The Selfish Gene - Richard Dawkins - 05

BAB 5
AGRESI: STABILITAS DAN MESIN EGOIS


Bab ini terutama membicarakan topik agresi (aggression) yang sangat banyak disalahpahami. Kita akan terns memperlakukan individu sebagai mesin egois, yang diprogram untuk berbuat apa saja yang terbaik bagi gennya secara keseluruhan. Ini bahasa kepraktisan. Di akhir bab, kita akan kembali ke bahasa gen tunggal.


Bagi suatu mesin kelestarian, mesin lainnya (yang bukan merupakan anaknya atau kerabat dekatnya) adalah bagian lingkungannya, seperti batu atau sungai atau sepotong makanan. Mesin lain adalah sesuatu yang bisa menghalangi atau dimanfaatkan. Namun, dalam satu hal, mesin kelestarian berbeda dengan batu atau sungai: dia bisa menghantam balik. Ini karena mesin lain juga mempercayakan masa depannya kepada gen-gen abadinya dan akan melakukan apa pun untuk melestarikan gen-gen itu. Seleksi alam mendukung gen yang mengendalikan mesin kelestariannya sedemikian rupa sehingga mesin itu memanfaatkan yang terbaik di lingkungan. Ini termasuk memanfaatkan sebaik mungkin mesin kelestarian lainnya, baik dari spesies yang sama atau tidak.


Dalam beberapa kasus, mesin kelestarian sepertinya tak banyak saling menganggu. Misalnya, tikus mondok dan burung hitam tidak saling memangsa, tidak saling kawin, dan tidak berebut ruang hidup. Meskipun demikian, mestinya kita tidak memperlakukan seolah keduanya benar-benar terpisah. Mereka bisa saja memperebutkan sesuatu, mungkin cacing tanah. Ini tidak berarti Anda akan melihat tikus mondok dan burung hitam berebut cacing seolah sedang tarik tambang; burung hitam bisa saja tak pernah melihat satu pun tikus mondok sepanjang hidupnya. Namun, jika Anda menyapu bersih populasi tikus mondok, pengaruhnya terhadap burung hitam mungkin sangat dramatis, meskipun saya tidak bisa menebak seperti apa rinciannya, atau lewat jalur mana pengaruh itu sampai ke burung hitam.


Berbagai spesies mesin kelestarian saling mempengaruhi dengan beraneka cara. Mungkin mereka adalah pemangsa atau buruan, parasit atau inang, para kompetitor yang bersaing memperebutkan sumber makanan. Mereka mungkin dieksploitasi dengan cara yang khusus, seperti ketika lebah dimanfaatkan oleh bunga sebagai pembawa serbuk sari dalam proses penyerbukan.


Mesin kelestarian dalam spesies yang sama cenderung saling mengganggu secara lebih langsung. Ini berlaku karena banyak alasan. Salah satunya adalah bahwa separo populasi spesies kita bisa berpotensi menjadi pasangan kita serta induk yang bekerja keras dan dapat dieksploitasi bagi anak-anak kita. Alasan lainnya adalah para anggota spesies yang sama, karena mirip satu sama lain, mesin-mesin yang melestarikan gen di tempat yang sama, dengan cara hidup yang serupa pula, khususnya merupakan pesaing langsung dalam memperebutkan sumber daya untuk hidup. Bagi burung hitam, tikus mondok bisa menjadi pesaing, tapi dia tidak sepenting pesaing lain yaitu sesama burung hitam. Tikus tanah dan burung hitam bisa saja berebut cacing, tapi sesama burung hitam memperebutkan cacing dan segala hal penting lainnya. Karena alasan-alasan yang akan kita simak, biasanya pejantan yang bersaing memperebutkan betina. Ini berarti pejantan bisa membantu gennya bila dia melakukan sesuatu yang merugikan bagi pejantan lain yang memperebutkan betina dengan dia.


Dengan demikian, keputusan logis bagi mesin kelestarian sepertinya adalah membunuh saingannya, atau lebih baik lagi, memangsanya. Walaupun pembunuhan dan kanibalisme terjadi di alam, keduanya bukan sesuatu yang selazim seperti yang dikira oleh tafsir naif teori gen egois. Bahkan Konrad Lorenz, dalam On Aggression, menekankan sifat menahan diri dan kejantanan dalam pertarungan binatang. Baginya, pertarungan binatang tampak seperti turnamen resmi, dimainkan berdasarkan aturan-aturan seperti tinju atau anggar. Hewan-hewan bertarung dengan sarung tinju dan pedang tumpul. Ancaman dan gertakan menggantikan perkelahian sampai mati. Sikap menyerah diakui oleh para pemenang, yang kemudian menahan diri untuk tidak memberi pukulan atau gigitan maut seperti yang diprediksi oleh teori naif itu.


Tafsir tentang agresi hewan yang menahan diri dan formal seperti di atas dapat diperdebatkan. Secara khusus, tentunya keliru untuk menuduh Homo sapiens sebagai satu-satunya spesies yang membunuh sesamanya, satu-satunya pewaris tabiat Kain (Qabil), dan tuduhan- tuduhan melodramatis serupa. Penekanan seorang naturalis terhadap kekerasan atau pengekangan agresi hewan sebagian bergantung kepada jenis hewan yang dia amati dan sebagian lagi kepada prasangkanya tentang evolusi—Lorenz adalah seseorang yang percaya pada evolusi "demi kebaikan spesies". Bahkan jika itu dibesar-besarkan, pandangan penggunaan sarung tinju dalam perkelahian hewan tampaknya masih ada benarnya. Sepintas itu terlihat seperti sebentuk altruisme. Teori gen egois pastilah sulit menjelaskannya. Mengapa hewan tidak langsung saja membunuh pesaing yang sesama anggota spesiesnya setiap kali ada kesempatan?


Jawaban umumnya adalah ada biaya dan ada keuntungan yang dihasilkan dari kekerasan langsung, dan itu bukan hanya dalam hal waktu dan energi yang sudah jelas. Singkatnya, katakanlah bahwa B dan C adalah para pesaing saya dan kemudian saya kebetulan bertemu dengan B. Boleh jadi masuk akal bagi saya sebagai individu egois untuk membunuhnya. Tapi tunggu. C juga pesaing saya sekaligus pesaing B. Dengan membunuh B, saya berpotensi menguntungkan C dengan menghilangkan salah satu pesaingnya. Mungkin lebih baik saya biarkan B hidup karena mungkin dia akan bersaing atau bertarung dengan C sehingga secara tak langsung menguntungkan saya. Hikmah contoh hipotesis sederhana ini adalah bahwa tidak ada kegunaan jelas dari membunuh lawan secara tidak pilih-pilih. Dalam suatu sistem kompetisi yang besar dan rumit, melenyapkan satu pesaing dalam arena tidak selalu merupakan hal yang baik: para pesaing lain bisa saja mendapatkan keuntungan lebih besar dibanding kita karena kematian itu. Inilah jenis pelajaran berat yang telah dipelajari oleh para petugas pengendalian hama. Anda menghadapi masalah hama pertanian yang serius, Anda menemukan cara yang baik untuk memusnahkannya, lalu dengan gembira melakukannya, kemudian mendapati bahwa hama lain diuntungkan oleh pemusnahan hama tersebut; lebih diuntungkan ketimbang pertanian Anda dan Anda berada dalam situasi yang lebih buruk ketimbang sebelumnya.


Di sisi lain, membunuh atau setidaknya bertarung dengan pesaing tertentu dengan cara pilih-pilih sepertinya rencana yang baik. Jika B adalah gajah laut yang memiliki harem besar berisi banyak betina dan jika saya, gajah laut lainnya, dapat mengambil harem B dengan membunuhnya, mungkin saya harus berusaha melakukannya. Namun, ada biaya dan risiko, bahkan dalam kekerasan yang terseleksi. B sebaiknya melawan balik, guna mempertahankan propertinya yang berharga. Jika saya memulai perkelahian, kemungkinannya berujung kematian bagi saya, demikian pula bagi B. Bahkan kemungkinan saya yang mati lebih besar. B menguasai sumber daya yang berharga, itulah sebabnya saya ingin melawan dia. Tapi kenapa B menguasai sumber daya itu? Mungkin karena dia menang dalam suatu pertempuran. Mungkin dia telah mengalahkan penantang-penantang lain sebelum saya. Mungkin dia jago bertarung. Bahkan jika saya memenangkan pertarungan dan mendapatkan haremnya, bisa saja saya terluka sedemikian parah sehingga saya tidak dapat menikmati hasilnya. Selain itu, pertempuran menghabiskan waktu dan energi. Dua hal itu sebaiknya disimpan untuk sementara waktu. Jika saya berkonsentrasi mencari makan dan menghindari masalah untuk sementara, saya akan tumbuh lebih besar dan lebih kuat. Pada akhirnya, saya akan melawan B untuk merebut haremnya. Namun, saya bisa punya kesempatan lebih baik untuk menang jika saya menunggu, ketimbang jika terburu-buru.


Solilokui subjektif itu hanyalah cara untuk menunjukkan bahwa keputusan untuk bertarung atau tidak, idealnya harus didahului dengan perhitungan "untung-rugi" yang rumit, biarpun tidak secara sadar. Tidak semua potensi keuntungan berada di sisi keputusan untuk bertarung, meski tidak diragukan lagi sebagian memang ada di sana. Demikian pula, ketika berkelahi ada untung-rugi yang pada dasarnya dapat dianalisis di balik setiap keputusan taktis: apakah sebaiknya mempergencar pertarungan atau meredamnya. Itu telah lama disadari secara samar-samar oleh para pakar etologi, tapi J. Maynard Smith-lah, bukan ahli etologi, yang mengekspresikan gagasan itu secara jernih dan tegas. Berkolaborasi dengan G.R. Price dan G.A. Parker, Maynard Smith menggunakan cabang matematika yang dikenal sebagai Teori Permainan (Game Theory). Gagasan-gagasan anggun mereka dapat diungkapkan dengan kata-kata tanpa penggunaan simbol matematika, meski dengan sedikit mengorbankan keketatannya.


Konsep penting yang diperkenalkan Maynard Smith adalah strategi evolusi yang stabil (evolutionarily stable strategy), suatu gagasan yang dia runut kembali ke W.D. Hamilton dan R.H. MacArthur. "Strategi" adalah kebijakan perilaku yang diprogram terlebih dulu. Contoh strategi adalah: "Serang lawan; jika dia melarikan diri kejarlah; jika dia membalas serangan larilah." Perlu disadari bahwa kita tidak membayangkan strategi sebagai sesuatu yang secara sadar dipikirkan oleh individu. Ingat bahwa kita membayangkan hewan sebagai mesin kelestarian dengan komputer terprogram yang mengendalikan otot. Mengekspresikan strategi sebagai serangkaian instruksi sederhana dalam bahasa kita hanyalah cara yang memudahkan kita membayangkannya. Melalui suatu mekanisme yang belum kita ketahui, hewan berperilaku seolah-olah mengikuti instruksi itu.


Strategi evolusi yang stabil atau SES didefinisikan sebagai strategi yang, jika sebagian besar anggota populasi menggunakannya, tidak dapat dikalahkan oleh strategi alternatif.1 Ini gagasan yang halus dan penting. Cara lain untuk menyatakannya adalah dengan mengatakan bahwa strategi terbaik bagi suatu individu tergantung apa yang sedang dilakukan mayoritas populasi. Karena seluruh populasi sisanya terdiri atas individu-individu, yang masing-masing berusaha memaksimalkan keberhasilannya sendiri, maka satu-satunya strategi yang bertahan adalah strategi yang, begitu berevolusi, tidak dapat dikalahkan oleh individu mana pun yang menyimpang. Sesudah suatu perubahan lingkungan yang besar, mungkin ada periode ketidakstabilan evolusioner yang singkat, bahkan mungkin perubahan dalam populasi. Namun, begitu SES tercapai, dia akan menjadi mapan: seleksi akan memusnahkan penyimpangan yang terjadi.


Untuk menerapkan gagasan itu kepada agresi, pertimbangkan salah satu kasus hipotesis Maynard Smith yang paling sederhana. Misalkan hanya ada dua macam strategi pertempuran dalam populasi suatu spesies, disebut strategi elang (hawk) dan merpati (dove). (Nama-nama ini mengacu ke penggunaan konvensional dan tidak berhubungan dengan kebiasaan elang dan merpati asli: merpati sebetulnya burung yang agak agresif.) Individu mana pun di populasi hipotetis kita tergolong elang atau merpati. Elang selalu bertarung keras tanpa batasan, hanya mundur kalau terluka parah. Merpati sekadar mengancam dengan cara konvensional yang bermartabat, tidak pernah menyakiti siapa pun. Jika elang memulai perkelahian, merpati cepat kabur dan dengan demikian tidak pernah terluka. Jika elang bertarung dengan sesama elang, keduanya akan terus bertarung sampai salah satu terluka parah atau mati. Jika merpati melawan merpati lain, tidak ada yang terluka; mereka saling adu lagak selama beberapa waktu hingga salah satu capek atau memutuskan tak peduli lagi kemudian mundur. Untuk sementara, kita asumsikan bahwa tidak ada sama sekali cara bagi individual untuk tahu sebelumnya apakah lawannya elang atau merpati. Dia hanya bisa tahu dengan bertarung dan dia tidak memiliki memori perkelahian masa lalu dengan individu tertentu untuk dijadikan patokan.


Sekarang, secara manasuka, kita berikan "nilai" kepada kontestan. Katakanlah 50 untuk menang, 0 untuk kalah, -100 untuk terluka parah, dan -10 untuk membuang-buang waktu selama adu lagak yang lama. Angka-angka itu anggaplah dapat diubah secara langsung menjadi mata uang kelangsungan hidup gen. Individu yang mendapat nilai tinggi, yang memiliki rata-rata hasil yang tinggi, adalah individu yang meninggalkan banyak gen di dalam lumbung gen. Angka nilai yang sesungguhnya tidak penting bagi analisis kita, tapi nilai itu membantu kita untuk memikirkan masalah ini.


Yang penting adalah kita tidak tertarik mengenai apakah elang akan cenderung mengalahkan merpati ketika keduanya bertarung. Kita sudah tahu jawabannya: elang akan selalu menang. Namun kita in gin tahu apakah elang atau merpati yang merupakan strategi evolusi yang stabil. Jika salah satu dari mereka adalah SES sedangkan yang lainnya bukan, kita mesti memperkirakan bahwa yang merupakan SES akan berkembang. Keberadaan dua SES dimungkinkan pula secara teoretis . Itu kiranya benar jika, apa pun strategi mayoritas populasi, entah elang atau merpati, strategi terbaik bagi individu mana pun adalah mengikuti mayoritas. Dengan demikian, populasi akan cenderung tetap di tingkat manapun di antara dua kondisi stabil yang dicapainya pertama kali secara kebetulan. Namun, seperti yang akan kita lihat, tak satu pun dari kedua strategi tersebut, elang atau merpati, yang akan menjadi stabil secara evolusioner dengan sendirinya, sehingga kita sebaiknya tidak berharap salah satu dari keduanya akan berevolusi. Untuk menunjukkan hal itu, kita harus menghitung rata-rata hasil akhir.


Misalkan kita punya populasi yang terdiri sepenuhnya atas merpati. Setiap kali mereka bertarung, tidak ada yang terluka. Pertarungan terdiri atas ritual turnamen yang berkepanjangan, mungkin adu melotot, yang berakhir kalau salah satu undur diri. Pemenang mendapat nilai 50 karena memperoleh sumber daya yang diperebutkan, tapi dia membayar denda sebesar -10 karena membuang-buang waktu selama pertandingan sehingga secara keseluruhan skornya 40 poin. Yang kalah juga dihukum -10 karena membuang-buang waktu. Rata-rata, satu individu merpati dapat berharap memenangkan separo dari seluruh pertarungan dan kalah di sisanya. Oleh karena itu, rata-rata hasil merpati per pertarungan adalah rata-rata antara +40 dan -10, yaitu +15. Maka setiap individu merpati dalam suatu populasi merpati tampaknya baik-baik saja.


Sekarang misalkan muncul satu elang akibat mutasi dalam populasi. Karena dia satu-satunya elang di sana, setiap pertarungannya adalah melawan merpati. Elang selalu mengalahkan merpati sehingga dia mencetak +50 poin dalam setiap pertarungan, dan ini hasil rata-ratanya. Dia menikmati keuntungan yang sangat besar dari merpati, yang hasil rata-rata bersihnya hanya +15. Alhasil, gGen elang dengan cepat akan menyebar di seluruh populasi. Tapi setiap elang jadi tidak bisa lagi memastikan lawannya adalah merpati. Contoh ekstremnya, jika gen elang menyebar sedemikain sukses sehingga seluruh populasi kini terdiri atas elang, semua pertarungan maka menjadi pertarungan elang. Sekarang segalanya berbeda. Saat elang berjumpa dengan elang, salah satu dari mereka terluka parah sehingga mendapat nilai -100, sedangkan pemenang mendapatkan +50. Setiap elang dalam populasi elang dapat berharap memenangkan separo dari seluruh pertarungan dan kalah di sisanya. Oleh karena itu, rata-rata hasil yang diharapkan adalah rata- rata antara +50 dan -100, yaitu -25. Sekarang pertimbangkan merpati tunggal dalam populasi elang. Yang pasti, dia akan kalah dalam semua pertarungan, tapi di sisi lain dia tidak pernah terluka. Hasil rata-ratanya adalah 0 dalam populasi elang sedangkan hasil rata-rata elang dalam populasi elang adalah -25. Dengan demikian, gen merpati akan cenderung menyebar di seluruh populasi.


Dari cara saya menceritakannya, tampak seolah-olah akan ada gerak naik turun terus-menerus dalam populasi. Gen elang akan merayap naik ke puncak; lalu sebagai konsekuensi mayoritas elang, gen merpati akan mendapatkan keuntungan dan jumlahnya meningkat sampai sekali lagi gen elang merajai, dan seterusnya. Namun, tidak harus naik turun seperti itu yang terjadi. Ada rasio stabil elang banding merpati. Untuk sistem poin manasuka yang kita gunakan, rasio stabilnya, jika Anda hitung, adalah 5/12 merpati dan 7/12 elang. Ketika rasio stabil tercapai, hasil rata-rata untuk elang persis sama dengan hasil rata-rata untuk merpati. Oleh karena itu, seleksi tidak mendukung salah satu dari mereka lebih daripada yang lain. Jika jumlah elang dalam populasi mulai meningkat sehingga rasionya tidak lagi 7/12, merpati akan mulai mendapatkan keuntungan ekstra sehingga rasio akan kembali ke keadaan stabil. Sebagaimana akan kita dapati bahwa rasio jenis kelamin yang stabil adalah 50:50, demikian juga rasio stabil elang banding merpati dalam contoh ini adalah 7:5. Dalam kedua kasus, jika ada naik turun di sekitar titik stabil, perubahan itu pastilah kecil saja.


Sepintas itu mungkin terdengar seperti seleksi kelompok, tapi sesungguhnya bukan. Kedengarannya seperti seleksi kelompok karena kita jadi bisa membayangkan populasi dengan keseimbangan stabil yang akan tercapai kembali sesudah ada gangguan. Namun SES adalah konsep yang jauh lebih rumit ketimbang seleksi kelompok. Ini tidak ada hubungannya dengan lebih berhasilnya sebagian kelompok dibanding yang lain. Itu dapat digambarkan dengan baik menggunakan sistem nilai manasuka dalam hipotesis kita. Hasil rata-rata untuk individu dalam populasi stabil yang terdiri atas 7/12 elang dan 5/12 merpati, ternyata 6% ! Itu berlaku, entah individunya elang atau merpati. Nah, 6% jauh lebih kecil daripada hasil rata-rata untuk merpati dalam populasi merpati (+15). Kalau saja semua individu setuju menjadi merpati, setiap individu akan mendapat manfaat. Dengan seleksi kelompok sederhana, kelompok mana pun yang semua individunya bersama-sama sepakat menjadi merpati akan jauh lebih berhasil daripada kelompok pesaing yang berada di rasio SES. (Sebetulnya, satu konspirasi yang terdiri atas semata-mata merpati bukanlah kelompok yang paling berhasil yang mungkin ada. Dalam kelompok yang terdiri atas 1/6 elang dan 5/6 merpati, hasil rata-rata per pertarungan adalah 16 2/3. Inilah konspirasi paling sukses yang mungkin ada, tapi untuk keperluan saat ini kita dapat mengabaikannya. Konspirasi merpati semata yang lebih sederhana, dengan hasil rata-rata +15 untuk setiap individu, akan jauh lebih baik untuk setiap individu ketimbang rasio SES.) Oleh karena itu, teori seleksi kelompok akan memprediksi kecenderungan evolusi menuju konspirasi merpati total karena kelompok yang berisi 7/12 elang akan kalah sukses. Namun masalahnya konspirasi, bahkan yang menguntungkan semua orang dalam jangka panjang, adalah rentan penyalahgunaan. Memang benar bahwa setiap individu akan mendapat hasil lebih baik dalam kelompok merpati total ketimbang dalam grup SES. Namun, sayangnya, dalam konspirasi merpati, satu elang akan sangat berhasil sehingga tidak ada yang dapat menghentikan evolusi elang. Dengan demikian konspirasi itu sudah pasti akan


dihancurkan oleh pengkhianatan dari dalam. SES itu stabil bukan karena sangat baik bagi individu-individu yang berpartisipasi di dalamnya, melainkan karena dia kebal terhadap pengkhianatan dari dalam.


Manusia bisa saja masuk ke dalam pakta atau konspirasi yang menguntungkan semua individu, bahkan jika itu tidak stabil dalam arti SES. Namun itu hanya mungkin terjadi karena setiap individu menggunakan wawasan sadar ke masa depan dan mampu melihat bahwa mematuhi aturan pakta itu menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya sendiri. Bahkan dalam pakta manusia, selalu ada bahaya bahwa seseorang akan berupaya mendapatkan banyak keuntungan jangka pendek dengan melanggar pakta, dan godaan untuk melakukan itu bisa tak tertahankan. Mungkin contoh terbaiknya adalah penetapan harga. Semua pemilik stasiun pengisian bahan bakar memiliki kepentingan jangka panjang untuk menetapkan standar harga bensin di nilai yang sengaja ditinggikan. Kesepakatan penetapan harga, berdasarkan pertimbangan sadar atas kepentingan jangka panjang, bisa bertahan untuk waktu yang cukup lama. Namun kadang-kadang ada yang menyerah kepada godaan untuk mendapatkan laba cepat dengan menurunkan harga bensin yang dijualnya. Segera saja para tetanggamengikutinya dan gelombang penurunan harga menyebar di seluruh negeri. Sayangnya, bagi kita, para pemilik stasiun pengisian bahan bakar kembali sadar akan kepentingan masa depan dan mereka menjalin kesepakatan penetapan harga baru. Jadi, bahkan dalam kehidupan manusia, spesies yang dikaruniai kemampuan sadar untuk meninjau masa depan, kesepakatan atau konspirasi berdasarkan kepentingan jangka panjang yang terbaik selalu berada di pinggir jurang akibat risiko pengkhianatan dari dalam. Di antara hewan liar, yang dikendalikan oleh gen-gen yang saling bertarung, lebih sulit untuk melihat bagaimana strategi konspirasi demi kepentingan bersama bisa berkembang. Kita tak perlu heran jika menjumpai strategi evolusi yang stabil di mana-mana.


Dalam contoh sebelum ini, kita membuat asumsi sederhana bahwa setiap individu adalah entah elang atau merpati. Kita mendapatkan hasil rasio stabil elang banding merpati. Dalam praktiknya, itu berarti bahwa rasio stabil gen elang banding gen merpati akan tercapai di dalam lumbung gen. Istilah teknis genetika untuk keadaan tersebut adalah polimorfisme stabil. Dalam hal matematikanya, SES yang persis sama dapat dicapai tanpa polimorfisme sebagai berikut. Jika setiap individu mampu bersikap baik seperti elang maupun merpati dalam setiap pertarungan, akan tercapai SES di mana semua individu memiliki probabilitas berperilaku seperti elang, yaitu 7/12 dalam contoh kita. Dalam praktiknya, itu artinya setiap individu memasuki setiap pertarungan setelah membuat keputusan acak apakah dalam kesempatan ini dia akan berperilaku seperti elang atau merpati. Acak, tapi dengan bias 7:5 condong ke elang. Adalah penting bahwa keputusan tersebut harus acak, meskipun hasilnya condong ke elang. Acak dalam arti bahwa pesaing tidak punya cara untuk tahu bagaimana lawannya akan berperilaku dalam suatu pertarungan. Misalnya, tak ada gunanya bermain seperti elang dalam tujuh pertarungan berturut-turut, kemudian bermain seperti merpati dalam lima pertarungan berturut-turut, dan seterusnya. Jika ada individu yang memakai urutan sederhana itu, lawan-lawannya akan cepat mengetahui dan memanfaatkannya. Cara untuk mengambil keuntungan dari strategi urutan yang sederhana itu adalah dengan bermain seperti elang hanya kalau Anda tahu lawan Anda akan bermain seperti merpati.


Cerita elang dan merpati tentu merupakan cerita sederhana yang naif. Cerita itu hanyalah "model", sesuatu yang tidak benar-benar terjadi di alam, tapi membantu kita memahami hal-hal yang memang terjadi di alam. Model bisa sangat sederhana, seperti yang cerita tadi, namun tetap berguna untuk memahami suatu pokok gagasan atau mendapatkan gambaran tentang sesuatu. Model sederhana dapat dijabarkan dan secara bertahap dibuat menjadi lebih kompleks. Jika segalanya berjalan dengan baik, seiring makin kompleksnya model, makin mirip model itu dengan dunia nyata. Satu cara untuk mengembangkan model elang dan merpati adalah dengan memperkenalkan beberapa strategi lagi. Bukan hanya strategi elang dan merpati yang ada. Ada strategi lain yang lebih kompleks, diperkenalkan oleh Price dan Maynard Smith, disebut Retaliator.


Retaliator bermain seperti merpati pada awal tiap pertarungan. Artinya, dia tidak menyerang habis-habisan seperti elang, tapi bertanding dengan ancaman. Namun jika lawannya menyerang, dia membalas. Dengan kata lain, retaliator berperilaku seperti elang bila dia diserang oleh elang dan seperti merpati bila dia bertemu merpati. Ketika dia bertemu retaliator lain, dia bermain seperti merpati. Retaliator adalah ahli strategi kondisional. Perilakunya tergantung pada perilaku lawannya.


Alili strategi kondisional lainnya disebut Penggencet (Bully). Penggencet berperilaku seperti elang sampai dia mendapat serangan balik. Lalu dia segera melarikan diri. Satu lagi strategi kondisional adalah retaliator-penyidik (Prober-retaliator). Pada dasarnya, retaliator- penyidik adalah seperti retaliator, tapi kadang-kadang dia mencoba mempergencar pertarungan. Dia kukuh berperilaku seperti elang jika lawannya tidak melawan. Di sisi lain, jika lawannya melawan balik dia beralih menjadi merpati. Jika diserang, dia membalas seperti retaliator biasa.


Jika kelima strategi yang telah saya sebutkan di atas dilepas bebas bersama-sama dalam simulasi komputer, hanya satu di antara lima, yaitu retaliator, yang muncul sebagai strategi evolusi yang stabil.2 Retaliator-penyidik hampir stabil. Merpati tidak stabil karena populasi merpati akan diserang oleh elang dan penggencet. Elang tidak stabil karena populasi elang akan diserang oleh merpati dan penggencet. Penggencet tidak stabil karena populasi penggencet akan diserang oleh elang. Dalam populasi retaliator, tidak ada strategi lain yang lebih baik ketimbang retaliator itu sendiri. Namun, merpati berhasil sama baiknya dalam populasi retaliator. Ini berarti, kalau hal lain setara, jumlah merpati dapat perlahan-lahan meningkat. Jika jumlah merpati naik sampai ke batas yang signifikan, retaliator-penyidik (juga elang dan penggencet) akan mulai mengambil keuntungan karena mereka lebih untung kalau melawan merpati ketimbang kalau retaliator melawan merpati. Retaliator-penyidik itu sendiri, tidak seperti elang dan penggencet, hampir merupakan SES dalam arti bahwa dalam populasi retaliator-penyidik hanya ada satu strategi lain yang lebih baik, yaitu retaliator, itu pun lebih baik sedikit saja. Maka kita bisa beranggapan bahwa campuran retaliator dan retaliator-penyidik akan cenderung mendominasi, dengan sedikit naik turun antara keduanya, terkait dengan naik turun jumlah minoritas kecil merpati. Sekali lagi, kita tidak harus berpikir dalam kerangka polimorfisme di mana setiap individu selalu memainkan satu strategi atau strategi lainnya. Setiap individu dapat memainkan campuran kompleks antara retaliator, retaliator- penyidik, dan merpati.


Kesimpulan teoretis itu tidak jauh dari apa yang sebenarnya terjadi di sebagian besar hewan liar. Dalam satu pengertian, kita telah menjelaskan aspek "sarung tinju" dalam agresi hewan. Tentu saja perinciannya tergantung jumlah pasti "nilai" yang diberikan untuk menang, terluka parah, membuang-buang waktu, dan sebagainya. Di antara gajah laut, hadiah untuk pemenang bisa jadi hak nyaris monopoli atas harem besar berisi banyak betina. Maka nilai pemenang harus tinggi. Tak heran bahwa perkelahian berjalan ganas dan kemungkinan cedera serins juga tinggi. Biaya membuang-buang waktu mungkin bisa dianggap kecil dibandingkan dengan biaya terluka dan manfaat menang. Di sisi lain, untuk burung kecil di iklim dingin, biaya membuang-buang waktu sangatlah besar. Gelatik batu kelabu, ketika memberi makan anak-anaknya, perlu menangkap rata-rata satu mangsa per tiga puluh detik. Setiap detik siang hari sangat berharga. Bahkan waktu relatif singkat yang terbuang dalam pertarungan elang vs elang barangkali harus dianggap lebih mahal daripada risiko burung kecil itu terluka. Sayangnya, kini kita masih terlalu sedikit tahu untuk bisa menentukan angka realistis biaya dan keuntungan yang didapat dari berbagai kejadian di alam.3 Kita harus berhati-hati untuk tidak menarik kesimpulan yang semata keluar dari pemilihan angka suka-suka. Kesimpulan umumnya yang penting adalah bahwa SES akan cenderung berevolusi, bahwa SES tidaklah sama dengan yang dapat dicapai oleh konspirasi kelompok secara optimum, dan bahwa akal sehat dapat menyesatkan.


Jenis lain permainan perang yang dipertimbangkan Maynard Smith adalah "perang adu ketahanan" (war of attrition). Perang ini bisa dianggap muncul dalam spesies yang tidak pernah terlibat dalam pertempuran berbahaya, mungkin spesies berpelindung lengkap yang sulit dicederai. Segala perselisihan dalam spesies ini diselesaikan dengan cara adu lagak. Sebuah pertarungan selalu berakhir dengan kemenangan satu pesaing atau yang lain mundur. Untuk menang, yang harus Anda lakukan adalah mempertahankan posisi dan memelototi lawan sampai akhirnya dia melarikan diri. Jelas tidak ada hewan yang sanggup terus- menerus menebar ancaman; ada hal-hal penting yang harus dilakukan di tempat lain. Sumber daya yang diperebutkan bisa saja berharga, tapi tidak berharga tak terhingga. Sumber daya itu hanya layak dibayar dengan menghabiskan sejumlah tertentu waktu, dan seperti dalam lelang, setiap individu hanya siap membayar sesuai kemampuan. Waktu adalah mata uang dalam lelang dengan dua penawar itu.


Misalkan semua individu sudah tahu terlebih dulu persisnya berapa lama waktu yang layak dihabiskan demi sumber daya tertentu, misalnya betina. Individu termutasi yang siap bertahan sedikit lebih lama akan selalu menang. Jadi, strategi mempertahankan batas penawaran tetap tidaklah stabil. Bahkan jika nilai sumber daya bisa diperkirakan secara sempurna, dan semua individu memberikan penawaran di nilai yang tepat, strategi itu tidaklah stabil. Dua individu yang menawar menurut strategi maksimal itu bakal menyerah tepat pada saat yang sama dan tak satu pun di antara mereka yang bakal mendapatkan sumber daya itu! Maka, akan lebih menguntungkan bagi individu untuk menyerah tepat pada awal daripada membuang waktu dalam pertarungan. Lagi pula, perbedaan penting antara perang adu ketahanan dan lelang yang sesungguhnya adalah dalam adu ketahanan kedua pihak sama-sama membayar harganya tapi hanya salah satu yang mendapatkan barangnya. Oleh karena itu, dalam populasi penawar maksimal, strategi menyerah pada awal akan berhasil dan menyebar di seluruh populasi. Sebagai konsekuensi, keuntungan bakal mulai datang ke individu yang tidak langsung menyerah tapi menunggu beberapa detik dulu sebelum menyerah. Strategi ini bakal berhasil kalau dipakai melawan individu- individu yang langsung menyerah dan sedang mendominasi dalam populasi. Seleksi alam kemudian akan mendukung perpanjangan waktu yang makin lama sampai sekali lagi mendekati nilai maksimal yang dimungkinkan nilai ekonomi sejati sumber daya yang diperebutkan.


Sekali lagi, menggunakan kata-kata, kita telah meyakinkan diri kita untuk membayangkan naik turun dalam suatu populasi. Sekali lagi, analisis matematis memperlihatkan bahwa itu tidaklah tepat. Ada strategi evolusi yang stabil yang dapat dinyatakan sebagai rumus matematika, tapi dalam kata-kata penjelasannya adalah berikut ini. Setiap individu bertindak dalam waktu yang tak terduga. Tak terduga dalam kesempatan manapun, tepatnya, tapi rata-ratanya mendekati nilai sumber daya yang sesungguhnya. Misalnya, suatu sumber daya sesungguhnya hanya bernilai lima menit peragaan. Di SES, individu tertentu mana pun dapat terus beraksi selama lebih daripada lima menit, atau kurang daripada lima menit, atau tepat lima menit. Yang penting lawannya tidak punya cara untuk tahu berapa lama dia mesti siap melawan dalam kesempatan itu.


Jelas, dalam perang adu ketahanan sangatlah penting bahwa individu-individu tidak boleh memperlihatkan tanda kapan mereka akan menyerah. Siapapun yang menunjukkan tanda-tanda menyerah, meski hanya lewat getaran kumis sekalipun, akan langsung rugi. Jika, katakanlah, kumis yang bergetar kebetulan merupakan tanda tepercaya bahwa langkah mundur akan terjadi dalam satu menit berikutnya, maka bakal ada strategi kemenangan yang sangat sederhana: "Jika kumis lawan Anda bergetar, tunggulah satu menit, terlepas dari apa pun rencana Anda sebelumnya untuk menyerah. Jika kumis lawan Anda belum bergetar dan Anda memasuki satu menit waktu yang Anda niatkan untuk menyerah, segeralah menyerah dan jangan buang waktu lagi. Jangan pernah sampai kumis Anda sendiri bergetar." Jadi, seleksi alam akan cepat menghukum kumis yang bergetar dan tanda serupa pada masa depan. Wajah pemain poker (poker face) yang tak pernah menunjukkan tanda mengalah akan berevolusi.


Lantas mengapa wajah poker, mengapa tidak berbohong langsung sekalian? Sekali lagi, berbohong tidaklah stabil. Anggaplah misalnya mayoritas individu berperilaku garang hanya kalau betul-betul bermaksud untuk bertahan lama dalam adu ketahanan. Jelas trik tandingannya akan berevolusi: individu-individu akan segera menyerah kalau melihat lawan menjadi garang. Namun kemudian individu pembohong bisa mulai berevolusi. Individu yang sesungguhnya tidak bermaksud bertahan lama akan menjadi garang sesekali dan menuai kemenangan yang mudah dan cepat. Maka, gen pembohong akan menyebar. Bila pembohong menjadi mayoritas, maka seleksi akan mendukung individu yang tak mempan digertak para pembohong. Kemudian populasi pembohong akan kembali menyusut. Dalam perang adu ketahanan, berbohong tidak lebih stabil secara evolusioner ketimbang bertindak jujur. Wajah pemain poker-lah yang stabil secara evolusioner. Menyerah, jika tiba waktunya, akan terjadi dengan cepat dan tak terduga.


Sejauh ini kita hanya mempertimbangkan apa yang disebut Maynard Smith pertarungan "simetris". Artinya, kita mengasumsikan bahwa para petarung identik dalam segala hal kecuali strategi pertempuran. Elang dan merpati diasumsikan sama kuat, memiliki senjata dan zirah yang sama kuat, dan mendapatkan hasil yang sama dari kemenangan. Itu asumsi yang mudah untuk membuat model, tapi tidak terlalu realistis. Parker dan Maynard Smith kemudian mempertimbangkan pertarungan asimetris. Sebagai contoh, jika individu bervariasi dalam ukuran dan kemampuan bertarung, dan setiap individu mampu mengukur kapasitas pesaing dibandingkan dengan diri sendiri, apakah semua itu berpengaruh terhadap SES yang muncul? Tentu saja.


Tampaknya ada tiga macam asimetri. Yang pertama baru saja kita jumpai: individu-individu bisa berbeda dalam ukuran atau perangkat tempur. Kedua, individu-individu bisa berbeda dalam hal berapa banyak yang mereka dapatkan dari kemenangan. Misalnya, pejantan tua, yang hidupnya mungkin tidak lama lagi, tidak akan rugi banyak jika terluka dibandingkan pejantan muda yang kehidupan reproduksinya masih panjang ke depan.


Ketiga, konsekuensi aneh teori ini adalah bahwa asimetri yang murni manasuka dan tampaknya tak relevan dapat memunculkan SES, karena dapat digunakan untuk menyelesaikan pertarungan dengan cepat. Misalnya, biasanya satu kontestan tiba di lokasi pertarungan lebih awal daripada yang lain. Sebut saja yang datang lebih awal "penduduk" dan yang datang belakangan "penyusup". Untuk argumen ini, saya mengasumsikan bahwa tidak ada keuntungan umum yang melekat ke status "penduduk" atau "penyusup". Seperti yang akan kita lihat, ada alasan praktis mengapa asumsi ini bisa jadi tidak benar, tapi bukan itu intinya. Intinya adalah bahkan jika tidak ada alasan umum untuk menganggap penduduk memiliki keuntungan lebih ketimbang penyusup, suatu SES yang bergantung ke asimetri itu sendiri akan cenderung berevolusi. Analoginya yang sederhana adalah seperti manusia yang menyelesaikan sengketa secara cepat dan tanpa keributan dengan melempar koin.


Strategi kondisional: "serang jika Anda penduduk; mundur jika Anda penyusup" dapat menjadi SES. Karena asimetrinya dianggap manasuka, strategi yang berlawanan: "mundur jika Anda penduduk; serang jika Anda penyusup" dapat menjadi stabil pula. Manakah di antara dua SES yang akan dipakai dalam populasi tertentu tergantung yang mana yang mencapai mayoritas terlebih dahulu. Setelah mayoritas individu memakai salah satu dari dua strategi kondisional ini, siapa saja yang menyimpang akan disingkirkan oleh seleksi alam. Dengan sendirinya, strategi mayoritas menjadi SES.


Umpama semua individu memainkan "penduduk menang dan penyusup kabur". Ini berarti mereka akan memenangkan separo dari seluruh pertarungan dan kalah di separo sisanya. Mereka tidak akan pernah terluka dan tidak akan pernah membuang-buang waktu lantaran semua sengketa langsung diselesaikan oleh aturan manasuka. Sekarang pertimbangkan muncuhiya pemberontak baru yang termutasi. Umpama dia memainkan strategi elang murni, selalu menyerang dan tidak pernah mundur. Dia akan menang saat lawannya adalah penyusup. Tapi saat lawannya adalah penduduk, dia berisiko besar cedera. Dia akan mendapatkan rata-rata hasil yang lebih rendah daripada individu yang bermain menurut aturan SES. Pemberontak yang mencoba strategi kebalikan "mundur jika Anda penduduk, serang jika Anda penyusup" akan mendapatkan situasi lebih buruk. Bukan hanya sering terluka, dia juga akan jarang memenangkan pertarungan. Namun, misalkan lewat peristiwa kebetulan individu yang memainkan strategi kebalikan berhasil menjadi mayoritas. Dengan demikian, strategi mereka akan menjadi norma stabil dan penyimpangan dari strategi itu akan mendatangkan kerugian. Dapat dibayangkan, jika kita mengamati suatu populasi selama beberapa generasi, sesekali kita akan melihat serangkaian pembalikan dari tatanan stabil yang satu ke tatanan stabil yang lain.


Walau demikian, dalam kehidupan nyata, asimetri yang sungguh- sungguh manasuka mungkin tidak ada. Misalnya, penduduk mungkin cenderung memiliki keunggulan praktis dibanding penyusup. Penduduk bisa memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang medan lokal. Penyusup mungkin terengah-engah kehabisan napas karena dia habis bergerak menuju arena pertarungan sementara penduduk sudah ada di sana dari semula. Ada alasan yang lebih abstrak mengenai mengapa, dari dua keadaan stabil tersebut, hanya satu yang tampaknya lebih mungkin terjadi di alam, yaitu "penduduk menang, penyusup mundur". Itu karena strategi kebalikannya, "penyusup menang, penduduk mundur" memiliki kecenderungan inheren untuk han cur sendiri—itulah yang disebut Maynard Smith sebagai strategi paradoks. Dalam setiap populasi yang menggunakan SES paradoks itu, individu-individu akan selalu berusaha supaya tak pernah menjadi penduduk: mereka akan selalu berusaha menjadi penyusup dalam semua pertarungan. Dan mereka hanya dapat mencapainya dengan bergerak terns tanpa henti, dengan sia-sia! Terlepas dari waktu dan energi yang akan dikeluarkan, tren evolusi itu, dengan sendirinya, cenderung mengarah ke kemusnahan kategori "penduduk". Dalam populasi stabil lainnya, yaitu "penduduk menang, penyusup kalah", seleksi alam akan mendukung individu yang berusaha keras menjadi penduduk. Bagi masing-masing individu, itu artinya bercokol di sepetak tanah, meninggalkannya sejarang mungkin dan terlihat "mempertahankannya". Seperti yangkini banyak diketahui, perilaku demikian biasa diamati di alam, umumnya disebut "pertahanan teritorial".


Demonstrasi terbagus yang saya tahu tentang bentuk asimetri perilaku tersebut disediakan oleh ahli etologi besar, Niko Tinberger, dalam percobaan yang sangat cerdas dan sederhana.4 Tinbergen memiliki akuarium berisi dua ikan punggung duri (stickleback) jantan. Masing- masing membangun sarang di ujung-ujung akuarium yang saling berlawanan dan "membela" wilayah di sekitar sarangnya. Tinbergen menempatkan masing-masing pejantan itu dalam tabung kaca yang besar dan mendekatkan dua tabung tersebut, kemudian mengamati selagi kedua ikan berusaha bertarung melalui kaca. Dan hasilnya menarik. Kala dia menggeser dua tabling itu mendekati sarang ikan A, pejantan A mengambil postur menyerang dan pejantan B berusaha mundur. Namun ketika dia memindahkan kedua tabling itu ke wilayah pejantan B, kondisi berbalik. Dengan hanya memindahkan dua tabling dari satu ujung akuarium ke ujung yang lain, Tinbergen mampu menentukan pejantan mana yang menyerang dan mana yang mundur. Kedua ikan itu jelas memakai strategi kondisional sederhana: "serang jika Anda penduduk, mundur jika Anda penyusup".


Ahli biologi sering bertanya apa "keuntungan" biologis perilaku membela daerah kekuasaan. Banyak jawaban telah diajukan dan beberapa di antaranya akan disebutkan nanti. Tapi kita sekarang dapat melihat bahwa pertanyaan itu sendiri mungkin tidak diperlukan. "Pertahanan" teritorial bisa jadi sekadar SES yang muncul karena asimetri waktu kedatangan yang biasanya terjadi dalam hubungan antara dua individu dan sepetak wilayah.


Agaknya jenis asimetri bukan manasuka yang paling penting adalah asimetri dalam ukuran dan kemampuan bertarung secara umum. Ukuran besar belum tentu menjadi kualitas terpenting untuk bisa memenangkan pertarungan, tapi mungkin menjadi salah satunya. Jika yang bertubuh lebih besar di antara dua petarung selalu menang, dan jika setiap individu tahu pasti apakah dia lebih besar atau lebih kecil daripada lawannya, hanya satu strategi yang masuk akal: "Jika lawan lebih besar daripada Anda, segeralah lari. Bertarunglah dengan orang¬orang yang lebih kecil daripada Anda." Jika pentingnya ukuran tak dapat dipastikan, segalanya akan sedikit lebih rumit. Jika ukuran besar hanya memberi sedikit keuntungan, strategi yang sebelumnya saya sebutkan masih stabil. Namun, jika risiko cederanya serins, masih ada kemungkinan strategi kedua, "strategi paradoks" kedua. Bunyinya: "Pilih pertarungan dengan lawan yang lebih besar daripada Anda dan larilah dari lawan yang lebih kecil daripada Anda!" Jelas mengapa strategi tadi disebut paradoks. Tampaknya benar-benar bertentangan dengan akal sehat. Alasan mengapa dia dapat menjadi stabil adalah berikut ini. Dalam populasi yang terdiri sepenuhnya atas pemakai strategi paradoks, tidak akan ada yang terluka. Itu karena dalam setiap pertarungan salah satu peserta, yaitu yang lebih besar, selalu melarikan diri. Individu termutasi yang berukuran rata-rata, yang memainkan strategi "masuk akal", yaitu memilih lawan yang lebih kecil, terlibat dalam pertarungan yang meningkat secara serius dengan separo individu yang dia jumpai. Ini karena dia akan menyerang jika berjumpa dengan individu yang lebih kecil ketimbang dirinya; sementara individu yang lebih kecil berbalik menyerang dengan ganas karena menggunakan strategi paradoks. Meskipun strategi yang masuk akal lebih mungkin menang daripada yang paradoks, dia tetap berisiko kalah besar dan terluka parah. Karena mayoritas populasi menggunakan strategi paradoks, pengguna strategi yang masuk akal lebih mungkin terluka dibandingkan sembarang pengguna strategi paradoks.


Meskipun strategi paradoks bisa menjadi stabil, mungkin itu hanya terjadi dalam spekulasi akademis. Para petarung paradoks hanya akan mendapatkan hasil rata-rata lebih tinggi jika mereka mengalahkan jumlah petarung masuk akal secara besar-besaran. Sulit dibayangkan bagaimana keadaan itu bisa muncul pada awalnya. Bahkan jika itu terjadi, rasio petarung masuk akal banding petarung paradoks dalam populasi hanya harus sedikit condong ke arah pihak masuk akal sebelum mencapai "zona atraksi" SES yang lain, SES masuk akal. Zona atraksi adalah himpunan rasio populasi di mana, dalam hal ini, pemakai strategi masuk akal-lah yang memiliki keuntungan: sekali mencapai zona ini, populasi akan niscaya tersedot menuju titik stabil strategi masuk akal. Kiranya sangat menarik bila ditemukan contoh SES paradoks di alam liar, tapi saya ragu apakah kita benar-benar bisa berharap demikian. (Saya bicara terlalu cepat. Setelah saya menuliskan kalimat terakhir tersebut, Profesor Maynard Smith meminta saya memperhatikan deskripsi berikut tentang perilaku laba-laba sosial Meksiko, Oecobius civitas, oleh J.W. Burgess: "Jika seekor laba-laba terganggu dan didesak mundur, dia akan melesat di atas bebatuan dan, tanpa adanya celah kosong untuk bersembunyi, bisa mencari perlindungan di tempat persembunyian laba-laba lain anggota spesies yang sama. Jika laba-laba lain berada di tempatnya ketika penyusup datang, dia bukannya menyerang melainkan melesat keluar dan mencari tempat berlindung baru bagi dirinya sendiri. Jadi, begitu laba-laba pertama diganggu, proses perpindahan dari faring ke jaring secara berurutan berlangsung selama beberapa detik, dan ini sering menyebabkan sebagian besar laba- laba dalam suatu kesatuan kelompok berpindah dari rumah sendiri ke tempat lain yang asing bagi mereka." [Social Spiders, Scientific American, Maret 1976] Ini paradoks dalam arti yang sesuai dengan strategi "penduduk mundur, penyusup menyerang".)5


Bagaimana jika individu mempertahankan beberapa memori hasil pertarungannya di masa lain? Ini tergantung pada apakah memorinya spesifik atau umum. Jangkrik memiliki memori umum tentang apa yang terjadi dalam pertarungan-pertarungan yang telah berlalu. Jangkrik yang baru memenangkan sejumlah besar pertarungan menjadi lebih mirip elang, sedangkan jangkrik yang baru kalah secara beruntun menjadi cenderung mirip merpati. Itu ditunjukkan dengan apik oleh R.D. Alexander. Dia menggunakan model peraga berbentuk jangkrik untuk mengalahkan jangkrik sungguhan. Setelah perlakuan itu, jangkrik sungguhan lebih mungkin kalah dalam pertarungan melawan jangkrik sungguhan lainnya. Setiap jangkrik dapat dianggap terus-menerus memperbarui perkiraan mengenai kemampuan bertarungnya sendiri dibanding rata-rata individu lain dalam populasi. Jika hewan seperti jangkrik, yang bekerja dengan memori umum tentang pertarungan masa lalu, dikumpulkan bersama-sama dalam satu kelompok tertutup untuk beberapa waktu, sejenis hierarki dominasi mungkin terbentuk.6 Seorang pengamat dapat mengetahui peringkat tiap individu. Individu berperingkat rendah dalam tatanan itu cenderung menyerah terhadap individu yang berperingkat lebih tinggi. Tidak perlu menganggap individu-individu itu saling mengenai. Yang terjadi hanyalah bahwa individu yang terbiasa menang menjadi semakin lebih mungkin menang sementara individu yang terbiasa kalah menjadi semakin lebih mungkin kalah. Bahkan jika individu-individu mulai dengan menang atau kalah secara acak sama sekali, mereka cenderung terpilah-milah sendiri ke dalam urutan peringkat. Ini kebetulan memiliki efek penurunan jumlah pertarungan serins dalam kelompok secara bertahap.


Saya harus menggunakan frasa "sejenis hierarki dominasi" karena banyak orang menggunakan istilah hierarki dominasi untuk kasus-kasus yang melibatkan pengakuan individu. Dalam kasus ini, memori pertarungan masa lalu sifatnya khusus, bukan umum. Jangkrik tidak mengenali satu sama lain sebagai individu, tapi ayam betina dan monyet bisa mengenai individu. Jika Anda monyet, maka monyet yang telah mengalahkan Anda dulu kemungkinan akan mengalahkan Anda kelak. Strategi terbaik bagi individu untuk menghadapi individu lain yang telah mengalahkannya adalah dengan bersikap relatif mirip merpati. Jika sekelompok ayam betina yang belum pernah saling bertemu dikumpulkan, biasanya ada banyak perkelahian yang terjadi. Setelah beberapa saat, pertarungan berhenti, meski bukan untuk alasan yang sama seperti jangkrik. Dalam kasus ayam betina, sebabnya adalah karena setiap individu belajar "mengenali posisinya" dibanding individu- individu lain. Ini kebetulan bermanfaat bagi kelompok secara keseluruhan. Sebagai indikator, telah diamati dalam kelompok ayam betina yang mapan, di mana pertarungan sengit jarang terjadi, produksi telur lebih tinggi ketimbang kelompok ayam yang keanggotaannya terus- menerus berubah, di mana pertarungan lebih sering terjadi. Ahli biologi sering bicara tentang keuntungan biologis atau "fungsi" hierarki dominasi sebagai cara untuk mengurangi agresi terang-terangan dalam kelompok. Namun, itu cara yang keliru untuk mengemukakannya. Hierarki dominasi per se tidak dapat dikatakan memiliki "fungsi" dalam arti evolusioner karena hierarki itu sifat kelompok, bukan individu. Pola perilaku individu yang mewujud menjadi hierarki dominasi, bila dilihat di tingkat kelompok, dapat dikatakan memiliki fungsi. Tapi lebih baik lagi jika kata "fungsi" ditinggalkan sekalian dan masalah ini dipikirkan dalam kerangka SES dalam pertarungan asimetris di mana terdapat pengakuan individual dan memori.


Kita telah membahas pertarungan antara anggota-anggota spesies yang sama. Bagaimana dengan pertarungan antarspesies? Seperti yang kita lihat sebelumnya, anggota spesies yang berbeda bukan merupakan pesaing langsung jika dibandingkan dengan anggota spesies yang sama. Untuk alasan ini, kita bisa berharap di antara mereka ada lebih sedikit perselisihan atas sumber daya. Misalnya, burung robin mempertahankan teritorinya dari robin lain, tapi tidak dari burung gelatik batu kelabu. Kita dapat menggambar peta wilayah individu robin yang berbeda di satu pohon dan menempatkan peta wilayah gelatik batu di atasnya. Wilayah dua spesies itu tumpang tindih dengan cara yang sama sekali tidak saling mempengaruhi. Mereka bisa saja ada di planet-planet yang berbeda.


Namun, ada cara lain di mana kepentingan individu-individu beda spesies saling bertentangan dengan sangat tajam. Misalnya, singa ingin memakan tubuh kijang, tapi kijang punya rencana yang sangat berbeda untuk tubuhnya. Ini biasanya tidak dianggap sebagai perebutan sumber daya, tapi secara logis sulit untuk tidak melihat ke arah situ. Sumber daya yang dimaksud adalah daging. Gen singa "menginginkan" daging sebagai makanan bagi mesin kelestariannya. Gen kijang menginginkan daging sebagai organ dan otot yang bekerja untuk mesin kelestariannya. Kedua penggunaan daging itu bentrok sehingga ada konflik kepentingan.


Rekan se-spesies satu individu terbuat dari daging juga. Mengapa relatif jarang terjadi kanibalisme? Seperti yang kita lihat dalam kasus camar kepala hitam, burung dewasa kadang-kadang memakan anak burung se-spesiesnya. Namun karnivora dewasa tidak pernah terlihat aktif mengejar individu dewasa se-spesies dengan maksud untuk memangsa. Mengapa tidak demikian? Kita masih begitu terbiasa berpikir dalam kerangka pandangan evolusi "demi kebaikan spesies" sehingga sering lupa mengajukan pertanyaan yang sepenuhnya masuk akal seperti: "Mengapa singa tidak berburu singa lain?" Pertanyaan sejenis lainnya yang jarang ditanyakan adalah: "Mengapa kijang melarikan diri dari singa, bukan berbalik menyerang?"


Alasan singa tidak berburu singa lainnya adalah karena hal itu tidak akan menjadi strategi evolusi yang stabil untuk mereka. Strategi kanibal tidak akan stabil karena alasan yang sama dengan strategi elang dalam contoh sebelumnya. Ada terlalu banyak bahaya perlawanan. Ini lebih kecil kemungkinannya berlaku dalam pertarungan antarspesies; inilah sebabnya mengapa begitu banyak hewan buruan yang lari ketimbang berbalik menyerang. Mungkin alasannya berasal dari fakta bahwa, dalam interaksi antara dua hewan beda spesies, ada asimetri dasar yang lebih besar daripada antara anggota spesies yang sama. Bilamana ada asimetri yang kuat dalam pertarungan, SES cenderung berupa strategi kondisional yang terkait asimetri. Strategi yang mirip dengan "jika Anda lebih kecil larilah; jika Anda lebih besar seranglah" sangat mungkin berevolusi dalam pertarungan antarspesies lantaran ada begitu banyak asimetri yang tersedia. Singa dan kijang telah mencapai semacam stabilitas lewat divergensi evolusioner, yang makin lama makin memperkuat asimetri pertarungan yang asli. Singa dan kijang telah menjadi sangat mahir dalam seni mengejar dan melarikan diri. Kijang termutasi yang memakai strategi "bertahan dan lawan" dalam menghadapi singa tidak akan berhasil dibandingkan kijang pesaing yang menghilang di balik cakrawala.


Saya punya firasat bahwa bisa jadi kita akan melihat kembali penemuan konsep SES sebagai salah satu kemajuan yang paling penting dalam teori evolusi sejak Darwin.7 SES berlaku di mana pun kita menemukan konflik kepentingan, dan itu berarti hampir di mana-mana. Mahasiswa yang mempelajari perilaku hewan telah mulai terbiasa bicara tentang sesuatu yang disebut "tatanan sosial", dan sudah terlalu sering tatanan sosial suatu spesies diperlakukan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri, dengan "keuntungan" biologisnya sendiri. Satu contoh yang telah saya berikan sebelum ini adalah "hierarki dominasi". Saya yakin kita bisa mencerna asumsi tersembunyi penganut seleksi kelompok di balik sejumlah besar pernyataan yang dikeluarkan pakar-pakar biologi tentang tatanan sosial. Untuk pertama kalinya, konsep SES Maynard Smith akan memungkinkan kita melihat dengan jelas bagaimana sekumpulan entitas egois yang independen dapat menyerupai entitas tunggal yang terorganisir. Saya pikir ini akan berlaku, bukan hanya di tatanan sosial dalam spesies, melainkan juga di "ekosistem" dan "komunitas" yang terdiri atas banyak spesies. Dalam jangka panjang, saya berharap konsep SES akan merevolusi ilmu ekologi.


Kita juga dapat menerapkan SES ke perkara yang dikesampingkan di Bab 3, yang muncul dari analogi regu pendayung dalam perahu (mewakili gen dalam tubuh), yang membutuhkan semangat tim yang baik. Gen diseleksi, bukan karena "baik" secara sendirian, melainkan karena bekerja dengan baik dalam hubungannya dengan gen lain yang menjadi latarnya di dalam lumbung gen. Gen yang baik harus cocok dengan gen lain dan melengkapi gen lain dalam tubuh demi tubuh yang dihuni bersama. Gen untuk gigi pengunyah tumbuhan adalah gen yang baik di lumbung gen spesies herbivora, tapi merupakan gen yang buruk di lumbung gen spesies karnivora.


Bisa saja membayangkan bahwa kombinasi gen yang pas diseleksi bersama-sama sebagai suatu unit. Dalam contoh kasus mimikri kupu- kupu dalam Bab 3, tampaknya itulah yang terjadi. Namun kekuatan konsep SES adalah dia dapat memungkinkan kita untuk melihat bagaimana sejenis hasil yang sama dapat dicapai oleh seleksi murni di tingkat gen yang independen. Gen itu tidak harus terhubung ke kromosom yang sama.


Analogi pendayung kurang berhasil menjelaskan gagasan di atas. Yang paling mendekati adalah yang berikut. Andaikan, dalam satu awak yang sukses, para pendayung harus mengkoordinasikan tugas lewat pembicaraan. Lebih lagi, andaikan dalam kelompok pendayung yang dapat dipilih oleh pelatih ada beberapa orang yang hanya berbicara bahasa Inggris dan beberapa orang yang hanya berbicara bahasa Jerman. Orang Inggris bukan selalu merupakan pendayung yang lebih baik atau lebih buruk daripada orang Jerman. Tapi, karena pentingnya komunikasi, regu campuran cenderung akan memenangkan lebih sedikit perlombaan ketimbang yang hanya beranggotakan orang Inggris atau Jerman saja.


Sang pelatih tidak menyadari hal itu. Yang dia lakukan adalah membongkar pasang regu dayungnya, memberikan nilai kepada individu yang memenangkan perlombaan, dan menandai individu-individu yang mendayung di perahu yang kalah. Sekarang, apabila kelompok yang tersedia baginya kebetulan didominasi oleh orang Inggris, maka setiap orang Jerman yang naik ke perahu kemungkinan akan menyebabkan kekalahan karena komunikasi tidak lancar. Sebaliknya, jika kelompok itu kebetulan didominasi oleh orang Jerman, seorang Inggris akan cenderung menyebabkan perahu yang dia naiki kalah. Yang akan muncul sebagai regu terbaik secara keseluruhan adalah salah satu dari dua keadaan stabil—murni Inggris atau murni Jerman, tidak bercampur baur. Sepintas tampaknya seolah-olah pelatih memilih satu kelompok bahasa utuh sebagai unit. Namun bukan itu yang dia lakukan. Yang dia lakukan adalah menyeleksi individu pendayung berdasarkan kemampuan untuk menang lomba. Kebetulan kecenderungan bagi seorang individu untuk menang tergantung orang-orang dari mana yang hadir di kelompok. Kandidat minoritas secara otomatis gugur, bukan karena mereka pendayung buruk, melainkan semata-mata karena mereka kandidat minoritas. Demikian pula, fakta bahwa gen diseleksi berdasarkan kecocokan bersama tidak harus berarti bahwa kelompok- kelompok gen diseleksi sebagai unit, sebagaimana dalam kasus kupu- kupu. Seleksi di tingkat rendah terhadap gen tunggal dapat memberikan kesan adanya seleksi di tingkat-tingkat yang lebih tinggi.


Dalam contoh itu, seleksi mendukung keseragaman sederhana. Lebih menarik lagi, gen-gen dapat dipilih karena mereka saling melengkapi. Sebagai analogi, misalkan awak yang seimbang idealnya terdiri atas empat orang pengguna tangan kanan dan empat orang kidal. Sekali lagi kita asumsikan bahwa pelatih, yang tidak menyadari fakta itu, memilih semata-mata berdasarkan "prestasi". Sekarang, jika kelompok calon kebetulan didominasi oleh pengguna tangan kanan, maka setiap individu yang kidal akan cenderung mendapat keuntungan: dia cenderung menyebabkan perahu tempat dia berada meraih kemenangan sehingga dia akan terlihat sebagai pendayung yang baik. Sebaliknya, dalam kelompok yang didominasi oleh prang kidal, pengguna tangan kanan akan memiliki keuntungan. Ini mirip dengan kasus elang yang berhasil dalam populasi merpati dan merpati yang berhasil dalam populasi elang. Perbedaannya adalah di sana kita bicara tentang interaksi antara tubuh individu—mesin yang egois—sedangkan di sini kita bicara, lewat analogi, tentang interaksi antargen di dalam tubuh.


Seleksi buta sang pelatih atas pendayung yang "baik" pada akhirnya akan berujung di regu ideal yang terdiri atas empat orang kidal dan empat pengguna tangan kanan. Kelihatannya seolah dia memilih mereka sebagai unit yang lengkap dan seimbang. Menurut saya terlalu dangkal untuk berpikir bahwa pelatih itu memilih di tingkat yang lebih rendah, di tingkat calon-calon yang independen. Keadaan yang secara evolusioner stabil ("strategi" dalam konteks ini menyesatkan), yang terdiri atas empat kidal dan empat pengguna tangan kanan, muncul semata-mata sebagai konsekuensi seleksi tingkat rendah atas dasar prestasi yang terlihat.


Lumbung gen adalah lingkungan gen dalam jangka panjang. Gen yang "baik" secara buta diseleksi sebagai mereka yang bertahan hidup di dalam lumbung gen. Ini bukan teori; bukan pula fakta yang telah teramati; ini tautologi. Pertanyaan menariknya adalah apa yang membuat suatu gen menjadi gen "baik"? Sebagai perkiraan pertama, saya berkata bahwa apa yang membuat gen menjadi "baik" adalah kemampuannya untuk membangun mesin kelestarian yang efisien— tubuh. Sekarang kita harus memperbaiki pernyataan itu. Lumbung gen akan menjadi serangkaian gen yang secara evolusioner stabil, yang didefinisikan sebagai lumbung gen yang tidak dapat diserang oleh gen baru. Kebanyakan gen baru yang muncul, baik oleh mutasi maupun penyortiran ulang maupun imigrasi, dengan cepat akan disingkirkan oleh seleksi alam: tatanan stabil ditegakkan kembali. Kadang-kadang gen baru berhasil menyerang rangkaian itu: berhasil menyebar di dalam lumbung gen. Ada masa ketidakstabilan yang transisional, yang menghasilkan tatanan stabil baru—sedikit evolusi telah terjadi. Lewat analogi strategi agresi, populasi bisa saja memiliki lebih daripada satu titik stabil, dan kadang-kadang bisa beralih dari yang satu ke yang lain. Evolusi progresif bisa jadi bukan langkah menanjak yang ajek melainkan serangkaian langkah terpisah dari satu tataran stabil ke tataran stabil lainnya.8 Populasi secara keseluruhan bisa saja terlihat seolah-olah berperilaku seperti unit tunggal yang mengatur dirinya sendiri. Namun ilusi itu diciptakan oleh seleksi yang terjadi di tingkat gen tunggal. Gen diseleksi berdasarkan "prestasi". Namun prestasi dinilai berdasarkan kinerja terkait latar belakang berupa tatanan yang secara evolusioner stabil, yaitu lumbung gen yang ada sekarang.


Dengan berfokus ke interaksi agresif antarindividu, Maynard Smith mampu membeberkan perkara dengan jelas. Memang mudah untuk memikirkan rasio stabil tubuh elang dan tubuh merpati karena tubuh adalah benda besar yang bisa kita lihat. Namun interaksi yang terjadi antara gen-gen yang bertempat di dalam tubuh-tubuh yang berbeda hanyalah puncak gunung es. Mayoritas besar interaksi yang signifikan antara gen di dalam rangkaian yang secara evolusioner stabil—lumbung gen—justru berlangsung di dalam tubuh individu. Interaksi itu sulit dilihat karena berlangsung di dalam sei, terutama sel-sel embrio yang tengah berkembang. Tubuh yang terintegrasi dengan baik bisa ada karena merupakan produk serangkaian gen egois yang stabil secara evolusioner.


Namun saya mesti kembali ke tingkat interaksi antarhewan yang merupakan topik utama buku ini. Untuk memahami agresi, kita sengaja memperlakukan individu hewan sebagai mesin egois yang independen. Toh model itu tak berlaku lagi kala individu-individu yang bersangkutan merupakan kerabat dekat—saudara, sepupu, induk-anak. Itu karena kerabat saling berbagi gen yang sama dalam jumlah besar. Dengan demikian, setiap gen egois memiliki loyalitas yang terbagi antara tubuh- tubuh yang berbeda. Ini akan dijelaskan di bab berikutnya.





CATATAN AKHIR


1. Sekarang saya ingin menyampaikan gagasan penting tentang SES dengan cara yang lebih sederhana sebagai berikut. SES adalah strategi yang berhasil baik melawan salinan dirinya sendiri. Pembenarannya begini. Suatu strategi yang sukses adalah strategi yang mendominasi populasi. Dengan demikian, strategi itu akan cenderung berjumpa dengan salinan dirinya. Oleh karena itu, strategi itu tidak akan terus berhasil kecuali dia berhasil melawan salinan dirinya. Definisi ini tidak memiliki presisi yang sematematis definisi Maynard Smith dan tidak dapat menggantikan definisinya, karena sebenarnya tidak lengkap. Namun, definisi di atas masihh bernilai karena secara intuitif meringkas gagasan dasar SES.
Cara berpikir SES telah lebih menyebar di kalangan ahli biologi sekarang dibanding ketika bab ini ditulis. Maynard Smith sendiri telah meringkas perkembangannya hingga 1982 dalam bukunya Evolution and Theory of Games. Geoffrey Parker, seorang kontributor utama dalam bidang itu, telah menulis makalah yang sedikit lebih mutakhir. The Evolution of Cooperation karya Robert Axelrod telah memanfaatkan teori SES, tapi saya tidak akan membahasnya di sini karena salah satu dari dua bab baru saya umumnya ditujukan untuk menjelaskan karya Axelrod. Tulisan- tulisan saya sendiri tentang topik teori SES sejak edisi pertama buku ini adalah artikel yang berjudul "Good Strategy or Evolutionarily Stable Strategy?" dan makalah gabungan tentang tawon penggali (digger wasp) yang dibahas setelah ini.



2. Pernyataan tersebut, sayangnya, keliru. Ada kesalahan dalam makalah asli Maynard Smith dan Price, dan saya mengulanginya dalam bab ini, bahkan memperparahnya dengan membuat pernyataan yang agak bodoh bahwa retaliator-penyidik "nyaris" merupakan SES (jika suatu strategi "nyaris" merupakan SES, maka itu bukan SES dan masih bisa diserang). Retaliator sepintas terlihat seperti SES karena dalam populasi retaliator tidak ada strategi lain yang lebih baik. Namun, merpati berhasil sama baiknya karena, dalam populasi retaliator, perilakunya tidak dapat dibedakan dari perilaku retaliator. Oleh karena itu, merpati dapat masuk ke dalam populasi. Yang menjadi masalah adalah apa yang terjadi selanjutnya. J.S. Gale dan LJ. Eaves melakukan simulasi komputer dinamis di mana mereka mengambil suatu populasi hewan model melalui sejumlah besar generasi evolusi. Mereka menunjukkan bahwa SES yang sebenarnya dalam permainan itu adalah justru campuran stabil antara elang dan penggencet. Ini bukan satu-satunya kesalahan dalam literatur awal tentang SES yang telah terungkap karena percobaan dinamis jenis itu. Contoh lain yang bagus adalah kesalahan saya sendiri, dibahas dalam catatan saya untuk Bab 9.



3. Sekarang kita memiliki beberapa pengukuran lapangan yang baik tentang biaya dan manfaat di alam, yang telah dihubungkan dengan model SES tertentu. Salah satu contohnya yang terbaik datang dari tawon emas besar penggali {great golden digger wasp) di Amerika Utara. Tawon penggali bukan tawon sosial yang biasa kita kenal, yang umumnya tawon betina pekerja mandul. Setiap tawon penggali betina bekerja untuk dirinya sendiri dan dia mengabdikan hidupnya untuk menyediakan rumah dan makanan bagi larvanya secara terus-menerus. Biasanya, tawon penggali betina mulai dengan menggali lubang-lubang panjang di dalam tanah, yang dasarnya berupa ruang kosong. Kemudian dia pergi berburu mangsa (dalam hal ini, belalang daun). Begitu mendapatkan mangsa, tawon menggunakan sengatan untuk melumpuhkan mangsa dan menyeretnya kembali ke dalam liang. Setelah terkumpul empat atau lima belalang daun, dia meletakkan telur di atas tumpukan mangsanya dan menutup liang. Telur kemudian menetas menjadi larva yang langsung mendapat makanan dari tubuh belalang daun. Mangsanya memang dilumpuhkan saja, tidak dibunuh, supaya tidak busuk sehingga dapat dimakan hidup-hidup dan masih segar. Kebiasaan mengerikan seperti itulah, pada tawon Ichneumon yang berkerabat dengan tawon penggali, yang memicu Darwin untuk menulis: "Saya tidak bisa meyakinkan diri sendiri bahwa Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Kuasa sengaja menciptakan Ichneumonidae dengan maksud supaya memberinya makan dengan tubuh ulat hidup...." Padahal dia bisa saja menggunakan contoh koki Prancis yang merebus lobster hidup- hidup untuk menambah kelezatan rasa. Kembali ke kehidupan tawon penggali betina, tawon itu merupakan makhluk soliter walaupun beberapa betina bisa bekerja secara terpisah di wilayah yang sama. Kadang-kadang mereka menempati liang sesamanya, ketimbang bersusah payah menggali liang baru.
Dr. Jane Brockmann ialah pakar tawon yang setara dengan Jane Goodall untuk simpanse. Brockmann datang dari Amerika untuk bekerja dengan saya di Oxford, membawa catatannya yang amat panjang tentang tiap peristiwa dalam kehidupan dua populasi tawon betina yang diidentifikasi secara individual. Catatannya begitu lengkap sehingga anggaran waktu individu tawon dapat diketahui. Waktu adalah komoditas ekonomi: semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk satu kegiatan dalam kehidupan, semakin sedikit yang tersedia untuk kegiatan lain. Alan Grafen bergabung dengan kami dan mengajarkan bagaimana untuk berpikir secara tepat tentang ongkos waktu dan manfaat reproduktif. Kami menemukan bukti adanya SES campuran dalam permainan yang dijalankan antara tawon betina dalam populasi di New Hampshire, meski kami gagal menemukan bukti tersebut dalam populasi lain di Michigan. Singkatnya, tawon New Hampshire punya dua strategi: entah Menggali sarang sendiri atau Masuk ke sarang yang telah digali tawon lain. Menurut penafsiran kami, tawon dapat memperoleh keuntungan dengan Masuk karena beberapa sarang ditinggalkan oleh penggali aslinya dan dapat digunakan kembali. Tidak ada gunanya untuk masuk ke sarang yang sudah ditempati, tapi tawon tidak punya cara untuk tahu mana yang sudah ditempati, mana yang sudah ditinggalkan. Dia berisiko menempati liang yang ditempati tawon lain selama berhari- hari. Pada akhirnya, dia bisa pulang dan mendapati liangnya telah tertutup, segala upayanya sia- sia—penghuni lain telah meletakkan telurnya dan akan menuai hasilnya. Jika ada terlalu banyak aksi masuk liang dalam suatu populasi, liang yang tersedia menjadi langka, peluang penghuni ganda meningkat, dan, dengan demikian Menggali sarang lebih bermanfaat. Sebaliknya, jika ada banyak tawon yang menggali liang, ketersediaan liang yang tinggi pun mendukung aksi masuk liang. Ada frekuensi kritis aksi masuk liang dalam populasi, di mana Menggali dan Masuk sama¬sama menguntungkan. Jika frekuensi yang sesungguhnya di bawah frekuensi kritis, maka seleksi alam akan mendukung Masuk liang karena ada pasokan liang yang ditinggalkan. Jika frekuensi yang sesungguhnya lebih tinggi ketimbang frekuensi kritis, liang yang tersedia pun kurang dan seleksi alam mendukung Menggali. Jadi keseimbangan dipertahankan dalam populasi. Bukti kuantitatifnya yang terperinci menunjukkan bahwa keadaan itu sungguh merupakan SES campuran; setiap individu tawon memiliki kemungkinan Menggali atau Masuk, bukan hanya Menggali atau hanya Masuk.



4. Demonstrasi yang bahkan lebih jelas daripada demonstrasi Tinbergen atas "penduduk selalu menang" datangdari penelitian N.B. Davies terhadap kupu-kupu kayu berbintik. Karya Tinbergen dikerjakan sebelum teori SES ditemukan sedangkan tafsir SES saya dalam edisi pertama buku ini dibuat dengan kilas balik. Sementara itu, Davies meneliti kupu-kupu menggunakan bantuan teori SES. Dia menyadari bahwa individu kupu-kupu jantan di Wytham Wood, dekat Oxford, mempertahankan petak yang terkena cercah cahaya Matahari. Betina tertarik dengan cahaya Matahari sehingga petak yang terkena cercah cahaya Matahari adalah sumber daya berharga, sesuatu yang layak diperebutkan. Ada lebih banyak kupu-kupu jantan ketimbang petak yang ada dan kelebihan jumlah pejantan itu menunggu di kanopi dedaunan. Dengan menangkap kupu-kupu jantan dan melepaskannya satu per satu, Davies menunjukkan bahwa individu yang tiba pertama di petak bercercah cahaya Matahari dianggap sebagai "pemilik" petak. Pejantan mana pun yang tiba berikutnya diperlakukan sebagai "penyusup". Si penyusup selalu, tanpa perkecualian, lekas mengakui kekalahan sehingga sang pemilik menjadi satu-satunya pengendali. Dalam percobaan terakhirnya yang elegan, Davies berhasil "memperdaya" kedua jenis kupu-kupu sehingga mereka "mengira" merekalah "pemilik" sementara yang lainnya "penyusup". Hanya dalam kondisi itulah pertarungan yang serius berlangsung berkepanjangan. Ngomong-ngomong, dalam semua kasus ini saya bicara seolah ada sepasang kupu-kupu saja, untuk memudahkan. Yang terjadi sesungguhnya adalah sampel statistik yang terdiri atas banyak pasangan, tentunya.



5. Insiden lain yang bisa dibayangkan menggambarkan SES paradoks tercatat dalam surat untuk koran The Times (London, 7 Desember 1977) dari Mr. James Dawson: "Selama beberapa tahun saya telah memperhatikan bahwa camar yang menggunakan tiang bendera sebagai pos pengamatan selalu memberi ruang bagi camar lain yang ingin mendarat di tiang, tak peduli perbandingan besar kedua burung itu."
Contoh strategi paradoks terbaik yang saya tahu melibatkan babi ternak di dalam kotak Skinner. Strategi ini stabil dalam arti' yang sama dengan SES, tapi lebih baik disebut SPS (Strategi Perkembangan yang Stabil, Developmentally Stable Strategy) karena muncul selama masa hidup hewan, bukan selama masa evolusi. Kotak Skinner adalah suatu perangkat di mana hewan belajar untuk memberi makan dirinya sendiri dengan menekan tuas. Makanannya akan disajikan secara otomatis. Ahli psikologi percobaan terbiasa menempatkan merpati atau tikus dalam kotak Skinner kecil, di mana hewan-hewan itu segera belajar untuk menekan tuas kecil demi ganjaran berupa makanan. Babi dapat belajar hal yang sama dalam kotak Skinner yang lebih besar dengan menekan tuas sederhana (Saya menyaksikan film tentang itu dan saya ingat betul betapa kerasnya saya tertawa). B.A. Baldwin dan G.B. Meese melatih babi-babi di dalam kandang Skinner, tapi ada tambahan lain. Moncong tuas berada di salah satu ujung kandang; pemasok makanan di ujung yang lain. Jadi babi harus menekan tuas lalu berlari ke ujung kandang yang lain untuk mendapatkan makanan, buru-buru kembali ke tuas, dan begitu seterusnya. Itu terdengar baik-baik saja, tapi Baldwin dan Meese menempatkan beberapa pasang babi di dalam sana. Babi-babi itu menjadi bisa saling mengeksploitasi. Babi "budak" bolak-balik menekan tuas. Babi "majikan" duduk di dekat pemasok makanan dan melahap makanan begitu tersaji. Pasangan-pasangan babi itu kemudian menjadi mapan dalam pola relasi "budak/majikan" seperti ini, yang satu bekerja dan lari bolak-balik sementara yang satu lagi makan sebagian besar makanan yang ada.
Sekarang paradoksnya. Label "majikan" dan "budak" ternyata terbalik-balik. Bilamana sepasang babi menjadi mapan dalam pola yang stabil, babi yang akhirnya berperan sebagai "majikan" atau "peran pengeksploitasi" adalah babi yang, dalam semua hal lain, subordinat. Babi yang disebut "budak", yang bekerja banting-tulang, adalah babi yang biasanya dominan. Siapa pun yang tahu tentang babi itu akan menduga bahwa, sebaliknya, babi yang dominan adalah sang majikan, yang makan-makan saja, sementara babi yang subordinat pastilah si budak yang bekerja keras dan hampir-hampir tidak makan.
Bagaimana pembalikan yang paradoks itu muncul? Sangatlah mudah untuk memahaminya begitu Anda mulai berpikir dalam kerangka strategi stabil. Yang harus kita lakukan hanyalah menciutkan gagasan itu dari jangka waktu evolusioner menjadi jangka waktu perkembangan individu, skala waktu di mana hubungan antara dua individu berkembang. Strategi "yang dominan duduk menunggu makanan; bawahan bekerja menekan tuas" terdengar masuk akal, tapi tidak stabil. Babi yang menjadi bawahan, setelah menekan tuas, akan berlari hanya untuk menemukan babi yang dominan menjaga tempat makanan dan tidak mungkin disingkirkan. Maka babi bawahan akan segera berhenti menekan tuas karena perilakunya tidak akan pernah mendapat ganjaran. Namun, sekarang mari mempertimbangkan strategi sebaliknya: "yang dominan bekerja menekan tuas; yang bawahan duduk menunggu makanan". Strategi ini akan menjadi stabil walaupun hasilnya paradoks, yaitu babi bawahan mendapatkan sebagian besar makanan. Yang diperlukan hanyalah sebaiknya ada sedikit makanan yang tersisa untuk babi dominan saat dia merangsek dari ujung lain kandang. Begitu tiba, dia tidak memiliki kesulitan untuk mengusir bawahannya dari tempat makanan. Selama ada remah makanan yang tersisa untuk menjadi ganjarannya, kebiasaannya menekan tuas dan dengan demikian, secara kebetulan membuat kenyang si bawahan, akan terus dilakukan. Dan kebiasaan babi bawahan, bersandar malas-malasan di dekat tempat makanan, juga mendapat ganjaran. Jadi, "strategi" berikut, "jika dominan berperilakulah sebagai 'budak', jika bawahan berperilakulah sebagai 'majikan'," akan mendapat ganjaran dan menjadi stabil.



6. Ted Burk, waktu itu mahasiswasaya, menemukan bukti lebih lanjut tentangjenis hierarki pseudo- dominasi tersebut di jangkrik. Dia juga menunjukkan bahwa jangkrik jantan akan merayu betina jika dia baru saja memenangkan pertarungan melawan jantan lain. Ini mestinya disebut "Duke of Marlborough Effect", berdasarkan satu bagian dalam buku harian Duchess Marlborough pertama: "Yang Mulia kembali dari perang hari ini dan menyenangkan diriku dua kali dengan masih memakai sepatu larsnya." Alternatif namanya bisa diajukan berdasarkan liputan berikut dari majalah New Scientist tentang perubahan kadar hormon maskulin testosteron: "Kadarnya meningkat dua kali lipat di pemain tenis selama 24 jam sebelum pertandingan besar. Setelah itu, kadarnya tetap tinggi di pemenang, tapi langsung menurun di pecundang."



7 Kalimat ini sedikit berlebihan. Reaksi saya mungkin berlebihan terhadap fakta bahwa gagasan tentang SES lazim diabaikan dalam kepustakaan biologi kontemporer, khususnya di Amerika. Misalnya saja, istilah tersebut tidak muncul di mana pun dalam karya penting E.O. Wilson, Sociobiology. Sekarang gagasan SES itu tidak lagi diabaikan sehingga saya dapat mengambil pandangan yang lebih bijaksana dan tak terlalu berapi-api. Anda sesungguhnya tidak harus menggunakan bahasa SES, asalkan Anda berpikir cukup jernih. Tapi SES membantu untuk berpikir jernih, terutama dalam kasus-kasus tersebut—pada praktiknya hampir semua kasus— di mana pengetahuan terperinci mengenai genetika tidak tersedia. Kadang-kadang dikatakan bahwa model SES menganggap reproduksi adalah sesuatu yang aseksual, tapi pernyataan ini menyesatkan jika dipahami sebagai asumsi positif reproduksi aseksual versus seksual. Lebih tepatnya adalah model SES tidak perlu repot untuk berkomitmen tentang perincian sistem genetis. Sebaliknya, model itu berasumsi bahwa, dalam arti yang samar-samar, kemiripan melahirkan kemiripan. Untuk banyak keperluan, asumsi tersebut cukup memadai. Bahkan kesamar-samarannya dapat bermanfaat karena dengan demikian dia fokus ke hal yang penting dan bukan ke rincian, seperti dominasi genetis, yang biasanya tidak diketahui dalam kasus- kasus tertentu. Pemikiran SES paling berguna dalam peran negatif, membantu kita menghindari kesalahan teoretis yang mungkin menggoda kita.



8. Paragraf ini merupakan ringkasan suatu cara untuk mengekspresikan apa yang kini dikenal luas sebagai kesetimbangan tersela (punctuated equilibrium). Saya malu karena, ketika menuliskan dugaan saya, seperti banyak ahli biologi di Inggris saat itu, saya benar-benar tidak tahu tentang teori tersebut walaupun telah dipublikasikan tiga tahun sebelumnya. Semenjak itu, misalnya dalam The Blind Watchmaker, saya menjadi cukup kesal—mungkin terlalu kesal—melihat sambutan berlebihan terhadap teori kesetimbangan tersela. Jika hal ini telah melukai perasaan siapa pun, saya menyesal. Mereka mungkin perlu tahu bahwa, setidaknya pada 1976, saya tidak bermaksud buruk.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02