The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 04
Nilai Penderitaan
Di pengujung 1944, setelah hampir satu dekade perang,
gelombang pasang berbalik arah menerpa Jepang. Pere- konomian mereka sekarat,
militer mereka tercerai berai hampir di separuh Asia, dan wilayah pendudukan
yang telah me-reka menangkan di seluruh Pasifik sekarang bertumbangan seperti
domino di bawah kaki tentara AS Kekalahan sepertinya tidak ter- elakkan lagi.
Pada 26 Desember 1944, Letnan Dua Hiroo Onoda dan Ang- katan
Darat Kekaisaran Jepang diberangkatkan ke sebuah pulau ke¬cil bemama Lubang di
Filipina. Dia diperintahkan untuk sedapat mungkin memperlambat gerak Amerika
Serikat, untuk bangkit dan melawan apa pun taruhannya, dan untuk tidak pemah
menyerah. Baik dia dan komandannya tahu bahwa pada intinya ini adalah se¬buah
misi bunuh diri.
Pada Februari 1945, tentara Amerika mendarat di Lubang dan
mengambil alih pulau dengan kekuatan militer yang begitu besar. Hanya dalam
beberapa hari, sebagian besar tentara Jepang entah menyerah atau terbunuh,
namun Onoda dan 3 orang dari pasukan- nya berhasil bersembunyi di pedalaman
hutan. Dari sana, mereka memulai sebuah gerakan perang gerilya melawan tentara
AS dan penduduk setempat, menyerang jalur pasokan, menembaki tentara AS yang
terpisah, dan mengusik kekuatan pasukan AS dengan cara apa pirn yang mereka
bisa.
Pada Agustus di tahun yang sama, setengah tahun kemudian,
Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ke kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang
menyerah, dan perang paling mematikan dalam sejarali manusia menemui akhir yang
dramatis.
Bagaimanapun juga, ribuan tentara Jepang masih terpencar di
kepulauan Pasifik, dan sebagian besar, seperti Onoda, bersembunyi di hutan, dan
tidak menyadari kalau perang telah usai. Para pe- juang yang masih bertahan ini
terus berperang dan menjarah se¬perti sebelumnya. Ini merupakan masalah yang
serins dalam upa- ya memban gun kembali Asia Timur pascaperang, dan pemerintah
dari setiap negara sepakat bahwa suatu tindakan harus diambil.
Militer AS selaras dengan pemerintah Jepang, menjatuhkan
ribuan selebaran di seluruh wilayah Pasifik, mengumumkan bahwa perang sudah
berakhir dan sudah saatnya semua kembali ke rumah. Onoda dan orang-orangnya,
seperti banyak lainnya, mendapat¬kan dan membaca selebaran tersebut, tapi tidak
seperti kebanyak- an orang, Onoda berpendapat bahwa selebaran itu palsu, sebuah
perangkap yang dibuat oleh tentara Amerika agar pejuang gerilya keluar dari
sarangnya. Onoda membakar selebaran tersebut, kemudian dia dan orang-orangnya
tetap bersembunyi dan meneruskan perjuangan mereka.
Lima tahun berlalu. Selebaran sudah lama dihentikan, dan
sebagian besar tentara Amerika telah lama pulang. Penduduk ash pulau
Lubang berusaha kembali menjalani aktivitas normal mereka,
se¬perti bertani dan melaut. Namun Hiroo Onoda dan pengikut setia- nya, masih menembaki
petani, membakar tanaman mereka, men- curi ternak mereka, dan membunuh penduduk
lokal yang mengem- bara terlalu jauh ke dalam belantara. Pemerintah Filipina
membuat selebaran baru dan menyebarkan ke seluruh penjuru hutan. Keluar- lah,
kata mereka. Perang sudah berakhir. Kamu kalah.
Tapi ini, juga, diabaikan.
Tahun 1952, pemerintah Jepang mengambil langkah terakhir
untuk menarik para prajurit yang masih bersembunyi di seluruh Pa- sifik. Kali
ini, surat-surat dan foto-foto dari keluarga para prajurit yang hilang
disebarkan dari udara, berikut sepucuk pesan pribadi dari kaisar sendiri.
Sekali lagi, Onoda menolak untuk memercayai kebenaran informasi tersebut.
Sekali lagi, dia yakin bahwa itu ha¬nya tipuan Amerika. Sekali lagi, dia dan
orang-orangnya bangkit dan melanjutkan perjuangan.
Tahun berganti tahun dan penduduk Filipina, yang lelah
diteror, akhirnya mempersenjatai diri mereka dan mulai menyerang balik. Tahun
1959, salah satu pengikut Onoda menyerahkan diri, dan seo- rang lain terbunuh.
Dan, 1 dekade berikutnya, orang kepercayaan Onoda terakhir, bernama Kozuka,
ditembak mati polisi setempat saat membakar sawah—sembari masih mengobarkan
peperangan melawan penduduk setempat setelah tepat seperempat abad penuh Perang
Dunia II berakhir!
Onoda, setelah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di
hutan Lubang, kini sendirian.
Tahun 1972, kabar matinya Kozuka berembus sampai ke Jepang,
dan menimbulkan suatu kegaduhan. Orang-orang Jepang mengira
sisa-sisa prajurit terakhir telah pulang dari perang
beberapa tahun sebelumnya. Media Jepang mulai berspekulasi: jika Kozuka masih
berada di Lubang hingga 1972, kemungkinan Onoda sendiri, pejuang legendaris
Jepang dari Perang Dunia D, mungkin masih hidup juga. Tahun itu, baik
pemerintah Jepang dan Filipina mengirimkan tim pencari untuk menemukan letnan
dua yang masih menjadi teka-teki, separuh mitos, separuh pahlawan, dan separuh
hantu. Mereka gagal menemukannya.
Setelah beberapa bulan berlalu, kisah Letnan Onoda berubah
menjadi sebuah legenda urban di Jepang—pahlawan perang yang terdengar terlalu
gila jika benar-benar ada. Banyak yang merindukannya. Yang lain mengkritiknya.
Yang lain berpikir ia hanya bagian dari dongeng, yang diciptakan oleh
orang-orang yang masih ingin memercayai kedigdayaan Jepang di masa perang yang
telah lama menghilang.
Pada tahun-tahun itulah, seorang pemuda bemama Norio Su- zui
pertama kali mendengar kisah tentang Onoda. Suzuki adalah seorang petualang,
penjelajah, dan sedikit berjiwa hippie. Dilahirkan semasa perang usai, dia
putus sekolah dan menghabiskan 4 tahun menumpang kendaraan berkelana
menjelajahi Asia, Timur Tengah, dan Afrika, tidur di bangku taman, di mobil
orang asing, di sei penjara, dan di bawah taburan bintang. Dia makan dengan
upali bekerja di la dang pertanian, dan mendonorkan darahnya demi tempat untuk
bermalam. Dia adalah jiwa yang bebas, dan mungkin agak sinting.
Pada 1972, Suzuki membutuhkan petualangan lainnya
Sepulangnya ke Jepang, dia mendapati suatu norma budaya yang kaku serta hirarki
masyarakat yang mencekik. Dia membenci sekolah. Dia tidak etali bekerja. Dia
ingin kembali ke jalanan, kembali menyendiri.
Bagi Suzuki, legenda Hiroo Onoda menjadi jawaban atas
masalahnya. Mengejar Onoda akan menjadi petualangan yang baru sekaligus hebat.
Suzuki percaya bahwa ia akan menjadi orang pertama yang mampu menemukan Onoda.
Pasti, tim pencari yang di- gawangi pemerintah Jepang, Filipina, dan Amerika
belum mampu menemukan Onoda; polisi setempat telah mengobrak-abrik rimba hampir
selama 30 tahun tanpa hasil; ribuan selebaran tidak pernah mendapat
tanggapan—tapi bodo amat, si pemuda hippie dan putus kuliah ini akan menjadi
orang pertama yang menemukannya.
Tanpa diperlengkapi dengan senjata dan pelatihan pengintaian
atau pengetahuan perang taktis sedikit pun, Suzuki pergi ke Lubang, dan mulai
mengembara menjelajahi rimba sendirian. Strateginya: meneriakkan nama Onoda
sekeras mungkin, dan mengatakan kepadanya bahwa kaisar mencemaskan dirinya.
Dia menemukan Onoda dalam 4 hari, bayangkan.
Suzuki tinggal bersama Onoda di rimba selama beberapa lama.
Onoda hidup sendirian lebih dari setahun, dan begitu ditemukan oleh Suzuki, dia
menyambut baik dan sangat ingin tahu dengan apa yang telah terjadi di dunia
luar dari seorang narasumber Jepang yang dapat dipercaya. Dua pria ini kemudian
menjadi semacam teman baik.
Suzuki bertanya kepada Onoda mengapa dia tetap bertahan dan
beperang. Onoda menjawab alasannya sederhana: dia telah diberi perintah untuk
“jangan menyerah”, jadi dia pun bertahan. Hampir selama 30 tahun dia hanya
mengikuti sebuah perintah, sesederhana itu. Onoda kemudian bertanya kepada
Suzuki mengapa seorang "bocah hippie" seperti dirinya datang untuk
mencarinya. Suzuki menjawab bahwa dia meninggalkan Jepang untuk mencari 3 hal.
"Letnan Onoda, panda, dan Yeti, dengan urutan sama persis.
Dua pria telah dipertemukan dalam situasi yang paling
ganjil: dua petualang yang bertekad baja mengejar visi kemenangan palsu,
seperti Don Quixote dan Sancho Panza versi Jepang di kehidupan nyata, terjebak
bersama di rimba Filipina yang lembab, keduanya membayangkan diri mereka
sebagai pahlawan, meskipun keduanya menyendiri, tanpa melakukan apa pun. Onoda
telah mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk sebuah perang melawan hantu.
Suzuki demikian juga. Setelah menemukan Hirooo Onoda dan panda, dia meninggal
beberapa tahun berikutnya di pegunungan Himalaya, dalam misi pencarian Yeti.
Manusia sering memilih untuk membaktikan porsi besar hidup
mereka demi alasan-alasan yang tampaknya tidak berfaedah atau merusak. Secara
sekilas, alasan tersebut tampak tidak masuk akal. Sulit membayangkan bagaimana
Onoda bisa kerasan di pulau itu selama 30 tahini—bertahan hidup dengan makan
serangga dan hewan pengerat, tidur di tanali, membunuh penduduk dekade demi
dekade. Atau mengapa Suzuki nekad berjalan kaki 'menyongsong kematiannya
sendiri, tanpa uang, tanpa teman, dan tanpa tujuan selain mengejar Yeti
khayalan.
Di suatu kesempatan dalam kehidupannya, Onoda mengatakan
bahwa dia tidak menyesali satu hal pun. Dia mengklaim bahwa dia bangga akan
pilihannya dan waktu yang dihabiskan di Lubang. Dia menyatakan bahwa merupakan
sebuah kehormatan untuk membaktikan hidupnya dalam porsi yang cukup besar demi
sebuah kekaisaran yang tidak eksis. Suzuki, jika saja ia berhasil bertahan
hidup, sepertinya akan mengtakan hal yang serupa; bahwa dia melakukan sama
persis dengan apa yang dicita-citakannya, bahwa ia sama sekali tidak menyesal.
Kedua manusia ini telah memilih penderitaan mereka masing-
masing. Hiroo Onoda memilih untuk menderita demi kesetiaannya terhadap
kekaisaran yang sudah musnah. Suzuki memilih untuk menderita demi sebuah
petualangan, meski penuh risiko. Bagi kedua pria ini, penderitaan mereka
bermakna sesuatu; itu memenuhi sebuah alasan besar di baliknya. Dan karena
memiliki arti, mereka mampu menanggung derita itu, atau bahkan menikmatinya
Jika penderitaan tidak bisa ditolak, jika permasalahan dalam
kehidupan kita tidak dapat dihindari, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan
“Bagaimana saya menghentikan penderitaan?” tapi “Mengapa saya menderita—demi
tujuan apa?”
Hiroo Onoda kembali ke Jepang pada 1974 dan menjadi semacam
selebriti di kampung halamannya. Dia mondar-mandir di berbagai acara talk show
dan stasiun radio; para politisi berebut menjabat tangannya; dia meluncurkan
sebuah buku dan bahkan ditawari uang dalam jumlah yang cukup besar oleh
pemerintah.
Namun apa yang ditemuinya saat kembali ke Jepang membuatnya
bergidik: sebuah budaya konsumtif, kapitalis, dan dangkal yang telah kehilangan
semua tradisi kehormatan dan pengorbanan, yang telah membesarkan generasinya.
Onoda berusaha memanfaatkan posisinya yang mendadak terkenal
untuk menegakkan nilai-nilai tradisional Jepang, namun dia ibarat suara sumbang
bagi masyarakat modem ini. Dia lebih dipandang sebagai sebuah objek pameran
ketimbang seorang budayawan yang mumpuni—seorang pria Jepang yang baru saja
keluar dari sebuah kapsul waktu yang membuat semua orang tercengang, seperti
sebuah pusaka di dalam museum.
Dan yang menjadi ironi di atas semua ironi adalah, kini
Onoda menjadi jauh lebih tertekan ketimbang saat masih berada di hutan selama
bertahun-tahun. Setidaknya, selama di hutan hidupnya di- baktikan untuk
sesuatu; bermakna sesuatu. Itu membuatnya mampu menanggung penderitaan, bahkan
semacam menginginkannya. Namun sekembalinya ke Jepang, yang dalam pandangannya
menjadi sebuah bangsa yang kosong, yang dipenuhi dengan kaum hip. pies dan
wanita berpakaian longgar seperti bangsa Barat, dia disuguhi kebenaran yang
tidak dapat dielakkan, bahwa perjuangannya sama sekali sia-sia. Jepang yang
telah ia hidupi dan ia perjuangkan selama itu, tidak lagi ada. Dan beban dari
kenyataan ini telah menembus tubuh yang tidak pernah tersentuh peluru satu pun
itu. Karena penderitaannya tidak berarti apa pun, tiba-tiba semua menjadi nyata
dan terungkap: 30 tahun terbuang percuma.
Dan demikianlah, pada 1980, Onoda berkemas dan pindah ke
Brazil, tempat terakhir sebelum berpulang.
Bawang Kesadaran Diri
Kesadaran diri ibarat sesiung bawang. Punya banyak lapisan,
dan semakin cepat Anda kupas lapisan demi lapisan, Anda akan semakin cepat
mulai menangis tanpa disangka-sangka.
Katakanlah lapisan pertama bawang kesadaran diri adalah
pemahaman yang sederhana terhadap emosi seseorang. “Sepertlmilah jika saya
senang.” "Ini membuat saya sedih.” “Ini memberi saya harapan.”
Sayangnya, ada banyak orang yang payah bahkan di tingkat ke'
ran diri yang sangat dasar ini. Saya tahu karena saya adalah
salah satu di antara mereka. Saya dan istri saya terkadang
saling menimpali seperti ini:
DIA. Kamu kenapa?
SAYA. Nggak ada yang salah. Nggak ada apa-apa.
DIA. Nggak, pasti ada sesuatu yang salah. Utarakan saja.
SAYA. Aku baik-baik saja. Sungguh.
DIA. Yakin? Kelihatannya kamu marah.
SAYA, sambil tertawa kaku. Oh ya? Enggak kok, aku baik-baik
saja, serius.
Tigapuluh menit kemudian...
SAYA. .. . Dan itulah alasannya mengapa aku sangat kesal!
Dia bertingkah seakan-akan aku tidak pernah ada.
Kita semua memiliki titik-titik kekurangpekaan emosional.
Titik-titik itu muncul karena berpautan dengan emosi-emosi yang dianggap tidak
pantas untuk dibiarkan berkembang. Perlu latihan dan usaha bertahun-tahun untuk
bisa mahir mengenali apa saja kekurangpekaan emosional yang ada dalam diri kita
dan kemudian mengekspresikan emosi-emosi yang terpengaruh itu secara tepat. Tin
dakan ini sangat pentingkan layak dicoba.
Lapisan kedua dari bawang kesadaran diri adalah kemampuan
untuk bertanya mengapa kita merasakan emosi tertentu.
Pertanyaan mengapa ini sulit dan kadang perlu berbulan-bulan
atau bahkan bertahun-tahun untuk pada akhirnya bisa mendapat-
kan jawaban secara konsisten dan akurat. Sebagian besar
orang perlu menemui sejumlah ahli terapi hanya untuk mendengar per-
tanyaan-pertanyaan ini dilontarkan pertama kalinya. Pertanyaan itu penting
karena memberi pencerahan akan apa yang kita anggap sebuah kesuksesan atau
kegagalan. Mengapa Anda merasa marah? Apakah karena Anda gagal mencapai suatu
sasaran? Mengapa Anda merasa lesu dan tidak bersemangat? Apakah karena Anda
merasa tidak cukup andal?
Lapisan pertanyaan ini membantu kita mengerti akar masalah
dari emosi yang menguasai diri kita. Begitu kita memahami akar masalah
tersebut, idealnya, kita bisa melakukan sesuatu untuk mengubahnya.
Namun masih ada, bahkan lebih dalam, lapisan bawang
kesadaran diri lainnya. Dan sialnya ini yang membuat kita berderai air mata.
Lapisan ketiga itu adalah: Mengapa saya menganggap ini sebagai kesuksesan atau
kegagalan? Bagaimana saya mengukur diri saya? Dengan standar apa saya menilai
diri saya dan setiap orang di sekitar kita?
Tingkat ini, yang memerlukan pertanyaan dan usaha yang terus
menerus, luar biasa sulit diraih. Tetapi inilah hal yang paling penting, karena
nilai-nilai yang kita pegang menentukan hakikat permasalahan kita, dan hakikat
dari permasalahan kita menentukan kualitas hidup kita.
Nilai mendasari segala hal yang berhubungan dengan diri kita
dan apa yang kita lakukan. Jika nilai-nilai yang kita anut tidak bermanfaat,
jika apa yang kita anggap sebagai sebuah kesuk- sesan/kegagalan dipilih dengan
gegabah, apa pun yang dibangun berdasarkan nilai-nilai tersebut—pikiran, emosi,
perasaan se
hari-hari—semuanya akan rusak. Setiap hal yang ada dalam
benak dan perasaan kita mengenai suatu keadaan pada akhimya kembali pada
seberapa bemilainya hal tersebut dalam pemahaman kita masing-masing.
Sebagian besar orang kelimpungan menjawab pertanyaan mengapa
ini secara akurat, dan ini menghalangi mereka untuk mencapai pemahaman yang
lebih dalam atas nilai-nilai yang mereka anut sendiri. Tentu, mereka mungkin
mengatakan kalau mereka menghargai kejujuran dan persahabatan sejati, namun
kemudian mereka menikung dan menusuk Anda dari belakang demi membuat diri
mereka sendiri merasa lebih baik. Orang-orang mungkin mem- persepsikan diri
mereka kesepian. Namun ketika mereka bertanya kepada diri sendiri mengapa
mereka merasa kesepian, mereka cenderung menyalahkan orang lain—semua orang
kejam, tidak ada seorang pun yang cukup cakap atau pandai untuk memahami
me¬reka—dan karena itu mereka lebih baik menghindari masalah mereka jauh-jauh
ketimbang mencari jalan keluamya.
Bagi beberapa orang, itu dianggap sebagai kesadaran diri
(self-awareness). Padahal, andai mereka mampu menyelam lebih dalam lagi serta
mencermati nilai-nilai yang ada di dasamya, mereka akan menyadari bahwa
analisis yang mereka lakukan itu didasarkan oleh hasrat untuk menghindari
tanggung jawab atas masalah mereka sendiri, ketimbang secara akurat mengenali
masalah tersebut. Mereka akan menyadari bahwa pilihan mereka hanya sekadar
untuk mendapatkan sensasi kelegaan sesaat, bukannya melahirkan kebahagiaan yang
sejati.
Sebagian besar motivator juga mengabaikan lapisan kesadaran
diri yang lebih dalam ini. Mereka menjadikan orang-orang mis kin sebagai klien
mereka, karena orang-orang itu ingin menjadi kaya, lalu memberi mereka segala
jenis saran tentang bagaimana mendapatkan penghasilan yang lebih besar, dan mengabaikan
per tanyaan dasar yang sangat bemilai: Mengapa mereka menempatkan kebutuhan
untuk menjadi kaya di urutan pertama? Bagaimana mereka mengukur
kesuksesan/kegagalan mereka sendiri? Bukankah sebenamya ada nilai-nilai
tertentu yang sangat mungkin menjadi akar masalah dari ketidakbahagiaan mereka,
dan bukannya fakta bahwa mereka belum mengendarai Bentley?
Banyak petuah di luar sana yang menggunakan pendekatan yang
dangkal, yaitu hanya membuat orang-orang merasa baik dalam jangka pendek,
sementara masalah jangka panjang yang sesungguhnya tidak pemah terselesaikan.
Persepsi dan perasaan orang mungkin berubah, namun nilai pokok dan ukuran dari
nilai tersebut, tetap sama. Ini belum bisa disebut sebuah kemajuan yang
sesungguhnya. Ini hanya cara lain untuk merasa seolah-olah gembira
Bertanya kepada diri sendiri secara jujur itu sulit. Anda
harus mengajukan kepada diri Anda sendiri, pertanyaan yang tidak nyaman untuk
dijawab. Kenyataannya, sesuai pengalaman saya, semakin tidak nyaman sebuah
jawaban, semakin itu mendekati kenyataan yang sebenamya.
Luangkan waktu dan pikirkan sesuatu yang sungguh membuat
Anda muak. Sekarang tanya diri Anda mengapa, hal itu mengganggu Anda.
Kemungkinan Anda akan memberikan jawaban berupa: suatu pengalaman kegagalan
atau semacamnya. Kemudian, amati pengalaman kegagalan tersebut, dan bertanyalah
kepada diri Anda mengapa jawaban itu kelihatan “benar”. Bagaimana jika
kegagalan tersebut bukanlah sungguh-sungguh sebuah kegagalan?
Bagaimana jika selama ini ada yang salah terhadap persepsi
Anda atas suatu kegagalan?
Berikut ini adalah sebuah cont oh dari pengalaman saya
sendiri:
“Jengkel rasanya waktu abang saya tidak membalas sms atau
email. ” Mengapa?
“Karena rasanya, dia tidak peduli dengan saya.”
Mengapa saya harus setuju dengan alasan itu?
“Karena jika dia ingin membangun suatu relasi, dia tidak
akan keberatan meluangkan waktu 10 detik saja sehari untuk menghubungi saya.”
Mengapa kurang terjalinnya relasi antara kalian berdua
terasa seperti sebuah kegagalan?
“Karena kami bersaudara; seharusnya kami punya hubungan yang
baik!”
Ada dua hal yang patut dicermati di sini: nilai yang saya
pegang erat, dan pengukur untuk menilai kemajuan saya mencapai nilai tersebut.
Nilai yang saya anut: sesama saudara seharusnya mempunyai hubungan yang baik
satu sama lain. Ukuran saya: dihubungi lewat telepon atau email—beginilah saya
mengukur kesuksesan saya sebagai seorang saudara. Dengan memegang ukuran ini,
saya merasa diri saya gagal, yang ada kalanya menghancurkan Sabtu Pagi saya.
Kita bahkan dapat menggali lebih dalam lagi, dengan
mengulangi
prosesnya:
Mengapa saudara harus memiliki hubungan yang baik?
“Karena mereka keluarga, dan keluarga harus erat!”
Mengapa saya harus setuju?
“Karena Anda harus mendahulukan keluarga Anda sebelum orang
lain!”
Mengapa pendapat tersebut benar?
“Karena memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga adalah
sesuatu yang ‘normal’ dan ‘sehat,’ dan saya tidak memilikinya.”
Dengan penguraian seperti di atas, saya menyatakan dengan
gamblang nilai yang mendasar dalam hidup saya—memiliki hubungan yang baik
dengan abang saya—namun saya masih perlu berusaha keras mengubah ukuran yang
saya gunakan. Saya telah mengganti labelnya menjadi “kedekatan,” namun itu
tidak benar-benar mengubah apa pun: saya masih menilai persaudaraan saya
berdasarkan seberapa sering melakukan kontak—dan membandingkan diri saya,
menggunakan ukuran tersebut, dengan orang lain yang saya kenal. Orang lain
(tampaknya) memiliki sebuah hubungan yang hangat dengan anggota keluarga
mereka, namun saya tidak. Jadi jelas kalau ada sesuatu yang salah dengan saya.
Tetapi bagaimana jika saya memilih ukuran yang buruk untuk
diri dan hidup saya? Adakah nilai yang luput dari perhatian saya? Well,
barangkali saya tidak perlu dekat dengan saudara saya, untuk
bisa memiliki hubungan yang baik, yang saya anggap sebagai
nilai itu. Barangkali yang dibutuhkan hanyalah sikap saling menghargai (dan
itulah yang selama ini ter jadi). Atau mungkin saling percaya (dan itu juga
ada). Mungkin ukuran-ukuran ini dapat menjadi alat penilaian persaudaraan yang
lebih baik ketimbang berapa banyak sms yang saling kami kirim.
Ini jelas masuk akal; terasa benar, setidaknya untuk saya.
Tapi rasanya masih perih mengetahui kenyataan kalau saya dan saudara saya tidak
dekat. Dan tidak ada cara yang positif untuk menutup- nutupinya. Dengan
menerima hal ini, tetap tidak ada trik khusus yang membuat Anda seolah tampak
ideal. Memang kadang saudara—bahkan saudara yang saling menyayangi—tidak
memiliki hubungan yang dekat, dan itu tidak masalah. Sulit untuk menerima hal
ini, pada awalnya, tapi itu tidak apa-apa. Situasi objektif yang menimpa Anda
saat ini tidak sepenting cara pandang Anda terhadap situasi tersebut, bagaimana
Anda memilih cara untuk mengukur situasi tersebut, dan menilainya. Masalah
mungkin tidak dapat dielakkan, namun makna dari setiap masalah bisa dikelola.
Kita harus mengendalikan makna di balik permasalahan kita seturut persepsi yang
telah kita pilih, seturut standar yang telah kita tentukan untuk mengukumya.
Problem Bintang Rock
Pada 1983, seorang gitaris muda bertalenta dikeluarkan dari
band- nya dengan cara yang paling buruk yang pemah ada. Band tersebut baru saja
menandatangani sebuah kesepakatan rekaman, dan mereka akan merekam album
pertama mereka. Tetapi beberapa hari sebelum rekaman dimulai, band menyuruh
sang gitaris untuk ke-
luar—tanpa peringatan, tanpa pembicaraan, tanpa ledakan yang
dramatis; mereka benar-benar membangunkannya di suatu hari dan memberinya tiket
bis untuk pulang.
Saat duduk dalam bis yang membawanya kembali ke Los Angeles
dari New York, si gitaris terus bertanya kepada dirinya sendiri: Bagaimana ini
bisa terjadi? Kesalahan apa yang saya lakukan? Apa yang akan saya lakukan
sekarang? Kontrak rekaman tidak jatuh dari langit begitu saja, khususnya untuk
band metal baru. Apakah dia telah kehilangan satu-satunya kesempatan?
Namun pada waktu bis sampai di LA, gitaris ini tidak lagi
menga- sihani dirinya sendiri dan telah berikrar untuk membuat band baru. Dia
memutuskan bahwa band barunya nanti akan sangat sukses sehingga band lamanya
akan menyesali keputusan mereka selamanya. Dia akan menjadi begitu terkenal
sehingga mereka (band lama) akan merasa bersalah selama beberapa dekade
melihatnya di TV, mendengamya di radio, melihat postemya di jalan-jalan dan
fotonya di beberapa majalah. Mereka akan membalik burger di suatu tempat, naik
mobil van dari sebuah panggung di klub murahan, menjadi gemuk dan mabuk-mabukan
dengan istri-istri mereka yang buruk rupa, dan dia akan tampil di hadapan
kerumuman penonton stadion yang disiarkan langsung di televisi. Dia akan mandi
dengan air mata orang-orang yang mengkhianatinya, dan setiap tetes air mata itu
akan dihapus dengan lembaran seratus dolar yang bersih, baru dicetak.
Demikianlah sang gitaris bekerja keras seakan dirasuki setan
musik. Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk merekrut musisi terbaik yang
bisa ia temukan—pemusik yang jauh lebih baik daripada rekan-rekan bandnya
terdahulu. Dia menulis puluhan lagu dan berlatih dengan tekun. Dia memanfaatkan
kemarahan menjadi
bahan bakar ambisinya; balas dendam menjadi permenungannya.
Setelah beberapa tahun, band barunya berhasil menandatangani se¬buah
kesepakatan rekaman mereka sendiri, dan setahun setelah itu, rekaman pertama
mereka diluncurkan ke pasaran.
Nama gitaris itu adalah Dave Mustaine, dan band baru yang
dibentuknya itu adalah band heavy-metal yang legendaris, Mega- deth. Megadeth
tercatat berhasil menjual lebih dari 25 juta album dan menggelar banyak tur
dunia. Sekarang ini, Mustaine dianggap sebagai salah satu musisi yang paling
brilian dan berpengaruh da- lam sejarah musik heavy-metal.
Sungguh malang, band yang mendepak bokongnya adalah
Me¬tallica, yang telah menjual lebih dari 180 juta album di seluruh du- nia.
Metallica adalah salah satu band rok terbesar sepanjang masa.
Dan karena kenyataan ini, dalam sebuah wawancara priba¬di
yang cukup jarang di 2003, Mustaine yang berlinang air mata mengakui kalau dia
masih saja menganggap dirinya sebagai sebuah kegagalan. Di luar semua
pencapaiannya yang mengagumkan, da- lam benaknya akan selalu terngiang kalau
dia adalah orang yang ditendang keluar dari Metallica.
Kita adalah kera. Kita menyangka kita semua sontak menjadi
luar biasa setelah men ggun akan oven pemanggang dan memakai sepatu produk dari
perancang tertentu, padahal kita hanya sekelom- pok kera yang dibungkus ornamen
yang mahal. Dan karena kita adalah kera, secara naluriah kita mengukur diri
kita sendiri dengan berpatokan pada orang lain, dan untuk mencari status.
Pertanyaan- nya bukan apakah kita mengevaluasi diri kita berdasarkan penca-
paian orang lain; namun, pertanyaannya adalah dengan standar apa kita mengukur
diri kita sendiri?
Dave Mustaine, entah sadar atau tidak, telah mengukur
dirinya entah lebih sukses dan populer dibandingkan Metallica atau tidak.
Pengalaman dikeluarkan dari mantan bandnya sangat menyakitkan sehingga dia
menggunakan “sukses seperti Metallica sebagai alat untuk mengukur dirinya dan
karier musiknya.
Meskipun telah memanfaatkan suatu peristiwa buruk menjadi
sesuatu yang positif, seperti yang dilakukan Mustaine dengan Megadeth,
pilihamiya menggunakan kesuksesan Metallica sebagai alat pengukur hidupnya
justru terns menyakiti dirinya puluhan tahun berikutnya. Meskipun mendapatkan
uang dan penggemar serta pujian, dia masih menganggap dirinya sebagai suatu
kegagalan.
Sekarang, Anda dan saya bisa saja melihat situasi yang
dihadapi Dave Mustaine dan tertawa. Inilah pria yang memiliki jutaan dolar,
ratusan ribu penggemar yang memujinya, karier yang sesuai dengan keinginannya,
dan masih saja matanya sembab menyaksikan teman-teman rock lawasnya 20 tahun
lalu jauh lebih terkenal daripada dirinya.
Itu karena Anda dan saya memiliki nilai yang berbeda dari
Mus¬taine, dan kita mengukur diri kita dengan ukuran yang berbeda. Ukuran kita
mungkin lebih seperti “Saya tidak man bekerja untuk orang yang saya benci, atau
‘Saya ingin mendapatkan uang yang cukup agar bisa menyekolahkan anak saya di
tempat yang bagus,” atau “Saya sudah cukup senang tidak bangun tidur di saluran
pem- buangan air. Dan jika menerapkan ukuran-ukuran tersebut, tentu Mustaine
adalah orang yang sukses, tidak dapat dibayangkan, luar biasa besar. Sebaliknya
jika menggunakan ukuran Mustaine, “Menjadi lebih populer dan sukses daripada
Metallica,” dia adalah sebuah kegagalan.
Nilai yang kita pegang menentukan ukuran yang kita gunakan
untuk menilai diri kita sendiri dan orang lain. Nilai yang dipegang Onoda
tentang kesetiaan kepada kekaisaran Jepanglah yang menahannya berada di Lubang
selama hampir 30 tahun. Tapi nilai yang sama juga membuatnya merasa pedih
ketika pulang ke Jepang. Ukuran Mustaine yaitu menjadi lebih baik daripada
Mettalica sepertinya membantu karier musiknya sukses luar biasa pesat. Namun
ukuran yang sama juga menyiksanya di balik keberhasilannya.
Jika Anda ingin mengubah cara Anda memandang permasalahan
Anda, Anda harus mengubah nilai yang Anda pegang dan/atau bagaimana Anda
mengukur kegagalan/kesuksesan.
Sebagai contoh, mari kita perhatikan seorang musisi lain
yang dikeluarkan dari band. Aneh, karena kisahnya seperti menggemakan Dave Mustaine,
meskipun ini terjadi 2 dekade sebelumnya.
Pada 1962, ketika itu ada desas-desus tentang sebuah band
asal Liverpool, Inggris, yang sedang meroket. Band ini punya potongan rambut
yang lucu dan punya nama yang lebih lucu lagi, namun musik mereka tidak dapat
dimungkiri sangat bagus, dan pada akhirnya menarik minat industri musik.
Ada John, vokalis utama dan penulis lagu; Paul, pemain bas
romantis berwajah imut; George, gitaris utama yang pemberontak. Dan seorang
pemain drum.
Orang yang disebut terakhir ini dinilai memiliki rupa yang
paling tampan di antara mereka berempat—gadis-gadis menggilai- nya, dan
wajahnyalah yang pertama kali muncul di majalah. Dia adalah anggota kelompok
yang paling profesional juga. Dia tidak memakai obat-obatan. Tidak gonta-ganti
pacar. Bahkan ada bebe-
rapa petinggi di industri musik yang berpikir kalau dia
lebih cocok menjadi wajah dari band itu, bukan John atau Paul.
Namanya Pete Best. Dan di 1962, setelah mendapatkan kontrak
rekaman pertama mereka, 3 anggota Beatles lainnya diam-diam bersekongkol dan
memaksa manajer mereka, Brian Epstein, untuk memecat Pete. Epstein menentang
keputusan itu. Dia menyukai Pete, jadi dia mengabaikan permintaan mereka,
berharap 3 orang ini akan berubah pikiran.
Beberapa bulan kemudian, hanya 3 hari sebelum rekaman
pertama mereka mulai, Epstein akhimya memanggil Best ke kantornya. Di sana sang
manajer secara tidak resmi memintannya untuk keluar dan mencari band lain. Dia
tidak memberi alasan apa pun, penjelasan apa pun, ataupun ungkapan rasa kehilangan—hanya
berkata kepadanya bahwa anggota band lain ingin dia keluar dari grup, jadi, ya,
sampai jumpa, semoga sukses.
Sebagai penggantinya, band merekrut seorang pria eksentrik
bernama Ringo Starr. Ringo lebih tua dan memiliki hidung lucu yang besar. Ringo
setuju untuk memiliki potongan rambut yang sama jeleknya seperti John, Paul,
dan George, dan bersikeras agar mereka menulis lagu tentang gurita-gurita dan
kapal selam. Yang lain berkata, Oh silakan, bodo amatftvbis saja, mengapa
tidak?
Enam bulan setelah Best dipecat, Beatlemania meledak,
membuat John, Paul, George, dan Pete Ringo, bisa dikatakan, menjadi empat -
wajah yang paling terkenal di seantero planet.
Sementara itu, Best, seperti yang dapat kita pahami, jatuh
ke dalam sebuah depresi yang dalam, dan menghabiskan waktunya
melakukan apa yang akan diperbuat kebanyakan orang Inggris jika dalam masalah: minum.
Tahun enam puluhan bukan tahun yang bersahabat untuk Pete
Best. Di 1965, dia menuntut 2 anggota Beatles atas tuduhan pemfit- nahan, dan
semua proyek musiknya gagal secara mengenaskan, Di 1968, dia berusaha bunuh
diri, hanya mau bicara dengan ibunya. Hidupnya seolah tinggal puing-puing.
Tetapi Best tidak punya kisah “titik balik” layaknya Dave
Mus¬taine. Dia tidak pernah menjadi superstar dunia atau menghasilkan jutaan
dollar. Namun, di banyak hal, Best menghabiskan hidupnya dengan cara yang lebih
baik daripada Mustaine. Dalam sebuah wawancara pada 1994, Best mengatakan,
“Saya lebih bahagia seka¬rang, dibanding jika saya masih bertahan di Beatles.”
Sinting!
Best menjelaskan kalau situasi pemecatan dirinya dari
Beatles pada akhirnya menuntun dia untuk bertemu dengan istrinya. Dan kemudian
pernikahannya membawanya menjadi seorang ayah. Nilai-nilainya berubah. Dia
mulai mengukur hidupnya secara berbeda. Ketenaran dan nama besar akan sangat
menyenangkan, tentu saja—namun dia memutuskan bahwa apa yang telah dimi-
likinya sekarang jauh lebih berharga: sebuah keluarga yang hangat dan penuh
cinta, pernikahan yang stabil, hidup yang sederhana. Dia bahkan masih sempat
bermain drum, berkeliling Eropa, dan merekam banyak album hingga 2000-an. Jadi
apa yang sebenarnya hilang? Hanya perhatian yang besar dan sanjungan, sedangkan
apa yang telah diraihnya jauh lebih berarti untuknya.
Dua kisah di atas menunjukkan suatu nilai dan ukuran yang
satu bisa lebih baik daripada yang lain. Yang satu mengarah pada permasalahan
ringan yang mungkin rutin tapi mudah diselesaikan Yang lain menuntun pada
masalah berat yang sulit diatasi.
Nilai-Nilai Sampah
Ada sejumlah nilai umum yang menciptakan masalah yang
sangat- sangat buruk bagi banyak orang—problem yang nyaris tak mungkin
dipecahkan. Jadi mari kita lihat sekilas apa saja itu.
1.Kenikmatan. Kenikmatan itu memang menyenangkan, namun ini
adalah satu nilai yang menakutkan jika dijadikan prioritas dalam kehidupan
Anda. Tanya pecandu narkoba mana pun, bagaimana pencarian akan kenikmatan
berbalik arah. Tanya “tukang” selingkuh yang menelantarkan keluarga dan
kehilangan anaknya, apakah kenikmatan pada akhimya membuatnya bahagia. Tanya
pria yang tak bisa berhenti makan sampai-sampai nyawanya nyaris melayang,
apakah kenikmatan menolongnya keluar dari masalah.
Kenikmatan adalah tulran palsu. Penelitian menunjukkan kalau
orang-orang yang memfokuskan energi mereka pada kenikmatan akan berakhir lebih
cemas, lebih tidak stabil secara emosional, dan lebih tertekan. Kenikmatan-
adalah bentuk kepuasan hidup yang paling dangkal, dan karenanya ini sangat
mudah diraih dan sangat mudah hi lang
Meskipun demikian, kenikmatan adalah komoditas yang
dipasarkan kepada kita, 24 jam sehari/7 hari seminggu. Ini yang membuat kita
terpaku. Ini yang membuat kita seperti mati rasa dan mengalihkan perhatian
kita. Namun kenikmatan, meskipun penting dalam kehidupan (dan memang penting),
secara esensial, tidaklah mencukupi.
Berbicara mengenai kebahagiaan, kenikmatan bukanlah sebab;
melainkan akibat. Jika Anda melakukan hal-hal yang lain dengan benar (nilai dan
ukuran lain), kenikinatan akan secara alami muncul sebagai hasilnya.
2.Kesuksesan material. Banyak orang mengukur martabat mereka
berdasarkan pada seberapa besar penghasilan mereka atau mobil jenis apa yang
mereka kendarai atau apakah rumput di halaman mereka lebih hijau dan indah
daripada milik tetangga sebelah.
Penelitian menunjukkan bahwa begitu seseorang mampu memenuhi
kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, papan, dan seterusnya), korelasi
antara kebahagiaan dan kesuksesan duniawi mendekati nol. Jadi jika Anda sedang
kelaparan dan hidup di jalanan India, pendapatan US$10,000 setahun akan memberikan
pengaruh yang sangat besar untuk Anda. Namun jika Anda adalah bagian dari kelas
menengah di sebuah negara berkembang, uang sebesar US$10,000 setahun tidak akan
berpengaruh banyak—dalam artian, itu sama saja kerja mati-matian, pulang malam
di tambali lembur di akliir pekan, tanpa ada faedali sama sekali.
Masalah lain yang muncul jika penilaian kita terhadap
kesuksesan material terlalu berlebihan adalah bahaya untuk meletakkan nilai ini
di atas semua nilai lainnya, seperti kejujuran, anti-kekerasan, dan kasih
sayang. Ketika orang-orang mengukur diri mereka tidak berdasarkan perilaku
melainkan oleh aneka simbol status yang mampu mereka kumpulkan, bukan hanya
mereka adalah orang yang dangkal, namun kemungkinan mereka ini orang-orang
bangsat.
3.Selalu Benar. Otak kita adalah mesin yang tidak efektif.
Secara konsisten kita membuat asumsi yang buruk, peluang yang ke liru, ingatan
yang salah terhadap suatu fakta, bias kognitif, dan keputusan berdasarkan
gejolak emosi. Sebagai manusia, kita berbuat salah secara cukup konstan,
sehingga jika ukuran kesuksesan hidup kita adalah menjadi benar maka, jangan
heran kalau Anda akan kerepotan merasionalisasi semua kekeliruan yang terjadi
pada diri Anda.
Faktanya, orang-orang yang mendasarkan penghargaan diri
mereka pada ambisi untuk selalu benar, menghalangi diri mereka sendiri untuk
bisa belajar dari kesalahan itu sendiri. Mereka menjadi kurang mampu mengambil
satu sudut pandang barn dan berempati terhadap orang lain. Mereka menutup diri
mereka sendiri terhadap informasi yang baru dan penting.
Akan jauh lebih membantu jika Anda mengasumsikan diri Anda
tidak paham dan tidak tahu banyak. Ini menjaga Anda untuk tidak terikat oleh
segala bentuk tahayul atau keyakinan- keyakinan yang tak berdasar, dan membuat
Anda tetap berada dalam situasi yang konstan untuk terus belajar dan tumbuh.
4.Tetap positif. Kemudian ada beberapa orang yang mengukur
hidupnya dari sejauh mana mereka mampu untuk menjadi selalu positif, dalam
hampir semua hal. Kehilangan pekerjaan Anda? Bagus! Inilah peluang untuk
mengeksplorasi minat Anda. Suami selingkuh dengan saudari Anda? Yah, setidaknya
Anda belajar kalau dia berarti dalam hidup Anda. Anak Anda sekarat akibat
kanker tenggorokan? Setidaknya Anda tidak perlu membiayai kuliahnya lagi!
Meskipun ada sebuah ungkapan “apa pun yang terjadi, tetaplah
optimis, sejatinya, kadang hidup menyebalkan, dan hal paling sehat untuk
dilakukan adalah mengakuinya.
Pengingkaran terhadap emosi negatif menuntun kita untuk
mengalami emosi negatif yang lebih dalam dan berkepan- jang, serta disfungsi
emosional. Terus menerus bersikap positif justru merupakan salah satu bentuk
pengelakan terhadap masalah, dan bukan cara yang tepat untuk
menyelesaikannya—masalah-masalah yang boleh jadi justru menguatkan dan
memotivasi Anda, seandainya Anda bisa memilih nilai dan ukuran yang benar.
Ini sederhana, sungguh: aneka kegagalan, orang-orang membuat
kita kesal, kecelakaan terjadi. Hal-hal itu membuat kita merasa buruk. Dan itu
tidak apa-apa. Emosi negatif adalah satu komponen kesehatan emosional yang
harus ada. Menyangkal sisi negatif tersebut, sama dengan mengekalkan masalah,
bukannya menyelesaikan.
Trik untuk emosi negatif adalah 1) mengekspresikan dalam
suatu cara yang dapat diterima dan sehat secara sosial dan 2) mengungkapkan
dalam suatu cara yang selaras dengan nilai-nilai Anda. Contoh sederhana: nilai
yang saya pegang adalah anti-kekerasan. Karena itu, ketika saya marah terhadap
seseorang, saya mengungkapkan kemarahan tersebut, namun saya juga menegaskan
untuk tidak memukul wajah seseorang. Ide yang radikal, saya tahu. Namun
kemarahan bukanlah masalahnya. Kemarahan itu alami. Kemarahan adalah bagian
dari kehidupan. Kemarahan, bisa dikatakan, cukup menyehatkan di banyak situasi.
(Ingat, emosi hanya suatu umpan balik.)
Paham ‘kan bedanya, memukul seseorang tepat di mu- ka-Iah
yang jadi masalah. Bukan kemarahan itu sendiri. Kemarahan hanyalah pembawa pesan dari pukulan saya yang
melayang ke wajah Anda. Jangan salahkan pembawa pesannya. Salahkan pukulan saya
(atau wajah Anda).
Saat kita memaksa diri kita untuk tetap positif sepanjang
waktu, kita mengingkari kalau keberadaan masalah itu. Dan ketika kita
menyangkal masalah kita, kita menihilkan kesempatan yang kita miliki untuk
menyelesaikan masalah dan menjadi bahagia. Permasalahan membuat hidup kita
lebih bermakna dan penting. Karena itu menghindari masalah justru menuntun kita
kepada suatu kondisi yang hampa makna (bahkan meskipun di satu sisi
menyenangkan).
Secara jangka panjang, menuntaskan maraton membuat kita
lebih bahagia ketimbang menyantap kue coklat. Membesarkan anak membuat kita
lebih bahagia daripada memenangkan video game. Memulai suatu bisnis kecil
dengan teman-teman dan perjuangan untuk mencapai kesuksesan membuat kita lebih
bahagia daripada membeli sebuah komputer bam. Kegiatan-kegiatan tersebut
membuat stres, sulit, dan seringkali tidak menyenangkan. Itu juga menuntut kita
untuk mampu bertahan, mengatasi masalah demi masalah. Namun akan ada momen yang
paling bermakna dan menggembirakan yang kita rasakan. Itu merupakan campuran
rasa sakit, jerih payah, bahkan kemarahan dan putus asa—namun begitu itu semua
terlewati, saat menengok ke belakang kita akan bercerita ke anak cucu kita
dengan penuh haru.
Seperti yang pemah disampaikan Freud, “Suatu hari, ketika
kita mengingat masa lalu, tahun-tahun yang penuh jerih payah akan berubah
menjadi yang tahun-tahun yang paling indah.”
Inilah mengapa nilai-nilai ini—kenikmatan, kesuksesan
material, selalu benar, tetap positif—merupakan idealisme yang buruk bagi kehidupan
seseorang, karena sebagian momen-momen besar manusia tidak menyenangkan, tidak
sukses, tidak dikenal, dan tidak positif.
Intinya, pastikan Anda telah mencengkeram beberapa nilai dan
ukuran yang baik terlebih dahulu, maka secara alami kenikmatan dan kesuksesan
akan muncul sebagai hasilnya. Hal-hal itu merupakan efek samping dari
nilai-nilai yang baik. Secara substansial, hal- hal tersebut hanyalah
kenikmatan yang hampa.
Menentukan Nilai yang
Baik dan Buruk
Nilai-nilai yang baik:
1) berdasarkan pada kenyataan
2) mem
bangun secara sosial
3) segera dan dapat dikendalikan
Nilai-nilai yang buruk:
1) tahayul
2) merusak secara
sosial
3) tidak segera dan tidak dapat dikendalikan
Kejujuran merupakan suatu nilai yang baik karena ini adalah
sesuatu yang dapat sepenuhnya Anda kendalikan, ini mencerminkan kenyataan, dan
ini memberikan manfaat bagi orang lain (bahkan jika ini kadang tidak
menyenangkan). Popularitas, di sisi lain, merupakan nilai yang buruk. Jika itu
menjadi nilai Anda, dan jika ukuran Anda adalah menjadi cowok/cewek yang paling
populer di pesta dansa, banyak dari apa yang terjadi akan berada di luar
kendali Anda: Anda tidak tahu siapa saja yang ada di sana, dan kemungkinan Anda
tidak akan mengenal setengah dari antara mereka. Kedua, nilai/ukuran tidak
berdasar pada kenyataan: Anda mungkin merasa terkenal atau tidak terkenal,
namun di saat yang bersamaan, pada kenyataannya, Anda benar-benar tidak punya
petunjuk apapun tentang apa yang dipikirkan orang lain terhadap Anda.
(Catatan: orang yang takut terhadap apa yang dipikirkan orang lain
tentang diri mereka sesungguhnya ketakutan jika semua hal buruk yang mereka
pikirkan tentang diri mereka berbalik ke arah mereka.)
Beberapa contoh nilai yang baik, sehat: kejujuran, inovasi,
peka, membela diri sendiri, membela orang lain, penghargaan diri, rasa ingin
tahu, amal, kerendahan hati, kreativitas.
Beberapa contoh nilai yang buruk, tidak sehat: dominasi
melalui manipulasi atau kekerasan, gonta-ganti pasangan, senantiasa merasa
senang, selalu menjadi pusat perhatian, tidak man kesepian, disenangi semua
orang, menjadi kaya demi menjadi kaya, mengorbankan hewan-hewan kecil untuk
dewa-dewa pagan.
Anda akan mencermati bahwa nilai yang baik, sehat didapatkan
secara internal. Sesuatu seperti kreativitas atau kerendahan hati dapat dialami
saat ini juga. Anda hanya hams mengarahkan benak Anda dengan suatu cara agar
dapat mengalaminya. Nilai-nilai ini bersifat segera dan dapat dikendalikan
serta menghubtuigkan Anda dengan dunia melebihi yang bisa Anda bayangkan. -
Nilai-nilai buruk biasanya bersandar pada peristiwa
ekstemal— terbang dengan jet pribadi, selalu dinilai benar, memiliki sebuah
unit rumah di Bahama, makan cannoli sambil digerayangi 3 penari bugil. Nilai
buruk, meskipun kadang memberikan kesenangan atau kenik¬matan, berada di luar kendali
Anda dan sering memakai alat yang secara sosial merusak atau bersifat takhayul
untuk bisa mencapainya.
Nilai adalah tentang membuat prioritas. Setiap orang ingin
canno- li yang lezat atau rumah di Bahama. Pertanyaannya adalah tentang
prioritas Anda. Nilai apa yang Anda prioritaskan di atas nilai lainnya, dan
yang karenanya memengaruhi pengambilan keputusan Anda lebih dari nilai lainnya?
Nilai tertinggi dari seorang Hiroo Onoda adalah
menyelesaikan kesetiaan dan pelayanan kepada kekaisaran Jepang. Nilai ini,
andaikata Anda tidak dapat menangkapnya saat membaca kisahnya, lebih busuk
daripada segulung sushi basi. Ini sungguh menciptakan masalah yang sangat besar
bagi Hiroo—seperti, dia terjebak di sebuah pulau terpencil di mana dia makan
serangga dan cacing selama 30 tahun. Oh, dan dia juga terpaksa membunuh
penduduk tidak bersalah. Jadi meskipun faktanya Hiroo melihat dirinya sebagai
seorang yang sukses, dan meskipun dia pada kenyataannya menghidupi ukurannya,
saya rasa kita semua akan sepakat kalau hidupnya luar biasa kacau—tidak seorang
pun dari kita mau bertukar tempat dengannya, demikian pula ketika diminta untuk
mengomentari tindakannya.
Dave Mustaine berhasil mencapai ketenaran dan nama besar
namun dia masih merasa sebagai sebuah kegagalan. Ini terjadi karena dia
mengadopsi nilai yang buruk berdasarkan beberapa perbandingan yang tidak masuk
akal terhadap kesuksesan orang lain. Nilai ini memberinya masalah-masalah buruk
seperti, “Saya harus bisa menjual 150 juta kopi lagi; maka semuanya akan
sempuma,” dan “Tur berikuttiya harus di stadion”—masalah-masalah yang dalam
benaknya harus dipecahkan agar bisa bahagia. Tidak heran, dia sama sekali tidak
bahagia.
Sebaliknya dengan Pete Best. Meskipun depresi dan kelimpung-
an setelah didepak dari Beatles, semakin beranjak dewasa, dia belajar untuk
membuat ulang prioritas atas nilai-nilai yang dianutnya. Karena ini, Best
tumbuh menjadi pria yang sehat dan bahagia, dengan kehidupan yang sederhana,
dan keluarga yang luar biasa suatu hal yang, ironisnya, berusaha diraih atau
dipertahankan 4 anggota Beatles dekade demi dekade lamanya.
Ketika kita menganut nilai yang buruk—yaitu, standar buruk
yang kita terapkan bagi diri sendiri dan orang lain—pada intinya kita sedang
mencurahkan perhatian pada hal-hal yang tidak penting, perkara-perkara yang
dalam kenyataannya membuat hidup kita lebih buruk. Tetapi jika kita memilih
nilai yang lebih baik, kita mampu mengarahkan kepedulian kita terhadap hal-hal
yang lebih baik—kepada hal-hal yang berarti, hal-hal yang meningkatkan kesejahteraan
secara lahir batin dan memunculkan kebahagiaan, kenikmatan, dan kesuksesan
sebagai efek sampingnya.
Singkat kata, inilah yang dimaksud dengan
“self-improvement1' yang sesungguhnya: memprioritaskan nilai-nilai yang lebih
baik, memilih hal-hal yang lebih baik imtuk dipedulikan. Karena ketika Anda
peduli pada hal-hal yang lebih baik, Anda akan mendapat masalah yang lebih
baik. Dan ketika Anda mendapat masalah yang lebih baik, Anda menjalani
kehidupan yang lebih baik pula.
Beberapa bab ke belakang akan khusus mengulas 5 nilai
rasional yang saya yakini sebagai nilai yang paling bermanfaat untuk
diterapkan. Kelimanya mengikuti “hukum kebalikan” yang telah kita bicarakan
sebelumnya, yang berkesan “negatif’. Semua itu menuntut kita untuk
berkonfrontasi dengan masalah secara lebih mendalam dan bukan menghindarinya.
Lima hukum ini selain tidak biasa juga tidak membuat nyaman. Tetapi, bagi saya,
itu semua mengubah kehidupan.
Pertama, yang akan kita lihat di bab selanjutnya, adalah
bentuk tanggung jawab yang radikal: bertanggung jawab untuk semua hal yang
terjadi dalam kehidupan Anda, entah itu salah siapa. Kedua adalah
ketidakpastian: mengakui ketidakpedulian Anda dan pengolahan rasa ragu yang
terus terjadi atas keyakinan diri Anda sendiri.
Berikutnya adalah kegagalan: kehendak untuk menemukan
kesalahan dan cacat Anda sendiri sehingga itu bisa diperbaiki. Keempat adalah
penolakan: kemampuan untuk mengatakan atau mendengar kata “tidak”, yang secara
jelas menentukan apa yang akan Anda terima atau tolak dalam kehidupan Anda.
Nilai terakhir adalah perenungan tentang kematian seseorang; yang satu ini
krusial, karena dengan bersikap waspada terhadap kematian, ini mungkin menjadi
satu- satunya cara yang dapat dilakukan untuk membuat semua nilai kita tetap
berada dalam sudut pandang yang tepat.
Comments
Post a Comment