The Selfish Gene - Richard Dawkins - 01

BAB 1
MENGAPA ADA MANUSIA?
 

Kehidupan cerdas di suatu planet berkembang menjadi dewasa saat pertama kali menggali alasan keberadaannya sendiri. Andai makhluk superior dari antariksa mengunjungi Bumi, pertanyaan pertama mereka untuk menilai tingkat peradaban kita adalah: "Sudahkah mereka tahu tentang evolusi?" Selama tiga miliar tahun lebih, organisme hidup telah ada di Bumi tanpa pernah tahu mengapa mereka ada, sebelum akhirnya salah satu di antara mereka menyadarinya. Namanya Charles Darwin. Mungkin orang lain telah mendapat petunjuk tentang kebenaran itu, tapi Darwin- lah yang pertama kali menuliskan pemaparan yang koheren dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai mengapa kita ada. Darwin memungkinkan kita untuk memberikan jawaban yang masuk akal bagi si anak penasaran yang pertanyaannya menjadi judul bab ini. Kita tidak lagi harus lari ke takhayul ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar berikut: Apakah hidup ada maknanya? Mengapa kita ada? Apakah manusia itu? Setelah mengajukan pertanyaan yang terakhir ini, seorang ahli zoologi terkemuka G.G. Simpson mengutarakan: "Inti hal yang ingin saya kemukakan adalah bahwa semua upaya untuk menjawab pertanyaan itu sebelum tahun 1859 tidaklah berharga sehingga akan lebih baik jika kita abaikan saja sepenuhnya."1


Hari ini teori evolusi sudah tak diragukan, sama seperti teori bahwa Bumi berputar mengelilingi Matahari. Tapi dampak utuh revolusi Darwin belum disadari secara luas. Zoologi masih menjadi subjek minoritas di perguruan tinggi, dan mereka yang memilih untuk mempelajarinya pun sering membuat keputusan itu tanpa memahami makna filosofisnya yang mendalam. Filsafat dan bidang yang dikenal sebagai "humaniora" masih diajarkan seolah-olah Darwin tidak pernah hidup. Tidak diragukan lagi itu akan berubah seiring waktu. Walau demikian, buku ini tidak dimaksudkan sebagai advokasi umum Darwinisme. Sebaliknya, buku ini hendak menjelajahi konsekuensi teori evolusi untuk perkara tertentu. Tujuan saya adalah mengkaji biologi egoisme (perilaku mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan pihak lain) dan altruisme (perilaku mengutamakan kepentingan pihak lain di atas kepentingan pribadi).


Terlepas dari kepentingan akademiknya, kepentingan kemanusiaan pokok bahasan itu sangat jelas. Kepentingan itu menyentuh setiap aspek kehidupan sosial kita, cinta dan benci kita, pertarungan dan kerja sama kita, cara kita memberi dan mencuri, keserakahan dan kemurahan hati kita. Ini klaim yang bisa saja dibuat dalam karya Lorenz, On Aggression, Ardrey, The Social Contract; dan Eibl-Eibesfeldt, Love and Hate. Masalahnya dengan buku-buku itu adalah kekeliruan total para penulisnya. Mereka keliru karena tidak memahami bagaimana kerja evolusi. Mereka berasumsi secara keliru bahwa yang penting dalam evolusi adalah kepentingan spesies (atau kelompok), bukan kepentingan individu (atau gen). Sungguh ironis bahwa Ashley Montagu harus mengkritik Lorenz sebagai "keturunan langsung pemikir-pemikir ‘alam bergigi dan bercakar merah’ (nature red in tooth and claw) dari abad ke-19". Sepemahaman saya atas pandangan Lorenz tentang evolusi, dia bakal sepakat dengan Montagu yang menolak dampak ungkapan terkenal Tennyson itu.2 Tidak seperti mereka berdua, saya pikir frase "alam bergigi dan bercakar merah" secara mengagumkan meringkas pemahaman modern kita akan seleksi alam.


Sebelum memulai argumen saya sendiri, saya ingin menjelaskan secara singkat argumen itu argumen macam apa dan bukan argumen macam apa. Jika kita diberitahu bahwa seorang laki-laki menjalani hidup yang panjang dan makmur di dunia gangster di Chicago, kita berhak menebak dia orang macam apa. Kita tak akan heran jika dia memiliki kualitas seperti ketangguhan, kecepatan jari untuk menarik pelatuk pistol, dan kemampuan untuk menarik teman-teman setia. Itu bukanlah deduksi yang sempurna, tapi Anda dapat membuat beberapa kesimpulan tentang karakter seorang laki-laki jika Anda mengetahui kondisi tempat dia bertahan hidup dan meraih kemakmuran. Argumen buku ini adalah bahwa kita, dan semua hewan lainnya, adalah mesin yang diciptakan oleh gen kita. Seperti suksesnya gangster Chicago, gen kita juga berhasil bertahan di dunia yang sangat sarat persaingan, kadang sampai selama jutaan tahun. Itu membuat kita berhak mengharapkan kualitas tertentu dalam gen kita. Saya akan menyatakan bahwa kualitas utama yang dapat diharapkan dalam gen yang sukses adalah keegoisan tanpa ampun (ruthless selfishness). Gen egois ini biasanya akan menimbulkan egoisme dalam perilaku individu. Namun, seperti yang akan kita lihat, ada keadaan khusus ketika gen dapat mencapai tujuan pribadinya dengan cara mengembangkan bentuk altruisme terbatas di tingkat individu hewan. "Khusus" dan "terbatas" adalah kata-kata penting dalam kalimat barusan. Walaupun kita sangat ingin percaya yang sebaliknya, cinta universal dan kesejahteraan spesies secara keseluruhan adalah konsep yang sama sekali tidak masuk akal secara evolusioner.


Maka kita kembali ke perkara yang ingin saya tegaskan, tentang apa yang bukan maksud buku ini. Saya tidak menganjurkan moralitas yang didasari evolusi.3 Yang ingin saya jelaskan adalah bagaimana segala sesuatu berevolusi. Saya tidak memberitahu bagaimana kita manusia harus berperilaku secara moral. Saya menekankan itu karena saya terancam disalahpahami oleh banyak sekali orang yang tidak bisa membedakan pernyataan keyakinan mengenai apa yang terjadi dan pembelaan atas apa yang seharusnya terjadi. Saya sendiri merasa bahwa masyarakat yang hanya didasari hukum gen universal yang egois tanpa ampun akan menjadi masyarakat yang sangat buruk. Namun, sayangnya, sebesar apa pun kita menyesalkan sesuatu, itu tidak akan menghilangkan keberadaannya. Buku ini terutama dimaksudkan untuk menjadi bacaan yang menarik, tapi jika Anda ingin menarik moral darinya, bacalah sebagai suatu peringatan. Berhati-hatilah jika Anda, seperti saya, ingin membangun masyarakat di mana masing-masing individu bekerja sama dengan murah hati dan tak mementingkan diri sendiri sehingga tercapailah kemaslahatan bersama; Anda hampir tak bisa mengharapkan bantuan dari sifat-sifat biologis. Mari kita coba mengajarkan kemurahan hati dan altruisme karena kita dilahirkan egois. Mari kita memahami apa yang dikehendaki oleh gen-gen egois kita sendiri. Mungkin setidaknya kita akan memiliki kesempatan untuk mengotak-atik rancang gen, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh spesies lain.


Sebagai konsekuensi pernyataan tentang ajar-mengajar itu, sangatlah kclirmneski kekeliruan ini sangat lazim—untuk menyangka bahwa sifat warisan genetis dengan sendirinya sudah tetap dan tak dapat diubah. Gen bisa memerintahkan diri kita untuk menjadi egois, tapi kita tidak selalu terpaksa mematuhinya sepanjang hidup kita. Mungkin saja kita lebih sulit untuk belajar altruisme ketimbang kalau kita diprogram secara genetis untuk menjadi altruistis. Di antara hewan, manusia menjadi unik karena didominasi oleh budaya dan pengaruh lain yang dipelajari dan diwariskan. Beberapa orang mengatakan bahwa budaya begitu penting sehingga gen, entah egois atau tidak, hampir tidak relevan untuk memahami sifat manusia. Sebagian lain tidak setuju. Itu semua tergantung pada di mana posisi Anda dalam perdebatan antara alam vs pengasuhan (nature versus nurture) sebagai penentu sifat manusia. Dan ini membawa saya ke hal kedua yang bukan merupakan maksud buku ini: buku ini bukanlah pembelaan terhadap salah satu posisi dalam kontroversi alam/pengasuhan. Tentu saya punya pendapat tentang hal itu, tapi saya tidak akan mengungkapkannya kecuali sejauh itu tersirat dalam pandangan atas kebudayaan yang akan saya utarakan di bab terakhir. Jika gen ternyata benar-benar sama sekali tidak relevan bagi penentuan perilaku manusia modern, jika kita benar-benar merupakan yang satu-satunya di antara hewan dalam hal ini, setidaknya kita masih bisa mempelajari hukum yang mengecualikan kita. Dan jika spesies kita tidak seluarbiasa yang kita kira, maka semakin pentinglah bagi kita untuk mempelajari hukum itu.


Hal ketiga yang bukan merupakan maksud buku ini adalah pemaparan deskriptif rinci mengenai perilaku manusia atau spesies hewan lainnya. Saya akan menggunakan rincian faktual hanya sebagai contoh ilustrasi. Saya tidak akan mengatakan: "Jika Anda melihat perilaku monyet, Anda akan mendapatinya sangat egois sehingga kemungkinan perilaku manusia juga egois." Logika argumen "gangster Chicago" saya agak berbeda. Tepatnya seperti ini. Manusia dan monyet telah berevolusi melalui seleksi alam. Jika Anda melihat cara seleksi alam bekerja, sepertinya terlihat bahwa apa pun yang telah berevolusi melalui seleksi alam haruslah egois. Oleh karena itu, kala melihat perilaku monyet, manusia, dan semua makhluk hidup lainnya, kita mesti mengharapkan akan mendapati bahwa memang perilaku semua makhluk hidup itu egois. Bila perkiraan kita ternyata salah, bila ternyata perilaku manusia benar-benar altruistis, maka kita akan dihadapkan dengan sesuatu yang membingungkan, sesuatu yang perlu penjelasan.


Sebelum melangkah lebih jauh, kita memerlukan definisi. Suatu entitas, seperti monyet, dikatakan altruistis jika berperilaku sedemikian rupa untuk meningkatkan kesejahteraan entitas lainnya dengan mengorbankan kesejahteraan sendiri. Perilaku egois memiliki efek sebaliknya. "Kesejahteraan" (welfare) didefinisikan sebagai "kemungkinan bertahan hidup", bahkan jika efeknya terhadap peluang hidup dan mati yang sesungguhnya sangat kecil sehingga seolah bisa diabaikan. Salah satu konsekuensi mengejutkan versi modern teori Darwin adalah pengaruh-pengaruh kecil yang tampaknya sepele, terhadap kemungkinan untuk bertahan hidup, dapat berdampak besar kepada evolusi. Ini karena ada banyak waktu yang tersedia bagi pengaruh itu untuk menghasilkan dampak yang dapat dirasakan.


Perlu disadari bahwa definisi di atas tentang altmisme dan egoisme adalah definisi perilaku, bukan subjektif. Di sini saya tidak menyibukkan diri dengan psikologi motif. Saya tidak akan berdebat tentang apakah orang-orang yang berperilaku altruistis "sebenarnya" berperilaku begitu karena motif egois yang disembunyikan atau berasal dari bawah sadar. Mungkin benar dan mungkin tidak, mungkin kita tidak akan pernah tahu, yang pasti buku ini bukanlah tentang persoalan itu. Definisi saya hanya berhubungan dengan apakah efek suatu tindakan menurunkan atau menaikkan prospek kelangsungan hidup pihak yang altruistis dan prospek kelangsungan hidup penerima manfaat.


Mendemonstrasikan efek perilaku terhadap peluang kelangsungan hidup jangka panjang adalah perkara rumit. Dalam praktiknya, kala kita menerapkan definisi itu ke perilaku nyata, maka kita harus menggunakan kata "tampaknya". Suatu tindakan yang tampaknya altruistis adalah tindakan yang, di permukaannya, seolah-olah cenderung membuat si altruis lebih mungkin (betapapun sedikitnya) mati sedangkan yang menerima manfaat tindakan itu lebih mungkin bertahan hidup. Kalau diamati lebih dekat, acapkali tindakan yang tampaknya altruisme sesungguhnya keegoisan terselubung. Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa motif yang sesungguhnya mendasari adalah keegoisan, tapi efek nyata tindakan itu terhadap prospek kelangsungan hidup berkebalikan dengan apa yang awalnya kita pikir.


Saya akan memberikan beberapa contoh perilaku yang tampaknya egois dan tampaknya altruistis. Sulit untuk menekan kebiasaan pikiran subjektif ketika kita berhadapan dengan spesies kita sendiri, jadi saya hendak memilih contoh dari hewan lain sebagai gantinya. Yang pertama adalah beberapa contoh perilaku egois individu hewan.


Burung camar kepala hitam bersarang dalam koloni-koloni besar, dengan jarak antarsarang hanya beberapa meter. Ketika baru saja menetas, anak-anak mereka mungil, tak berdaya, dan mudah ditelan. Sangat umum bagi camar untuk menunggu sampai tetangganya pergi, mungkin untuk mencari ikan, dan kemudian menerkam salah satu anak tetangganya dan menelannya bulat-bulat. Camar itu memperoleh makanan bergizi baik tanpa harus susah-payah menangkap ikan dan tak harus meninggalkan sarangnya sendiri tanpa perlindungan.


Yang lebih terkenal adalah kanibalisme belalang sembah betina yang brutal. Belalang sembah adalah serangga karnivora yang besar. Mereka biasanya makan serangga yang lebih kecil seperti lalat, tapi juga menyerang hampir apa pun yang bergerak. Ketika mereka kawin, si pejantan dengan hati-hati merayap ke atas si betina, menaikinya, dan bersanggama. Jika si betina mendapat kesempatan, dia akan memangsa si pejantan; dimulai dengan menggigit putus kepala si pejantan, entah ketika didekati, atau segera setelah dinaiki, atau setelah mereka berpisah. Mungkin yang tampak paling masuk akal adalah dia mestinya menunggu sampai kopulasi selesai sebelum mulai memakan si pejantan. Namun, hilangnya kepala tampaknya tidak menghentikan sisa tubuh pejantan beraktivitas seksual. Berhubung kepala serangga adalah tempatnya pusat-pusat saraf yang berfungsi sebagai penghambat, mungkin saja si betina malah meningkatkan kinerja seksual pejantan dengan memakan kepala si pejantan.4 Jika demikian, itu merupakan manfaat tambahan. Manfaat paling utamanya adalah memperoleh makanan bergizi.


Kata "egois" mungkin tampak kurang kuat untuk tindakan ekstrem seperti kanibalisme, meski selaras dengan definisi kita. Mungkin kita lebih bisa bersimpati dengan perilaku penakut penguin kaisar di Antartika. Mereka berdiri di tepi air, ragu-ragu sebelum menyelam karena takut akan bahaya anjing laut pemangsa. Andai salah satu dari mereka mau menyelam, sisanya akan tahu apakah di sana benar ada anjing laut. Tentu saja tidak ada yang mau menjadi kelinci percobaan sehingga mereka saling menunggu; kadang-kadang mereka berusaha saling dorong sampai ada yang tercebut.


Perilaku egois yang lebih umum bisa berupa sekadar penolakan untuk berbagi beberapa sumber daya berharga seperti makanan, wilayah, atau pasangan seksual. Sekarang giliran beberapa contoh perilaku yang tampaknya altruistis.


Perilaku menyengat lebah pekerja adalah pertahanan yang sangat efektif terhadap perampok madu. Namun, lebah yang menyengat adalah pejuang berani mati. Ketika lebah menyengat, organ dalam vitalnya biasanya terrobek hingga keluar dari tubuh dan lebah tersebut mati tak lama kemudian. Misi bunuh diri itu mungkin menyelamatkan stok pangan penting milik koloninya, tapi si lebah sendiri tidak ikut menikmati keuntungannya. Sesuai dengan definisi kita, ini adalah tindakan altruistis. Ingatlah bahwa kita tidak berbicara tentang motif sadar. Motif itu bisa ada atau tidak, baik dalam contoh ini maupun contoh keegoisan, tapi sama sekali tidak relevan dengan definisi kita.


Mengorbankan nyawa untuk pihak lain jelas sesuatu yang altruistis, tapi begitu juga menanggung sedikit risiko demi pihak lain. Ketika burung-burung kecil melihat pemangsa seperti elang sedang terbang, mereka membunyikan "kicau alarm" yang khas, yang membuat seluruh kawanan melakukan tindakan mengelak yang tepat. Ada bukti tak langsung bahwa burung yang membunyikan alarm menempatkan dirinya dalam bahaya karena menarik perhatian predator. Itu hanya risiko tambahan yang kecil, tapi setidaknya sekilas memenuhi syarat sebagai tindakan altruistis menurut definisi kita.


Tindakan altruisme hewan yang paling umum dan paling mencolok dilakukan oleh induk, terutama induk betina, terhadap anak. Para induk bisa mengerami telur, baik dalam sarang maupun dalam tubuh sendiri, merepotkan diri sendiri untuk memberi makan anak-anaknya, dan menanggung risiko besar untuk melindungi anak dari pemangsa. Ini salah satu contoh: banyak burung yang bersarang di tanah melakukan apa yang disebut "pertunjukan pengalihan" ketika pemangsa seperti rubah mendekat. Induk burung berjalan terpincang-pincang menjauhi sarang, mengangkat lemah satu sayap seolah-olah patah. Pemangsa menganggap ada mangsa yang lebih mudah sehingga beralih dari anak- anak burung. Induk burung akhirnya berhenti berpura-pura dan melompat ke udara tepat pada waktunya untuk menghindari terkaman rubah. Si induk mungkin telah menyelamatkan nyawa para penghuni kecil dalam sarangnya, tapi dia membahayakan dirinya sendiri.


Saya tidak berusaha untuk membuat kesimpulan dengan bercerita. Contoh-contoh yang terpilih bukanlah bukti serius untuk generalisasi yang pantas. Cerita-cerita itu hanya ditujukan sebagai gambaran apa yang saya maksud dengan perilaku altruistis dan egois di tingkat individu. Buku ini akan menunjukkan bagaimana egoisme individual maupun altruisme individual dijelaskan oleh hukum dasar yang saya sebut sebagai egoisme gen (gene selfishness). Namun pertama-tama, saya harus berhadapan dengan satu penjelasan keliru untuk altruisme yang telah dikenal luas, bahkan diajarkan di sekolah-sekolah.


Penjelasan itu didasarkan pada kesalahpahaman, yang telah saya sebutkan, bahwa makhluk hidup berevolusi untuk melakukan hal-hal demi "kebaikan spesies" atau "kebaikan kelompok". Sangat mudah untuk melihat bagaimana gagasan ini bermula dalam biologi. Sebagian besar kehidupan hewan dicurahkan untuk reproduksi, dan sebagian besar tindakan altruistis pengorbanan diri yang diamati di alam dilakukan oleh induk terhadap anak-anaknya. "Menjaga kelangsungan spesies" adalah eufemisme umum untuk reproduksi, dan tidak diragukan lagi merupakan konsekuensi reproduksi. Hanya dibutuhkan sedikit perentangan logika untuk menyimpulkan bahwa "fungsi" reproduksi adalah "untuk" menjaga kelangsungan spesies. Dari sini, yang dibutuhkan hanyalah salah langkah yang pendek saja untuk menyimpulkan bahwa secara umum hewan akan berperilaku demikian untuk menjaga kelangsungan spesies. Altruisme terhadap sesama anggota spesies tampaknya tinggal mengikuti saja.


Jalur pemikiran tersebut dapat dinyatakan dalam istilah Darwinan yang samar-samar. Evolusi bekerja melalui seleksi alam dan seleksi alam berarti kelangsungan hidup bagi "yang paling sesuai" (fittest). Tapi apakah kita bicara tentang individu yang paling sesuai, ras yang paling sesuai, spesies yang paling sesuai, atau apa? Untuk beberapa tujuan, itu tidaklah amat penting. Namun, ketika kita bicara tentang altruisme, hal itu jelas penting. Jika yang saling bersaing dalam apa yang disebut Darwin "perjuangan demi keberadaan" adalah spesies, tampaknya individu paling-paling dianggap sebagai pion dalam permainan yang harus dikorbankan bila kepentingan spesies yang lebih besar secara keseluruhan membutuhkannya. Dengan kata lain yang sedikit lebih terhormat, suatu kelompok, seperti spesies atau populasi dalam suatu spesies, yang anggota-anggotanya siap mengorbankan diri demi kesejahteraan kelompok, bisa lebih cenderung bertahan tidak punah dibanding kelompok pesaing yang anggota-anggotanya mendahulukan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, dunia dipenuhi terutama oleh kelompok-kelompok yang terdiri atas individu-individu yang rela berkorban. Ini adalah teori "seleksi kelompok" (group selection) yang sekian lama dianggap benar oleh para ahli biologi yang tidak akrab dengan rincian teori evolusi, dan diperkenalkan kepada khalayak dalam buku terkenal karya V.C. Wynne-Edwards, dan dipopulerkan oleh Robert Ardrey dalam The Social Contract. Adapun teori alternatifhya yang ortodoks biasanya disebut "seleksi individu", meski saya pribadi lebih suka berbicara mengenai seleksi gen.


Jawaban cepat dari "penganut seleksi individu" bagi argumen di atas bisa jadi seperti berikut. Bahkan dalam kelompok altruis, hampir pasti ada minoritas yang menolak untuk mengorbankan diri. Jika ada satu pemberontak egois, yang siap mengeksploitasi altruisme anggota lain, maka dia dengan sendirinya lebih mungkin bertahan hidup dan memiliki keturunan dibanding yang lain. Masing-masing keturunannya akan cenderung mewarisi sifat egoisnya. Setelah beberapa generasi dalam seleksi alam, "kelompok altruistis" akan dipenuhi individu- individu egois dan tak akan dapat dibedakan dari kelompok egois. Bahkan jika kita menerima kemungkinan kecil adanya kelompok yang awalnya altruistis murni tanpa pemberontak, sangatlah sulit untuk melihat apa yang bisa menghentikan individu-individu egois bermigrasi dari kelompok egois terdekat dan, melalui pernikahan silang, mencemari kemurnian kelompok altruistis.


Penganut teori seleksi individu akan mengakui adanya kepunahan kelompok, dan bahwa kemungkinan kepunahan kelompok dipengaruhi oleh perilaku individu di dalamnya. Dia bahkan mungkin akan mengakui bahwa andai individu-individu dalam suatu kelompok dianugerahi kemampuan untuk melihat masa depan, mereka akan melihat bahwa dalam jangka panjang mereka lebih baik meredam keserakahan egois dalam rangka mencegah kehancuran seluruh kelompok. Berapa kali pernyataan itu dikatakan kepada kaum pekerja Inggris selama beberapa tahun terakhir? Namun kepunahan kelompok adalah proses yang lambat dibandingkan dinamika cepat kompetisi individual. Bahkan ketika kelompok perlahan-lahan dan secara tak terelakkan melemah, individu- individu egois bertahan dalam jangka pendek dengan mengorbankan individu altruis. Warga Inggris bisa jadi diberkati dengan kemampuan memandang ke depan, atau tidak; yang pasti evolusi buta terhadap masa depan.


Walaupun teori seleksi kelompok kini hanya memperoleh sedikit dukungan dari jajaran ahli biologi profesional yang memahami evolusi, teori itu memang memiliki daya tarik intuitif yang besar. Generasi demi generasi mahasiswa zoologi terkejut kala masuk universitas dan menemukan bahwa teori itu bukanlah pandangan ortodoks. Mereka tidak bisa disalahkan, lantaran dalam diktat panduan guru Nuffield Biology, ditulis untuk guru sekolah biologi tingkat lanjutan di Inggris, kita temukan yang berikut ini: "Di antara hewan berderajat tinggi, ada perilaku berupa tindakan bunuh diri individual guna menjamin kelangsungan spesies." Penulis anonimnya tak sadar bahwa dia telah mengatakan sesuatu yang kontroversial. Dalam hal ini, dia mendapat kawan pemenang Nobel. Konrad Lorenz dalam On Aggression, bicara tentang fungsi perilaku agresifyang "menjaga kelestarian spesies". Salah satu fungsi itu adalah memastikan hanya individu paling sesuailah yang diizinkan untuk berkembang biak. Ini contoh sempurna argumen yang berputar-putar, tapi yang saya tekankan di sini adalah bahwa gagasan seleksi kelompok begitu mendarah daging sehingga Lorenz, seperti halnya penulis Nuffield Guide, jelas tidak menyadari bahwa pernyataan- pernyataannya bertentangan dengan teori Darwin ortodoks.


Baru-baru ini saya mendengar contoh yang sama kocaknya dalam satu acara televisi BBC, yang biasanya sangat baik, tentang laba-laba Australia. "Pakar" dalam program tersebut mengamati bahwa sebagian besar bayi laba-laba menjadi mangsa spesies lain sehingga dia menyimpulkan: "Mungkin inilah tujuan sebenarnya keberadaan mereka, karena hanya sedikit yang dibutuhkan bagi spesies ini untuk bertahan hidup!"


Robert Ardrey, dalam The Social Contract, menggunakan teori seleksi kelompok untuk menjelaskan seluruh tatanan sosial secara umum. Dia jelas menganggap manusia sebagai spesies yang telah menyimpang dari kodrat hewaninya. Paling tidak, Ardrey telah mengerjakan PR-nya. Dia layak mendapat pengakuan bahwa keputusannya untuk tidak setuju dengan teori ortodoks dilakukan secara sadar.


Mungkin salah satu daya tarik terbesar teori seleksi kelompok adalah bahwa teori itu sepenuhnya selaras dengan cita-cita moral dan politik sebagian besar kita. Mungkin kita sering berperilaku egois sebagai individu, tapi pada saat-saat idealistik kita menghormati dan mengagumi orang-orang yang menempatkan kesejahteraan orang lain terlebih dahulu. Namun kita agak bingung mengenai seberapa luas kita ingin menafsirkan kata "lain". Seringkali altruisme dalam kelompok sejalan dengan keegoisan antarkelompok. Inilah dasar serikat buruh. Di tataran lain, bangsa adalah penerima keuntungan utama tindakan altruistis pengorbanan diri, dan laki-laki muda diharapkan mati sebagai individual demi membela kemuliaan kelompok yang lebih besar, yaitu negara mereka secara keseluruhan. Selain itu, mereka didorong untuk membunuh orang lain yang tak mereka ketahui apa-apa tentangnya kecuali bahwa dia anggota bangsa yang berbeda. (Anehnya, seruan pada masa damai terhadap individu untuk membuat beberapa pengorbanan kecil dalam upaya meningkatkan standar hidup tampaknya ktirang berdampak dibandingkan daya tarik masa perang di mana tiap individu rela mengorbankan nyawa).


Baru-baru ini muncul reaksi terhadap rasialisme dan patriotisme, serta kecenderungan untuk menjadikan spesies manusia secara keseluruhan sebagai objek rasa persaudaraan kita. Perluasan sasaran altruisme kita yang humanis ini punya konsekuensi menarik, yang lagi- lagi tampaknya menopang gagasan "demi kebaikan spesies" dalam evolusi. Kaum liberal dalam politik, yang biasanya merupakan juru bicara etika spesies yang paling percaya diri, sekarang mendapat cemoohan terbesar dari mereka yang meluaskan cakupan altruisme lebih jauh, sampai meliputi spesies lain. Jika saya mengatakan bahwa saya lebih tertarik mencegah pembantaian paus daripada memperbaiki kondisi perumahan bagi orang-orang, saya mungkin akan membuat beberapa teman saya terguncang.


Perasaan bahwa anggota spesies kita layak diistimewakan dalam pertimbangan moral ketimbang anggota spesies lain adalah perasaan yang berusia tua dan tertanam dalam. Membunuh orang di luar perang adalah kejahatan paling serins yang dianggap biasa dilakukan. Satu- satunya hal yang lebih dilarang oleh budaya kita adalah memakan orang (bahkan jika orang itu sudah mati). Namun, toh kita suka menyantap anggota spesies lain. Banyak di antara kita enggan menyetujui hukuman mati yang diputuskan pengadilan atas penjahat manusia yang paling kejam sekalipun, sementara kita senang-senang saja menyetujui penembakan tanpa pengadilan terhadap hewan hama yang tak begitu mengganggu. Bahkan kita pun membunuh anggota spesies takberbahaya lainnya sebagai sarana rekreasi dan hiburan. Janin manusia, yang tak lebih berperasaan ketimbang amoeba, menikmati penghormatan dan perlindungan hukum jauh melebihi yang diberikan kepada simpanse dewasa. Padahal simpanse juga punya perasaan dan pemikiran, serta— menurut bukti eksperimental mutakhir—mungkin mampu mempelajari sebentuk bahasa manusia. Hanya karena termasuk spesies kita, janin seketika diberi hak dan keistimewaan tersendiri. Apakah etika "spesiesisme", menggunakan istilah Richard Ryder, dapat diletakkan di dasar logis yang lebih kuat ketimbang "rasisme", saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah etika spesiesisme tidak punya landasan yang layak dalam biologi evolusi.


Kekisruhan dalam etika manusia mengenai di tingkat mana altruisme itu baik—keluarga, bangsa, ras, spesies, atau semua makhluk hidup—tecermin di kekisruhan yang sepadan dalam biologi, mengenai di tingkat mana altruisme diharapkan sesuai dengan teori evolusi. Bahkan penganut teori seleksi grup tidak akan terkejut saat mendapati para anggota satu kelompok berbuat jahat terhadap anggota kelompok lain: dengan cara demikian, seperti serikat pekerja atau tentara, mereka mendukung kelompok mereka sendiri dalam perjuangan memperebutkan sumber daya yang terbatas. Tapi kemudian layak dipertanyakan bagaimana para penganut seleksi kelompok memutuskan tingkat mana yang penting. Jika seleksi berlangsung di antara kelompok-kelompok dalam spesies yang sama, dan antarspesies, mengapa tidak juga antara kelompok-kelompok yang lebih besar? Spesies-spesies dikelompokkan bersama menjadi genus, genus-genus menjadi ordo, dan ordo-ordo menjadi kelas. Singa dan antelop, keduanya anggota kelas mamalia seperti kita. Tidakkah seharusnya kita mengharapkan singa menahan diri supaya tak membunuh antelop "demi kepentingan bersama mamalia"? Tentunya mereka justru harus berburu burung atau reptil untuk mencegah kepunahan kelas. Tapi kemudian bagaimana dengan kebutuhan untuk melestarikan seluruh filum vertebrata?


Bisa saja saya mengajukan reductio ad absurdum untuk menunjukkan masalah-masalah dalam teori seleksi kelompok, tapi keberadaan altruisme individu masih harus dijelaskan. Ardrey melangkah jauh dengan mengatakan bahwa seleksi kelompok adalah satu-satunya penjelasan yang memungkinkan untuk perilaku seperti "stotting”, melentingkan tubuh ke udara dengan empat tungkai menjulur lurus ke bawah, yang dilakukan gazele Thomson. Lompatan yang begitu kuat dan mencolok di depan pemangsa itu bisa kita samakan dengan kicauan burung yang dilakukan untuk memperingatkan kawanannya akan adanya bahaya, meski si pemberi peringatan justru menarik perhatian pemangsa. Kita bertanggungjawab untuk menjelaskan lentingan gazele itu dan semua fenomena serupa, dan itulah yang akan saya hadapi dalam bab-bab selanjutnya.


Sebelum itu saya harus membela keyakinan saya pribadi bahwa cara terbaik untuk melihat evolusi adalah melalui seleksi yang terjadi di tingkat paling rendah. Keyakinan saya itu sangat dipengaruhi oleh karya G.C. Williams, Adaptation and Natural Selection. Gagasan utama yang akan saya manfaatkan telah dinyatakan lebih dulu oleh A. Weismann pada pergantian abad ke-20, sebelum gen ditemukan, yaitu doktrinnya tentang "kesinambungan plasma nutfali" (continuity of the germ­plasm). Saya berpendapat bahwa unit dasar seleksi, dan dengan demikian unit kepentingan pribadi, bukanlah spesies, atau kelompok, atau bahkan individu, melainkan gen, unit hereditas.5 Bagi beberapa pakar biologi mungkin ini awalnya terdengar ekstrem. Saya harap ketika mereka memandang sebagaimana saya maksudkan, mereka akan setuju bahwa pandangan itu pada dasarnya ortodoks, walaupun diungkapkan dengan cara yang asing. Argumen tersebut membutuhkan waktu untuk berkembang dan kita harus mulai dari awal, dengan asal-usul kehidupan itu sendiri.


CATATAN AKHIR


1. Beberapa orang, bahkan yang tidak religius, tersinggung dengan kutipan Simpson. Saya setuju bahwa saat Anda pertama kali membacanya, kutipan itu terdengar kaku, kurang ajar, dan tidak toleran. Sedikit mirip ucapan Henry Ford, "Sejarah itu kurang-lebih omong kosong". Tapi, selain jawaban agama (saya hafal bunyinya, Anda tak perlu menghakimi saya), kala Anda benar-benar ditantang untuk memikirkan jawaban pra-Darwin bagi pertanyaan "Apakah manusia itu?", "Apakah arti hidup?", "Untuk apa kita ada?", bisakah Anda memikirkan jawaban yang kini tidak tak berharga selain karena nilai sejarahnya? Kita semua bisa. Ada hal-hal yang memang sekadar keliru saja, dan sebelum 1859, demikian pula semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

2. Alfred, Lord Tennyson ialah penyair Inggris abad ke-19. Salah satu bait puisinya yang terkenal adalah "Who trusted God was love indeed/And love Creation's final law/Tho' nature, red in tooth and claw/With ravine, shriek'd against his creed." Banyak yang memaknai bait itu sebagai peringatan bagi manusia bahwa alam sejatinya brutal—Peny.


3. Kritikus kadang-kadang salah paham terhadap The Selfish Gene yang dianggap menganjurkan keegoisan sebagai suatu prinsip hidup! Yang lain, mungkin karena mereka membaca buku sebatas judulnya saja, atau tidak pernah berhasil melewati dua halaman pertama, mengira saya mengatakan bahwa keegoisan dan cara-cara keji lainnya, suka tidak suka, merupakan bagian tak terpisahkan di sifat kita. Memang mudah untuk jatuh ke dalam kesalahan ini jika, sebagaimana yang telah terjadi pada banyak orang tanpa alasan jelas, Anda mengira bahwa "determinisme" genetis adalah permanen—mutlak dan tidak dapat diubah. Faktanya, gen "menentukan" perilaku hanya dalam arti statistik. Satu analogi bagus adalah generalisasi yang diterima secara luas bahwa "langit merah pada malam hari adalah kebahagiaan bagi para gembala"—ungkapan Inggris lama mengenai prakiraan cuaca dan hari cerah. Mungkin ini fakta statistik bahwa warna merah di langit ketika Matahari terbenam menandakan hari cerah esoknya, tapi kita tidak akan bertaruh banyak di hal itu. Kita tahu betul bahwa cuaca dipengaruhi banyak faktor dengan cara yang sangat kompleks. Setiap prakiraan cuaca bisa mengandung kekeliruan. Prakiraan cuaca adalah prakiraan statistik saja. Kita tidak melihat senja merah sebagai pertanda tak terbantahkan yang memastikan cuaca cerah pada hari berikutnya, tidak juga kita harus berpikir bahwa gen secara mutlak menentukan segala sesuatu. Tidak ada bukti bahwa pengaruh gen tidak dapat dengan mudah diputarbalikkan oleh pengaruh lain. Untuk pembahasan utuh tentang "determinisme genetis" dan mengapa kesalahpahaman muncul, lihatlah bab kedua The Extended Phenotype dan makalah saya, "Sociobiology: The New Storm in a Teacup". Saya dituduh telah mengklaim bahwa semua manusia pada dasarnya adalah gangster Chicago! Namun, poin penting dari analogi saya tentang Chicago gangster tentu saja adalah:pengetahuan tentang jenis dunia tempat seorang manusia berhasil menyejahterakan dirinya dapat memberitahu Anda sesuatu tentang orang itu. Ini tidak ada hubungannya dengan kualitas tertentu gangster Chicago. Saya bisa juga menggunakan analogi seorang laki-laki yang naik menjadi pucuk pimpinan Gereja Inggris atau dipilih masuk ke Athenaeum. Apa pun itu, subjek analogi saya bukanlah manusia, melainkan gen.
Saya telah mendiskusikan perkara ini dan kesalahpahaman lainnya yang terlalu harfiah dalam makalah saya, "In defence of selfish genes", sumber kutipan di atas.
Saya harus menambahkan bahwa komentar politik dalam bab ini membuat saya tak nyaman manakala membaca ulang pada 1989. "Berapa kali pernyataan itu [kebutuhan untuk meredam keserakahan egois demi mencegah kehancuran seluruh kelompok] dikatakan kepada kaum pekerja Inggris selama beberapa tahun terakhir?" membuat saya terdengar seperti anggota partai Konservatif! Pada 1975, ketika buku ini ditulis, pemerintah sosialis yang telah saya bantu lewat dukungan suara dalam pemilu sedang berjuang mati-matian melawan inflasi 23 persen, dan jelas sangat khawatir tentang tuntutan upah tinggi. Komentar saya bisa saja dikutip dari pidato Menteri Tenaga Kerja pada waktu itu. Inggris kemudian memiliki pemerintahan kanan baru, yang mengangkat kekejaman dan keegoisan hingga ke status ideologi, dan saya menyayangkan bahwa kata-kata saya tampaknya menjadi terdengar ganas jika dihubung- hubungkan dengan itu. Itu tidak berarti saya menarik kembali apa yang saya sampaikan. Kepicikan egois tetap punya konsekuensi tak menyenangkan yang telah saya sebutkan. Namun jika ingin mencari contoh tentang kepicikan berpikir yang egois di Inggris, kita pertama-tama tidak akan menengok ke kelas pekerja. Sesungguhnya, yang paling baik adalah sama sekali tidak membebani karya sains dengan komentar politik. Komentar politik cepat sekali menjadi basi. Tulisan-tulisan para ilmuwan yang melek politik dari era 1930-an—J.B.S. Haldane dan Lancelot Hogben, misalnya—hari ini terasa tercemar oleh komentar-komentar tajam yang sekarang tak sesuai zaman.

4. Saya pertama kali mengetahui fakta aneh tentang serangga jantan ini ketika mendengarkan kuliah penelitian seorang rekan mengenai lalat haji (Trichoptera). Dia berkata ingin mengembangbiakkan serangga itu dalam penangkaran, namun meski sudah berusaha keras dia belum berhasil. Mendengar itu, profesor entomologi kami menggerutu di barisan depan, seolah-olah rekan saya telah mengabaikan hal yang paling jelas: "Apakah Anda belum mencoba mencopot kepala mereka?"

. 5. Sejak menuliskan manifesto seleksi gen, saya telah berpikir-pikir lagi, apakah ada jenis seleksi tingkat lebih tinggi yang sesekali beroperasi selama evolusi jangka panjang? Saya mesti menambahkan bahwa ketika saya mengatakan "tingkat lebih tinggi", ini tidak berarti terkait dengan "seleksi kelompok". Saya berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih halus dan jauh lebih menarik. Yang saya rasakan sekarang adalah, bukan hanya beberapa individu organisme lebih mampu bertahan hidup daripada yang lain, melainkan juga kelas-kelas organisme mungkin lebih mampu berevolusi ketimbang yang lain. Tentu saja, evolusi yang kita bicarakan di sini tetaplah evolusi yang sama, yang terjadi melalui seleksi gen. Mutasi tetap diperhitungkan berdasarkan dampaknya terhadap kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi individu. Namun mutasi baru yang besar dalam rancangan dasar embriologi juga dapat membuka pintu baru evolusi yang membentang luas selama jutaan tahun ke depan. Bisa jadi ada semacam seleksi tingkat tinggi terhadap embriologi yang mendukung evolusi: proses seleksi yang mendukung kemampuan berevolusi (evolvability). Jenis seleksi ini bahkan bisa jadi bersifat kumulatif dan dengan demikian progresif, tak seperti seleksi kelompok. Gagasan-gagasan ini dijabarkan dalam makalah saya, "The Evolution of Evolvability", yang sebagian besar terinspirasi oleh Blind Watchmaker, program komputer simulasi aspek-aspek evolusi.
















Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02