The Innovators - Walter Isaacson - 02
Terkadang sukses atau tidaknya inovasi bergantung
pada waktu. Mujur benar apabila ide besar terlontar saat telah tersedia teknologi
yang memadai untuk mengimplementasikannya. Salah satu contohnya ialah ide untuk
mengirim manusia ke bulan yang muncul tepat ketika perkembangan teknologi telah
mengenal microchip sehingga sistem berpandukan
komputer dapat diinkorporasikan ke bagian kerucut hidung roket.
Kali lain ide
terlahir jauh sebelum zamannya sehingga terkesan nyeleneh.
Charles Babbage menerbitkan makalah mengenai komputer canggih pada 1837. Namun,
baru seratus tahun berselang kemajuan teknologi menghasilkan seluruh perangkat
yang dibutuhkan untuk merakit mesin yang Babbage angan-angankan.
Sejumlah kemajuan
terkesan remeh. Namun, perkembangan dihasilkan bukan hanya oleh lompatan besar,
melainkan juga akumulasi ratusan langkah kecil. Contohnya, kartu berlubang
seperti yang Babbage lihat di mesin tenun Jacquard dan idenya dia pinjam untuk
digunakan di Mesin Analitis rekaannya. Kartu berlubang disempurnakan sehingga
nantinya pas untuk dimanfaatkan dalam komputer karena Herman Hollerith, pegawai
Biro Sensus AS, gemas akan tabulasi Sensus 1880 secara manual yang membutuhkan
waktu hampir delapan tahun. Dia pun bertekad tabulasi Sensus 1890 bisa
dikerjakan secara otomatis.
Terinspirasi oleh
kondektur kereta api yang membuat lubang-lubang berlainan di tiket untuk
menandai ciri-ciri tiap penumpang (jenis kelamin, tinggi badan, umur, warna
rambut), Hollerith merancang kartu berlubang yang terdiri atas 12 baris dan 24
lajur untuk mencatat fakta-fakta relevan mengenai tiap orang yang disensus.
Kartu-kartu tersebut kemudian disisipkan ke celah antara sederet cawan raksa
dan sederet jarum berpegas. Bila terdapat lubang, akan dihasilkan rangkaian
listrik tertutup.
Mesin tersebut
bukan saja dapat merekapitulasi jumlah total mentah, melainkan juga kombinasi
beberapa ciri, semisal jumlah laki-laki yang sudah menikah atau jumlah
perempuan yang lahir di luar negeri. Berkat tabulator Hollerith, Sensus AS 1890
dirampungkan dalam waktu satu dan bukan delapan tahun. Itulah kali pertama
rangkaian listrik digunakan untuk memproses informasi besar-besaran, sedangkan
perusahaan yang didirikan oleh Hollerith nantinya, pada 1924, setelah sejumlah
merger dan akuisisi, mewujud menjadi International Business Machines
Corporation atau IBM.
Kita dapat
memandang inovasi sebagai akumulasi ratusan kemajuan kecil, seperti pencacah
atau pembaca kartu berlubang. Di tempat-tempat seperti IBM, yang
spesialisasinya menyempurnakan kreasi dari hari ke hari lewat kerja tim, inilah
cara yang lebih berterima untuk melihat inovasi. Sejumlah teknologi terpenting
pada zaman kita, seperti teknologi fracking yang
dikembangkan sepanjang enam dasawarsa terakhir untuk mengekstraksi gas alam,
terlahir berkat akumulasi sekian banyak inovasi kecil-kecilan dan segelintir
terobosan besar.
Terkait komputer,
memang banyak kemajuan inkremental yang diciptakan oleh para insinyur anonim di
tempat-tempat seperti IBM. Namun, itu saja belum cukup. Walaupun dapat
mengompilasi data, mesin-mesin yang diproduksi IBM awal abad ke-20 tidak bisa
disebut komputer. Mesin-mesin tersebut bahkan tidak bagus-bagus amat sebagai
kalkulator; kerjanya payah. Untuk melahirkan komputer sesungguhnya, di samping
beratus-ratus kemajuan minor, dibutuhkan lompatan besar nan imajinatif dari
para visioner yang kreatif.
DIGITAL MENGALAHKAN ANALOG
Mesin yang dirancang oleh Hollerith dan Babbage
berkarakter digital, artinya menghitung menggunakan
digit: bilangan bulat diskrit seperti 0, 1, 2, 3. Di dalam mesin
bilangan-bilangan tersebut dijumlahkan dan dikurangi dengan mekanisme gigi roda
yang berputar satu-satu, seperti counter. Komputer
bisa juga dirakit dengan pendekatan lain, yaitu berdasarkan pemodelan fenomena
fisika. Komputer semacam ini disebut komputer analog
karena kerjanya berdasarkan analogi.
Daripada
mengandalkan satuan diskrit untuk membuat kalkulasi, komputer analog
menggunakan fungsi yang kontinu. Dalam komputer analog, persoalan yang mesti
dipecahkan dianalogikan ke dalam variabel seperti tegangan listrik, posisi tali
pada katrol, tekanan hidraulika, atau jarak. Jangka sorong berkarakter analog;
swipoa berkarakter digital. Jam yang berjarum berkarakter analog, sedangkan jam
yang menunjukkan angka-angka berkarakter digital.
Kira-kira
berbarengan dengan saat dirakitnya tabulator digital oleh Hollerith, Lord
Kelvin dan kakaknya, James Thomson, dua ilmuwan Britania paling terkemuka pada
zaman itu, menciptakan mesin analog. Mesin itu dirancang untuk mengerjakan
tugas rutin menjemukan, yaitu memecahkan persamaan diferensial yang niscaya
bermanfaat dalam menyusun diagram pasang surut air laut dan tabel sudut
tembakan untuk panduan meluncurkan artileri secara akurat.
Dimulai dari awal
1870-an, kakak beradik ini menggagas sistem yang mengacu pada planimeter,
instrumen untuk mengukur luas bidang datar, semisal luas wilayah di bawah garis
lengkung atau luas selembar kertas. Pengguna merunut perimeter kurva dengan
alat tersebut, yang mengalkulasi luas area lewat silinder kecil yang berputar
pelan-pelan di permukaan piringan bulat besar. Dengan menghitung luas area di
bawah kurva, alat tersebut telah menyelesaikan persamaan integral—alias
mengerjakan perhitungan kalkulus.
Kelvin dan kakaknya
mampu menggunakan metode ini untuk menciptakan “harmonic
synthesizer” yang bisa mengeluarkan bagan pasang surut tahunan air laut
dalam waktu empat jam. Namun, mereka pada akhirnya tidak mampu merancang alat
yang dapat memecahkan persamaan dengan banyak variabel karena tantangan
teknisnya terlalu pelik.
Tantangan ini baru
terjawab pada 1931, ketika Profesor Teknik dari MIT, Vannevar Bush—ingatlah
nama itu karena dialah tokoh kunci dalam buku ini—berhasil membuat komputer
analog elektromekanis pertama di dunia. Dia menamai mesinnya Differential
Analyzer. Alat tersebut terdiri atas enam integrator—berupa pasangan silinder
dengan piringan, tidak terlalu berbeda dengan alat Lord Kelvin—yang terhubung ke
sejumlah gigi roda, tuas, dan selot yang diputar motor listrik.
Beruntung Bush
bekerja di MIT sebab di sekitarnya terdapat banyak orang yang mampu merakit dan
mengalibrasi alat seruwet itu. Mesin jadi, yang seukuran kamar tidur kecil,
dapat memecahkan persoalan dengan maksimal delapan belas variabel independen.
Sepanjang satu
dasawarsa berikut, Differential Analyzer karya Bush direplikasi oleh Lapangan
Uji Coba Aberdeen Angkatan Darat AS di Maryland, Moore School of Electrical
Engineering di Universitas Pennsylvania, dan perguruan tinggi Manchester serta
Cambridge di Inggris. Differential Analyzer ternyata sangat berguna untuk
menghasilkan tabel data artileri—dan untuk mendidik serta mengilhami para
pionir komputer generasi selanjutnya.
Kendati demikian, mesin Bush tidak ditakdirkan
untuk berperan penting dalam sejarah komputer karena karakter analognya.
Malahan, Differential Analyzer justru menjadi cikal bakal terakhir komputer
analog.
Pendekatan,
teknologi, dan teori anyar mulai bermunculan pada 1937, tepat seratus tahun
setelah Babbage kali pertama menerbitkan makalahnya tentang Mesin Analitis.
Tahun itu empat aspek yang saling terkait berkembang dominan dan kelak turut
mendefinisikan karakter era komputer modern, yaitu sebagai berikut.
DIGITAL. Revolusi Komputer
dicirikan oleh karakter fundamental yang berbasis digital, bukan analog.
Penyebabnya banyak, sebagaimana akan kita lihat setelah ini, yaitu kemajuan
beriringan di bidang teori logika, sirkuit listrik, dan mekanisme nyala-mati
elektronis sehingga memuluskan jalan menuju terciptanya komputer digital. Baru
pada 2010 para ilmuwan komputer, yang mencari cara untuk meniru otak manusia,
kembali serius merintis komputasi analog.
BINER. Komputer modern punya karakter digital
berbasis dua atau biner, yang berarti menggunakan 0 dan 1 saja daripada
kesepuluh angka desimal. Sebagaimana banyak konsep matematika, teori biner
dipelopori oleh Leibniz pada akhir abad ke-17. Pada 1940-an menjadi jelas bahwa
sistem biner jauh lebih unggul ketimbang sistem digital lain, termasuk sistem
desimal, untuk mengerjakan operasi logika menggunakan sirkuit dengan sakelar
nyala-mati.
ELEKTRONIK. Pada pertengahan 1930-an insinyur
Britania bernama Tommy Flowers memelopori penggunaan tabung vakum sebagai
sakelar nyala-mati di dalam sirkuit listrik. Hingga saat itu, sirkuit listrik
menggunakan sakelar mekanis atau elektromekanis, misalnya relay
elektromagnetik seperti yang digunakan oleh perusahaan telepon untuk
mengalihkan panggilan dari operator ke pelanggan.
Tabung vakum
sebelumnya digunakan terutama untuk memperkuat sinyal alih-alih sebagai sakelar
nyala-mati. Dengan menggunakan komponen elektronik seperti tabung vakum, dan
kelak transistor serta microchip, komputer dapat
beroperasi ribuan kali lebih cepat ketimbang mesin-mesin dengan sakelar
bergerak yang bekerja atas prinsip elektromekanis.
SERBAGUNA. Akhirnya, mesin dapat diprogram
berulang-ulang—dan bahkan memprogram dirinya sendiri—untuk berbagai tujuan.
Mesin atau komputer tersebut nantinya bukan saja mampu menghitung persamaan
matematika, seperti persamaan diferensial, melainkan juga menyelesaikan beragam
tugas dan memanipulasi aneka simbol, dari mengolah angka, kata, hingga musik
dan gambar. Dengan demikian, potensi yang dibayangkan oleh Lady Lovelace ketika
memaparkan Mesin Analitis Babbage dapat terwujud.
Inovasi muncul ketika benih-benihnya jatuh ke
tanah subur. Alih-alih disebabkan oleh satu faktor tunggal, kemajuan dahsyat
pada 1937 merupakan hasil perpaduan aneka ide, kapabilitas, dan kebutuhan yang
berkonvergensi secara kebetulan di banyak tempat. Sebagaimana kerap kita jumpai
pada babad penemuan, terutama bidang teknologi informasi, waktu yang tepat
muncul di tengah suasana gonjang-ganjing. Pengembangan tabung vakum untuk
industri radio membukakan jalan bagi terciptanya sirkuit elektronik digital.
Perkembangan ini berbarengan dengan kemajuan teoretis di bidang logika,
menjadikan sirkuit semacam itu lebih bermanfaat.
Laju kemajuan
bertambah cepat berkat ditabuhnya genderang perang. Saat bangsa-bangsa mulai
mempersenjatai diri untuk menghadapi konflik yang sudah di depan mata, jelas
kemampuan komputasi sama pentingnya dengan kekuatan senjata. Berbagai kemajuan
beranak pinak dan menghasilkan kemajuan berikutnya, terjadi hampir secara
simultan dan spontan di Harvard dan MIT, Princeton dan Bell Labs, apartemen di
Berlin dan bahkan—yang menarik, sekalipun barangkali sukar dipercaya—di ruang
bawah tanah di Ames, Iowa.
Hal yang melandasi
seluruh kemajuan ini ialah lompatan matematika yang indah—“puitis”, barangkali
Ada Lovelace akan menyebutnya demikian. Salah satu lompatan ini menghasilkan
konsep formal mengenai “komputer universal”, yakni mesin serbaguna yang dapat
diprogram untuk mengerjakan berbagai operasi logika dan menyimulasikan perilaku
mesin sesuai dengan bermacam logika. Konsep ini buah eksperimen pemikiran yang
digagas oleh matematikawan brilian asal Inggris yang kisah hidupnya menggugah
sekaligus tragis.
ALAN TURING
Alan Turing dibesarkan tanpa limpahan kasih
sayang orangtua layaknya banyak anak kelas menengah dan menengah atas di
Britania pada masa itu.1 Moyangnya dianugerahi
gelar Baronet sejak 1638, gelar yang diwariskan turun-temurun dan akhirnya
jatuh ke tangan salah seorang keponakan Turing.
Akan tetapi, bagi
anak laki-laki yang bukan sulung, seperti Turing, ayahnya, dan kakeknya, mereka
paling banter hanya memperoleh secuil harta, tidak mewarisi gelar ataupun
tanah. Sebagian besar anak lelaki yang bukan sulung lantas menjadi klerus,
seperti kakek Alan, atau pegawai kolonial, seperti ayahnya, yang menjabat administrator
minor di daerah terpencil India.
Alan sudah berada
dalam kandungan ibunya kala di Chhatrapur, India, dan lahir pada 23 Juni 1912
di London, sewaktu orangtuanya cuti. Ketika Alan baru berusia setahun,
orangtuanya kembali ke India selama beberapa tahun. Sementara itu, Alan kecil
serta kakak lelakinya dititipkan kepada pensiunan kolonel dan istrinya untuk
dibesarkan di kota pesisir di Inggris sebelah selatan. “Saya bukan psikolog
anak,” John Turing, kakak Alan, kelak berkomentar. “Tetapi, saya yakin meninggalkan
seorang bayi di lingkungan asing, jauh dari keluarga, berdampak tidak baik bagi
perkembangannya.”2
Sepulang sang ibu
ke Inggris, Alan tinggal beberapa tahun dengannya. Pada usia 13 tahun dia
dikirim ke sekolah berasrama. Dia bersepeda hampir seratus kilometer ke sekolah
dalam waktu dua hari, seorang diri. Turing memang gemar sendirian, sebagaimana
tecermin dari kegandrungannya lari jarak jauh dan bersepeda. Dia juga mempunyai
ciri khas yang lazim ditemui dalam diri banyak penemu, seperti dijabarkan
secara memikat oleh penulis biografinya, Andrew Hodges, yakni, “Alan lambat
menyadari adanya garis tipis yang memisahkan inisiatif dengan ketidakpatuhan.”3
Dalam memoar yang
menyentuh, sang ibu menggambarkan putra kesayangannya sebagai berikut.
Alan bertubuh kekar,
berpundak lebar, jangkung, berdagu kukuh segi empat, dan berambut cokelat
acak-acakan. Mata biru jernih yang cekung adalah ciri khasnya yang paling
memukau. Hidungnya yang agak pesek dan garis-garis senyuman di seputar mulutnya
memberinya penampilan awet muda, bahkan kekanak-kanakan. Malahan, pada awal
usia 30-an dia terkadang masih dikira mahasiswa strata satu.
Kebiasaan
dan busananya cenderung serampangan. Rambut Alan biasanya kepanjangan, dengan
poni menjuntai yang kerap dia sibakkan dengan goyangan kepala .... Dia
adakalanya bersikap melantur dan mengawang-awang, larut dalam lamunan sendiri
sehingga terkesan tidak ramah .... Sebaliknya, sifat pemalu terkadang
menyebabkannya bicara sembarangan .... Dia pernah menduga-duga dirinya tentu
cocok hidup menyepi di biara abad pertengahan.4
Di sekolah berasrama,
Sherborne, Turing menyadari dirinya homoseksual. Dia menaruh hati pada seorang
teman sekolah ramping berambut pirang, Christopher Morcom, rekannya belajar
matematika dan mendiskusikan filsafat. Namun, pada musim dingin sebelum lulus,
Morcom meninggal mendadak karena tuberkulosis. Turing kemudian menyurati ibu
Morcom, “Saya memuja bumi tempatnya berpijak. Saya tidak berusaha
menyembunyikan hal itu sayangnya.”5
Dalam surat untuk
ibunya sendiri, Turing terkesan mencari penghiburan dari imannya. “Aku merasa
akan bertemu Morcom lagi kelak dan ada pekerjaan yang mesti kami jalani bersama
di sana, sebagaimana aku meyakini terdapat misi untuk kami di sini. Sekarang
karena tinggal sendiri, aku tidak boleh mengecewakannya. Jika berhasil, aku
akan lebih layak untuk menjadi bagian dari kelompok orang terhormat yang baru
saja dia datangi.”
Walau begitu,
tragedi tersebut akhirnya mengikis keyakinan religius Turing. Dia juga menjadi
semakin tertutup dan tidak bisa lagi menjalin hubungan akrab dengan mudah.
Kepala asrama melaporkan kepada orangtuanya pada Paskah 1927, “Tidak dapat
dimungkiri bahwa dia bukan pemuda ‘normal’. Bukan berarti hal tersebut niscaya
menjadi sumber masalah, tetapi dia mungkin menjadi kurang bahagia karenanya.”6
Pada tahun terakhir
di Sherborne, Turing memenangi beasiswa untuk kuliah matematika di King’s
College, Cambridge, yang lalu dia masuki pada 1931. Satu dari tiga buku yang
dia beli dengan sebagian uang beasiswa adalah The
Mathematical Foundations of Quantum Mechanics
karya John von Neumann, matematikawan unik Hongaria yang, sebagai pelopor
desain komputer, akan senantiasa memengaruhi kehidupan Turing.
Turing terutama
tertarik pada matematika di inti fisika kuantum, yang menjabarkan peristiwa di
tingkat sub-atom lewat probabilitas statistik alih-alih hukum eksak. Dia
meyakini (setidaknya saat masih muda) karakter tidak pasti dan tidak
deterministik di tingkat sub-atom-lah yang menjadi jawaban di balik kehendak
bebas manusia—karakter yang, jika benar, membedakan manusia dari mesin. Dengan
kata lain, karena tiada keniscayaan di tingkat sub-atom, tiada pula garis
takdir yang menentukan pikiran dan tindakan kita. Dalam suratnya untuk ibu
Morcom, Turing menjelaskan sebagai berikut.
Dahulu diasumsikan
bahwa asalkan kita bisa mengetahui segalanya mengenai Semesta pada saat
tertentu, sains tentu dapat memprediksikan apa yang akan terjadi pada masa
depan. Wacana ini lahir semata-mata karena prediksi di bidang astronomi luar
biasa akurat. Namun, di bidang sains modern yang lain, justru disimpulkan bahwa
kita tidak bisa mengetahui kedudukan atom dan elektron secara pasti karena alat
ukur kita juga terbuat dari atom dan elektron.
Itu
sebabnya, kemampuan prediktif mengenai semesta tidak dapat diterapkan pada
skala kecil. Artinya, teori yang menjelaskan bahwa gerhana dan sebagainya dapat
diperkirakan tidak bisa diterapkan pada perilaku manusia. Kita memiliki
kehendak bebas—di sebagian kecil otak atau barangkali di seluruh otak kita—yang
mengatur gerak gerik atom.7
Sepanjang sisa hidup, Turing akan bergelut dengan
pertanyaan apakah pikiran manusia secara fundamental lain dengan mesin
deterministik. Lambat laun dia akan menyimpulkan perbedaan di antara keduanya
tidaklah sejelas yang dikira.
Turing juga memiliki
firasat bahwa, sama seperti ranah sub-atom yang diselimuti ketidakpastian, ada
persoalan matematika yang dapat dipecahkan secara mekanis dan ada pula yang
jawabannya tak pasti. Pada masa itu fokus utama para matematikawan ialah
perumusan sistem logika yang lengkap dan konsisten, misi ambisius yang
dipengaruhi oleh pemikiran—salah satunya—David Hilbert, sang genius dari
Göttingen yang, di antara sekian banyak prestasinya, memformulasikan teori
relativitas umum secara matematis berbarengan dengan Einstein.
Dalam konferensi
pada 1928, Hilbert mengajukan tiga masalah fundamental mengenai sistem
matematika formal: (1) Apakah aturan-aturannya sudah lengkap sehingga
pernyataan apa pun dapat dibuktikan (atau disanggah) menggunakan aturan-aturan
sistem itu saja? (2) Apakah sistem tersebut sudah konsisten sehingga tidak ada
pernyataan yang bisa terbukti benar sekaligus salah? (3) Adakah prosedur yang
dapat menentukan apakah pernyataan tertentu bisa dibuktikan, alih-alih terus
terkatung-katung karena tak kunjung terjawab (teka-teki matematika yang sampai
sekarang belum bisa dibuktikan benar salahnya, antara lain teorema terakhir
Fermat,*1 konjektur Goldbach,*2 atau konjektur Collatz*3)? Hilbert mengiyakan pertanyaan nomor satu dan dua, dan menjadikan
persoalan ketiga tidak relevan lagi. Sederhananya, Hilbert mengatakan, “Tidak
ada persoalan yang tidak bisa dijawab.”
Dalam kurun waktu
tiga tahun, Kurt Gödel, ahli logika kelahiran Austria yang saat itu berusia 25
tahun dan tinggal dengan ibunya di Wina, menyentil pertanyaan nomor satu dan
dua dengan jawaban tak terduga-duga: tidak dan tidak. Dalam “teorema
ketidaklengkapan”, Gödel menunjukkan terdapat sejumlah pernyataan yang tidak
bisa dibuktikan ataupun disanggah.
Contoh sederhananya
ialah pernyataan yang mengacu pada diri sendiri seperti, “Pernyataan ini tidak
bisa dibuktikan kebenarannya.” Jika pernyataan tersebut benar, kita tidak dapat
membuktikan kebenarannya; jika salah, pernyataan tersebut menjadi kontradiktif
secara logika. Dilema ini mirip-mirip dengan “paradoks pembohong” dalam kisah
Yunani kuno. (Seperti kalimat, “Semua ucapanku bohong.” Jika memang benar
demikian, pernyataan itu juga salah.)
Dengan mengutarakan
pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dibuktikan atau disanggah, Gödel
menunjukkan sistem formal yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa
matematika tidaklah lengkap. Dia juga mengajukan teorema pendamping yang secara
efektif memberikan jawaban “tidak” bagi pertanyaan kedua Hilbert.
Tinggal pertanyaan
ketiga yang belum terpecahkan, yaitu penentuan bisa tidaknya suatu pernyataan
dijawab atau—menurut istilah Hilbert—Entscheidungsproblem
alias “permasalahan keputusan”. Walaupun Gödel telah menyodorkan
pernyataan-pernyataan yang memang tidak bisa dibuktikan ataupun disanggah,
barangkali pernyataan tersebut mesti dikecualikan ke dalam kelompok tersendiri
sehingga menyisakan sistem logika matematika yang lengkap dan konsisten.
Untuk itu,
diperlukan metode untuk memutuskan apakah suatu
pernyataan dapat dibuktikan. Ketika mengajari Turing tentang permasalahan
Hilbert, Profesor Matematika hebat dari Cambridge, Max Newman, membahasakan Entscheidungsproblem sebagai: adakah “proses mekanis” yang
bisa digunakan untuk menentukan apakah suatu pernyataan logika dapat dibuktikan
atau tidak?
Turing menyukai
konsep “proses mekanis”. Suatu hari pada musim panas 1935 dia seperti biasa
lari sendirian menyusuri Sungai Ely dan, setelah beberapa mil, berhenti untuk
tidur-tiduran di antara pepohonan apel di Padang Grantchester, lalu merenungkan
sebuah ide. Dia akan mengejawantahkan konsep “proses mekanis” secara harfiah,
membuat mesin imajiner untuk memecahkan masalah tersebut.8
“Mesin Komputasi
Logis” yang Turing bayangkan (yakni eksperimen pemikiran belaka, bukan mesin
sungguhan) sekilas terkesan sederhana. Namun, dalam teorinya, mesin tersebut
dapat mengolah berbagai perhitungan matematika. Mesin tersebut terdiri atas
struk dengan panjang tak terbatas bertuliskan simbol-simbol di dalam kotak;
andai yang digunakan adalah sistem biner paling sederhana, simbol yang
tercantum bisa berupa angka 1 dan kosong saja. Mesin tersebut bisa membaca
simbol-simbol di struk dan melakukan pekerjaan tertentu berdasarkan “tabel
perintah” yang diterima.9
Tabel perintah ini
menyuruh mesin melakukan sesuatu berdasarkan konfigurasi mesin dan simbol yang
tercantum di dalam kotak. Misalkan, tabel perintah untuk tugas tertentu bisa
saja menitahkan, jika sedang diset ke konfigurasi 1 dan melihat 1 di dalam
kotak, mesin itu harus bergerak sekotak ke kanan dan pindah ke konfigurasi 2.
Yang mengejutkan—bagi kita, sekalipun tidak bagi Turing—mesin semacam itu,
asalkan diberi tabel perintah yang memadai, niscaya dapat memecahkan persoalan
matematika sekompleks apa pun.
Bagaimana mesin
imajiner ini bisa menjawab pertanyaan ketiga Hilbert: permasalahan keputusan?
Turing menjajaki persoalan itu dengan merevisi konsep “bilangan yang bisa
dihitung”. Bilangan riil mana pun yang bisa didefinisikan menggunakan aturan
matematika itu bisa dihitung oleh Mesin Komputasi Logis. Bahkan, bilangan
irasional seperti π dapat dihitung secara tak hingga menggunakan tabel perintah
yang berhingga.
Begitu pula
logaritma dari 7, akar 2, deret angka Bernoulli yang algoritmenya turut dibuat
oleh Ada Lovelace, atau angka dan deret lainnya, tidak peduli sesukar apa
perhitungannya, asalkan kalkulasinya dapat didefinisikan oleh serangkaian
aturan yang jumlahnya berhingga. Semua ini, menurut Turing, masuk ke dalam
kategori “bilangan yang bisa dihitung”.
Turing kemudian
menunjukkan ada juga bilangan yang tidak bisa
dihitung. Hal ini terkait dengan persoalan yang dia sebut “halting
problem”. Turing menunjukkan, sebelum input tertentu dimasukkan, kita tidak
bisa menentukan apakah mesin akan mengeluarkan jawaban atau mengerjakan proses
berulang secara tak hingga tanpa memberikan jawaban.
Menurut Turing, tak
terpecahkannya halting problem juga berarti
permasalahan keputusan tidak dapat dipecahkan. Walaupun Hilbert barangkali
berharap lain, tidak ada prosedur mekanis yang mampu menentukan bisa tidaknya
suatu pernyataan matematika dibuktikan. Teorema ketidaklengkapan Gödel, prinsip
ketidakpastian mekanika kuantum, dan jawaban Turing untuk pertanyaan ketiga Hilbert
menepis wacana mengenai alam semesta yang bersifat mekanis, deterministik, dan
terprediksi.
Makalah Turing
diterbitkan pada 1937 dengan judul apa adanya—“On Computable Numbers, with an
Application to the Entscheidungsproblem”. Jawabannya
atas pertanyaan ketiga Hilbert memang bermanfaat untuk pengembangan teori
matematika. Namun, yang jauh lebih penting ialah produk sampingan dari bukti
yang Turing kemukakan: konsep Mesin Komputasi Logis, yang tidak lama berselang
dikenal luas sebagai mesin Turing.
“Adalah mungkin
untuk menciptakan mesin yang bisa dipergunakan untuk menghitung deret bilangan
berapa saja yang bisa dihitung,” dia menyatakan.10 Mesin semacam
itu bisa membaca instruksi mesin lain dan melaksanakan tugas apa pun yang dapat
dikerjakan mesin. Intinya, mesin semacam itu perwujudan dari mesin universal
serbaguna yang diimpi-impikan oleh Charles Babbage dan Ada Lovelace.
Lebih awal pada
tahun yang sama, matematikawan dari Princeton, Alonzo Church, telah
mengemukakan solusi lain yang kurang cantik dengan nama
misterius—setidak-tidaknya di mata orang awam—untuk Entscheidungsproblem,
yaitu “untyped lambda calculus”. Dosen Turing, Max
Newman, menilai akan bermanfaat bagi Turing apabila belajar ke Princeton di
bawah bimbingan Church.
Dalam surat
rekomendasinya, Newman menyebutkan potensi Turing yang luar biasa. Newman juga
menambahkan permohonan personal terkait kepribadian Turing. “Dia bekerja tanpa
pengawasan atau kritik dari siapa pun,” tulis Newman. “Karena itu, penting
kiranya agar dia sesegera mungkin diperkenalkan kepada para praktisi terkemuka
di bidang ini supaya tidak menjadi soliter sepenuhnya.”11
Turing memang
cenderung penyendiri. Sebagai penyuka sesama jenis, dia kerap merasa bagai
orang asing; dia hidup sendiri dan menghindari komitmen personal yang mendalam.
Suatu saat dia pernah melamar seorang kolega perempuan, tetapi kemudian merasa
berkewajiban untuk memberitahukan bahwa dirinya homoseksual. Rekannya itu
ternyata tidak gentar, tetap bersedia mengawininya, tetapi Turing mengurungkan
niat karena tidak mau menikah bohong-bohongan.
Walau begitu, dia
tidak menjadi “soliter sepenuhnya”. Turing belajar bekerja sama dalam satu tim,
bahu-membahu dengan sejumlah rekan, alhasil memungkinkan teori-teorinya yang
abstrak untuk dituangkan dalam temuan yang nyata dan bisa dilihat mata.
September 1936,
selagi menanti penerbitan makalahnya, kandidat doktor berusia 24 tahun ini
berlayar ke Amerika di kabin kelas tiga kapal usang RMS Berengaria sambil
membawa sekstan kuningan yang berharga. Kantor Turing di Princeton terletak di
gedung Departemen Matematika, yang juga merupakan gedung Institute for Advanced
Study, tempat Einstein, Gödel, dan von Neumann bermarkas. Von Neumann yang
supel dan berwawasan luas ternyata sangat tertarik akan pekerjaan Turing, sekalipun
kepribadian keduanya amat berlainan.
Perubahan elementer
dan kemajuan serempak pada 1937 bukanlah akibat langsung terbitnya makalah
Turing. Malahan, makalah itu mula-mula hanya sedikit menuai perhatian. Turing
meminta ibunya mengirimkan salinan makalah kepada filsuf-matematikawan Bertrand
Russell dan kira-kira enam cendekiawan tenar lainnya. Namun, satu-satunya
ulasan penting dibuat oleh Alonzo Church, yang rela menyanjung Turing karena
dirinya telah terlebih dahulu memecahkan Entscheidungsproblem
Hilbert.
Church bukan hanya
bermurah hati, melainkan juga memperkenalkan istilah mesin
Turing untuk konsep yang Turing namai Mesin Komputasi Logis. Dengan
demikian, pada usia 24 tahun, nama Turing tak terpisahkan dengan salah satu
konsep terpenting pada era digital kelak.12
CLAUDE SHANNON DAN GEORGE STIBITZ DI BELL LABS
Pada 1937 lahir terobosan teoretis penting lain
yang, sama seperti mesin Turing, murni eksperimen pemikiran. Terobosan ini
karya mahasiswa pascasarjana MIT bernama Claude Shannon, yang kala itu mengajukan
tesis magister paling berpengaruh sepanjang masa, makalah yang kelak disebut Scientific American sebagai “Magna Carta-nya Era
Informasi”.13
Shannon tumbuh
besar di kota kecil di Michigan. Dia gemar merakit model pesawat dan radio
amatir sedari kecil, kemudian melanjutkan kuliah Jurusan Matematika dan Teknik
Elektro di Universitas Michigan. Pada tahun terakhir kuliah Shannon merespons
iklan lowongan pekerjaan yang dipajang di papan pengumuman kampus, yaitu
sebagai asisten Vannevar Bush untuk mengoperasikan Differential Analyzer di
MIT.
Shannon mendapatkan
pekerjaan tersebut dan terpesona akan mesin itu—bukan karena mekanisme
tuas-katrol-roda yang menjadi komponen analog mesin tersebut, melainkan lebih
karena relay elektromagnetik yang berfungsi sebagai
sakelar sirkuitnya. Sinyal listrik menggerakkan sakelar sehingga terbuka dan
tertutup, menciptakan pola sirkuit yang berlainan.
Pada musim panas
1937 Shannon cuti dari MIT dan pindah ke Bell Labs, lembaga riset yang dikelola
oleh AT&T. Terletak di Manhattan, tepatnya di Greenwich Village dekat
Sungai Hudson, Bell Labs merupakan tempat benih-benih ide dimekarkan menjadi
temuan sungguhan. Di sinilah teori-teori abstrak bersilangan dengan
problem-problem praktis, sedangkan di koridor dan kafetaria para teoretikus
eksentrik berbaur dengan insinyur pragmatis, mekanik bertangan dingin, serta
praktisi cerdas.
Tak ayal hal
tersebut memicu perkawinan silang antara teori dan rekayasa. Bell Labs adalah
arketipe lingkungan kerja yang menyuburkan tumbuhnya inovasi pada era digital,
lingkungan yang disebut sejarawan sains Harvard, Peter Galison, sebagai “zona
pertukaran”. Ketika para praktisi dan teoretikus dengan latar belakang
berlainan berkumpul menjadi satu, mereka belajar mencari titik temu untuk
kemudian berbagi ide dan bertukar informasi.14
Di Bell Labs,
Shannon melihat dari dekat betapa menakjubkannya pengoperasian sirkuit telepon
yang menggunakan sakelar listrik untuk meneruskan sambungan dan menyeimbangkan
beban. Dalam benaknya, Shannon mulai menghubung-hubungkan cara kerja sirkuit
ini dengan topik lain yang menurutnya menarik, yaitu sistem logika yang
diformulasikan sembilan puluh tahun sebelumnya oleh George Boole, matematikawan
Britania.
Boole melakukan
revolusi di bidang logika berkat penggunaan simbol dan persamaan untuk
mengekspresikan pernyataan logika. Proposisi yang benar dia beri nilai 1,
sedangkan proposisi yang salah diberi nilai 0. Dengan demikian, operasi logika
dasar—seperti dan, atau, bukan, dan jika/maka—dapat
diekspresikan menggunakan proposisi tersebut, seperti persamaan matematika.
Shannon
menyimpulkan operasi logika ini dapat diterapkan pada sirkuit listrik,
menggunakan sakelar nyala-mati. Untuk mengerjakan fungsi dan,
contohnya, dua sakelar ditempatkan secara seri sehingga, agar listrik mengalir,
kedua sakelar mesti disetel menyala. Sementara itu, untuk mengerjakan operasi atau, kedua sakelar diposisikan secara paralel sehingga
listrik bisa mengalir asalkan sekurang-kurangnya satu sakelar menyala.
Rangkaian sakelar lebih canggih yang disebut gerbang logika dapat merampingkan
proses itu. Dengan kata lain, kita bisa mendesain sirkuit yang terdiri atas
banyak relay dan gerbang logika untuk mengerjakan
serangkaian operasi logika, setahap demi setahap.
(“Relay” pada dasarnya sakelar yang bisa dibuka tutup oleh
arus listrik, misalnya kumparan elektromagnet. Relay
yang bisa bergerak disebut relay elektromekanis;
sedangkan relay yang memanipulasi aliran elektron,
tetapi bagian-bagiannya tidak bergerak disebut relay
elektronik, misalnya tabung vakum dan transistor. “Gerbang logika”
adalah sakelar yang bisa mengolah lebih dari satu input. Contohnya, untuk dua
input, gerbang logika dan menyala jika input menyala dua-duanya, sedangkan gerbang logika atau
menyala jika sekurang-kurangnya satu input menyala.
Ide Shannon adalah menyusun sirkuit listrik tersebut sehingga dapat mengerjakan
operasi logika Boole.)
Sekembali Shannon
ke MIT pada musim gugur, Bush menyambut baik idenya dan mendesak Shannon
memasukkan ide tersebut ke tesis magisternya. Tesis berjudul “Analisis Simbolis
Sirkuit Switch dan Relay”
itu memaparkan pengerjaan fungsi-fungsi aljabar Boolean pada sirkuit listrik.
“Adalah mungkin untuk mengerjakan operasi matematika kompleks dengan sarana
berupa sirkuit relay,” pungkas Shannon.15 Kesimpulan ini merupakan konsep yang menjadi dasar seluruh komputer
digital.
Ide Shannon menarik
minat Turing karena keterkaitannya dengan konsep “mesin universal” yang dalam
bayangan Turing dapat mengolah perintah-perintah sederhana, yang diekspresikan
dalam bahasa biner, untuk memecahkan masalah matematika dan logika. Selain itu,
karena logika terkait dengan proses penalaran manusia, mesin yang bisa
mengerjakan operasi logika seharusnya—paling tidak teorinya begitu—bisa juga
menirukan cara kerja pikiran manusia.
Pada saat yang sama, di Bell Labs, bekerja pula
matematikawan bernama George Stibitz, yang bertugas mencari cara untuk mengolah
berbagai kalkulasi—pesanan para insinyur telepon—yang kian lama kian sulit
saja. Karena satu-satunya perangkat yang dipunyai berupa alat penjumlahan
mekanis, Stibitz bertekad menciptakan sesuatu yang lebih bagus berdasarkan ide
Shannon bahwa sirkuit listrik dapat mengerjakan operasi matematika dan logika.
Suatu malam pada
November, Stibitz mampir ke gudang, kemudian mengambil sejumlah bohlam serta relay elektromagnetik bekas untuk dibawa pulang. Di meja
dapur dia merakit komponen itu dengan kaleng tembakau dan beberapa sakelar
sehingga menghasilkan sebuah sirkuit logika sederhana yang bisa menjumlahkan
angka biner. Bohlam yang menyala melambangkan 1, sedangkan bohlam yang mati
melambangkan 0. Istrinya menyebut alat itu “Model K” (“K-Model”) karena dibuat
di dapur (kitchen). Stibitz membawa rakitannya ke
kantor keesokan hari dan berusaha meyakinkan para kolega bahwa, asalkan jumlah relay cukup banyak, dia dapat membuat kalkulator.
Satu misi penting
di Bell Labs ialah mencari cara untuk memperkuat sinyal telepon dalam jarak
jauh sekaligus menyaring derau statis. Para insinyur menyusun formula untuk menghitung
amplitudo dan fase sinyal, sedangkan solusi persamaan mereka kerap berupa
bilangan yang kompleks (misalnya mengandung unit imajiner yang
merepresentasikan akar bilangan negatif). Stibitz ditanyai oleh supervisornya
apakah mesin yang dia usulkan dapat mengelola bilangan-bilangan yang kompleks.
Ketika dia menjawab bisa, satu tim ditugaskan untuk membantu Stibitz merakit
alat tersebut.
Kalkulator Bilangan
Kompleks (The Complex Number Calculator), demikian namanya, dirampungkan pada
1939. Kalkulator tersebut memiliki lebih dari empat ratus relay,
masing-masing bisa terbuka tutup sampai dua puluh kali per detik. Alhasil,
mesin tersebut jauh lebih cepat ketimbang kalkulator mekanis, tetapi luar biasa
lambat jika dibandingkan dengan sirkuit yang sakelarnya terbuat dari tabung
vakum (yang merupakan inovasi baru). Komputer Stibitz tidak bisa diprogram,
tetapi kreasinya menunjukkan potensi sirkuit relay
untuk mengerjakan matematika biner, memproses informasi, dan mengolah prosedur
logika.16
HOWARD AIKEN
Masih pada 1937, mahasiswa doktoral Harvard
bernama Howard Aiken tengah berjuang mengerjakan perhitungan menjemukan untuk
menggunakan kalkulator tesis fisika. Ketika dia melobi universitas agar membuat
komputer lebih canggih untuk mengerjakan perhitungan, ketua departemennya
menyinggung bahwa di loteng pusat sains Harvard tersimpan sejumlah roda
kuningan dari alat berusia seabad yang sepertinya mirip dengan yang Aiken
inginkan.
Saat melihat-lihat
loteng, Aiken menemukan enam model Mesin Selisih Charles Babbage yang dibuat
dan didistribusikan oleh putra Babbage, Henry. Aiken terkagum-kagum akan ide
Babbage dan memindahkan roda-roda kuningan tersebut ke kantornya. “Betul, kami
punya dua roda Babbage,” kenangnya. “Roda-roda itulah yang nantinya saya ambil
dan pasang di bodi komputer.”17
Musim gugur itu,
pada saat Stibitz sibuk menyiapkan peragaan di meja dapur, Aiken menulis memo
sepanjang 21 halaman untuk pembimbingnya di Harvard dan para eksekutif IBM guna
meyakinkan mereka agar mendanai mesin digital Babbage versi modern. “Hasrat
untuk menghemat waktu dan kerja mental dalam mengerjakan perhitungan
aritmetika, sekaligus untuk mengeliminasi kesalahan manusia, barangkali lahir
berbarengan dengan lahirnya ilmu aritmetika itu sendiri,” demikianlah kalimat
pembuka memonya.18
Aiken melalui masa
kanak-kanak yang berat di Indiana. Sewaktu umurnya 12 tahun, Aiken menggunakan
tongkat perapian untuk melindungi sang ibu dari serangan ayahnya yang pemabuk
dan suka menganiaya. Ayahnya kemudian meninggalkan keluarga tanpa uang sepeser
pun sehingga Howard belia terpaksa putus sekolah saat kelas sembilan demi
mencari nafkah dengan bekerja sebagai teknisi pemasang telepon. Dia lalu
mencari pekerjaan malam di perusahaan listrik lokal supaya bisa bersekolah
teknik pada siang hari. Aiken memacu diri agar sukses, tetapi akibatnya dia
menjadi seperti sipir galak, sifatnya meledak-ledak.19
Harvard ternyata
bimbang menyikapi proposal Aiken. Kalkulator yang dia usulkan merupakan ide
bagus, tetapi memberinya proyek yang lebih berkarakter praktis daripada
akademis terkesan tidak bijaksana. (Di sejumlah kalangan Harvard, mengatai
seseorang berwatak “praktis” daripada “akademis” merupakan bentuk penghinaan.)
Yang mendukung Aiken adalah Presiden Harvard sekaligus Ketua National Defense
Research Committee, James Bryant Conant, yang merasa sah-sah saja memosisikan
Harvard sebagai bagian triumvirat akademisi-industri-militer.
Kendati demikian,
Departemen Fisika yang mewadahi Aiken lebih menekankan ilmu murni, bukan sains
terapan. Ketua departemen menyurati Conant pada Desember 1939, menyampaikan
bahwa mesin hitung “akan sangat berterima apabila terdapat dana yang memadai,
tetapi tidak serta-merta lebih berterima ketimbang proyek lain.” Sementara itu,
komite dosen berkomentar mengenai Aiken, “Dia mesti diberi tahu bahwa aktivitas
semacam itu tidak mendongkrak peluangnya untuk meraih jabatan profesor.”
Akhirnya, Conant yang menang dan dia mengizinkan Aiken merakit mesin tersebut.20
Pada April 1941,
sementara IBM membuat Mark I sesuai dengan spesifikasi Aiken di laboratorium
perusahaan di Endicott, New York, lelaki itu meninggalkan Harvard untuk
mengabdi di Angkatan Laut AS. Selama dua tahun, dengan pangkat letnan, Aiken
mengajar di Naval Mine Warfare School di Virginia.
Seorang kolega
menyebutkan, Aiken “bersenjatakan berbagai formula dan teori ala Harvard yang
ruwetnya minta ampun”. Padahal, di sekolah tersebut dia “hanya berhadapan
dengan sekawanan orang udik bebal yang tidak bisa membedakan kalkulus dengan
kue jagung”.21 Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk memikirkan Mark I dan Aiken
kadang-kadang berkunjung ke Endicott dengan pakaian dinas lengkap.22
Ternyata ada
untungnya Aiken mengabdi di ketentaraan. Awal 1944, saat IBM bersiap-siap
mengirimkan Mark I yang sudah jadi ke Harvard, Aiken berhasil meyakinkan
Angkatan Laut untuk mengambil alih pengembangan mesin itu dan menugasinya
sebagai perwira penanggung jawab. Dengan demikian, Aiken tidak perlu
repot-repot menghadapi birokrasi akademis di Harvard, yang masih enggan
memberinya pekerjaan tetap. Itu sebabnya, Harvard Computation Laboratory untuk
sementara menjadi fasilitas milik Angkatan Laut dan anak buah Aiken terdiri
atas personel AL yang bekerja berseragam. Aiken menyebut mereka “kru”, mereka
memanggilnya “komandan”, sedangkan Mark I dipanggil “she”,
seolah-olah mesin itu kapal kesayangan saja.23
Mark I buatan
Harvard meminjam banyak ide Babbage. Mesin tersebut digital, tetapi tidak
biner; roda-rodanya bisa diputar ke sepuluh posisi. Di selot sepanjang lima
belas meter terdapat 72 pencacah yang dapat menyimpan maksimal 23 digit angka,
sedangkan produk jadi memiliki berat lima ton, tinggi hampir 25 meter, dan
lebar 15 meter. Selot dan komponen-komponen bergerak lainnya dinyalakan oleh
arus listrik. Namun, mesin itu lambat. Alih-alih menggunakan relay elektromagnetik, mesin tersebut menggunakan sakelar
mekanis yang dibuka tutup oleh motor listrik. Artinya, butuh kira-kira enam
detik untuk menghitung perkalian, kontras dengan mesin Stibitz yang hanya butuh
sedetik. Kendati demikian, Mark I memiliki keunggulan yang akan menjadi ciri
khas semua komputer modern: kerjanya otomatis. Program dan data dimasukkan
menggunakan struk kertas, kemudian mesin itu bisa beroperasi sendiri selama
berhari-hari tanpa campur tangan manusia. Wajar jika Aiken menyebut Mark I
sebagai “impian Babbage yang menjadi nyata”.24
KONRAD ZUSE
Semua pionir tersebut tidak tahu bahwa mereka
sesungguhnya telah dikalahkan pada 1937 oleh seorang insinyur Jerman yang
bekerja di apartemen orangtuanya. Konrad Zuse merampungkan purwarupa kalkulator
berkarakter biner yang bisa membaca perintah dari struk berlubang. Walau
begitu, versi pertama kalkulator Zuse yang dinamai Z1 adalah mesin mekanis,
bukan mesin berbasis listrik ataupun elektronik.
Sama seperti banyak
pelopor era digital, Zuse sudah tertarik pada seni dan rekayasa sedari kecil.
Setelah lulus sekolah tinggi teknik, dia mendapat pekerjaan sebagai analis
tegangan di perusahaan pesawat di Berlin. Tugas Zuse antara lain memecahkan
persamaan linear yang memuat segala macam faktor beban, kekuatan, dan
elastisitas. Sekalipun menggunakan kalkulator mekanis, paling banter hanya
persamaan-persamaan linear yang terdiri atas enam variabel yang dapat
diselesaikan dalam sehari.
Jika variabel
berjumlah 25, bisa butuh setahun untuk menyelesaikan persamaan linear tersebut.
Itu sebabnya, Zuse, yang merasa bosan menyelesaikan pekerjaan itu-itu saja—sama
seperti banyak orang yang lain—berhasrat membuat mesin yang dapat memecahkan
persamaan matematika. Dia mengubah ruang keluarga di apartemen orangtuanya di Berlin,
dekat Bandara Tempelhof, menjadi bengkel.25
Dalam versi pertama
mesin Zuse, digit biner disimpan menggunakan sejumlah pelat logam pipih yang
terdiri atas banyak celah dan jarum—yang dibuat sendiri oleh Zuse dan
teman-temannya dengan gergaji. Mula-mula Zuse menggunakan struk berlubang untuk
memasukkan data dan program. Namun, dia segera mengganti kertas dengan gulungan
film 35 mm, yang bukan saja lebih kuat, melainkan juga lebih murah.
Z1-nya rampung pada
1938 dan mesin tersebut sanggup menyelesaikan segelintir soal, sekalipun
kerjanya kurang andal. Semua komponen mesin itu dibuat dengan tangan sehingga
kurang presisi dan sering macet. Zuse kurang beruntung karena tidak disokong
fasilitas lengkap seperti di Bell Labs dan tidak menjadi bagian institusi mapan
seperti Harvard atau IBM, yang niscaya bisa menyuplai para insinyur mumpuni
untuk melengkapi bakatnya.
Walau begitu, Z1
menunjukkan bahwa konsep logika yang didesain oleh Zuse pada praktiknya memang
bisa diaplikasikan. Seorang teman kuliah yang membantunya, Helmut Schreyer,
mengusulkan agar mereka membuat versi yang menggunakan komponen berupa tabung
vakum elektronik daripada sakelar mekanis. Andaikan mereka langsung
mengimplementasikan usulan itu, Zuse dan kawan-kawan niscaya akan tercatat
dalam sejarah sebagai penemu pertama komputer modern yang berbasis biner,
elektronik, dan dapat diprogram. Namun, Zuse dan semua pakar dari sekolah
tinggi teknik yang dia mintai masukan merasa keder karena membayangkan besarnya
biaya untuk merakit mesin yang membutuhkan hampir dua ribu tabung vakum.26
Untuk Z2, mereka
memutuskan menggunakan relay elektromekanis—dibeli
bekas dari perusahaan telepon—yang lebih kuat dan murah, sekalipun lebih
lambat, sebagai sakelar. Hasilnya, komputer yang menggunakan relay untuk unit aritmetika. Kendati demikian, unit
memorinya berbasis mekanis, menggunakan jarum-jarum yang bisa bergerak di
lembaran logam.
Pada 1939 Zuse
mulai mengerjakan model ketiga, Z3, yang menggunakan relay
elektromekanis, baik untuk unit aritmetika maupun unit kontrol. Ketika rampung
pada 1941, Z3 menjadi komputer digital serbaguna pertama yang dapat diprogram
di dunia. Walaupun tidak bisa secara langsung memproses lompatan kondisional
dan percabangan di dalam program, secara teoretis Z3 dapat berfungsi sebagai mesin
Turing universal. Perbedaan utama Z3 dengan komputer-komputer yang lebih modern
ialah penggunaan relay elektromagnetik yang lambat
daripada komponen elektronik seperti tabung vakum atau transistor.
Teman Zuse,
Schreyer, kemudian menulis tesis doktoral berjudul “Relay
Tabung dan Teknik Switching-nya” (“The Tube Relay and
the Techniques of Its Switching”) yang menggadang-gadang penggunaan tabung
vakum untuk membuat komputer yang lebih canggih dan cepat. Namun, ketika
Schreyer dan Zuse mengajukan proposal kepada Angkatan Darat Jerman pada 1942,
para panglima mengatakan dengan yakin akan memenangi perang kurang dari dua
tahun, periode yang dibutuhkan untuk merakit mesin semacam itu.27
Petinggi tentara
Jerman lebih tertarik membuat senjata daripada komputer. Alhasil, Zuse ditarik
dari pekerjaan mengembangkan komputer dan disuruh kembali ke teknik dirgantara.
Pada 1943 sejumlah komputer dan desain Zuse hancur lebur saat Sekutu mengebom
Berlin.
Zuse dan Stibitz,
yang bekerja secara terpisah, sama-sama mengusulkan penggunaan relay untuk membuat sirkuit yang dapat mengolah komputasi
biner. Bagaimana mereka sampai menelurkan ide ini pada saat bersamaan, padahal
perang tentu mengisolasi kedua tim tersebut satu sama lain? Jawabannya, karena
perkembangan teknologi dan teori membukakan jalan ke arah sana.
Sama seperti banyak
inovator lain, Zuse dan Stibitz tidak asing dengan penggunaan relay pada sirkuit telepon. Maka, masuk akal untuk
memanfaatkan teknologi itu dalam mengerjakan operasi biner matematika dan
logika. Pada saat bersamaan, Shannon, yang juga mengenal baik sirkuit telepon,
menyimpulkan bahwa sirkuit listrik bisa digunakan untuk mengerjakan operasi
logika aljabar Boole. Ide bahwa sirkuit digital akan menjadi kunci bagi proses
komputasi segera menjadi jelas bagi para peneliti di mana saja, bahkan di
tempat terpencil seperti Iowa tengah.
JOHN VINCENT ATANASOFF
Jauh dari Zuse dan Stibitz, seorang penemu lain
pun sibuk bereksperimen dengan sirkuit digital pada 1937. Dari ruang bawah
tanah di Iowa, pria tersebut menciptakan inovasi historis berikutnya: mesin
hitung yang sebagian menggunakan tabung vakum. Dalam banyak aspek, mesin itu
sebenarnya kurang canggih dibandingkan yang lain.
Mesin tersebut
tidak serbaguna, tidak bisa diprogram, terdiri atas sejumlah komponen mekanis
bergerak yang lambat, dan—sekalipun secara teoretis seharusnya bisa
berfungsi—kerjanya tidak andal. Walau begitu, John Vincent Atanasoff, yang
dipanggil Vincent oleh istri dan teman-temannya, layak mendapat penghormatan
sebagai pionir yang membuahkan komputer digital pertama dengan sebagian
komponen berbasis elektronik. Dia memperoleh ilham untuk membuat mesin tersebut
saat sedang menyetir malam-malam pada Desember 1937.28
Atanasoff lahir
pada 1903. Dia sulung dari tujuh kakak-adik, anak imigran Bulgaria dan wanita
keturunan salah satu keluarga yang paling lama tinggal di New England.
Atanasoff senior bekerja sebagai insinyur di pembangkit listrik New Jersey yang
dikelola oleh Thomas Edison, kemudian memindahkan keluarganya ke kota pedesaan
Florida di sebelah selatan Tampa. Saat berusia 9 tahun, ketika membantu sang
ayah menyambungkan listrik ke rumah mereka di Florida, Vincent diberi jangka
sorong Dietzgen. “Jangka sorong itu makanan saya,” kenangnya.29
Sejak kanak-kanak,
dia sudah serius belajar logaritma dengan ketekunan yang terkesan agak sinting.
Atanasoff menceritakan kembali masa kecilnya dengan nada tulus, “Bisakah Anda
bayangkan anak laki-laki 9 tahun, yang mula-mula maniak bisbol, mendadak
berubah total gara-gara pengetahuan tersebut? Bisbol lantas menempati prioritas
nyaris nol karena otak saya terlalu sibuk menekuri logaritma.”
Sepanjang musim
panas, dia menghitung logaritma 5 berbasis e,
kemudian, dibantu oleh ibunya (yang sempat menjadi guru Matematika), dia
belajar kalkulus sewaktu masih di sekolah menengah pertama. Sang ayah mengajak
Vincent ke pabrik fosfat tempatnya bekerja sebagai insinyur elektro untuk
menunjukkan cara kerja generator. Vincent belia yang pendiam, kreatif, dan
cemerlang menamatkan sekolah menengah atas dalam waktu dua tahun dengan nilai A
semua. Padahal, jumlah mata pelajaran yang dia ambil dua kali lipat daripada
murid-murid lain.
Di Universitas
Florida dia kuliah teknik elektro dan gemar mengotak-atik ini itu dan sering
menghabiskan waktu di lab mesin dan bengkel pengecoran milik universitas. Dia
masih menggandrungi matematika dan saat tingkat satu pernah mempelajari
pembuktian matematika dalam sistem biner. Kreatif dan percaya diri, dia lulus
dengan indeks prestasi kumulatif tertinggi seangkatan.
Atanasoff menerima
beasiswa untuk menempuh studi dan riset magister di bidang matematika dan
fisika di Universitas Iowa dan, sekalipun belakangan diterima di Harvard,
memutuskan untuk bertahan di Ames yang praktis merupakan kota pedalaman
Amerika, yang lebih terkenal berkat produksi jagung daripada cendekiawannya.
Atanasoff kemudian
melanjutkan ke program doktoral fisika di Universitas Wisconsin, meneliti
polarisasi helium di medan listrik. Di sana, sama seperti para pelopor komputer
lain, termasuk Babbage, dia ingin mencari cara supaya perhitungan matematika
yang itu-itu saja dapat dikerjakan secara lebih praktis dan cepat. Terbetik di
benaknya untuk menciptakan komputer. Sekembali ke Universitas Iowa pada 1930
sebagai asisten profesor, Atanasoff memutuskan bahwa gelar akademik di bidang
teknik elektro, matematika, dan fisika telah cukup membekalinya untuk
mewujudkan cita-cita tersebut.
Ada konsekuensi
dari keputusan Atanasoff untuk tidak bertahan di Wisconsin atau pindah ke
Harvard atau universitas riset besar yang setara. Di Universitas Iowa,
Atanasoff satu-satunya yang bekerja untuk menciptakan kalkulator anyar. Dia
memang produktif dalam menghasilkan ide-ide segar. Namun, di sekelilingnya
tidak ada orang yang mampu memberikan masukan atau membantu memecahkan
tantangan teoretis ataupun teknis.
Lain dengan
sebagian besar inovator pada era digital, Atanasoff adalah penemu tunggal,
memetik inspirasi selagi bermobil seorang diri dan berdiskusi dengan seorang
mahasiswa pascasarjana yang menjadi asistennya. Akhirnya, kesendirian Atanasoff
menjadi titik lemahnya.
Atanasoff mula-mula
mempertimbangkan untuk membuat mesin analog; kegandrungan pada jangka sorong
mengilhaminya untuk menciptakan semacam jangka sorong raksasa dari negatif film
panjang. Namun, dia lantas menyadari perlu gulungan film beratus-ratus meter
untuk memecahkan persamaan aljabar dengan akurasi sesuai kebutuhan. Atanasoff
juga membuat alat yang dapat membentuk gundukan parafin sehingga bisa
menghitung persamaan diferensial secara parsial. Keterbatasan alat-alat analog
ini akhirnya mendorong Atanasoff untuk lebih fokus menjajaki pembuatan alat
digital.
Kendala pertama
yang dia pecahkan adalah penyimpanan angka di dalam mesin. Atanasoff
menggunakan istilah memori untuk mendeskripsikan
fitur ini. “Saat itu, saya hanya tahu sepintas mengenai karya Babbage dan tidak
mengetahui dia menyebut konsep yang sama dengan istilah ‘simpanan’ .... Saya
menyukai istilahnya dan barangkali, jika tahu, saya akan menggunakan istilah
tersebut. Tetapi, saya juga menyukai istilah ‘memori’ karena analoginya dengan
otak.”30
Atanasoff menelaah
sejumlah alat yang mungkin bisa dijadikan perangkat memori: jarum mekanis, relay elektromagnetik, bahan magnetik kecil yang bisa
dipolarisasi oleh arus listrik, tabung vakum, dan kondensor elektrik kecil.
Yang kerjanya paling cepat adalah tabung vakum, tetapi harganya mahal. Jadi,
Atanasoff memilih menggunakan kondensor—yang kini kita sebut kapasitor—yaitu
komponen kecil dan tidak mahal yang bisa menyimpan muatan listrik, sekalipun
hanya sebentar.
Keputusan tersebut
dapat dipahami, tetapi mesin itu niscaya menjadi besar dan lambat karenanya.
Kalaupun penjumlahan dan pengurangan dapat dikerjakan secara cepat berkat
proses elektronis, proses penyimpanan dan pengambilan angka dari unit memori
berjalan lambat, secepat laju perputaran silinder.
Begitu menetapkan
komponen untuk unit memori, Atanasoff mengalihkan perhatian pada cara
mengonstruksi unit aritmetika dan logika, yang dia sebut “mekanisme komputasi”.
Atanasoff memutuskan unit tersebut mesti 100% elektronik; dengan kata lain
menggunakan tabung vakum, sekalipun harganya mahal. Tabung-tabung itu akan
berfungsi sebagai sakelar nyala-mati untuk menjalankan fungsi gerbang logika
pada sirkuit yang bisa menjumlahkan, mengurangi, dan mengerjakan fungsi Boolean
apa saja.
Keputusan itu
lantas memunculkan jenis persoalan matematika teoretis sebagaimana yang sudah
dia gemari semenjak kanak-kanak: sistem digitalnya mesti berbasis desimal,
biner, ataukah yang lain? Sebagai maniak sistem bilangan, Atanasoff sempat
menekuri banyak opsi.
“Basis seratus
pernah dianggap menjanjikan,” tulis Atanasoff dalam makalah yang tidak
diterbitkan. “Kalkulasi menunjukkan basis yang secara teoretis menghasilkan
kecepatan perhitungan tertinggi adalah e, basis
natural.”31 Namun, demi menyeimbangkan teori dengan terapan praktis, dia akhirnya
memilih basis 2 alias sistem biner. Pada akhir 1937 basis biner dan bermacam
ide lain berputar-putar di kepalanya, bagaikan keping-keping puzzle yang tidak mau “menyatu”.
George Stibitz (1904–1995) kira-kira pada 1945.
John Atanasoff (1903–1995) di Universitas Iowa
kira-kira pada 1940.
Konrad Zuse (1910–1995) dengan komputer Z4 pada
1944.
Rekonstruksi komputer Atanasoff.
Atanasoff
menggemari mobil; jika punya uang, dia bahkan akan membeli mobil baru tiap
tahun dan, pada Desember 1937, dia membeli Ford baru bermesin V8 nan perkasa.
Agar pikirannya santai, Atanasoff menyetir mobil itu malam-malam dan ternyata,
perjalanan berkendara tersebut akan menjadi momen yang patut dicatat dalam
sejarah komputer.
Suatu malam pada musim
dingin 1937, sekujur tubuh saya serasa menderita karena kebingungan memecahkan
persoalan mesin. Saya naik mobil dan lama menyetir dengan kecepatan tinggi supaya
dapat mengendalikan emosi. Demikianlah kebiasaan saya pada beberapa mil
pertama. Dengan berkonsentrasi pada kegiatan menyetir, emosi saya pun
terkendali. Namun, malam itu saya luar biasa tersiksa dan terus menyetir sampai
menyeberangi Sungai Mississippi ke Illinois. Saya sudah mengemudi sejauh 304
kilometer.32
Dia keluar dari jalan raya dan menepi di kedai
minum pinggir jalan. Setidak-tidaknya di Illinois, beda dengan di Iowa, dia
dapat membeli minuman keras. Atanasoff memesan bourbon
dengan soda sesloki, lalu sesloki lagi. “Saya menyadari keresahan saya sudah
berkurang dan saya pun kembali memikirkan mesin komputasi,” kenangnya. “Saya
tidak tahu kenapa pikiran saya saat itu encer, padahal sebelumnya tidak. Namun,
suasana entah kenapa terasa tenang, sejuk, dan nyaman.” Pelayan tidak
menghiraukan dia sehingga Atanasoff dapat terus merenungkan persoalannya tanpa
diganggu.33
Dia mencorat-coret
idenya di serbet, kemudian mulai merunut sejumlah persoalan praktis. Yang
paling penting ialah cara mengisi ulang muatan di dalam kondensor, yang niscaya
kosong dalam waktu satu atau dua menit. Terbetik di benaknya untuk memasangkan
beberapa kondensor itu ke sejumlah silinder yang berputar, kira-kira seukuran
kaleng minuman ringan sehingga bersentuhan sekali sedetik dengan kawat-kawat
sehalus sikat dan terisi ulang muatannya. “Malam ini di kedai minum, pikiran
saya mencetuskan kemungkinan dihasilkannya memori regeneratif,” Atanasoff
menyatakan.
“Saya menyebutnya
‘sentilan’ saat itu.” Seiring tiap putaran silinder, kawat-kawat akan menyentil
memori kondensor dan, bila perlu, mengambil data dari kondensor dan menyimpan
data baru. Atanasoff juga menggagas rancangan untuk mengambil angka-angka dari
dua silinder kondensor yang berlainan, kemudian menggunakan sirkuit tabung vakum
untuk menjumlahkan atau mengurangi kedua angka tersebut dan menyimpan hasilnya
di dalam memori. Setelah beberapa jam mereka-reka semuanya, kenang Atanasoff,
“Saya masuk ke mobil dan menyetir pulang dengan laju lebih lambat.”34
Mei 1939, Atanasoff siap memulai pembuatan
purwarupa. Dia memerlukan seorang asisten, lebih diutamakan mahasiswa
pascasarjana yang punya pengalaman di bidang rekayasa. “Saya sudah mendapatkan
calon yang tepat,” kawannya sefakultas memberi tahu Atanasoff suatu hari.
Demikianlah, dia pun menjalin kemitraan dengan sesama putra insinyur elektro
autodidak, Clifford Berry.35
Mesin Atanasoff
dirancang dan diprogram untuk satu tujuan: menyelesaikan lebih dari satu
persamaan linear secara simultan. Mesin tersebut dapat memproses maksimal 29
variabel. Di tiap langkahnya, mesin Atanasoff akan memproses dua persamaan dan
mengeliminasi satu variabel, lalu mencetak hasilnya di kartu berlubang biner
seukuran 8 × 11 inci. Kartu-kartu yang memuat persamaan lebih sederhana ini
kemudian dimasukkan kembali ke mesin untuk diproses, guna mengurangi satu lagi
variabelnya.
Keseluruhan proses
itu memang memakan waktu. Jika kerjanya lancar, waktu yang dibutuhkan mesin
untuk menyelesaikan satu set soal yang terdiri atas 29 persamaan lebih-kurang
satu minggu. Namun, perlu dicatat bahwa manusia yang mengerjakan proses serupa
dengan kalkulator meja membutuhkan setidaknya sepuluh minggu.
Atanasoff
memperagakan purwarupanya pada penghujung 1939. Berharap bisa memperoleh dana
untuk merakit mesin utuh, dia mengetik proposal 35 halaman dan menggunakan
kertas karbon untuk membuat beberapa salinan. “Tujuan utama makalah ini ialah
menyuguhkan deskripsi dan uraian tentang mesin komputasi yang dirancang
khususnya untuk memecahkan persamaan aljabar linear yang panjang,” demikian
awal proposalnya.
Seolah menepis
kritik bahwa kegunaan tersebut terlalu terbatas untuk mesin sebesar itu,
Atanasoff secara spesifik menyebutkan persoalan-persoalan yang pemecahannya
membutuhkan persamaan aljabar linear: “pencocokan kurva ... persoalan
vibrasional ... analisis sirkuit listrik ... struktur elastis.”
Dia menutup
proposal dengan menjabarkan rencana pengeluaran secara detail, yang nilai
totalnya $5.330. Dana itu akhirnya dia peroleh dari yayasan swasta.36 Lalu, dia mengirimkan satu kopi karbon proposalnya kepada seorang
pengacara paten di Chicago yang dipekerjakan Universitas Iowa. Pengacara ini
ternyata tidak bertanggung jawab. Baru terungkap belakangan, gara-gara sejumlah
kontroversi legal dan historis yang berlarut-larut, pengacara tersebut lalai
mendaftarkan paten kliennya.
September 1942, model mesin Atanasoff sudah
hampir rampung. Ukurannya sebesar meja dan terdiri atas hampir tiga ratus
tabung vakum. Namun, terdapat satu masalah: mekanisme penghasil bunga api untuk
melubangi kartu tidak kunjung berhasil diciptakan. Karena tidak ada tim
beranggotakan ahli mesin dan insinyur mumpuni di Universitas Iowa, Atanasoff
tidak bisa minta tolong kepada siapa-siapa.
Saat itulah
kerjanya terhenti. Atanasoff ditarik ke Angkatan Laut dan diutus ke laboratorium
senjata di Washington, D.C. Di sana dia mengerjakan ranjau akustik dan
belakangan menghadiri tes bom atom di Atol Bikini. Sekalipun kemudian
mengalihkan fokus dari komputer ke survei rekayasa untuk penggunaan militer,
Atanasoff tetap aktif sebagai penemu, bahkan memperoleh tiga puluh paten, salah
satunya adalah alat penyapu ranjau darat. Walau begitu, pengacara Atanasoff
yang berbasis di Chicago tidak pernah mengajukan paten untuk komputernya.
Komputer Atanasoff
bisa saja menjadi terobosan penting. Namun, mesin tersebut ditakdirkan masuk
tong sampah, baik dalam arti kiasan maupun harfiah. Mesin yang sudah nyaris
berfungsi disimpan di gudang bawah tanah gedung fisika Iowa Sate University
dan, beberapa tahun berselang, sepertinya tak seorang pun ingat apa kegunaan
mesin tersebut. Ketika ruang itu dibutuhkan untuk penggunaan lain pada 1948,
seorang mahasiswa pascasarjana memeretelinya, tidak mengerti itu mesin apa, dan
membuang sebagian besar komponennya.37 Bahkan, dalam berbagai
kronik sejarah yang ditulis oleh para periwayat awal era komputer, nama
Atanasoff tidak banyak disebut.
Kalaupun mesin itu
bisa bekerja seperti seharusnya, tetap saja terdapat keterbatasan. Sirkuit
tabung vakum membuat perhitungan secepat kilat, tetapi unit memori yang berputar
secara mekanis sangat memperlambat proses kerjanya. Begitu pula pelubangan
kartu dengan cara dibakar. Supaya kerjanya betul-betul cepat, komponen komputer
modern harus elektronik seluruhnya, bukan cuma
sebagian. Selain itu, model Atanasoff tidak bisa diprogram, tetapi hanya
dirancang untuk mengerjakan satu hal: menyelesaikan persamaan linear.
Daya tarik
Atanasoff sebagai penemu ialah karena mengotak-atik kreasinya sendirian di
ruang bawah tanah, hanya ditemani oleh rekan mudanya, Clifford Berry. Namun, kisahnya
justru membuktikan bahwa amat sukar untuk menjadi penemu yang seperti itu. Sama
seperti Babbage, yang juga membanting tulang di bengkel kecilnya sendiri hanya
dengan satu asisten, Atanasoff gagal membuat mesin yang berfungsi seutuhnya.
Andaikan dia bekerja
di Bell Labs, di tengah banyak teknisi, insinyur, serta mekanik, atau di
universitas riset besar, sangat mungkin akan ditemukan solusi untuk pembaca
kartu dan lain-lain. Selain itu, kepergian Atanasoff ke Angkatan Laut pada 1942
tentu takkan menjadi kendala karena masih ada tim yang bisa memoles kreasinya
sampai rampung atau paling tidak mengingat fungsi mesin tersebut.
Penyebab Atanasoff
tidak dilupakan dalam sejarah pengembangan komputer sesungguhnya ironis, yakni
peristiwa yang kelak membuat dia dongkol. Peristiwa Juni 1941 itu berupa
kunjungan dari orang yang gemar jalan-jalan, meminjam ide, dan bekerja sama
dalam tim daripada banting tulang sambil menyepi. Kunjungan John Mauchly ke
Iowa nantinya menjadi titik tolak gugatan hukum yang berlarut-larut, tuduhan
getir, dan perang narasi historis. Namun, kunjungan itu pula yang menyelamatkan
Atanasoff dari kuburan sejarah dan mendorong perkembangan komputer ke depan.
JOHN MAUCHLY
Pada awal abad ke-20 Amerika Serikat
mengembangkan, sama seperti Britania sebelumnya, sekelompok ilmuwan
kosmopolitan yang rajin berkumpul di gedung-gedung berdinding kayu dan bangunan
eksklusif lain, tempat mereka gemar berbagi ide, mendengarkan kuliah, serta
berkolaborasi dalam berbagai proyek. Di lingkungan itulah John Mauchly
dibesarkan.
Ayahnya seorang
fisikawan sekaligus kepala riset di Departemen Magnetisme Bumi di Carnegie
Institution, yang berbasis di Washington. Saat itu yayasan tersebut memegang
peran terdepan di AS dalam mendorong pengembangan dan pertukaran riset. Keahlian
Mauchly senior ialah merekam kondisi listrik atmosfer dan mengaitkannya dengan
cuaca, proses kolaboratif yang membutuhkan koordinasi peneliti dari Greenland
sampai Peru.38
Semasa tumbuh besar
di Chevy Chase, daerah suburban Washington, John sering bersinggungan dengan
komunitas ilmiah penghuni area tersebut. “Semua ilmuwan di Washington
sepertinya tinggal di Chevy Chase,” katanya menyombong. “Direktur Divisi Berat
dan Ukuran dari Biro Standardisasi tinggal di dekat kami. Begitu pula Direktur
Divisi Radio.” Kepala Smithsonian Institution juga tetangganya.
Pada akhir pekan
John kerap mengoperasikan mesin hitung untuk membantu ayahnya mengerjakan
kalkulasi dan lambat laun tumbuhlah ketertarikannya pada meteorologi berbasis
data. Dia juga menggandrungi sirkuit listrik. Bersama teman-teman sebaya dari
lingkungan tempat tinggal yang sama, John menyambungkan rumah mereka dengan
kabel interkom dan membuat alat kendali jarak jauh untuk meluncurkan petasan di
pesta-pesta. “Sewaktu saya memencet tombol, petasan akan terlontar sejauh lima
belas meter.” Pada usia 14 tahun dia sudah mendapat uang sendiri dengan
membantu para tetangga memperbaiki kabel yang rusak di rumah mereka.39
Semasa kuliah
sarjana di Universitas Johns Hopkins, Mauchly mendaftar ke program untuk
mahasiswa sarjana berprestasi supaya bisa langsung melompat ke program PhD
Fisika. Topik tesisnya mengenai spektroskop sinar. Kajian itu mengombinasikan
keindahan, eksperimentasi, dan teori. “Kita harus tahu teori untuk memahami apa
itu spektrum cahaya, tetapi kita juga membutuhkan foto eksperimental spektrum
itu. Lalu, siapa yang akan memfotokannya untuk kita?” ujarnya. “Kita sendiri
tentu saja. Jadi, saya belajar meniup kaca, membuat vakum, mencari kebocoran,
dan sebagainya.”40
Mauchly memiliki
kepribadian supel dan kemampuan (serta hasrat) luar biasa untuk menjelaskan ini
itu. Maka, wajar jika dia akhirnya menjadi profesor. Jabatan semacam itu jarang
bisa didapat pada zaman Depresi Besar. Namun, dia berhasil memperoleh pekerjaan
sebagai dosen di Ursinus College, yang berjarak satu jam perjalanan bermobil di
barat laut Philadelphia. “Sayalah satu-satunya orang yang mengajar fisika di
sana,” katanya.41
Satu aspek esensial
kepribadian Mauchly ialah kegemarannya berbagi ide, biasanya sambil bergaya
dramatis dan menyeringai lebar. Alhasil, dia teramat populer sebagai dosen.
“Dia suka sekali bicara dan banyak idenya yang tumbuh berkat percakapan dua
arah,” kenang seorang kolega. “John menggandrungi ajang sosial, suka menyantap
makanan enak, dan mengecap minuman keras bermutu. Dia menyukai kaum perempuan,
anak-anak muda yang menarik, mereka yang pandai, dan orang-orang yang tidak
biasa.”42 Menanyai Mauchly sama saja dengan mencari-cari masalah. Sebab, dia
bisa memberikan jawaban panjang-lebar nan tulus dan menggebu-gebu mengenai
topik apa saja, dari teater dan sastra hingga fisika.
Di depan kelas dia
berlagak bak seniman panggung. Untuk menjelaskan momentum, dia berputar-putar
sambil merentangkan tangan dan kemudian menekuk lengan ke dalam; untuk
menjabarkan konsep aksi-reaksi, dia berdiri di atas skateboard
buatan sendiri dan meluncur ke depan-belakang, trik yang suatu waktu
menyebabkannya jatuh dan patah lengan.
Orang-orang rela
menyetir bermil-mil demi mendengarkan kuliah akhir semester pra-Natal Mauchly,
yang lokasinya dipindahkan oleh perguruan tinggi ke auditorium terbesar agar
muat menampung seluruh pengunjung. Dalam kuliah tersebut, Mauchly menjelaskan
bagaimana spektografi dan metode fisika lain dapat dimanfaatkan untuk mencari
tahu isi paket tanpa membukanya. Menurut sang istri, “Dia mengukur, menimbang,
membenamkan bungkusan ke dalam air, menusuk-nusuknya dengan jarum panjang.”43
Merefleksikan
kekaguman pada meteorologi sejak kanak-kanak, fokus riset Mauchly pada awal
1930-an tentang keterkaitan (jika ada) antara pola cuaca dengan badai matahari,
bintik matahari, dan rotasi matahari. Para ilmuwan di Carnegie Institution dan
Biro Cuaca AS memberi Mauchly dua puluh tahun data harian dari dua ratus
stasiun pemantau cuaca, dan dia pun menyingsingkan lengan baju untuk menghitung
korelasi data tersebut.
Untungnya
(mengingat saat itu zaman Depresi Besar), Mauchly bisa membeli kalkulator meja
secara murah dari bank-bank yang terimbas krisis dan mempekerjakan sekelompok
orang muda, lewat Badan Administrasi Pemuda Nasional—salah satu badan yang
dibentuk oleh Pemerintah AS demi mengatasi dampak krisis—untuk melakukan
komputasi dengan bayaran lima puluh sen per jam.44
Sama seperti orang
lain yang harus mengerjakan perhitungan berulang yang menjemukan, Mauchly
bercita-cita menciptakan mesin untuk menunaikan tugas itu. Dengan gaya yang
supel, Mauchly mencari tahu apa saja yang sedang dikerjakan oleh orang lain
dan, sejalan dengan tradisi para penemu hebat, merajut aneka ide menjadi satu.
Di stan IBM dalam Pameran Dunia yang berlangsung pada 1939 di New York, dia
melihat kalkulator listrik yang menggunakan kartu berlubang. Namun, dia
menyadari penggunaan kartu menyebabkan kerja mesin terlampau lamban, apalagi
jika data yang mesti diolah berjumlah sangat besar sebagaimana yang dia punyai.
Mauchly juga
melihat mesin enkripsi yang menggunakan tabung vakum untuk menyandikan pesan.
Mungkinkah tabung tersebut digunakan dalam sirkuit logika jenis lain? Mauchly
mengajak para mahasiswanya berkaryawisata ke Universitas Swarthmore untuk melihat
alat hitung yang menggunakan sirkuit pengukur ionisasi sinar kosmis yang
memiliki komponen berupa tabung vakum.45 Dia juga mengambil
kursus malam di bidang elektronika dan mulai bereksperimen dengan sirkuit
tabung vakum yang dirakit sendiri untuk mencari tahu fungsi-fungsi apa saja
yang dapat dijalankan sirkuit semacam itu.
Dalam konferensi di
Universitas Dartmouth pada September 1940, Mauchly menyaksikan George Stibitz
mendemonstrasikan Kalkulator Bilangan Kompleks yang dirakit di Bell Labs.
Peragaan itu mencengangkan karena komputer Stibitz berada di gedung Bell di
Manhattan, mentransmisikan data lewat kabel telepon. Itulah komputer pertama
yang dioperasikan dari jarak jauh. Selama tiga jam komputer tersebut memecahkan
persoalan-persoalan yang diajukan oleh hadirin, masing-masing memakan waktu
sekitar semenit.
Salah seorang yang
hadir dalam demonstrasi itu adalah Norbert Wiener, pionir sistem informasi,
yang berusaha menjegal mesin Stibitz dengan meminta hasil dari pembagian dengan
nol. Mesin tersebut ternyata tidak terjebak. Juga hadir John von Neumann, orang
Hongaria serbabisa yang akan segera memainkan peran penting bersama Mauchly
dalam pengembangan komputer.46
Ketika Mauchly
akhirnya memutuskan merakit komputer dengan tabung vakum, sama seperti inovator
kelas satu yang lain, dia memanfaatkan informasi yang diperoleh dari seluruh
perjalanannya. Karena Ursinus tidak punya anggaran riset, Mauchly membeli
tabung dengan uang sendiri dan bahkan berusaha meminta sumbangan dari
perusahaan pembuatnya. Dia menyurati Supreme Instruments Corp untuk meminta
komponen dan menyatakan, “Saya bermaksud membuat mesin hitung listrik.”47
Mauchly mendapati
dalam kunjungan ke RCA bahwa tabung neon bisa pula digunakan sebagai sakelar;
kerjanya memang lebih lambat, tetapi harganya lebih murah, dan dia kemudian
membeli persediaan tabung neon seharga delapan sen per unit. “Sebelum November
1940,” istrinya kelak mengatakan, “Mauchly sukses menguji sejumlah komponen
komputer rekaan dan sudah yakin alat digital andal berbiaya murah yang hanya
terdiri atas elemen elektronik memang mungkin dibuat.” Sang istri bersikeras
hal tersebut sudah terjadi sebelum Mauchly mendengar tentang Atanasoff.48
Pada akhir 1940
Mauchly memberi tahu beberapa teman, berbekalkan semua informasi yang sudah
terkumpul, bahwa dia berharap bisa membuat komputer elektronik digital. “Kami
tengah mempertimbangkan pembuatan mesin komputasi listrik,” tulisnya November
tahun itu dalam surat untuk seorang meteorolog yang pernah menjadi rekan
kerjanya. “Mesin itu nantinya bisa mengerjakan operasi dalam waktu 1/200 detik,
menggunakan relay berupa tabung vakum.”49
Walaupun suka
bekerja sama dan menjaring informasi dari banyak orang, Mauchly mulai
menunjukkan hasrat kompetitif untuk menjadi orang pertama yang membuat komputer
jenis baru ini. Dalam surat untuk mantan mahasiswanya pada Desember, Mauchly
mengatakan, “Ini masih rahasia, tetapi dalam waktu kira-kira setahun lagi, saya
berharap bisa merakit dan merampungkan satu mesin hitung elektronik .... Tolong
jangan bilang siapa-siapa karena saya ingin menjadi ‘yang pertama’ meski tahun
ini bahan-bahan belum terkumpul.”50
Bulan itu, Desember 1940, Mauchly kebetulan
bertemu dengan Atanasoff. Bergulirlah rangkaian peristiwa yang disusul
perselisihan bertahun-tahun gara-gara kecenderungan Mauchly mengumpulkan
informasi dari beragam sumber dan hasratnya menjadi “yang pertama”. Atanasoff
menghadiri rapat di Universitas Pennsylvania dan dia menyimak sesi ketika
Mauchly mengutarakan keinginan membuat mesin untuk menganalisis data cuaca.
Selepas acara,
Atanasoff menyampaikan kepada Mauchly bahwa dia tengah merakit kalkulator
elektronik di Universitas Iowa. Mauchly menuliskan di buklet konferensi bahwa
Atanasoff mengklaim telah merancang mesin yang dapat memproses serta menyimpan
data dengan biaya hanya $2 per digit. (Mesin Atanasoff bisa mengolah tiga ribu
digit dan memakan biaya kira-kira $6.000.) Mauchly terpesona. Dia memperkirakan
bahwa pembuatan komputer tabung vakum mencapai hampir $13 per digit. Mauchly
mengatakan dia ingin sekali melihat mesin tersebut dan Atanasoff pun
mengundangnya ke Iowa.
Sepanjang paruh
pertama 1941, Mauchly berkorespondensi dengan Atanasoff dan terus mengagumi
murahnya ongkos pembuatan mesin tersebut. “Kurang dari $2 per digit
kedengarannya nyaris mustahil, tetapi jika saya tidak salah paham, itulah yang
Anda klaim,” tulis Mauchly. “Saran Anda agar saya datang ke Iowa terkesan
fantastis pada mulanya, tetapi saya sekarang antusias akan wacana itu.”
Atanasoff mendesak Mauchly agar menerima undangannya. “Guna memperbesar
motivasi Anda untuk berkunjung, saya berjanji akan menjelaskan perkara $2 per
digit itu,” kata Atanasoff.51
KUNJUNGAN MAUCHLY KE BENGKEL ATANASOFF
Kunjungan bersejarah itu berlangsung empat hari
pada Juni 1941.52 Mauchly menyetir dari Washington dan mengajak serta anak lelakinya
yang berumur 6 tahun, Jimmy. Mereka tiba larut malam pada Jumat, 13 Juni,
mengejutkan istri Atanasoff, Lura, yang belum menyiapkan kamar tamu. “Saya
harus melesat ke sana kemari, naik ke loteng, mengambilkan bantal tambahan, dan
lain-lain,” kenangnya kelak.53 Dia juga membuatkan
mereka makan malam karena keluarga Mauchly tiba dalam keadaan lapar.
Suami istri
Atanasoff mempunyai tiga anak, tetapi Mauchly sepertinya mengasumsikan Lura
akan mengurus Jimmy selama kunjungan tersebut. Dia memang mau mengurus si bocah
meski dengan berat hati. Yang jelas, Lura sontak tidak menyukai Mauchly.
“Menurutku, dia bukan orang yang jujur,” wanita tersebut sempat berkata
demikian kepada suaminya.54
Atanasoff antusias
memamerkan mesinnya yang baru setengah jadi, sekalipun sang istri khawatir dia
terlalu mudah percaya. “Sebelum kreasimu dipatenkan, kau mesti hati-hati,” Lura
memperingatkan. Namun, Atanasoff tetap mengajak Mauchly, beserta Lura dan
anak-anak, ke lantai bawah tanah gedung fisika keesokan harinya dan dengan
bangga menyibakkan kain penutup untuk menunjukkan hasil rakitannya dengan
Berry.
Mauchly terkesan
akan beberapa hal. Penggunaan kondensor di unit memori adalah solusi cerdik dan
hemat biaya, begitu pula penggunaan silinder berputar untuk mengisi ulang
muatan tiap detik. Mauchly sendiri sempat mempertimbangkan untuk menggunakan
kondensor alih-alih tabung vakum yang lebih mahal, dan dia mengapresiasi metode
“sentil memori” Atanasoff. Itulah rahasia di balik biaya pembuatan mesin yang
hanya $2 per digit.
Setelah membaca 35
halaman memo Atanasoff yang menjabarkan mesin itu secara detail, dan membuat
sejumlah catatan, Mauchly bertanya apakah dia boleh membawa pulang satu salinan
karbon. Permintaan itu ditampik Atanasoff karena dia tidak punya kopian lebih
(saat itu belum ada mesin fotokopi) dan juga karena waswas Mauchly mengorek
terlalu banyak informasi.55
Secara umum,
Mauchly sejatinya tidak banyak terilhami oleh apa yang dilihatnya di
Ames—setidaknya demikianlah dia kelak bersikeras. Kelemahan utama mesin
Atanasoff ialah komponennya tidak 100% elektronik, tetapi mengandalkan tabung
berputar sebagai penyimpan memori. Biaya memang bisa ditekan, tetapi komponen
mekanis menjadikan mesin tersebut sangat lambat.
“Saya berpendapat
mesinnya bagus, sedangkan sakelar mekanis berupa komutator berputar memang
bentuk solusi yang cerdik. Tetapi, mesin itu sama sekali tidak sehebat yang
saya bayangkan,” kenang Mauchly. “Alhasil, saya tidak lagi tertarik akan
detail-detailnya.” Kelak dalam kesaksian di pengadilan mengenai validitas
patennya, Mauchly menyebut bahwa karakter semimekanis mesin Atanasoff “teramat
mengecewakan” dan menepis mesin itu sebagai “alat mekanis yang kebetulan saja
menggunakan segelintir tabung elektronik untuk operasinya.”56
Hal kedua yang
membuat Mauchly kecewa ialah mesin Atanasoff didesain untuk satu tujuan saja
dan tidak dapat diprogram ataupun dimodifikasi guna mengerjakan tugas lain:
“Dia semata-mata merancang mesin itu untuk satu tujuan, yaitu memecahkan
persamaan linear.”57
Itu sebabnya,
alih-alih membawa pulang terobosan besar mengenai cara pembuatan komputer dari
Iowa, Mauchly semata mengantongi ide kecil untuk ditambahkan ke sekeranjang
informasi yang sudah dikumpulkan, secara sadar dan tidak, dari perjalanannya ke
berbagai konferensi, perguruan tinggi, serta ekshibisi. “Saya datang ke Iowa
dengan sikap yang sama seperti ketika mendatangi Pameran Dunia dan
tempat-tempat lain,” Mauchly bersaksi. “Adakah sesuatu di sini yang bisa bermanfaat
untuk membantu komputasi saya atau orang lain?”58
Sebagaimana
kebanyakan orang, Mauchly memperoleh ilham dari aneka pengalaman, percakapan,
dan observasi—dari Swarthmore, Dartmouth, Bell Labs, RCA, Pameran Dunia, dan
Universitas Iowa, dalam kasus Mauchly—yang kemudian dikombinasikan sedemikian
rupa menjadi ide-ide yang dia anggap sebagai kreasinya sendiri. “Ide baru
muncul tiba-tiba secara intuitif,” Einstein pernah berkata, “tetapi intuisi
semata-mata pengalaman intelektual terdahulu yang telah kita himpun.”
Ketika orang-orang
mengambil ide dari banyak sumber dan menyatukannya, lumrah apabila mereka
merasa ide itu murni ciptaannya sendiri—dan memang benar demikian. Semua ide
terlahir lewat proses seperti itu. Alhasil, Mauchly menganggap intuisi dan
pemikiran mengenai cara membuat komputer adalah anak kandung intelektualnya,
bukan sekantong ide yang dia curi dari orang lain. Sekalipun fakta hukum kelak
berkata lain, tidak salah apabila Mauchly merasa dirinya penggagas idenya
sendiri. Memang seperti itulah proses kreatif—kalaupun bukan proses
paten—berlangsung.
Berbeda dengan
Atanasoff, Mauchly memiliki kesempatan dan kecenderungan bawaan untuk
berkolaborasi dengan tim yang anggotanya mempunyai beragam bakat. Hasilnya,
daripada memproduksi mesin yang kurang andal dan ditelantarkan begitu saja
dalam ruang bawah tanah, Mauchly dan tim tercatat dalam sejarah sebagai penemu
komputer elektronik serbaguna pertama di dunia.
Saat bersiap-siap meninggalkan Iowa, Mauchly
memperoleh kabar menggembirakan. Dia diterima untuk mengikuti kuliah
elektronika di Universitas Pennsylvania, satu dari banyak program di sepenjuru
AS yang dibuka berkat kucuran anggaran darurat dari Departeman Perang. Inilah
kesempatan untuk mempelajari penggunaan tabung vakum dalam sirkuit elektronik sebagai—Mauchly
sekarang yakin—solusi terbaik untuk membuat komputer. Keberadaan program
tersebut juga menunjukkan arti penting pihak militer dalam mendorong inovasi
pada era digital.
Sepanjang kuliah
sepuluh minggu pada musim panas 1941, Mauchly berpeluang menggunakan salah satu
versi Differential Analyzer kreasi MIT, komputer analog yang dirancang oleh
Vannevar Bush. Pengalaman tersebut memperbesar minatnya untuk merakit komputer
sendiri. Berkat pengalaman itu pula Mauchly menyadari Universitas Pennsylvania
punya sumber daya yang jauh lebih memadai ketimbang Ursinus. Alhasil, dia
kegirangan ketika, pada akhir musim panas, perguruan tinggi tersebut
menawarinya menjadi pengajar di sana.
Mauchly
menyampaikan kabar gembira itu lewat surat kepada Atanasoff. Surat itu juga
memuat rencana samar-samar yang menggelisahkan sang profesor Iowa State.
“Macam-macam ide mengenai sirkuit untuk komputasi telah tebersit di benak saya
baru-baru ini. Sebagian ide tersebut praktis merupakan hibridasi, perpaduan
dari metode Anda dengan metode-metode lain, sedangkan sebagian lagi tidak ada
mirip-miripnya dengan mesin Anda,” tulis Mauchly dengan jujur. “Pertanyaan
saya, apakah Anda pribadi keberatan jika saya membuat komputer yang beberapa
fiturnya sama dengan fitur mesin Anda?”59 Dari surat ini saja,
ataupun berdasarkan penjelasan, deposisi, serta kesaksian bertahun-tahun
mendatang, sulit menentukan apakah redaksional kalimat Mauchly yang terkesan
polos itu memang tulus atau dibuat-buat.
Intinya, surat
tersebut membuat marah Atanasoff, yang masih belum berhasil menggerakkan
pengacaranya untuk mendaftarkan klaim paten barang satu pun. Dalam beberapa
hari dia menjawab surat Mauchly dengan nada agak ketus, “Pengacara telah
menekankan bahwa penting untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi
mengenai alat kami sebelum permohonan paten didaftarkan. Proses pendaftaran
semestinya tidak lama. Tentu saja saya tidak keberatan memberi tahu Anda
tentang alat kami. Namun, sebelum kami memperoleh paten, detail-detail tentang
alat itu belum boleh kami kemukakan kepada publik.”60 Ajaibnya, surat
Mauchly tersebut tidak juga mendorong Atanasoff ataupun pengacaranya untuk
segera mengajukan paten.
Pada musim gugur
1941 Mauchly maju terus untuk mendesain komputernya sendiri. Seperti yang
Mauchly akui dalam surat untuk Atanasoff, ide pembuatan komputer itu berasal
dari beraneka sumber dan berbeda sekali dengan mesin buatan Atanasoff.
Selagi mengikuti
kuliah di Universitas Pennsylvania musim panas sebelumnya, Mauchly bertemu
mitra yang tepat untuk bahu-membahu dengannya dalam mewujudkan mesin tersebut.
Mitra ini mahasiswa pascasarjana yang perfeksionis dan menggilai rekayasa yang
presisi. Saking banyak tahu mengenai elektronika, dia mengemban tugas sebagai
instruktur lab Mauchly sekalipun usianya 12 tahun lebih muda (umur pria
tersebut baru 22 tahun) dan belum punya gelar PhD.
Howard Aiken (1900–1973) di Harvard pada 1945.
J. Presper Eckert (1919–1995) kira-kira pada
1945.
John Mauchly (1907–1980) kira-kira pada 1945.
Eckert (menyentuh mesin), Mauchly
(di dekat pilar), Jean Jennings
(di belakang), dan Herman Goldstine
(di dekat Jennings) dengan ENIAC pada 1946.
(di dekat pilar), Jean Jennings
(di belakang), dan Herman Goldstine
(di dekat Jennings) dengan ENIAC pada 1946.
J. PRESPER ECKERT
John Adam Presper Eckert Jr., yang dikenal secara
formal sebagai J. Presper Eckert dan secara informal sebagai Pres, adalah anak
tunggal pengembang properti kaya raya dari Philadelphia.61 Salah seorang kakek buyutnya, Thomas Mills, menciptakan mesin pembuat
permen jeli air asin di Atlantic City dan, yang sama pentingnya, mendirikan
perusahaan untuk memproduksi serta menjual permen tersebut. Semasa kanak-kanak,
Eckert diantar oleh sopir keluarga ke sekolah swasta William Penn, yang
didirikan pada 1689.
Akan tetapi,
kesuksesan dia buah dari bakatnya sendiri, bukan karena status sebagai anak
orang kaya. Dia memenangi lomba sains sekota sewaktu berusia 12 tahun berkat
sistem pemandu kapal model yang dia buat menggunakan magnet serta reostat,
sedangkan pada usia 14 tahun dia secara inovatif memanfaatkan listrik di
rumah—menggantikan baterai yang sering bermasalah—untuk memberdayakan sistem
interkom di salah satu bangunan milik ayahnya.62
Di sekolah menengah
atas Eckert memukau para teman sekelas dengan pelbagai temuan dan dia
memperoleh uang dengan merakit radio, amplifier,
serta sound system. Philadelphia, kotanya Benjamin
Franklin, saat itu adalah sentra elektronika terkemuka dan Eckert banyak
melewatkan waktu di laboratorium riset Philo Farnsworth, salah seorang penemu
televisi.
Kendati dia
diterima di MIT dan ingin kuliah di sana, orangtuanya tidak ingin dia pergi.
Pura-pura kesulitan keuangan gara-gara Depresi Besar, mereka mendesak Eckert
kuliah di Universitas Pennsylvania saja dan tinggal di rumah. Dia menurut,
tetapi membangkang keinginan orangtuanya untuk kuliah bisnis. Eckert justru
mendaftarkan diri ke Moore School of Electrical Engineering di Universitas
Pennsylvania karena menurutnya teknik elektro lebih menarik.
Reputasi sosial
Eckert di Universitas Pennsylvania terdongkrak berkat kreasi yang dia namai
“Osculometer” (dari bahasa Latin yang berarti ‘mulut’). Konon alat ini bisa
mengukur elektrisitas hasrat dan asmara dari sebuah ciuman. Setiap pasangan
diminta mencengkeram pegangan alat dan kemudian berciuman, sentuhan bibir
mereka akan menutup rangkaian listrik. Sederet bohlam kemudian menyala,
sedangkan tujuan utamanya ialah berciuman sedemikian rupa agar kesepuluh bohlam
menyala dan megafon berbunyi. Para kontestan yang pandai tahu bahwa ciuman
basah dan telapak tangan berkeringat akan meningkatkan konduktivitas sirkuit.63
Eckert juga
menciptakan alat yang menggunakan metode modulasi cahaya untuk merekam bunyi di
film, yang patennya dia peroleh sewaktu masih mahasiswa strata satu berumur 21
tahun.64
Presper Eckert
memiliki sejumlah kebiasaan ganjil. Energi melimpah menyebabkannya tidak bisa
diam. Dia sering mondar-mandir di dalam ruangan, menggigiti kuku,
berjingkrak-jingkrak, dan sesekali malah berpikir sambil berdiri di atas meja.
Dia mengenakan rantai jam saku yang tidak dikaitkan ke jam dan kerap memuntir
rantai dengan jarinya seperti sedang menghitung rosario. Wataknya temperamental
sehingga terkadang meledak-ledak. Namun, kemarahannya dapat surut dalam sekejap
dan digantikan oleh sikap menawan.
Eckert ketularan
sifat perfeksionis dari sang ayah, yang kerap berkeliling situs konstruksi
sambil membawa sekotak besar krayon untuk mengguratkan instruksi, menggunakan
warna yang berlainan untuk mengindikasikan pekerja mana yang bertanggung jawab.
“Ayah saya perfeksionis dan gemar memastikan bahwa pekerjaan kami sudah tepat,”
katanya. “Tetapi, saking memesonanya dia, justru orang-orang yang
berlomba-lomba untuk mengerjakan instruksinya.”
Sebagai seseorang
yang berjiwa insinyur tulen, Eckert merasa bahwa orang seperti dirinya diperlukan
untuk melengkapi pekerjaan fisikawan seperti Mauchly. “Pekerjaan fisikawan
mencari kebenaran,” Eckert belakangan berkata. “Pekerjaan insinyur menemukan
solusi praktis.”65
ENIAC
Perang bisa memobilisasi sains. Selama
berabad-abad, sejak bangsa Yunani kuno membuat pelontar proyektil dan Leonardo
da Vinci mengabdi sebagai insinyur militer Cesare Borgia, kebutuhan perang
kerap memicu kemajuan di bidang teknologi. Tidak terkecuali pada pertengahan
abad ke-20. Banyak raihan teknologi penting pada era itu—komputer, tenaga atom,
radar, dan Internet—merupakan kreasi militer.
Keterlibatan
Amerika Serikat dalam Perang Dunia II pada Desember 1941 menjadi pemicu
keluarnya dana untuk mesin Mauchly dan Eckert. Universitas Pennsylvania dan
Departemen Persenjataan Angkatan Darat AS di Lapangan Uji Coba Aberdeen telah
ditugasi memproduksi buklet petunjuk pengesetan sudut tembakan untuk artileri
yang akan dikirimkan ke Eropa. Supaya bidikannya akurat, penembak senjata mesti
mengacu pada tabel yang memuat ratusan faktor, antara lain suhu, kelembapan,
kecepatan angin, ketinggian, serta jenis bubuk mesiu.
Dalam rangka
menyusun tabel untuk satu kategori proyektil yang ditembakkan satu jenis
senjata saja, perlu perhitungan persamaan diferensial berdasarkan tiga ribu
data lintasan. Perhitungan tersebut kerap dikerjakan oleh Differential
Analyzer, yang diciptakan di MIT oleh Vannevar Bush. Kalkulasi mesin
dikombinasikan dengan pekerjaan lebih dari 170 orang, kebanyakan perempuan, itu
disebut sebagai “komputer”.
Orang-orang ini menjajal
perhitungan dengan cara menekan tuts dan menggerakkan engkol mesin penjumlahan.
Para perempuan yang bergelar akademik di bidang matematika direkrut dari
sepenjuru negeri. Namun, sumber daya manusia yang demikian banyak dan mesin
secanggih itu hanya mampu merampungkan satu tabel tembakan dalam waktu sebulan
lebih. Pada musim panas 1942 jelaslah bahwa produksi tabel semakin molor dari
perkiraan, menyebabkan sebagian artileri Amerika tidak efektif di lapangan.
Pada Agustus itu
Mauchly menulis memo berisi usulan untuk membantu Angkatan Darat mengatasi
tantangan tersebut. Memo ini akan mengubah perkembangan bidang komputasi. Memo
berjudul “Penggunaan Alat Kalkulasi Berbasis Tabung Vakum Berkecepatan Tinggi”
tersebut meminta pendanaan untuk alat yang Mauchly dan Eckert ingin buat:
komputer elektronik digital yang sirkuitnya menggunakan tabung vakum dan bisa
memecahkan persamaan diferensial serta persoalan matematika lainnya.
“Kalkulasi akan
jauh lebih cepat apabila menggunakan alat yang dibuat dari komponen
elektronik,” Mauchly berargumen. Dia memperkirakan lintasan misil dapat
diperhitungkan dalam waktu “100 detik”.66
Memo Mauchly
diabaikan para dekan di Universitas Pennsylvania, tetapi menuai perhatian
perwira Angkatan Darat yang ditempatkan di perguruan tinggi itu, yakni pria 29
tahun bernama Letnan (yang tak lama berselang dipromosikan menjadi kapten)
Herman Goldstine. Perwira ini sempat menjadi dosen matematika di Universitas
Michigan dan mengemban misi mempercepat produksi tabel acuan tembakan.
Goldstine meminta
istrinya, Adele, yang juga matematikawan, berkeliling negeri untuk merekrut
lebih banyak perempuan supaya mau bergabung dengan batalion komputer manusia di
Universitas Pennsylvania. Memo Mauchly meyakinkan Goldstine bahwa ada cara yang
lebih jitu.
Keputusan Departemen Perang AS mendanai komputer
elektronik disahkan pada 9 April 1943. Mauchly dan Eckert begadang semalaman
untuk menggarap proposal. Namun, proposal tersebut belum jadi ketika mereka
naik ke mobil untuk berkendara dua jam dari Universitas Pennsylvania ke
Lapangan Uji Coba Aberdeen di Maryland, tempat berkumpulnya para pejabat
Departemen Persenjataan. Sementara Letnan Goldstine menyetir, keduanya duduk di
kursi belakang sambil menyelesaikan bagian-bagian yang belum ditulis. Setiba di
Aberdeen, mereka melanjutkan bekerja di dalam ruangan kecil saat Goldstine
menghadiri rapat evaluasi.
Rapat itu dipimpin
oleh Oswald Veblen, Presiden Institute for Advanced Study di Princeton, yang
menjadi konsultan proyek matematika untuk militer. Juga hadir Kolonel Leslie
Simon, Direktur Laboratorium Riset Balistik Angkatan Darat. Goldstine mengenang
peristiwa tersebut: “Veblen, setelah mendengarkan presentasi saya sebentar saja
dan bergerak-gerak di kursinya sampai kaki kursi terangkat, mendadak mengempaskan
kursi hingga berdebum, bangkit, lalu berkata, ‘Simon, beri Goldstine uang.’ Dia
lantas meninggalkan ruangan dan berakhirlah rapat dengan keputusan
menggembirakan tersebut.”67
Mauchly dan Eckert
menggabungkan memo mereka ke dalam makalah berjudul “Laporan mengenai Diff.
Analyzer Elektronik” (“Report on an Electronic Diff. Analyzer”). Singkatan diff. sengaja dipilih untuk merefleksikan karakternya yang
digital sekaligus untuk menjabarkan kemampuannya memecahkan persamaan
diferensial. Namun, mesin tersebut segera saja diberi nama yang lebih mudah
diingat, yaitu ENIAC atau Electronic Numerical Integrator and Computer
(Komputer dan Integrator Bilangan Elektronik).
Walaupun ENIAC
utamanya didesain guna mengolah persamaan diferensial, yang merupakan kunci
untuk mengalkulasi lintasan misil, Mauchly menulis mesin tersebut bisa saja
dilengkapi “alat pemrograman” supaya dapat mengerjakan tugas-tugas lain
sehingga berpotensi menjadi komputer serbaguna.68
Pada Juni 1943
dimulailah pembuatan ENIAC. Mauchly, yang tetap sibuk mengajar, berperan
sebagai pengembang rencana dan konsultan. Goldstine, sebagai wakil Angkatan
Darat, mengawasi operasional dan anggaran. Sementara itu, Eckert, yang
perfeksionis dan teliti akan detail, menjadi insinyur kepala. Saking totalnya
dalam mendedikasikan diri untuk proyek itu, Eckert terkadang tidur di samping
mesin.
Suatu kali,
semata-mata untuk bercanda, dua insinyur mengangkat ranjang lipat—tempat Eckert
sedang tidur—dan memindahkan dia ke ruangan yang identik satu lantai di
atasnya. Ketika terbangun, Eckert sempat takut kalau-kalau mesin tersebut telah
dicuri.69
Tahu bahwa konsepsi
hebat percuma saja jika implementasinya tidak presisi (pelajaran pahit yang
dipetik oleh Atanasoff), Eckert tidak sungkan merecoki anak buah hingga ke
detail yang sekecil-kecilnya. Dia kerap membayangi insinyur-insinyur lain
selagi mereka bekerja dan memberi tahu bahwa mereka mesti menyolder sambungan
di sebelah mana atau memuntir kawat dengan cara bagaimana.
“Saya memeriksa
pekerjaan tiap insinyur dan mengecek kalkulasi tiap resistor di dalam mesin
untuk memastikan semuanya benar,” Eckert menegaskan. Dia paling sebal terhadap
orang yang menganggap enteng hal-hal remeh. “Kehidupan ini himpunan dari
seluruh hal remeh,” dia pernah berkata. “Tentu komputer pun sekadar himpunan
besar dari hal remeh.”70
Kemitraan Eckert
dan Mauchly yang saling melengkapi sesungguhnya tipikal dwitunggal kepemimpinan
era digital. Eckert melecut orang-orang dengan hasratnya akan pekerjaan yang
presisi; Mauchly cenderung menenangkan dan membuat mereka merasa disayang. “Dia
senantiasa bergurau dan bercanda dengan orang-orang,” kenang Eckert. “Sifatnya
supel.”
Eckert, yang
keterampilan teknisnya dibarengi pembawaan tak bisa diam dan ketidakmampuan
mencurahkan perhatian lama-lama, setengah mati membutuhkan pemandu
intelektual—peran yang Mauchly mainkan dengan senang hati. Walaupun bukan
insinyur, Mauchly punya kemampuan mengaitkan teori ilmiah dengan praktik
rekayasa di lapangan dengan cara yang menggugah. “Kami bersatu padu untuk
mengerjakan hal tersebut. Jika sendirian, saya ataupun dia takkan bisa
mengerjakannya,” Eckert belakangan mengakui.71
ENIAC berkarakter digital, tetapi alih-alih
berbasis biner yang hanya menggunakan 0 dan 1, komputer itu menggunakan sistem
desimal alias berbasis sepuluh. Aspek inilah yang membedakan ENIAC dari
komputer modern. Terlepas dari itu, ENIAC jauh lebih unggul daripada mesin yang
dibuat Atanasoff, Zuse, Aiken, dan Stibitz.
Berkat kapabilitas
“percabangan kondisional” (kapabilitas yang dijabarkan oleh Ada Lovelace seabad
sebelumnya), mesin tersebut dapat melompati program berdasarkan hasil interim
dan bisa mengulangi blok kode—yang dikenal dengan istilah subroutine—yang
mengerjakan tugas tertentu. “Mesin kami bisa mengerjakan subroutine
dan subroutine di dalam subroutine,”
kata Eckert. Ketika Mauchly mengusulkan kapabilitas tersebut, kenang Eckert,
“Saya serta-merta menyadari betapa krusialnya ide tersebut.”72
Setelah setahun
merakit, kira-kira berbarengan dengan saat serangan Sekutu ke Normandia pada
Juni 1944, Mauchly dan Eckert mengetes dua bagian pertama, sekitar seperenam
dari mesin utuh yang direncanakan. Mereka memulai dengan persoalan perkalian
sederhana. Ketika mesin itu mengeluarkan jawaban yang benar, mereka kontan
bersorak. Namun, ENIAC baru berfungsi sepenuhnya lebih dari setahun berselang,
yaitu November 1945. Saat itu ENIAC sudah mampu mengerjakan lima ribu
penjumlahan dan pengurangan dalam sedetik, alias seratus kali lebih cepat
ketimbang mesin-mesin terdahulu.
Ukuran mesin
selebar tiga puluh meter dan setinggi dua setengah meter ini setara dengan satu
ruang apartemen sedang berlantai tiga, sedangkan beratnya hampir tiga puluh ton
dan tabung vakumnya berjumlah 17.468. Kontras dengan ENIAC, komputer
Atanasoff-Berry, yang saat itu terlupakan di ruang bawah tanah di Iowa, hanya
seukuran meja, terdiri atas tiga ratus tabung saja, dan cuma bisa mengerjakan
tiga puluh penjumlahan atau pengurangan per detik.
BLETCHLEY PARK
Sekalipun hanya segelintir orang luar yang tahu
ketika itu—dan akan terus demikian hingga lebih dari tiga dasawarsa
kemudian—satu lagi komputer elektronik yang menggunakan tabung vakum diam-diam
dibuat pada penghujung 1943 di kompleks griya bata merah berarsitektur Victoria
di Kota Bletchley, 87 kilometer di barat laut London.
Di sana Pemerintah
Britania menghimpun segelintir orang genius dan insinyur untuk memecahkan kode
rahasia Jerman. Komputer tersebut, yang dinamai Colossus, merupakan komputer
murni elektronik pertama di dunia dan bisa diprogram sebagian. Karena dibuat
untuk satu tujuan khusus, mesin itu tidak serbaguna dan tidak bisa disebut
komputer “Turing lengkap”. Namun, betul bahwa Turing meninggalkan jejak
pribadinya di mesin tersebut.
Turing mulai fokus
untuk mengkaji kode dan kriptologi pada musim gugur 1936 ketika datang ke Princeton
tepat sesudah menulis makalah tentang Entscheidungsproblem.
Turing menjelaskan ketertarikannya dalam surat untuk sang ibu pada Oktober itu.
Aku baru saja
menemukan aplikasi potensial untuk kajian yang sedang kukerjakan saat ini.
Topik sentral telaahku ialah “jenis kode atau cipher
paling general yang masih mungkin dibuat”. Sekalian menjawab pertanyaan
tersebut, aku menyempatkan diri menyusun banyak kode partikular yang menarik.
Salah satunya praktis mustahil dipecahkan tanpa kunci, padahal penyandiannya
sangat cepat. Kuduga aku bisa menjual teknik ini kepada Pemerintah Britania
dengan harga lumayan menggiurkan, tetapi aku ragu apakah tindakan tersebut
bermoral. Menurut Ibu bagaimana?73
Sepanjang tahun itu,
meski khawatir akan kemungkinan pecahnya perang dengan Jerman, Turing kian
berminat pada kriptologi dan kian tidak tertarik mencari uang dari karyanya.
Selagi bekerja di bengkel mesin di gedung fisika Princeton pada akhir 1937,
Turing membuat bakal mesin penyandi yang bisa mengubah huruf menjadi angka
biner dan, menggunakan relay elektromekanis,
mengalikan pesan numeral bersandi tersebut dengan bilangan besar rahasia
sehingga menjadikannya hampir mustahil untuk dipecahkan.
Salah seorang
mentor Turing di Princeton adalah John von Neumann, fisikawan dan matematikawan
brilian yang kabur dari negara asalnya, Hongaria, dan saat itu berkantor di
Institute for Advanced Study—yang untuk sementara bernaung segedung dengan
Departemen Matematika Universitas Princeton. Pada musim gugur 1938, saat Turing
tengah menyelesaikan tesis doktoral, von Neumann menawari pekerjaan sebagai
asisten.
Karena waktu itu
Eropa tengah dibayangi peperangan, tawaran tersebut memang menggoda. Namun,
Turing merasa tidak patriotik apabila menerima pekerjaan tersebut. Itu
sebabnya, Turing kemudian memutuskan kembali ke Cambridge untuk melakukan riset
dan, tidak lama kemudian, bergabung dengan tim pemecah kode rahasia militer
Jerman.
His Majesty’s
Government Code and Cypher School saat itu berlokasi di London dan mayoritas
stafnya cendekiawan ilmu sosial dan humaniora, antara lain Dillwyn “Dilly”
Knox, Profesor Kajian Klasik dari Cambridge, dan Oliver Strachey, sosialita
yang gemar bermain piano dan kadang-kadang menulis mengenai India. Tidak ada
satu matematikawan pun di antara kedelapan puluh staf sampai musim gugur 1938
ketika Turing masuk ke sana.
Akan tetapi, musim
panas berikutnya, saat Britania bersiap-siap menyongsong perang, departemen
tersebut mulai secara aktif memboyong matematikawan. Bahkan, mereka sempat
memasang kuis teka-teki silang di Daily Telegraph
sebagai alat rekrutmen.
Akhirnya,
departemen itu direlokasi ke Kota Bletchley, yang sepi dan sarat bangunan bata
merah, yang daya tarik utamanya adalah lokasinya—di persimpangan jalur kereta
api Oxford–Cambridge dan jalur London–Birmingham. Tim dari dinas intelijen
Britania, yang menyamar sebagai “rombongan berburu Kapten Ridley”, mengunjungi
Bletchley Park, rumah mahabesar berarsitektur Gotik Victoria. Sang pemilik
ingin menghancurkan bangunan tersebut, tetapi tim intelijen diam-diam
membelinya. Para pemecah kode ditempatkan di sejumlah pondok, istal, dan gubuk
seadanya yang didirikan di lahan Bletchley Park.74
Turing ditugaskan
ke tim di Gubuk 8, yang berusaha memecahkan kode Jerman Enigma. Kode tersebut
dihasilkan mesin portabel yang memiliki rotor mekanis
dan sirkuit listrik. Pesan militer dienkripsi menggunakan cipher
yang, setelah tiap pencetan tuts, mengubah formula penggantian huruf. Saking
sukarnya kode Jerman dipecahkan, Britania hampir patah arang.
Titik terang mulai
tampak ketika para perwira intelijen Polandia menciptakan mesin berdasarkan
penyandi Jerman hasil rampasan sehingga mampu memecahkan sebagian kode Enigma. Namun,
mesin tersebut ujung-ujungnya tidak berguna karena saat Polandia menunjuki
Britania mesin mereka, Jerman telah mendesain ulang mesin Enigma dengan
menambahkan dua rotor dan dua colokan kabel.
Turing dan tim
berupaya menciptakan mesin lebih canggih berjulukan “bombe”,
yang bisa memecahkan pesan Enigma anyar—terutama perintah Angkatan Laut yang
mengungkapkan pengiriman kapal selam untuk mengebom konvoi logistik Britania. Bombe mengeksploitasi beragam kelemahan kecil pada
penyandian itu sendiri; misalnya, tiada huruf yang disandikan menjadi huruf itu
sendiri dan frasa-frasa yang sering digunakan dalam bahasa Jerman. Pada Agustus
1940 tim Turing berhasil membuat dua bombe fungsional
yang dapat memecahkan 178 pesan bersandi; pada akhir perang mereka telah membuat
hampir dua ratus mesin pemecah kode.
Ditinjau dari
kacamata teknologi komputer, bombe yang didesain oleh
Turing tidak istimewa. Mesin tersebut berupa alat elektromekanis dengan
komponen berupa relay dan rotor,
bukan tabung vakum dan sirkuit listrik. Namun, mesin berikut yang diproduksi di
Bletchley Park, Colossus, adalah pencapaian besar.
Colossus dibuat demi menjawab kebutuhan Britania
ketika Jerman mulai menyandikan pesan-pesan penting—antara lain perintah dari
Hitler dan komando tingginya—dengan mesin elektronik digital menggunakan sistem
biner dan dua belas roda kode yang ukurannya lain-lain. Bombe
elektromekanis rancangan Turing tidak berdaya memecahkan kode tersebut. Untuk
melibas kode ini, dibutuhkan sirkuit elektronik yang kerjanya cepat.
Tim yang
bertanggung jawab memecahkan kode itu bermarkas di Gubuk 11 dan lebih dikenal
sebagai Newmanry, berdasarkan nama pemimpinnya, Max Newman, Profesor Matematika
Cambridge yang telah memperkenalkan Turing pada masalah Hilbert hampir
sedasawarsa sebelumnya. Mitra Newman di bidang rekayasa adalah genius
elektronik, Tommy Flowers. Dia pionir tabung vakum yang bekerja di Unit Riset
Perusahaan Pos di Dollis Hill, kawasan suburban di London.
Turing bukan
anggota tim Newman, tetapi dia menyumbangkan metode statistik berjuluk
“Turingery”, yang bisa mendeteksi penyimpangan distribusi sebangun dari
karakter di dalam teks bersandi. Kemudian, dibuatlah mesin yang bisa memindai
dua rol kertas berlubang, menggunakan pelat fotoelektrik. Pindaian keduanya
lalu dibandingkan untuk menganalisis semua permutasi yang mungkin. Mesin
tersebut dinamai “Heath Robinson”, dari nama kartunis Britania yang
spesialisasinya menggambar mesin-mesin mekanis ruwet dan absurd.
Selama hampir satu
dasawarsa, Flowers penasaran akan sirkuit elektronik yang dibuat dengan tabung
vakum. Sebagai insinyur di Divisi Telepon Perusahaan Pos, pada 1934 dia
menciptakan sistem eksperimental yang memuat lebih dari tiga ribu tabung untuk
mengontrol sambungan di antara seribu saluran telepon. Dia juga memelopori
penggunaan tabung vakum untuk penyimpanan data. Turing merekrut Flowers untuk
ikut menggarap mesin bombe dan kemudian
memperkenalkannya kepada Newman.
Flowers menyadari
bahwa supaya kode-kode Jerman dapat dianalisis dengan kecepatan memadai,
daripada membandingkan dua struk kertas berlubang, salah satu aliran data mesti
disimpan di memori elektronik internal mesin. Untuk menyimpan memori,
dibutuhkan 1.500 tabung vakum. Mula-mula para manajer di Bletchley Park
skeptis, tetapi Flowers maju terus dan, pada Desember 1943—dalam waktu hanya
delapan belas bulan—dia telah menciptakan mesin Colossus pertama. Versi yang
malah lebih besar, menggunakan 2.400 tabung vakum, sudah siap pada 1 Juni 1944.
Pesan sadapan
pertama yang berhasil dipecahkan ternyata sejalan dengan informasi-informasi
lain yang sudah masuk. Alhasil, Jenderal Dwight Eisenhower, yang hendak
meluncurkan serangan ke Eropa Barat, yakin Hitler tidak mengirim pasukan
tambahan ke Normandia. Dalam kurun setahun telah diproduksi delapan mesin
Colossus lainnya.
Dengan kata lain,
bahkan sebelum tercipta ENIAC, yang baru berfungsi pada November 1945, para
pemecah kode dari Britania telah merakit komputer elektronik murni digital (dan
biner pula). Versi kedua, yang dibuat pada Juni 1944, malah mempunyai kemampuan
percabangan kondisional. Namun, lain dengan ENIAC, yang jumlah tabungnya
sepuluh kali lebih banyak, Colossus adalah mesin berfungsi khusus yang
dirancang semata-mata untuk memecahkan kode, bukan sebagai komputer serbaguna.
Colossus juga hanya bisa diprogram secara terbatas sehingga tidak dapat
diperintahkan untuk mengerjakan segala jenis komputasi seperti (teorinya
begitu, paling tidak) ENIAC.
JADI, SIAPA PENEMU KOMPUTER?
Untuk menaksir siapa saja yang patut diberi
penghargaan sebagai pencipta komputer, pertama-tama penting kiranya bagi kita
merunut sejumlah karakter esensial komputer. Dalam pengertian paling luas,
komputer bisa mencakup banyak sekali benda, dari swipoa sampai iPhone. Namun,
karena topik bahasan buku ini kronik Revolusi Digital, masuk akal apabila kita
mengikuti definisi umum dan modern mengenai apa itu komputer. Beberapa di
antaranya sebagai berikut.
“Alat elektronik yang
biasanya dapat diprogram serta dapat menyimpan, mengambil, dan memproses data.”
(Merriam-Webster Dictionary)
“Alat elektronik yang
bisa menerima informasi (data) berformat tertentu dan mengerjakan urut-urutan
operasi sesuai dengan instruksi yang sudah ditentukan (program) untuk
mengeluarkan suatu hasil.” (Oxford English Dictionary)
“Alat serbaguna yang
bisa diprogram untuk mengerjakan serangkaian operasi aritmetika atau logika
secara otomatis.” (Wikipedia, 2014)
Jadi, komputer ideal
adalah mesin elektronik, serbaguna, dan dapat diprogram. Mesin manakah yang
paling memenuhi kriteria untuk disebut komputer pertama?
Model K buatan
George Stibitz, yang pertama-tama dirakit di meja dapur pada November 1937,
menjadi cikal bakal terciptanya model yang utuh di Bell Labs pada Januari 1940.
Mesin itu komputer biner dan merupakan yang pertama yang dapat dioperasikan
dari jarak jauh. Namun, mesin tersebut menggunakan relay
elektromekanis dan bukan alat elektronik murni. Selain itu, mesin tersebut
sekadar komputer berkegunaan khusus, bukan serbaguna dan tidak dapat diprogram.
Z3 buatan Herman
Zuse, yang dirampungkan pada Mei 1941, adalah mesin elektronik biner pertama di
dunia yang dapat diprogram dan kerjanya otomatis. Z3 didesain untuk mengerjakan
persoalan rekayasa daripada sebagai mesin serbaguna. Kendati demikian, mesin
itu secara teoretis memiliki kapasitas sebagai mesin Turing lengkap. Perbedaan
mencoloknya dibandingkan dengan komputer modern adalah sifatnya yang
elektromekanis, mengandalkan relay lambat daripada
sakelar elektronik. Satu kekurangan lainnya, Z3 belum bekerja sempurna seperti
yang diinginkan oleh Zuse. Mesin itu keburu hancur ketika Sekutu mengebom
Berlin pada 1943 sebelum Zuse sempat menyempurnakannya.
Komputer rancangan
John Vincent Atanasoff, yang sudah rampung, tetapi belum layak pakai ketika dia
meninggalkannya untuk mengabdi di Angkatan Laut pada September 1942, adalah
komputer elektronik digital pertama di dunia, tetapi tidak semua komponennya
elektronik. Mekanisme penjumlahan-pengurangannya menggunakan tabung vakum,
tetapi memori dan pengambilan datanya memanfaatkan komponen mekanis, yaitu
silinder berputar.
Selain itu, mesin
tersebut tidak bisa diprogram—kelemahan fatal apabila kita ingin
mengategorikannya sebagai komputer. Kreasi Atanasoff bukanlah mesin serbaguna,
melainkan disetel untuk mengerjakan satu tugas spesifik, yaitu memecahkan
persamaan linear. Celakanya lagi, Atanasoff tidak berhasil mewujudkan mesin
yang sama persis seperti rancangannya. Mesin itu pun terlupakan di ruang bawah
tanah Universitas Iowa.
Colossus I keluaran
Bletchley Park, yang dirampungkan pada Desember 1943 oleh Max Newman dan Tommy
Flowers (dibantu masukan Alan Turing), adalah komputer digital pertama yang
murni elektronik, dapat diprogram, dan fungsional. Namun, Colossus I bukanlah
mesin serbaguna atau komputer “Turing lengkap”; kegunaannya hanya satu, yakni
memecahkan kode rahasia Jerman.
Mark I yang dibuat
oleh Howard Aiken di Harvard beserta IBM dan mulai beroperasi pada Mei 1944,
bisa diprogram sebagaimana yang akan kita saksikan pada bab berikut. Namun,
karakternya elektromekanis, bukan elektronik.
ENIAC, yang
dirampungkan oleh Presper Eckert dan John Mauchly pada November 1945, merupakan
mesin pertama yang memiliki seluruh karakter komputer modern. Mesin tersebut
murni elektronik, bekerja secepat kilat, dan dapat diprogram dengan memasang
copot kabel-kabel yang menghubungkan unit berbeda. ENIAC bisa mengubah jalur
kerja berdasarkan hasil interim dan dapat dikategorikan sebagai mesin Turing
lengkap serbaguna atau—secara teoretis—bisa menjajal tugas apa saja. Yang
terpenting, komputer itu sudah berfungsi.
“Itulah inti sebuah
temuan,” kata Eckert kelak, mengontraskan mesin mereka dengan mesin Atanasoff.
“Seluruh sistem harus bisa bekerja (sebagaimana seharusnya, karena jika tidak
begitu, percuma saja).”75 Mauchly dan Eckert
menghasilkan mesin yang bisa mengerjakan sejumlah kalkulasi ruwet dan mesin
tersebut digunakan terus-menerus selama sepuluh tahun. ENIAC menjadi patokan
bagi sebagian besar komputer pada masa mendatang.
Butir terakhir itu
penting. Ketika kita menaksir siapa yang paling pantas dianggap penemu dan
dicatatkan dengan tinta emas dalam sejarah, salah satu kriteria yang
dipertimbangkan ialah kontribusi siapa yang paling berpengaruh. Yang paling
penting dari sebuah temuan bukan saja kebaruan, melainkan juga sumbangan
terhadap arus sejarah dan pengaruhnya bagi perkembangan inovasi lain. Apabila
kita menjadikan dampak historis sebagai tolak ukur, Eckert dan Mauchly inovator
yang paling menonjol.
Hampir semua
komputer pada 1950-an berakar dari ENIAC. Pengaruh Flowers, Newman, dan Turing
lebih sukar untuk dinilai. Pekerjaan mereka disembunyikan sebagai rahasia
negara. Namun, ketiga pria tersebut terlibat dalam pembuatan komputer Britania
seusai Perang Dunia II. Zuse, yang terisolasi dalam hujan bom di Berlin, malah
lebih tidak berpengaruh lagi terhadap perkembangan komputer di tempat-tempat
lain. Terkait Atanasoff, pengaruh utamanya di bidang komputer, barangkali
pengaruh satu-satunya, ialah memberikan segelintir inspirasi kepada Mauchly
ketika datang berkunjung.
Di lapangan kriteria hukum kerap digunakan juga
untuk menilai siapa yang paling pantas dinyatakan sebagai penemu. Intinya ialah
siapa yang berhak mendapatkan paten? Terkait komputer pertama, tak seorang pun
memegang patennya—demikianlah putusan pengadilan.
Kunjungan Mauchly
ke Iowa selama empat hari pada Juni 1941 untuk menemui Atanasoff—dan inspirasi
apa saja yang Mauchly petik selama empat hari itu—belakangan ternyata
dipermasalahkan. Di ujung perselisihan hukum yang kontroversial dan
berkepanjangan, hakim akhirnya memutuskan untuk mencabut paten Eckert dan
Mauchly.76
Pada 1947, setelah
meninggalkan Universitas Pennsylvania, Eckert dan Mauchly mengajukan paten atas
ENIAC yang—karena sistem pemrosesan paten sangat lambat—baru dikabulkan pada
1964. Saat itu perusahaan Eckert-Mauchly dan seluruh hak patennya sudah dijual
ke Remington Rand, yang telah berubah nama menjadi Sperry Rand.
Layaknya perusahaan
besar, Sperry Rand mulai mendesak perusahaan lain agar membayar lisensi. IBM
dan Bell Labs meneken kesepakatan dengan Sperry Rand, tetapi Honeywell menolak
dan mulai mencari cara untuk menggugat paten perusahaan itu. Honeywell
mempekerjakan pengacara muda, Charles Call, yang memiliki gelar insinyur dan
pernah bekerja di Bell Labs. Misinya adalah menafikan paten Eckert-Mauchly
dengan menunjukkan bahwa ide mereka tidak orisinal.
Menindaklanjuti
masukan salah seorang pengacara Honeywell yang pernah kuliah di Universitas
Iowa dan membaca mengenai komputer yang dirakit Atanasoff di sana, Call bertamu
ke rumah Atanasoff di Maryland. Atanasoff terpukau akan pengetahuan Call mengenai
komputernya dan merasa jengkel karena kurang mendapat pengakuan atas
kontribusinya.
Alhasil, Atanasoff
menyerahkan ratusan surat dan dokumen yang menunjukkan Mauchly mendapatkan
sejumlah ide berkat kunjungan ke Iowa. Malam itu Call bermobil ke Washington
untuk menghadiri kuliah Mauchly. Menjawab pertanyaan tentang mesin Atanasoff,
Mauchly mengklaim hanya melihat mesin itu sekilas. Call sadar, jika bisa
memancing Mauchly agar mengatakan ini di bawah sumpah, dia bisa mendiskreditkan
Mauchly di persidangan dengan mengajukan dokumen Atanasoff yang menyanggah
pernyataan tersebut.
Beberapa tahun
kemudian, ketika mengetahui Atanasoff mungkin membantu Honeywell menggugat
patennya, Mauchly bertamu ke rumah Atanasoff dengan mengajak seorang pengacara
Sperry Rand. Pertemuan itu serbacanggung. Mauchly mengklaim saat berkunjung ke
Iowa, dia tidak membaca makalah Atanasoff secara saksama ataupun memeriksa
komputernya. Sementara itu, Atanasoff mengingatkan dengan dingin bahwa klaim
tersebut tidak benar. Mauchly ikut makan malam dan berusaha memperlunak hati
Atanasoff, tetapi tidak berhasil.
Perkara itu
disidangkan di hadapan hakim federal, Earl Larson, di Minneapolis pada Juni
1971. Mauchly ternyata payah sebagai saksi. Selain sering mengaku “tidak
ingat”, penjelasannya tentang apa yang dilihat ketika berkunjung ke Iowa justru
terkesan mencurigakan. Dia juga berulang-ulang mencabut pernyataan dalam
deposisi sebelumnya, antara lain klaim hanya melihat komputer Atanasoff yang
setengah tertutup kain dalam suasana remang-remang.
Sebaliknya,
Atanasoff menyampaikan kesaksian secara amat lancar. Dia menjabarkan mesin yang
dibuat, mendemonstrasikan modelnya, dan menunjukkan ide-ide mana saja yang
dipinjam oleh Mauchly. Total 77 saksi, 80 pemberi deposisi, dan 32.600 barang
bukti diajukan dan dicatat dalam persidangan. Proses persidangan berlangsung
lebih dari sembilan bulan, persidangan federal yang memakan waktu paling lama
hingga saat itu.
Hakim Larson butuh
sembilan belas bulan tambahan untuk menuangkan keputusan final, yang dikeluarkan
pada Oktober 1973. Larson memutuskan paten ENIAC Eckert-Mauchly tidak valid.
“Eckert dan Mauchly bukanlah penemu pertama komputer elektronik digital
otomatis, melainkan semata-mata meminjam ide tersebut dari Dr. John Vincent
Atanasoff.”77 Daripada naik banding, Sperry berdamai dengan Honeywell di luar
pengadilan.*5
Opini hakim, yang
tertuang dalam dokumen sepanjang 248 halaman, memang menyeluruh, tetapi tidak
menyebutkan sejumlah perbedaan signifikan di antara kedua mesin. Mauchly tidak
meminjam gagasan Atanasoff sebanyak yang dikira oleh sang hakim. Contohnya,
sirkuit elektronik Atanasoff menggunakan logika biner, sedangkan mesin Mauchly
berbasis desimal. Andaikan uraian paten Eckert-Mauchly lebih spesifik, paten
tersebut barangkali takkan dicabut.
Intinya, mekanisme
legal pun tidak mampu menilai siapa tepatnya penemu komputer. Namun, berkat
sidang tersebut, nama Atanasoff yang sempat terlupakan menjadi terkuak ke
panggung sejarah. Implikasi lain yang malah lebih penting ialah—sekalipun hakim
dan kedua pihak yang bertikai tidak punya niat untuk itu—kasus tersebut
menunjukkan secara sangat gamblang bahwa inovasi hebat umumnya akumulasi dari
beragam ide yang berasal dari banyak sumber.
Suatu temuan,
terutama yang kompleks seperti komputer, lazimnya bukanlah buah karya individu,
melainkan hasil kerja kreatif yang kolaboratif. Mauchly rajin mengunjungi dan
berbincang dengan banyak orang. Ini mungkin menyebabkan temuannya sukar
dipatenkan, tetapi tidak mengurangi besarnya pengaruh Mauchly terhadap perkembangan
teknologi komputer.
Mauchly dan Eckert berhak menempati urutan
teratas tokoh yang paling pantas dijuluki penemu komputer bukan karena seluruh
idenya murni buah pikiran mereka, melainkan karena mampu menjaring gagasan dari
banyak sumber, membubuhkan inovasi mereka sendiri, menghimpun tim yang kompeten
untuk mewujudkan visi mereka, dan berpengaruh besar terhadap perkembangan
komputer selanjutnya.
Mesin yang mereka
buat adalah komputer elektronik serbaguna pertama di dunia. “Atanasoff mungkin
mendapat poin di pengadilan, tetapi dia kembali mengajar, sedangkan kami
melanjutkan karier dengan membuat komputer elektronik tulen pertama yang bisa
diprogram,” tandas Eckert belakangan.78
Apresiasi juga
perlu diberikan kepada Turing, yang telah mengembangkan konsep komputer
universal dan kemudian ambil bagian dalam perancangan komputer di Bletchley
Park. Arti penting historis para kontributor lain akan bergantung pada kriteria
apa yang paling kita hargai. Jika terpesona dengan romantika penemu tunggal
genius dan kurang peduli pada pengaruh si tokoh dalam perkembangan di bidang
yang ditekuni, kita mungkin akan menempatkan Atanasoff dan Zuse di urutan atas.
Akan tetapi, hikmah
utama yang bisa diambil dari kelahiran komputer ialah inovasi lazimnya buah
kerja sama tim, anak kandung kolaborasi orang-orang visioner dengan para
insinyur. Sementara itu, kreativitas merupakan kemampuan untuk mengawinkan
berbagai ide dari banyak sumber. Inovasi yang lahir bak sambaran petir,
kemudian digarap seorang diri oleh si penemu dalam garasi atau ruang bawah
tanah yang bobrok hanya ada dalam buku cerita.
Howard Aiken dan Grace Hopper
(1906–1992) dengan bagian dari Mesin Selisih Babbage di Harvard pada 1946.
(1906–1992) dengan bagian dari Mesin Selisih Babbage di Harvard pada 1946.
Jean Jennings (1924–2011) pada 1945.
Jean Jennings dan Frances Bilas beserta ENIAC.
Betty Snyder (1917–2001) pada 1944.
*1 Untuk a, b, dan c yang
merupakan bilangan bulat, persamaan an + bn = cn tidak memiliki jawaban apabila n lebih besar
daripada 2.
*2 Tiap bilangan bulat genap yang lebih besar daripada 2 dapat dinyatakan
sebagai penjumlahan dua bilangan prima.
*3 Proses membagi angka genap dengan 2 atau mengalikan angka ganjil
dengan 3 dan kemudian menjumlahkan hasilnya dengan 1, apabila diulang sampai
tak hingga, selalu menghasilkan nilai 1.
*5 Saat itu Atanasoff sudah
pensiun. Kariernya selepas Perang Dunia II dilalui di bidang persenjataan
militer dan artileri, bukan komputer. Dia meninggal pada 1995. John Mauchly
tetap aktif sebagai ilmuwan komputer. Dia antara lain menjadi konsultan untuk
Sperry dan pendiri sekaligus Presiden Asosiasi Mesin Komputasi. Dia meninggal
pada 1980. Eckert pun melalui sebagian besar karier di Sperry. Dia meninggal
pada 1995.
Comments
Post a Comment