The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 07
Kegagalan adalah Jalan untuk Maju
Saya mengatakan ini dengan sungguh-sungguh: saya beruntung Saya lulus perguruan tinggi pada 2007, bersamaan de¬ngan
jatuhnya keuangan Amerika dan Resesi Besar, dan berusaha masuk ke dalam bursa
kerja yang paling mengerikan selama 80 tahun terakhir.
Sekitar masa itu, saya mendapati bahwa seseorang yang menye-
wa salah satu kamar di apartemen saya belum membayar sewa se¬lama 3 bulan.
Ketika ditagih, dia menangis dan kemudian meng- hilang, meninggalkan teman
sekamar lain dan saya sehingga kami harus menanggung biaya sewa dan lain
sebagainya. Selamat tinggal uang tabungan. Saya menghabiskan enam bulan
berikutnya tidur di sofa milik salah satu teman saya, melakukan beberapa
pekerjaan sambilan dan mencoba berutang sesedikit mungkin sambil mencari
Pekerjaan sungguhan.”
Saya bilang saya beruntung karena saya masuk ke dalam dunia
kcija orang dewasa sebagai orang yang gagal. Saya benar-benar mu- dalam hidup,
ketika memulai bisnis baru atau mengubah karier atau keluar dari pekerjaan yang
buruk, dan saya harus mengalaminya di depan mata saya. Dan semuanya
perlahan-lahan membaik.Jadinya, mujur. Ketika Anda tidur bcralaskan tikar
yang harus menghitung berapa koin yang Anda punya sambil
berharap-harap cemas apakah bisa membeli sesuatu di McDonald minggu ini, dan
Anda telah mengirim 20 pucuk lamaran kerja tanpa mendapat satu balasan pun,
maka memulai sebuah blog dan bisnis Internet bodoh tidak lagi terdengar seperti
sebuah ide yang menyeramkan. Jika setiap proyek yang saya mulai gagal, jika
setiap lamaran yang saya kirim tidak pemah dibaca, saya hanya bisa berpulang ke
titik awal di mana saya mulai. Jadi mengapa tidak sekalian dicoba?
Kegagalan sendiri adalah sebuah konsep yang relatif. Jika
ukuran yang saya pilih adalah ambisi untuk menjadi seorang pendukung revolusi
komunis yang anarkis, fakta bahwa saya gagal menghasilkan uang antara 2007 -
2008 justru menjadi sebuah kesuksesan besar. Tetapi jika, seperti kebanyakan
orang, ukuran saya hanya mencari kerja mapan yang cukup untuk membayar tagihan
dari sekolah, saya gagal total.
Saya besar di keluarga yang kaya. Uang tidak pemah menjadi
suatu masalah. Sebaliknya, saya besar di keluarga kaya di mana uang lebih
sering digunakan untuk menghindari masalah ketimbang menyelesaikan masalah.
Saya, sekali lagi, beruntung, karena ini mengajari saya sedari dini bahwa
mencari uang, sejatinya, adalah sebuah ukuran yang buruk bagi diri saya. Anda
bisa saja mendapatkan banyak uang dan tetap menyedihkan, atau miskin namun bahagia.
Karena itu, mengapa menggunakan uang sebagai alat untuk mengukur harga diri
saya?
Nilai-nilai saya menyangkut hal lain. Ini lebih tentang
kebebasan, otonomi. Ide menjadi seorang wiraswasta selalu muncul di benak saya
karena saya benci disuruh-suruh, dan lebih suka melakukan banyak hal dengan
cara saya sendiri. Ide bekerja lewat Internet muncul di benak saya karena saya
bisa melakukannya di mana saja dan bekerja di mana pun saya mau Saya bertanya kepada diri saya satu pertanyaan sederhana’
“Apakah saya lebih memilih digaji secara layak dan melakukan pekerjaan yang
saya benci, atau menjadi wiraswasta internet meski bangkrut sesekali waktu?”
Jawabannya langsung dan jelas bagi saya: yang terakhir. Kemudian saya bertanya
pada diri saya, “Jika saya mencoba hal ini dan gagal dalam beberapa tahun dan
harus mencari kerja yang lain, akankah saya menyerah?” Jawabannya tidak.
Ketimbang menjadi pemuda pengangguran berusia 22 tahun yang bokek dan tidak
punya pengalaman kerja, saya lebih memilih menjadi pemuda pengangguran berusia
25 tahun yang bokek dan tidak punya pengalaman kerja. Peduli setan?
Dengan nilai ini, saya disebut gagal jika saya mengejar proyck pribadi tersebut yang dimaksud kegagalan bukanlah kekurangan
uang, tidur di sofa teman dan keluarga (yang terns saya lakukan hampir 2 tahun
berikutnya), dan bukan sebuah resume kosong.
Paradoks Kegagalan/Kesuksesan
Ketika Pablo Picasso menginjak usia lanjut, dia sedang
duduk- duduk di sebuah kafe di Spanyol, sambil mencorat-coret selembar tisu
bekas. Dia adalah orang yang cuek mengenai segala hal, menggambar apa pun yang
membuatnya terkesima pada saat itu—agak nmip dengan remaja laki-laki yang doyan
iseng menggambar penis di sekat kamar mandi—tentu karena ini Picasso, penis itu
akan di¬gambar dengan gaya kubisme/impresionisme yang memukau, yang dicampur
noda kopi yang samar-samar.
Kembali ke pembicaraan awal tadi, seorang wanita yang duduk
di dekatnya memandanginya dengan kagum. Tidak lama kemudian, Picasso
menghabiskan kopinya dan meremas tisu tersebut dan hendak membuangnya saat akan
meninggalkan tempat itu.
Wanita tadi menghentikannya.
“Tunggu,” katanya. “Boleh ‘kan
saya meminta tisu yang barusan Anda gambari? Saya akan bayar."
“Tentu,” jawab Picasso. “Dua puluh ribu dolar.”
Wanita itu kaget, kepalanya tersentak ke belakang
seakan-akan terkena lemparan batu bata. “Apa? Anda hanya perlu sekitar 2 menit
menggambar itu.”
“Tidak, Nyonya,” balas Picasso. “Saya perlu lebih dari 60
tahun menggambar ini.” Dia memasukkan tisu tersebut dalam kantungnya, dan pergi
meninggalkan kafe.
Perbaikan dalam segala bidang, dilatarbelakangi oleh ribuan
kesalahan kecil, dan besamya kesuksesan Anda berdasar pada berapa kali Anda
gagal melakukan sesuatu. Jika seseorang lebih baik daripada Anda mengenai
sesuatu hal, sepertinya itu karena dia telah mengalami kegagalan lebih banyak
daripada Anda. Jika seseorang lebih buruk dan Anda, sepertinya itu karena dia
belum mengalami semua pengalaman belajar yang menyakitkan seperti yang Anda
rasakan.
Coba bayangkan seorang anak kecil yang sedang belajar
berjalan, anak kecil itu akan jatuh dan melukai dirinya ratusan kali. Namun
tidak pernah sedikit pun anak itu berhenti dan berpikir, “Oh, saya rasa
berjalan bukan bidang saya. Saya tidak maliir melakukannya.”
Menghindari kegagalan adalah sesuatu yang kita pelajari
nantinya dalam kehidupan kita. Saya yakin itu banyak disumbang oleh sistem
pendidikan kita, yang menilai dengan ketat berdasarkan kinerja dan menghukum
mereka yang tidak menunjukkan performa yang baik. Sumbangan lain datang dari
orang tua yang gemar memaksa dan doyan mengkritik, yang tidak membiarkan anak-
anak mereka mengalami kegagalan yang cukup banyak, dan malah menghukum mereka
karena mencoba apa pun yang baru atau tidak seharusnya. Dan kemudian peran
media masa yang semuanya secara konstan mengekspos kita dengan kesuksesan demi
kesuksesan atau kemashyuran, namun tidak menampilkan ribuan jam praktik yang
monoton dan membosankan yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan tersebut.
Pada titik tertentu, sebagian besar dari kita berhasil meraih
suatu posisi yang mengondisikan kita untuk takut gagal, untuk menghindari
kegagalan secara naluriah, dan hanya terpaku pada apa yang ada di depan kita
atau hanya pada bidang yang sudah kita kuasai.
Ini membatasi dan menghambat kita. Kita hanya bisa benar-
benar sukses kalau kita ada suatu bidang yang memungkinkan kita untuk rela
gagal. Jika kita tidak bersedia untuk gagal, kita pun tidak bersedia untuk
sukses. Ketakutan untuk gagal, kebanyakan datang dari salah pilih
nilai- nilai yang buruk. Contohnya, jika saya mengukur diri saya dengan standar
“Membuat siapa pun yang saya temui menyukai saya,” saya akan menjadi cemas,
karena kegagalan 100 persen ditentukan oleh Adakan orang lain, bukan tindakan
saya sendiri. Saya tidak memi- Hki kendali; karena penghargaan diri saya ada
pada belas kasih penilaian orang lain.Lain halnya, jika saya ingin mengadopsi ukuran Memperbaiki
kehidupan sosial saya,” saya dapat menghidupi nilai yaitu menjalin hubungan
baik dengan orang lain” entah apa pun tanggapan orang lain terhadap saya.
Penilaian diri saya berdasar pada perilaku dan kebahagiaan saya sendiri.
Nilai-nilai yang buruk, seperti yang kita lihat di bab 4,
melibatkan tujuan eksternal yang nyata-nyata di luar kendali kita. Usaha untuk
mengejar target ini menimbulkan kegelisahan yang amat besar. Sekalipun kita
berhasil mencapainya, kita akan tetap merasa kosong dan tidak bergairah, karena
begitu nilai tersebut diraih, tidak ada lagi masalah yang harus diselesaikan.
Nilai-nilai yang lebih baik, sebagaimana yang kita lihat,
berori - entasi pada proses. Misalnya, sebuah ukuran “Mengungkapkan diri saya
secara jujur kepada orang lain,” untuk nilai “kejujuran,” tidak pernah
sepenuhnya selesai; ini adalah sebuah permasalahan yang harus terus diangkat
kembali. Setiap pembicaraan yang baru, setiap hubungan yang baru, membawa
tantangan dan kesempatan yang baru untuk mengekspresikan diri secara jujur.
Nilai hidup ini merupakan proses yang terus berlangsung, seumur hidup tidak
akan pernah selesai.
Jika ukuran dari nilai “sukses dengan standar duniawi”
adalah “Membeli rumah dan mobil bagus,” dan Anda menghabiskan 20 tahun bekerja
keras untuk mewujudkannya, begitu ini berhasil diraih, ukuran tadi tidak ada
artinya lagi. Maka sampaikan “Hello” kepada krisis paruh baya Anda, karena masalah
yang mendorong Anda hampir sepanjang kehidupan dewasa Anda baru saja diangkat
dari pundak Anda. Tidak ada peluang lain untuk tetap bertumbuh dan memperbaiki
diri, padahal pertumbuhanlah yang menghasilkan kegembiraan, bukan daftar
panjang pencapaian egois Anda.
Dalam hal ini, tujuan, sebagaimana didefmisikan secara kon-
vensional lulus kuliah, membeli rumah di tepi danau, menurunkan berat 6
kilogram—sangat terbatas dalam hal jumlah kebahagiaan yang dapat diraih dalam
hidup kita. Sasaran tersebut mungkin membantu, ketika kita sedang mengejar
keuntungan jangka pendek, singkat, namun jika menjadi panduan lintasan
keseluruhan hidup kita, tujuan-tujuan itu payah.
Picasso tetap produktif sepanjang hidupnya. Dia hidup hingga
usia 90-an dan terus menghasilkan karya seni sampai tahun-tahun terakhimya.
Andai saja ukuran yang dipakainya adalah “Menjadi terkenal” atau “Menghasilkan
banyak uang dalam dunia seni” atau “Membuat seribu lukisan,” dia akan mengalami
kemandekan dalam perjalanan hidupnya. Dia akan dikuasai oleh kecemasan atau
keragu-raguan. Sepertinya dia tidak akan pemah memperbaiki dan melakukan
inovasi atas karyanya seperti yang dilakukannya dekade demi dekade.
Alasan dari kesuksesan Picasso sama persis dengan alasan
me¬ngapa, sebagai lansia, dia bahagia mencorat-coret tisu sendirian di kafe.
Nilai paling mendasar yang dihidupinya adalah menjadi se¬derhana dan rendah
hati. Dan itu tidak ada ujungnya. Ini adalah nilai yang dimaksud dengan
“Ungkapan yang jujur.” Dan inilah yang membuat kertas tisu tersebut sangat
bemilai.
Derita Adalah Bagian dari Proses pada 1950-an, seorang psikolog Polandia bemama Kazimierz
Dab- rowski meneliti para penyintas Perang Dunia II dan bagaimana tereka
menghadapi pengalaman traumatik pasca-perang tersebut
Ini adalah Polandia, jadi banyak hal mengerikan yang terja
di. Orang-orang ini telah mengalaini atau menyaksikan kelaparan massal,
pengeboman yang mengubah wajah kota-kota menjadi puing, pembasmian, penyiksaan
tawanan perang, dan pemerkosaan dan/atau pembunuhan anggota keluarga, jika
bukan oleh Nazi, maka beberapa tahun kemudian oleh Soviet.
Seperti yang dikaji Dabrowski mengenai para penyintas, dia
mengamati sesuatu yang mengejutkan sekaligus luar biasa. Persentase yang cukup
besar dari antara mereka meyakini kalau derita dari pengalaman di masa perang,
meskipun menyakitkan dan tentu saja membuat trauma, sebenamya telah membuat
mereka menjadi lebih baik, lebih bertanggung jawab, dan ya, bahkan menjadi
orang- orang yang lebih bahagia. Banyak orang menggambarkan hidup mereka sebelum
perang sebagai orang yang sangat berbeda: kurang bersyukur dan tidak menghargai
orang-orang yang mereka cintai, malas-malasan dan ditelan masalah remeh,
menyia-nyiakan apa yang telah mereka terima. Pasca-perang, mereka merasa lebih
percaya diri, lebih yakin pada diri mereka sendiri, lebih bersyukur, dan tidak
dirisaukan dengan hal sepele dan kerikil kecil dalam hidup.
Jelas, pengalaman yang mereka lalui mengerikan, dan para
penyintas ini tidak bahagia sama sekali dengan itu. Banyak dari antara mereka
masih menderita akibat parut Iuka emosional dari perang yang terus-menerus
tersebut. Tetapi beberapa dari antara mereka berhasil memanfaatkan Iuka
tersebut untuk mengubah diri mereka dengan cara yang positif dan kuat.
Dan mereka tidak sendiri dalam pembalikan tersebut. Bagi
se¬bagian dari kita, pencapaian yang paling membanggakan muncul alam wajah
kemalangan yang amat besar. Luka kita sering membuat kita semakin kuat, lebih
tangguh, lebih membumi. Banyak
penyintas kanker, sebagai contoh, yang melaporkan kalau mereka
merasa lebih kuat dan lebih bersyukur setelah berhasil memenangkan perjuangan
untuk bertahan hidup. Banyak personil militer bersaksi tentang ketangguhan
mental yang diperoleh dari bertahan di lingkungan yang berbahaya seperti zona
perang.
Dabrowski berpendapat bahwa rasa takut dan kecemasan serta
kesedihan tidak selalu menjadi kondisi mental yang tidak diinginkan atau tidak
membantu; melainkan, itu sering mewakili derita yang selayaknya kita butuhkan
demi perkembangan jiwa kita. Dan menyangkal Iuka itu sama dengan menyangkal
potensi kita sendiri. Seperti halnya seseorang yang mengalami rasa sakit fisik
untuk membentuk tulang dan otot yang lebih kuat, seseorang harus mengalami
sakit emosional untuk mengembangkan ketangguhan emosional yang lebih besar, rasa
percaya diri yang lebih kuat, belas kasih yang meningkat, dan secara umum hidup
yang lebih bahagia.
Perubahan perspektif kita yang paling radikal kadang terjadi
pada “ekor” suatu momen yang paling buruk. Hanya pada saat kita mengalami rasa
sakit yang intens, kita bersedia menimbang nilai - nilai yang kita miliki, dan
bertanya mengapa nilai tersebut seakan membuat kita gagal. Kita membutuhkan
semacam krisis eksistensial yang memaksa kita untuk melihat secara objektif
bagaimana kita telah mendapatkan makna dalam hidup kita, lalu mempertimbangkan
untuk mengubah arah.
Anda boleh menyebut ini “pengalaman ambang batas atau
“mengalami sebuah krisis eksistensial.” Namun saya lebih suka menyebutnya
“menembus badai.” Pilih saja yang cocok untuk Anda.
Dan mungkin sekarang ini Anda sedang berada dalam posisi
tersebut. Mungkin Anda sedang menghadapi tantangan yang pa¬ling signifikan
dalam hidup Anda dan limbung karena semua hal yang sebelumnya Anda pikir benar
dan normal serta baik telah her- ubah menjadi sebaliknya.
Tidak apa-apa itu bagus—itu permulaannya. Saya sungguh ingin
menekankan sekali lagi, bahwasanya derita adalah bagian dari proses. Penting
untuk merasakannya- Karena jika Anda hanya mengejar kesenangan di atas rasa
sakit, jika Anda membiarkan diri terlena dalam kepongahan dan pemikiran positif
yang delusional, jika Anda terus memanjakan diri dalam berbagai hal atau
kegiatan, Anda tidak akan pemah menemukan motivasi yang menjadi syarat untuk
benar-benar berubah.
Ketika saya muda, setiap kali keluarga saya memiliki VCR
atau stereo baru, saya akan menekan setiap tombol, mencolokkan dan mencabut
setiap sambungan dan kabel, hanya untuk melihat segala sesuatunya bekerja.
Dengan berjalannya waktu, saya belajar bagaimana seluruh sistem bekerja. Dan
karena saya tahu bagaimana semua itu bekerja, saya sering menjadi satu-satunya
orang yang menggunakan alat tersebut.
Seperti halnya yang dialami oleh anak-anak generasi milenial
di zaman ini, orang tua saya melihat seakan-akan saya adalah semacam anak
jenius. Bagi mereka, fakta bahwa saya mampu memprogram VCR tanpa melihat buku
panduan membuat saya menjadi Tesla yang Terlahir Kembali.
Mudah sekali untuk melihat ke zaman dulu, zaman generasi
orang tua saya, lalu menertawakan fobia teknologi mereka. Namun semakin saya
dewasa, semakin saya sadari bahwa kita semua memiliki fase kehidupan yang
menyerupai reaksi orang tua saya terhadap VCR baru itu: kami duduk, terpukau,
serta mengelus dalii
kita sambil berkata, “Tapi bagaimana cara melakukan hal
itu?” Padahal, caranya sangat gampang.
Saya menerima surel dari orang-orang yang menanyakan hal
macam ini sepanjang waktu. Dan bertahun-tahun, saya tidak pernah tahu apa yang
harus saya katakan kepada mereka.
Ada seorang gadis yang orang tuanya imigran dan menabung
selama seluruh hidup mereka untuk menyekolahkannya hingga masuk sekolah
kedokteran. Tetapi sekarang dia duduk di sekolah kedokteran dan membencinya;
dia tidak ingin menghabiskan hidupnya sebagai dokter, jadi dia sungguh ingin
berhenti kuliah. Namun dia merasa terjebak sehingga pada akhirnya dia mengirim
surat elektron ik kepada orang asing di Internet (saya), dan menanyakan sebuah
pertanyaan konyol namun jelas seperti, “Bagaimana saya berhenti dari sekolah
kedokteran?”
Atau seorang mahasiswa yang jatuh cinta kepada dosennya.
Akibatnya, dia tersiksa dengan setiap tanda, tawa, senyuman,, lanturan hingga
basa basi, dan mengirim saya surel yang mirip novela sepanjang 28 halaman yang
ditutup dengan pertanyaan, “Bagaimana caranya agar dia mau diajak kencan?” Atau
orang tua tunggal (ibu) yang, sekarang, anak-anaknya sudah lulus sekolah namun
masih bermalas-malasan di sofanya, makan makanannya, menghabiskan uangnya,
tidak menghargai ruang atau keinginan si ibu un- hik mendapatkan privasi. Dia
ingin mereka hidup sendiri. Dia ingin melanjutkan hidupnya sendiri. Di saat
yang sama dia takut setengah H’ati meminta anak-anaknya untuk pindah,
sedemikian rupa hingga Pada pertanyaan, “Bagaimana cara meminta mereka pindah?
Ini adalah jenis pertanyaan VCR. Bagi kita yang berada di
luar, jawabannya mudah: berhenti mengoceh dan segera lakukan.Namun dari dalam, dari sudut pandang masing-masing orang
yang mengalaminya, pertanyaan itu terasa mustahil rumit dan bu- ram—seperti
teka-teki eksistensial yang dibungkus dengan enigma dan dimuat di dalam satu
ember KFC yang penuh dengan kubus Rubik.
Pertanyaan VCR ini lucu karena jawabannya terlihat sulit
bagi siapa pun yang mengalaminya, dan tampak mudah bagi siapa pun yang tidak
mengalaminya.
Masalahnya di sini adalah rasa sakit. Mengisi berkas
pengunduran diri dari sekolah kedokteran jelas merupakan langkah yang langsung
tepat sasaran; sedangkan melukai hati orang tua Anda adalah perkara lain.
Mengajak dosen untuk berkencan sesederhana mengutarakan ajakan tersebut; risiko
menerima rasa main yang mendalam dan penolakan terasa jauh lebih rumit. Meminta
seseorang untuk keluar dari rumah Anda adalah sebuah keputusan yang jelas;
perasaan bahwa Anda menelantarkan anak sendiri akan lain sama sekali.
Saya berjuang menghadapi kegusaran sosial (social anxiety)
sepanjang masa remaja dan awal masa dewasa saya. Saya menghabiskan hampir
seluruh hari-hari saya, mengalihkan perhatian saya sendiri dengan video games
dan sebagian besar malam-malam saya entah dengan minum-minum atau merokok demi
mengusir rasa tidak nyaman itu. Selama bertahun-tahun, keinginan untuk
berbicara dengan orang asing yang harapannya menarik/populer/pintar—terasa
mustahil bagi saya. Saya berjalan dalam kebingungan selama bertahun-tahun,
bertanya kepada diri saya sendiri pertanyaan VCR yang bodoh:
Bagaimana? Bagaimana caranya Anda bisa semudah itu ber- j
dan mengajaknya bicara? Bagaimana bisa seseorang melakukan itu?"
Saya punya semua jenis keyakinan yang buruk seperti, bahwa
Anda tidak diizinkan berbicara dengan seseorang kecuali jika Anda memiliki
alasan yang wajar untuk melakukannya, atau bahwa para wanita akan berpikiran
bahwa saya adalah seorang pemerkosa yang menakutkan jika terlalu sering
berkata, “Halo.”
Masalahnya adalah bahwa emosi saya menentukan realita saya.
Karena saya merasa sepertinya orang-orang enggan berbicara dengan saya, saya
mulai meyakini bahwa orang-orang memang tidak man saya ajak bicara. Dan karena
itu, pertanyaan VCR saya: “Bagaimana saya bisa langsung menghampiri seseorang
dan mengajaknya berbicara?”
Karena saya gagal memisahkan apa yang saya rasakan dengan
apa yang sesungguhnya ada, saya menjadi tidak mampu melangkah keluar dari diri
saya, dan memandang dunia sebagaimana adanya: sebuah tempat yang sederhana di
mana dua orang bisa bertemu kapan saja dan saling bicara.
Banyak orang, ketika mereka merasakan suatu bentuk rasa
sakit atau amarah atau kesedihan, mengabaikan semuanya dan mulai merasa kebal
atas semua perasaan yang menghinggapi. Sasaran mereka adalah untuk secepat
mungkin “merasa baik” kembali, bahkan jika itu berarti mengubah atau menipu
diri mereka sendiri atau kembali ke nilai mereka yang buruk.
Belajarlah untuk menahan rasa sakit yang telah Anda pilih.
Ketika memilih sebuah nilai baru, Anda sedang memilih untuk memasukkan bentuk
rasa sakit yang baru ke dalam hidup Anda. Rasakan, hikmati. Terima dengan
tangan terbuka. Kemudian, lakukanlah.
saya tidak berbohong: ini akan terasa tidak mungkin pada
awalnya- Tetapi Anda dapat memulainya dengan hal yang sederhana.
Anda akan merasa seakan-akan Anda tidak tahu apa yang harus
dilakukan, Namun kita telah membahas hal ini. Anda tidak tahu apa pun. Bahkan
ketika Anda pikir Anda tahu, Anda benar-benar tidak tahu apa yang akan Anda
lakukan. Jadi sungguh, tidak ada ruginya, kan?
Hidup adalah tentang tidak mengetahui apa pun dan kemudian
melakukan sesuatu, apa pun yang terjadi. Segala hal dalam, kehidupan berlaku
seperti ini. Tidak pemah berubah. Bahkan saat Anda bahagia. Bahkan ketika Anda
kentut bubuk peri sekali pun. Bahkan saat Anda memenangkan lotere dan membeli
satu armada kecil jet ski, Anda masih tidak tahu apa pun yang sedang Anda
lakukan. Jangan pemah lupakan itu. Dan jangan pemah takut akan hal itu.
Prinsip "Lakukan Sesuatu"
Pada 2008, setelah bekerja seharian penuh selama 6 minggu,
saya keluar dari pekerjaan saya dan memulai suatu bisnis, online. Pada saat
itu, saya benar-benar buta akan apa yang akan saya kerjakan, tetapi saya tahu,
andai kata saya bangkrut dan berakhir menyedihkan, setidaknya saya bekerja
sesuai keinginan saya. Dan ketika itu, yang saya pedulikan hanya mengejar-ngejar
wanita. Jadi persetan, saya memutuskan untuk memulai sebuah blog tentang
kehidupan kencan gila saya.
Pagi itu, begitu saya bangun tidur sebagai seorang
wiraswasta, saya segera disergap rasa ngeri. Saya mendapati diri saya duduk di
depan laptop dan menyadari, untuk pertama kalinya, bahwa saya sepenuhnya
bertanggung jawab atas semua keputusan saya, demiki' an pula dengan konsekuensi
dari keputusan itu. Saya bertangga jawab mengajari diri saya sendiri desain
web, pemasaran internet,
optimasi mesin pencari, dan topik esoterik lainnya Sekarang,
semua ada di pundak saya. Dan demikianlali saya melakukan apa yang diperbuat
pria berumur 24 tahun yang baru saja berhenti kerja dan tidak tahu sedikit pun
apa yang harus dilakukan: saya mengun- duh beberapa permainan komputer dan
menunda bekerja, rasanya seperti terjangkit virus Ebola.
Setelah minggu demi minggu berlalu dan rekening bank saya
berubah dari hitam menjadi merah, jelas saya perlu membuat semacam strategi
untuk memaksa diri saya bekerja 12 - 14 jam sehari untuk memulai bisnis saya.
Dan rencana im datang dari seseorang yang tidak pernah saya sangka.
Saat masih di SMA, guru matematika saya Mr. Packwood selalu
berkata, “Jika kalian terhenti di satu soal, jangan duduk saja dan hanya
memikirkan hal itu; mulailah mengerjakannya. Bahkan jika kalian tidak tahu apa
yang akan kalian lakukan, satu tindakan sederhana, yaitu mulai mengerjakan pada
akhimya akan membuat beberapa ide yang tepat muncul di kepala Anda.”
Selama periode kerja man diri itu, ketika saya berjuang
dengan keras setiap hari, tanpa petunjuk apa yang hams dilakukan disertai rasa
ngeri dengan hasilnya (atau segala kekurangannya), saran Mr. Packwood mulai
memanggil-manggil saya dari relung benak saya. Im terdengar seperti sebuah
mantra:
Jangan hanya duduk-duduk. Lakukan sesuatu. Jawaban akan muncul.
Saat menerapkan saran Mr. Packwood, saya mempelajari se
bllah pelajaran yang luar biasa mengenai motivasi. Perlu 8 tahun lu"gga
pelajaran ini benar-benar tercema, namun dari apa yang
saya temukan, selama jangka waktu itu, bulan-bulan yang
mele- lahkan meluncurkan produk, kolom saran yang mengundang tawa, malam-malam
yang tidak nyaman di atas sofa teman saya, rekening bank yang mulai minus, dan
ratusan hingga ribuan kata yang telah ditulis (sebagian besar tidak pernah
dibaca), mungkin menjadi hal paling penting yang telah saya pelajari dalam
hidup saya:
Tindakan bukan hanya efek dari suatu motivasi; ini juga
menjadi penyebab suatu motivasi.
Sebagian besar dari antara kita mengambil suatu tindakan
setelah kita merasakan tingkat motivasi tertentu. Dan kita merasakan suatu
motivasi hanya ketika kita merasakan inspirasi emosional yang cukup. Kita bisa
asumsikan langkah-langkah tersebut terjadi dalam semacam rantai reaksi singkat,
seperti ini:
Inspirasi emosional — Motivasi — Aksi yang di-, inginkan
Jika Anda ingin menuntaskan sesuatu namun merasa tidak ter-
motivasi atau terinspirasi, maka Anda berasumsi kalau diri Anda payah. Tidak
ada yang bisa Anda lakukan mengenai hal ini. Tidak hingga satu peristiwa besar
terjadi, lalu Anda berhasil mengum- pulkan motivasi yang cukup untuk bangkit
dari sofa dan melakukan sesuatu. Sejatinya, motivasi bukan saja reaksi tiga rantai, namun
lingkaran setan:
Inspirasi — Motivasi - Aksi Inspirasi — Motivasi Aksi-’dst. Aksi atau tindakan Anda menciptakan reaksi dan inspirasi
emo¬sional yang lebih jauh, dan terns berlanjut untuk memotivasi aksi
berikutnya. Dengan memanfaatkan pemahaman ini, kita sebenamya dapat mengubah
ulang orientasi pola pikir kita dengan cara berikut:
Aksi ‘Inspirasi—Motivasi
Jika Anda kutang motivasi untuk membuat suatu perubahan
dalam hidup Anda, lakukan sesuatu—apapun itu, sungguh—kemudian manfaatkan
reaksi dari aksi tersebut sebagai cara untuk mulai memotivasi diri Anda
sendiri. Saya menyebut ini prinsip “lakukan sesuatu”. Setelah
menerapkan ini pada diri saya sendiri untuk membangun bisnis saya, saya mulai
mengajarkannya kepada para pembaca yang datang kepada saya karena kebingungan
dengan pertanyaan VCR mereka sendiri: "Bagaimana melamar suatu pekerjaan?”
atau “Bagaimana mengatakan kepada laki-laki itu kalau saya ingin menjadi
pacarnya?” dan semacam itu.
Dalam 2 tahun pertama saya menerapkan ini untuk diri saya
sendiri, minggu-minggu berlalu tanpa banyak pencapaian, tidak lain karena saya
cemas dan stres mengenai apa yang harus saya lakukan, dan terlalu mudah untuk
menunda semuanya. Meskipun demikian, saya cepat belajar bahwa memaksa diri saya
untuk melakukan sesuatu, bahkan pekerjaan yang paling rendali, dengan cepat
membuat pekerjaan yang lebih besar terlihat lebih mudah. Jika saya harus
mendesain ulang seluruh situs web, saya akan memaksa diri saya untuk duduk, dan
berkata, Oke, saya hanya akan mendesain header-nya sekarang.” Namun setelah
header selesai, saya mendapati diri saya beranjak ke bagian situs yang lain.
Dan se belum saya menyadarinya, saya akan merasa berenergi dan
terlibat dalam proyek tersebut.
Pengarang Tim Ferriss menghubungkan sebuah kisah yang pernah
didengamya mengenai seorang novelis yang telali menulis lebih dari 70 novel.
Seseorang bertanya kepada sang novelis bagaimana dia mampu menulis secara
konsisten, dan tetap terinspirasi serta termotivasi. Dia menjawab, “Dua ratus
kata yang kacau parah setiap hari, cuma itu.” Idenya adalah bahwa jika dia
memaksa dirinya sendiri untuk menulis 200 kata yang buruk sekalipun, itu akan
lebih menginspirasinya untuk menulis; dan sebelum dia menyadarinya, dia telah
menulis ribuan kata dalam 1 halaman.
Jika kita mengikuti prinsip “lakukan sesuatu”, kegagalan
terasa tidak penting. Ketika standar kesuksesan hanya “melakukan
se¬suatu”—ketika setiap hasil dianggap sebagai sebuah kemajuan dan penting,
inspirasi dilihat sebagai sebuah imbalan ketimbang suatu prasyarat—kita
mendorong diri kita lebih maju. Kita merasa bebas untuk gagal, dan kegagalan
itulah yang menggerakkan kita ke depan.
Prinsip “lakukan sesuatu” bukan hanya membantu kita saat
kita tergoda untuk menunda suatu pekeijaan, namun ini juga menjadi bagian dari
proses mengadopsi nilai-nilai baru. Jika Anda ada di tengah-tengah badai
eksistensial dan segalanya terasa tak berarti— jika semua cara yang Anda
gunakan untuk mengukur diri Anda sudah hampir habis dan Anda masih tidak punya
bayangan apa yang akan terjadi kemudian, jika Anda menyadari kalau Anda telah
melukai diri Anda sendiri dengan mengejar mimpi palsy > atau jika Anda tahu
bahwa ada beberapa ukuran yang lebih baik untuk menilai diri Anda tapi Anda
tidak tahu yang mana—jawabannya sama:
Lakukan sesuatu.
“Sesuatu” itu bisa saja berupa tindakan yang paling kecil di
an- tara yang lainnya. Ini bisa apa saja.
Akui saja kalau Anda brengsek dalam semua hubungan yang
telah Anda jalani, dan Anda ingin mulai mengembangkan belas kasih yang lebih
besar untuk orang lain? Lakukan sesuatu. Mulai dari yang sederhana. Buatlah
satu target seperti mendengar problem seseorang, dan luangkan waktu Anda untuk
membantu orang tersebut Lakukan itu sekali saja. Atau berjanjilah pada diri
Anda bahwa Anda akan menganggap Andalah akar masalah Anda sendiri jika di lain
kesempatan Anda merasa kecewa. Coba saja satu ide dan lihat bagaimana rasanya.
Kadang itulah yang perlu dilakukan agar bola salju
menggelinding, tindakan diperlukan untuk menginspirasi motivasi agar tetap ada.
Anda bisa menjadi sumber inspirasi Anda sendiri. Tindakan selalu ada dalam
jangkauan Anda. Dan cukup dengan menggunakan ukuran “melakukan sesuatu ” untuk
menilai kesuksesan Anda ma ka kegagalan pun akan mendorong Anda maju ke depan.
Comments
Post a Comment