The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 05


Anda Selalu Memilih

Bayangkan seseorang meletakkan ujung pistol di kepala Anda dan menyuruh Anda lari sejauh 26.2 mil dalam wak¬tu kurang dari 5 jam, atau dia akan membunuh Anda dan seluruh keluarga Anda.
Rasanya sungguh keparat.
Sekarang bayangkan Anda membeli sepasang sepatu yang ba- gus dan perlengkapan lari, berlatih dengan tekun selama berbu- lan-bulan, lalu menyelesaikan maraton pertama Anda, disambut sorak-sorai seluruh keluarga dan teman terdekat Anda saat men- capai garis finis.
Itu sangat mungkin menjadi salali satu peristiwa paling mem- banggakan dalam hidup Anda. Jarak yang persis sama 26.2 mil. Pelari yang sama. Rasa sakit yang sama yang menjalar ke kaki yang juga sama. Namun ketika Anda memilih dengan bebas dan siap menghadapinya, itu menjadi batu loncatan yang gemilang dan penting dalam hidup Anda. Tapi ketika Anda dipaksa melawan ke- hendak Anda, itu menjadi pengalaman yang paling menakutkan, dan menvakitkan dalam hidun Anda.
Seringkali satu-satunya perbedaan apakah suatu masalah terasa menyakitkan atau menguatkan adalah pilihan yang kita buat, dan bahwa kita memiliki tanggung jawab terhadapnya.
Jika Anda merasa sedih dengan situasi Anda saat im, kemung- kinannya adalah karena Anda merasa ada sebagian hal yang berada di luar kendali Anda—bahwa ada masalah yang tak kuasa Anda selesaikan, sebuah masalah yang entah bagaimana mendesak Anda meski itu bukan pilihan Anda.
Saat kita merasa memilih sendiri masalah yang kita hadapi, kita merasa lebih berkuasa. Ketika kita merasa bahwa suatu masalah datang karena dipaksakan, bertentangan dengan kehendak kita, kita merasa menjadi korban dan menjadi sedih.
Pilihan William James punya masalah. Masalah yang amat buruk.
Meskipun lahir di sebuah keluarga yang kaya dan terpandang, sejak lahir James menderita masalah kesehatan yang mengancam hidupnya: masalah mata yang membuatnya buta temporer ketika masih kanak-kanak; kondisi perut akut yang membuatnya muntah berlebihan dan memaksanya harus menerapkan suatu diet ketat dan super sensitif; masalah dengan pendengarannya; kejang urat punggung parah yang membuatnya tidak dapat duduk atau berdiri tegak selama berhari-hari.
Karena masalah kesehatan ini, James menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Dia tidak punya banyak teman, dan juga dak terlalu istimewa di sekolah. Dia melalui hari-harinya dengan melukis. Im adalah satu-satunya hal yang disukainya dan im adalah satu-satunya hal yang menjadi kemahirannya.
Sayangnya, tidak ada yang mengakui bakat melukisnya. Ketika dia tumbuh dewasa, tidak ada yang membeli karyanya. Dan setelah tahun demi tahun berlalu, ayahnya (seorang pebisnis kaya raya) mulai mengolok-olok dirinya karena malas dan kurang berbakat.
Sementara itu, adiknya, Henry James, menapaki karier sebagai novelis terkenal dunia; saudara perempuannya, hidup layak sebagai penulis juga. William menjadi orang aneh di keluarganya, seekor kambing hitam.
Dalam upaya yang penuh keputusasaan untuk menyelamatkan masa depan putranya, sang ayah menggunakan koneksi bisnisnya agar James diterima di Sekolah Kedokteran Harvard. Itu adalah kesempatan terakhir, begitu kata ayahnya. Jika dia mengacaukannya, tidak ada harapan lagi untuknya.
Namun James tidak pernah merasa kerasan atau damai di Harvard. Kedokteran tidak pernah menarik minatnya. Dia menghabiskan seluruh waktunya dengan perasaan seperti seorang penipu dan seseorang yang bukan dirinya. Bagaimanapun juga, jika dia tidak berhasil mengatasi masalahnya sendiri, bagaimana dia bisa berharap punya energi yang cukup untuk menolong orang lain dengan permasalahan mereka sendiri? Setelah suatu hari berkeliling fasilitas psikiatris, James menulis dalam buku hariannya kalau dia merasa lebih menyerupai pasien ketimbang dokter.
Beberapa tahun berlalu dan, tanpa persetujuan ayahnya, James keluar dari sekolah kedokteran. Dan daripada menghadapi murka ayahnya, dia memutuskan untuk lari: mendaftarkan diri ke ekspedisi antropologi ke hutan hujan Amazon.
Di 1860-an, perjalanan antarbenua sulit dan berbahaya. Jika Anda pernah memainkan Oregon Trail di komputer saat masih anak-anak, seperti itulah gambarannya, ada disentri dan sapi-sapi yang tenggelam dan semuanya. Singkat kata, sampailah James ke Amazon, tempat petualangan yang sesungguhnya dimulai. Secara mengejutkan, dengan kesehatan yang ringkih itu, dia mampu bertahan sepanjang perjalanan. Namun begitu dia mendarat, di hari pertama ekspedisinya, dia langsung terkena cacar air dan hampir mati di rimba
Kemudian kejang urat di punggungnya kumat lagi, rasa sakitnya bahkan membuat James tidak mampu berjalan. Ketika itu badannya kurus kering, kelaparan dan kena cacar air, tidak mampu bergerak karena sakit parah di punggungnya, dan ditinggal sendirian di tengah Amerika Selatan (sisa peserta ekspedisi telah pergi meninggalkanya) tanpa peluang yang jelas untuk pulang—sebuah perjalanan yang makan waktu berbulan-bulan dan sepertinya akan membunuhnya bagaimanapun juga.
Tetapi entah bagaimana pada akhimya dia mampu kembali ke New England, di mana dia disambut oleh ayahnya yang kecewa berat (kini kekecewaannya semakin bertambah). Kini, anak muda itu tidak lagi muda hampir 30 tahun, masih belum punya pekerjaan, selalu gagal di setiap usahanya, dengan sakit yang terus-terusan merongrong tubuhnya, dan sepertinya tidak akan pemah membaik. Meskipun kemudahan dan kesempatan telah diberikan dalam hidupnya, semuanya telah berantakan. Satu-satunya hal yang tampak konstan dalam hidupnya adalah penderitaan dan kekecewaan. James jatuh ke dalam depresi berat dan mulai berencana mengakhiri hidupnya.
Tetapi suatu malam, sambil membaca teks tulisan filosof Peirce, James memutuskan untuk melakukan sebuah eks perimen kecil. Dalam buku hariannya, dia menulis bahwa dia, dalam setahun, akan berusaha meyakini bahwa dia bertanggung jawab 100 persen atas segala hal yang terjadi dalam hidupnya, apa pun itu. Selama periode tersebut, dia akan melakukan apa pun yang ada dalam kuasanya untuk mengubah keadaannya, bodo amat dengan kegagalan macam apa yang akan muncul. Jika tidak ada yang membaik dalam tahun itu, kesimpulannya dia memang tidak punya daya apa pun terhadap situasi di sekitamya, dan dia akan mengucap selamat tinggal kepada dunia.
Akhir kata? William James menjadi bapak psikologi Amerika. Karyanya telah diterjemahkan ke banyak bahasa, dan dia dihormati sebagai salah satu cendekiawan/filsuf/psikolog paling berpengaruh dari generasinya. Dia mengajar di Harvard dan berkeliling Amerika Serikat dan Eropa untuk memberikan kuliah. Dia menikah dan memiliki 5 anak (salah satunya, Henry, menjadi penulis biografi terkenal, dan memenangkan Pulitzer Prize). James kemudian memberi judul eksperimen kecilnya “lahir kembali,” dan bersyukur atas setiap hal yang telah dilaluinya dalam hidupnya.
Semua peningkatan dan pertumbuhan pribadi muncul berkat adanya sebuah kesadaran sederhana. Kesadaran itu adalah bahwasanya, kita secara pribadi bertanggung jawab atas segala hal dalam hidup kita, tak peduli seperti apa kondisi di luar diri kita.
Kita tidak bisa selalu mengambil kendali terhadap apa yang terjadi pada kita. Namun kita selalu bisa mengendalikan cara kita menafsirkan segala hal yang menimpa kita, dan cara kita merespons.
Entah kita menyadarinya atau tidak, kita selalu bertanggung jawab atas pengalaman diri kita. Mustahil kita tidak bertanggung- jawab. Memilih, dengan sadar, untuk tidak menafsirkan peristiwa dalam hidup kita tetaplah sebuah penafeiran terhadap peristiwa kehidupan kita. Memilih untuk tidak menanggapi peristiwa dalam hidup kita tetap saja sebuah tanggapan terhadap peristiwa tersebut. Bahkan jika Anda ditabrak mobil badut dan dibuat kesal oleh satu bus penuh anak-anak sekolah, Anda masih bertanggung jawab untuk menginterpretasikan makna di balik suatu peristiwa dan untuk memilih respons yang seperti apa.
Suka atau tidak, kita selalu berperan aktif dalam apa yang sedang terjadi terhadap dan dalam diri kita. Kita selalu menafsirkan makna dari setiap peristiwa dan kejadian. Kita selalu memilih nilai-nilai yang kita hidupi dan ukuran yang kita gunakan untuk menilai setiap hal yang terjadi pada kita. Sering satu peristiwa yang sama bisa menjadi baik atau buruk, bergantung pada ukuran yang kita pilih.
Intinya adalah, kita selalu menjatuhkan pilihan, entah kita sadari atau tidak. Selalu.
Ini kembali pada kenyataan bahwa tidak ada yang namanya tidak peduli. Ini tidak mungkin. Kita semua pasti memedulikan sesuatu. Tidak peduli tentang apa pun tetap saja sebuah bentuk kepedulian tentang sesuatu.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah, kita memilih untuk me¬medulikan apa? Nilai apa yang kita pilih sebagai dasar dari tindakan kita? Ukuran apa yang kita pilih untuk kita gunakan sebagai pengukur kehidupan kita? Dan apakah itu pilihan yang «-apakah nilai dan ukurannya baik?

Salah Kaprah Tanggung Jawab Rasa Salah

Bertahun-tahun lalu, ketika saya lebih muda dan lebih bodoh, saya menulis sebuah blog, dan di bagian penutup saya menulis kurang lebih begini, “Dan seperti kata seorang filsuf: ‘Kekuatan yang besar menuntut tanggung jawab yang besar.’” Ini terdengar keren dan ber- wibawa. Saya hipa siapa yang mengatakan hal itu, dan pencarian di mesin Google saya tidak menunjukkan hasil apa pun, jadi saya biarkan saja tertulis demikian. Terasa pas dengan postingan saya.
Sekitar 10 menit kemudian, komentar pertama masuk: “Kayaknya ‘sang filsuf hebaf yang Anda sebut itu adalah Paman Ben dari film Spider-Man. ”
Seperti kata filsuf besar lain, “Dull!”
“Kekuatan yang besar menuntut tanggung jawab yang besar.” Kata-kata terakhir Paman Ben sebelum seorang pencuri, yang dibiarkan lolos oleh Peter Parker, membunuhnya di trotoar yang dipadati orang tanpa alasan yang bisa diterima. Dial ah sang filsuf hebat.
Kita masih sering mendengar kutipan tersebut. Kata-kata ini sering keluar—biasanya terdengar ironis, dan muncul setelah menenggak gelas bir ketujuh. Ini adalah salah satu kutipan yang sempuma dan terdengar sangat intelektual, namun pada intinya hanya mengatakan kepada Anda apa yang telah Anda ketahui, bahkan ketika Anda tidak pemah memikirkan hal tersebut sebelumnya.
“Kekuatan yang besar menuntut tanggung jawab yang besar.”
Ini benar. Namun ada versi lain yang lebih baik dari kutipan ini, yang sebenamya dalam, dan yang hams Anda lakukan adalah menukar posisi kata bendanya: “Tanggung jawab yang besar menuntut kekuatan yang besar.”
Semakin kita memilih untuk menerima tanggung jawab dalam kehidupan kita, semakin besar kekuatan yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan. Menerima tanggung jawab atas masalah yang kita hadapi menjadi langkah pertama untuk menyelesaikannya.
Saya pemah mengenal seorang pria yang mengaku bahwa alasan di balik tidak ada seorang wanita pun yang man diajak berkencan adalah karena dia terlalu pendek. Pria ini terpelajar, menarik, dan tampan—yang jelas, tipe yang sangat ideal namun dia sungguh yakin kalau dia terlalu pendek untuk bisa kencan dengan wanita.
Dan karena dia merasa terlalu pendek, dia jarang pergi keluar dan mencoba untuk berkenalan dengan seorang wanita. Dia pernah mencoba beberapa kali, dan perhatiannya justru tertuju pada segelintir perangai dari cewek tersebut, yang menurutnya mengindikasikan bahwa ia tidak cukup menarik di mata si cewek, dan itu sudah membuatnya yakin bahwa cewek tersebut sungguh tidak menyukainya, meskipun sebenamya si cewek suka. Bisa Anda bayangkan betapa payah kehidupan asmaranya.
Apa yang tidak disadarinya adalah bahwa dia telah memilih nilai yang justru menyakiti dirinya sendiri: tinggi badan. Wanita, dalam benaknya, hanya tertarik pada pria yang tinggi. Dia tamat, masa bodoh apa pun yang dilakukannya.
Pilihan atas nilai ini melemahkan. Hal itu memberi pria ini masalah yang pelik: menjadi orang yang tidak cukup tinggi dalam dunia yang diciptakan (dalam pandangannya) hanya untuk orang- orang yang tinggi semampai. Masih ada berbagai nilai yang jauh lebih baik yang bisa digunakan dalam kehidupan percintaannya.
Saya cuma ingin mengencani wanita yang menyukai saya apa adanya mungkin dapat menjadi awal yang baik—ukuran yang menilai kejujuran dan penerimaan. Namun dia tidak memilih nilai ini. Sepertinya dia balikan tidak sadar kalau dia sedarig (atau bisd) memilih satu nilai atau lebih. Tanda disadari, dia sesungguhnya bertanggung jawab atas masalahnya.
Alih-alih bertanggung jawab, dia justru mengeluh: “Tapi saya tidak punya pilihan,” omelnya kepada bartender. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa! Wanita itu berpikiran dangkal dan angkuh dan tidak akan pemah menyukai saya!” Benar, ini merupakan kesalahan setiap wanita untuk tidak menyukai pria yang suka mengasihani diri sendiri, yang berpikiran dangkal dengan nilai-nilai yang payah. Jelas sekali.
Banyak orang enggan bertanggung jawab atas permasalahan mereka karena mereka percaya bahwa mengambil tanggung jawab terhadap suatu masalah sama dengan menjadi pihak yang dipersalahkan atas masalah Anda.
Tanggung jawab dan kesalahan sering tampil bebarengan dalam budaya kita. Tetapi kedua hal itu tidak sama. Jika saya menabrak Anda dengan mobil saya, saya bersalah dan bertanggung jawab secara hukum untuk memberikan ganti rugi kepada Anda entah bagaimana caranya. Bahkan jika saya tidak sengaja menabrak Anda, saya masih harus bertanggung jawab. Beginilah pihak yang bersalah ditentukan dalam masyarakat kita: jika Anda mengacau, Anda hams memperbaikinya. Dan seharusnya memang seperti itu.
Ada juga masalah di mana kita tidak bisa dipersalahkan dan masih bertanggung jawab terhadapnya.
Sebagai contoh, jika Anda bangun di suatu pagi dan menemukan bayi yang masih merah di depan pintu rumah Anda, jelas ini bukan kesalahan Anda kalau si bayi ditinggalkan di sana, namun bayi tersebut sekarang menjadi tanggung jawab Anda. Anda kemudian memutuskan akan melakukan sesuatu. Dan entah apa pun pilihan Anda nantinya (merawatnya, membuangnya, mengabaikannya, menjadikannya makanan pit bull), itu merupakan masalah
yang terkait dengan pilihan Andaman Anda akan bertanggung jawab terhadapnya juga.
Hakim tidak bisa memilih kasus yang dihadapi. Ketika sebuah kasus sampai di pengadilan, hakim yang ditugasi untuk menangani perkara tersebut tidak melakukan kejahatan, bukan saksi kejahatan, dan tidak terkena imbas dari kejahatan itu, namun ia tetap bertanggung jawab atas kejahatan tersebut. Sang hakim lantas harus memilih beberapa konsekuensi; dia harus mengidentifikasi ukuran untuk menilai kejahatan tersebut dan memastikan bahwa ukuran yang tersebut sungguh dipakai secara konsisten.
Kita bertanggung jawab atas hal-hal yang bukan merupakan ke- salahan kita. Inilah bagian kehidupan.
Berikut ini cara untuk memahami perbedaan ataran 2 konsep tersebut. Kesalahan adalah bentuk lampau (past tense). Tanggung jawab adalah bentuk kini (present tense). Kesalahan merupakan hasil dari pilihan-pilihan yang telah diambil. Tanggung jawab merupakan hasil dari pilihan yang sedang Anda ambil saat ini, setiap detik, setiap hari. Anda sedang memilih untuk membaca buku ini. Anda sedang memilih untuk menerima atau menolak konsep ini. Jika menurut Anda, ide saya di buku ini payah, maka itu adalah kesalahan saya, namun Anda bertanggung jawab atas kesimpulan yang Anda ambil tersebut. Bukan kesalahan Anda jika saya memilih untuk menulis kalimat ini, namun Anda tetap bertanggung jawab ketika memilih untuk membacanya (atau tidak).
Ada perbedaan antara menyalahkan seseorang atas situasi yang terjadi pada Anda dan bahwa orang tersebut memang sungguh ber¬tanggung jawab atas keadaan yang Anda alami. Tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab atas keadaan Anda kecuali diri Anda sendiri. Banyak orang yang mungkin disalahkan atas ketidakbaha-
giaan Anda, namun tidak seorang pun yang bertanggung jawab atas ketidakbahagiaan Anda selain Anda. Ini karena Anda selalu harus memilih bagaimana Anda memandang sekitar Anda, bagaimana Anda bereaksi terhadapnya, bagaimana Anda menilai sesuatu. Anda selalu harus memilih ukuran yang Anda gunakan untuk menilai pengalaman Anda.
Pacar saya yang pertama mencampakkan saya dengan cara yang spektakuler. Diaberselingkuli dengan gurunya. Itu luar biasa. Dan, yang saya maksud dengan “luar biasa”, persisnya seperti dipukul sebanyak 253 kali di perut. Lebih apes lagi, ketika saya meminta penjelasan padanya tentang hal ini, dia justru meminta putus, dan langsung “nempel” ke pelukannya. Tiga tahun bersama, hanya berakhir seperti itu.
Saya nelangsa selama beberapa bulan sesudahnya. Sudah saya duga sebelumnya. Tetapi saya juga berpikir bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kepedihan saya. Dengan begitu, ini justru tidak membuat saya bisa melangkah ke depan. Itu hanya membuat rasa pedih semakin parah.
Lihat, saya tidak bisa mengendalikan dia. Tidak peduli berapa kali saya memanggil-manggilnya, atau meneriakkan namanya, atau memohon agar dia man kembali ke pelukan saya, atau membuat kunjungan kejutan ke tempatnya, atau hal-hal mengerikan dan irasional lain yang biasa dilakukan seorang mantan, saya tidak akan pemah bisa mengendalikan emosi atau tidakannya. Pada akhimya, meskipun dia yang patut disalahkan atas apa yang saya rasakan, dia tidak pemah bertanggung jawab atas apa yang saya rasakan. Sayalah yang harus bertanggung jawab.
Pada suatu titik, setelah aliran air mata dan alkohol dirasa telah cukup, saya mulai berpikir dan memahami bahwa meskipun dia telah melakukan sesuatu yang buruk kepada saya dan dia layak disalahkan, sekarang tanggung jawab sayalah untuk membuat diri saya kembali gembira. Dia tidak akan pemah muncul dan memperbaiki segala hal yang terjadi pada saya. Saya harus memperbaikinya sendiri.
Ketika saya melakukan pendekatan itu, beberapa hal mulai terjadi. Pertama, saya memulihkan diri saya. Saya mulai berolahraga dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman saya (yang telali saya abaikan). Saya mulai, dengan sukarela, menemui orang¬orang baru. Saya melakukan banyak perjalanan studi ke luar negeri dan menjadi relawan. Dan perlahan, saya mulai merasa lebih baik.
Saya masih kesal dengan mantan saya atas apa yang telah dilakukannya. Tetapi setidaknya sekarang saya mengambil tanggung jawab atas emosi saya sendiri. Dan dengan melakukan ini, saya memilih nilai yang lebih baik—nilai yang terarah untuk menjaga diri saya sendiri, belajar untuk merasa lebih baik tentang diri saya sendiri, ketimbang nilai-nilai yang menuntut mantan saya memperbaiki apa yang telali dihancurkannya.
(Omong-omong, seluruh hal tentang “menuntut tanggung jawabnya atas emosi saya” mungkin menjadi alasan utama yang membuatnya meminta putus dengan saya. Saya akan membahas hal ini secara lebih detail di dua bab ke depan.)
Kemudian, sekitar setahun berikutnya, sesuatu yang lucu terjadi. Saat saya menengok kembali hubungan kami, saya mulai menang' kap masalah yang tidak pemah saya sadari sebelumnya, masalah bahwa saya sering jadi orang yang disalahkan dan seharusnya saya dapat melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Saya menyadai bahwa saya sepertinya tidak pemah menjadi kekasih yang hebat,
dan bahwa seseorang tidak begitu saja berselingkuh dengan orang lain kecuali jika mereka tidak bahagia karena beberapa alasan.
Saya tidak lantas mengatakan kalau pemahaman ini membenarkan apa yang dilakukan mantan saya—sama sekali tidak Namun dengan mengenali kesalahan saya, saya terbantu untak menyadari bahwa saya bukanlah korban yang sepenuhnya tidak bersalah sebagaimana yang saya yakini selama ini. Bahwasanya, saya juga berperan sehingga hubungan yang kacau itu terns berlangsung selama itu. Lagi pula, orang lain yang menjalin hubungan sepertinya juga memegang nilai serupa. Dan jika saya mengencani seseorang dengan nilai-nilai yang buruk selama itu, lalu apa yang bisa disimpulkan mengenai saya dan nilai-nilai saya? Saya disadarkan, bahwa jika pacar-pacar Anda bersikap egois dan tega melukai Anda, maka sejatinya Anda pun juga demikian, Anda hanya tidak menyadarinya.
Saat menengok ke belakang, saya bisa melihat dan menyadari ada “semacam rambu-rambu” yang diberikan pacar saya yang seharusnya saya pahami, namun saya memilih tidak mengabaikan atau bahkan menghapus rambu-rambu itu ketika saya bersamanya. Itulah kesalahan saya. Ketika merefleksikan kembali, saya sadar bahwa saya tidak pemah menjadi Boyfriend of the Year baginya. Faktanya, saya sering bersikap dingin dan arogan terhadapnya; di kesempatan lain saya menyia-nyiakan dan membuatnya kecewa dan terluka. Hal-hal mi merupakan kesalahan saya juga.
Apakah kesalahan-kesalahan saya membenarkan perselingkuhan pacar saya? Tidak. Namun tetap saja, saya memiliki tanggung jawab untuk tidak pemah membuat kesalahan yang sama lagi, dan tidak pemah menganggap remeh rambu-rambu yang sama lagi, untuk membantu memastikan bahwa saya tidak akan pemah menderita konsekuensi yang sama lagi. Saya mengambil tanggung jawab, untuk turut berupaya agar hubungan saya dengan wanita lain di masa depan menjadi jauh lebih baik. Dan saya senang mengatakan bahwa saya memilikinya. Tidak ada lagi pacar yang selingkuh dan meninggalkan saya, tidak ada lagi 253 pukulan di perut saya. Saya bertanggung jawab atas permasalahan saya dan berusaha memper¬baikinya. Saya bertanggung jawab atas peran saya dalam hubungan yang tidak sehat itu dan berusaha memperbaikinya di hubungan yang berikutnya.
Dan tahukan Anda? Diputus oleh pacar, menjadi salah satu peng¬alaman yang paling menyakitkan yang pemah saya rasakan, sekaligus menjadi salah satu pengalaman hidup yang paling penting dan berpengaruh. Saya bersyukur karena im menginspirasi pertumbuhan pribadi saya secara signifikan. Saya belajar lebih banyak hal dari satu masalah itu daripada kombinasi puluhan kesuksesan saya.
Kita semua senang untuk ikut bertanggung jawab atas keberhasilan dan kebahagiaan. Malahan, kita justru lebih sering berebut menjadi yang bertanggung jawab atas sebuah keberhasilan dan kebahagiaan. Ingat, bertanggung jawab atas permasalahan kita jauh lebih penting, karena dari sanalah pembelajaran yang sesungguhnya berasal. Menyalahkan orang lain hanya akan melukai diri sendiri.

Menanggapi Tragedi

Lain bagaimana dengan peristiwa yang teramat buruk? Banyak orang tidak kesulitan untuk mengambil tanggung jawab terhadap masalah yang terkait dengan pekerjaan mereka, dan yang ten kait dengan kelalaian mereka atas penelantaran anak-anak atau kemalasan akibat terlalu sering menonton TV. Namun ketika ini
menyangkut suatu tragedi yang fatal, mereka menarik rem darurat “tanggung jawab” mereka, dan turun dari “kereta” setelah berhenti. Beberapa peristiwa terasa amat menyakitkan untuk diterima.
Tetapi pikirkan hal ini: kefatalan suatu peristiwa tidak mengubah kebenaran yang mendasarinya. Jika Anda, katakan saja, baru saja dirampok, jelas kesalahan tidak terletak pada Anda. Tidak ada orang yang memilih untuk mengalaminya. Namun, sama halnya dengan bayi yang terbaring di depan pintu rumah Anda, Anda dipaksa untuk mengambil tanggung jawab dalam situasi hidup-mati seperti itu. Apakah Anda melawan? Apakah Anda panik? Apakah Anda terpaku? Apakah Anda menghubungi polisi? Apakah Anda berusaha untuk melupakannya, dan pura-pura itu tidak pemah terjadi? Itu semua adalah pilihan dan tanggapan yang, dalam tanggung jawab Anda, Anda terima atau Anda tolak. Anda tidak memilih untuk dirampok, namun tetap saja Anda bertanggung jawab untuk mengelola dampak emosional dan psikologis (serta hukum) dari pengalaman tersebut.
Pada 2008, Taliban mengambil kendali lembah Swat, sebuah daerah terpencil di sebelah Timur Laut Pakistan. Mereka segera melaksanakan agenda ekstremis mereka. Tidak ada televisi. Tidak ada film. Tidak ada wanita yang berada di luar rumah tanpa didampingi pria. Tidak ada anak perempuan yang pergi ke sekolah.
Memasuki 2009, seorang gadis Pakistan berusia 11 tahun bernama Malala Yousafzai mulai bersuara melawan larangan untuk bersekolah bagi anak perempuan. Dia tetap masuk ke sekolah setempat, dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri dan nyawa ayahnya; dia juga mengikuti pertemuan-pertemuan di kota-kota terdekat. Dia menulis secara online, “Beraninya Taliban merampas hak saya untuk mendapatkan pendidikan?”
Pada 2012, saat berusia 14 tahun, di suatu hari dia ditembak tepat di wajahnya saat naik bis dari rumah menuju sekolah. Seorang tentara Taliban bertopeng dengan bersenjata laras panjang menaiki bus, dan bertanya, “Mana Malala? Katakan, atau kutembak semua orang di sini.” Malala menunjukkan dirinya (sebuah pilihan yang menakjubkan), lalu pria itu menembaknya di kepala di depan semua penumpang lainnya.
Malala koma dan hampir meninggal dunia. Taliban mengancam di depan publik bahwa kalaupun dia selamat, mereka akan membunuhnya dan ayahnya.
Hingga hari ini, Malala masih hidup. Dia masih berbicara dengan lantang melawan kekerasan dan tekanan terhadap para wanita di negara-negara Muslim, dan saat ini dia menjadi seorang penulis buku terlaris. Pada 2014, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian atas usahanya. Tampak bahwa kejadian ditembak di muka justru membuat suaranya didengar lebih luas, dan membuat dirinya lebih termotivasi daripada sebelumnya. Akan mudah baginya untuk bersembunyi dan berkata, “Saya tidak bisa melakukan apa-apa,” atau Saya tidak punya pilihan.” Yang, ironisnya, tetap menjadi pilihannya. Namun dia memilih sebaliknya.
Beberapa tahun lalu, saya menuliskan sejumlah ide dalam bab ini di blog saya, dan ada seorang pria yang memberi komentar. Dia berkata bahwa saya berpikiran dangkal, kemudian menambahkan kalau saya tidak punya pemahaman yang nyata tentang permasalahan kehidupan atau tanggung jawab manusia. Dia bercerita kalau anak laki-lakinya barn saja meninggal akibat kecelakaan mobil. Dia menuduh saya tidak tahu rasa sakit yang sesungguhnya dan mencaci saya karena menyarankannya untuk bertanggung jawab atas rasa sakit yang dirasakannya sepeninggal anaknya. 
Laki-laki ini jelas sekali merasakan penderitaan yang sangat besar dibandingkan dengan yang pemah dirasakan sebagian besar orang dalam hidup mereka. Dia tidak pemah memilih agar anaknya meninggal, atau karena kesalahannya anaknya meninggal. Tanggung jawab atas kehilangan itu diberikan kepadanya meskipun, secara jelas dan dapat dipahami, itu tidak diinginkan. Meskipun demikian, dia masih bertanggung jawab atas emosi, keyakinan, dan tindakannya sendiri. Bagaimana dia bereaksi terhadap kematian putranya adalah pilihannya sendiri. Rasa sakit, apa pun bentuknya, tidak bisa kita hindari, namun kita hams memutuskan apa maknanya bagi kita. Bahkan ketika mengklaim bahwa dia tidak punya pilihan dalam kejadian itu dan hanya ingin anaknya kembali, itu adalah sebuah pilihan—salah satu pilihan yang diambihrya.
Tentu saja, saya tidak mengatakan ini kepadanya. Saya terlalu takut dan mulai berpikir bahwa ya, mungkin saya sudah kehilangan akal sehat dan tidak tahu apa pun yang saya bicarakan. Itu adalah bahaya yang mengancam dalam pekerjaan saya. Sebuah masalah yang telah saya pilih. Dan permasalahan yang saya pilih menjadi tanggung jawab saya.
Awalnya, saya merasa sangat bersalah. Namun kemudian, setelah beberapa menit, saya mulai marah. Tuduhannya sungguh tidak beralasan, sama sekali lain dengan apa yang saya maksud, kata saya pada diri saya sendiri. Persetan! Hanya karena anak saya tidak meninggal lantas saya dituduh tidak pemah mengalami rasa sakit yang hebat.
Tapi kemudian saya menerapkan nasihat saya sendiri. Saya memilih masalah saya. Saya bisa saja marah kepada pria ini dan berdebat dengannya, mencoba membalaskan rasa sakit saya, yang hanya akan membuat kami berdua tampak tolol dan tidak peka.
Atau saya bisa saja memilih, masalah yang lebih baik, lebih bersabar, memahami pembaca saya dengan lebih baik, dan terus mengingat pria ini setiap kali menulis artikel berikutnya tentang rasa sakit dan trauma. Dan itulah yang saya coba.
Balasan saya pada pria tersebut sederhana, bahwasanya saya turut berbelasungkawa atas kehilangannya, itu saja. Apa lagi yang bisa Anda katakan?

Genetika dan Warisan

Di 2013, BBC mengumpulkan lusinan remaja dengan obsessive-com¬pulsive disorder (OCD) dan mengikuti mereka saat menjalani terapi intensif untuk membantu mereka mengatasi munculnya pikiran yang tidak diinginkan dan perilaku yang diulang-ulang.
Ada gadis remaja berusia 17 tahun bemama Imogen yang memiliki kebutuhan kompulsif untuk selalu menepuk setiap permukaan objek yang dilaluinya; jika dia gagal melakukannya, dia 'akan dibanjiri oleh pikiran yang menyeramkan bahwa keluarganya akan sekarat Ada Josh, yang memiliki kebutuhan untuk melakukan segala hal dengan dua sisi tubuhnya—bersalaman dengan tangan kanan dan kiri, makan dengan tangan kanan dan kiri, melangkah melalui pintu dengan kaki Jfanan dan kiri, dan semacamnya. Jika ia tidak “menye- imbangkari’ dua sisi tubuhnya, dia akan mengalami serangan kepanikan yang mengerikan. Ada juga Jack, contoh klasik seorang germo- phobe yang menolak untuk meninggalkan rumahnya tanpa memakai sarung tangan, merebus air sebelum meminumnya, dan tidak mau makanan yang tidak dibersihkan atau disiapkannya sendiri.
OCD merupakan penyimpangan syaraf dan genetika yang Pa' rail dan tidak bisa disembuhkan. Hal terbaik vang bisa dilakukan
adalah dengan mengelolanya. Dan, seperti yang kita semua lihat, mengelola perilaku yang menyimpang dimulai dengan pengelolaan nilai yang dimiliki seseorang.
Hal pertama yang dilakukan psikiater dalam proyek ini adalah mengatakan kepada anak-anak tersebut untuk menerima ketidak- sempumaan dari keinginan mereka yang kompulsif. Yang artinya, sebagai satu contoh, bahwa ketika Imogen dibanjiri pikiran yang mengerikan bahwa keluarganya sekarat, dia diajak untuk menerima kalau keluarganya memang akan meninggal suatu hari nanti dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegahnya; mengatakan kepadanya bahwa apa yang terjadi terhadapnya bukanlah kesalahannya. Josh dipaksa untuk menerima, dalam jangka panjang, bahwa tindakan “menyeimbangkan” semua perilakunya sehingga simetris sesungguhnya malah lebih menghancurkan hidupnya ketimbang serangan kepanikan yang kadang muncul. Dan Jack diingatkan bahwa entah apa pun yang dia lakukan, kuman akan selalu ada dan menyerangnya.
Sasaran terapi ini adalah untuk membuat anak-anak ini menyadari bahwa nilai-nilai yang mereka miliki tidak rasional bahwa sesungguhnya nilai-nilai tersebut tidak muncul dari diri mereka sendiri, melainkan lebih merupakan penyimpangan dan bahwa dengan mengikuti nilai yang irasional ini, mereka sebenarnya membahayakan fimgsi mereka dalam kehidupan.
Langkah berikutnya adalah menyemangati anak-anak untuk memilih suatu nilai yang lebih penting daripada nilai OCD mereka, dan berfokus pada nilai tersebut. Bagi Josh, ini adalah peluang untuk tidak selalu menyembunyikan perilaku menyimpang yang dimilikinya dari teman-teman dan keluarga, harapan untuk memiliki Aatu kehidupan sosial yang normal. Bagi Imogen, idenya adalah untuk mengambil alih kendali atas pikiran dan perasaannya sendiri serta kembali ceria. Dan untuk Jack, targetnya adalah ia mampu meninggalkan rumahnya dalam periode waktu yang lama tanpa mendapatkan pengalaman traumatis yang menyiksa.
Dengan nilai-nilai barn yang ada di benak mereka, para remaja ini berlatih mengatasi keresahan mereka yang intensif dengan memaksa diri mereka untuk menghidupi nilai hidup mereka yang barn. Serangan kepanikan terjadi; tangis pecah; Jack memukuli pajangan yang ada di dekatnya dan kemudian segera mencuci tangannya. Dan di akltir program dokumenter itu, tampak kemajuan besar yang diraih. Imogen tidak lagi butuh menyentuh setiap permukaan benda yang ditemuinya. Dia berkata, “Masih ada monster di pikiran saya, dan mungkin akan selalu ada, tapi monster itu menjadi lebih tenang sekarang.” Josh mampu melewati 25 hingga 30 menit tanpa harus “menyeimbangkan” tubuh kanan dan kirinya. Dan Jack, yang mungkin mengalami perkembangan paling pesat, sekarang mampu pergi ke restoran dan minum dari botol dan gelas tanpa harus mencucinya terlebih dahulu. Jack merangkum semua yang telali dipelajarinya dengan baik: “Saya tidak memilih kehidupan yang seperti ini; Saya tidak memilih kondisi yang sangat mengerikan ini. Namun saya harus memilih bagaimana untuk menghidupinya; Saya harus memilih bagaimana saya bisa hidup dengan keadaan ini.”
Banyak orang terlahir dengan kekurangan, entah OCD atau bertubuh kecil atau sesuatu yang sangat berbeda, seakan-akan mereka menyimpang dan sesuatu yang sangat bemilai. Mereka merasa tidak ada yang dapat mereka lakukan, jadi mereka menghindari tanggung jawab atas situasi mereka. Mereka tahu, “Saya tidak memilih genetik yang buruk ini, jadi bukan salah saya jika terjadi hal-hal yang buruk.”
Dan benar, itu bukan salah mereka.
Tetapi mereka tetap harus bertanggung jawab.
Dulu di masa-masa kuliah saya, saya punya fantasi menjadi seorang pemain poker profesional. Saya memenangkan uang dan segalanya, dan itu menyenangkan, namun setelah hampir setahun menggeluti bidang ini, saya berhenti. Kebiasaan begadang menatap layar komputer, memenangkan ribuan dolar sehari, dan kehilangan hampir semuanya keesokan hari, jelas bukan untuk saya, dan itu juga bukan cara mendapatkan penghasilan yang paling stabil secara kesehatan dan emosional. Namun permainan poker secara mengejutkan memiliki pen gar uh yang kentara pada cara saya memandang kehidupan.
Keindahan permainan poker ada pada bahwa sekalipun bersandar pada keberuntungan, keberuntungan itu tidak menentukan hasil akhir pertandingan. Seseorang bisa saja mendapatkan kartu yang jelek, dan mengalahkan seseorang dengan kartu yang sangat bagus. Tentu, orang yang mendapatkan kartu yang bagus di atas kertas sepertinya memiliki kesempatan menang lebih besar, tetapi pada akhimya sang pemenang ditentukan oleh—ya, bisa Anda tebak—pilihan yang dibuat setiap pemain selama permainan berjalan.
Saya memandang kehidupan dengan cara yang kurang lebih sama. Kita semua mendapatkan kartu. Beberapa dari antara kita mendapat kartu yang lebih bagus daripada lainnya. Dan meskipun mudah saja untuk menyerah, dan merasa bahwa kita telah dikalahkan, permainan yang sebenamya terletak pada pilihan yang kita buat terhadap kartu tersebut, pilihan risiko yang akan kita ambil, dan pilihan konsekuensi yang akan kita jalani. Orang-orang yang secara konsisten membuat pilihan terbaik dalam situasi apa pun
adalah mereka yang pada akhimya memenangkan permainan ini, seperti halnya dalam kehidupan. Dan itu tidak harus mereka yang memiliki kartu terbaik.
Benar ada beberapa orang yang secara psikologis dan emosional menderita akibat kelainan syaraf dan/atau genetik. Tetapi itu tidak mengubah apa pun. Tentu, mereka mewarisi sesuatu yang buruk, dan tidak boleh disalahkan. Kita tidak bisa menyalahkan seorang pria pendek yang ingin berkencan, hanya karena dia pendek. Atau korban perampokan disalahkan karena dia dirampok. Meski demikian itu masih tetap menjadi tanggung jawab mereka. Entah mereka memilih untuk mendapatkan bantuan psikiater, terapi, atau tidak melakukan apa pun, pada akhimya mereka tetap harus membuat pilihan. Ada orang-orang yang menderita karena masa kanak-kanak yang buruk. Ada yang dilecehkan dan mengalami kekerasan bahkan dihancurkan secara fisik, emosional, finansial. Mereka tidak dapat disalahkan atas masalah dan hambatan mereka, tetapi mereka tetap bertanggung jawab—senantiasa bertanggung jawab—untuk melanjutkan hidup, apapun permasalahan yang mereka hadapi, dan membuat pilihan terbaik semampu mereka dalam situasi apa pun.
Dan marilah kita jujur di sini. Seandainya Anda berusaha meng- umpulkan siapa saja yang mengalami penyimpangan kejiwaan, bertarung melawan depresi dan pikiran untuk bunuh diri, yang terabaikan atau diperlakukan dengan kejam, dilanda tragedi atas meninggalnya orang tercinta, dan mampu bertahan dari berbagai isu kesehatan yang parah, kecelakaan, atau trauma—jika Anda mengumpulkan semua orang itu dalam satu ruangan, maka, sepertinya Anda akan memasukkan setiap orang di muka bumi, karena tidak seorang pun dapat melalui kehidupan tanpa membawa bekas Iuka di pintu keluar.
Tentu, beberapa orang terbebani dengan masalah yang lebih parah ketimbang orang lain. Dan beberapa orang ditimpa aneka bencana secara mengerikan. Namun meskipun sedikit banyak ini mungkin membuat kita jengkel atau terganggu, pada akhimya ini tidak mengubah apa pun mengenai tanggung jawab yang melekat pada situasi pribadi kita.

"Tren Menjadi Korban"

Salah kaprah tentang tanggung jawab/rasa salah membuat orang- orang melemparkan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah mereka kepada orang lain. Kemampuan untuk melepaskan tanggung jawab dengan cara menyalalikan orang lain, memberikan kenikmatan yang cuma sementara, juga memberikan sensasi kenikmatan menjadi orang yang benar/baik secara moral.
Sayangnya, salah satu efek samping dari Internet dan media sosial adalah semakin mudahnya, dibandingkan masa-masa sebelumnya, melemparkan tanggung jawab—bahkan mengenai pelanggaran kecil—kepada kelompok atau orang lain. Faktanya, permainan menyalahkan/mempermalukan di lingkup publik ini telah menjadi populer; dalam kalangan tertentu ini bahkan dipandang sebagai sesuatu yang “keren”. Menyebarkan “ketidakadilan” kepada publik memanen perhatian dan emosi yang jauli lebih banyak dan menarik ketimbang sebagian besar peristiwa lain di media sosial, serta mampu memberikan imbalan berupa perhatian dan simpati yang berlimpah ruah, kepada orang-orang yang mampu secara terus- menerus merasa menjadi korban.
“Tren Menjadi Korban” merupakan tren yang berlaku baik untuk mereka yang berpandangan kanan atau kiri sekarang nu, mere-
0 0 J n bak di antara yang kaya dan yang miskin. I'nkinnya, ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah manusin bnhwn setiap kelompok demografik merasa menjadi korban ketidakadilan secara terus menerus. Dan mereka semua dengan sengaja menunggangi kugeram- an. moral yang menyertainya.
Sekarang ini, siapa pun yang merasa diserang tentang apa pun entah bahwa faktanya buku tentang rasisme diberikan di bangku kuliah, atau bahwa pohon Natal dilarang dipajang di mal setempat, atau fakta bahwa pajak dinaikkan setengah persen untuk dana investasi—merasa seakan-akan mereka sedang ditekan dengan cara sedemikian rupa, dan karena itu berhak meluapkan amarah mereka, dan untuk mendapatkan sejumlah perhatian tertentu.
Iklim media saat ini secara bersamaan mendorong sekaligus me- langgengkan reaksi semacam ini karena itu menguntungkan untuk bisnis. Penulis dan komentator media Ryan Holiday menyebut hal ini sebagai “pornografi kemarahan”: ketimbang melaporkan kisah dan masalah yang sesungguhnya, media tahu bahwa akan lebih mudah (dan lebih menguntungkan) mencari sesuatu yang bersifat sedikit menyerang suatu pihak, menyebarkan kepada audiens luas, menciptakan kemarahan, dan kemudian menyiarkan kembali kemarahan itu ke seluruh populasi manusia dengan sebuah cara yang memicu kemarahan sebagian populasi lainnya. Ini memicu semacam gaung omong kosong yang memantul bolak balik di antara dua sisi imajiner, dan di saat yang bersamaan mengalihkan setiap orang dari masalah sosial yang sebenamya. Tidak mengherankan kita semakin terpolarisasi secara politik dibanding sebelum- sebelumnya.
Masalah terbesar dari “Tren Menjadi Korban” adalah bahwa ini semakin menjanhkan perhatian kita dari korban yang sesungguhnya. Ini seperti bocah laki-laki yang menirukan lolongan serigala. Se
makin banyak orang yang menyatakan dirinya korban atas suatu pelanggaran kecil, akan semakin sulit untuk melihat siapa korban yang sebenamya.
Orang-orang pun menjadi kecanduan; merasa dirinya tak henti- hentinya diserang karena ini memberi mereka kenikmatan; menjadi pihak yang dibenarkan, dan secara moral menjadi superior itu terasa enak. Seperti yang di gambar seorang kartunis politik Tim Kreider di New York Times op-ed: “Luapan kemarahan seperti banyak hal lainnya terasa enak tapi setelah beberapa lama itu akan menelan kita dari dalam. Dan ini bahkan lebih berbahaya daripada kejahatan itu sendiri karena kita bahkan, secara tidak sadar, mengakui kalau itu sebuah kenikmatan.”
Namun bagian dari hidup dalam sebuah masyarakat yang demokratis dan bebas adalah bahwa kita semua hams berhadapan dengan berbagai pandangan dan orang yang berseberangan dengan kita. Itulah harga yang kita bayar—Anda bahkan dapat berkata kalau memang itulah seluruh inti dari sistem demokrasi. Dan kelihatannya semakin banyak orang yang melupakan hal tersebut.
Kita disarankan untuk memilih pertempuran kita dengan hati- hati, sambil terus menerus mencoba sedikit berempati terhadap mereka yang kita sebut musuh. Sebaiknya kita mendahulukan nilai- nilai kejujuran, memelihara keterbukaan, dan menerima keraguan yang muncul atas nilai-nilai seperti merasa paling benar, merasa enak, dan membalas dendam. Nilai-nilai “demokratis” di atas akan sulit dipertahankan di tengah-tengah selalu bisingnya dunia yang terhubung satu sama lain. Tetapi kita, suka tidak suka, harus menerima tanggung jawab tersebut dan merawatnya. Stabilitas sistem politik kita di masa depan bisa saja bergantung pada hal ini.

Tidak Ada "Bagaimana"

Banyak orang mungkin mendengar semua hal ini, dan kemudian mengatakan sesuatu seperti, “Oke, tapi bagaimana? Saya sadar bahwa nilai yang saya miliki payah, dan bahwa saya menghindari tanggung jawab dari semua permasalahan saya, dan bahwa saya orang cengeng yang berpikir bahwa dunia harus mengitari saya beserta setiap ketidaknyamanan yang saya alami—namun bagaimana saya bisa berubah?”
Dan mengenai hal ini saya katakan, dengan menirukan gaya bi cara Yoda sepersis mungkin: “Lakukan, atau jangan lakukan; tidak ada‘bagaimana’.”
Anda sudah memilih, di setiap momen di setiap hari, apa yang Anda pedulikan, jadi berubah itu sesederhana memilih untuk me- medulikan hal lain.
Sungguh sesederhana itu. Tapi itu tidak mudah
Ini tidak mudah karena pada awalnya Anda akan merasa seperti seorang pecundang, penipu, tolol. Anda akan merasa gugup. Anda akan ketakutan. Anda mungkin akan marah kepada istri atau teman atau ayah Anda dalam proses ini. Itu semua adalah efek samping dari mengubah nilai, mengubah apa yang Anda pedulikan. Tetapi itu tidak bisa dihindari.
Ini sederhana namun sungguh, sungguh berat.
Mari kita lihat beberapa efek sampingnya. Anda akan merasa tidak yakin; saya jamin. “Haruskah saya sungguh merelakan ini- Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?” Melepaskan suatu nilai yang telah melekat pada Anda selama bertahun-tahun akan membuat Anda mengalami disorientasi, karena Anda tidak tahu lagi mana yang baik 
Berikutnya, Anda akan merasa telah gagal. Anda telah meng- habiskan separuh hidup Anda mengukur diri Anda menggunakan nilai yang lama tersebut, jadi ketika Anda mengganti prioritas, mengubah ukuran Anda, dan berhenti melakukan perilaku yang sama, Anda akan gagal menemukan ukuran lama vang tepercaya itu dan karenanya Anda akan segera merasakan semacam kepalsuan atau merasa tidak menjadi siapa pun. Ini juga merupakan hal yang normal dan juga tidak nyaman.
Dan Anda pasti akan mengalami penolakan. Banyak hubungan dalam hidup Anda dibangun di atas nilai-nilai yang Anda jaga, jadi momen saat Anda mengubah nilai tersebut—momen Anda memutuskan bahwa belajar lebih penting daripada berpesta, bahwa menikah dan membangun sebuah keluarga lebih penting daripada gonta-ganti pasangan seks, bahwa melakukan pekerjaan yang Anda yakini lebih penting daripada uang—perubahan Anda ini akan menggema dalam seluruh hubungan Anda, dan banyak di antaranya akan meledak di muka Anda. Ini juga hal yang normal dan tidak akan membuat nyaman.
Ini penting, meskipun menyakitkan, efek samping dari membuat pilihan untuk memindahkan kepedulian Anda ke tempat lain, di tempat yang jauh lebih penting dan layak bagi energi Anda. Ketika Anda menyortir ulang nilai-nilai Anda, Anda akan menemui penolakan secara internal dan ekstemal dalam perjalanan Anda. Lebih dari itu, Anda akan merasa tidak yakin; Anda akan bertanya- tanya apakah yang Anda lakukan salah.
Namun seperti yang akan kita lihat, ini adalah hal yang baik.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02