances Bilas (kelak Spence), dan Kay McNulty (kelak menikah dengan John Mauchly). Mereka punya latar belakang berlainan, lazimnya banyak tim yang dipersatukan pada zaman perang. Wescoff dan Lichterman orang Yahudi, Snyder penganut Quaker, McNulty seorang Katolik kelahiran Irlandia, sedangkan Jennings penganut Protestan Gereja Kristus, tetapi tidak taat.
“Kebersamaan kami amat luar biasa, terutama karena sebelumnya tidak pernah bergaul dekat dengan orang yang beragama lain,” kata Jennings. “Kami sempat berdebat panjang lebar mengenai keyakinan dan kebenaran agama. Tetapi—atau mungkin justru—karena itu, kami sungguh saling menyukai.”27
Pada musim panas 1945 keenam perempuan tersebut dikirim ke Lapangan Uji Coba Aberdeen untuk mempelajari cara menggunakan kartu berlubang IBM dan menyambungkan kabel ke papan sirkuit. “Kami berdiskusi panjang lebar tentang agama, keluarga kami, politik, dan pekerjaan kami,” kenang McNulty. “Kami tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.”28 Jennings menjadi pemimpin mereka. “Kami bekerja bersama, tinggal di bawah satu atap, makan bersama, dan begadang sambil mengobrolkan ini itu.”29
Karena mereka semua lajang dan dikelilingi oleh banyak prajurit bujang, terdapat banyak peluang untuk menjalin asmara yang dipupuk sambil minum-minum koktail Tom Collins di bilik dalam klub perwira. Wescoff menemukan marinir yang “jangkung dan lumayan tampan”. Jennings dijodoh-jodohkan dengan sersan Angkatan Darat bernama Pete, yang “menarik, tetapi tidak tampan-tampan amat”. Sersan itu berasal dari Mississippi, sedangkan Jennings secara blakblakan menentang segregasi rasial.
“Pete pernah memberi tahu takkan pernah mengajak saya ke Biloxi karena saking vokalnya saya dalam mengutarakan pendapat, bisa-bisa saya dibunuh.”30
Setelah enam minggu menjalani pelatihan, keenam perempuan programmer menyimpan pacar mereka dalam album kenangan dan kembali ke Universitas Pennsylvania. Di sana mereka diberi poster-poster bertuliskan diagram dan bagan yang menjabarkan mekanisme ENIAC.
“Seseorang memberi kami setumpuk cetak biru, yang memuat diagram penyambungan kabel untuk semua panel. Lalu, mereka katakan, ‘Ini, silakan pelajari cara kerja mesin ini dan kemudian pikirkanlah cara memprogramnya,’” jelas McNulty.31 Untuk memprogram mesin, mereka perlu menganalisis persamaan-persamaan diferensial dan kemudian menentukan kabel mana harus dihubungkan dengan sirkuit elektronik mana.
“Dengan mempelajari ENIAC lewat diagram, keuntungan terbesar yang kami peroleh ialah bisa memahami apa-apa saja yang bisa dan tidak bisa dikerjakan oleh mesin tersebut,” kata Jennings. “Hasilnya, kami dapat mendiagnosis persoalan sampai ke akarnya, bahkan sampai ke level tabung vakum individual.” Jennings dan Snyder merancang sistem untuk mendeteksi yang mana di antara ke-18 ribu tabung vakum yang terbakar.
“Karena kami paham mesin tersebut dan juga paham aplikasinya, kami belajar mendiagnosis masalah yang mungkin terjadi. Diagnosis kami malah lebih akurat daripada diagnosis insinyur. Mereka justru senang karena lantas bisa menyerahkan tugas debugging kepada kami.”32
Snyder menjabarkan betapa mereka membuat diagram dan tabel secara teliti untuk tiap konfigurasi kabel dan sakelar baru. “Yang kami kerjakan saat itu cikal bakal program,” katanya, sekalipun kala itu mereka belum memiliki istilah khusus untuk mendefinisikan pekerjaan tersebut. Mereka menulis tiap urut-urutan instruksi baru ke selembar kertas demi melindungi diri sendiri. “Kami semua takut bakal dikuliti jika sampai merusak papan sirkuit tersebut,” kata Jennings.33
Suatu hari Jennings dan Snyder duduk dalam ruang kelas di Lantai 2 sambil memelototi bergulung-gulung lembaran yang memuat diagram sekian banyak unit ENIAC. Seorang pria masuk untuk mengecek konstruksi. “Hai, nama saya John Mauchly,” katanya. “Saya cuma mampir untuk memeriksa apakah langit-langit ambruk.” Jennings dan Snyder sama-sama belum pernah bertemu dengan sang tokoh visioner di balik ENIAC. Namun, mereka tidak sungkan ataupun merasa terintimidasi.
“Waduh, untung Anda datang,” Jennings mengumumkan. “Coba beri tahu kami bagaimana cara kerja akumulator terkutuk ini.” Mauchly dengan saksama menjawab pertanyaan itu dan beberapa pertanyaan lain juga. “Kantor saya di sebelah. Jadi, kapan pun saya berada di kantor, silakan mampir dan bertanya kepada saya.”
Itulah yang kemudian mereka lakukan hampir tiap siang. “Dia guru yang luar biasa,” menurut Jennings. Mauchly mendorong perempuan-perempuan tersebut untuk membayangkan apa saja yang kelak dapat dikerjakan oleh ENIAC, selain mengalkulasi lintasan tembak. Dia tahu, supaya ENIAC menjadi komputer serbaguna tulen, dibutuhkan programmer yang terinspirasi untuk mengembangkan perangkat keras agar mampu mengerjakan bermacam tugas.
“Dia selalu mendorong kami agar memikirkan persoalan-persoalan lain,” kata Jennings. “Misalnya, dia menyuruh kami merumuskan cara untuk memecahkan inversi matriks dan aneka fungsi lainnya.”34
Kira-kira berbarengan dengan Hopper di Harvard, perempuan-perempuan di ENIAC pun menjajaki penggunaan subroutine. Mereka sempat bingung karena sirkuit logika tidak punya kapasitas memadai untuk menghitung sejumlah lintasan. McNulty kemudian mengajukan solusi. “Aku punya ide,” katanya suatu hari. “Kita bisa menggunakan master untuk mengulang kode tertentu.” Mereka mencoba dan ternyata pendekatan itu berhasil.
“Mulailah kami membuat subroutine, nested subroutine, dan sebagainya,” kenang Jennings. “Ketika itu tujuannya benar-benar praktis. Supaya lintasan dapat dihitung, daripada mengulang keseluruhan program, kita tinggal mengulang sebagian saja, berdasarkan instruksi yang tertuang di master. Begitu kita paham caranya, kita menjadi tahu cara mendesain program dengan sistem modul. Kemampuan membuat modul dan subroutine sangat penting apabila kita ingin belajar pemrograman.”35
Tidak lama sebelum meninggal pada 2011, Jean Jennings Bartik dengan bangga mengenang bahwa programmer komputer serbaguna pertama semuanya perempuan. “Sekalipun tumbuh dewasa pada masa ketika kesempatan perempuan untuk berkarier sangat terbatas, kami membantu membidani era komputer.” Itu terjadi karena pada zaman tersebut banyak perempuan yang belajar matematika di tingkat perguruan tinggi, sementara keterampilan mereka sedang dibutuhkan.

Ironis, kaum laki-laki yang gemar mengotak-atik mesin mengira perakitan perangkat keras merupakan tugas tersulit dan dengan demikian pekerjaan pria. “Ranah sains dan teknologi Amerika pada zaman itu malah jauh lebih sexist ketimbang sekarang,” Jennings berkata. “Andaikan tahu pemrograman ternyata sangat kompleks dan akan berperan krusial bagi kerja komputer elektronik, para administrator ENIAC mungkin enggan memberikan peran sepenting itu kepada perempuan.”36
PROGRAM TERSIMPAN
Sejak awal, Mauchly dan Eckert mafhum ENIAC bisa dirancang agar pemrogramannya lebih mudah. Namun, mereka tidak melakukannya karena, agar mesin mempunyai kapabilitas tersebut, niscaya dibutuhkan perangkat keras lebih rumit. Padahal, kemudahan dalam pemrograman tidak penting-penting amat. Sebab, semula mereka membayangkan ENIAC hanya akan digunakan untuk satu tugas spesifik.
“Pemecahan persoalan secara otomatis belum diupayakan,” tulis mereka dalam laporan perkembangan ENIAC akhir 1943. “Alasannya ialah semata-mata demi mempermudah pekerjaan dan karena menurut rencana, ENIAC hanya akan digunakan untuk menyelesaikan satu jenis persoalan. Maka, belum perlu membuat mesin yang mudah diset ulang.”37
Akan tetapi, lebih dari setahun sebelum ENIAC rampung, yaitu awal 1944, Mauchly dan Eckert menyadari ada cara bagus untuk membuat komputer mudah diprogram ulang, yakni dengan menyimpan program di dalam memori komputer daripada memasukkannya tiap kali pengguna ingin mengolah persoalan baru. Mereka mempunyai firasat metode itu akan menjadi lompatan besar berikutnya di dalam perkembangan komputer. Berkat “program tersimpan”, kerja komputer bisa diubah dalam sekejap tanpa perlu merekonfigurasi berbagai kabel dan sakelarnya secara manual.38
Guna menyimpan program di dalam mesin, dibutuhkan kapasitas memori yang besar. Eckert sempat mempertimbangkan banyak metode untuk itu. “Program bisa saja disimpan secara temporer di disket dari logam campuran atau diguratkan secara permanen di disket,” tulisnya dalam memo Januari 1944.39 Karena disket semacam itu masih terlampau mahal, Eckert mengusulkan—untuk ENIAC versi berikut—metode penyimpanan lebih murah yang disebut acoustic delay line. Metode tersebut dipelopori di Bell Labs oleh insinyur bernama William Shockley (yang kisah hidupnya akan dijelaskan lebih detail nanti) dan dikembangkan di MIT.
Acoustic delay line bekerja dengan menyimpan data sebagai pulsa (tegangan arus) dalam tabung panjang berisi cairan kental likat, misalnya raksa. Di ujung tabung sinyal listrik yang membawa aliran data akan diubah oleh sumbat kuarsa menjadi pulsa yang akan merambat bolak-balik sepanjang tabung tersebut selama beberapa waktu. Bilamana data hendak diambil, pulsa yang tersimpan akan diubah kembali menjadi sinyal listrik oleh sumbat kuarsa.
Tiap tabung dapat menyimpan seribu bit data dengan biaya seperseratus biaya penggunaan sirkuit tabung vakum. ENIAC generasi berikut, tulis Eckert dan Mauchly dalam memo musim panas 1944, mesti memuat sekain rak tabung raksa semacam itu untuk menyimpan data sekaligus informasi pemrograman berformat digital.

JOHN VON NEUMANN
Pada titik inilah salah seorang tokoh paling menarik dalam sejarah komputasi kembali menampakkan diri: John von Neumann, matematikawan kelahiran Hongaria yang juga mentor Turing di Princeton dan sempat menawarinya pekerjaan sebagai asisten. Cendekiawan serbabisa yang berwawasan luas dan penuh antusiasme ini telah memberikan kontribusi besar di bidang statistik, teori himpunan, geometri, mekanika kuantum, desain senjata nuklir, dinamika fluida, game theory, dan arsitektur komputer.
Dia secara signifikan akan memperbaiki arsitektur penyimpanan program yang dirintis oleh Eckert, Mauchly, dan kawan-kawan. Dia juga akan memperoleh pengakuan sebagai penemu rancang bangun tersebut dan, kalau itu saja belum cukup, namanya diabadikan dalam arsitektur tersebut.40
Von Neumann lahir dari keluarga Yahudi makmur di Budapest pada 1903 pada zaman keemasan selepas Kekaisaran Austro-Hongaria mencabut hukum yang mengekang warga Yahudi. Kaisar Franz Joseph menganugerahkan gelar turunan pada 1913 untuk sang bankir Max Neumann atas “jasanya di bidang keuangan”.
Alhasil, keluarga tersebut berhak dipanggil margittai Neumann atau, dalam bahasa Jerman, von Neumann. János (yang berjuluk Jancsi dan kelak, di Amerika, dipanggil John atau Johnny) adalah sulung dari tiga kakak beradik, yang semuanya laki-laki dan berpindah ke agama Katolik (“supaya gampang saja”, menurut pengakuan salah seorang) selepas ayah mereka meninggal.41
Von Neumann termasuk salah satu inovator yang berdiri di persimpangan antara sains dan ilmu humaniora. “Ayah kami penyair amatir dan meyakini puisi bukan hanya dapat mengekspresikan emosi, melainkan juga ide-ide filosofis,” kenang adik John, Nicholas. “Dia menganggap puisi sebagai bahasa di dalam bahasa, ide yang tecermin pula dalam spekulasi John kelak mengenai bahasa komputer dan otak.”
Mengenai sang ibu, von Neumann menulis, “Dia meyakini bahwa musik, seni, dan kesenangan estetis terkait lainnya berperan penting dalam kehidupan kita, bahwa keanggunan merupakan kualitas yang pantas dijunjung tinggi.”42
Banyak cerita—sebagian mungkin benar—yang menyebutkan von Neumann secara fitrah memang genius. Konon pada usia 6 tahun dia pernah bercanda dengan sang ayah dalam bahasa Yunani kuno dan bisa membagi angka delapan digit di luar kepala. Untuk menghibur tamu dalam pesta, dia pernah menghafal sehalaman informasi buku telepon dan mengucapkan kembali semua nama serta nomor telepon. Von Neumann kabarnya juga bisa menyebutkan kembali, persis seperti aslinya, isi novel atau artikel yang pernah dia baca dalam lima bahasa.
“Andaikan ada ras manusia berkemampuan mental super pada masa mendatang,” sang pembuat bom hidrogen Edward Teller pernah berkata, “mereka niscaya mirip Johnny von Neumann.”43
Selain belajar di sekolah, dia mempunyai tutor pribadi matematika dan macam-macam bahasa. Pada usia 15 tahun dia sudah menguasai kalkulus tingkat lanjut. Ketika Béla Kun yang komunis mengambil alih Hongaria untuk sementara pada 1919, von Neumann pindah ke Wina dan resor di pesisir Laut Adriatik. Efek samping peristiwa ini, dia seumur hidup antipati terhadap komunisme.
Von Neumann kuliah kimia di Institut Teknologi Federal Swiss di Zurich (almamater Einstein) dan matematika di Berlin serta Budapest, meraih gelar doktor pada 1926. Kemudian, pada 1930 dia menuju Universitas Princeton untuk mengajar Fisika Kuantum dan bertahan di sana setelah ditunjuk (beserta Einstein dan Gödel) menjadi pengayom Institute for Advanced Study.44
Von Neumann dan Turing, yang bersua di Princeton, kerap dipasang-pasangkan sebagai begawan teori komputer serbaguna, tetapi kepribadian dan pembawaan keduanya bertolak belakang. Turing menjalani hidup sederhana, tinggal di rumah kos dan hostel, serta lebih gemar sendirian; von Neumann sosialita yang suka hidup enak dan menggelar pesta mewah bersama sang istri satu atau dua kali setiap minggu di rumah besar mereka di Princeton. Turing pelari jarak jauh; von Neumann memiliki banyak kegemaran, tetapi lari jarak jauh (atau bahkan lari jarak pendek) tidak termasuk di antaranya.
“Kebiasaan dan busananya cenderung serampangan,” ibu Turing pernah berkata demikian mengenai sang anak. Sebaliknya, von Neumann hampir selalu mengenakan setelan rompi-jas-celana panjang lengkap, bahkan ketika naik keledai di Grand Canyon. Saking necisnya busana von Neumann semasa mahasiswa, matematikawan David Hilbert konon pernah bertanya, “Siapa penjahitnya?”45
Von Neumann gemar menceritakan lelucon dan mendeklamasikan pantun saru dalam berbagai bahasa di pesta-pestanya. Saking lahap makannya, sang istri pernah mengatakan bahwa von Neumann bisa menghitung apa saja, kecuali kalori. Dia juga suka mengebut, tetapi tidak selalu berhasil menghindari tabrakan, dan menggandrungi Cadillac baru yang kinclong. “Dia membeli mobil baru setidaknya sekali setahun, tidak peduli apakah mobil sebelumnya sudah ringsek karena tabrakan atau belum,” tulis sejarawan sains, George Dyson.46
Selagi berada di Institute of Advance Study akhir 1930-an, von Neumann tertarik untuk membikin pemodelan gelombang kejut. Ketertarikan ini membuatnya dilibatkan, pada 1943, dalam Manhattan Project. Alhasil, dia mesti sering mengunjungi fasilitas rahasia tempat dibuatnya senjata atom di Los Alamos, New Mexico. Karena jumlah Uranium-235 tidak cukup untuk membuat lebih dari satu bom, para ilmuwan di Los Alamos juga berusaha merancang alat yang menggunakan Plutonium-239. Fokus von Neumann merancang cara untuk mengompresi inti plutonium dalam bom agar mencapai massa kritis.*3
Untuk menelaah konsep implosi, perlu dipecahkan sejumlah persamaan dengan memperhitungkan laju aliran kompresi udara atau material lain sesudah eksplosi. Itulah sebabnya, von Neumann lantas menyingsingkan lengan baju untuk memahami potensi komputer yang kerjanya supercepat.
Pada musim panas 1944 misi von Neumann membawanya ke Bell Labs untuk mengkaji Kalkulator Bilangan Kompleks ciptaan George Stibitz yang sudah dimutakhirkan. Versi teranyar ini mengandung satu inovasi yang membuat von Neumann amat terkesan: kartu berlubang pemberi perintah bukan saja memuat instruksi tugas, tetapi juga data. Von Neumann sempat pula melewatkan waktu di Harvard untuk mencari tahu apakah Mark I kreasi Howard Aiken bisa membantu dalam perhitungan bom.
Sepanjang musim panas dan gugur tahun itu dia bolak-balik antara Harvard, Princeton, Bell Labs, dan Aberdeen, bertindak bak tawon pembawa ide, menyerbuki dan menyerbuksilangkan berbagai tim dengan gagasan yang menempel di benaknya sementara dia melesat ke sana kemari. Sama seperti John Mauchly, yang bepergian ke mana-mana sambil memunguti ide-ide untuk merakit komputer elektronik pertama yang fungsional, von Neumann keluyuran sembari mengumpulkan aneka elemen dan konsep yang nantinya menjadi bagian arsitektur komputer berprogram tersimpan.
Di Harvard Grace Hopper dan mitra pemrogramannya, Richard Bloch, menyiapkan ruang rapat untuk tempat kerja von Neumann di samping tempat penyimpanan Mark I. Von Neumann dan Bloch kerap menulis persamaan di papan tulis dan memasukkannya ke mesin, lalu Hopper akan membacakan hasil interim yang keluar. Ketika mesin “mengolah angka”, menurut istilah Hopper, von Neumann sering kali keluar dari ruang rapat dan memprediksi hasilnya.
“Saya takkan melupakan perjalanan ke luar ruangan, lalu masuk lagi untuk menuliskan semua di papan tulis, dan prediksi von Neumann hampir selalu benar—99%. Fantastis sekali,” puji Hopper. “Dia sepertinya tahu—atau merasakan—proses komputasi sudah berjalan sampai mana.”47
Kerelaan von Neumann dalam berkolaborasi membuat tim Harvard terkesan. Von Neumann menyerap ide-ide mereka, mengaku sebagai penggagas sebagiannya, tetapi juga menegaskan konsep mana pun tidak boleh menjadi monopoli satu orang. Ketika tiba waktunya untuk menulis laporan pekerjaan mereka, von Neumann bersikeras agar nama Bloch dibubuhkan paling awal. “Saya tidak merasa layak, tetapi begitulah akhirnya dan saya menghargai hal itu,” kata Bloch.48
Aiken juga memiliki kecenderungan untuk berbagi ide. “Jangan khawatir kalau-kalau orang lain mencuri idemu,” dia pernah mengatakan demikian kepada seorang mahasiswa. “Jika idemu orisinal, kita justru harus menyuapkannya kepada orang lain.” Sekalipun tercengang, Aiken, bahkan merasa agak jengah akan sikap von Neumann yang kelewat murah hati (atau seenaknya) dalam menunjuk siapa yang paling pantas mendapat penghargaan atas suatu ide. “Dia membicarakan aneka konsep tanpa mengkhawatirkan asal usulnya,” kata Aiken.49
Kendala yang dihadapi oleh von Neumann di Harvard ialah lambannya Mark I. Mesin dengan relay elektromekanis itu niscaya butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan perhitungan bom atom. Walaupun masukan berupa kartu memang bermanfaat untuk memprogram ulang komputer, kartu tersebut tetap perlu diganti secara manual tiap kali subroutine perlu dimasukkan. Yakinlah von Neumann bahwa solusi satu-satunya ialah membuat komputer yang bekerja dengan kecepatan elektronik dan dapat menyimpan serta memodifikasi program di dalam memori internal.
Maka, tidaklah mengherankan jika von Neumann lantas ambil bagian dalam kemajuan besar berikutnya: pengembangan komputer yang memiliki simpanan memori. Peran sertanya bermula dari perjumpaan kebetulan pada akhir Agustus ketika dia sedang menunggu kereta di peron stasiun Lapangan Uji Coba Aberdeen.
VON NEUMANN DI UNIVERSITAS PENNSYLVANIA
Kapten Herman Goldstine, perantara Angkatan Darat yang ikut menggarap ENIAC bersama Mauchly dan Eckert, kebetulan seperon dengan von Neumann di Aberdeen saat menunggu kereta ke utara. Dia tidak pernah bertemu dengan von Neumann, tetapi langsung mengenali pria itu. Goldstine cenderung gampang terpesona akan orang-orang berotak brilian sehingga antusias sekali saat melihat sang selebritas matematika.
“Saya memberanikan diri untuk mendekati tokoh yang tenarnya sedunia itu, memperkenalkan diri, dan mulai berbicara,” kenang Goldstine. “Untung bagi saya, von Neumann orang yang ramah, bersahabat, dan gemar membuat orang lain merasa santai.” Obrolan tersebut bertambah seru ketika Von Neumann mengetahui apa yang Goldstine kerjakan.
“Ketika dia sadar bahwa saya berkepentingan untuk mengembangkan komputer elektronik yang mampu mengerjakan 333 perkalian per detik, atmosfer percakapan kami sontak berubah dari santai dan penuh kelakar menjadi seserius ujian sidang lisan untuk kandidat Doktor Matematika.”50
Atas undangan Goldstine, von Neumann berkunjung ke Universitas Pennsylvania beberapa hari berselang untuk melihat ENIAC yang sedang dibuat. Presper Eckert penasaran akan sang matematikawan masyhur dan menentukan sendiri jika pertanyaan pertama von Neumann mengenai struktur logika mesin, maka pria tersebut “betul-betul genius”. Ketika memang itu pertanyaan pertama yang diajukannya, von Neumann sontak menuai hormat dari Eckert.51
Dalam kurang dari sejam ENIAC bisa memecahkan persamaan diferensial parsial yang butuh waktu hampir delapan puluh jam untuk diselesaikan Mark I buatan Harvard. Itu saja sudah membuat von Neumann terkesan. Namun, memprogram ulang ENIAC untuk mengerjakan tugas lain bisa memakan waktu berjam-jam dan tersadarlah von Neumann bahwa keterbatasan itu sangat menyulitkan apabila mesin perlu memecahkan bermacam persoalan lain.
Sepanjang 1944 Mauchly dan Eckert sudah memutar otak untuk mencari cara menyimpan program di dalam mesin. Kedatangan von Neumann, yang membawa ide segar dari Harvard, Bell Labs, dan sebagainya, mengantarkan wacana mengenai komputer berprogram tersimpan ke level lebih tinggi.
Von Neumann, yang lantas menjadi konsultan tim ENIAC, mengajukan ide agar program komputer mesti disimpan di memori yang sama dengan memori penyimpanan datanya. Jadi, program yang sedang berjalan bisa dengan mudah dimodifikasi. Pekerjaan von Neumann dimulai pekan pertama September 1944, ketika Mauchly dan Eckert menjelaskan ENIAC secara detail dan berbagi pemikiran mengenai pembuatan—untuk mesin versi berikut—“satu alat penyimpan dengan lokasi-lokasi terlacak” yang berfungsi sebagai memori untuk data sekaligus instruksi pemrograman.
Sebagaimana dikemukakan oleh Goldstine dalam surat untuk petinggi Angkatan Darat pekan itu, “Kami mengusulkan penggunaan alat pemrograman terpusat yang sekaligus menyimpan kode program, setipe dengan alat penyimpanan sebagaimana diusulkan di atas.”52
Serangkaian pertemuan von Neumann dengan tim ENIAC, khususnya empat rapat resmi dengan mereka pada musim semi 1945, menjadi agenda yang demikian penting sampai-sampai notulanya dicatat dengan judul “Pertemuan dengan von Neumann”. Sambil mondar-mandir di depan papan tulis dan memimpin diskusi dengan sikap kritis yang menusuk bak Sokrates, von Neumann menyerap ide, memolesnya, dan kemudian menulis semua di papan tulis.
“Dia berdiri di depan ruangan seperti dosen sambil menyimak pertanyaan-pertanyaan kami,” kenang Jean Jennings. “Kami menyampaikan persoalan tertentu yang kami hadapi, selalu sangat berhati-hati supaya hanya mengutarakan persoalan fundamental dan bukan problem teknis belaka.”53
Von Neumann berpembawaan terbuka, tetapi daya inteleknya menggentarkan semua orang. Ketika dia melontarkan pernyataan, jarang ada yang menyanggah. Namun, Jennings terkadang melakukan itu. Suatu hari, ketika dia menyanggah salah satu pernyataan von Neumann, para pria menatapnya tak percaya. Namun, von Neumann justru terdiam, menelengkan kepala, dan kemudian menerima sanggahan Jennings. Von Neumann adalah pendengar yang baik dan juga telah menguasai keahlian merendah.54
“Dia pria yang teramat brilian dan tahu dirinya brilian, sekaligus sangat rendah hati dan malu-malu dalam mengemukakan idenya kepada orang lain,” kata Jennings. “Dia tidak bisa diam, kerap mondar-mandir di dalam ruangan. Tetapi, ketika mengemukakan ide, dia terkesan seperti minta maaf karena tidak setuju dengan kita atau karena menggagas ide yang lebih bagus.”
Von Neumann khususnya piawai merumuskan elemen-elemen fundamental pemrograman komputer, bidang yang belum banyak berkembang dalam kurun seabad sejak Ada Lovelace kali pertama menuliskan perintah setahap demi setahap supaya Mesin Analitis menghasilkan deret Bernoulli. Von Neumann menyadari, untuk menciptakan satu set instruksi yang rapi, perlu logika yang runtun sekaligus ungkapan yang presisi.
“Dia menguraikan dengan jelas sekali apa sebabnya kami membutuhkan instruksi tertentu atau apa sebabnya satu instruksi tidak perlu,” Jennings mengisahkan. “Itulah kali pertama saya menyadari pentingnya instruksi berupa kode, logika di belakangnya, dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh seperangkat instruksi.”
Kemampuan menjelaskan merupakan manifestasi salah satu bakat von Neumann, yaitu menangkap esensi ide baru. “Kehebatan von Neumann, yang saya perhatikan dimiliki pula oleh orang-orang genius lain, ialah kemampuannya menyoroti, dalam persoalan partikular, satu hal krusial yang terpenting.”55
Von Neumann menyadari bahwa yang mereka lakukan lebih dari sekadar memperbaiki ENIAC agar dapat diprogram ulang dengan lebih cepat. Pekerjaan mereka justru lebih signifikan, yaitu mewujudkan visi Ada dengan menciptakan mesin yang bisa mengerjakan tugas logika apa pun yang diekspresikan lewat simbol-simbol.
“Komputer berprogram tersimpan, yang digagas oleh Alan Turing dan diwujudkan oleh John von Neumann, melibas perbedaan antara bilangan yang melambangkan sesuatu dan bilangan yang mengerjakan sesuatu,” tulis George Dyson. “Dunia kita pun ikut berubah karenanya.”56
Selain itu, dibandingkan rekan-rekannya, von Neumann lebih sigap memahami implikasi dari penyimpanan data dan instruksi pemrograman di memori yang sama. Memori tersebut bisa dihapus alias—menurut istilah yang sekarang kita kenal—read-write memory. Artinya, instruksi program yang tersimpan bisa diubah bukan hanya di akhir proses, melainkan kapan saja ketika program sedang berjalan. Komputer bisa memodifikasi program sendiri berdasarkan hasil yang diperoleh. Untuk memfasilitasi kapabilitas ini, von Neumann menggagas bahasa pemrograman yang menjembatani alih instruksi selagi program sedang berjalan.57
Berdasarkan kajian bersama dengan von Neumann, tim Universitas Pennsylvania kemudian mengajukan pembuatan ENIAC versi baru yang lebih canggih kepada Angkatan Darat. Mesin tersebut akan berkarakter biner, bukan desimal, menggunakan raksa delay line untuk memori, dan memuat banyak—sekalipun tidak semua—komponen “arsitektur von Neumann”.
Dalam proposal awal untuk Angkatan Darat, mesin anyar itu disebut Kalkulator Variabel Diskrit Elektronik Otomatis (Electronic Discrete Variable Automatic Calculator). Kendati demikian, tim lantas lebih sering menyebut mesin tersebut komputer karena kemampuannya lebih dari sekadar mengerjakan kalkulasi. Apalah arti sebuah nama. Akhirnya, mesin itu hanya disebut EDVAC.
Pada tahun-tahun mendatang, dalam berbagai konferensi dan sidang paten, dalam buku dan makalah sejarah yang memuat interpretasi berseberangan, akan muncul perdebatan mengenai siapa yang paling pantas diberi penghargaan atas ide-ide yang dikembangkan pada 1944 dan awal 1945, yang kemudian diejawantahkan menjadi komputer berprogram tersimpan. Paparan di atas, contohnya, memberikan penghargaan utama kepada Eckert dan Mauchly sebagai pencetus konsep program tersimpan dan kepada von Neumann atas peran membidani kelahiran bahasa pemrograman untuk memfasilitasi komputer dalam memodifikasi program tersimpan selagi program tersebut berjalan.
Akan tetapi, yang lebih penting daripada membagi-bagikan penghargaan kepada pencetus ide ialah mengapresiasi betapa inovasi di Universitas Pennsylvania merupakan satu lagi contoh kreativitas yang lahir berkat kolaborasi. Von Neumann, Eckert, Mauchly, Goldstine, Jennings, dan lain-lain bertukar ide secara kolektif serta menuai banyak masukan dari para insinyur, pakar elektronika, ilmuwan sains material, dan programmer.
Kebanyakan dari kita barangkali pernah turut serta dalam sesi brainstorming berkelompok yang menghasilkan ide-ide kreatif. Bahkan, setelah baru beberapa hari berselang, para peserta kerap berbeda pendapat mengenai siapa yang kali pertama mengusulkan ide ini atau itu. Demikianlah, dalam kesempatan semacam itu, ide lazimnya bentukan tim, diasah dan disempurnakan oleh interaksi, bukan malah dilontarkan dalam bentuk orisinal oleh satu orang saja.
Ide dimatangkan lewat persinggungan antarindividu, bukan sambaran ilham pada tengah hari bolong. Proses seperti itulah yang berlangsung di Bell Labs, Los Alamos, Bletchley Park, dan Universitas Pennsylvania. Salah satu kekuatan terbesar von Neumann ialah bakatnya—mengajukan pertanyaan, mendengarkan, mengoperkan, dan mengedarkan usulan tentatif, mengartikulasikan, serta menghimpun—dalam menjembatani proses kreatif yang kolaboratif.
Kecenderungan von Neumann untuk mengumpulkan dan mengawinkan ide, serta ketidakpeduliannya akan asal usul ide memang bermanfaat dalam menebarkan dan memupuk benih-benih konsep yang diejawantahkan menjadi EDVAC. Namun, kecenderungan itu terkadang menjengkelkan orang-orang yang lebih peduli pada apresiasi intelektual (atau hak kekayaan intelektual). Von Neumann pernah menyatakan tidak mungkin mengidentifikasi asal usul ide yang terlontar dalam diskusi kelompok. Saat mendengar itu, Eckert konon berkomentar, “Masa?”58
Keuntungan dan kerugian pendekatan von Neumann menjadi jelas pada Juni 1945. Setelah sepuluh bulan memantau pekerjaan Universitas Pennsylvania, von Neumann mengajukan diri untuk merangkum diskusi mereka dalam makalah. Itulah yang kemudian dia lakukan dalam perjalanan panjang berkereta api ke Los Alamos.
Dalam laporan yang ditulis tangan dan dikirimkan lewat pos kepada Goldstine di Universitas Pennsylvania, von Neumann menjabarkan, dalam detail matematika, struktur dan kontrol logika komputer berprogram tersimpan dan menjelaskan apa sebabnya “menarik untuk memperlakukan keseluruhan memori sebagai satu organ”.
Ketika Eckert menanyakan mengapa justru von Neumann yang membuat makalah berdasarkan ide-ide yang dikembangkan oleh banyak orang, Goldstine menenangkannya, “Dia semata-mata berusaha memperjelas rumusan supaya lebih mudah dipahami. Caranya dengan mengirimi saya surat supaya saya bisa mengoreksinya apabila pemahamannya belum tepat.”59

 

John von Neumann (1903–1957) pada 1954.

Presper Eckert (tengah) dan Walter Cronkite dari CBS (kanan) sedang melihat prediksi pemilu UNIVAC pada 1952.

Herman Goldstine (1913–2004) kira-kira pada 1944.

Von Neumann mengosongkan makalahnya di sana sini untuk membubuhkan acuan terhadap hasil karya orang lain dan teksnya juga tidak menyebut akronim EDVAC barang satu kali pun. Namun, begitu makalah tersebut rampung dalam bentuk ketikan (sepanjang 101 halaman), Goldstine mencantumkan nama sang idola sebagai penulis satu-satunya. Judul makalah ketikan yang Goldstine siapkan adalah “Draf Pertama Laporan EDVAC, karya John von Neumann” (“First Draft of a Report on the EDVAC, by John von Neumann”). Goldstine menggunakan mesin stensil untuk membuat 24 kopi, yang dia distribusikan pada penghujung Juni 1945.60
“Draf Laporan” merupakan dokumen yang amat berguna dan menjadi panduan untuk pengembangan komputer selama paling tidak sedasawarsa berikutnya. Keputusan von Neumann menulis dokumen tersebut dan memperkenankan Goldstine mendistribusikannya mencerminkan keterbukaan ilmuwan, khususnya matematikawan, yang berorientasi akademis, yang cenderung lebih suka merilis dan mengedarkan gagasan daripada berupaya memperoleh hak kekayaan intelektual.
“Saya memang ingin agar perkembangan di bidang ini dilepas ke domain publik (daripada dipatenkan),” von Neumann menjelaskan kepada seorang kolega. Makalah itu ditulis demi mencapai dua tujuan, kata von Neumann belakangan, yaitu “turut mengklarifikasi dan mengoordinasi pemikiran kelompok yang sedang menggarap EDVAC” dan “mendorong perkembangan di bidang seni perakitan komputer berkecepatan tinggi”. Von Neumann mengatakan tidak bermaksud mengklaim konsep-konsep yang tertuang dalam makalah sebagai miliknya. Lagi pula, dia memang tidak pernah mengajukan paten atas satu pun ide yang dikemukakan dalam “Draf Laporan”.61
Eckert dan Mauchly melihat persoalan dari sudut pandang berbeda. “Kami akhirnya berpendapat bahwa von Neumann semata-mata penjaja ide orang lain, sedangkan Goldstine berperan sebagai wiraniaganya yang utama,” Eckert kelak berkata. “Von Neumann mencuri ide dan berusaha mengesankan bahwa pekerjaan di Moore School (of Electrical Engineering di Universitas Pennsylvania) adalah buah karyanya.”62 Jean Jennings sepakat, kelak menyesalkan peran Goldstine dalam, “Menggadang-gadang klaim keliru von Neumann. Pada dasarnya, (Goldstine) telah membantu pria itu membajak karya Eckert, Mauchly, dan lain-lain dari kelompok Moore School.”63
Mauchly dan Eckert, yang berusaha mematenkan banyak konsep di balik ENIAC dan EDVAC, terutama sangat kesal karena pendistribusian laporan von Neumann pada praktiknya sama dengan melepas konsep-konsep tersebut ke domain publik. Ketika berusaha mematenkan arsitektur komputer program tersimpan, mereka geram karena (sebagaimana dinyatakan oleh para pengacara Angkatan Darat AS dan diputuskan pengadilan kelak), laporan von Neumann dirilis sebelum berbagai ide Mauchly-Eckert dipublikasikan. Alhasil, konsep-konsep tersebut secara legal tidak bisa dipatenkan.
Pertikaian paten ini ibarat pendahuluan dari isu besar yang sering diperdebatkan pada era digital: haruskah kekayaan intelektual dibagikan secara cuma-cuma dan dilepas ke domain publik sebagai milik bersama? Pendekatan tersebut, yang lazimnya diikuti oleh para developer Internet dan web, bisa menyuburkan inovasi berkat kecepatan penyebarluasan dan penyempurnaan ide.
Atau, haruskah hak kekayaan intelektual dilindungi dan para penemu diperkenankan menuai laba dari ide dan inovasi mereka? Pendekatan ini, yang lazimnya diambil oleh industri perangkat keras komputer, elektronika, dan semikonduktor, menjanjikan insentif ekonomi dan investasi kapital yang menyuburkan iklim inovasi dan menghadiahi keberanian mengambil risiko.
Dalam kurun waktu tujuh puluh tahun sejak von Neumann melepas “Draf Laporan” EDVAC ke domain publik, tren di bidang komputer—terlepas dari segelintir perkecualian—cenderung ke arah hak milik. Pada 2011 Apple dan Google menggelontorkan lebih banyak uang untuk mendanai gugatan hukum dan pembayaran paten daripada penelitian dan pengembangan produk baru.64

ENIAC DIPERKENALKAN KEPADA PUBLIK
Bahkan, saat tengah mendesain EDVAC, tim Universitas Pennsylvania masih kerepotan mengakali mesin pendahulunya, ENIAC, agar bisa berfungsi sebagaimana mestinya. ENIAC baru bekerja secara layak pada musim gugur 1945.
Saat itu perang sudah usai. Sekalipun tidak ada lagi kebutuhan untuk memperhitungkan lintasan tembak, tugas pertama ENIAC nyatanya tetap terkait dengan senjata. Tugas rahasia itu berasal dari Los Alamos, lab senjata atom di New Mexico, tempat teoretikus fisika kelahiran Hongaria, Edward Teller, menyusun proposal pembuatan bom hidrogen berjuluk “Super”, yang menggunakan fisi atom untuk memicu reaksi fusi. Untuk memperhitungkan kemungkinan ini, para ilmuwan perlu mengalkulasi energi yang dilepaskan reaksi per 10–7 detik.
Hakikat persoalan itu sendiri dirahasiakan, tetapi persamaan-persamaan mahapelik disampaikan ke Universitas Pennsylvania pada Oktober untuk diolah ENIAC. Untuk memasukkan data, perlu hampir sejuta kartu berlubang. Oleh karena itu, Jennings beserta beberapa rekannya dipanggil ke ruangan ENIAC agar Goldstine bisa mengarahkan proses pengerjaan secara langsung.
ENIAC memecahkan persamaan-persamaan tersebut dan, dengan demikian, menunjukkan kepada Teller bahwa desainnya bercela. Matematikawan yang mengungsi dari Polandia, Stanislaw Ulam, kemudian bekerja sama dengan Teller (dan Klaus Fuchs, yang ternyata mata-mata Rusia) untuk memodifikasi konsep bom hidrogen berdasarkan hasil perhitungan ENIAC sehingga dapat memproduksi reaksi termonuklir dahsyat.65
Sampai tugas-tugas rahasia itu rampung, eksistensi ENIAC mesti disembunyikan. Mesin itu baru ditunjukkan kepada publik pada 15 Februari 1946, ketika Angkatan Darat AS dan Universitas Pennsylvania menjadwalkan presentasi akbar, yang didahului dengan sejumlah pratinjau untuk pers.66 Kapten Goldstine memutuskan, untuk acara utama, ENIAC mesti mendemonstrasikan perhitungan lintasan misil.
Dua minggu sebelum mesin itu diperkenalkan kepada publik, Goldstine mengundang Jean Jennings dan Betty Snyder ke apartemennya dan, selagi Adele menyajikan teh, menanyakan apakah mereka bisa memprogram ENIAC dalam kurun waktu tersebut. “Kami pasti bisa,” janji Jennings. Dia sangat antusias. Tugas tersebut memungkinkan mereka mengoperasikan mesin secara langsung, yang merupakan kesempatan langka.67 Mereka pun bekerja dengan menghubungkan bus memori ke unit-unit yang tepat dan menyetel ulang program.
Para pria tahu bahwa kesuksesan peragaan berada di tangan kedua perempuan tersebut. Mauchly mampir pada suatu Sabtu sambil membawakan sebotol brendi aprikot untuk menjaga semangat mereka. “Rasanya lezat,” kenang Jennings. “Sejak hari itu saya selalu menyimpan sebotol brendi aprikot di lemari.” Beberapa hari kemudian Dekan Fakultas Teknik membawakan mereka sebotol wiski yang dibungkus kantong kertas. “Kerja bagus. Pertahankan,” katanya kepada mereka. Snyder dan Jennings jarang minum-minum, tetapi maksud dari hadiah itu tersampaikan. “Kami menjadi tersadar akan betapa pentingnya demonstrasi tersebut,” kata Jennings.68
Malam sebelum ajang demonstrasi adalah Hari Valentine. Namun, sekalipun supel dan punya pergaulan luas, Snyder dan Jennings tidak merayakan hari kasih sayang itu. “Kami justru mengurung diri bersama mesin luar biasa tersebut, ENIAC, sibuk membuat koreksi dan mengecek ulang program mumpung masih sempat,” kenang Jennings. Ada satu kendala yang tidak kunjung terpecahkan: program mampu mengeluarkan data lintasan tembak proyektil dengan mulus, tetapi tidak tahu kapan harus berhenti.
Bahkan, sesudah proyektil tersebut menyentuh tanah, program terus menghitung lintasannya, “Layaknya proyektil hipotetis yang menggali tanah dengan kecepatan sama seperti kecepatan lintasannya di udara,” kata Jennings. “Jika masalah itu tidak kunjung teratasi, kami tahu demonstrasi akan gagal total, kemudian para penemu dan insinyur ENIAC niscaya mendapat malu.”69
Jennings dan Snyder bekerja sampai larut malam pada hari sebelum pratinjau pers. Mereka berusaha memperbaiki masalah itu, tetapi tetap tidak bisa. Mereka akhirnya menyerah saat tengah malam karena Snyder mesti mengejar kereta terakhir untuk pulang ke apartemennya di kawasan suburban. Setelah naik ke tempat tidur, barulah Snyder tahu jawabannya, “Saya terbangun pada tengah malam dan tersadar, apa yang salah .... Kemudian, saya naik kereta shubuh untuk mengecek salah satu kabel.”
Masalahnya ialah setelan di ujung salah satu loop yang meleset sedigit. Snyder membalikkan sakelar terkait dan masalah kontan beres. “Penalaran logis Betty selagi tidur lebih encer ketimbang penalaran logis banyak orang sewaktu terjaga,” Jennings kelak berkomentar dengan kagum. “Selagi tertidur, alam bawah sadarnya mengurai benang kusut yang tidak bisa diuraikan oleh alam sadarnya.”70
Saat ajang demonstrasi, ENIAC bisa mengeluarkan—dalam lima belas detik—satu set kalkulasi lintasan misil yang hanya bisa diselesaikan komputer manusia, bahkan Differential Analyzer, dalam beberapa minggu. Peragaan tersebut amat dramatis. Mauchly dan Eckert, laiknya inovator ulung, tahu cara memamerkan ciptaan mereka.
Ujung sejumlah tabung vakum di akumulator ENIAC, yang ditata dalam 10 baris dan 10 lajur, menyembul lewat lubang-lubang di panel depan mesin. Namun, cahaya samar dari lampu neon, yang berfungsi sebagai lampu indikator, nyaris tidak kelihatan. Itu sebabnya, Eckert membelah dua bola-bola pingpong, menulisinya dengan angka-angka, dan menutupi lampu-lampu tersebut dengan paruhan bola.
Selanjutnya, ketika komputer mulai memproses data, lampu ruangan dimatikan supaya hadirin terkagum-kagum akan pendar bola pingpong, tontonan yang kelak lazim dijumpai di film dan acara TV. “Saat lintasan tengah dihitung, angka-angka dihimpun di akumulator dan dipindahkan dari sini ke sana, kemudian cahaya lampu mulai berkelap-kelip seperti baliho neon di Las Vegas,” kata Jennings. “Kami berhasil menunaikan tugas. Kami berhasil memprogram ENIAC.”71 Pernyataan itu patut diulang kembali: mereka berhasil memprogram ENIAC.
Ajang diperkenalkannya ENIAC kepada publik dimuat di halaman muka New York Times dengan judul “Komputar Elektronik Supercepat Berpotensi Mempermudah Kalkulasi di Bidang Teknik” (“Electronic Computer Flashes Answer, May Speed”). Artikel itu dibuka dengan kalimat, “Sebuah rahasia negara diumumkan malam ini oleh Departemen Perang. Untuk mengerjakan persamaan matematika yang semula terlalu sulit dan merepotkan, dibuatlah mesin hebat yang bisa mengeluarkan solusi dengan kecepatan elektronis.”72 Laporan ini berlanjut di bagian dalam New York Times sepanjang sehalaman, lengkap dengan foto-foto Mauchly, Eckert, serta ENIAC yang berukuran seruangan.
Mauchly menyatakan mesin itu bisa memprediksi cuaca secara lebih tepat (hobi awal Mauchly), membantu perancangan pesawat yang lebih bagus, dan mengalkulasi lintasan “proyektil yang melesat dengan kecepatan supersonik”. Artikel Associated Press malah melaporkan visi yang lebih mencengangkan, menyatakan tentang, “Robot yang membukakan jalan matematika agar manusia dapat hidup lebih baik.”73
Sebagai contoh “hidup lebih baik”, Mauchly menegaskan suatu hari nanti komputer dapat berperan dalam menekan harga seloyang roti. Bagaimana tepatnya, Mauchly tidak menjelaskan, tetapi prediksi tersebut dan berjuta-juta dampak lain nyatanya memang terwujud kelak.
Jennings kelak mengeluh, seolah menyuarakan sanggahan Ada Lovelace, bahwa banyak surat kabar yang melebih-lebihkan kapasitas ENIAC, semisal dengan menyebut mesin tersebut “otak raksasa” dan menyiratkan ENIAC bisa berpikir. “ENIAC sama sekali tidak mirip dengan otak,” Jennings bersikeras. “ENIAC tidak bisa bernalar, sama seperti komputer yang tetap tidak bisa bernalar sampai sekarang, tetapi ENIAC bisa menyuguhkan data yang membantu kita dalam melakukan penalaran.”
Jennings menyimpan satu lagi keluhan yang lebih personal, “Betty dan saya diabaikan dan dilupakan selepas peragaan itu. Kami merasa seakan-akan telah ambil bagian dalam film yang menggairahkan, tapi tiba-tiba berujung sedih. Kami membanting tulang selama dua minggu demi menelurkan hasil spektakuler, tetapi ujung-ujungnya dicoret dari naskah.” Malam itu diselenggarakan pesta bertabur lilin di Houston Hall, salah satu gedung ternama di Universitas Pennsylvania. Gedung tersebut dipenuhi oleh para begawan sains, petinggi militer, dan sebagian besar pria yang turut serta dalam penggarapan ENIAC. Namun, Jean Jennings dan Betty Snyder tidak hadir, begitu pula perempuan programmer lainnya.74
“Betty dan saya tidak diundang,” kata Jennings, “tentu saja kami kecewa.”75 Sementara itu, para pria dan tokoh terkemuka merayakan keberhasilan tersebut, Jennings dan Snyder pulang ke rumah sendirian pada malam Februari yang dingin menusuk.

KOMPUTER PERTAMA BERPROGRAM TERSIMPAN
Hasrat Mauchly dan Eckert untuk mematenkan (dan meraup laba dari) temuan mereka ternyata memunculkan kekisruhan. Saat itu Universitas Pennsylvania belum memiliki kebijakan jelas mengenai pembagian porsi hak kekayaan intelektual. Mauchly dan Eckert diperbolehkan mengajukan paten ENIAC, tetapi perguruan tinggi itu meminta lisensi bebas royalti serta hak untuk menjual lisensi atas seluruh aspek desain mesin tersebut. Terkait hak atas inovasi EDVAC, kedua belah pihak malah tidak bisa mencapai kata sepakat. Tarik ulur yang ruwet ini berujung dengan keluarnya Mauchly dan Eckert dari Universitas Pennsylvania pada akhir Maret 1946.76
Mereka kemudian mendirikan Eckert-Mauchly Computer Corporation, yang berbasis di Philadelphia, dan memelopori pergeseran riset komputer, dari yang semula terbatas di lingkup akademik menjadi berorientasi komersial. (Pada 1950 perusahaan mereka, beserta semua paten yang diperoleh, dibeli oleh Remington Rand, yang kemudian berubah menjadi Sperry Rand dan belakangan Unisys.) Di antara sekian banyak mesin yang mereka buat, terdapat UNIVAC, yang dibeli oleh Biro Sensus AS dan klien-klien lain, termasuk General Electric.
Dengan lampu yang kelap-kelip serta aura glamor, UNIVAC menjadi terkenal ketika stasiun televisi CBS menampilkan mesin itu pada hari Pemilu Presiden AS 1952. Walter Cronkite, penyiar muda yang memandu liputan, skeptis bahwa mesin mahabesar itu lebih andal ketimbang para pakar. Namun, dia sepakat mesin tersebut mungkin saja menarik bagi pemirsa. Mauchly dan Eckert merekrut seorang ahli statistik dari Universitas Pennsylvania dan, bersama-sama, mereka menggarap program untuk membandingkan hasil pemilu yang sudah masuk dengan sampel rekapitulasi akhir pemilu terdahulu dari beberapa wilayah.
Pukul 20.30 di wilayah Pesisir Timur AS, jauh sebelum pemungutan suara nasional ditutup, UNIVAC memprediksi dengan tingkat kepercayaan 99,99% bahwa Dwight Eisenhower akan menang telak dari Adlai Stevenson. CBS mula-mula menahan prediksi UNIVAC; Cronkite memberi tahu hadirin bahwa komputer belum memperoleh kesimpulan.
Akan tetapi, larut malam itu, setelah penghitungan suara mengonfirmasi bahwa Eisenhower unggul jauh, Cronkite mempersilakan koresponden CBS, Charles Collingwood, memberi tahu pemirsa bahwa UNIVAC telah membuat prediksi yang sama petang itu, tetapi CBS tidak menyiarkannya. UNIVAC menjadi selebritas dan rutin ditampilkan pada pemilu-pemilu mendatang.77
Eckert dan Mauchly tidak melupakan peran penting para perempuan programmer yang bekerja sama dengan mereka di Universitas Pennsylvania, sekalipun wanita-wanita tersebut tidak diundang dalam pesta makan malam untuk merayakan kesuksesan ENIAC. Mereka mempekerjakan Betty Snyder yang—kini sesudah menikah lebih dikenal dengan nama Betty Holberton—kemudian menjadi programmer pelopor untuk mengembangkan bahasa COBOL dan Fortran, serta Jean Jennings, yang menikahi seorang insinyur dan menjadi Jean Jennings Bartik.
Mauchly juga ingin merekrut Kay McNulty. Namun, setelah istrinya meninggal karena tenggelam, Mauchly justru mengajak McNulty menikah. Keduanya memiliki lima anak dan Kay McNulty Mauchly terus membantu pengembangan desain perangkat lunak UNIVAC.
Mauchly juga mempekerjakan ratu pemrograman, Grace Hopper. “Mauchly mempersilakan kita mencoba apa saja,” jawab Hopper ketika ditanya apa sebabnya dia bersedia bergabung ke Eckert-Mauchly Computer Corporation. “Sikap Mauchly mendorong terciptanya inovasi.”78 Pada 1952 Hopper menciptakan compiler praktis pertama di dunia, yaitu sistem A-0, yang menerjemahkan kode matematika simbolis menjadi bahasa mesin sehingga memudahkan orang awam menulis program.
Layaknya pelaut yang egaliter, Hopper mendorong anak buahnya agar tidak sungkan berpartisipasi dan menyumbangkan ide. Dia juga berperan dalam mengembangkan metode inovasi open source, semisal dengan mengirimkan compiler versi awal kepada para teman dan kenalan di dunia pemrograman serta meminta mereka memperbaiki versinya. Ketika menjadi kepala teknis yang mengoordinasi pembuatan COBOL—bahasa pemrograman komputer terstandardisasi lintas-platform pertama untuk kegunaan bisnis, pendekatan terbuka semacam itu tetap dia pertahankan.79
Keyakinan Hopper bahwa pemrograman mesti portabel mencerminkan insting kemitraannya; dia merasa mesin sekalipun harus bisa berinteraksi dan bekerja sama secara padu. Hopper sudah menyadari—jauh sebelum era komputer seperti dewasa ini—bahwa perangkat keras akan menjadi komoditas, sedangkan nilai sejati komputer akan terletak pada program-nya.12*4 Kesadaran akan hal itu tidak dimiliki oleh banyak orang sampai Bill Gates muncul di ranah komputer kelak.
Von Neumann mencemooh sikap Eckert-Mauchly yang mencari laba. “Eckert dan Mauchly adalah kelompok komersial dengan kebijakan paten yang komersial pula,” keluhnya kepada seorang teman. “Kita tidak bisa bekerja secara langsung ataupun tak langsung dengan mereka seterbuka ketika kita bekerja sama dengan kelompok akademik.”80
Walau begitu, von Neumann sendiri ternyata tidak pantang menguangkan ide-idenya. Pada 1945 dia merundingkan kontrak sebagai konsultan pribadi untuk IBM, memberi perusahaan itu hak atas temuan apa pun yang dia buat. Kontrak tersebut sejatinya sah-sah saja, tetapi Eckert dan Mauchly tetap berang. “Dia menjual semua ide kami kepada IBM lewat pintu belakang,” keluh Eckert. “Dia memang bermuka dua. Kata dan perbuatannya tidak sejalan. Dia tidak pantas dipercaya.”81
Setelah Mauchly dan Eckert angkat kaki, Universitas Pennsylvania seketika kehilangan peran sebagai sentra inovasi. Von Neumann pergi juga, kembali ke Institute for Advanced Study di Princeton. Dia mengajak Herman dan Adele Goldstine, beserta sejumlah insinyur yang berperan kunci seperti Arthur Burks. “Mungkin tidak hanya manusia yang bisa kelelahan, tetapi juga institusi,” komentar Herman Goldstine kelak kala merenungkan merosotnya peran Universitas Pennsylvania sebagai episentrum perkembangan komputer.82 Komputer dahulu dianggap alat belaka, bukan subjek kajian ilmiah. Hanya segelintir akademisi yang mafhum bahwa sains komputer akan tumbuh menjadi disiplin ilmu yang malah lebih penting daripada teknik elektro.
Bahkan, selepas eksodus tersebut, Universitas Pennsylvania masih bisa memainkan satu lagi peran penting dalam pengembangan komputer. Pada Juli 1946 sebagian besar pakar di bidang itu—termasuk von Neumann, Goldstine, Eckert, Mauchly, dan lain-lain yang sedang berselisih—kembali ke perguruan tinggi tersebut untuk menghadiri serangkaian pidato dan seminar, bertajuk Moore School Lectures, dalam rangka menyebarluaskan pengetahuan mengenai ilmu komputer.
Acara sepanjang delapan minggu ini menarik kedatangan Howard Aiken, George Stibitz, Douglas Hartree dari Universitas Manchester, dan Maurice Wilkes dari Cambridge. Fokus utama Moore School Lectures adalah pentingnya penggunaan arsitektur program tersimpan untuk mewujudkan visi Turing mengenai mesin universal. Hasilnya, ide-ide desain yang dimatangkan secara kolaboratif oleh Mauchly, Eckert, von Neumann, dan lain-lain di Universitas Pennsylvania menjadi fondasi sebagian besar komputer pada masa mendatang.
Gelar sebagai komputer pertama yang memiliki program tersimpan layak dianugerahkan pada dua mesin yang dirampungkan secara hampir berbarengan pada musim panas 1948. Salah satunya ialah pengembangan dari ENIAC. Von Neumann dan Goldstine, beserta dua insinyur bernama Nick Metropolis dan Richard Clippinger, menemukan cara untuk menggunakan tiga tabel fungsi ENIAC guna menyimpan seperangkat instruksi sederhana.83
Tabel-tabel fungsi itu semula digunakan untuk menyimpan data mengenai hambatan udara pada proyektil, tetapi memorinya bisa digunakan untuk tujuan lain. Sebab, mesin itu tidak lagi dimanfaatkan untuk mengalkulasi tabel lintasan tembak. Kerja pemrograman yang sebenarnya sekali lagi ditangani terutama oleh perempuan, yaitu Adele Goldstine, Klára von Neumann, dan Jean Jennings Bartik.
“Saya bekerja sama lagi dengan Adele ketika kami memutakhirkan, beserta yang lain, kode awal ENIAC. Kami mengubah program sehingga memori yang semula menyimpan tabel fungsi kini digunakan untuk menyimpan instruksi-instruksi dalam bentuk kode,” kenang Bartik.84
ENIAC versi baru, yang mulai dioperasikan pada April 1948, memiliki memori tipe read-only. Artinya, sukar untuk memodifikasi program ketika sedang berjalan. Selain itu, memori berupa raksa delay line bekerja lambat dan mesti dibuat secara sangat presisi. Kedua kekurangan itu tidak terdapat pada mesin kecil yang dibuat dari nol—untuk difungsikan sebagai komputer program tersimpan juga—di Universitas Manchester, Inggris. Mesin tersebut, yang dijuluki “Manchester Baby”, sudah berfungsi pada Juni 1948.
Lab komputer Universitas Manchester dipimpin oleh Max Newman, mentor Turing, sedangkan penelitian dasar di bidang komputer dikerjakan oleh Frederic Calland Williams dan Thomas Kilburn. Williams menciptakan mekanisme penyimpanan menggunakan tabung katode, yang menjadikan mesin lebih cepat dan lebih sederhana daripada yang menggunakan delay line raksa. Saking andalnya mekanisme tersebut, laboratorium Universitas Manchester berhasil menelurkan Mark I, yang sudah bisa digunakan pada April 1949. Maurice Wilkes dan tim di Cambridge merampungkan EDSAC, yang juga dibuat dengan tabung katode, pada Mei tahun yang sama.85
Selagi mesin-mesin ini dikembangkan, Turing juga tengah berusaha menggarap komputer berprogram tersimpan. Selepas meninggalkan Bletchley Park, dia bergabung dengan National Physical Laboratory, lembaga prestisius di London. Di sana Turing mendesain mesin bernama Automatic Computing Engine (ACE). Namun, perkembangan ACE ternyata tersendat-sendat. Pada 1948 Turing—yang sudah bosan akan kelambanan tersebut dan frustrasi karena rekan-rekannya tidak berminat mengembangkan mesin yang menguji batasan pembelajaran mesin serta kecerdasan buatan—meninggalkan National Physical Laboratory untuk bergabung dengan Max Newman di Universitas Manchester.86
Sementara itu, von Neumann melanjutkan pengembangan komputer berprogram tersimpan sekembali ke Institute for Advanced Study di Princeton pada 1946, sebagaimana diriwayatkan oleh George Dyson dalam Turing’s Cathedral. Direktur institut tersebut, Frank Aydelotte, dan peneliti paling berpengaruh di institut itu, Oswald Veblen, bersemangat menggadang-gadang mesin yang disebut IAS Machine, menepis kritik para peneliti lain yang mengatakan bahwa membuat alat komputasi sama saja dengan mengkhianati cita-cita pendirian lembaga itu sebagai wadah pemikir teoretis.
“Dia kentara sekali membuat para kolega sesama matematikawan merasa tercengang, atau bahkan ngeri, karena secara gamblang mengutarakan minat mendalam terhadap penciptaan alat bantu matematika yang lebih canggih daripada papan tulis, kapur, pensil, atau kertas belaka,” kenang istri von Neumann, Klára. “Singkat kata, proposalnya untuk membuat alat komputasi elektronik di bawah atap institut yang sakral itu tidak disambut baik.”87
Anggota tim von Neumann berdesak-desakan di area yang dipersiapkan sebagai kantor untuk sekretaris logikawan Kurt Gödel (sebab, Gödel ternyata tidak menginginkan sekretaris). Sepanjang 1946 tim tersebut menerbitkan makalah yang memerinci desain alat mereka, yang kemudian dikirimkan ke Library of Congress dan Kantor Urusan Paten AS, bukan untuk mendaftarkan paten, melainkan menyampaikan pernyataan resmi bahwa mereka bermaksud melepas karya tersebut ke domain publik.

Mesin tersebut rampung sepenuhnya pada 1952, tetapi lambat laun ditinggalkan begitu saja setelah von Neumann pergi ke Washington untuk bergabung dengan Komisi Energi Atom (Atomic Energy Commission). “Kandasnya kelompok komputer kami merupakan bencana bukan hanya bagi Princeton, melainkan juga sains secara keseluruhan,” kata fisikawan Freeman Dyson, anggota Institute of Advanced Study (juga ayah George Dyson, sejarawan sains).
“Pada periode kritis 1950-an justru tidak ada sentra akademik tempat seluruh praktisi komputer dapat menjalin diskusi intelektual tingkat tinggi.”88 Sebaliknya, inovasi di bidang komputer mulai awal 1950-an justru diwadahi dan dipimpin oleh perusahaan-perusahaan seperti Ferranti, IBM, Remington Rand, dan Honeywell.
Pergeseran itu membawa kita kembali ke isu perlindungan paten. Jika von Neumann dan tim terus memelopori inovasi dan melepaskan temuan mereka ke domain publik, akankah pengembangan berbasis open source menghasilkan kemajuan yang lebih cepat di bidang komputer? Ataukah kompetisi pasar dan imbalan finansial bagi pencipta kekayaan intelektual lebih efektif untuk mencetuskan inovasi?
Dalam kasus Internet, web, dan sejumlah perangkat lunak, model yang terbuka lebih cocok. Namun, untuk perangkat keras, seperti komputer dan sirkuit terpadu, jaminan terhadap hak kekayaan intelektual menjadi iming-iming ampuh yang memekarkan inovasi pesat pada 1950-an.
Pendekatan tersebut lebih cocok untuk komputer karena penelitian dan pengembangan mesin semacam itu (belum lagi perakitan dan pemasarannya) membutuhkan banyak modal—dan siapa yang paling lihai dalam menghimpun modal kalau bukan organisasi besar seperti korporasi. Selain itu, sampai pertengahan 1990-an, perlindungan paten lebih mudah didapat untuk perangkat keras daripada untuk perangkat lunak.*5
Akan tetapi, perlindungan paten pun menghasilkan kemandekan pada inovasi perangkat keras. Perusahaan-perusahaan menjadi demikian kolot dan defensif sehingga gagap menghadapi perubahan dan malah ketinggalan Revolusi PC pada awal 1970-an.

BISAKAH MESIN BERPIKIR?
Selagi merenungkan pengembangan komputer berprogram tersimpan, Alan Turing mengalihkan perhatian pada pernyataan Ada Lovelace seabad sebelumnya, dalam “Catatan” final mengenai Mesin Analitis Babbage: mesin tidak bisa berpikir dalam arti yang sebenar-benarnya. Andaikan mesin bisa memodifikasi program sendiri berdasarkan informasi yang diproses, tanya Turing, bukankah artinya mesin bisa belajar juga? Mungkinkah kemampuan memodifikasi program bisa berujung pada lahirnya kecerdasan buatan?
Isu seputar kecerdasan buatan sudah menjadi spekulasi sejak zaman kuno, pun persoalan mengenai kesadaran manusia. Berkaitan dengan sebagian besar pertanyaan semacam ini, Descartes berperan penting untuk merumuskannya ke dalam sudut pandang modern. Dalam karya yang diterbitkan pada 1637, Discours de la méthode, yang memuat pernyataan terkenal “Aku berpikir maka aku ada”, Descartes menyampaikan sebagai berikut.

Andaikan terdapat mesin yang menyerupai raga kita dan mampu menirukan tindak tanduk kita, kita masih bisa menentukan apakah mereka manusia asli atau bukan dengan dua cara. Pertama, ... tak terbayangkan mesin semacam itu bisa merangkai kata-kata yang bermakna untuk menanggapi pertanyaan apa pun yang disampaikan kepadanya meski manusia terbodoh sekalipun niscaya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Kedua, kalaupun bisa mengerjakan sejumlah hal selihai kita, atau mungkin lebih mahir, mesin itu niscaya gagal mengerjakan hal-hal lain sehingga terungkap bahwa kerjanya tidak didasari oleh pemahaman.

Turing sudah lama tertarik akan wacana mengenai komputer yang bisa mereplikasi kerja otak manusia. Rasa penasaran ini semakin besar sejak dia menggarap mesin peretas bahasa bersandi. Awal 1943, saat Colossus tengah didesain di Bletchley Park, Turing berlayar menyeberangi Samudra Atlantik untuk menuju Bell Laboratories di Manhattan. Di sana dia berkonsultasi dengan kelompok yang tengah menggarap metode pemecah sandi wicara elektronik, teknologi yang mampu mengacak percakapan telepon (dan mengembalikannya seperti sediakala).
Ketika itulah Turing berjumpa Claude Shannon, mantan mahasiswa pascasarjana MIT yang menulis tesis magister berpengaruh pada 1937 mengenai aljabar Boolean—penggunaan persamaan matematika untuk mengekspresikan proposisi logika—yang bisa dikerjakan dengan sirkuit listrik. Shannon dan Turing bertemu untuk minum teh bersama dan mengobrol panjang lebar sore-sore.
Mereka sama-sama tertarik pada sains otak dan keduanya tersadar bahwa karya ilmiah yang mereka terbitkan pada 1937 memiliki persamaan fundamental: menunjukkan mesin yang beroperasi berdasarkan perintah biner sederhana bukan saja bisa memecahkan persoalan matematika, melainkan juga semua persoalan logika. Karena otak manusia bernalar dengan logika, mesin secara teoretis mempunyai kapasitas untuk mereplikasi kecerdasan manusia.
“Shannon bukan hanya ingin memasukkan data (ke mesin), melainkan juga kebudayaan!” kata Turing kepada para kolega di Bell Labs saat makan siang suatu hari. “Dia ingin memainkan musik untuk mesin!” Dalam acara makan siang lain di Bell Labs, Turing mengatakan dengan suara melengking yang bisa didengar oleh semua eksekutif di ruangan itu, “Tidak, aku tidak berminat membuat otak yang hebat. Aku hanya menginginkan otak yang biasa-biasa saja, sekelas otak Presiden American Telephone and Telegraph Company.”89
Sekembali ke Bletchley Park pada April 1943, Turing menjalin pertemanan dengan kolega bernama Donald Michie. Mereka lantas menghabiskan banyak waktu pada malam hari dengan bermain catur di pub dekat tempat kerja. Selagi mereka mendiskusikan kemungkinan membuat komputer yang bisa bermain catur, Turing bukan membayangkan mesin yang dapat mengalkulasikan semua langkah yang mungkin diambil, melainkan mesin yang bisa mempelajari catur lewat latihan berulang-ulang.
Dengan kata lain, mesin itu bisa mencoba gambit baru—jenis langkah pertama atau pembukaan dalam permainan catur—dan menyempurnakan strategi seiring tiap kemenangan atau kekalahan. Jika pendekatan ini berhasil, angan-angan Ada Lovelace mengenai mesin yang memiliki kemampuan lebih dari sekadar menghitung bukan saja akan tercapai, melainkan juga terlampaui: mesin yang bisa belajar dari pengalaman dan menyempurnakan instruksi yang dijalankannya.
“Konon, mesin hitung hanya bisa mengerjakan fungsi yang diinstruksikan,” jelas Turing dalam pidato di hadapan London Mathematical Society pada Februari 1947. “Tetapi, haruskah terus seperti itu?” Turing kemudian membahas bahwa komputer baru yang programnya tersimpan tentu bisa memodifikasi tahap-tahap instruksinya sendiri. “Ibaratnya, seorang murid yang banyak belajar dari sang guru, tetapi mendapat pelajaran lebih banyak berkat praktik yang dikerjakan sendiri. Bilamana ini terjadi, saya pribadi berpendapat mesin semacam itu telah menunjukkan kecerdasan.”90
Seusai pidatonya, hadirin terdiam sejenak, terperangah gara-gara klaim Turing. Sama dengan mereka, para koleganya di National Physical Laboratory juga kebingungan dalam menyikapi obsesi Turing untuk membuat mesin yang bisa berpikir. Direktur National Physical Laboratory, Sir Charles Darwin (cucu ilmuwan biologi evolusioner), menyurati atasannya pada 1947 bahwa Turing ingin “memperluas cakupan kerja ke arah aspek biologis dari sebuah mesin” dan menjawab pertanyaan, “Bisakah membuat mesin yang bisa belajar dari pengalaman?”91
Pemikiran Turing mengenai terciptanya mesin yang kelak bisa berpikir seperti manusia menyulut sanggahan menggebu saat itu—dan sampai sekarang. Ungkapan keberatan antara lain disampaikan dari sudut pandang keagamaan, seperti yang sudah bisa diperkirakan. Namun, ada juga yang menolak semata-mata karena alasan emosional.
“Sampai mesin bisa menulis soneta atau menggubah konserto karena pemikiran dan emosi yang dirasakannya, dan bukan karena kemampuan merangkai simbol secara kebetulan, kita bisa sepakat bahwa mesin tidak setara dengan otak,” ahli bedah otak terkenal, Sir Geoffrey Jefferson, menyatakan dalam ajang Lister Oration yang prestisius pada 1949.92
Tanggapan yang Turing sampaikan kepada wartawan harian London, Times, barangkali agak kurang ajar, tetapi subtil juga, “Perbandingan tersebut mungkin kurang adil karena soneta yang digubah satu mesin tentu lebih bisa diapresiasi mesin lain.”93
Turing menuangkan pemikiran mengenai mesin yang bisa berpikir dalam karya besarnya yang kedua, berjudul “Mesin Komputasi dan Kecerdasan” (“Computing Machinery and Intelligence”), yang diterbitkan di jurnal Mind edisi Oktober 1950.94 Dalam makalah tersebut, dia mengemukakan metode yang dikenal dengan istilah Tes Turing. Dia membuka kalimat dengan pernyataan lugas berikut, “Saya mengajak Anda untuk merenungkan apakah mesin bisa berpikir.”
Dengan kejailan bak anak sekolahan, Turing kemudian merancang permainan—yang masih dipraktikkan dan diperdebatkan sampai sekarang—untuk memberi makna empiris bagi pertanyaan, “Bisakah mesin berpikir?” Turing mengusulkan definisi kecerdasan buatan yang murni operasional: jika keluaran satu mesin tidak bisa dibedakan dari keluaran otak manusia, pernyataan bahwa “mesin tidak bisa berpikir” menjadi tidak bermakna.
Tes Turing, yang dia sebut “permainan meniru”, pada prinsipnya sederhana saja. Seorang interogator mengirimkan perintah tertulis kepada seorang manusia dan sebuah mesin di ruangan terpisah. Interogator itu harus berusaha menentukan, berdasarkan jawaban masing-masing, yang manakah yang manusia. Contoh interogasi, tulis Turing, mungkin saja berbunyi sebagai berikut.

T : Tolong buatkan aku soneta mengenai Jembatan Forth.
J : Aku menyerah. Aku tidak bisa menulis puisi.
T : Jumlahkan 34.957 dengan 70.764.
J : (Terdiam 30 detik sebelum menjawab) 105.621.
T : Bisakah kau bermain catur?
J : Ya.
T : Aku hanya punya K di K1. Kau hanya punya K di K6 dan R di R1. Sekarang giliranmu. Gerakanmu apa?
J : (Setelah terdiam 15 detik) R–R8 skak mat.

Dalam contoh dialog ini, Turing menunjukkan beberapa hal. Pemeriksaan saksama menunjukkan responden, setelah tiga puluh detik, keliru menjumlahkan (jawaban yang benar 105.721). Itukah bukti bahwa respondennya manusia? Barangkali. Namun, mungkin saja ia mesin yang dengan cerdik berpura-pura menjadi manusia. Turing juga menepis sanggahan Jefferson bahwa mesin tidak bisa menulis soneta; barangkali jawaban di atas disampaikan oleh manusia yang mengakui ketidakmampuannya. Lebih jauh di makalahnya, Turing mereka-reka interogasi sebagai berikut untuk menunjukkan betapa sulitnya menggunakan soneta sebagai tolak ukur.

T : Baris pertama sonetamu berbunyi, “Boleh kubandingkan kau dengan bulu.” Bukankah lebih puitis jika kau ganti kata “bulu” dengan “surai”?
J : Nanti baris itu tidak berima dengan baris selanjutnya.
T : Diganti dengan “benalu” saja supaya tetap berima.
J : Tetapi, orang tentu tidak ingin dibandingkan dengan benalu.
T : Apakah menurutmu seorang gadis cantik bisa diumpamakan sebagai anggrek?
J : Bisa saja.
Q : Tetapi, anggrek sejatinya benalu juga.
A : Kau pasti bercanda. Ketika menyebut “benalu”, yang kita maksud bukan anggrek, melainkan benalu secara umum.

Maksud Turing, barangkali tidak mungkin menentukan apakah si responden manusia atau mesin yang pura-pura menjadi manusia.
Mengenai apakah komputer bisa memenangi permainan meniru, Turing memperkirakan, “Saya yakin lima puluh tahun lagi, komputer yang diprogram ... bisa dengan lihai menghadapi permainan meniru sehingga peluang interogator untuk menebak secara tepat setelah lima menit bertanya hanya 70%.”
Dalam makalahnya, Turing berusaha menepis sejumlah besar sanggahan atas definisi “berpikir” yang dikemukakan. Dia melibas sanggahan teologis yang mengatakan bahwa Tuhan hanya menganugerahkan jiwa dan kapasitas berpikir kepada manusia; menurut Turing, argumen tersebut “menyiratkan kemahakuasaan Tuhan terbatas”. Dia menanyakan, bukankah Tuhan “bebas untuk memberikan jiwa kepada gajah jika memang Dia menghendaki”. Mungkin benar begitu. Berdasarkan logika serupa—yang barangkali terkesan olok-olok belaka karena penggagasnya seorang ateis seperti Turing—tentu Tuhan bebas untuk memberikan jiwa kepada mesin jika Dia menghendaki.
Sanggahan paling menarik, terutama dari kacamata narasi kita, ialah yang menurut Turing disampaikan oleh Ada Lovelace. “Mesin Analitis sama sekali tidak mempunyai inisiatif apa pun,” tulis Ada pada 1843. “Mesin tersebut dapat mengerjakan apa saja yang dapat kita perintahkan. Mesin tersebut dapat menuruti analisis buatan kita, tetapi tidak mampu memahami relasi ataupun kebenaran analitis.”
Dengan kata lain, berbeda dengan benak manusia, alat mekanis tidak mungkin mempunyai kehendak bebas atau menghasilkan inisiatif sendiri. Alat mekanis hanya bisa bertindak sesuai program yang diterima. Dalam makalah pada 1950, Turing membuat satu bagian khusus yang diberi judul “Sanggahan Lady Lovelace”.
Tangkisan Turing yang paling cerdik untuk sanggahan tersebut ialah argumen bahwa mesin mungkin saja bisa belajar sehingga menjadi agennya sendiri dan menghasilkan pemikiran anyar. “Daripada berusaha memproduksi program untuk meniru pikiran orang dewasa, kenapa kita tidak mencoba memproduksi program yang menirukan pikiran anak-anak saja?” tanya Turing. “Jika pikiran anak-anak dididik secara tepat, akan kita peroleh pikiran orang dewasa.”
Proses belajar mesin memang berbeda dengan proses belajar anak, Turing mengakui. “Contohnya, mesin itu tidak akan berkaki sehingga tidak bisa disuruh keluar dan mengisi gerobak batu bara. Mungkin ia juga tidak memiliki mata .... Kita pun tidak mungkin menyuruh makhluk itu ke sekolah karena bisa-bisa anak lain akan mengoloknya.”
Jadi, si bayi mesin harus dididik dengan cara berbeda. Turing mengusulkan sistem sanksi dan hadiah supaya mesin mengulangi aktivitas tertentu dan menghindari aktivitas yang lain. Dengan demikian, mesin tersebut lambat laun akan memperoleh pemahaman.
Akan tetapi, kalaupun bisa menirukan proses berpikir, sanggah para pengkritik Turing, mesin tetap saja tidak memiliki kesadaran dalam arti sebenarnya. Ketika pemain manusia dalam Tes Turing menggunakan kata-kata, dia mengasosiasikan kata-kata itu dengan makna, emosi, pengalaman, sensasi, dan persepsi tentang dunia nyata. Tidak demikian halnya dengan mesin. Tanpa kemampuan menghubungkan seperti itu, bahasa menjadi permainan belaka yang tidak punya makna.
Sanggahan terakhir bagi Tes Turing dikemukakan oleh John Searle dalam esai pada 1980. Sang filsuf menggagas eksperimen pemikiran yang disebut Ruang Mandarin. Di dalam ruangan seorang penutur bahasa Inggris yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Mandarin diberi sejumlah instruksi komprehensif yang mengatur dia untuk menyerahkan kombinasi piktogram Mandarin tertentu apabila diberi suatu kombinasi piktogram Mandarin. Asalkan manual yang diterimanya lengkap, orang itu mungkin saja meyakinkan interogator bahwa dia penutur asli bahasa Mandarin.
Akan tetapi, orang itu takkan memahami satu pun jawaban yang dia berikan, juga tidak menunjukkan intensionalitas. Meminjam istilah Ada Lovelace, orang itu sama sekali tidak mempunyai inisiatif, semata-mata mengerjakan perintah yang dia terima. Mesin dalam “permainan meniru” Turing pun begitu. Sekalipun lihai meniru, mesin itu tetap tidak memiliki pemahaman atau kesadaran mengenai perkataannya. Mengatakan mesin itu “berpikir” justru absurd; sama absurdnya dengan mengatakan orang yang mengikuti panduan itu memahami bahasa Mandarin.95
Sanggahan Searle bisa ditepis dengan argumentasi bahwa, kalaupun orang itu tidak betul-betul memahami bahasa Mandarin, keseluruhan sistem yang terinkorporasi di ruangan tersebut—si orang (unit pemrosesan), manual instruksi (program), dan arsip lengkap berisi piktogram Mandarin (data)—memang memahami bahasa Mandarin. Pertanyaan “bisakah mesin berpikir?” sampai sekarang belum terjawab secara konklusif. Hingga hari ini, Tes Turing dan sanggahan-sanggahannya tetap menjadi topik yang paling sering diperdebatkan dalam bidang sains kognitif.
Selama beberapa tahun setelah menulis “Mesin Komputasi dan Kecerdasan” (“Computing Machinery and Intelligence”), Turing sepertinya menikmati kericuhan yang dia sulut. Dengan kelakar sarkastis, dia mencemooh orang-orang yang dengan sombong meracau tentang soneta dan level kesadaran yang lebih tinggi.
“Suatu hari, wanita-wanita terhormat akan mengajak komputer mereka jalan-jalan ke taman dan saling memberi tahu, ‘Komputer kecilku mengatakan hal yang lucu sekali pagi ini!’” candanya pada 1951. Mentornya, Max Newman, kelak berkomentar, “Dia rekan bicara yang menyenangkan, pandai membuat analogi kocak yang pas untuk menjelaskan ide-idenya.”96
Satu topik yang mengemuka berulang-ulang dalam diskusi dengan Turing—dan tecermin secara memilukan pada kehidupan Turing sendiri—adalah peran hasrat seksual dan emosional bagi proses pemikiran manusia, aspek yang tidak dimiliki oleh mesin. Topik tersebut sempat diperdebatkan dalam acara stasiun televisi BBC pada Januari 1952, yang mempertemukan Turing dengan ahli bedah otak Sir Geoffrey Jefferson dan dipandu oleh dua moderator, yaitu Max Newman dan filsuf sains Richard Braithwaite.
“Secara garis besar, pola perilaku manusia ditentukan oleh nafsu, hasrat, naluri, dan insting,” kata Braithwaite, yang berargumen bahwa untuk menciptakan mesin berpikir sejati, “sepertinya mesin itu perlu dilengkapi dengan semacam naluri”. Newman menimpali, “Naluri (mesin) tentu terbatas. Dan, mesin tidak bisa merona ketika malu.”
Jefferson maju selangkah lebih jauh, berkali-kali menyitir “dorongan seksual” sebagai contoh dan menyebutkan tentang “emosi dan insting (manusia), semisal yang terkait dengan seks”. Manusia diperbudak oleh “dorongan seksualnya”, menurut Jefferson, dan “bisa saja berbuat konyol karenanya”. Saking sering Jefferson menyampaikan keterkaitan antara nafsu seksual dan proses berpikir manusia, editor BBC memotong sebagian siaran, termasuk penegasan Jefferson bahwa dia takkan percaya mesin bisa berpikir sampai melihat mesin itu menyentuh kaki mesin perempuan.97
Turing, yang sampai saat itu tidak pernah mengumbar kecenderungan seksualnya kepada sembarang orang, terdiam ketika tiba gilirannya untuk mengemukakan pendapat. Pada pekan-pekan menjelang rekaman pada 10 Januari 1952, Turing melakukan sejumlah tindakan yang teramat manusiawi dan niscaya takkan bisa dipahami oleh mesin.
Dia baru merampungkan makalah ilmiah, yang disambung dengan menulis cerpen autobiografi: “Sudah lama dia tidak ‘bersama’ siapa-siapa. Kali terakhir adalah ketika dia bertemu si prajurit di Paris musim panas lalu. Sekarang setelah makalahnya rampung, dia merasa berhak mendapat imbalan. Untuk itu, dia akan mencari seorang lelaki homoseksual.”98
Di Oxford Street, Manchester, Turing menggaet pekerja serabutan 19 tahun bernama Arnold Murray dan mengawali hubungan dengannya. Sepulang dari rekaman di BBC, Turing mengajak Murray pindah ke rumahnya. Suatu malam Turing memberi tahu Murray bahwa dia berkhayal bisa bermain catur dengan komputer jahat yang dikalahkan dengan cara provokatif sehingga komputer itu menunjukkan kemarahan, rasa senang, kemudian ekspresi pongah.
Hubungan keduanya semakin ruwet pada hari-hari mendatang, sampai Turing pulang suatu hari dan mendapati rumahnya dibobol oleh perampok. Si pelaku ternyata teman Murray. Ketika melaporkan insiden itu kepada polisi, Turing akhirnya mengemukakan hubungan seksualnya dengan Murray sehingga polisi pun menangkap Turing atas tuduhan “perbuatan tidak senonoh”.99
Dalam sidang pada Maret 1952, Turing mengaku bersalah, tetapi menegaskan bahwa dia tidak menyesal. Max Newman hadir untuk menyampaikan kesaksian mengenai karakter Turing. Turing, yang divonis bersalah dan dicabut security clearance-nya (izin untuk mengakses rahasia negara),*6 ditawari pilihan dipenjara atau hukuman percobaan dengan syarat bersedia menerima terapi hormon berupa suntikan estrogen sintetis untuk mengekang hasrat seksualnya, menjadikannya ibarat mesin yang dikontrol secara kimiawi. Turing memilih yang terakhir, hukuman yang dia terima dengan tabah selama setahun.
Turing mula-mula terkesan tidak ambil pusing. Namun, pada 7 Juni 1954 dia bunuh diri dengan menggigit apel yang telah dibubuhi sianida. Teman-teman Turing mengomentari bahwa dia sudah lama terpukau akan adegan dalam Snow White, yaitu ketika Ratu Jahat mencelupkan apel ke dalam ramuan beracun. Turing ditemukan di tempat tidurnya dengan mulut berbusa, kandungan sianida dalam darah, dan apel yang baru setengah dimakan di sisinya.
Akankah mesin berbuat begitu? 


Transistor pertama di Bell Labs.

John Bardeen (1908–1991), William Shockley (1910–1989), dan Walter Brattain (1902–1987) difoto bersama di Bell Labs pada 1948.

William Shockley (di kepala meja) yang disulangi oleh para kolega pada hari dia memenangi Nobel pada 1956. Sejumlah rekan yang hadir antara lain Gordon Moore (duduk di kiri) dan Robert Noyce (berdiri di tengah sambil memegang gelas).

 
*1 Formula Stirling, yang mengira-ngira nilai faktorial sebuah bilangan.
*2 Pajangan dan penjelasan Mark I di pusat sains Harvard tidak menyebut-nyebut nama Grace Hopper atau menunjukkan foto seorang perempuan pun sampai 2014. Pada tahun itu barulah pajangan direvisi untuk menggarisbawahi peran Hopper dan para programmer lain.
*3 Von Neumann sukses merancang desain implosi plutonium. Dalam tes Trinity, Juli 1945, bom atom pertama yang memadukan rancangan von Neumann berhasil diledakkan di dekat Alamogordo, New Mexico. Bom berdesain sama dijatuhkan ke Nagasaki pada 9 Agustus 1945, tiga hari sesudah bom uranium dijatuhkan ke Hiroshima. Dikompori kebenciannya terhadap Nazi dan kaum komunis yang dibeking oleh Rusia, von Neumman secara vokal mendukung persenjataan atom. Dia menghadiri tes Trinity, serta tes-tes berikut di Atol Bikini, Samudra Pasifik. Dia sempat berargumen bahwa seribu angka kematian akibat radiasi merupakan harga yang berterima demi keunggulan Amerika Serikat dalam teknologi nuklir. Von Neumann meninggal dua belas tahun kemudian, pada usia 53 tahun, karena kanker tulang dan pankreas, yang mungkin imbas radiasi yang terpancar dalam berbagai tes tersebut.
*4 Pada 1967, pada usia 60 tahun, Hopper dipanggil kembali untuk berdinas aktif di Angkatan Laut dengan misi menstandarkan penggunaan COBOL dan melakukan validasi compiler COBOL. Berdasarkan pemungutan suara di Kongres, Hopper diizinkan terus berdinas melampaui usia pensiun. Dia meraih pangkat laksamana muda dan, ketika akhirnya pensiun pada Agustus 1986 pada usia 79 tahun, merupakan perwira tertua yang masih aktif di jajaran Angkatan Laut AS.
*5 Konstitusi AS memberi Kongres wewenang “untuk mendorong perkembangan sains dan seni yang bermanfaat, yakni dengan menjamin hak eksklusif penulis dan penemu atas karya mereka sepanjang periode tertentu”. Sepanjang 1970-an Kantor Urusan Paten dan Merek Dagang AS biasanya tidak mengabulkan permohonan paten untuk inovasi berupa algoritme baru (karena perangkat lunak dipandang sebagai bagian dari komputer, bukan produk tersendiri). Pada 1980-an situasi menjadi dilematis karena sejumlah keputusan di tingkat banding dan Mahkamah Agung ternyata sering kali bertentangan satu sama lain. Kebijakan baru diubah secara resmi pada pertengahan 1990-an ketika pengadilan di Washington, D.C. mengesahkan diperbolehkannya paten perangkat lunak yang menghasilkan “keluaran bermanfaat, konkret, dan dapat dilihat”, sedangkan Presiden Clinton menunjuk kepala baru Kantor Urusan Paten, orang yang sebelumnya juru lobi utama Industri Penerbitan Perangkat Lunak.
*6 Pada Natal 2013 Turing dianugerahi rehabilitasi secara formal oleh Ratu Elizabeth II.









Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02