The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 06

Anda Keliru tentang Semua


Hal (Tapi, Saya Pun Begitu)
Lima ratus tahun laluparakartografer (pembuatpeta)percaya kalau California dulunya sebuah pulau. Para doktor meyakini bahwa dengan menyayat lengan seseorang (atau di bagian tubuh mana pun yang mengakibatkan pendarahan) dapat menyem- buhkan penyakit. Para peneliti yakin bahwa api terbuat dari sesutu yang disebut phlogiston. Para wanita percaya bahwa menyekakan air seni anjing ke wajah mereka bisa membuat awet muda. Para astronom yakin bahwa matahari berevolusi mengelilingi bumi.

Ketika saya masih seorang bocah, saya pikir "mediocre” adalah sejenis sayuran yang tidak saya sukai. Saya juga berpikir bahwa abang saya telali menemukan sebuah jalan rahasia di rumah ne- nek saya karena dia bisa keluar rumah tanpa harus meninggalkan kamar mandi (spoiler alert: di situ ada sebuah jendela). Saya juga berpikir bahwa ketika teman saya dan keluarganya mengunjungi “Washington, B.C.,” mereka, entail bagaimana caranya, bisa kem¬bali ke masa lalu ketika dinosaurus hidup, karena, B.C. artinya

Saat remaja, saya mengatakan kepada semua orang bahwa Saya tidak memedulikan apa pun, padahal kebenarannya saya terlalu peduli. Orang lain mengatur hidup saya tanpa pemah saya ketahui. Saya pikir kebahagiaan adalah sebuah takdir dan bukan suatu pilihan. Saya kira cinta terjadi begitu saja, bukan sesuatu yang diperjuangkan. Saya pikir menjadi “keren” harus dilatih dan dipelajari dari orang lain, bukannya kita ciptakan sendiri.

Ketika saya masih pertama kali pacaran, saya pikir kami akan bersama selamanya. Dan kemudian, saat hubungan itu berakhir, saya kira saya tidak akan pemah bisa merasakan hal yang sama lagi dengan seorang wanita. Dan ketika saya mengalami jatuh cinta lagi dengan seorang wanita, saya pikir cinta saja kadang tidak cukup. Dan kemudian saya menyadari bahwa setiap pribadi hams memutuskan tentang apa yang disebut “cukup”, dan bahwa cinta harus dibiarkan berjalan apa adanya.

Setiap langkah dalam perjalanan hidup saya temyata keliru. Tentang setiap hal. Sepanjang hidup saya, saya keliru menilai diri saya, orang lain, masyarakat, budaya, dunia, alam semesta—semua hal.
Dan saya berharap, itu akan terus terjadi dalam sisa hidup saya.
Sama seperti Mark yang sekarang mampu melihat setiap cacat dan kesalahan Mark yang dulu, suatu hari, Mark masa depan akan meme¬riksa kembali asumsi-asumsi (termasuk isi buku ini) dari Mark yang sekarang kemudian mendapati beberapa kesalahan serupa. Dan ini merupakan hal yang baik. Karena artinya saya telah berkembang.
Ada satu kutipan yang terkenal dari Michael Jordan tentang dirinya yang gagal dan gagal lagi, dan itu yang membuatnya sukses. Ya, saya selalu keliru tentang semua hal, lagi dan lagi, dan itu agannya mengapa hidup saya menjadi lebih baik. 
Pertumbuhan merupakan proses yang berulang yang tidak pernah berakhir. Ketika kita mempelajari sesuatu yang barn, kita tidak beranjak dari “salah” menuju “benar.” Namun, kita berangkat dari salah menuju sedikit salah. Dan ketika kita menambahkan sesuatu yang barn lagi, kita bergerak dari sedikit salah ke kesalahan yang lebih sedikit, dan kemudian kesalahan yang lebih sedikit lagi, dan seterusnya. Kita selalu dalam proses mendekati kebenaran dan kesempumaan tanpa benar-benar dapat meraih kebenaran dan kesempumaan itu sendiri.

Sebaiknya kita tidak bemafsu untuk mencari jawaban paling “benar” bagi diri kita sendiri, namun lebih pada pencarian agar dapat menyingkirkan kekeliruan kita hari ini, sehingga esok hari kekeliruan itu menjadi semakin kecil.
Jika dilihat dari kaca mata ini, perkembangan pribadi sebenamya cukup ilmiah. Nilai-nilai yang kita punya tidak lain adalah hipotesis: perilaku yang ini baik dan penting; perilaku lain tidak. Tindakan kita adalah eksperimen; emosi yang timbul serta pola pemikiran kita adalah sumber informasi kita.
Tidak ada dogma yang benar. Tidak ada pula ideologi yang sem- puma. Yang ada hanyalah bahwa pengalaman Anda telali menunjukkan kepada Anda mana yang benar untuk Anda—dan bahkan, bahwa pengalaman juga bisa keliru. Dan karena Anda dan saya dan orang lain semuanya memiliki kebutuhan dan sejarah pribadi serta situasi hidup yang berbeda, kita semua tidak bisa tidak, akan memiliki jawaban “benar” yang berbeda mengenai arti hidup kita, dan bagaimana itu seharusnya dihidupi. Jawaban yang benar ver si saya meliputi berkelana sendiri selama bertahun-tahun, tinggal di tempat yang tidak jelas, dan menertawakan kentut saya sendi ri. Atau setidaknya itulah jawaban yang benar hingga sekarang

Jawaban itu akan berubah dan Ivrewlusi. karena saya bet ubah dan berevolusi; dan saat saya tuinbuh dewasa dan lebih bet pen galaman, saya sadar betapa kelirunya saya, karena setiap hari kesalahan saya menjadi semakin sedikit
Banyak orang teramat terebsesi untuk dapat memiliki hidup yang “benar**, sampai-sampai mereka sesungguhnya tidak benar- benar menjalani hidup itu sendiri.
Seorang wanita masih lajang dan kesepian dan ingin punya pacar, tapi dia tidak pemah keluar dari rumah atau berusaha. Seorang pria bekerja membanting tulang dan yakin kalau dia berhak naik pangkat, namun dia tidak pernah mengutarakannya kepada bosnya.
Mereka diajarkan untuk takut akan kegagalan, akan penolakan, takut mendengar seseorang menampik permohonannya.

Namun bukan itu poinnya. Tentu, penolakan menyakitkan. Kegagalan memuakkan. Meskipun demikian ada keyakinan tertentu yang kita pegang—keyakinan bahwa kita takut untuk mempertanyakan atau melepaskan, nilai-nilai yang telah meriiberikan arti dalam kehidupan kita selama bertahun-tahun. Wanita itu tidak kunjung beranjak keluar rumah dan pergi berkencan karena kalau sampai dia sungguh keluar, dia dipaksa untuk berhadapan secara nyata dengan keyakinannya sendiri untuk bisa memikat laki- laki. Pria tersebut tidak meminta promosi karena jika dia sampai mengutarakannya, dia akan dipaksa untuk berhadapan dengan keyakinannya sendiri tentang keahlian apa yang membuatnya layak dipromosikan.
Lebih mudah untuk berdiam diri dalam keyakinan yang menya¬kitkan bahwa tidak ada seorang pun yang akan tertarik pada Anda, bahwa tidak ada seorang pun yang menghargai talenta Anda, daripada benar-benar menguji keyakinan tersebut dan menemukan jawaban yang paling tepat. 

Keyakinan jenis ini—bahwa saya tidak cukup menarik, jadi me¬ngapa gusar; atau bahwa bos saya seorang bajingan, jadi bodo amat— dirancang untuk memberi kita kenyamanan yang biasa saja dengan menggadaikan kebahagiaan dan kesuksesan yang lebih besar nantinya. Ini adalah strategi jangka panjang yang buruk, namun kita berpegang pada keyakinan itu karena kita berasumsi kalau kita benar, karena kita menyangka sudah tahu apa yang kelak akan terjadi. Dengan kata lain, kita berasumsi kita tahu seperti apa akhir ceritanya.

Kepastian adalah musuh dari pertumbuhan. Tidak ada yang pasti hingga itu benar-benar terjadi—dan bahkan sesudahnya, itu masih dapat diperdebatkan. Itulah mengapa penerimaan terhadap tidak terelakkannya ketidaksempumaan dari nilai-nilai yang kita miliki penting untuk menyempumakan nilai-nilai tersebut.
Alih-alih ngotot untuk mencari kepastian, kita sebaiknya terus berupaya untuk mencari keraguan: keraguan tentang keyakinan kita sendiri, keraguan tentang perasaan kita sendiri, keraguan tentang apa yang dipersiapkan masa depan untuk kita jika kita tidak keluar, dan menciptakannya sendiri. Daripada berusaha menjadi benar setiap saat, sebaiknya kita cari tahu bagaimana kita bisa keliru setiap saat. Karena kita memang demikian.

Kekeliruan membuka kemungkinan adanya perubahan. Kekeliruan membawa kesempatan untuk tumbuh. Ini berarti tidak lagi menyayat lengan Anda untuk menyembuhkan flu atau mencipratkan kencing anjing di muka Anda agar terliliat muda kembali. Ini berarti untuk tidak berpikir kalau “mediocre ” adalah sayuran, dan tidak takut peduli terhadap suatu hal. 

Karena inilah sesuatu yang aneh tapi nyata: kita tidak benar-benar tahu mana yang disebut pengalaman positif dan mana yang negatif. Beberapa momen yang sulit dan penult tekanan dalam kehidupan kita berubah menjadi sesuatu yang sangat membangun dan memotivasi. Beberapa pengalaman terbaik dan yang paling memuaskan dalam kehidupan kita, menjadi pengalaman yang sangat mengganggu dan menyurutkan semangat. Jangan percaya konsep Anda tentang pengalaman positihnegatif Semua yang kita tahu dengan pasti adalah apa yang menyakitkan dalam momen tersebut dan mana yang tidak. Dan itu tidak terlalu berharga.

Sebagaimana kita melihat dengan perasaan ngeri kehidupan ma- nusia 500 tahun lalu, saya membayangkan orang-orang yang hidup 500 tahun dari sekarang akan menertawakan kita dan keyakinan yang kita cari sekarang ini. Mereka akan menertawakan bagaimana kita membiarkan uang dan pekerjaan mendikte hidup kita. Mereka akan menertawakan bagaimana kita takut untuk menunjukkan penghargaan kepada orang-orang yang sangat berarti bagi kita, sebaliknya kita justru melayangkan pujian kepada tokoh publik yang tidak berhak atas apa pun. Mereka akan menertawakan ritual dan takhayul kita, kecemasan kita, dan perang-perang kita; mereka akan terbelalak melihat kekejaman kita. Mereka akan mempelajari kesenian kita dan adu pendapat tentang sejarah kita. Mereka akan memahami kebenaran mengenai kita yang tidak disadari seorang pun dari kita.
Dan mereka, juga, bisa keliru. Meski lebih sedikit daripada kita. Arsitek Keyakinan Kita Sendiri Coba ini. Ajak beberapa orang untuk masuk ke dalam suatu ruangan yang dilengkapi dengan beberapa tombol. Lalu katakan kepada mereka bahwa jika mereka melakukan sesuatu secara spesifik— tanpa diberitahu itu apa persisnya—maka akan ada satu lampu yang menyala, menunjukkan kalau mereka telah memenangkan poin. Sampaikan kepada mereka untuk melihat berapa banyak poin yang mereka peroleh dalam jangka waktu 30 menit. 

Ketika para psikolog melakukan eksperimen ini, yang terjadi mungkin sama dengan yang Anda kira. Orang-orang duduk dan mulai memukul-mukul tombol secara sembarangan hingga pada akhirnya lampu menyala, menunjukkan kalau mereka mendapat poin. Secara logis, mereka kemudian mengulangi apa pun yang mereka lakukan untuk mengantongi lebih banyak nilai. Dan ketika lampu tidak menyala. Mereka mulai bereksperimen dengan urut- an yang lebih rumit—menekan tombol 3 kafi, kemudian sekali, kemudian menunggu 5 detik, dan—ding! Satu poin lagi. Namun akhirnya, itu pun tidak lagi berhasil. Maka, mungkin ini tidak ada kaitannya dengan tombol sama sekali, pikir mereka. Mungkin ini ada kaitannya dengan bagaimana saya duduk. Atau apa yang saya sentuh. Mungkin ini ada kaitannya dengan kaki saya. Ding! Poin tambahan. Ya, mungkin saya perlu menggerakkan kaki saya dulu. baru menekan tombol lain. Ding!
Secara umum, dalam waktu 10-15 menit setiap orang ber- hasil menemukan perilaku dengan urutan yang spesifik untuk mendapatkan poin lebih banyak. Biasanya ini adalah sesuatu yang aneh, seperti berdiri dengan satu kaki atau mengingat urutan tom- hol yang panjang yang ditekan dalam kurun waktu tertentu sambil menghadap ke arah tertentu. Namun ini bagian lucunya: sebenarnya poin tersebut muncul se¬cara sembarangan. Tidak ada urutannya; tidak ada polanya.  jungkir balik, sembari meyakini bahwa apa yang mereka lakukan menghasilkan poin. Mungkin terkesan kejam, tetapi inti dari eksperimen ini adalah untuk menunjukkan betapa cepat pikiran manusia mampu muncul dan meyakini omong kosong yang tidak nyata. Dan pada akhimya, kita semua menjadi sangat mahir. Setiap orang keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan yakin bahwa dia berhasil melewati sebuah eksperimen, dan memenangkan permainan. Mereka semua percaya bahwa mereka telah menemukan urutan tombol yang “sempuma” untuk mendapatkan poin. Namun metode yang mereka temukan sama uniknya dengan pribadi mereka masing-masing. Seorang pria menemukan urutan memencet tombol yang panjang yang hanya bisa dipahami dirinya sendiri. Seorang gadis yakin dia hams menyentuli langit-langit beberapa kali agar bisa mendapatkan angka. Ketika dia meninggalkan ruangan, dia kecapekan karena harus melompat-lompat. 

Otak kita adalah mesin makna. Yang kita maksud dengan “makna” adalah produk atau hasil asosiasi yang dilakukan otak kita terhadap 2 pengalaman atau lebih. Kita menekan tombol, lalu kita melihat ada lampu yang menyala; kita berasumsi kalau tombol tersebut menyebabkan lampu menyala. Ini, pada intinya, adalah dasar dari yang kita sebut sebagai makna. Tombol, lampu; lampu, tombol. Kita melihat sebuah kursi. Kita lihat wamanya abu-abu. Otak kita kemudian menarik suatu asosiasi antara wama (abu-abu) dan benda (kursi) kemudian membentuk makna: “Kursi berwama abu-abu.”

Pikiran kita terus berputar, menghasilkan banyak dan semakin banyak asosiasi untuk membantu kita memahami dan mengendalikan lingkungan di sekitar kita. Apa pun yang berhubungan dengan pengalaman kita, baik ekstemal maupun internal, menghasilkan asosiasi dan hubungan yang barn dalam benak kita. Setiap hal, mulai dari kata-kata di halaman ini, hingga konsep tata bahasa yang Anda gunakan untuk menguraikannya, hingga pikiran kotor yang mengembara di benak Anda ketika tulisan saya mulai membosankan atau berulang-ulang—setiap pikiran, impuls, dan persepsi ini tersusun dari ribuan hubungan syaraf dan lebih, yang menyala bersamaan, menjajarkan pikiran Anda dalam nyala api pengetahuan dan pemahaman.

Namun ada 2 masalah. Pertama, otak tidak sempuma. Kita acap kali keliru melihat dan mendengar suatu hal. Kita melupakan banyak hal atau cukup mudah keliru menafsirkan suatu peristiwa.
Kedua, begitu kita menciptakan sebuah makna bagi diri kita sendiri, otak kita dirancang untuk mempertahankannya. Kita condong berprasangka terhadap makna yang telali dibuat oleh pikiran kita, dan kita tidak man melepaskannya. Bahkan jika kita melihat bukti yang bertentangan dengan makna yang telah kita ciptakan, kita sering mengabaikannya, dan tetap meyakininya apa pun yang terjadi.
Seorang komedian Emo Philips pemah berkata, “Dulu saya pikir otak manusia adalah organ yang paling ajaib dalam tubuh saya. Kemudian saya sadar siapa yang mengatakan ini.” Fakta yang kurang menguntungkan adalah, hampir semua yang kita ketahui dan percayai merupakan produk dari ketidakakuratan dan prasangka yang hadir dalam otak kita. Banyak atau bahkan sebagian besar nilai kita merupakan hasil dari peristiwa yang tidak mewakili dunia secara luas, atau dengan kata lain, hasil dari masa lalu yang keliru dipahami seluruhnya.

Pangkal dari semua ini? Sebagian besar keyakinan kita keliru. Atau, lebih tepatnya lagi, semua keyakinan keliru beberapa hanya sedikit lebih keliru dari yang lainnya. Pikiran manusia adalah keti- dakakuratan yang campur aduk. Dan meskipun ini membuat Anda menjadi tidak nyaman, ini merupakan konsep yang sangat penting untuk diterima, seperti yang akan kita lihat berikut ini. Berhati-Hatilah dengan Apa yang Anda Percayai Pada 1988, ketika menjalani terapi, seorang jumalis dan pengarang berhaluan feminis Meredith Maran mendapati sebuah pengalaman yang mengagetkan: ayahnya pemah melakukan kekerasan seksual terhadapnya ketika masih kecil. Ini sangat mengempas, suatu ingatan yang berusaha ia lupakan sejak beranjak dewasa. Namun di usia 37 tahun, dia memutuskan untuk menghadapi ayahnya, dan juga mengatakan kepada keluarganya apa yang telah terjadi. 

Kabar dari Meredith ini membuat seluruh keluarganya ketakutan. Ayahnya langsung menyangkal. Beberapa anggota keluarga memihak Meredith. Yang lain memihak ayahnya. Pohon keluarganya terbelah menjadi dua. Dan Iuka yang mengempas hubungan Meredith dengan ayahnya yang telah berlangsung lama sebelum pengakuan tersebut, kini telah menyebar seperti jamur yang menyerang cabang-cabang pohon itu. Kabar itu telali menyayat hati semua orang.

Lalu pada 1996, Meredith menyadari sesuatu yang tidak kalah mengagetkan, ayahnya tidak pernah melecehkannya secara seksual. (Saya tahu, tips.} Dia, dengan banman seorang terapis, sebenamya menciptakan sendiri memori tersebut. Dipenuhi dengan rasa bersalah, dia menghabiskan sisa waktu selagi ayahnya hidup untuk mencoba berdamai dengannya dan anggota keluarga lain lewat per- mintaan maaf dan penjelasan yang disampaikan berulang-ulang.

Namun itu semua terlambat. Ayahnya meninggal dunia dan W arganya tidak akan pemah menjadi sama lagi.
Rupanya Meredith tidak sendirian. Seperti yang dijelaskannya dalam autobiografinya, My Lie: A True Story of False Memory, sepanjang 1980-an, banyak wanita menuduh anggota keluarga laki-laki mereka telah melakukan kekerasan seksual, dan mengakui bahwa mereka telah salah menuduh beberapa tahun kemudian. Mirip, ada sekelompok orang yang mengklaim bahwa selama dekade itu ada sekte setan yang melecehkan anak-anak, meskipun setelah penyelidikan polisi di pululian kota, pihak kepolisian tidak pemah menemukan bukti apa pun atas praktik gila yang digambarkan itu.

Mengapa orang secara tiba-tiba menemukan ingatan tentang pelecehan yang mengerikan dalam keluarga dan sekte tersebut? Dan mengapa semua ini terjadi di 1980-an? Pemahkan Anda bermain telepon-teleponan ketika masih anak- anak? Anda pasti ingat, Anda mengatakan sesuatu di telinga seseorang lalu orang kedua membisikkan apa yang didengar ke orang ketiga dan seterusnya hingga kurang lebih ke 10 orang, dan apa yang didengar orang terakhir sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah Anda katakan di awal? Pada dasamya seperti itulah memori kita bekerja. 

Kita mengalami sesuatu. Kemudian kita mengingatnya sedikit berbeda beberapa hari kemudian, seperti permainan bisik dan dengar tadi. Kemudian kita menceritakannya kepada seseorang, dan kita mengisi beberapa kerumpangan di plot cerita tersebut dengan Polesan kita sendiri untuk memastikan agar semuanya masuk akaldan kita tidak dianggap gila. Kemudian kita memercayai polesan- Polesan kecil yang mengisi kerumpangan tadi, dan menceritakannya
di kesempatan lain. Karena tidak sungguh terjadi, maka kita juga sedikit keliru memahaminya. Dan kita sedang mabuk di suatu malam setahun kemudian saat menceritakan kisah itu, dan kita memolesnya sedikit lagi—oke, sejujumya, kita baru saja mengarang sepertiga dari kisah itu. Namun ketika kita siuman minggu berikutnya, kita tidak mau mengaku kalau kita adalah pembohong besar, jadi kita meneruskan cerita kita dengan versi pemabuk yang telah diperbarui dan baru saja ditambahkan di minggu berikutnya. Dan 5 tahun berikutnya, kita bisa bersumpah demi apa pun—baik demi Tuhan maupun demi kubur ibuku— bahwa kisah isapan jempol yang lebih nyata dari yang sesungguhnya terjadi itu 50 persen nyata.
Kita semua melakukan ini. Anda melakukannya. Saya melaku- kannya. Bodo amat, seberapa jujur dan beritikad baik diri kita, kita' selalu berada dalam suatu keadaan yang abadi untuk menyesatkan diri kita dan orang lain karena otak kita hanya dirancang agar efisien, bukan akurat.

Tidak hanya memori kita yang payah—sampai pada titik bahwa testimoni dari saksi mata tidak dianggap serins dalam kasus-kasus persidangan—otak kita berfungsi dengan cara yang sangat bias.
Bagaimana bisa begitu? Begini, otak kita selalu mencoba untuk membuat situasi kita saat ini menjadi masuk akal berdasarkan apa yang telah kita yakini dan alami. Setiap keping informasi baru, diukur dengan nilai dan kesimpulan yang telah kita punyai. Akibatnya, otak kita selalu bias terhadap apa yang kita rasa sebagai sesuatu yang benar pada saat itu. Jadi ketika kita mempunyai hubungan yang manis dengan saudari kita, kita akan menafsirkan hampir semua ingatan tentangnya dalam cahaya yang positif. Namun ketika hubungan menjadi masam, kita akan sering melihat memori yang sama dengan cara pandang yang berbeda, mereka memori baru sedemikian rupa sehingga kita bisa menyampaikan kemarahan kita sekarang ini terhadapnya. Hadiah lucu yang diberikannya pada Natal tahun lalu, sekarang muncul dalam ingatan sebagai bentuk yang merendalikan dan menggurui. Momen ketika dia lupa mengundang kita ke rumah danaunya, sekarang tidak terlihat sebagai sebuah kealpaan yang manusiawi, namun sebagai suatu penelantaran yang kejam.
Cerita palsu pelecehan Meredith jauh lebih masuk akal setelah kita memahami nilai-nilai yang menumbuhkan keyakinannya. Pertama-tama, Meredith sudah punya hubungan yang tegang dan sulit dengan ayahnya di sepanjang hidupnya. Kedua, Meredith mengalami serangkaian kegagalan ketika menjalin hubungan dengan laki-laki, termasuk pemikahan yang gagal. Jadi, terkait dengan nilai-nilai yang dimilikinya, “hubungan yang dekat dengan laki-laki” tidak berjalan cukup hangat. 

Kemudian, di awal 1980-an, Meredith menjadi seorang feminis radikal dan mulai melakukan penelitian tentang kekerasan terhadap anak-anak. Satu per satu, dia dihadapkan pada kisah-kisah mengerikan tentang kekerasan, dan dia banyak bertemu dengan para penyintas hubungan inses—biasanya anak perempuan selama bertahun-tahun. Dia juga melaporkan secara luas sejumlah kajian yang tidak akurat yang muncul sekitar masa itu studi yang kemudian secara kasar melebih-lebihkan merebaknya pelecehan anak- anak. (Studi paling terkenal melaporkan bahwa sepertiga wanita dewasa telah dilecehkan secara seksual saat masih anak-anak, belakangan angka yang ditampilkan rupanya keliru.)

Dan di bagian paling atas dari semua itu, Meredith jatuh cinta dan memulai hubungan dengan wanita lain, seorang penyintas inses. Meredith menjalin sebuah hubungan yang saling tergantung dan buruk dengan pasangannya itu, yang mana di sela-sela hubungan ini, Meredith terus berusaha untuk “menyelamatkan wanita lain dari masa lalunya yang traumatik. Pasangannya tersebut juga menggunakan pengalaman traumatiknya sebagai senjata “rasa bersalah” untuk mendapatkan kasih sayang Meredith (lebih banyak tentang hal ini dan tentang batasan-batasan di bab 8). Sementara itu, hubungan Meredith dengan ayahnya semakin memburuk (ayahnya tidak terlalu kaget ketika tahu putrinya punya hubungan lesbian), dan dia pun mengikuti terapi dengan ketat. Para terapisnya, dengan nilai dan keyakinan yang mereka miliki, mulai menerapkan kebiasaan lama mereka, bersikeras kalau pasti bukan hanya tekanan pekerjaannya sebagai reporter atau tidak harmonisnya hubungannya yang membuat Meredith begitu tidak bahagia; pasti ada hal lain, sesuatu yang lebih dalam.

Di zaman itu, sebuah bentuk penanganan baru yang disebut re¬pressed memory therapy (terapi memori yang ditekan) menjadi luar biasa populer. Dalam terapi ini, seorang terapis membuat kliennya berada dalam keadaan semacam trans; lalu di situ, dia didorong untuk merunut akar masalahnya, dan mengalami kembali memori masa kanak-kanak yang terlupakan. Memori tersebut biasanya menyenangkan, namun setidaknya ada sebagian kecil merupakan pengalaman traumatis.

Dan demikianlah Meredith yang malang, dalam keadaan yang menyedihkan dan mencoba menemukan kasus inses dan pelecehan anak setiap hari, marah kepada ayahnya, bertahan seumur hidup menanggung kegagalan hubungan dengan laki-laki, dan satu- satunya orang yang tampaknya bisa memahami atau mencintainya adalah wanita lain yang juga penyitas inses. Oh, dan dia berbaring
di sofa menangis setiap hari dengan seorang terapis yang terns mintanya mengingat sesuatu yang tidak ada dalam infyitannyii, Dan voila, Anda memiliki sebuah resep mujarab untuk mencipakan suatu memori kekerasan seksual yang tidak pemah terjadi. Prioritas terbesar pikiran kita ketika sedang mengolah pengalaman adalah menafsirkan pengalaman tersebut dengan cara tertentu agar cocok dengan semua pengalaman, perasaan, dan keyakinan kita sebelumnya. Namun sering kita menghadapi situasi kehidupan di mana masa lalu dan masa kini tidak sesuai: dalam kesempatan- kesempatan semacam itu, apa yang kita alami pada suatu momen bertentangan dengan semua hal yang telah kita anggap benar dan masuk akal di masa lalu. Dalam upaya untuk mencapai kecocokan, pikiran kita kadang akan, dalam kasus seperti itu, menciptakan memori palsu. Dengan menghubungkan pengalaman kita sekarang dengan bayangan masa lalu tersebut, pikiran kita membuat kita bisa mempertahankan makna apa pun yang telah kita buat.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kisah Meredith tidak unik. Pada kenyataannya, di 1980an dan awal 1990an, ratusan orang yang tidak bersalah dituduh melakukan kekerasan seksual dengan latar belakang situasi yang hampir sama. Banyak di antara mereka dimasukkan ke dalam penjara.

Bagi orang-orang yang tidak puas dengan hidup mereka, penjelasan yang disodorkan tersebut, dipadukan dengan sensasi yang dibuat pihak media—bahwa benar ada epidemi tentang kekerasan seksual dan aksi pemuja setan yang sedang berlangsung, dan Anda dapat menjadi korbannya juga—memberikan insentif bagi pikiran bawah sadar banyak orang untuk memalsukan sedikit ingatan mereka dan untuk memberikan penjelasan atas penderitaan mereka saat ini dengan suatu cara yang menjadikan mereka koiban, dan
menghindari tanggung jawab. Repressed memory therapy ini kemu- dian difungsikan sebagai suatu alat untuk menarik keluar hasrat- hasrat bawah sadar ini dan memindahkannya ke dalam sebuah ben- tuk ingatan yang tampak nyata.

Proses ini, dan kondisi pikiran yang dihasilkannya, menjadi begitu umum sampai-sampai sebuah istilah diperkenalkan, sindrom memori palsu (false memory syndrome}. Ini mengubah proses kerja di ruang sidang. Ribuan terapis digugat dan kehilangan izin mereka. Repressed memory therapy tidak lagi digunakan dan diganti dengan metode yang lebih praktis. Penelitian terkini hanya menyadarkan kita akan pelajaran yang menyakitkan dari era tersebut: keyakinan kita bisa dipengaruhi, dan ingatan kita tidak bisa diandalkan.
Ada banyak kebijakan konvensional di luar sana yang mengatakan kepada Anda untuk “memercayai diri sendiri,” untuk “ikuti nyali Anda,” dan segala jenis klise yang terdengar menghibur.
Namun yang benar adalah untuk sedikit memercayai diri sendiri. Lagi pula, jika hati dan pikiran kita tidak dapat diandalkan, mungkin kita perlu lebih dalam mempertanyakan maksud dan motivasi kita sendiri. Jika kita semua selalu keliru, tidakkah skeptisisme diri dan kekakuan yang menantang keyakinan dan asumsi kita sendiri, menjadi rute paling logis untuk mengolahnya?
Mungkin terdengar menakutkan dan seakan menghancurkan diri sendiri. Namun sebenarnya ini kebalikannya. Bukan saja pilihan yang lebih aman, tetapi juga membebaskan.

Bahaya Kepastian Murni
Erin duduk di seberang saya di sebuah restoran sushi dan mencoba menjelaskan mengapa dia tidak memercayai kematian Sudah ham pir 3 jam, dan dia sendiri sudah menghabiskan persis 4 gulungan timun dan meminum sebotol penuh sake. (Sebenamya, dia hampir menghabiskan botol kedua sekarang.). Pukul 4 di Selasa sore. Saya tidak mengajaknya bertemu di tempat itu. Dia menghubungi saya melalui internet, dan terbang menemui saya. Lagi. Dia telah melakukannya sebelumnya. Jadi, Erin percaya kalau dia bisa menyembuhkan kematian, tetapi dia juga yakin kalau dia membutuhkan bantuan saya untuk mewujudkan hal itu. Namun bukan bantuan seperti dalam perkara bisnis. Jika dia memerlukan saran yang berhubungan dengan humas atau sesuatu semacam itu, itu masih oke. Tidak, ini lebih dari itu: dia ingin saya menjadi pacamya. Mengapa? Setelah 3 jam bertanya-tanya dan satu setengah botol sake, ini masih tidak jelas
Perlu Anda ketahui, tunangan saya ikut bersama kami di restoran itu. Menurut Erin, sepatutnya tunangan saya perlu dilibatkan dalam diskusi tersebut; Erin ingin tahu apakah tunangan saya “berkenan berbagi” dan ia (istri saya sekarang) “tidak perlu merasa terancam” oleh dia.

Saya pertama kali bertemu Erin di seminar self-help pada 2008. Orangnya terlihat cukup baik. Sedikit woo-woo (istilah slank Amerika untuk mereka yang menerima atau mengikuti kepercayaan superna¬tural, paranormal, fenomena pseudosains, dan semacamnya pe- nerj. I penyuka hal-hal berbau Aew Age, namun dia dulunya adalah seorang pengacara dan kuliah di salah satu Ivy League (kelompok universitas temama di bagian Timur Laut Amerika Serikat—penerj.) dan jelas sekali pandai. Dan dia tertawa pada lelucon saya dan menurutnya saya lucu—-jadi, tentu saja, Anda tahu, saya tidur dengannya.

Satu bulan kemudian, dia mengajak saya untuk pindah ke luar kota dan tinggal dengannya. Ini mengejutkan saya dan menjadi sebuah peringatan, sehingga kemudian saya mencoba putus darinya. Dia menanggapi dengan mengatakan kalau dia akan bunuh diri jika saya menolaknya. Baiklah, kini jadi dua peringatan. Saya segera memblokir dia baik dari surel maupun semua alat komunikasi saya.
Ini rupanya memperlambat dia namun tidak menghentikannya.

Beberapa tahun sebelum saya bertemu (kembali) dengannya, Erin mengalami kecelakaan mobil dan hampir meninggal. Sesungguhnya, dia sempat “meninggal” secara medis beberapa saat— semua aktivitas otak terhenti—tetapi entail bagaimana secara ajaib dia hidup kembali. Ketika dia “kembali”, dia mengklaim bahwa semua telah berubah. Dia menjadi orang yang sangat spiritual. Dia menjadi tertarik pada, dan mulai percaya tentang, energi penyembuhan dan malaikat-malaikat dan kesadaran sebagai bagian dari alam semesta serta kartu tarot. Dia juga percaya kalau dia telah menjadi seorang tabib dan peramal yang dapat melihat masa depan. Dan entah karena alasan apa, setelah bertemu de¬ngan saya, dia memutuskan kalau dia dan saya ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia bersama-sama. Untuk “menyembuhkan ke¬matian,” tegasnya.
Setelah saya memblokimya, dia mulai membuat alamat surel baru, kadang dia mengirimi saya puluhan surel penuh amarah dalam satu hari. Dia membuat akun Facebook dan Twitter palsu yang digunakan untuk melecehkan saya demikian juga orang-orang yang dekat dengan saya. Dia menciptakan sebuah situs web yang hampir sama dengan milik saya dan menulis puluhan artikel yang mengklaim bahwa saya adalah mantan kekasihnya dan bahwa 

saya telah berbohong kepadanya dan selingkuh, bahwa saya telah berjanji untuk menikahinya serta, bahwa dia dan saya ditakdirkan untuk bersama. Ketika saya menghubunginya agar menuhip situs tersebut, dia mengatakan kalau dia akan melakukannya asalkan saya terbang ke California untuk bersamanya. Ide untuk berkompromi datang dari pihaknya.

Dan setelah semua hal yang terjadi, kesimpulannya tidak berubah: saya ditakdirkan untuk bersamanya, bahwa Tuhan telah menakdirkan hal ini, bahwa dia benar-benar terbangun di tengah malam setelah mendengar suara malaikat yang menitahkan agar kami menjalin “hubungan istimewa” demi mengarungi era baru kedamaian abadi di muka bumi. (Ya, dia sungguh mengatakan hal ini kepada saya.)
Hingga saya duduk bersamanya di restoran sushi itu, sudah masuk ribuan surat ke inbox saya. Entah saya tanggapi atau tidak, entah saya balas dengan sopan atau emosional, tidak ada yang berubah. Pikirannya tidak pemah berubah; keyakinannya tidak pemah goyah. Ini sudah berjalan selama 7 tahun (dan masih terus).
Dan demikianlah, di restoran sushi kecil itu, kami bersama Erin yang sedang menenggak sake dan membual berjam-jam tentang bagaimana dia menyembuhkan batu ginjal kucingnya dengan me- nyalurkan energi, hingga saya pun berpikir:

Erin adalah pecandu self-improvement. Dia menghabiskan USD10.000 untuk membeli buku dan mengikuti seminar serta kursus. Dan bagian paling gila dari semua ini adalah bahwa Erin menerapkan mentah-mentah semua ilmu yang telah dipelajarinya. Dia memiliki mimpinya sendiri. Dia gigih memperjuangkannya. Dia memvisualisasikan dan menerjemahkannya dalam aksi nya-
ta, dan meskipun dia mendapatkan penolakan atau kegagalan, dia akan bangkit lagi dan mencobanya lagi. Dia tidak kenal lelah untuk bersikap positif. Dia mempunyai pandangan yang cukup tinggi ter¬hadap dirinya sendiri. Maksud saya, dia mengklaim dapat meng- hidupkan kucing yang mati seperti halnya Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian—alamak, yang benar saja!
Namun semua nilainya benar-benar payah dan tidak ada satu- pun yang berguna. Faktanya segala hal “baik” yang dilakukannya tidak membuat-nya baik.

Ada sebuah kepastian dalam dirinya yang tak mampu ia tang- galkan. Dia bahkan telah berulangkali mengaku kepada saya: bahwa dia tahu kegemarannya ini jelas-jelas tidak rasional dan tidak sehat, dan membuat baik dia maupun saya tidak bahagia. Namun karena alasan tertentu, hal tersebut tampak benar baginya, sehingga tidak bisa diabaikan dan dihentikan begitu saja.

Pertengahan 1990-an, seorang psikolog Roy Baumeister mulai meneliti tentang konsep kejahatan. Pada dasamya, dia mengamati orang-orang yang melakukan hal yang jahat dan mengapa mereka melakukan itu.
Asumsi yang ada ketika itu adalah bahwa orang-orang melakukan hal yang buruk karena mereka merasa dirinya buruk—artinya, mereka memandang rendah diri mereka. Salah satu temuan Baumeister yang mengejutkan adalah bahwa asumsi tersebut seringkali keliru. Dalam kenyataan, yang biasa terjadi justru sebaliknya. Beberapa kriminal kelas kakap punya kepercayaan dan kepercayaan diri yang cukup baik. Dan perasaan inilah, terlepas dari realitas di sekitar mereka, yang memberi mereka semacam pembenaran untuk melukai dan berbuat buruk pada orang lain.

Orang-orang yang merasa tindakan buruknya dibenarkan, pasti merasakan kepastian yang tak terbantahkan akan nilai-nilai kebenaran yang mereka yakini, dan aneka kepercayaan diri serta keistimewaan yang mereka pikir pantas mereka dapatkan. Orang-orang yang rasis melakukan hal-hal yang rasis karena mereka sungguh yakin tentang superioritas genetik mereka. Para pemeluk agama yang fanatik meledakkan diri mereka dan membunuh puluhan orang karena yakin adanya suatu tempat istimewa yang akan mereka dapatkan di surga sebagai martir. Pria memperkosa dan melakukan kekerasan terhadap wanita karena yakin mereka berhak atas tubuh wanita.

Orang-orang yang jahat tidak akan pemah percaya kalau mereka jahat; melainkan, mereka percaya kalau orang lainlah yang jahat. Dalam eksperimen yang kontroversial, sekarang dikenal dengan sebutan Eksperimen Milgram, mengambil nama belakang seorang psikolog Stanley Milgram, para peneliti meminta beberapa orang “normal” untuk menghukum sukarelawan lain karena melanggar bermacam aturan. Maka hukuman pun mereka berikan, kadang hukuman itu melampaui kategori kekerasan fisik. Hampir tidak ada “algojo” yang keberatan atau meminta penjelasan lebih dahulu. Di sisi lain, banyak dari mereka tampak menikmati otoritas moral yang dilimpahkan kepada mereka dalam eksperimen tersebut. 

Permasalahannya di sini bukan saja kepastian itu tidak akan pernah bisa kita capai, tapi bahwasanya berusaha mengejar kepastian pun sering melahirkan kerentanan yang lebih besar (dan lebih buruk).
Banyak orang memiliki suatu keyakinan yang tidak tergoyahkan atas kemampuan mereka di suatu pekerjaan atau nominal Penghasilan yang sehanisnya mereka perol eh. Namun keyakinan ’crscbut malah membuat mereka merasa lebih buruk, bukannya lebih baik. Saat melihat orang lain mendapat promosi jabatan, mereka pun merasa diremehkan. Mereka merasa tidak dihargai dan tidak diakui. Bahkan sebuah perilaku sederhana seperti diam-diam membaca kotak sms di ponsel pacar Anda, atau bertanya pada teman Anda tentang penilaian orang-orang lain tentang diri Anda, sesungguhnya didorong oleh kerapuhan, dan kegelisahan yang mendera demi memperoleh kepastian. 

Anda boleh saja mengecek pesan singkat pasangan Anda dan tidak menemukan sesuatu pun, tapi jarang sekali berakhir seperti itu; kemudian Anda akan mulai curiga jangan-jangan dia punya ponsel lain. Anda boleh saja merasa diremehkan dan diinjak-injak dalam karier Anda setelah Anda tidak masuk dalam promosi tersebut, tapi kemudian perasaan itu mendorong Anda untuk mulai tidak percaya pada rekan kerja Anda dan menerka gelagat buruk di balik perkataan mereka (dan dibalik setiap asumsi Anda tentang apa yang mereka rasakan tentang Anda), yang bahkan berdampak pada semakin kecilnya peluang Anda naik pangkat. Anda dapat terus mengejar seseorang istimewa yang Anda pikir “seharusnya” bersama dengan Anda, namun dengan adanya bermacam penolakan dan malam-malam yang sepi, Anda tidak bisa tidak mulai bertanya dan bertanya lagi apa yang salah dengan Anda.

Dan persis di momen yang menggelisahkan itu, dengan keputus- asaan yang dalam, kita menjadi mudah sekali menganggap diri berhak diistimewakan: memercayai bahwa kita berhak untuk sedikit curang demi mendapatkan sesuatu, bahwa orang lain layak dihukum, bahwa kita berhak untuk mendapatkan apa yang kita ingini, dan kadang dengan cara kasar. Lagi-lagi ini adalah hukum kebalikan: semakin Anda ingin mendapat kepastian akan sesuatu, Anda akan semakin merasa tidak pasti dan tidak aman. 

Demikian pula sebaliknya: semakin Anda menerima sepenuhnya ketidakpastian dan ketidaktahuan akan aneka hal, Anda akan semakin merasa nyaman karena tahu persis apa yang tidak Anda ketahui.
Ketidakpastian juga membebaskan kita dari penilaian kita terhadap diri kita sendiri; ini menangkal stereotip dan bias tidak penting yang kita rasakan saat menyaksikan seseorang di TV, di kantor, atau dijalan. Ketidakpastian juga memerdekakan kita dari penilaian kita terhadap diri sendiri. Kita tidak tahu apakah kita layak dicintai atau tidak; kita tidak tahu seberapa menariknya diri kita; kita tidak tahu seperti apa kesuksesan kita nanti. Satu-satunya cara agar bisa seperti itu adalah dengan tetap merasa tidak pasti dan terbuka untuk menemukan kepastian-kepastian melalui pengalaman hidup.
Ketidakpastian merupakan akar dari semua kemajuan dan pertumbuhan. Seperti bunyi salah satu adagium kuno, manusia yang yakin dirinya mengetahui semuanya, tidak akan mempelajari sesuatu prm. Kita tidak bisa mempelajari apa pun tanpa pertama- tama tidak mengetahui sesuatu. Semakin kita mengakui kalau kita tidak tahu, akan ada semakin banyak kesempatan yang kita peroleh "ntuk belajar.

Nilai-nilai yang kita miliki tidak sempuma dan tidak penuh, dan berasumsi bahwa nilai-nilai tersebut sempuma dan penuh sama dengan menempatkan diri kita dalam sebuah pola pikir dogmatik berbahaya yang melahirkan kesewenang-wenangan dan pelarian Tas tanggung jawab. Satu-satunya cara untuk memecahkan
salah tersebut adalah pertama-tama dengan mengakui bahwa hingga saat ini, seluruh tindakan dan keyakinan kita telah terbukti salah dan tidak berfungsi. Keterbukaan untuk mengakui kesalahan harus ada terlebih dahulu jika Anda menginginkan perubahan atau pertumbuhan.

Sebelum kita mencermati nilai-nilai dan prioritas kita kemudian mengubahnya menjadi lebih baik, lebih sehat, pertama-tama kita harus meragukan nilai-nilai yang kita miliki saat ini. Kita harus secara intelektual menelanjangi nilai-nilai tersebut, melihat kekeliruan dan bias yang ada, melihat bagaimana nilai-nilai tersebut tidak cocok dengan sebagian besar manusia di muka bumi, kemudian menatap lekat -lekat ketidaktahuan kita dan mengakuinya, karena ketidaktahuan kita ternyata lebih besar dari diri kita sendiri.

Hukum Menghindar Manson
Pasti Anda pemah mendengar hukum Parkinson: “Pekerjaan meren- tang mengisi alokasi waktu yang tersedia untuk menuntaskannya.” Anda juga, tidak diragukan lagi, telah mendengar hukum Murphy: “Hal buruk yang mungkin terjadi, akan sungguh terjadi.” Ya, lain kali ketika Anda berada di sebuah pesta koktail yang glamor dan ingin membuat seseorang terkesan, coba ucapkan hukum menghindar Manson (Manson’s law of avoidance): Semakin banyak bahaya yang mengancam identitas Anda, semakin Anda berusaha menghindarinya Itu berarti bahwa semakin banyak hal yang mengancam cara Anda memandang Anda sendiri, cara Anda meyakini bahwa Anda akan menjadi sedemikian sukses/tidak sukses, cara Anda bisa
menghayati nilai-nilai yang Anda yakini, maka semakin sering Anda akan menghindar dari keinginan untuk mewujudkannya.Ketika Anda telah mengetahui cara Anda untuk bisa hidup di dunia ini, tentunya Anda merasakan semacam kenyamanan Nah, setiap hal yang menggoyang kenyamanan tersebut—meskipun ber- potensi membuat hidup jadi lebih baik—pada dasarnya menakutkan. Hukum Manson berlaku untuk hal yang baik dan buruk dalam kehidupan. Memiliki penghasilan jutaan dolar dapat mengancam identitas Anda, setara dengan kehilangan semua uang Anda; men- jadi seorang bintang rock yang terkenal bisa mengancam identitas Anda, setara dengan kehilangan pekerjaan Anda. Inilah mengapa orang kadang takut sukses—untuk alasan yang sama mereka takut gagal: konsekuensi yang akan mereka jalani rupanya mengancam keyakinan mereka tentang identitas diri mereka sendiri. Anda menghindari menuli s skenario yang sejatinya adalah mim- pi Anda karena jika melakukan itu, akan timbul pertanyaan terha- dap identitas diri Anda yang adalah seorang petugas klaim asuran- si. Anda menghindari berbicara dengan suami tentang hasrat untuk lebih “panas” di atas ranjang karena obrolan itu akan menantang jati diri Anda sebagai wanita baik-baik, yang bermoral. Anda meng- hindari mengatakan kepada teman Anda bahwa Anda tak ingin lagi menemuinya, karena mengakhiri suatu pertemanan akan bertentang- an dengan identitas Anda sebagai orang yang baik, dan pemaaf.

Itu adalah kesempatan-kesempatan emas dan penting yangsenantiasa kita lewatkan begitu saja karena dapat mengancam Pandangan dan perasaan kita terhadap diri kita sendiri, mengancam nilai-nilai yang telah kita pilih dan pelajari untuk kita hidupi. Saya punya seorang teman yang, bertahun-tahun, menceritakan niatnya untuk memperkenalkan karya seninya secara online dan berusaha menjadi seniman profesional (atau setidaknya semipro- fesional). Dia berbicara mengenai hal ini selama bertahun-tahun; bahwa dia telah menyisihkan uang; bahwa dia bahkan membuat website yang berbeda, dan telah mengunggah portofolionya.

Tetapi, dia tidak pemah meluncurkan karyanya. Selalu ada alasan: resolusi lukisannya tidak cukup bagus, atau dia baru saja melukis karya yang lebih bagus, atau masih belum ada waktu untuk hal tersebut.
Tahun demi tahun berlalu dan dia tidak pemah melepaskan “pekerjaan nyata”-nya. Mengapa? Karena: meski mimpi akan penghasilan yang layak dari seni itu menyenangkan, ada ketakutan nyata jika nanti dirinya menjadi Seniman Tak Laku. Menjadi Seniman Tak Laku jauh-jauh lebih mengerikan ketimbang menjadi Seniman yang Tak Pemah Didengar. Setidaknya dia nyaman dengan sebutan Seniman yang Tak Pemah Didengar. Saya punya teman lain, seorang jawara pesta, doyan minum- minum, dan gemar mengejar-ngejar wanita. Setelah bertahun-tahun hidup mengejar “kenikmatan,” dia merasa dirinya sangat kesepian, depresi, dan tidak sehat. Dia ingin mengubah gaya hidup pestanya. Dia iri dengan beberapa orang di antara kami yang sedang menjalin hubungan dan lebih mapan daripada dia. Namun dia tidak pemah berubah. Setelah tahun demi tahun yang dilaluinya, malam demi malam yang hampa, botol demi botol. Macam-macam alasannya. Selalu ada > dalih untuk mengurungkan tekadnya.





Identitasnya akan sangat terancam jika dia hams melepaskan gaya hidupnya. Jawara Pesta, hanya itu yang dia ketahui, itu identitasnya. Melepaskan jati dirinya sama saja dengan melakukan ha¬ra-kiri psikologis. Kita semua memiliki nilai-nilai kita sendiri. Kita melindungi nilai-nilai ini. Kita mencoba untuk menghidupinya dan mencari pembenaran atasnya, serta merawatnya. Bahkan jika kita tidak bermaksud melakukannya, pasalnya itulah yang cara kerja otak kita, Seperti telah diketahui sebelumnya, terdapat sebuah bias dalam cara pikir kita, yang asalnya dari apa yang sudah kita ketahui, apa yang kita yakini. Jika saya percaya bahwa saya adalah pria yang baik-baik, saya akan menghindari situasi yang berpotensi menentang keyakinan tersebut. Jika saya yakin diri saya adalah koki yang luar biasa, saya akan mencari kesempatan untuk membuktikan hal itu pada diri saya sendiri lagi dan lagi. Keyakinan selalu mengambil kendali atas diri kita. Kita tidak akan bisa mengelak dari perilaku menghindar dan kepanikan, sampai kita man mengubah cara pandang terhadap diri sendiri, apa yang kita yakini dan apa yang tidak. Kita tidak akan mampu berubah.

Dalam hal ini, “mengenal diri sendiri” atau “menemukan diri sendiri” bisa membahayakan. Ini bisa membuat Anda terpaku pada sebuah peran yang kaku dan membebani Anda dengan ekspektasi yang tidak penting Ini bisa menutupi Anda dari potensi diri dan peluang dari luar.
Saya katakan jangan temukan diri Anda. Saya berkata jangan kenali diri Anda. Karena inilah yang akan menjaga Anda untuk tetap berusaha dan mencari. Dan ini akan memaksa Anda untuk tetap rendah hati dalam penilaian Anda dan menerima berbagai perbe daan dari banyak orang.
Bunuh Diri Anda Sendiri

Buddhisme berpendapat bahwa ide Anda tentang siapa diri Anda merupakan sebuah konstruksi mental yang sewenang-wenang dan bahwa Anda sebaiknya melepaskan ide tentang keberadaan Anda” sama sekali; ide atau ukuran yang Anda gunakan untuk menyatakan diri Anda sesungguhnya dapat menjebak diri Anda, dan karena itu lebih baik Anda melepaskan segalanya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Buddhisme mendorong Anda untuk bodo amat.

Ini mungkin terdengar sinting, namun ada beberapa keuntungan psikologis jika kita mempraktikkan ini. Ketika kita melepaskan cerita-cerita tentang kita, dari diri kita sendiri, kita membebaskan diri agar bisa benar-benar bertindak (dan gagal) dan tumbuli. Ketika seseorang mengaku kepada dirinya sendiri, “Kamu tahu, mungkin aku memang tidak terlalu baik dalam menjalin hubungan,” maka dia tiba-tiba merasa bebas untuk mengambil tindakan dan menghentikan pemikahannya yang buruk. Dia tidak perlu melindungi jati dirinya dengan tetap berada dalam pemikalian yang menyedihkan dan buruk hanya untuk membuktikan sesuatu kepada dirinya sendiri.

Ketika siswa mengaku kepada dirinya sendiri, “Kamu tahu, mungkin aku bukan seorang pemberontak; mungkin aku hanya takut, maka dia dimerdekakan untuk menjadi ambisius lagi. Dia tidak punya alasan untuk merasa terancam saat mengejar mimpi akademiknya dan mungkin gagal. Ketika seorang petugas klaim asuranis mengakui bahwa, Baiklah, barangkali tidak ada yang unik atau istimewa dari mimpi- ku atau pekerjaanku,” maka dia merdeka untuk mengirimkan naskah skenario tersebut dan melihat apa yang akan terjadi. 

Saya punya kabar baik sekaligus kabar buruk untuk Anda: sedikit saja yang unik dan istimewa dari masalah Anda. Itulah mengapa mengikhlaskannya sangatlah memerdekakan.
Ketika Anda merasakan ketakutan yang didasari oleh suatu kepastian yang tidak rasional, Anda cenderung akan terserap ke dalamnya. Ketika Anda mengira bahwa pesawat yang Anda tumpangi akan jatuh, atau bahwa ide proyek Anda termasuk yang paling konyol dan akan ditertawakan semua orang, atau bahwa Anda adalah seseorang yang akan dipilih semua orang untuk dicibir atau diabaikan, secara implisit Anda pun berkata demikian pada diri sendiri, “Aku adalah perkecualian; saya tidak seperti orang lain;
saya berbeda dan saya istimewa.”

Ini adalah bentuk narsisisme, murni dan sederhana. Anda merasa seakan-akan masalah Anda layak untuk diperlakukan secara berbeda, bahwa masalah Anda memiliki rumus matematika yang unik sehingga tidak mengikuti hukum fisika alam semesta.

Saran saya: jangan jadi istimewa; jangan jadi unik. Definisikan ulang ukuran Anda dengan cara yang biasa dan umum. Pilihlah sebuah ukuran untuk diri Anda bukan sebagai seorang primadona atau seorang jenius terselubung. Pilihlah ukuran diri Anda sendiri bukan sebagai korban yang mengerikan atau suatu kegagalan yang suram. Sebagai gantinya, ukur diri Anda dengan identitas yang lebih biasa: seorang siswa, seorang rekan, seorang teman, seorang pencipta.
Semakin sempit dan semakin langka suatu identitas yang Anda Pilih, semua hal akan tampak semakin mengancam Anda. Untuk alasan itu, sedapat mungkin nyatakan diri Anda dengan cara yang Paling sederhana dan paling biasa. 

Ini sering berarti melepaskan beberapa ide gila tentang diri Anda: bahwa Anda secara unik cerdas, atau luar biasa bertalenta, atau menarik dalam konteks yang intimidatif, atau secara khusus menjadi korban dengan cara yang tidak pemah dapat dibayangkan seorang pun. Ini berarti melepaskan kepongahan Anda yang me- mandang diri Anda sebagai insan yang dinantikan oleh dunia. Ini berarti melepaskan kenikmatan-kenikmatan semu yang selama ini telah Anda pompa ke dalam diri Anda, supaya hidup Anda bisa berjalan terns. Seperti seorang pecandu yang menyerahkan jarum, Anda akan mengalami penolakan saat memulainya. Namun Anda akan merasa jauh lebih baik sesudahnya.

Cara Menjadi Tidak Terlalu Pasti pada Diri Sendiri
Menanyai diri sendiri dan meragukan pikiran dan keyakinan kita sendiri merupakan salah satu keahlian yang paling sulit untuk dikembangkan. Namun ini bisa dilakukan. Berikut ini beberapa pertanyaan yang akan membantu Anda untuk mengembangkan se¬dikit kepastian dalam hidup Anda. 

Pertanyaan1 #/; Bagaimana Jika Saya Salah? 
Seorang teman saya baru saja bertunangan. Laki-laki yang me- minangnya cukup meyakinkan. Dia tidak minum-minuman keras. Dia tidak memukulnya atau memperlakukannya dengan kasar. Dia ramah dan punya pekerjaan yang mapan.
Namun sejak pertunangan, abang teman saya itu tiada henti menasihatinya tentang ketidakdewasaan pilihan hidupnya, mem* peringatkan dia bahwa dia akan melukai dirinya sendiri jika hidup
bersama dengan pria ini, bahwa dia akan membuat suatu kesalah¬an, bahwa dia ceroboh. Dan setiapkali teman saya bertanya kepada abangnya, Masalahmu apa silt! Emangnya. kamu terganggu?”, dia berlagak seakan-akan tidak ada masalah, bahwa tidak ada hal yang mengganggunya soal pertunangan, bahwa dia hanya berusaha me- nolong dan menjaga adik perempuannya

Namun jelas ada sesuatu yang mengganggu-nya. Mungkin ini ada¬lah bentuk ketidakamanannya sendiri tentang pernikahan Mung¬kin ini hanya rivalitas antara saudara kandung semata. Mungkin ini adalah kecemburuan. Barangkali dia hanya tenggelam dalam perasaan m enjadi korban, bahwa dia tidak tahu bagaimana cara un- tuk menunjukkan kebahagiaan kepada orang lain tanpa pertama- tama membuat orang itu merasa hidupnya menderita.
Terdapat aturan umum, bahwa kita semua adalah pengamat yang paling buruk dunia, khususnya jika diminta untuk mengamati diri kita sendiri. Saat kita marah, atau cemburu, atau kecewa, kadang kita justru menjadi orang terakhir yang mengetahuinya. Dan satu-satunya cara untuk menemukan hal ini adalah dengan melubangi baju zirah keyakinan kita sendiri, yaitu terus-menerus bertanya apa yang mungkin menjadi kekeliruan kita.

“Apakah saya pencemburu—dan jika demikian, mengapa? “Apakah saya marah?” “Tidakkah dia benar, saya hanya melin¬dungi ego saya sendiri?”

Pertanyaan seperti ini perlu menjadi satu kebiasaan mental. Da- lam banyak kesempatan, tindakan sederhana seperti melontarkan Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membangkitkan keren dahan hati dan kasih sayang yang diperlukan untuk menyelesaikan banyak Permasalahan kita.


Namun penting untuk dicatat bahwa hanya karena Anda ber¬tanya kepada diri Anda sendiri apakah Anda memiliki pemahaman yang keliru, tidak serta merta berarti Anda sungguh memiliki pe¬mahaman keliru tersebut. Jika suami Anda menghajar Anda ha¬nya karena daging panggang yang gosong dan Anda bertanya ke¬pada diri Anda apakah Anda keliru memercayai bahwa dia sedang memperlakukan Anda dengan tidak benar—tidak bisa dimungkiri, kadang Anda benar. Tujuannya hanya untuk melayangkan per¬tanyaan, dan menertawakan pikiran kita pada saat itu, bukan untuk membenci diri Anda sendiri.
Penting untuk diingat bahwa demi suatu perubahan di dalam hidup Anda, Anda harus pernah keliru akan sesuatu. Jika Anda duduk di sana, merasa sedih hari demi hari, itu berarti Anda sudah keliru tentang sesuatu yang besar dalam kehidupan Anda, dan jika Anda belum mampu menemukan kekeliruan tersebut dengan terus ber¬tanya kepada diri Anda, maka tidak ada yang akan berubah. 

Pertanyaan #2: Apa Artinya jika Saya Keliru?
Banyak orang mampu bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka keliru, namun hanya sedikit yang mampu melangkah lebih jauh dan mengetahui dengan benar apa artinya jika mereka keliru. Penyebabnya adalah rasa sakit yang ada di balik kekeliruan kita tersebut. Langkah ini bukan saja mempertanyakan nilai-nilai kita, namun juga memaksa kita untuk mempertimbangkan apa jadinya dan seperti apa rasanya memiliki sebuah nilai yang bertentangan dan berbeda itu.
harus menerimanya. Mampu melihat dan mengevaluasi nilai-nilai yang berbeda tanpa perlu menerapkannya mungkin adalah keahlian utama yang dituntut untuk mengubah hidup seseorang dengan cara yang sangat berarti.
Seperti kasus abang teman saya di atas, pertanyaan untuk dirinya seharusnya, Apa artinya jika temyata pendapat saya keliru tentang pemikahan saudari saya?” Kadang jawaban dari pertanyaan sema¬cam itu cukup blak-blakan (dengan bentuk jawaban seperti, “Saya seorang yang egois/rapuh/keparat narsis). Jika dia keliru, dan temya¬ta pertunangan saudarinya baik-baik saja, sehat, dan bahagia, sung¬guh tidak ada penjelasan lain untuk perilaku sang abang selain dia memiliki rasa tidak aman dan nilai-nilai yang kacau. Dia mengira di¬rinya tahu apa yang terbaik untuk adiknya dan bahwa sang adik tidak bisa membuat keputusan besar dalam hidupnya; dia berasumsi dia memiliki hak dan tanggung jawab untuk membuat keputusan bagi saudarinya; dia yakin dialah yang benar dan orang lain pasti salah.
Bahkan ketika hal ini terkuak, entah dalam diri abang teman saya itu maupun diri kita sendiri, pengakuan semacam itu sulit dite- rima. Ini menyakitkan. Itulah mengapa hanya sedikit orang yang mampu melakukannya. Meski demikian, pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan untuk menemukan masalah inti yang memicu perilakunya (dan kita) yang menyebalkannya.

Pertanyaan #3: Apakah kekeliruan akan menciptakan permasalahan yang lebih baik atau buruk ketimbang permasalahan saya sekarang, baik untuk diri saya maupun orang lain?

Ini adalah cara paling jitu untuk menentukan apakah kita su¬dah menemukan beberapa nilai yang solid, atau kita sepenuhny orang yang gila yang kerjanya merecoki orang lain, termasuk diri kita sendiri. Di sini, tujuannya adalah untuk melihat masalah mana yang lebih baik. Karena seperti yang dikatakan Si Panda Nyinyir, masalah kehidupan itu tidak ada akhimya. Dalam kasus abang teman saya, pilihan apa yang dimilikinya? 

A Terus membuat drama dan gesekan dalam keluarga, mem- perumit apa yang seharusnya menjadi saat yang membaha- giakan, dan menghancurkan kepercayaan dan rasa honnat saudarinya, semua karena dia memiliki firasat (beberapa orang mungkin menyebutnya intuisi) bahwa laki-laki ini tidak baik untuknya.

B.Tidak memercayai kemampuannya sendiri untuk menentukan mana yang benar atau mana yang salah atas kehidupan saudarinya, dan tetap rendali hati, memercayai kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri, dan balikan jika dia tidak bisa memercayainya, menerima dan menghargai apa pun im sebagai bentuk cintanya kepada adiknya.
Sebagian besar orang memilih opsi A. Itu karena pilihan A adalah jalan setapak yang lebih mudah. Ini tidak memerlukan pemikiran yang rumit, tidak perlu berpikir dua kali, dan tidak ada penolakan keputusan yang mengganggu Anda.

Pilihan A juga menciptakan kepedihan yang paling dalam bagi semua orang yang terlibat.
Sementara, pilihan B menjaga hubungan yang sehat dan bahagia yang dibangun di atas kepercayaan dan rasa honnat. Pilihan B memaksa orang untuk tetap rendah hati dan mengakui kelalaian. Pilihan B juga memungkinkan orang untuk tuinbuh melampaui rasa tidak aman mereka serta mengenali situasi manakala mereka menjadi impulsif atau tidak adil atau egois.

Namun pilihan B ini sulit dan menyakitkan, jadi sebagian besar orang tidak memilihnya.
Abang teman saya, saat memprotes pertunangan adiknya, masuk ke dalam suatu peperangan imajinatif dengan dirinya sendiri. Tentu, dia yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk melindungi saudarinya, namun seperti yang kita lihat, keyakinan bersifat sewenang-wenang; lebih parahnya, kadang bisa dibuat-buat untuk membenarkan nilai dan ukuran yang telah kita pilih untuk diri kita sendiri. Sejatinya, dia memilih untuk menghancurkan hubungan dengan saudara perempuannya daripada mempertimbangkan kemungkinan dia bisa saja keliru—meskipun pilihan yang terakhir dapat menolongnya lepas dari rasa tidak aman yang jelas-jelas membuatnya keliru.

Saya mencoba untuk hidup dengan sedikit aturan, namun salah satu aturan yang telah saya terapkan selama bertahun-tahun adalah ini: jika saya merasa seseorang mengacaukan hidup saya, atau melihat ada orang lain yang hidupnya kacau, sebenamya sayalah yang, jauh, jauli, jauh, lebih kacau. Saya telah mempelajari ini dari pengalaman. Saya menjadi seorang yang brengsek, karena bertindak berdasarkan rasa tidak aman dan kepastian-kepastian yang temyata keliru, lebih banyak daripada yang bisa saya hitting. Ini tidak baik.
Ini bukan berarti tidak ada hal-hal sudah barang pasti akan membuat hidup seseorang itu kacau. Bukan pula berarti bahwa ada kalanya, Anda bisa jadi lebih benar ketimbang orang kebanyakan. 
Ini hanyalah sebuah kenyataan: jika rasanya seakan-akan Anda sedang melawan dunia, kemungkinannya adalah bahwa Anda sedang melawan diri Anda sendiri.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02