The Innovators - Walter Isaacson - 02


Terkadang sukses atau tidaknya inovasi bergantung pada waktu. Mujur benar apabila ide besar terlontar saat telah tersedia teknologi yang memadai untuk mengimplementasikannya. Salah satu contohnya ialah ide untuk mengirim manusia ke bulan yang muncul tepat ketika perkembangan teknologi telah mengenal microchip sehingga sistem berpandukan komputer dapat diinkorporasikan ke bagian kerucut hidung roket.
Kali lain ide terlahir jauh sebelum zamannya sehingga terkesan nyeleneh. Charles Babbage menerbitkan makalah mengenai komputer canggih pada 1837. Namun, baru seratus tahun berselang kemajuan teknologi menghasilkan seluruh perangkat yang dibutuhkan untuk merakit mesin yang Babbage angan-angankan.
Sejumlah kemajuan terkesan remeh. Namun, perkembangan dihasilkan bukan hanya oleh lompatan besar, melainkan juga akumulasi ratusan langkah kecil. Contohnya, kartu berlubang seperti yang Babbage lihat di mesin tenun Jacquard dan idenya dia pinjam untuk digunakan di Mesin Analitis rekaannya. Kartu berlubang disempurnakan sehingga nantinya pas untuk dimanfaatkan dalam komputer karena Herman Hollerith, pegawai Biro Sensus AS, gemas akan tabulasi Sensus 1880 secara manual yang membutuhkan waktu hampir delapan tahun. Dia pun bertekad tabulasi Sensus 1890 bisa dikerjakan secara otomatis.
Terinspirasi oleh kondektur kereta api yang membuat lubang-lubang berlainan di tiket untuk menandai ciri-ciri tiap penumpang (jenis kelamin, tinggi badan, umur, warna rambut), Hollerith merancang kartu berlubang yang terdiri atas 12 baris dan 24 lajur untuk mencatat fakta-fakta relevan mengenai tiap orang yang disensus. Kartu-kartu tersebut kemudian disisipkan ke celah antara sederet cawan raksa dan sederet jarum berpegas. Bila terdapat lubang, akan dihasilkan rangkaian listrik tertutup.
Mesin tersebut bukan saja dapat merekapitulasi jumlah total mentah, melainkan juga kombinasi beberapa ciri, semisal jumlah laki-laki yang sudah menikah atau jumlah perempuan yang lahir di luar negeri. Berkat tabulator Hollerith, Sensus AS 1890 dirampungkan dalam waktu satu dan bukan delapan tahun. Itulah kali pertama rangkaian listrik digunakan untuk memproses informasi besar-besaran, sedangkan perusahaan yang didirikan oleh Hollerith nantinya, pada 1924, setelah sejumlah merger dan akuisisi, mewujud menjadi International Business Machines Corporation atau IBM.
Kita dapat memandang inovasi sebagai akumulasi ratusan kemajuan kecil, seperti pencacah atau pembaca kartu berlubang. Di tempat-tempat seperti IBM, yang spesialisasinya menyempurnakan kreasi dari hari ke hari lewat kerja tim, inilah cara yang lebih berterima untuk melihat inovasi. Sejumlah teknologi terpenting pada zaman kita, seperti teknologi fracking yang dikembangkan sepanjang enam dasawarsa terakhir untuk mengekstraksi gas alam, terlahir berkat akumulasi sekian banyak inovasi kecil-kecilan dan segelintir terobosan besar.
Terkait komputer, memang banyak kemajuan inkremental yang diciptakan oleh para insinyur anonim di tempat-tempat seperti IBM. Namun, itu saja belum cukup. Walaupun dapat mengompilasi data, mesin-mesin yang diproduksi IBM awal abad ke-20 tidak bisa disebut komputer. Mesin-mesin tersebut bahkan tidak bagus-bagus amat sebagai kalkulator; kerjanya payah. Untuk melahirkan komputer sesungguhnya, di samping beratus-ratus kemajuan minor, dibutuhkan lompatan besar nan imajinatif dari para visioner yang kreatif.

DIGITAL MENGALAHKAN ANALOG
Mesin yang dirancang oleh Hollerith dan Babbage berkarakter digital, artinya menghitung menggunakan digit: bilangan bulat diskrit seperti 0, 1, 2, 3. Di dalam mesin bilangan-bilangan tersebut dijumlahkan dan dikurangi dengan mekanisme gigi roda yang berputar satu-satu, seperti counter. Komputer bisa juga dirakit dengan pendekatan lain, yaitu berdasarkan pemodelan fenomena fisika. Komputer semacam ini disebut komputer analog karena kerjanya berdasarkan analogi.
Daripada mengandalkan satuan diskrit untuk membuat kalkulasi, komputer analog menggunakan fungsi yang kontinu. Dalam komputer analog, persoalan yang mesti dipecahkan dianalogikan ke dalam variabel seperti tegangan listrik, posisi tali pada katrol, tekanan hidraulika, atau jarak. Jangka sorong berkarakter analog; swipoa berkarakter digital. Jam yang berjarum berkarakter analog, sedangkan jam yang menunjukkan angka-angka berkarakter digital.
Kira-kira berbarengan dengan saat dirakitnya tabulator digital oleh Hollerith, Lord Kelvin dan kakaknya, James Thomson, dua ilmuwan Britania paling terkemuka pada zaman itu, menciptakan mesin analog. Mesin itu dirancang untuk mengerjakan tugas rutin menjemukan, yaitu memecahkan persamaan diferensial yang niscaya bermanfaat dalam menyusun diagram pasang surut air laut dan tabel sudut tembakan untuk panduan meluncurkan artileri secara akurat.
Dimulai dari awal 1870-an, kakak beradik ini menggagas sistem yang mengacu pada planimeter, instrumen untuk mengukur luas bidang datar, semisal luas wilayah di bawah garis lengkung atau luas selembar kertas. Pengguna merunut perimeter kurva dengan alat tersebut, yang mengalkulasi luas area lewat silinder kecil yang berputar pelan-pelan di permukaan piringan bulat besar. Dengan menghitung luas area di bawah kurva, alat tersebut telah menyelesaikan persamaan integral—alias mengerjakan perhitungan kalkulus.
Kelvin dan kakaknya mampu menggunakan metode ini untuk menciptakan “harmonic synthesizer” yang bisa mengeluarkan bagan pasang surut tahunan air laut dalam waktu empat jam. Namun, mereka pada akhirnya tidak mampu merancang alat yang dapat memecahkan persamaan dengan banyak variabel karena tantangan teknisnya terlalu pelik.
Tantangan ini baru terjawab pada 1931, ketika Profesor Teknik dari MIT, Vannevar Bush—ingatlah nama itu karena dialah tokoh kunci dalam buku ini—berhasil membuat komputer analog elektromekanis pertama di dunia. Dia menamai mesinnya Differential Analyzer. Alat tersebut terdiri atas enam integrator—berupa pasangan silinder dengan piringan, tidak terlalu berbeda dengan alat Lord Kelvin—yang terhubung ke sejumlah gigi roda, tuas, dan selot yang diputar motor listrik.
Beruntung Bush bekerja di MIT sebab di sekitarnya terdapat banyak orang yang mampu merakit dan mengalibrasi alat seruwet itu. Mesin jadi, yang seukuran kamar tidur kecil, dapat memecahkan persoalan dengan maksimal delapan belas variabel independen.
Sepanjang satu dasawarsa berikut, Differential Analyzer karya Bush direplikasi oleh Lapangan Uji Coba Aberdeen Angkatan Darat AS di Maryland, Moore School of Electrical Engineering di Universitas Pennsylvania, dan perguruan tinggi Manchester serta Cambridge di Inggris. Differential Analyzer ternyata sangat berguna untuk menghasilkan tabel data artileri—dan untuk mendidik serta mengilhami para pionir komputer generasi selanjutnya.
Kendati demikian, mesin Bush tidak ditakdirkan untuk berperan penting dalam sejarah komputer karena karakter analognya. Malahan, Differential Analyzer justru menjadi cikal bakal terakhir komputer analog.
Pendekatan, teknologi, dan teori anyar mulai bermunculan pada 1937, tepat seratus tahun setelah Babbage kali pertama menerbitkan makalahnya tentang Mesin Analitis. Tahun itu empat aspek yang saling terkait berkembang dominan dan kelak turut mendefinisikan karakter era komputer modern, yaitu sebagai berikut.
DIGITAL. Revolusi Komputer dicirikan oleh karakter fundamental yang berbasis digital, bukan analog. Penyebabnya banyak, sebagaimana akan kita lihat setelah ini, yaitu kemajuan beriringan di bidang teori logika, sirkuit listrik, dan mekanisme nyala-mati elektronis sehingga memuluskan jalan menuju terciptanya komputer digital. Baru pada 2010 para ilmuwan komputer, yang mencari cara untuk meniru otak manusia, kembali serius merintis komputasi analog.
BINER. Komputer modern punya karakter digital berbasis dua atau biner, yang berarti menggunakan 0 dan 1 saja daripada kesepuluh angka desimal. Sebagaimana banyak konsep matematika, teori biner dipelopori oleh Leibniz pada akhir abad ke-17. Pada 1940-an menjadi jelas bahwa sistem biner jauh lebih unggul ketimbang sistem digital lain, termasuk sistem desimal, untuk mengerjakan operasi logika menggunakan sirkuit dengan sakelar nyala-mati.
ELEKTRONIK. Pada pertengahan 1930-an insinyur Britania bernama Tommy Flowers memelopori penggunaan tabung vakum sebagai sakelar nyala-mati di dalam sirkuit listrik. Hingga saat itu, sirkuit listrik menggunakan sakelar mekanis atau elektromekanis, misalnya relay elektromagnetik seperti yang digunakan oleh perusahaan telepon untuk mengalihkan panggilan dari operator ke pelanggan.
Tabung vakum sebelumnya digunakan terutama untuk memperkuat sinyal alih-alih sebagai sakelar nyala-mati. Dengan menggunakan komponen elektronik seperti tabung vakum, dan kelak transistor serta microchip, komputer dapat beroperasi ribuan kali lebih cepat ketimbang mesin-mesin dengan sakelar bergerak yang bekerja atas prinsip elektromekanis.
SERBAGUNA. Akhirnya, mesin dapat diprogram berulang-ulang—dan bahkan memprogram dirinya sendiri—untuk berbagai tujuan. Mesin atau komputer tersebut nantinya bukan saja mampu menghitung persamaan matematika, seperti persamaan diferensial, melainkan juga menyelesaikan beragam tugas dan memanipulasi aneka simbol, dari mengolah angka, kata, hingga musik dan gambar. Dengan demikian, potensi yang dibayangkan oleh Lady Lovelace ketika memaparkan Mesin Analitis Babbage dapat terwujud.
Inovasi muncul ketika benih-benihnya jatuh ke tanah subur. Alih-alih disebabkan oleh satu faktor tunggal, kemajuan dahsyat pada 1937 merupakan hasil perpaduan aneka ide, kapabilitas, dan kebutuhan yang berkonvergensi secara kebetulan di banyak tempat. Sebagaimana kerap kita jumpai pada babad penemuan, terutama bidang teknologi informasi, waktu yang tepat muncul di tengah suasana gonjang-ganjing. Pengembangan tabung vakum untuk industri radio membukakan jalan bagi terciptanya sirkuit elektronik digital. Perkembangan ini berbarengan dengan kemajuan teoretis di bidang logika, menjadikan sirkuit semacam itu lebih bermanfaat.
Laju kemajuan bertambah cepat berkat ditabuhnya genderang perang. Saat bangsa-bangsa mulai mempersenjatai diri untuk menghadapi konflik yang sudah di depan mata, jelas kemampuan komputasi sama pentingnya dengan kekuatan senjata. Berbagai kemajuan beranak pinak dan menghasilkan kemajuan berikutnya, terjadi hampir secara simultan dan spontan di Harvard dan MIT, Princeton dan Bell Labs, apartemen di Berlin dan bahkan—yang menarik, sekalipun barangkali sukar dipercaya—di ruang bawah tanah di Ames, Iowa.
Hal yang melandasi seluruh kemajuan ini ialah lompatan matematika yang indah—“puitis”, barangkali Ada Lovelace akan menyebutnya demikian. Salah satu lompatan ini menghasilkan konsep formal mengenai “komputer universal”, yakni mesin serbaguna yang dapat diprogram untuk mengerjakan berbagai operasi logika dan menyimulasikan perilaku mesin sesuai dengan bermacam logika. Konsep ini buah eksperimen pemikiran yang digagas oleh matematikawan brilian asal Inggris yang kisah hidupnya menggugah sekaligus tragis.

ALAN TURING
Alan Turing dibesarkan tanpa limpahan kasih sayang orangtua layaknya banyak anak kelas menengah dan menengah atas di Britania pada masa itu.1 Moyangnya dianugerahi gelar Baronet sejak 1638, gelar yang diwariskan turun-temurun dan akhirnya jatuh ke tangan salah seorang keponakan Turing.
Akan tetapi, bagi anak laki-laki yang bukan sulung, seperti Turing, ayahnya, dan kakeknya, mereka paling banter hanya memperoleh secuil harta, tidak mewarisi gelar ataupun tanah. Sebagian besar anak lelaki yang bukan sulung lantas menjadi klerus, seperti kakek Alan, atau pegawai kolonial, seperti ayahnya, yang menjabat administrator minor di daerah terpencil India.
Alan sudah berada dalam kandungan ibunya kala di Chhatrapur, India, dan lahir pada 23 Juni 1912 di London, sewaktu orangtuanya cuti. Ketika Alan baru berusia setahun, orangtuanya kembali ke India selama beberapa tahun. Sementara itu, Alan kecil serta kakak lelakinya dititipkan kepada pensiunan kolonel dan istrinya untuk dibesarkan di kota pesisir di Inggris sebelah selatan. “Saya bukan psikolog anak,” John Turing, kakak Alan, kelak berkomentar. “Tetapi, saya yakin meninggalkan seorang bayi di lingkungan asing, jauh dari keluarga, berdampak tidak baik bagi perkembangannya.”2
Sepulang sang ibu ke Inggris, Alan tinggal beberapa tahun dengannya. Pada usia 13 tahun dia dikirim ke sekolah berasrama. Dia bersepeda hampir seratus kilometer ke sekolah dalam waktu dua hari, seorang diri. Turing memang gemar sendirian, sebagaimana tecermin dari kegandrungannya lari jarak jauh dan bersepeda. Dia juga mempunyai ciri khas yang lazim ditemui dalam diri banyak penemu, seperti dijabarkan secara memikat oleh penulis biografinya, Andrew Hodges, yakni, “Alan lambat menyadari adanya garis tipis yang memisahkan inisiatif dengan ketidakpatuhan.”3
Dalam memoar yang menyentuh, sang ibu menggambarkan putra kesayangannya sebagai berikut.

Alan bertubuh kekar, berpundak lebar, jangkung, berdagu kukuh segi empat, dan berambut cokelat acak-acakan. Mata biru jernih yang cekung adalah ciri khasnya yang paling memukau. Hidungnya yang agak pesek dan garis-garis senyuman di seputar mulutnya memberinya penampilan awet muda, bahkan kekanak-kanakan. Malahan, pada awal usia 30-an dia terkadang masih dikira mahasiswa strata satu.
Kebiasaan dan busananya cenderung serampangan. Rambut Alan biasanya kepanjangan, dengan poni menjuntai yang kerap dia sibakkan dengan goyangan kepala .... Dia adakalanya bersikap melantur dan mengawang-awang, larut dalam lamunan sendiri sehingga terkesan tidak ramah .... Sebaliknya, sifat pemalu terkadang menyebabkannya bicara sembarangan .... Dia pernah menduga-duga dirinya tentu cocok hidup menyepi di biara abad pertengahan.4

Di sekolah berasrama, Sherborne, Turing menyadari dirinya homoseksual. Dia menaruh hati pada seorang teman sekolah ramping berambut pirang, Christopher Morcom, rekannya belajar matematika dan mendiskusikan filsafat. Namun, pada musim dingin sebelum lulus, Morcom meninggal mendadak karena tuberkulosis. Turing kemudian menyurati ibu Morcom, “Saya memuja bumi tempatnya berpijak. Saya tidak berusaha menyembunyikan hal itu sayangnya.”5
Dalam surat untuk ibunya sendiri, Turing terkesan mencari penghiburan dari imannya. “Aku merasa akan bertemu Morcom lagi kelak dan ada pekerjaan yang mesti kami jalani bersama di sana, sebagaimana aku meyakini terdapat misi untuk kami di sini. Sekarang karena tinggal sendiri, aku tidak boleh mengecewakannya. Jika berhasil, aku akan lebih layak untuk menjadi bagian dari kelompok orang terhormat yang baru saja dia datangi.”
Walau begitu, tragedi tersebut akhirnya mengikis keyakinan religius Turing. Dia juga menjadi semakin tertutup dan tidak bisa lagi menjalin hubungan akrab dengan mudah. Kepala asrama melaporkan kepada orangtuanya pada Paskah 1927, “Tidak dapat dimungkiri bahwa dia bukan pemuda ‘normal’. Bukan berarti hal tersebut niscaya menjadi sumber masalah, tetapi dia mungkin menjadi kurang bahagia karenanya.”6
Pada tahun terakhir di Sherborne, Turing memenangi beasiswa untuk kuliah matematika di King’s College, Cambridge, yang lalu dia masuki pada 1931. Satu dari tiga buku yang dia beli dengan sebagian uang beasiswa adalah The Mathematical Foundations of Quantum Mechanics karya John von Neumann, matematikawan unik Hongaria yang, sebagai pelopor desain komputer, akan senantiasa memengaruhi kehidupan Turing.
Turing terutama tertarik pada matematika di inti fisika kuantum, yang menjabarkan peristiwa di tingkat sub-atom lewat probabilitas statistik alih-alih hukum eksak. Dia meyakini (setidaknya saat masih muda) karakter tidak pasti dan tidak deterministik di tingkat sub-atom-lah yang menjadi jawaban di balik kehendak bebas manusia—karakter yang, jika benar, membedakan manusia dari mesin. Dengan kata lain, karena tiada keniscayaan di tingkat sub-atom, tiada pula garis takdir yang menentukan pikiran dan tindakan kita. Dalam suratnya untuk ibu Morcom, Turing menjelaskan sebagai berikut.

Dahulu diasumsikan bahwa asalkan kita bisa mengetahui segalanya mengenai Semesta pada saat tertentu, sains tentu dapat memprediksikan apa yang akan terjadi pada masa depan. Wacana ini lahir semata-mata karena prediksi di bidang astronomi luar biasa akurat. Namun, di bidang sains modern yang lain, justru disimpulkan bahwa kita tidak bisa mengetahui kedudukan atom dan elektron secara pasti karena alat ukur kita juga terbuat dari atom dan elektron.
Itu sebabnya, kemampuan prediktif mengenai semesta tidak dapat diterapkan pada skala kecil. Artinya, teori yang menjelaskan bahwa gerhana dan sebagainya dapat diperkirakan tidak bisa diterapkan pada perilaku manusia. Kita memiliki kehendak bebas—di sebagian kecil otak atau barangkali di seluruh otak kita—yang mengatur gerak gerik atom.7

Sepanjang sisa hidup, Turing akan bergelut dengan pertanyaan apakah pikiran manusia secara fundamental lain dengan mesin deterministik. Lambat laun dia akan menyimpulkan perbedaan di antara keduanya tidaklah sejelas yang dikira.
Turing juga memiliki firasat bahwa, sama seperti ranah sub-atom yang diselimuti ketidakpastian, ada persoalan matematika yang dapat dipecahkan secara mekanis dan ada pula yang jawabannya tak pasti. Pada masa itu fokus utama para matematikawan ialah perumusan sistem logika yang lengkap dan konsisten, misi ambisius yang dipengaruhi oleh pemikiran—salah satunya—David Hilbert, sang genius dari Göttingen yang, di antara sekian banyak prestasinya, memformulasikan teori relativitas umum secara matematis berbarengan dengan Einstein.

Dalam konferensi pada 1928, Hilbert mengajukan tiga masalah fundamental mengenai sistem matematika formal: (1) Apakah aturan-aturannya sudah lengkap sehingga pernyataan apa pun dapat dibuktikan (atau disanggah) menggunakan aturan-aturan sistem itu saja? (2) Apakah sistem tersebut sudah konsisten sehingga tidak ada pernyataan yang bisa terbukti benar sekaligus salah? (3) Adakah prosedur yang dapat menentukan apakah pernyataan tertentu bisa dibuktikan, alih-alih terus terkatung-katung karena tak kunjung terjawab (teka-teki matematika yang sampai sekarang belum bisa dibuktikan benar salahnya, antara lain teorema terakhir Fermat,*1 konjektur Goldbach,*2 atau konjektur Collatz*3)? Hilbert mengiyakan pertanyaan nomor satu dan dua, dan menjadikan persoalan ketiga tidak relevan lagi. Sederhananya, Hilbert mengatakan, “Tidak ada persoalan yang tidak bisa dijawab.”
Dalam kurun waktu tiga tahun, Kurt Gödel, ahli logika kelahiran Austria yang saat itu berusia 25 tahun dan tinggal dengan ibunya di Wina, menyentil pertanyaan nomor satu dan dua dengan jawaban tak terduga-duga: tidak dan tidak. Dalam “teorema ketidaklengkapan”, Gödel menunjukkan terdapat sejumlah pernyataan yang tidak bisa dibuktikan ataupun disanggah.
Contoh sederhananya ialah pernyataan yang mengacu pada diri sendiri seperti, “Pernyataan ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya.” Jika pernyataan tersebut benar, kita tidak dapat membuktikan kebenarannya; jika salah, pernyataan tersebut menjadi kontradiktif secara logika. Dilema ini mirip-mirip dengan “paradoks pembohong” dalam kisah Yunani kuno. (Seperti kalimat, “Semua ucapanku bohong.” Jika memang benar demikian, pernyataan itu juga salah.)
Dengan mengutarakan pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dibuktikan atau disanggah, Gödel menunjukkan sistem formal yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa matematika tidaklah lengkap. Dia juga mengajukan teorema pendamping yang secara efektif memberikan jawaban “tidak” bagi pertanyaan kedua Hilbert.
Tinggal pertanyaan ketiga yang belum terpecahkan, yaitu penentuan bisa tidaknya suatu pernyataan dijawab atau—menurut istilah Hilbert—Entscheidungsproblem alias “permasalahan keputusan”. Walaupun Gödel telah menyodorkan pernyataan-pernyataan yang memang tidak bisa dibuktikan ataupun disanggah, barangkali pernyataan tersebut mesti dikecualikan ke dalam kelompok tersendiri sehingga menyisakan sistem logika matematika yang lengkap dan konsisten.
Untuk itu, diperlukan metode untuk memutuskan apakah suatu pernyataan dapat dibuktikan. Ketika mengajari Turing tentang permasalahan Hilbert, Profesor Matematika hebat dari Cambridge, Max Newman, membahasakan Entscheidungsproblem sebagai: adakah “proses mekanis” yang bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu pernyataan logika dapat dibuktikan atau tidak?
Turing menyukai konsep “proses mekanis”. Suatu hari pada musim panas 1935 dia seperti biasa lari sendirian menyusuri Sungai Ely dan, setelah beberapa mil, berhenti untuk tidur-tiduran di antara pepohonan apel di Padang Grantchester, lalu merenungkan sebuah ide. Dia akan mengejawantahkan konsep “proses mekanis” secara harfiah, membuat mesin imajiner untuk memecahkan masalah tersebut.8
“Mesin Komputasi Logis” yang Turing bayangkan (yakni eksperimen pemikiran belaka, bukan mesin sungguhan) sekilas terkesan sederhana. Namun, dalam teorinya, mesin tersebut dapat mengolah berbagai perhitungan matematika. Mesin tersebut terdiri atas struk dengan panjang tak terbatas bertuliskan simbol-simbol di dalam kotak; andai yang digunakan adalah sistem biner paling sederhana, simbol yang tercantum bisa berupa angka 1 dan kosong saja. Mesin tersebut bisa membaca simbol-simbol di struk dan melakukan pekerjaan tertentu berdasarkan “tabel perintah” yang diterima.9
Tabel perintah ini menyuruh mesin melakukan sesuatu berdasarkan konfigurasi mesin dan simbol yang tercantum di dalam kotak. Misalkan, tabel perintah untuk tugas tertentu bisa saja menitahkan, jika sedang diset ke konfigurasi 1 dan melihat 1 di dalam kotak, mesin itu harus bergerak sekotak ke kanan dan pindah ke konfigurasi 2. Yang mengejutkan—bagi kita, sekalipun tidak bagi Turing—mesin semacam itu, asalkan diberi tabel perintah yang memadai, niscaya dapat memecahkan persoalan matematika sekompleks apa pun.
Bagaimana mesin imajiner ini bisa menjawab pertanyaan ketiga Hilbert: permasalahan keputusan? Turing menjajaki persoalan itu dengan merevisi konsep “bilangan yang bisa dihitung”. Bilangan riil mana pun yang bisa didefinisikan menggunakan aturan matematika itu bisa dihitung oleh Mesin Komputasi Logis. Bahkan, bilangan irasional seperti Ï€ dapat dihitung secara tak hingga menggunakan tabel perintah yang berhingga.
Begitu pula logaritma dari 7, akar 2, deret angka Bernoulli yang algoritmenya turut dibuat oleh Ada Lovelace, atau angka dan deret lainnya, tidak peduli sesukar apa perhitungannya, asalkan kalkulasinya dapat didefinisikan oleh serangkaian aturan yang jumlahnya berhingga. Semua ini, menurut Turing, masuk ke dalam kategori “bilangan yang bisa dihitung”.
Turing kemudian menunjukkan ada juga bilangan yang tidak bisa dihitung. Hal ini terkait dengan persoalan yang dia sebut “halting problem”. Turing menunjukkan, sebelum input tertentu dimasukkan, kita tidak bisa menentukan apakah mesin akan mengeluarkan jawaban atau mengerjakan proses berulang secara tak hingga tanpa memberikan jawaban.
Menurut Turing, tak terpecahkannya halting problem juga berarti permasalahan keputusan tidak dapat dipecahkan. Walaupun Hilbert barangkali berharap lain, tidak ada prosedur mekanis yang mampu menentukan bisa tidaknya suatu pernyataan matematika dibuktikan. Teorema ketidaklengkapan Gödel, prinsip ketidakpastian mekanika kuantum, dan jawaban Turing untuk pertanyaan ketiga Hilbert menepis wacana mengenai alam semesta yang bersifat mekanis, deterministik, dan terprediksi.
Makalah Turing diterbitkan pada 1937 dengan judul apa adanya—“On Computable Numbers, with an Application to the Entscheidungsproblem”. Jawabannya atas pertanyaan ketiga Hilbert memang bermanfaat untuk pengembangan teori matematika. Namun, yang jauh lebih penting ialah produk sampingan dari bukti yang Turing kemukakan: konsep Mesin Komputasi Logis, yang tidak lama berselang dikenal luas sebagai mesin Turing.
“Adalah mungkin untuk menciptakan mesin yang bisa dipergunakan untuk menghitung deret bilangan berapa saja yang bisa dihitung,” dia menyatakan.10 Mesin semacam itu bisa membaca instruksi mesin lain dan melaksanakan tugas apa pun yang dapat dikerjakan mesin. Intinya, mesin semacam itu perwujudan dari mesin universal serbaguna yang diimpi-impikan oleh Charles Babbage dan Ada Lovelace.
Lebih awal pada tahun yang sama, matematikawan dari Princeton, Alonzo Church, telah mengemukakan solusi lain yang kurang cantik dengan nama misterius—setidak-tidaknya di mata orang awam—untuk Entscheidungsproblem, yaitu “untyped lambda calculus”. Dosen Turing, Max Newman, menilai akan bermanfaat bagi Turing apabila belajar ke Princeton di bawah bimbingan Church.
Dalam surat rekomendasinya, Newman menyebutkan potensi Turing yang luar biasa. Newman juga menambahkan permohonan personal terkait kepribadian Turing. “Dia bekerja tanpa pengawasan atau kritik dari siapa pun,” tulis Newman. “Karena itu, penting kiranya agar dia sesegera mungkin diperkenalkan kepada para praktisi terkemuka di bidang ini supaya tidak menjadi soliter sepenuhnya.”11
Turing memang cenderung penyendiri. Sebagai penyuka sesama jenis, dia kerap merasa bagai orang asing; dia hidup sendiri dan menghindari komitmen personal yang mendalam. Suatu saat dia pernah melamar seorang kolega perempuan, tetapi kemudian merasa berkewajiban untuk memberitahukan bahwa dirinya homoseksual. Rekannya itu ternyata tidak gentar, tetap bersedia mengawininya, tetapi Turing mengurungkan niat karena tidak mau menikah bohong-bohongan.
Walau begitu, dia tidak menjadi “soliter sepenuhnya”. Turing belajar bekerja sama dalam satu tim, bahu-membahu dengan sejumlah rekan, alhasil memungkinkan teori-teorinya yang abstrak untuk dituangkan dalam temuan yang nyata dan bisa dilihat mata.
September 1936, selagi menanti penerbitan makalahnya, kandidat doktor berusia 24 tahun ini berlayar ke Amerika di kabin kelas tiga kapal usang RMS Berengaria sambil membawa sekstan kuningan yang berharga. Kantor Turing di Princeton terletak di gedung Departemen Matematika, yang juga merupakan gedung Institute for Advanced Study, tempat Einstein, Gödel, dan von Neumann bermarkas. Von Neumann yang supel dan berwawasan luas ternyata sangat tertarik akan pekerjaan Turing, sekalipun kepribadian keduanya amat berlainan.
Perubahan elementer dan kemajuan serempak pada 1937 bukanlah akibat langsung terbitnya makalah Turing. Malahan, makalah itu mula-mula hanya sedikit menuai perhatian. Turing meminta ibunya mengirimkan salinan makalah kepada filsuf-matematikawan Bertrand Russell dan kira-kira enam cendekiawan tenar lainnya. Namun, satu-satunya ulasan penting dibuat oleh Alonzo Church, yang rela menyanjung Turing karena dirinya telah terlebih dahulu memecahkan Entscheidungsproblem Hilbert.
Church bukan hanya bermurah hati, melainkan juga memperkenalkan istilah mesin Turing untuk konsep yang Turing namai Mesin Komputasi Logis. Dengan demikian, pada usia 24 tahun, nama Turing tak terpisahkan dengan salah satu konsep terpenting pada era digital kelak.12

CLAUDE SHANNON DAN GEORGE STIBITZ DI BELL LABS
Pada 1937 lahir terobosan teoretis penting lain yang, sama seperti mesin Turing, murni eksperimen pemikiran. Terobosan ini karya mahasiswa pascasarjana MIT bernama Claude Shannon, yang kala itu mengajukan tesis magister paling berpengaruh sepanjang masa, makalah yang kelak disebut Scientific American sebagai “Magna Carta-nya Era Informasi”.13
Shannon tumbuh besar di kota kecil di Michigan. Dia gemar merakit model pesawat dan radio amatir sedari kecil, kemudian melanjutkan kuliah Jurusan Matematika dan Teknik Elektro di Universitas Michigan. Pada tahun terakhir kuliah Shannon merespons iklan lowongan pekerjaan yang dipajang di papan pengumuman kampus, yaitu sebagai asisten Vannevar Bush untuk mengoperasikan Differential Analyzer di MIT.
Shannon mendapatkan pekerjaan tersebut dan terpesona akan mesin itu—bukan karena mekanisme tuas-katrol-roda yang menjadi komponen analog mesin tersebut, melainkan lebih karena relay elektromagnetik yang berfungsi sebagai sakelar sirkuitnya. Sinyal listrik menggerakkan sakelar sehingga terbuka dan tertutup, menciptakan pola sirkuit yang berlainan.
Pada musim panas 1937 Shannon cuti dari MIT dan pindah ke Bell Labs, lembaga riset yang dikelola oleh AT&T. Terletak di Manhattan, tepatnya di Greenwich Village dekat Sungai Hudson, Bell Labs merupakan tempat benih-benih ide dimekarkan menjadi temuan sungguhan. Di sinilah teori-teori abstrak bersilangan dengan problem-problem praktis, sedangkan di koridor dan kafetaria para teoretikus eksentrik berbaur dengan insinyur pragmatis, mekanik bertangan dingin, serta praktisi cerdas.
Tak ayal hal tersebut memicu perkawinan silang antara teori dan rekayasa. Bell Labs adalah arketipe lingkungan kerja yang menyuburkan tumbuhnya inovasi pada era digital, lingkungan yang disebut sejarawan sains Harvard, Peter Galison, sebagai “zona pertukaran”. Ketika para praktisi dan teoretikus dengan latar belakang berlainan berkumpul menjadi satu, mereka belajar mencari titik temu untuk kemudian berbagi ide dan bertukar informasi.14
Di Bell Labs, Shannon melihat dari dekat betapa menakjubkannya pengoperasian sirkuit telepon yang menggunakan sakelar listrik untuk meneruskan sambungan dan menyeimbangkan beban. Dalam benaknya, Shannon mulai menghubung-hubungkan cara kerja sirkuit ini dengan topik lain yang menurutnya menarik, yaitu sistem logika yang diformulasikan sembilan puluh tahun sebelumnya oleh George Boole, matematikawan Britania.
Boole melakukan revolusi di bidang logika berkat penggunaan simbol dan persamaan untuk mengekspresikan pernyataan logika. Proposisi yang benar dia beri nilai 1, sedangkan proposisi yang salah diberi nilai 0. Dengan demikian, operasi logika dasar—seperti dan, atau, bukan, dan jika/maka—dapat diekspresikan menggunakan proposisi tersebut, seperti persamaan matematika.
Shannon menyimpulkan operasi logika ini dapat diterapkan pada sirkuit listrik, menggunakan sakelar nyala-mati. Untuk mengerjakan fungsi dan, contohnya, dua sakelar ditempatkan secara seri sehingga, agar listrik mengalir, kedua sakelar mesti disetel menyala. Sementara itu, untuk mengerjakan operasi atau, kedua sakelar diposisikan secara paralel sehingga listrik bisa mengalir asalkan sekurang-kurangnya satu sakelar menyala. Rangkaian sakelar lebih canggih yang disebut gerbang logika dapat merampingkan proses itu. Dengan kata lain, kita bisa mendesain sirkuit yang terdiri atas banyak relay dan gerbang logika untuk mengerjakan serangkaian operasi logika, setahap demi setahap.
(“Relay” pada dasarnya sakelar yang bisa dibuka tutup oleh arus listrik, misalnya kumparan elektromagnet. Relay yang bisa bergerak disebut relay elektromekanis; sedangkan relay yang memanipulasi aliran elektron, tetapi bagian-bagiannya tidak bergerak disebut relay elektronik, misalnya tabung vakum dan transistor. “Gerbang logika” adalah sakelar yang bisa mengolah lebih dari satu input. Contohnya, untuk dua input, gerbang logika dan menyala jika input menyala dua-duanya, sedangkan gerbang logika atau menyala jika sekurang-kurangnya satu input menyala. Ide Shannon adalah menyusun sirkuit listrik tersebut sehingga dapat mengerjakan operasi logika Boole.)
Sekembali Shannon ke MIT pada musim gugur, Bush menyambut baik idenya dan mendesak Shannon memasukkan ide tersebut ke tesis magisternya. Tesis berjudul “Analisis Simbolis Sirkuit Switch dan Relay” itu memaparkan pengerjaan fungsi-fungsi aljabar Boolean pada sirkuit listrik. “Adalah mungkin untuk mengerjakan operasi matematika kompleks dengan sarana berupa sirkuit relay,” pungkas Shannon.15 Kesimpulan ini merupakan konsep yang menjadi dasar seluruh komputer digital.
Ide Shannon menarik minat Turing karena keterkaitannya dengan konsep “mesin universal” yang dalam bayangan Turing dapat mengolah perintah-perintah sederhana, yang diekspresikan dalam bahasa biner, untuk memecahkan masalah matematika dan logika. Selain itu, karena logika terkait dengan proses penalaran manusia, mesin yang bisa mengerjakan operasi logika seharusnya—paling tidak teorinya begitu—bisa juga menirukan cara kerja pikiran manusia.
Pada saat yang sama, di Bell Labs, bekerja pula matematikawan bernama George Stibitz, yang bertugas mencari cara untuk mengolah berbagai kalkulasi—pesanan para insinyur telepon—yang kian lama kian sulit saja. Karena satu-satunya perangkat yang dipunyai berupa alat penjumlahan mekanis, Stibitz bertekad menciptakan sesuatu yang lebih bagus berdasarkan ide Shannon bahwa sirkuit listrik dapat mengerjakan operasi matematika dan logika.
Suatu malam pada November, Stibitz mampir ke gudang, kemudian mengambil sejumlah bohlam serta relay elektromagnetik bekas untuk dibawa pulang. Di meja dapur dia merakit komponen itu dengan kaleng tembakau dan beberapa sakelar sehingga menghasilkan sebuah sirkuit logika sederhana yang bisa menjumlahkan angka biner. Bohlam yang menyala melambangkan 1, sedangkan bohlam yang mati melambangkan 0. Istrinya menyebut alat itu “Model K” (“K-Model”) karena dibuat di dapur (kitchen). Stibitz membawa rakitannya ke kantor keesokan hari dan berusaha meyakinkan para kolega bahwa, asalkan jumlah relay cukup banyak, dia dapat membuat kalkulator.
Satu misi penting di Bell Labs ialah mencari cara untuk memperkuat sinyal telepon dalam jarak jauh sekaligus menyaring derau statis. Para insinyur menyusun formula untuk menghitung amplitudo dan fase sinyal, sedangkan solusi persamaan mereka kerap berupa bilangan yang kompleks (misalnya mengandung unit imajiner yang merepresentasikan akar bilangan negatif). Stibitz ditanyai oleh supervisornya apakah mesin yang dia usulkan dapat mengelola bilangan-bilangan yang kompleks. Ketika dia menjawab bisa, satu tim ditugaskan untuk membantu Stibitz merakit alat tersebut.
Kalkulator Bilangan Kompleks (The Complex Number Calculator), demikian namanya, dirampungkan pada 1939. Kalkulator tersebut memiliki lebih dari empat ratus relay, masing-masing bisa terbuka tutup sampai dua puluh kali per detik. Alhasil, mesin tersebut jauh lebih cepat ketimbang kalkulator mekanis, tetapi luar biasa lambat jika dibandingkan dengan sirkuit yang sakelarnya terbuat dari tabung vakum (yang merupakan inovasi baru). Komputer Stibitz tidak bisa diprogram, tetapi kreasinya menunjukkan potensi sirkuit relay untuk mengerjakan matematika biner, memproses informasi, dan mengolah prosedur logika.16

HOWARD AIKEN
Masih pada 1937, mahasiswa doktoral Harvard bernama Howard Aiken tengah berjuang mengerjakan perhitungan menjemukan untuk menggunakan kalkulator tesis fisika. Ketika dia melobi universitas agar membuat komputer lebih canggih untuk mengerjakan perhitungan, ketua departemennya menyinggung bahwa di loteng pusat sains Harvard tersimpan sejumlah roda kuningan dari alat berusia seabad yang sepertinya mirip dengan yang Aiken inginkan.

Saat melihat-lihat loteng, Aiken menemukan enam model Mesin Selisih Charles Babbage yang dibuat dan didistribusikan oleh putra Babbage, Henry. Aiken terkagum-kagum akan ide Babbage dan memindahkan roda-roda kuningan tersebut ke kantornya. “Betul, kami punya dua roda Babbage,” kenangnya. “Roda-roda itulah yang nantinya saya ambil dan pasang di bodi komputer.”17
Musim gugur itu, pada saat Stibitz sibuk menyiapkan peragaan di meja dapur, Aiken menulis memo sepanjang 21 halaman untuk pembimbingnya di Harvard dan para eksekutif IBM guna meyakinkan mereka agar mendanai mesin digital Babbage versi modern. “Hasrat untuk menghemat waktu dan kerja mental dalam mengerjakan perhitungan aritmetika, sekaligus untuk mengeliminasi kesalahan manusia, barangkali lahir berbarengan dengan lahirnya ilmu aritmetika itu sendiri,” demikianlah kalimat pembuka memonya.18
Aiken melalui masa kanak-kanak yang berat di Indiana. Sewaktu umurnya 12 tahun, Aiken menggunakan tongkat perapian untuk melindungi sang ibu dari serangan ayahnya yang pemabuk dan suka menganiaya. Ayahnya kemudian meninggalkan keluarga tanpa uang sepeser pun sehingga Howard belia terpaksa putus sekolah saat kelas sembilan demi mencari nafkah dengan bekerja sebagai teknisi pemasang telepon. Dia lalu mencari pekerjaan malam di perusahaan listrik lokal supaya bisa bersekolah teknik pada siang hari. Aiken memacu diri agar sukses, tetapi akibatnya dia menjadi seperti sipir galak, sifatnya meledak-ledak.19
Harvard ternyata bimbang menyikapi proposal Aiken. Kalkulator yang dia usulkan merupakan ide bagus, tetapi memberinya proyek yang lebih berkarakter praktis daripada akademis terkesan tidak bijaksana. (Di sejumlah kalangan Harvard, mengatai seseorang berwatak “praktis” daripada “akademis” merupakan bentuk penghinaan.) Yang mendukung Aiken adalah Presiden Harvard sekaligus Ketua National Defense Research Committee, James Bryant Conant, yang merasa sah-sah saja memosisikan Harvard sebagai bagian triumvirat akademisi-industri-militer.
Kendati demikian, Departemen Fisika yang mewadahi Aiken lebih menekankan ilmu murni, bukan sains terapan. Ketua departemen menyurati Conant pada Desember 1939, menyampaikan bahwa mesin hitung “akan sangat berterima apabila terdapat dana yang memadai, tetapi tidak serta-merta lebih berterima ketimbang proyek lain.” Sementara itu, komite dosen berkomentar mengenai Aiken, “Dia mesti diberi tahu bahwa aktivitas semacam itu tidak mendongkrak peluangnya untuk meraih jabatan profesor.” Akhirnya, Conant yang menang dan dia mengizinkan Aiken merakit mesin tersebut.20
Pada April 1941, sementara IBM membuat Mark I sesuai dengan spesifikasi Aiken di laboratorium perusahaan di Endicott, New York, lelaki itu meninggalkan Harvard untuk mengabdi di Angkatan Laut AS. Selama dua tahun, dengan pangkat letnan, Aiken mengajar di Naval Mine Warfare School di Virginia.
Seorang kolega menyebutkan, Aiken “bersenjatakan berbagai formula dan teori ala Harvard yang ruwetnya minta ampun”. Padahal, di sekolah tersebut dia “hanya berhadapan dengan sekawanan orang udik bebal yang tidak bisa membedakan kalkulus dengan kue jagung”.21 Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk memikirkan Mark I dan Aiken kadang-kadang berkunjung ke Endicott dengan pakaian dinas lengkap.22
Ternyata ada untungnya Aiken mengabdi di ketentaraan. Awal 1944, saat IBM bersiap-siap mengirimkan Mark I yang sudah jadi ke Harvard, Aiken berhasil meyakinkan Angkatan Laut untuk mengambil alih pengembangan mesin itu dan menugasinya sebagai perwira penanggung jawab. Dengan demikian, Aiken tidak perlu repot-repot menghadapi birokrasi akademis di Harvard, yang masih enggan memberinya pekerjaan tetap. Itu sebabnya, Harvard Computation Laboratory untuk sementara menjadi fasilitas milik Angkatan Laut dan anak buah Aiken terdiri atas personel AL yang bekerja berseragam. Aiken menyebut mereka “kru”, mereka memanggilnya “komandan”, sedangkan Mark I dipanggil “she”, seolah-olah mesin itu kapal kesayangan saja.23
Mark I buatan Harvard meminjam banyak ide Babbage. Mesin tersebut digital, tetapi tidak biner; roda-rodanya bisa diputar ke sepuluh posisi. Di selot sepanjang lima belas meter terdapat 72 pencacah yang dapat menyimpan maksimal 23 digit angka, sedangkan produk jadi memiliki berat lima ton, tinggi hampir 25 meter, dan lebar 15 meter. Selot dan komponen-komponen bergerak lainnya dinyalakan oleh arus listrik. Namun, mesin itu lambat. Alih-alih menggunakan relay elektromagnetik, mesin tersebut menggunakan sakelar mekanis yang dibuka tutup oleh motor listrik. Artinya, butuh kira-kira enam detik untuk menghitung perkalian, kontras dengan mesin Stibitz yang hanya butuh sedetik. Kendati demikian, Mark I memiliki keunggulan yang akan menjadi ciri khas semua komputer modern: kerjanya otomatis. Program dan data dimasukkan menggunakan struk kertas, kemudian mesin itu bisa beroperasi sendiri selama berhari-hari tanpa campur tangan manusia. Wajar jika Aiken menyebut Mark I sebagai “impian Babbage yang menjadi nyata”.24
KONRAD ZUSE
Semua pionir tersebut tidak tahu bahwa mereka sesungguhnya telah dikalahkan pada 1937 oleh seorang insinyur Jerman yang bekerja di apartemen orangtuanya. Konrad Zuse merampungkan purwarupa kalkulator berkarakter biner yang bisa membaca perintah dari struk berlubang. Walau begitu, versi pertama kalkulator Zuse yang dinamai Z1 adalah mesin mekanis, bukan mesin berbasis listrik ataupun elektronik.
Sama seperti banyak pelopor era digital, Zuse sudah tertarik pada seni dan rekayasa sedari kecil. Setelah lulus sekolah tinggi teknik, dia mendapat pekerjaan sebagai analis tegangan di perusahaan pesawat di Berlin. Tugas Zuse antara lain memecahkan persamaan linear yang memuat segala macam faktor beban, kekuatan, dan elastisitas. Sekalipun menggunakan kalkulator mekanis, paling banter hanya persamaan-persamaan linear yang terdiri atas enam variabel yang dapat diselesaikan dalam sehari.
Jika variabel berjumlah 25, bisa butuh setahun untuk menyelesaikan persamaan linear tersebut. Itu sebabnya, Zuse, yang merasa bosan menyelesaikan pekerjaan itu-itu saja—sama seperti banyak orang yang lain—berhasrat membuat mesin yang dapat memecahkan persamaan matematika. Dia mengubah ruang keluarga di apartemen orangtuanya di Berlin, dekat Bandara Tempelhof, menjadi bengkel.25
Dalam versi pertama mesin Zuse, digit biner disimpan menggunakan sejumlah pelat logam pipih yang terdiri atas banyak celah dan jarum—yang dibuat sendiri oleh Zuse dan teman-temannya dengan gergaji. Mula-mula Zuse menggunakan struk berlubang untuk memasukkan data dan program. Namun, dia segera mengganti kertas dengan gulungan film 35 mm, yang bukan saja lebih kuat, melainkan juga lebih murah.
Z1-nya rampung pada 1938 dan mesin tersebut sanggup menyelesaikan segelintir soal, sekalipun kerjanya kurang andal. Semua komponen mesin itu dibuat dengan tangan sehingga kurang presisi dan sering macet. Zuse kurang beruntung karena tidak disokong fasilitas lengkap seperti di Bell Labs dan tidak menjadi bagian institusi mapan seperti Harvard atau IBM, yang niscaya bisa menyuplai para insinyur mumpuni untuk melengkapi bakatnya.
Walau begitu, Z1 menunjukkan bahwa konsep logika yang didesain oleh Zuse pada praktiknya memang bisa diaplikasikan. Seorang teman kuliah yang membantunya, Helmut Schreyer, mengusulkan agar mereka membuat versi yang menggunakan komponen berupa tabung vakum elektronik daripada sakelar mekanis. Andaikan mereka langsung mengimplementasikan usulan itu, Zuse dan kawan-kawan niscaya akan tercatat dalam sejarah sebagai penemu pertama komputer modern yang berbasis biner, elektronik, dan dapat diprogram. Namun, Zuse dan semua pakar dari sekolah tinggi teknik yang dia mintai masukan merasa keder karena membayangkan besarnya biaya untuk merakit mesin yang membutuhkan hampir dua ribu tabung vakum.26
Untuk Z2, mereka memutuskan menggunakan relay elektromekanis—dibeli bekas dari perusahaan telepon—yang lebih kuat dan murah, sekalipun lebih lambat, sebagai sakelar. Hasilnya, komputer yang menggunakan relay untuk unit aritmetika. Kendati demikian, unit memorinya berbasis mekanis, menggunakan jarum-jarum yang bisa bergerak di lembaran logam.
Pada 1939 Zuse mulai mengerjakan model ketiga, Z3, yang menggunakan relay elektromekanis, baik untuk unit aritmetika maupun unit kontrol. Ketika rampung pada 1941, Z3 menjadi komputer digital serbaguna pertama yang dapat diprogram di dunia. Walaupun tidak bisa secara langsung memproses lompatan kondisional dan percabangan di dalam program, secara teoretis Z3 dapat berfungsi sebagai mesin Turing universal. Perbedaan utama Z3 dengan komputer-komputer yang lebih modern ialah penggunaan relay elektromagnetik yang lambat daripada komponen elektronik seperti tabung vakum atau transistor.
Teman Zuse, Schreyer, kemudian menulis tesis doktoral berjudul “Relay Tabung dan Teknik Switching-nya” (“The Tube Relay and the Techniques of Its Switching”) yang menggadang-gadang penggunaan tabung vakum untuk membuat komputer yang lebih canggih dan cepat. Namun, ketika Schreyer dan Zuse mengajukan proposal kepada Angkatan Darat Jerman pada 1942, para panglima mengatakan dengan yakin akan memenangi perang kurang dari dua tahun, periode yang dibutuhkan untuk merakit mesin semacam itu.27
Petinggi tentara Jerman lebih tertarik membuat senjata daripada komputer. Alhasil, Zuse ditarik dari pekerjaan mengembangkan komputer dan disuruh kembali ke teknik dirgantara. Pada 1943 sejumlah komputer dan desain Zuse hancur lebur saat Sekutu mengebom Berlin.
Zuse dan Stibitz, yang bekerja secara terpisah, sama-sama mengusulkan penggunaan relay untuk membuat sirkuit yang dapat mengolah komputasi biner. Bagaimana mereka sampai menelurkan ide ini pada saat bersamaan, padahal perang tentu mengisolasi kedua tim tersebut satu sama lain? Jawabannya, karena perkembangan teknologi dan teori membukakan jalan ke arah sana.
Sama seperti banyak inovator lain, Zuse dan Stibitz tidak asing dengan penggunaan relay pada sirkuit telepon. Maka, masuk akal untuk memanfaatkan teknologi itu dalam mengerjakan operasi biner matematika dan logika. Pada saat bersamaan, Shannon, yang juga mengenal baik sirkuit telepon, menyimpulkan bahwa sirkuit listrik bisa digunakan untuk mengerjakan operasi logika aljabar Boole. Ide bahwa sirkuit digital akan menjadi kunci bagi proses komputasi segera menjadi jelas bagi para peneliti di mana saja, bahkan di tempat terpencil seperti Iowa tengah.

JOHN VINCENT ATANASOFF
Jauh dari Zuse dan Stibitz, seorang penemu lain pun sibuk bereksperimen dengan sirkuit digital pada 1937. Dari ruang bawah tanah di Iowa, pria tersebut menciptakan inovasi historis berikutnya: mesin hitung yang sebagian menggunakan tabung vakum. Dalam banyak aspek, mesin itu sebenarnya kurang canggih dibandingkan yang lain.
Mesin tersebut tidak serbaguna, tidak bisa diprogram, terdiri atas sejumlah komponen mekanis bergerak yang lambat, dan—sekalipun secara teoretis seharusnya bisa berfungsi—kerjanya tidak andal. Walau begitu, John Vincent Atanasoff, yang dipanggil Vincent oleh istri dan teman-temannya, layak mendapat penghormatan sebagai pionir yang membuahkan komputer digital pertama dengan sebagian komponen berbasis elektronik. Dia memperoleh ilham untuk membuat mesin tersebut saat sedang menyetir malam-malam pada Desember 1937.28
Atanasoff lahir pada 1903. Dia sulung dari tujuh kakak-adik, anak imigran Bulgaria dan wanita keturunan salah satu keluarga yang paling lama tinggal di New England. Atanasoff senior bekerja sebagai insinyur di pembangkit listrik New Jersey yang dikelola oleh Thomas Edison, kemudian memindahkan keluarganya ke kota pedesaan Florida di sebelah selatan Tampa. Saat berusia 9 tahun, ketika membantu sang ayah menyambungkan listrik ke rumah mereka di Florida, Vincent diberi jangka sorong Dietzgen. “Jangka sorong itu makanan saya,” kenangnya.29
Sejak kanak-kanak, dia sudah serius belajar logaritma dengan ketekunan yang terkesan agak sinting. Atanasoff menceritakan kembali masa kecilnya dengan nada tulus, “Bisakah Anda bayangkan anak laki-laki 9 tahun, yang mula-mula maniak bisbol, mendadak berubah total gara-gara pengetahuan tersebut? Bisbol lantas menempati prioritas nyaris nol karena otak saya terlalu sibuk menekuri logaritma.”
Sepanjang musim panas, dia menghitung logaritma 5 berbasis e, kemudian, dibantu oleh ibunya (yang sempat menjadi guru Matematika), dia belajar kalkulus sewaktu masih di sekolah menengah pertama. Sang ayah mengajak Vincent ke pabrik fosfat tempatnya bekerja sebagai insinyur elektro untuk menunjukkan cara kerja generator. Vincent belia yang pendiam, kreatif, dan cemerlang menamatkan sekolah menengah atas dalam waktu dua tahun dengan nilai A semua. Padahal, jumlah mata pelajaran yang dia ambil dua kali lipat daripada murid-murid lain.
Di Universitas Florida dia kuliah teknik elektro dan gemar mengotak-atik ini itu dan sering menghabiskan waktu di lab mesin dan bengkel pengecoran milik universitas. Dia masih menggandrungi matematika dan saat tingkat satu pernah mempelajari pembuktian matematika dalam sistem biner. Kreatif dan percaya diri, dia lulus dengan indeks prestasi kumulatif tertinggi seangkatan.
Atanasoff menerima beasiswa untuk menempuh studi dan riset magister di bidang matematika dan fisika di Universitas Iowa dan, sekalipun belakangan diterima di Harvard, memutuskan untuk bertahan di Ames yang praktis merupakan kota pedalaman Amerika, yang lebih terkenal berkat produksi jagung daripada cendekiawannya.
Atanasoff kemudian melanjutkan ke program doktoral fisika di Universitas Wisconsin, meneliti polarisasi helium di medan listrik. Di sana, sama seperti para pelopor komputer lain, termasuk Babbage, dia ingin mencari cara supaya perhitungan matematika yang itu-itu saja dapat dikerjakan secara lebih praktis dan cepat. Terbetik di benaknya untuk menciptakan komputer. Sekembali ke Universitas Iowa pada 1930 sebagai asisten profesor, Atanasoff memutuskan bahwa gelar akademik di bidang teknik elektro, matematika, dan fisika telah cukup membekalinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Ada konsekuensi dari keputusan Atanasoff untuk tidak bertahan di Wisconsin atau pindah ke Harvard atau universitas riset besar yang setara. Di Universitas Iowa, Atanasoff satu-satunya yang bekerja untuk menciptakan kalkulator anyar. Dia memang produktif dalam menghasilkan ide-ide segar. Namun, di sekelilingnya tidak ada orang yang mampu memberikan masukan atau membantu memecahkan tantangan teoretis ataupun teknis.
Lain dengan sebagian besar inovator pada era digital, Atanasoff adalah penemu tunggal, memetik inspirasi selagi bermobil seorang diri dan berdiskusi dengan seorang mahasiswa pascasarjana yang menjadi asistennya. Akhirnya, kesendirian Atanasoff menjadi titik lemahnya.
Atanasoff mula-mula mempertimbangkan untuk membuat mesin analog; kegandrungan pada jangka sorong mengilhaminya untuk menciptakan semacam jangka sorong raksasa dari negatif film panjang. Namun, dia lantas menyadari perlu gulungan film beratus-ratus meter untuk memecahkan persamaan aljabar dengan akurasi sesuai kebutuhan. Atanasoff juga membuat alat yang dapat membentuk gundukan parafin sehingga bisa menghitung persamaan diferensial secara parsial. Keterbatasan alat-alat analog ini akhirnya mendorong Atanasoff untuk lebih fokus menjajaki pembuatan alat digital.
Kendala pertama yang dia pecahkan adalah penyimpanan angka di dalam mesin. Atanasoff menggunakan istilah memori untuk mendeskripsikan fitur ini. “Saat itu, saya hanya tahu sepintas mengenai karya Babbage dan tidak mengetahui dia menyebut konsep yang sama dengan istilah ‘simpanan’ .... Saya menyukai istilahnya dan barangkali, jika tahu, saya akan menggunakan istilah tersebut. Tetapi, saya juga menyukai istilah ‘memori’ karena analoginya dengan otak.”30
Atanasoff menelaah sejumlah alat yang mungkin bisa dijadikan perangkat memori: jarum mekanis, relay elektromagnetik, bahan magnetik kecil yang bisa dipolarisasi oleh arus listrik, tabung vakum, dan kondensor elektrik kecil. Yang kerjanya paling cepat adalah tabung vakum, tetapi harganya mahal. Jadi, Atanasoff memilih menggunakan kondensor—yang kini kita sebut kapasitor—yaitu komponen kecil dan tidak mahal yang bisa menyimpan muatan listrik, sekalipun hanya sebentar.
Keputusan tersebut dapat dipahami, tetapi mesin itu niscaya menjadi besar dan lambat karenanya. Kalaupun penjumlahan dan pengurangan dapat dikerjakan secara cepat berkat proses elektronis, proses penyimpanan dan pengambilan angka dari unit memori berjalan lambat, secepat laju perputaran silinder.
Begitu menetapkan komponen untuk unit memori, Atanasoff mengalihkan perhatian pada cara mengonstruksi unit aritmetika dan logika, yang dia sebut “mekanisme komputasi”. Atanasoff memutuskan unit tersebut mesti 100% elektronik; dengan kata lain menggunakan tabung vakum, sekalipun harganya mahal. Tabung-tabung itu akan berfungsi sebagai sakelar nyala-mati untuk menjalankan fungsi gerbang logika pada sirkuit yang bisa menjumlahkan, mengurangi, dan mengerjakan fungsi Boolean apa saja.
Keputusan itu lantas memunculkan jenis persoalan matematika teoretis sebagaimana yang sudah dia gemari semenjak kanak-kanak: sistem digitalnya mesti berbasis desimal, biner, ataukah yang lain? Sebagai maniak sistem bilangan, Atanasoff sempat menekuri banyak opsi.
“Basis seratus pernah dianggap menjanjikan,” tulis Atanasoff dalam makalah yang tidak diterbitkan. “Kalkulasi menunjukkan basis yang secara teoretis menghasilkan kecepatan perhitungan tertinggi adalah e, basis natural.”31 Namun, demi menyeimbangkan teori dengan terapan praktis, dia akhirnya memilih basis 2 alias sistem biner. Pada akhir 1937 basis biner dan bermacam ide lain berputar-putar di kepalanya, bagaikan keping-keping puzzle yang tidak mau “menyatu”.

 
 
George Stibitz (1904–1995) kira-kira pada 1945.

John Atanasoff (1903–1995) di Universitas Iowa kira-kira pada 1940.

Konrad Zuse (1910–1995) dengan komputer Z4 pada 1944.

Rekonstruksi komputer Atanasoff.


 
Atanasoff menggemari mobil; jika punya uang, dia bahkan akan membeli mobil baru tiap tahun dan, pada Desember 1937, dia membeli Ford baru bermesin V8 nan perkasa. Agar pikirannya santai, Atanasoff menyetir mobil itu malam-malam dan ternyata, perjalanan berkendara tersebut akan menjadi momen yang patut dicatat dalam sejarah komputer.

Suatu malam pada musim dingin 1937, sekujur tubuh saya serasa menderita karena kebingungan memecahkan persoalan mesin. Saya naik mobil dan lama menyetir dengan kecepatan tinggi supaya dapat mengendalikan emosi. Demikianlah kebiasaan saya pada beberapa mil pertama. Dengan berkonsentrasi pada kegiatan menyetir, emosi saya pun terkendali. Namun, malam itu saya luar biasa tersiksa dan terus menyetir sampai menyeberangi Sungai Mississippi ke Illinois. Saya sudah mengemudi sejauh 304 kilometer.32

Dia keluar dari jalan raya dan menepi di kedai minum pinggir jalan. Setidak-tidaknya di Illinois, beda dengan di Iowa, dia dapat membeli minuman keras. Atanasoff memesan bourbon dengan soda sesloki, lalu sesloki lagi. “Saya menyadari keresahan saya sudah berkurang dan saya pun kembali memikirkan mesin komputasi,” kenangnya. “Saya tidak tahu kenapa pikiran saya saat itu encer, padahal sebelumnya tidak. Namun, suasana entah kenapa terasa tenang, sejuk, dan nyaman.” Pelayan tidak menghiraukan dia sehingga Atanasoff dapat terus merenungkan persoalannya tanpa diganggu.33
Dia mencorat-coret idenya di serbet, kemudian mulai merunut sejumlah persoalan praktis. Yang paling penting ialah cara mengisi ulang muatan di dalam kondensor, yang niscaya kosong dalam waktu satu atau dua menit. Terbetik di benaknya untuk memasangkan beberapa kondensor itu ke sejumlah silinder yang berputar, kira-kira seukuran kaleng minuman ringan sehingga bersentuhan sekali sedetik dengan kawat-kawat sehalus sikat dan terisi ulang muatannya. “Malam ini di kedai minum, pikiran saya mencetuskan kemungkinan dihasilkannya memori regeneratif,” Atanasoff menyatakan.
“Saya menyebutnya ‘sentilan’ saat itu.” Seiring tiap putaran silinder, kawat-kawat akan menyentil memori kondensor dan, bila perlu, mengambil data dari kondensor dan menyimpan data baru. Atanasoff juga menggagas rancangan untuk mengambil angka-angka dari dua silinder kondensor yang berlainan, kemudian menggunakan sirkuit tabung vakum untuk menjumlahkan atau mengurangi kedua angka tersebut dan menyimpan hasilnya di dalam memori. Setelah beberapa jam mereka-reka semuanya, kenang Atanasoff, “Saya masuk ke mobil dan menyetir pulang dengan laju lebih lambat.”34
Mei 1939, Atanasoff siap memulai pembuatan purwarupa. Dia memerlukan seorang asisten, lebih diutamakan mahasiswa pascasarjana yang punya pengalaman di bidang rekayasa. “Saya sudah mendapatkan calon yang tepat,” kawannya sefakultas memberi tahu Atanasoff suatu hari. Demikianlah, dia pun menjalin kemitraan dengan sesama putra insinyur elektro autodidak, Clifford Berry.35
Mesin Atanasoff dirancang dan diprogram untuk satu tujuan: menyelesaikan lebih dari satu persamaan linear secara simultan. Mesin tersebut dapat memproses maksimal 29 variabel. Di tiap langkahnya, mesin Atanasoff akan memproses dua persamaan dan mengeliminasi satu variabel, lalu mencetak hasilnya di kartu berlubang biner seukuran 8 × 11 inci. Kartu-kartu yang memuat persamaan lebih sederhana ini kemudian dimasukkan kembali ke mesin untuk diproses, guna mengurangi satu lagi variabelnya.
Keseluruhan proses itu memang memakan waktu. Jika kerjanya lancar, waktu yang dibutuhkan mesin untuk menyelesaikan satu set soal yang terdiri atas 29 persamaan lebih-kurang satu minggu. Namun, perlu dicatat bahwa manusia yang mengerjakan proses serupa dengan kalkulator meja membutuhkan setidaknya sepuluh minggu.
Atanasoff memperagakan purwarupanya pada penghujung 1939. Berharap bisa memperoleh dana untuk merakit mesin utuh, dia mengetik proposal 35 halaman dan menggunakan kertas karbon untuk membuat beberapa salinan. “Tujuan utama makalah ini ialah menyuguhkan deskripsi dan uraian tentang mesin komputasi yang dirancang khususnya untuk memecahkan persamaan aljabar linear yang panjang,” demikian awal proposalnya.
Seolah menepis kritik bahwa kegunaan tersebut terlalu terbatas untuk mesin sebesar itu, Atanasoff secara spesifik menyebutkan persoalan-persoalan yang pemecahannya membutuhkan persamaan aljabar linear: “pencocokan kurva ... persoalan vibrasional ... analisis sirkuit listrik ... struktur elastis.”
Dia menutup proposal dengan menjabarkan rencana pengeluaran secara detail, yang nilai totalnya $5.330. Dana itu akhirnya dia peroleh dari yayasan swasta.36 Lalu, dia mengirimkan satu kopi karbon proposalnya kepada seorang pengacara paten di Chicago yang dipekerjakan Universitas Iowa. Pengacara ini ternyata tidak bertanggung jawab. Baru terungkap belakangan, gara-gara sejumlah kontroversi legal dan historis yang berlarut-larut, pengacara tersebut lalai mendaftarkan paten kliennya.
September 1942, model mesin Atanasoff sudah hampir rampung. Ukurannya sebesar meja dan terdiri atas hampir tiga ratus tabung vakum. Namun, terdapat satu masalah: mekanisme penghasil bunga api untuk melubangi kartu tidak kunjung berhasil diciptakan. Karena tidak ada tim beranggotakan ahli mesin dan insinyur mumpuni di Universitas Iowa, Atanasoff tidak bisa minta tolong kepada siapa-siapa.
Saat itulah kerjanya terhenti. Atanasoff ditarik ke Angkatan Laut dan diutus ke laboratorium senjata di Washington, D.C. Di sana dia mengerjakan ranjau akustik dan belakangan menghadiri tes bom atom di Atol Bikini. Sekalipun kemudian mengalihkan fokus dari komputer ke survei rekayasa untuk penggunaan militer, Atanasoff tetap aktif sebagai penemu, bahkan memperoleh tiga puluh paten, salah satunya adalah alat penyapu ranjau darat. Walau begitu, pengacara Atanasoff yang berbasis di Chicago tidak pernah mengajukan paten untuk komputernya.
Komputer Atanasoff bisa saja menjadi terobosan penting. Namun, mesin tersebut ditakdirkan masuk tong sampah, baik dalam arti kiasan maupun harfiah. Mesin yang sudah nyaris berfungsi disimpan di gudang bawah tanah gedung fisika Iowa Sate University dan, beberapa tahun berselang, sepertinya tak seorang pun ingat apa kegunaan mesin tersebut. Ketika ruang itu dibutuhkan untuk penggunaan lain pada 1948, seorang mahasiswa pascasarjana memeretelinya, tidak mengerti itu mesin apa, dan membuang sebagian besar komponennya.37 Bahkan, dalam berbagai kronik sejarah yang ditulis oleh para periwayat awal era komputer, nama Atanasoff tidak banyak disebut.
Kalaupun mesin itu bisa bekerja seperti seharusnya, tetap saja terdapat keterbatasan. Sirkuit tabung vakum membuat perhitungan secepat kilat, tetapi unit memori yang berputar secara mekanis sangat memperlambat proses kerjanya. Begitu pula pelubangan kartu dengan cara dibakar. Supaya kerjanya betul-betul cepat, komponen komputer modern harus elektronik seluruhnya, bukan cuma sebagian. Selain itu, model Atanasoff tidak bisa diprogram, tetapi hanya dirancang untuk mengerjakan satu hal: menyelesaikan persamaan linear.
Daya tarik Atanasoff sebagai penemu ialah karena mengotak-atik kreasinya sendirian di ruang bawah tanah, hanya ditemani oleh rekan mudanya, Clifford Berry. Namun, kisahnya justru membuktikan bahwa amat sukar untuk menjadi penemu yang seperti itu. Sama seperti Babbage, yang juga membanting tulang di bengkel kecilnya sendiri hanya dengan satu asisten, Atanasoff gagal membuat mesin yang berfungsi seutuhnya.
Andaikan dia bekerja di Bell Labs, di tengah banyak teknisi, insinyur, serta mekanik, atau di universitas riset besar, sangat mungkin akan ditemukan solusi untuk pembaca kartu dan lain-lain. Selain itu, kepergian Atanasoff ke Angkatan Laut pada 1942 tentu takkan menjadi kendala karena masih ada tim yang bisa memoles kreasinya sampai rampung atau paling tidak mengingat fungsi mesin tersebut.
Penyebab Atanasoff tidak dilupakan dalam sejarah pengembangan komputer sesungguhnya ironis, yakni peristiwa yang kelak membuat dia dongkol. Peristiwa Juni 1941 itu berupa kunjungan dari orang yang gemar jalan-jalan, meminjam ide, dan bekerja sama dalam tim daripada banting tulang sambil menyepi. Kunjungan John Mauchly ke Iowa nantinya menjadi titik tolak gugatan hukum yang berlarut-larut, tuduhan getir, dan perang narasi historis. Namun, kunjungan itu pula yang menyelamatkan Atanasoff dari kuburan sejarah dan mendorong perkembangan komputer ke depan.

JOHN MAUCHLY
Pada awal abad ke-20 Amerika Serikat mengembangkan, sama seperti Britania sebelumnya, sekelompok ilmuwan kosmopolitan yang rajin berkumpul di gedung-gedung berdinding kayu dan bangunan eksklusif lain, tempat mereka gemar berbagi ide, mendengarkan kuliah, serta berkolaborasi dalam berbagai proyek. Di lingkungan itulah John Mauchly dibesarkan.
Ayahnya seorang fisikawan sekaligus kepala riset di Departemen Magnetisme Bumi di Carnegie Institution, yang berbasis di Washington. Saat itu yayasan tersebut memegang peran terdepan di AS dalam mendorong pengembangan dan pertukaran riset. Keahlian Mauchly senior ialah merekam kondisi listrik atmosfer dan mengaitkannya dengan cuaca, proses kolaboratif yang membutuhkan koordinasi peneliti dari Greenland sampai Peru.38
Semasa tumbuh besar di Chevy Chase, daerah suburban Washington, John sering bersinggungan dengan komunitas ilmiah penghuni area tersebut. “Semua ilmuwan di Washington sepertinya tinggal di Chevy Chase,” katanya menyombong. “Direktur Divisi Berat dan Ukuran dari Biro Standardisasi tinggal di dekat kami. Begitu pula Direktur Divisi Radio.” Kepala Smithsonian Institution juga tetangganya.
Pada akhir pekan John kerap mengoperasikan mesin hitung untuk membantu ayahnya mengerjakan kalkulasi dan lambat laun tumbuhlah ketertarikannya pada meteorologi berbasis data. Dia juga menggandrungi sirkuit listrik. Bersama teman-teman sebaya dari lingkungan tempat tinggal yang sama, John menyambungkan rumah mereka dengan kabel interkom dan membuat alat kendali jarak jauh untuk meluncurkan petasan di pesta-pesta. “Sewaktu saya memencet tombol, petasan akan terlontar sejauh lima belas meter.” Pada usia 14 tahun dia sudah mendapat uang sendiri dengan membantu para tetangga memperbaiki kabel yang rusak di rumah mereka.39
Semasa kuliah sarjana di Universitas Johns Hopkins, Mauchly mendaftar ke program untuk mahasiswa sarjana berprestasi supaya bisa langsung melompat ke program PhD Fisika. Topik tesisnya mengenai spektroskop sinar. Kajian itu mengombinasikan keindahan, eksperimentasi, dan teori. “Kita harus tahu teori untuk memahami apa itu spektrum cahaya, tetapi kita juga membutuhkan foto eksperimental spektrum itu. Lalu, siapa yang akan memfotokannya untuk kita?” ujarnya. “Kita sendiri tentu saja. Jadi, saya belajar meniup kaca, membuat vakum, mencari kebocoran, dan sebagainya.”40
Mauchly memiliki kepribadian supel dan kemampuan (serta hasrat) luar biasa untuk menjelaskan ini itu. Maka, wajar jika dia akhirnya menjadi profesor. Jabatan semacam itu jarang bisa didapat pada zaman Depresi Besar. Namun, dia berhasil memperoleh pekerjaan sebagai dosen di Ursinus College, yang berjarak satu jam perjalanan bermobil di barat laut Philadelphia. “Sayalah satu-satunya orang yang mengajar fisika di sana,” katanya.41
Satu aspek esensial kepribadian Mauchly ialah kegemarannya berbagi ide, biasanya sambil bergaya dramatis dan menyeringai lebar. Alhasil, dia teramat populer sebagai dosen. “Dia suka sekali bicara dan banyak idenya yang tumbuh berkat percakapan dua arah,” kenang seorang kolega. “John menggandrungi ajang sosial, suka menyantap makanan enak, dan mengecap minuman keras bermutu. Dia menyukai kaum perempuan, anak-anak muda yang menarik, mereka yang pandai, dan orang-orang yang tidak biasa.”42 Menanyai Mauchly sama saja dengan mencari-cari masalah. Sebab, dia bisa memberikan jawaban panjang-lebar nan tulus dan menggebu-gebu mengenai topik apa saja, dari teater dan sastra hingga fisika.
Di depan kelas dia berlagak bak seniman panggung. Untuk menjelaskan momentum, dia berputar-putar sambil merentangkan tangan dan kemudian menekuk lengan ke dalam; untuk menjabarkan konsep aksi-reaksi, dia berdiri di atas skateboard buatan sendiri dan meluncur ke depan-belakang, trik yang suatu waktu menyebabkannya jatuh dan patah lengan.
Orang-orang rela menyetir bermil-mil demi mendengarkan kuliah akhir semester pra-Natal Mauchly, yang lokasinya dipindahkan oleh perguruan tinggi ke auditorium terbesar agar muat menampung seluruh pengunjung. Dalam kuliah tersebut, Mauchly menjelaskan bagaimana spektografi dan metode fisika lain dapat dimanfaatkan untuk mencari tahu isi paket tanpa membukanya. Menurut sang istri, “Dia mengukur, menimbang, membenamkan bungkusan ke dalam air, menusuk-nusuknya dengan jarum panjang.”43
Merefleksikan kekaguman pada meteorologi sejak kanak-kanak, fokus riset Mauchly pada awal 1930-an tentang keterkaitan (jika ada) antara pola cuaca dengan badai matahari, bintik matahari, dan rotasi matahari. Para ilmuwan di Carnegie Institution dan Biro Cuaca AS memberi Mauchly dua puluh tahun data harian dari dua ratus stasiun pemantau cuaca, dan dia pun menyingsingkan lengan baju untuk menghitung korelasi data tersebut.
Untungnya (mengingat saat itu zaman Depresi Besar), Mauchly bisa membeli kalkulator meja secara murah dari bank-bank yang terimbas krisis dan mempekerjakan sekelompok orang muda, lewat Badan Administrasi Pemuda Nasional—salah satu badan yang dibentuk oleh Pemerintah AS demi mengatasi dampak krisis—untuk melakukan komputasi dengan bayaran lima puluh sen per jam.44
Sama seperti orang lain yang harus mengerjakan perhitungan berulang yang menjemukan, Mauchly bercita-cita menciptakan mesin untuk menunaikan tugas itu. Dengan gaya yang supel, Mauchly mencari tahu apa saja yang sedang dikerjakan oleh orang lain dan, sejalan dengan tradisi para penemu hebat, merajut aneka ide menjadi satu. Di stan IBM dalam Pameran Dunia yang berlangsung pada 1939 di New York, dia melihat kalkulator listrik yang menggunakan kartu berlubang. Namun, dia menyadari penggunaan kartu menyebabkan kerja mesin terlampau lamban, apalagi jika data yang mesti diolah berjumlah sangat besar sebagaimana yang dia punyai.
Mauchly juga melihat mesin enkripsi yang menggunakan tabung vakum untuk menyandikan pesan. Mungkinkah tabung tersebut digunakan dalam sirkuit logika jenis lain? Mauchly mengajak para mahasiswanya berkaryawisata ke Universitas Swarthmore untuk melihat alat hitung yang menggunakan sirkuit pengukur ionisasi sinar kosmis yang memiliki komponen berupa tabung vakum.45 Dia juga mengambil kursus malam di bidang elektronika dan mulai bereksperimen dengan sirkuit tabung vakum yang dirakit sendiri untuk mencari tahu fungsi-fungsi apa saja yang dapat dijalankan sirkuit semacam itu.
Dalam konferensi di Universitas Dartmouth pada September 1940, Mauchly menyaksikan George Stibitz mendemonstrasikan Kalkulator Bilangan Kompleks yang dirakit di Bell Labs. Peragaan itu mencengangkan karena komputer Stibitz berada di gedung Bell di Manhattan, mentransmisikan data lewat kabel telepon. Itulah komputer pertama yang dioperasikan dari jarak jauh. Selama tiga jam komputer tersebut memecahkan persoalan-persoalan yang diajukan oleh hadirin, masing-masing memakan waktu sekitar semenit.
Salah seorang yang hadir dalam demonstrasi itu adalah Norbert Wiener, pionir sistem informasi, yang berusaha menjegal mesin Stibitz dengan meminta hasil dari pembagian dengan nol. Mesin tersebut ternyata tidak terjebak. Juga hadir John von Neumann, orang Hongaria serbabisa yang akan segera memainkan peran penting bersama Mauchly dalam pengembangan komputer.46
Ketika Mauchly akhirnya memutuskan merakit komputer dengan tabung vakum, sama seperti inovator kelas satu yang lain, dia memanfaatkan informasi yang diperoleh dari seluruh perjalanannya. Karena Ursinus tidak punya anggaran riset, Mauchly membeli tabung dengan uang sendiri dan bahkan berusaha meminta sumbangan dari perusahaan pembuatnya. Dia menyurati Supreme Instruments Corp untuk meminta komponen dan menyatakan, “Saya bermaksud membuat mesin hitung listrik.”47
Mauchly mendapati dalam kunjungan ke RCA bahwa tabung neon bisa pula digunakan sebagai sakelar; kerjanya memang lebih lambat, tetapi harganya lebih murah, dan dia kemudian membeli persediaan tabung neon seharga delapan sen per unit. “Sebelum November 1940,” istrinya kelak mengatakan, “Mauchly sukses menguji sejumlah komponen komputer rekaan dan sudah yakin alat digital andal berbiaya murah yang hanya terdiri atas elemen elektronik memang mungkin dibuat.” Sang istri bersikeras hal tersebut sudah terjadi sebelum Mauchly mendengar tentang Atanasoff.48
Pada akhir 1940 Mauchly memberi tahu beberapa teman, berbekalkan semua informasi yang sudah terkumpul, bahwa dia berharap bisa membuat komputer elektronik digital. “Kami tengah mempertimbangkan pembuatan mesin komputasi listrik,” tulisnya November tahun itu dalam surat untuk seorang meteorolog yang pernah menjadi rekan kerjanya. “Mesin itu nantinya bisa mengerjakan operasi dalam waktu 1/200 detik, menggunakan relay berupa tabung vakum.”49
Walaupun suka bekerja sama dan menjaring informasi dari banyak orang, Mauchly mulai menunjukkan hasrat kompetitif untuk menjadi orang pertama yang membuat komputer jenis baru ini. Dalam surat untuk mantan mahasiswanya pada Desember, Mauchly mengatakan, “Ini masih rahasia, tetapi dalam waktu kira-kira setahun lagi, saya berharap bisa merakit dan merampungkan satu mesin hitung elektronik .... Tolong jangan bilang siapa-siapa karena saya ingin menjadi ‘yang pertama’ meski tahun ini bahan-bahan belum terkumpul.”50
Bulan itu, Desember 1940, Mauchly kebetulan bertemu dengan Atanasoff. Bergulirlah rangkaian peristiwa yang disusul perselisihan bertahun-tahun gara-gara kecenderungan Mauchly mengumpulkan informasi dari beragam sumber dan hasratnya menjadi “yang pertama”. Atanasoff menghadiri rapat di Universitas Pennsylvania dan dia menyimak sesi ketika Mauchly mengutarakan keinginan membuat mesin untuk menganalisis data cuaca.
Selepas acara, Atanasoff menyampaikan kepada Mauchly bahwa dia tengah merakit kalkulator elektronik di Universitas Iowa. Mauchly menuliskan di buklet konferensi bahwa Atanasoff mengklaim telah merancang mesin yang dapat memproses serta menyimpan data dengan biaya hanya $2 per digit. (Mesin Atanasoff bisa mengolah tiga ribu digit dan memakan biaya kira-kira $6.000.) Mauchly terpesona. Dia memperkirakan bahwa pembuatan komputer tabung vakum mencapai hampir $13 per digit. Mauchly mengatakan dia ingin sekali melihat mesin tersebut dan Atanasoff pun mengundangnya ke Iowa.
Sepanjang paruh pertama 1941, Mauchly berkorespondensi dengan Atanasoff dan terus mengagumi murahnya ongkos pembuatan mesin tersebut. “Kurang dari $2 per digit kedengarannya nyaris mustahil, tetapi jika saya tidak salah paham, itulah yang Anda klaim,” tulis Mauchly. “Saran Anda agar saya datang ke Iowa terkesan fantastis pada mulanya, tetapi saya sekarang antusias akan wacana itu.” Atanasoff mendesak Mauchly agar menerima undangannya. “Guna memperbesar motivasi Anda untuk berkunjung, saya berjanji akan menjelaskan perkara $2 per digit itu,” kata Atanasoff.51

KUNJUNGAN MAUCHLY KE BENGKEL ATANASOFF
Kunjungan bersejarah itu berlangsung empat hari pada Juni 1941.52 Mauchly menyetir dari Washington dan mengajak serta anak lelakinya yang berumur 6 tahun, Jimmy. Mereka tiba larut malam pada Jumat, 13 Juni, mengejutkan istri Atanasoff, Lura, yang belum menyiapkan kamar tamu. “Saya harus melesat ke sana kemari, naik ke loteng, mengambilkan bantal tambahan, dan lain-lain,” kenangnya kelak.53 Dia juga membuatkan mereka makan malam karena keluarga Mauchly tiba dalam keadaan lapar.
Suami istri Atanasoff mempunyai tiga anak, tetapi Mauchly sepertinya mengasumsikan Lura akan mengurus Jimmy selama kunjungan tersebut. Dia memang mau mengurus si bocah meski dengan berat hati. Yang jelas, Lura sontak tidak menyukai Mauchly. “Menurutku, dia bukan orang yang jujur,” wanita tersebut sempat berkata demikian kepada suaminya.54
Atanasoff antusias memamerkan mesinnya yang baru setengah jadi, sekalipun sang istri khawatir dia terlalu mudah percaya. “Sebelum kreasimu dipatenkan, kau mesti hati-hati,” Lura memperingatkan. Namun, Atanasoff tetap mengajak Mauchly, beserta Lura dan anak-anak, ke lantai bawah tanah gedung fisika keesokan harinya dan dengan bangga menyibakkan kain penutup untuk menunjukkan hasil rakitannya dengan Berry.
Mauchly terkesan akan beberapa hal. Penggunaan kondensor di unit memori adalah solusi cerdik dan hemat biaya, begitu pula penggunaan silinder berputar untuk mengisi ulang muatan tiap detik. Mauchly sendiri sempat mempertimbangkan untuk menggunakan kondensor alih-alih tabung vakum yang lebih mahal, dan dia mengapresiasi metode “sentil memori” Atanasoff. Itulah rahasia di balik biaya pembuatan mesin yang hanya $2 per digit.
Setelah membaca 35 halaman memo Atanasoff yang menjabarkan mesin itu secara detail, dan membuat sejumlah catatan, Mauchly bertanya apakah dia boleh membawa pulang satu salinan karbon. Permintaan itu ditampik Atanasoff karena dia tidak punya kopian lebih (saat itu belum ada mesin fotokopi) dan juga karena waswas Mauchly mengorek terlalu banyak informasi.55
Secara umum, Mauchly sejatinya tidak banyak terilhami oleh apa yang dilihatnya di Ames—setidaknya demikianlah dia kelak bersikeras. Kelemahan utama mesin Atanasoff ialah komponennya tidak 100% elektronik, tetapi mengandalkan tabung berputar sebagai penyimpan memori. Biaya memang bisa ditekan, tetapi komponen mekanis menjadikan mesin tersebut sangat lambat.
“Saya berpendapat mesinnya bagus, sedangkan sakelar mekanis berupa komutator berputar memang bentuk solusi yang cerdik. Tetapi, mesin itu sama sekali tidak sehebat yang saya bayangkan,” kenang Mauchly. “Alhasil, saya tidak lagi tertarik akan detail-detailnya.” Kelak dalam kesaksian di pengadilan mengenai validitas patennya, Mauchly menyebut bahwa karakter semimekanis mesin Atanasoff “teramat mengecewakan” dan menepis mesin itu sebagai “alat mekanis yang kebetulan saja menggunakan segelintir tabung elektronik untuk operasinya.”56
Hal kedua yang membuat Mauchly kecewa ialah mesin Atanasoff didesain untuk satu tujuan saja dan tidak dapat diprogram ataupun dimodifikasi guna mengerjakan tugas lain: “Dia semata-mata merancang mesin itu untuk satu tujuan, yaitu memecahkan persamaan linear.”57
Itu sebabnya, alih-alih membawa pulang terobosan besar mengenai cara pembuatan komputer dari Iowa, Mauchly semata mengantongi ide kecil untuk ditambahkan ke sekeranjang informasi yang sudah dikumpulkan, secara sadar dan tidak, dari perjalanannya ke berbagai konferensi, perguruan tinggi, serta ekshibisi. “Saya datang ke Iowa dengan sikap yang sama seperti ketika mendatangi Pameran Dunia dan tempat-tempat lain,” Mauchly bersaksi. “Adakah sesuatu di sini yang bisa bermanfaat untuk membantu komputasi saya atau orang lain?”58
Sebagaimana kebanyakan orang, Mauchly memperoleh ilham dari aneka pengalaman, percakapan, dan observasi—dari Swarthmore, Dartmouth, Bell Labs, RCA, Pameran Dunia, dan Universitas Iowa, dalam kasus Mauchly—yang kemudian dikombinasikan sedemikian rupa menjadi ide-ide yang dia anggap sebagai kreasinya sendiri. “Ide baru muncul tiba-tiba secara intuitif,” Einstein pernah berkata, “tetapi intuisi semata-mata pengalaman intelektual terdahulu yang telah kita himpun.”
Ketika orang-orang mengambil ide dari banyak sumber dan menyatukannya, lumrah apabila mereka merasa ide itu murni ciptaannya sendiri—dan memang benar demikian. Semua ide terlahir lewat proses seperti itu. Alhasil, Mauchly menganggap intuisi dan pemikiran mengenai cara membuat komputer adalah anak kandung intelektualnya, bukan sekantong ide yang dia curi dari orang lain. Sekalipun fakta hukum kelak berkata lain, tidak salah apabila Mauchly merasa dirinya penggagas idenya sendiri. Memang seperti itulah proses kreatif—kalaupun bukan proses paten—berlangsung.
Berbeda dengan Atanasoff, Mauchly memiliki kesempatan dan kecenderungan bawaan untuk berkolaborasi dengan tim yang anggotanya mempunyai beragam bakat. Hasilnya, daripada memproduksi mesin yang kurang andal dan ditelantarkan begitu saja dalam ruang bawah tanah, Mauchly dan tim tercatat dalam sejarah sebagai penemu komputer elektronik serbaguna pertama di dunia.
Saat bersiap-siap meninggalkan Iowa, Mauchly memperoleh kabar menggembirakan. Dia diterima untuk mengikuti kuliah elektronika di Universitas Pennsylvania, satu dari banyak program di sepenjuru AS yang dibuka berkat kucuran anggaran darurat dari Departeman Perang. Inilah kesempatan untuk mempelajari penggunaan tabung vakum dalam sirkuit elektronik sebagai—Mauchly sekarang yakin—solusi terbaik untuk membuat komputer. Keberadaan program tersebut juga menunjukkan arti penting pihak militer dalam mendorong inovasi pada era digital.
Sepanjang kuliah sepuluh minggu pada musim panas 1941, Mauchly berpeluang menggunakan salah satu versi Differential Analyzer kreasi MIT, komputer analog yang dirancang oleh Vannevar Bush. Pengalaman tersebut memperbesar minatnya untuk merakit komputer sendiri. Berkat pengalaman itu pula Mauchly menyadari Universitas Pennsylvania punya sumber daya yang jauh lebih memadai ketimbang Ursinus. Alhasil, dia kegirangan ketika, pada akhir musim panas, perguruan tinggi tersebut menawarinya menjadi pengajar di sana.
Mauchly menyampaikan kabar gembira itu lewat surat kepada Atanasoff. Surat itu juga memuat rencana samar-samar yang menggelisahkan sang profesor Iowa State. “Macam-macam ide mengenai sirkuit untuk komputasi telah tebersit di benak saya baru-baru ini. Sebagian ide tersebut praktis merupakan hibridasi, perpaduan dari metode Anda dengan metode-metode lain, sedangkan sebagian lagi tidak ada mirip-miripnya dengan mesin Anda,” tulis Mauchly dengan jujur. “Pertanyaan saya, apakah Anda pribadi keberatan jika saya membuat komputer yang beberapa fiturnya sama dengan fitur mesin Anda?”59 Dari surat ini saja, ataupun berdasarkan penjelasan, deposisi, serta kesaksian bertahun-tahun mendatang, sulit menentukan apakah redaksional kalimat Mauchly yang terkesan polos itu memang tulus atau dibuat-buat.
Intinya, surat tersebut membuat marah Atanasoff, yang masih belum berhasil menggerakkan pengacaranya untuk mendaftarkan klaim paten barang satu pun. Dalam beberapa hari dia menjawab surat Mauchly dengan nada agak ketus, “Pengacara telah menekankan bahwa penting untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi mengenai alat kami sebelum permohonan paten didaftarkan. Proses pendaftaran semestinya tidak lama. Tentu saja saya tidak keberatan memberi tahu Anda tentang alat kami. Namun, sebelum kami memperoleh paten, detail-detail tentang alat itu belum boleh kami kemukakan kepada publik.”60 Ajaibnya, surat Mauchly tersebut tidak juga mendorong Atanasoff ataupun pengacaranya untuk segera mengajukan paten.
Pada musim gugur 1941 Mauchly maju terus untuk mendesain komputernya sendiri. Seperti yang Mauchly akui dalam surat untuk Atanasoff, ide pembuatan komputer itu berasal dari beraneka sumber dan berbeda sekali dengan mesin buatan Atanasoff.
Selagi mengikuti kuliah di Universitas Pennsylvania musim panas sebelumnya, Mauchly bertemu mitra yang tepat untuk bahu-membahu dengannya dalam mewujudkan mesin tersebut. Mitra ini mahasiswa pascasarjana yang perfeksionis dan menggilai rekayasa yang presisi. Saking banyak tahu mengenai elektronika, dia mengemban tugas sebagai instruktur lab Mauchly sekalipun usianya 12 tahun lebih muda (umur pria tersebut baru 22 tahun) dan belum punya gelar PhD.


Howard Aiken (1900–1973) di Harvard pada 1945.

J. Presper Eckert (1919–1995) kira-kira pada 1945.

John Mauchly (1907–1980) kira-kira pada 1945.

Eckert (menyentuh mesin), Mauchly
 (di dekat pilar), Jean Jennings
 (di belakang), dan Herman Goldstine
 (di dekat Jennings) dengan ENIAC pada 1946.


J. PRESPER ECKERT
John Adam Presper Eckert Jr., yang dikenal secara formal sebagai J. Presper Eckert dan secara informal sebagai Pres, adalah anak tunggal pengembang properti kaya raya dari Philadelphia.61 Salah seorang kakek buyutnya, Thomas Mills, menciptakan mesin pembuat permen jeli air asin di Atlantic City dan, yang sama pentingnya, mendirikan perusahaan untuk memproduksi serta menjual permen tersebut. Semasa kanak-kanak, Eckert diantar oleh sopir keluarga ke sekolah swasta William Penn, yang didirikan pada 1689.
Akan tetapi, kesuksesan dia buah dari bakatnya sendiri, bukan karena status sebagai anak orang kaya. Dia memenangi lomba sains sekota sewaktu berusia 12 tahun berkat sistem pemandu kapal model yang dia buat menggunakan magnet serta reostat, sedangkan pada usia 14 tahun dia secara inovatif memanfaatkan listrik di rumah—menggantikan baterai yang sering bermasalah—untuk memberdayakan sistem interkom di salah satu bangunan milik ayahnya.62
Di sekolah menengah atas Eckert memukau para teman sekelas dengan pelbagai temuan dan dia memperoleh uang dengan merakit radio, amplifier, serta sound system. Philadelphia, kotanya Benjamin Franklin, saat itu adalah sentra elektronika terkemuka dan Eckert banyak melewatkan waktu di laboratorium riset Philo Farnsworth, salah seorang penemu televisi.
Kendati dia diterima di MIT dan ingin kuliah di sana, orangtuanya tidak ingin dia pergi. Pura-pura kesulitan keuangan gara-gara Depresi Besar, mereka mendesak Eckert kuliah di Universitas Pennsylvania saja dan tinggal di rumah. Dia menurut, tetapi membangkang keinginan orangtuanya untuk kuliah bisnis. Eckert justru mendaftarkan diri ke Moore School of Electrical Engineering di Universitas Pennsylvania karena menurutnya teknik elektro lebih menarik.
Reputasi sosial Eckert di Universitas Pennsylvania terdongkrak berkat kreasi yang dia namai “Osculometer” (dari bahasa Latin yang berarti ‘mulut’). Konon alat ini bisa mengukur elektrisitas hasrat dan asmara dari sebuah ciuman. Setiap pasangan diminta mencengkeram pegangan alat dan kemudian berciuman, sentuhan bibir mereka akan menutup rangkaian listrik. Sederet bohlam kemudian menyala, sedangkan tujuan utamanya ialah berciuman sedemikian rupa agar kesepuluh bohlam menyala dan megafon berbunyi. Para kontestan yang pandai tahu bahwa ciuman basah dan telapak tangan berkeringat akan meningkatkan konduktivitas sirkuit.63
Eckert juga menciptakan alat yang menggunakan metode modulasi cahaya untuk merekam bunyi di film, yang patennya dia peroleh sewaktu masih mahasiswa strata satu berumur 21 tahun.64
Presper Eckert memiliki sejumlah kebiasaan ganjil. Energi melimpah menyebabkannya tidak bisa diam. Dia sering mondar-mandir di dalam ruangan, menggigiti kuku, berjingkrak-jingkrak, dan sesekali malah berpikir sambil berdiri di atas meja. Dia mengenakan rantai jam saku yang tidak dikaitkan ke jam dan kerap memuntir rantai dengan jarinya seperti sedang menghitung rosario. Wataknya temperamental sehingga terkadang meledak-ledak. Namun, kemarahannya dapat surut dalam sekejap dan digantikan oleh sikap menawan.
Eckert ketularan sifat perfeksionis dari sang ayah, yang kerap berkeliling situs konstruksi sambil membawa sekotak besar krayon untuk mengguratkan instruksi, menggunakan warna yang berlainan untuk mengindikasikan pekerja mana yang bertanggung jawab. “Ayah saya perfeksionis dan gemar memastikan bahwa pekerjaan kami sudah tepat,” katanya. “Tetapi, saking memesonanya dia, justru orang-orang yang berlomba-lomba untuk mengerjakan instruksinya.”
Sebagai seseorang yang berjiwa insinyur tulen, Eckert merasa bahwa orang seperti dirinya diperlukan untuk melengkapi pekerjaan fisikawan seperti Mauchly. “Pekerjaan fisikawan mencari kebenaran,” Eckert belakangan berkata. “Pekerjaan insinyur menemukan solusi praktis.”65
ENIAC
Perang bisa memobilisasi sains. Selama berabad-abad, sejak bangsa Yunani kuno membuat pelontar proyektil dan Leonardo da Vinci mengabdi sebagai insinyur militer Cesare Borgia, kebutuhan perang kerap memicu kemajuan di bidang teknologi. Tidak terkecuali pada pertengahan abad ke-20. Banyak raihan teknologi penting pada era itu—komputer, tenaga atom, radar, dan Internet—merupakan kreasi militer.
Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II pada Desember 1941 menjadi pemicu keluarnya dana untuk mesin Mauchly dan Eckert. Universitas Pennsylvania dan Departemen Persenjataan Angkatan Darat AS di Lapangan Uji Coba Aberdeen telah ditugasi memproduksi buklet petunjuk pengesetan sudut tembakan untuk artileri yang akan dikirimkan ke Eropa. Supaya bidikannya akurat, penembak senjata mesti mengacu pada tabel yang memuat ratusan faktor, antara lain suhu, kelembapan, kecepatan angin, ketinggian, serta jenis bubuk mesiu.
Dalam rangka menyusun tabel untuk satu kategori proyektil yang ditembakkan satu jenis senjata saja, perlu perhitungan persamaan diferensial berdasarkan tiga ribu data lintasan. Perhitungan tersebut kerap dikerjakan oleh Differential Analyzer, yang diciptakan di MIT oleh Vannevar Bush. Kalkulasi mesin dikombinasikan dengan pekerjaan lebih dari 170 orang, kebanyakan perempuan, itu disebut sebagai “komputer”.
Orang-orang ini menjajal perhitungan dengan cara menekan tuts dan menggerakkan engkol mesin penjumlahan. Para perempuan yang bergelar akademik di bidang matematika direkrut dari sepenjuru negeri. Namun, sumber daya manusia yang demikian banyak dan mesin secanggih itu hanya mampu merampungkan satu tabel tembakan dalam waktu sebulan lebih. Pada musim panas 1942 jelaslah bahwa produksi tabel semakin molor dari perkiraan, menyebabkan sebagian artileri Amerika tidak efektif di lapangan.
Pada Agustus itu Mauchly menulis memo berisi usulan untuk membantu Angkatan Darat mengatasi tantangan tersebut. Memo ini akan mengubah perkembangan bidang komputasi. Memo berjudul “Penggunaan Alat Kalkulasi Berbasis Tabung Vakum Berkecepatan Tinggi” tersebut meminta pendanaan untuk alat yang Mauchly dan Eckert ingin buat: komputer elektronik digital yang sirkuitnya menggunakan tabung vakum dan bisa memecahkan persamaan diferensial serta persoalan matematika lainnya.
“Kalkulasi akan jauh lebih cepat apabila menggunakan alat yang dibuat dari komponen elektronik,” Mauchly berargumen. Dia memperkirakan lintasan misil dapat diperhitungkan dalam waktu “100 detik”.66
Memo Mauchly diabaikan para dekan di Universitas Pennsylvania, tetapi menuai perhatian perwira Angkatan Darat yang ditempatkan di perguruan tinggi itu, yakni pria 29 tahun bernama Letnan (yang tak lama berselang dipromosikan menjadi kapten) Herman Goldstine. Perwira ini sempat menjadi dosen matematika di Universitas Michigan dan mengemban misi mempercepat produksi tabel acuan tembakan.
Goldstine meminta istrinya, Adele, yang juga matematikawan, berkeliling negeri untuk merekrut lebih banyak perempuan supaya mau bergabung dengan batalion komputer manusia di Universitas Pennsylvania. Memo Mauchly meyakinkan Goldstine bahwa ada cara yang lebih jitu.
Keputusan Departemen Perang AS mendanai komputer elektronik disahkan pada 9 April 1943. Mauchly dan Eckert begadang semalaman untuk menggarap proposal. Namun, proposal tersebut belum jadi ketika mereka naik ke mobil untuk berkendara dua jam dari Universitas Pennsylvania ke Lapangan Uji Coba Aberdeen di Maryland, tempat berkumpulnya para pejabat Departemen Persenjataan. Sementara Letnan Goldstine menyetir, keduanya duduk di kursi belakang sambil menyelesaikan bagian-bagian yang belum ditulis. Setiba di Aberdeen, mereka melanjutkan bekerja di dalam ruangan kecil saat Goldstine menghadiri rapat evaluasi.
Rapat itu dipimpin oleh Oswald Veblen, Presiden Institute for Advanced Study di Princeton, yang menjadi konsultan proyek matematika untuk militer. Juga hadir Kolonel Leslie Simon, Direktur Laboratorium Riset Balistik Angkatan Darat. Goldstine mengenang peristiwa tersebut: “Veblen, setelah mendengarkan presentasi saya sebentar saja dan bergerak-gerak di kursinya sampai kaki kursi terangkat, mendadak mengempaskan kursi hingga berdebum, bangkit, lalu berkata, ‘Simon, beri Goldstine uang.’ Dia lantas meninggalkan ruangan dan berakhirlah rapat dengan keputusan menggembirakan tersebut.”67
Mauchly dan Eckert menggabungkan memo mereka ke dalam makalah berjudul “Laporan mengenai Diff. Analyzer Elektronik” (“Report on an Electronic Diff. Analyzer”). Singkatan diff. sengaja dipilih untuk merefleksikan karakternya yang digital sekaligus untuk menjabarkan kemampuannya memecahkan persamaan diferensial. Namun, mesin tersebut segera saja diberi nama yang lebih mudah diingat, yaitu ENIAC atau Electronic Numerical Integrator and Computer (Komputer dan Integrator Bilangan Elektronik).
Walaupun ENIAC utamanya didesain guna mengolah persamaan diferensial, yang merupakan kunci untuk mengalkulasi lintasan misil, Mauchly menulis mesin tersebut bisa saja dilengkapi “alat pemrograman” supaya dapat mengerjakan tugas-tugas lain sehingga berpotensi menjadi komputer serbaguna.68
Pada Juni 1943 dimulailah pembuatan ENIAC. Mauchly, yang tetap sibuk mengajar, berperan sebagai pengembang rencana dan konsultan. Goldstine, sebagai wakil Angkatan Darat, mengawasi operasional dan anggaran. Sementara itu, Eckert, yang perfeksionis dan teliti akan detail, menjadi insinyur kepala. Saking totalnya dalam mendedikasikan diri untuk proyek itu, Eckert terkadang tidur di samping mesin.
Suatu kali, semata-mata untuk bercanda, dua insinyur mengangkat ranjang lipat—tempat Eckert sedang tidur—dan memindahkan dia ke ruangan yang identik satu lantai di atasnya. Ketika terbangun, Eckert sempat takut kalau-kalau mesin tersebut telah dicuri.69
Tahu bahwa konsepsi hebat percuma saja jika implementasinya tidak presisi (pelajaran pahit yang dipetik oleh Atanasoff), Eckert tidak sungkan merecoki anak buah hingga ke detail yang sekecil-kecilnya. Dia kerap membayangi insinyur-insinyur lain selagi mereka bekerja dan memberi tahu bahwa mereka mesti menyolder sambungan di sebelah mana atau memuntir kawat dengan cara bagaimana.
“Saya memeriksa pekerjaan tiap insinyur dan mengecek kalkulasi tiap resistor di dalam mesin untuk memastikan semuanya benar,” Eckert menegaskan. Dia paling sebal terhadap orang yang menganggap enteng hal-hal remeh. “Kehidupan ini himpunan dari seluruh hal remeh,” dia pernah berkata. “Tentu komputer pun sekadar himpunan besar dari hal remeh.”70
Kemitraan Eckert dan Mauchly yang saling melengkapi sesungguhnya tipikal dwitunggal kepemimpinan era digital. Eckert melecut orang-orang dengan hasratnya akan pekerjaan yang presisi; Mauchly cenderung menenangkan dan membuat mereka merasa disayang. “Dia senantiasa bergurau dan bercanda dengan orang-orang,” kenang Eckert. “Sifatnya supel.”
Eckert, yang keterampilan teknisnya dibarengi pembawaan tak bisa diam dan ketidakmampuan mencurahkan perhatian lama-lama, setengah mati membutuhkan pemandu intelektual—peran yang Mauchly mainkan dengan senang hati. Walaupun bukan insinyur, Mauchly punya kemampuan mengaitkan teori ilmiah dengan praktik rekayasa di lapangan dengan cara yang menggugah. “Kami bersatu padu untuk mengerjakan hal tersebut. Jika sendirian, saya ataupun dia takkan bisa mengerjakannya,” Eckert belakangan mengakui.71
ENIAC berkarakter digital, tetapi alih-alih berbasis biner yang hanya menggunakan 0 dan 1, komputer itu menggunakan sistem desimal alias berbasis sepuluh. Aspek inilah yang membedakan ENIAC dari komputer modern. Terlepas dari itu, ENIAC jauh lebih unggul daripada mesin yang dibuat Atanasoff, Zuse, Aiken, dan Stibitz.
Berkat kapabilitas “percabangan kondisional” (kapabilitas yang dijabarkan oleh Ada Lovelace seabad sebelumnya), mesin tersebut dapat melompati program berdasarkan hasil interim dan bisa mengulangi blok kode—yang dikenal dengan istilah subroutine—yang mengerjakan tugas tertentu. “Mesin kami bisa mengerjakan subroutine dan subroutine di dalam subroutine,” kata Eckert. Ketika Mauchly mengusulkan kapabilitas tersebut, kenang Eckert, “Saya serta-merta menyadari betapa krusialnya ide tersebut.”72
Setelah setahun merakit, kira-kira berbarengan dengan saat serangan Sekutu ke Normandia pada Juni 1944, Mauchly dan Eckert mengetes dua bagian pertama, sekitar seperenam dari mesin utuh yang direncanakan. Mereka memulai dengan persoalan perkalian sederhana. Ketika mesin itu mengeluarkan jawaban yang benar, mereka kontan bersorak. Namun, ENIAC baru berfungsi sepenuhnya lebih dari setahun berselang, yaitu November 1945. Saat itu ENIAC sudah mampu mengerjakan lima ribu penjumlahan dan pengurangan dalam sedetik, alias seratus kali lebih cepat ketimbang mesin-mesin terdahulu.
Ukuran mesin selebar tiga puluh meter dan setinggi dua setengah meter ini setara dengan satu ruang apartemen sedang berlantai tiga, sedangkan beratnya hampir tiga puluh ton dan tabung vakumnya berjumlah 17.468. Kontras dengan ENIAC, komputer Atanasoff-Berry, yang saat itu terlupakan di ruang bawah tanah di Iowa, hanya seukuran meja, terdiri atas tiga ratus tabung saja, dan cuma bisa mengerjakan tiga puluh penjumlahan atau pengurangan per detik.
BLETCHLEY PARK
Sekalipun hanya segelintir orang luar yang tahu ketika itu—dan akan terus demikian hingga lebih dari tiga dasawarsa kemudian—satu lagi komputer elektronik yang menggunakan tabung vakum diam-diam dibuat pada penghujung 1943 di kompleks griya bata merah berarsitektur Victoria di Kota Bletchley, 87 kilometer di barat laut London.
Di sana Pemerintah Britania menghimpun segelintir orang genius dan insinyur untuk memecahkan kode rahasia Jerman. Komputer tersebut, yang dinamai Colossus, merupakan komputer murni elektronik pertama di dunia dan bisa diprogram sebagian. Karena dibuat untuk satu tujuan khusus, mesin itu tidak serbaguna dan tidak bisa disebut komputer “Turing lengkap”. Namun, betul bahwa Turing meninggalkan jejak pribadinya di mesin tersebut.
Turing mulai fokus untuk mengkaji kode dan kriptologi pada musim gugur 1936 ketika datang ke Princeton tepat sesudah menulis makalah tentang Entscheidungsproblem. Turing menjelaskan ketertarikannya dalam surat untuk sang ibu pada Oktober itu.

Aku baru saja menemukan aplikasi potensial untuk kajian yang sedang kukerjakan saat ini. Topik sentral telaahku ialah “jenis kode atau cipher paling general yang masih mungkin dibuat”. Sekalian menjawab pertanyaan tersebut, aku menyempatkan diri menyusun banyak kode partikular yang menarik. Salah satunya praktis mustahil dipecahkan tanpa kunci, padahal penyandiannya sangat cepat. Kuduga aku bisa menjual teknik ini kepada Pemerintah Britania dengan harga lumayan menggiurkan, tetapi aku ragu apakah tindakan tersebut bermoral. Menurut Ibu bagaimana?73

Sepanjang tahun itu, meski khawatir akan kemungkinan pecahnya perang dengan Jerman, Turing kian berminat pada kriptologi dan kian tidak tertarik mencari uang dari karyanya. Selagi bekerja di bengkel mesin di gedung fisika Princeton pada akhir 1937, Turing membuat bakal mesin penyandi yang bisa mengubah huruf menjadi angka biner dan, menggunakan relay elektromekanis, mengalikan pesan numeral bersandi tersebut dengan bilangan besar rahasia sehingga menjadikannya hampir mustahil untuk dipecahkan.
Salah seorang mentor Turing di Princeton adalah John von Neumann, fisikawan dan matematikawan brilian yang kabur dari negara asalnya, Hongaria, dan saat itu berkantor di Institute for Advanced Study—yang untuk sementara bernaung segedung dengan Departemen Matematika Universitas Princeton. Pada musim gugur 1938, saat Turing tengah menyelesaikan tesis doktoral, von Neumann menawari pekerjaan sebagai asisten.
Karena waktu itu Eropa tengah dibayangi peperangan, tawaran tersebut memang menggoda. Namun, Turing merasa tidak patriotik apabila menerima pekerjaan tersebut. Itu sebabnya, Turing kemudian memutuskan kembali ke Cambridge untuk melakukan riset dan, tidak lama kemudian, bergabung dengan tim pemecah kode rahasia militer Jerman.
His Majesty’s Government Code and Cypher School saat itu berlokasi di London dan mayoritas stafnya cendekiawan ilmu sosial dan humaniora, antara lain Dillwyn “Dilly” Knox, Profesor Kajian Klasik dari Cambridge, dan Oliver Strachey, sosialita yang gemar bermain piano dan kadang-kadang menulis mengenai India. Tidak ada satu matematikawan pun di antara kedelapan puluh staf sampai musim gugur 1938 ketika Turing masuk ke sana.
Akan tetapi, musim panas berikutnya, saat Britania bersiap-siap menyongsong perang, departemen tersebut mulai secara aktif memboyong matematikawan. Bahkan, mereka sempat memasang kuis teka-teki silang di Daily Telegraph sebagai alat rekrutmen.
Akhirnya, departemen itu direlokasi ke Kota Bletchley, yang sepi dan sarat bangunan bata merah, yang daya tarik utamanya adalah lokasinya—di persimpangan jalur kereta api Oxford–Cambridge dan jalur London–Birmingham. Tim dari dinas intelijen Britania, yang menyamar sebagai “rombongan berburu Kapten Ridley”, mengunjungi Bletchley Park, rumah mahabesar berarsitektur Gotik Victoria. Sang pemilik ingin menghancurkan bangunan tersebut, tetapi tim intelijen diam-diam membelinya. Para pemecah kode ditempatkan di sejumlah pondok, istal, dan gubuk seadanya yang didirikan di lahan Bletchley Park.74
Turing ditugaskan ke tim di Gubuk 8, yang berusaha memecahkan kode Jerman Enigma. Kode tersebut dihasilkan mesin portabel yang memiliki rotor mekanis dan sirkuit listrik. Pesan militer dienkripsi menggunakan cipher yang, setelah tiap pencetan tuts, mengubah formula penggantian huruf. Saking sukarnya kode Jerman dipecahkan, Britania hampir patah arang.
Titik terang mulai tampak ketika para perwira intelijen Polandia menciptakan mesin berdasarkan penyandi Jerman hasil rampasan sehingga mampu memecahkan sebagian kode Enigma. Namun, mesin tersebut ujung-ujungnya tidak berguna karena saat Polandia menunjuki Britania mesin mereka, Jerman telah mendesain ulang mesin Enigma dengan menambahkan dua rotor dan dua colokan kabel.
Turing dan tim berupaya menciptakan mesin lebih canggih berjulukan “bombe”, yang bisa memecahkan pesan Enigma anyar—terutama perintah Angkatan Laut yang mengungkapkan pengiriman kapal selam untuk mengebom konvoi logistik Britania. Bombe mengeksploitasi beragam kelemahan kecil pada penyandian itu sendiri; misalnya, tiada huruf yang disandikan menjadi huruf itu sendiri dan frasa-frasa yang sering digunakan dalam bahasa Jerman. Pada Agustus 1940 tim Turing berhasil membuat dua bombe fungsional yang dapat memecahkan 178 pesan bersandi; pada akhir perang mereka telah membuat hampir dua ratus mesin pemecah kode.
Ditinjau dari kacamata teknologi komputer, bombe yang didesain oleh Turing tidak istimewa. Mesin tersebut berupa alat elektromekanis dengan komponen berupa relay dan rotor, bukan tabung vakum dan sirkuit listrik. Namun, mesin berikut yang diproduksi di Bletchley Park, Colossus, adalah pencapaian besar.

Colossus dibuat demi menjawab kebutuhan Britania ketika Jerman mulai menyandikan pesan-pesan penting—antara lain perintah dari Hitler dan komando tingginya—dengan mesin elektronik digital menggunakan sistem biner dan dua belas roda kode yang ukurannya lain-lain. Bombe elektromekanis rancangan Turing tidak berdaya memecahkan kode tersebut. Untuk melibas kode ini, dibutuhkan sirkuit elektronik yang kerjanya cepat.
Tim yang bertanggung jawab memecahkan kode itu bermarkas di Gubuk 11 dan lebih dikenal sebagai Newmanry, berdasarkan nama pemimpinnya, Max Newman, Profesor Matematika Cambridge yang telah memperkenalkan Turing pada masalah Hilbert hampir sedasawarsa sebelumnya. Mitra Newman di bidang rekayasa adalah genius elektronik, Tommy Flowers. Dia pionir tabung vakum yang bekerja di Unit Riset Perusahaan Pos di Dollis Hill, kawasan suburban di London.
Turing bukan anggota tim Newman, tetapi dia menyumbangkan metode statistik berjuluk “Turingery”, yang bisa mendeteksi penyimpangan distribusi sebangun dari karakter di dalam teks bersandi. Kemudian, dibuatlah mesin yang bisa memindai dua rol kertas berlubang, menggunakan pelat fotoelektrik. Pindaian keduanya lalu dibandingkan untuk menganalisis semua permutasi yang mungkin. Mesin tersebut dinamai “Heath Robinson”, dari nama kartunis Britania yang spesialisasinya menggambar mesin-mesin mekanis ruwet dan absurd.
Selama hampir satu dasawarsa, Flowers penasaran akan sirkuit elektronik yang dibuat dengan tabung vakum. Sebagai insinyur di Divisi Telepon Perusahaan Pos, pada 1934 dia menciptakan sistem eksperimental yang memuat lebih dari tiga ribu tabung untuk mengontrol sambungan di antara seribu saluran telepon. Dia juga memelopori penggunaan tabung vakum untuk penyimpanan data. Turing merekrut Flowers untuk ikut menggarap mesin bombe dan kemudian memperkenalkannya kepada Newman.
Flowers menyadari bahwa supaya kode-kode Jerman dapat dianalisis dengan kecepatan memadai, daripada membandingkan dua struk kertas berlubang, salah satu aliran data mesti disimpan di memori elektronik internal mesin. Untuk menyimpan memori, dibutuhkan 1.500 tabung vakum. Mula-mula para manajer di Bletchley Park skeptis, tetapi Flowers maju terus dan, pada Desember 1943—dalam waktu hanya delapan belas bulan—dia telah menciptakan mesin Colossus pertama. Versi yang malah lebih besar, menggunakan 2.400 tabung vakum, sudah siap pada 1 Juni 1944.
Pesan sadapan pertama yang berhasil dipecahkan ternyata sejalan dengan informasi-informasi lain yang sudah masuk. Alhasil, Jenderal Dwight Eisenhower, yang hendak meluncurkan serangan ke Eropa Barat, yakin Hitler tidak mengirim pasukan tambahan ke Normandia. Dalam kurun setahun telah diproduksi delapan mesin Colossus lainnya.
Dengan kata lain, bahkan sebelum tercipta ENIAC, yang baru berfungsi pada November 1945, para pemecah kode dari Britania telah merakit komputer elektronik murni digital (dan biner pula). Versi kedua, yang dibuat pada Juni 1944, malah mempunyai kemampuan percabangan kondisional. Namun, lain dengan ENIAC, yang jumlah tabungnya sepuluh kali lebih banyak, Colossus adalah mesin berfungsi khusus yang dirancang semata-mata untuk memecahkan kode, bukan sebagai komputer serbaguna. Colossus juga hanya bisa diprogram secara terbatas sehingga tidak dapat diperintahkan untuk mengerjakan segala jenis komputasi seperti (teorinya begitu, paling tidak) ENIAC.

JADI, SIAPA PENEMU KOMPUTER?
Untuk menaksir siapa saja yang patut diberi penghargaan sebagai pencipta komputer, pertama-tama penting kiranya bagi kita merunut sejumlah karakter esensial komputer. Dalam pengertian paling luas, komputer bisa mencakup banyak sekali benda, dari swipoa sampai iPhone. Namun, karena topik bahasan buku ini kronik Revolusi Digital, masuk akal apabila kita mengikuti definisi umum dan modern mengenai apa itu komputer. Beberapa di antaranya sebagai berikut.

“Alat elektronik yang biasanya dapat diprogram serta dapat menyimpan, mengambil, dan memproses data.” (Merriam-Webster Dictionary)
“Alat elektronik yang bisa menerima informasi (data) berformat tertentu dan mengerjakan urut-urutan operasi sesuai dengan instruksi yang sudah ditentukan (program) untuk mengeluarkan suatu hasil.” (Oxford English Dictionary)
“Alat serbaguna yang bisa diprogram untuk mengerjakan serangkaian operasi aritmetika atau logika secara otomatis.” (Wikipedia, 2014)

Jadi, komputer ideal adalah mesin elektronik, serbaguna, dan dapat diprogram. Mesin manakah yang paling memenuhi kriteria untuk disebut komputer pertama?
Model K buatan George Stibitz, yang pertama-tama dirakit di meja dapur pada November 1937, menjadi cikal bakal terciptanya model yang utuh di Bell Labs pada Januari 1940. Mesin itu komputer biner dan merupakan yang pertama yang dapat dioperasikan dari jarak jauh. Namun, mesin tersebut menggunakan relay elektromekanis dan bukan alat elektronik murni. Selain itu, mesin tersebut sekadar komputer berkegunaan khusus, bukan serbaguna dan tidak dapat diprogram.
Z3 buatan Herman Zuse, yang dirampungkan pada Mei 1941, adalah mesin elektronik biner pertama di dunia yang dapat diprogram dan kerjanya otomatis. Z3 didesain untuk mengerjakan persoalan rekayasa daripada sebagai mesin serbaguna. Kendati demikian, mesin itu secara teoretis memiliki kapasitas sebagai mesin Turing lengkap. Perbedaan mencoloknya dibandingkan dengan komputer modern adalah sifatnya yang elektromekanis, mengandalkan relay lambat daripada sakelar elektronik. Satu kekurangan lainnya, Z3 belum bekerja sempurna seperti yang diinginkan oleh Zuse. Mesin itu keburu hancur ketika Sekutu mengebom Berlin pada 1943 sebelum Zuse sempat menyempurnakannya.
Komputer rancangan John Vincent Atanasoff, yang sudah rampung, tetapi belum layak pakai ketika dia meninggalkannya untuk mengabdi di Angkatan Laut pada September 1942, adalah komputer elektronik digital pertama di dunia, tetapi tidak semua komponennya elektronik. Mekanisme penjumlahan-pengurangannya menggunakan tabung vakum, tetapi memori dan pengambilan datanya memanfaatkan komponen mekanis, yaitu silinder berputar.
Selain itu, mesin tersebut tidak bisa diprogram—kelemahan fatal apabila kita ingin mengategorikannya sebagai komputer. Kreasi Atanasoff bukanlah mesin serbaguna, melainkan disetel untuk mengerjakan satu tugas spesifik, yaitu memecahkan persamaan linear. Celakanya lagi, Atanasoff tidak berhasil mewujudkan mesin yang sama persis seperti rancangannya. Mesin itu pun terlupakan di ruang bawah tanah Universitas Iowa.
Colossus I keluaran Bletchley Park, yang dirampungkan pada Desember 1943 oleh Max Newman dan Tommy Flowers (dibantu masukan Alan Turing), adalah komputer digital pertama yang murni elektronik, dapat diprogram, dan fungsional. Namun, Colossus I bukanlah mesin serbaguna atau komputer “Turing lengkap”; kegunaannya hanya satu, yakni memecahkan kode rahasia Jerman.
Mark I yang dibuat oleh Howard Aiken di Harvard beserta IBM dan mulai beroperasi pada Mei 1944, bisa diprogram sebagaimana yang akan kita saksikan pada bab berikut. Namun, karakternya elektromekanis, bukan elektronik.
ENIAC, yang dirampungkan oleh Presper Eckert dan John Mauchly pada November 1945, merupakan mesin pertama yang memiliki seluruh karakter komputer modern. Mesin tersebut murni elektronik, bekerja secepat kilat, dan dapat diprogram dengan memasang copot kabel-kabel yang menghubungkan unit berbeda. ENIAC bisa mengubah jalur kerja berdasarkan hasil interim dan dapat dikategorikan sebagai mesin Turing lengkap serbaguna atau—secara teoretis—bisa menjajal tugas apa saja. Yang terpenting, komputer itu sudah berfungsi.
“Itulah inti sebuah temuan,” kata Eckert kelak, mengontraskan mesin mereka dengan mesin Atanasoff. “Seluruh sistem harus bisa bekerja (sebagaimana seharusnya, karena jika tidak begitu, percuma saja).”75 Mauchly dan Eckert menghasilkan mesin yang bisa mengerjakan sejumlah kalkulasi ruwet dan mesin tersebut digunakan terus-menerus selama sepuluh tahun. ENIAC menjadi patokan bagi sebagian besar komputer pada masa mendatang.
Butir terakhir itu penting. Ketika kita menaksir siapa yang paling pantas dianggap penemu dan dicatatkan dengan tinta emas dalam sejarah, salah satu kriteria yang dipertimbangkan ialah kontribusi siapa yang paling berpengaruh. Yang paling penting dari sebuah temuan bukan saja kebaruan, melainkan juga sumbangan terhadap arus sejarah dan pengaruhnya bagi perkembangan inovasi lain. Apabila kita menjadikan dampak historis sebagai tolak ukur, Eckert dan Mauchly inovator yang paling menonjol.
Hampir semua komputer pada 1950-an berakar dari ENIAC. Pengaruh Flowers, Newman, dan Turing lebih sukar untuk dinilai. Pekerjaan mereka disembunyikan sebagai rahasia negara. Namun, ketiga pria tersebut terlibat dalam pembuatan komputer Britania seusai Perang Dunia II. Zuse, yang terisolasi dalam hujan bom di Berlin, malah lebih tidak berpengaruh lagi terhadap perkembangan komputer di tempat-tempat lain. Terkait Atanasoff, pengaruh utamanya di bidang komputer, barangkali pengaruh satu-satunya, ialah memberikan segelintir inspirasi kepada Mauchly ketika datang berkunjung.
Di lapangan kriteria hukum kerap digunakan juga untuk menilai siapa yang paling pantas dinyatakan sebagai penemu. Intinya ialah siapa yang berhak mendapatkan paten? Terkait komputer pertama, tak seorang pun memegang patennya—demikianlah putusan pengadilan.
Kunjungan Mauchly ke Iowa selama empat hari pada Juni 1941 untuk menemui Atanasoff—dan inspirasi apa saja yang Mauchly petik selama empat hari itu—belakangan ternyata dipermasalahkan. Di ujung perselisihan hukum yang kontroversial dan berkepanjangan, hakim akhirnya memutuskan untuk mencabut paten Eckert dan Mauchly.76
Pada 1947, setelah meninggalkan Universitas Pennsylvania, Eckert dan Mauchly mengajukan paten atas ENIAC yang—karena sistem pemrosesan paten sangat lambat—baru dikabulkan pada 1964. Saat itu perusahaan Eckert-Mauchly dan seluruh hak patennya sudah dijual ke Remington Rand, yang telah berubah nama menjadi Sperry Rand.
Layaknya perusahaan besar, Sperry Rand mulai mendesak perusahaan lain agar membayar lisensi. IBM dan Bell Labs meneken kesepakatan dengan Sperry Rand, tetapi Honeywell menolak dan mulai mencari cara untuk menggugat paten perusahaan itu. Honeywell mempekerjakan pengacara muda, Charles Call, yang memiliki gelar insinyur dan pernah bekerja di Bell Labs. Misinya adalah menafikan paten Eckert-Mauchly dengan menunjukkan bahwa ide mereka tidak orisinal.
Menindaklanjuti masukan salah seorang pengacara Honeywell yang pernah kuliah di Universitas Iowa dan membaca mengenai komputer yang dirakit Atanasoff di sana, Call bertamu ke rumah Atanasoff di Maryland. Atanasoff terpukau akan pengetahuan Call mengenai komputernya dan merasa jengkel karena kurang mendapat pengakuan atas kontribusinya.
Alhasil, Atanasoff menyerahkan ratusan surat dan dokumen yang menunjukkan Mauchly mendapatkan sejumlah ide berkat kunjungan ke Iowa. Malam itu Call bermobil ke Washington untuk menghadiri kuliah Mauchly. Menjawab pertanyaan tentang mesin Atanasoff, Mauchly mengklaim hanya melihat mesin itu sekilas. Call sadar, jika bisa memancing Mauchly agar mengatakan ini di bawah sumpah, dia bisa mendiskreditkan Mauchly di persidangan dengan mengajukan dokumen Atanasoff yang menyanggah pernyataan tersebut.
Beberapa tahun kemudian, ketika mengetahui Atanasoff mungkin membantu Honeywell menggugat patennya, Mauchly bertamu ke rumah Atanasoff dengan mengajak seorang pengacara Sperry Rand. Pertemuan itu serbacanggung. Mauchly mengklaim saat berkunjung ke Iowa, dia tidak membaca makalah Atanasoff secara saksama ataupun memeriksa komputernya. Sementara itu, Atanasoff mengingatkan dengan dingin bahwa klaim tersebut tidak benar. Mauchly ikut makan malam dan berusaha memperlunak hati Atanasoff, tetapi tidak berhasil.
Perkara itu disidangkan di hadapan hakim federal, Earl Larson, di Minneapolis pada Juni 1971. Mauchly ternyata payah sebagai saksi. Selain sering mengaku “tidak ingat”, penjelasannya tentang apa yang dilihat ketika berkunjung ke Iowa justru terkesan mencurigakan. Dia juga berulang-ulang mencabut pernyataan dalam deposisi sebelumnya, antara lain klaim hanya melihat komputer Atanasoff yang setengah tertutup kain dalam suasana remang-remang.
Sebaliknya, Atanasoff menyampaikan kesaksian secara amat lancar. Dia menjabarkan mesin yang dibuat, mendemonstrasikan modelnya, dan menunjukkan ide-ide mana saja yang dipinjam oleh Mauchly. Total 77 saksi, 80 pemberi deposisi, dan 32.600 barang bukti diajukan dan dicatat dalam persidangan. Proses persidangan berlangsung lebih dari sembilan bulan, persidangan federal yang memakan waktu paling lama hingga saat itu.
Hakim Larson butuh sembilan belas bulan tambahan untuk menuangkan keputusan final, yang dikeluarkan pada Oktober 1973. Larson memutuskan paten ENIAC Eckert-Mauchly tidak valid. “Eckert dan Mauchly bukanlah penemu pertama komputer elektronik digital otomatis, melainkan semata-mata meminjam ide tersebut dari Dr. John Vincent Atanasoff.”77 Daripada naik banding, Sperry berdamai dengan Honeywell di luar pengadilan.*5
Opini hakim, yang tertuang dalam dokumen sepanjang 248 halaman, memang menyeluruh, tetapi tidak menyebutkan sejumlah perbedaan signifikan di antara kedua mesin. Mauchly tidak meminjam gagasan Atanasoff sebanyak yang dikira oleh sang hakim. Contohnya, sirkuit elektronik Atanasoff menggunakan logika biner, sedangkan mesin Mauchly berbasis desimal. Andaikan uraian paten Eckert-Mauchly lebih spesifik, paten tersebut barangkali takkan dicabut.
Intinya, mekanisme legal pun tidak mampu menilai siapa tepatnya penemu komputer. Namun, berkat sidang tersebut, nama Atanasoff yang sempat terlupakan menjadi terkuak ke panggung sejarah. Implikasi lain yang malah lebih penting ialah—sekalipun hakim dan kedua pihak yang bertikai tidak punya niat untuk itu—kasus tersebut menunjukkan secara sangat gamblang bahwa inovasi hebat umumnya akumulasi dari beragam ide yang berasal dari banyak sumber.
Suatu temuan, terutama yang kompleks seperti komputer, lazimnya bukanlah buah karya individu, melainkan hasil kerja kreatif yang kolaboratif. Mauchly rajin mengunjungi dan berbincang dengan banyak orang. Ini mungkin menyebabkan temuannya sukar dipatenkan, tetapi tidak mengurangi besarnya pengaruh Mauchly terhadap perkembangan teknologi komputer.
Mauchly dan Eckert berhak menempati urutan teratas tokoh yang paling pantas dijuluki penemu komputer bukan karena seluruh idenya murni buah pikiran mereka, melainkan karena mampu menjaring gagasan dari banyak sumber, membubuhkan inovasi mereka sendiri, menghimpun tim yang kompeten untuk mewujudkan visi mereka, dan berpengaruh besar terhadap perkembangan komputer selanjutnya.
Mesin yang mereka buat adalah komputer elektronik serbaguna pertama di dunia. “Atanasoff mungkin mendapat poin di pengadilan, tetapi dia kembali mengajar, sedangkan kami melanjutkan karier dengan membuat komputer elektronik tulen pertama yang bisa diprogram,” tandas Eckert belakangan.78
Apresiasi juga perlu diberikan kepada Turing, yang telah mengembangkan konsep komputer universal dan kemudian ambil bagian dalam perancangan komputer di Bletchley Park. Arti penting historis para kontributor lain akan bergantung pada kriteria apa yang paling kita hargai. Jika terpesona dengan romantika penemu tunggal genius dan kurang peduli pada pengaruh si tokoh dalam perkembangan di bidang yang ditekuni, kita mungkin akan menempatkan Atanasoff dan Zuse di urutan atas.
Akan tetapi, hikmah utama yang bisa diambil dari kelahiran komputer ialah inovasi lazimnya buah kerja sama tim, anak kandung kolaborasi orang-orang visioner dengan para insinyur. Sementara itu, kreativitas merupakan kemampuan untuk mengawinkan berbagai ide dari banyak sumber. Inovasi yang lahir bak sambaran petir, kemudian digarap seorang diri oleh si penemu dalam garasi atau ruang bawah tanah yang bobrok hanya ada dalam buku cerita. 


Howard Aiken dan Grace Hopper
 (1906–1992) dengan bagian dari Mesin Selisih Babbage di Harvard pada 1946.

Jean Jennings (1924–2011) pada 1945.

Jean Jennings dan Frances Bilas beserta ENIAC.

Betty Snyder (1917–2001) pada 1944.

*1 Untuk a, b, dan c yang merupakan bilangan bulat, persamaan an + bn = cn tidak memiliki jawaban apabila n lebih besar daripada 2.
*2 Tiap bilangan bulat genap yang lebih besar daripada 2 dapat dinyatakan sebagai penjumlahan dua bilangan prima.
*3 Proses membagi angka genap dengan 2 atau mengalikan angka ganjil dengan 3 dan kemudian menjumlahkan hasilnya dengan 1, apabila diulang sampai tak hingga, selalu menghasilkan nilai 1.
*5 Saat itu Atanasoff sudah pensiun. Kariernya selepas Perang Dunia II dilalui di bidang persenjataan militer dan artileri, bukan komputer. Dia meninggal pada 1995. John Mauchly tetap aktif sebagai ilmuwan komputer. Dia antara lain menjadi konsultan untuk Sperry dan pendiri sekaligus Presiden Asosiasi Mesin Komputasi. Dia meninggal pada 1980. Eckert pun melalui sebagian besar karier di Sperry. Dia meninggal pada 1995.







 

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02