The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 05
Anda Selalu Memilih
Bayangkan seseorang meletakkan
ujung pistol di kepala Anda dan menyuruh Anda lari sejauh 26.2 mil dalam wak¬tu
kurang dari 5 jam, atau dia akan membunuh Anda dan seluruh keluarga Anda.
Rasanya sungguh keparat.
Sekarang bayangkan Anda membeli
sepasang sepatu yang ba- gus dan perlengkapan lari, berlatih dengan tekun
selama berbu- lan-bulan, lalu menyelesaikan maraton pertama Anda, disambut
sorak-sorai seluruh keluarga dan teman terdekat Anda saat men- capai garis
finis.
Itu sangat mungkin menjadi salali
satu peristiwa paling mem- banggakan dalam hidup Anda. Jarak yang persis sama
26.2 mil. Pelari yang sama. Rasa sakit yang sama yang menjalar ke kaki yang
juga sama. Namun ketika Anda memilih dengan bebas dan siap menghadapinya, itu
menjadi batu loncatan yang gemilang dan penting dalam hidup Anda. Tapi ketika
Anda dipaksa melawan ke- hendak Anda, itu menjadi pengalaman yang paling
menakutkan, dan menvakitkan dalam hidun Anda.
Seringkali satu-satunya perbedaan
apakah suatu masalah terasa menyakitkan atau menguatkan adalah pilihan yang
kita buat, dan bahwa kita memiliki tanggung jawab terhadapnya.
Jika Anda merasa sedih dengan
situasi Anda saat im, kemung- kinannya adalah karena Anda merasa ada sebagian
hal yang berada di luar kendali Anda—bahwa ada masalah yang tak kuasa Anda
selesaikan, sebuah masalah yang entah bagaimana mendesak Anda meski itu bukan
pilihan Anda.
Saat kita merasa memilih sendiri
masalah yang kita hadapi, kita merasa lebih berkuasa. Ketika kita merasa bahwa
suatu masalah datang karena dipaksakan, bertentangan dengan kehendak kita, kita
merasa menjadi korban dan menjadi sedih.
Pilihan William James punya masalah.
Masalah yang amat buruk.
Meskipun lahir di sebuah keluarga
yang kaya dan terpandang, sejak lahir James menderita masalah kesehatan yang
mengancam hidupnya: masalah mata yang membuatnya buta temporer ketika masih
kanak-kanak; kondisi perut akut yang membuatnya muntah berlebihan dan
memaksanya harus menerapkan suatu diet ketat dan super sensitif; masalah dengan
pendengarannya; kejang urat punggung parah yang membuatnya tidak dapat duduk
atau berdiri tegak selama berhari-hari.
Karena masalah kesehatan ini,
James menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Dia tidak punya banyak
teman, dan juga dak terlalu istimewa di sekolah. Dia melalui hari-harinya
dengan melukis. Im adalah satu-satunya hal yang disukainya dan im adalah
satu-satunya hal yang menjadi kemahirannya.
Sayangnya, tidak ada yang
mengakui bakat melukisnya. Ketika dia tumbuh dewasa, tidak ada yang membeli
karyanya. Dan setelah tahun demi tahun berlalu, ayahnya (seorang pebisnis kaya
raya) mulai mengolok-olok dirinya karena malas dan kurang berbakat.
Sementara itu, adiknya, Henry
James, menapaki karier sebagai novelis terkenal dunia; saudara perempuannya,
hidup layak sebagai penulis juga. William menjadi orang aneh di keluarganya,
seekor kambing hitam.
Dalam upaya yang penuh
keputusasaan untuk menyelamatkan masa depan putranya, sang ayah menggunakan
koneksi bisnisnya agar James diterima di Sekolah Kedokteran Harvard. Itu adalah
kesempatan terakhir, begitu kata ayahnya. Jika dia mengacaukannya, tidak ada
harapan lagi untuknya.
Namun James tidak pernah merasa
kerasan atau damai di Harvard. Kedokteran tidak pernah menarik minatnya. Dia
menghabiskan seluruh waktunya dengan perasaan seperti seorang penipu dan
seseorang yang bukan dirinya. Bagaimanapun juga, jika dia tidak berhasil
mengatasi masalahnya sendiri, bagaimana dia bisa berharap punya energi yang
cukup untuk menolong orang lain dengan permasalahan mereka sendiri? Setelah
suatu hari berkeliling fasilitas psikiatris, James menulis dalam buku hariannya
kalau dia merasa lebih menyerupai pasien ketimbang dokter.
Beberapa tahun berlalu dan, tanpa
persetujuan ayahnya, James keluar dari sekolah kedokteran. Dan daripada menghadapi
murka ayahnya, dia memutuskan untuk lari: mendaftarkan diri ke ekspedisi
antropologi ke hutan hujan Amazon.
Di 1860-an, perjalanan antarbenua
sulit dan berbahaya. Jika Anda pernah memainkan Oregon Trail di komputer saat
masih anak-anak, seperti itulah
gambarannya, ada disentri dan sapi-sapi yang tenggelam dan semuanya. Singkat kata, sampailah James ke
Amazon, tempat petualangan yang sesungguhnya dimulai. Secara mengejutkan,
dengan kesehatan yang ringkih itu, dia mampu bertahan sepanjang perjalanan.
Namun begitu dia mendarat, di hari pertama ekspedisinya, dia langsung terkena
cacar air dan hampir mati di rimba
Kemudian kejang urat di
punggungnya kumat lagi, rasa sakitnya bahkan membuat James tidak mampu
berjalan. Ketika itu badannya kurus kering, kelaparan dan kena cacar air, tidak
mampu bergerak karena sakit parah di punggungnya, dan ditinggal sendirian di
tengah Amerika Selatan (sisa peserta ekspedisi telah pergi meninggalkanya)
tanpa peluang yang jelas untuk pulang—sebuah perjalanan yang makan waktu
berbulan-bulan dan sepertinya akan membunuhnya bagaimanapun juga.
Tetapi entah bagaimana pada
akhimya dia mampu kembali ke New England, di mana dia disambut oleh ayahnya
yang kecewa berat (kini kekecewaannya semakin bertambah). Kini, anak muda itu
tidak lagi muda hampir 30 tahun, masih belum punya pekerjaan, selalu gagal di
setiap usahanya, dengan sakit yang terus-terusan merongrong tubuhnya, dan
sepertinya tidak akan pemah membaik. Meskipun kemudahan dan kesempatan telah
diberikan dalam hidupnya, semuanya telah berantakan. Satu-satunya hal yang
tampak konstan dalam hidupnya adalah penderitaan dan kekecewaan. James jatuh ke
dalam depresi berat dan mulai berencana mengakhiri hidupnya.
Tetapi suatu malam, sambil
membaca teks tulisan filosof Peirce, James memutuskan untuk melakukan sebuah
eks perimen kecil. Dalam buku hariannya, dia menulis bahwa dia, dalam setahun,
akan berusaha meyakini bahwa dia bertanggung jawab 100 persen atas segala hal
yang terjadi dalam hidupnya, apa pun itu. Selama periode tersebut, dia akan
melakukan apa pun yang ada dalam kuasanya untuk mengubah keadaannya, bodo amat
dengan kegagalan macam apa yang akan muncul. Jika tidak ada yang membaik dalam
tahun itu, kesimpulannya dia memang tidak punya daya apa pun terhadap situasi
di sekitamya, dan dia akan mengucap selamat tinggal kepada dunia.
Akhir kata? William James menjadi
bapak psikologi Amerika. Karyanya telah diterjemahkan ke banyak bahasa, dan dia
dihormati sebagai salah satu cendekiawan/filsuf/psikolog paling berpengaruh
dari generasinya. Dia mengajar di Harvard dan berkeliling Amerika Serikat dan
Eropa untuk memberikan kuliah. Dia menikah dan memiliki 5 anak (salah satunya,
Henry, menjadi penulis biografi terkenal, dan memenangkan Pulitzer Prize).
James kemudian memberi judul eksperimen kecilnya “lahir kembali,” dan bersyukur
atas setiap hal yang telah dilaluinya dalam hidupnya.
Semua peningkatan dan pertumbuhan
pribadi muncul berkat adanya sebuah kesadaran sederhana. Kesadaran itu adalah
bahwasanya, kita secara pribadi bertanggung jawab atas segala hal dalam hidup
kita, tak peduli seperti apa kondisi di luar diri kita.
Kita tidak bisa selalu mengambil
kendali terhadap apa yang terjadi pada kita. Namun kita selalu bisa
mengendalikan cara kita menafsirkan segala hal yang menimpa kita, dan cara kita
merespons.
Entah kita menyadarinya atau
tidak, kita selalu bertanggung jawab atas pengalaman diri kita. Mustahil kita
tidak bertanggung- jawab. Memilih, dengan sadar, untuk tidak menafsirkan
peristiwa dalam hidup kita tetaplah sebuah penafeiran terhadap peristiwa
kehidupan kita. Memilih untuk tidak menanggapi peristiwa dalam hidup kita tetap
saja sebuah tanggapan terhadap peristiwa tersebut. Bahkan jika Anda ditabrak
mobil badut dan dibuat kesal oleh satu bus penuh anak-anak sekolah, Anda masih
bertanggung jawab untuk menginterpretasikan makna di balik suatu peristiwa dan
untuk memilih respons yang seperti apa.
Suka atau tidak, kita selalu
berperan aktif dalam apa yang sedang terjadi terhadap dan dalam diri kita. Kita
selalu menafsirkan makna dari setiap peristiwa dan kejadian. Kita selalu
memilih nilai-nilai yang kita hidupi dan ukuran yang kita gunakan untuk menilai
setiap hal yang terjadi pada kita. Sering satu peristiwa yang sama bisa menjadi
baik atau buruk, bergantung pada ukuran yang kita pilih.
Intinya adalah, kita selalu
menjatuhkan pilihan, entah kita sadari atau tidak. Selalu.
Ini kembali pada kenyataan bahwa
tidak ada yang namanya tidak peduli. Ini tidak mungkin. Kita semua pasti
memedulikan sesuatu. Tidak peduli tentang apa pun tetap saja sebuah bentuk
kepedulian tentang sesuatu.
Pertanyaan yang sesungguhnya
adalah, kita memilih untuk me¬medulikan apa? Nilai apa yang kita pilih sebagai
dasar dari tindakan kita? Ukuran apa yang kita pilih untuk kita gunakan sebagai
pengukur kehidupan kita? Dan apakah itu pilihan yang «-apakah nilai dan
ukurannya baik?
Salah Kaprah Tanggung Jawab Rasa Salah
Bertahun-tahun lalu, ketika saya
lebih muda dan lebih bodoh, saya menulis sebuah blog, dan di bagian penutup
saya menulis kurang lebih begini, “Dan seperti kata seorang filsuf: ‘Kekuatan
yang besar menuntut tanggung jawab yang besar.’” Ini terdengar keren dan ber-
wibawa. Saya hipa siapa yang mengatakan hal itu, dan pencarian di mesin Google
saya tidak menunjukkan hasil apa pun, jadi saya biarkan saja tertulis demikian.
Terasa pas dengan postingan saya.
Sekitar 10 menit kemudian,
komentar pertama masuk: “Kayaknya ‘sang filsuf hebaf yang Anda sebut itu adalah
Paman Ben dari film Spider-Man. ”
Seperti kata filsuf besar lain,
“Dull!”
“Kekuatan yang besar menuntut
tanggung jawab yang besar.” Kata-kata terakhir Paman Ben sebelum seorang
pencuri, yang dibiarkan lolos oleh Peter Parker, membunuhnya di trotoar yang
dipadati orang tanpa alasan yang bisa diterima. Dial ah sang filsuf hebat.
Kita masih sering mendengar
kutipan tersebut. Kata-kata ini sering keluar—biasanya terdengar ironis, dan
muncul setelah menenggak gelas bir ketujuh. Ini adalah salah satu kutipan yang
sempuma dan terdengar sangat intelektual, namun pada intinya hanya mengatakan
kepada Anda apa yang telah Anda ketahui, bahkan ketika Anda tidak pemah
memikirkan hal tersebut sebelumnya.
“Kekuatan yang besar menuntut
tanggung jawab yang besar.”
Ini benar. Namun ada versi lain
yang lebih baik dari kutipan ini, yang sebenamya dalam, dan yang hams Anda
lakukan adalah menukar posisi kata bendanya: “Tanggung jawab yang besar
menuntut kekuatan yang besar.”
Semakin kita memilih untuk
menerima tanggung jawab dalam kehidupan kita, semakin besar kekuatan yang
dibutuhkan untuk menjalani kehidupan. Menerima tanggung jawab atas masalah yang
kita hadapi menjadi langkah pertama untuk menyelesaikannya.
Saya pemah mengenal seorang pria
yang mengaku bahwa alasan di balik tidak ada seorang wanita pun yang man diajak
berkencan adalah karena dia terlalu pendek. Pria ini terpelajar, menarik, dan
tampan—yang jelas, tipe yang sangat ideal namun dia sungguh yakin kalau dia
terlalu pendek untuk bisa kencan dengan wanita.
Dan karena dia merasa terlalu
pendek, dia jarang pergi keluar dan mencoba untuk berkenalan dengan seorang
wanita. Dia pernah mencoba beberapa kali, dan perhatiannya justru tertuju pada
segelintir perangai dari cewek tersebut, yang menurutnya mengindikasikan bahwa
ia tidak cukup menarik di mata si cewek, dan itu sudah membuatnya yakin bahwa
cewek tersebut sungguh tidak menyukainya, meskipun sebenamya si cewek suka.
Bisa Anda bayangkan betapa payah kehidupan asmaranya.
Apa yang tidak disadarinya adalah
bahwa dia telah memilih nilai yang justru menyakiti dirinya sendiri: tinggi
badan. Wanita, dalam benaknya, hanya tertarik pada pria yang tinggi. Dia tamat,
masa bodoh apa pun yang dilakukannya.
Pilihan atas nilai ini
melemahkan. Hal itu memberi pria ini masalah yang pelik: menjadi orang yang
tidak cukup tinggi dalam dunia yang diciptakan (dalam pandangannya) hanya untuk
orang- orang yang tinggi semampai. Masih ada berbagai nilai yang jauh lebih
baik yang bisa digunakan dalam kehidupan percintaannya.
Saya cuma ingin mengencani wanita
yang menyukai saya apa adanya mungkin dapat menjadi awal yang baik—ukuran yang
menilai kejujuran dan penerimaan. Namun dia tidak memilih nilai ini. Sepertinya
dia balikan tidak sadar kalau dia sedarig (atau bisd) memilih satu nilai atau
lebih. Tanda disadari, dia sesungguhnya bertanggung jawab atas masalahnya.
Alih-alih bertanggung jawab, dia
justru mengeluh: “Tapi saya tidak punya pilihan,” omelnya kepada bartender.
“Saya tidak bisa berbuat apa-apa! Wanita itu berpikiran dangkal dan angkuh dan
tidak akan pemah menyukai saya!” Benar, ini merupakan kesalahan setiap wanita
untuk tidak menyukai pria yang suka mengasihani diri sendiri, yang berpikiran
dangkal dengan nilai-nilai yang payah. Jelas sekali.
Banyak orang enggan bertanggung
jawab atas permasalahan mereka karena mereka percaya bahwa mengambil tanggung
jawab terhadap suatu masalah sama dengan menjadi pihak yang dipersalahkan atas
masalah Anda.
Tanggung jawab dan kesalahan
sering tampil bebarengan dalam budaya kita. Tetapi kedua hal itu tidak sama.
Jika saya menabrak Anda dengan mobil saya, saya bersalah dan bertanggung jawab
secara hukum untuk memberikan ganti rugi kepada Anda entah bagaimana caranya.
Bahkan jika saya tidak sengaja menabrak Anda, saya masih harus bertanggung
jawab. Beginilah pihak yang bersalah ditentukan dalam masyarakat kita: jika
Anda mengacau, Anda hams memperbaikinya. Dan seharusnya memang seperti itu.
Ada juga masalah di mana kita
tidak bisa dipersalahkan dan masih bertanggung jawab terhadapnya.
Sebagai contoh, jika Anda bangun
di suatu pagi dan menemukan bayi yang masih merah di depan pintu rumah Anda,
jelas ini bukan kesalahan Anda kalau si bayi ditinggalkan di sana, namun bayi
tersebut sekarang menjadi tanggung jawab Anda. Anda kemudian memutuskan akan
melakukan sesuatu. Dan entah apa pun pilihan Anda nantinya (merawatnya,
membuangnya, mengabaikannya, menjadikannya makanan pit bull), itu merupakan
masalah
yang terkait dengan pilihan
Andaman Anda akan bertanggung jawab terhadapnya juga.
Hakim tidak bisa memilih kasus
yang dihadapi. Ketika sebuah kasus sampai di pengadilan, hakim yang ditugasi
untuk menangani perkara tersebut tidak melakukan kejahatan, bukan saksi
kejahatan, dan tidak terkena imbas dari kejahatan itu, namun ia tetap
bertanggung jawab atas kejahatan tersebut. Sang hakim lantas harus memilih
beberapa konsekuensi; dia harus mengidentifikasi ukuran untuk menilai kejahatan
tersebut dan memastikan bahwa ukuran yang tersebut sungguh dipakai secara
konsisten.
Kita bertanggung jawab atas
hal-hal yang bukan merupakan ke- salahan kita. Inilah bagian kehidupan.
Berikut ini cara untuk memahami
perbedaan ataran 2 konsep tersebut. Kesalahan adalah bentuk lampau (past
tense). Tanggung jawab adalah bentuk kini (present tense). Kesalahan merupakan
hasil dari pilihan-pilihan yang telah diambil. Tanggung jawab merupakan hasil
dari pilihan yang sedang Anda ambil saat ini, setiap detik, setiap hari. Anda
sedang memilih untuk membaca buku ini. Anda sedang memilih untuk menerima atau
menolak konsep ini. Jika menurut Anda, ide saya di buku ini payah, maka itu
adalah kesalahan saya, namun Anda bertanggung jawab atas kesimpulan yang Anda
ambil tersebut. Bukan kesalahan Anda jika saya memilih untuk menulis kalimat
ini, namun Anda tetap bertanggung jawab ketika memilih untuk membacanya (atau
tidak).
Ada perbedaan antara menyalahkan
seseorang atas situasi yang terjadi pada Anda dan bahwa orang tersebut memang
sungguh ber¬tanggung jawab atas keadaan yang Anda alami. Tidak ada seorang pun
yang bertanggung jawab atas keadaan Anda kecuali diri Anda sendiri. Banyak
orang yang mungkin disalahkan atas ketidakbaha-
giaan Anda, namun tidak seorang
pun yang bertanggung jawab atas ketidakbahagiaan Anda selain Anda. Ini karena
Anda selalu harus memilih bagaimana Anda memandang sekitar Anda, bagaimana Anda
bereaksi terhadapnya, bagaimana Anda menilai sesuatu. Anda selalu harus memilih
ukuran yang Anda gunakan untuk menilai pengalaman Anda.
Pacar saya yang pertama
mencampakkan saya dengan cara yang spektakuler. Diaberselingkuli dengan
gurunya. Itu luar biasa. Dan, yang saya maksud dengan “luar biasa”, persisnya
seperti dipukul sebanyak 253 kali di perut. Lebih apes lagi, ketika saya
meminta penjelasan padanya tentang hal ini, dia justru meminta putus, dan
langsung “nempel” ke pelukannya. Tiga tahun bersama, hanya berakhir seperti
itu.
Saya nelangsa selama beberapa
bulan sesudahnya. Sudah saya duga sebelumnya. Tetapi saya juga berpikir bahwa
dialah yang bertanggung jawab atas kepedihan saya. Dengan begitu, ini justru
tidak membuat saya bisa melangkah ke depan. Itu hanya membuat rasa pedih
semakin parah.
Lihat, saya tidak bisa
mengendalikan dia. Tidak peduli berapa kali saya memanggil-manggilnya, atau
meneriakkan namanya, atau memohon agar dia man kembali ke pelukan saya, atau
membuat kunjungan kejutan ke tempatnya, atau hal-hal mengerikan dan irasional
lain yang biasa dilakukan seorang mantan, saya tidak akan pemah bisa
mengendalikan emosi atau tidakannya. Pada akhimya, meskipun dia yang patut
disalahkan atas apa yang saya rasakan, dia tidak pemah bertanggung jawab atas
apa yang saya rasakan. Sayalah yang harus bertanggung jawab.
Pada suatu titik, setelah aliran
air mata dan alkohol dirasa telah cukup, saya mulai berpikir dan memahami bahwa
meskipun dia telah melakukan sesuatu yang buruk kepada saya dan dia layak
disalahkan, sekarang tanggung jawab sayalah untuk membuat diri saya kembali
gembira. Dia tidak akan pemah muncul dan memperbaiki segala hal yang terjadi
pada saya. Saya harus memperbaikinya sendiri.
Ketika saya melakukan pendekatan
itu, beberapa hal mulai terjadi. Pertama, saya memulihkan diri saya. Saya mulai
berolahraga dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman saya (yang
telali saya abaikan). Saya mulai, dengan sukarela, menemui orang¬orang baru.
Saya melakukan banyak perjalanan studi ke luar negeri dan menjadi relawan. Dan
perlahan, saya mulai merasa lebih baik.
Saya masih kesal dengan mantan
saya atas apa yang telah dilakukannya. Tetapi setidaknya sekarang saya
mengambil tanggung jawab atas emosi saya sendiri. Dan dengan melakukan ini,
saya memilih nilai yang lebih baik—nilai yang terarah untuk menjaga diri saya
sendiri, belajar untuk merasa lebih baik tentang diri saya sendiri, ketimbang
nilai-nilai yang menuntut mantan saya memperbaiki apa yang telali
dihancurkannya.
(Omong-omong, seluruh hal tentang
“menuntut tanggung jawabnya atas emosi saya” mungkin menjadi alasan utama yang
membuatnya meminta putus dengan saya. Saya akan membahas hal ini secara lebih
detail di dua bab ke depan.)
Kemudian, sekitar setahun
berikutnya, sesuatu yang lucu terjadi. Saat saya menengok kembali hubungan
kami, saya mulai menang' kap masalah yang tidak pemah saya sadari sebelumnya,
masalah bahwa saya sering jadi orang yang disalahkan dan seharusnya saya dapat
melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Saya menyadai bahwa saya sepertinya
tidak pemah menjadi kekasih yang hebat,
dan bahwa seseorang tidak begitu
saja berselingkuh dengan orang lain kecuali jika mereka tidak bahagia karena
beberapa alasan.
Saya tidak lantas mengatakan
kalau pemahaman ini membenarkan apa yang dilakukan mantan saya—sama sekali
tidak Namun dengan mengenali kesalahan saya, saya terbantu untak menyadari
bahwa saya bukanlah korban yang sepenuhnya tidak bersalah sebagaimana yang saya
yakini selama ini. Bahwasanya, saya juga berperan sehingga hubungan yang kacau
itu terns berlangsung selama itu. Lagi pula, orang lain yang menjalin hubungan
sepertinya juga memegang nilai serupa. Dan jika saya mengencani seseorang
dengan nilai-nilai yang buruk selama itu, lalu apa yang bisa disimpulkan
mengenai saya dan nilai-nilai saya? Saya disadarkan, bahwa jika pacar-pacar
Anda bersikap egois dan tega melukai Anda, maka sejatinya Anda pun juga
demikian, Anda hanya tidak menyadarinya.
Saat menengok ke belakang, saya
bisa melihat dan menyadari ada “semacam rambu-rambu” yang diberikan pacar saya
yang seharusnya saya pahami, namun saya memilih tidak mengabaikan atau bahkan
menghapus rambu-rambu itu ketika saya bersamanya. Itulah kesalahan saya. Ketika
merefleksikan kembali, saya sadar bahwa saya tidak pemah menjadi Boyfriend of
the Year baginya. Faktanya, saya sering bersikap dingin dan arogan terhadapnya;
di kesempatan lain saya menyia-nyiakan dan membuatnya kecewa dan terluka.
Hal-hal mi merupakan kesalahan saya juga.
Apakah kesalahan-kesalahan saya
membenarkan perselingkuhan pacar saya? Tidak. Namun tetap saja, saya memiliki
tanggung jawab untuk tidak pemah membuat kesalahan yang sama lagi, dan tidak
pemah menganggap remeh rambu-rambu yang sama lagi, untuk membantu memastikan
bahwa saya tidak akan pemah menderita konsekuensi yang sama lagi. Saya
mengambil tanggung jawab, untuk turut berupaya agar hubungan saya dengan wanita
lain di masa depan menjadi jauh lebih baik. Dan saya senang mengatakan bahwa
saya memilikinya. Tidak ada lagi pacar yang selingkuh dan meninggalkan saya,
tidak ada lagi 253 pukulan di perut saya. Saya bertanggung jawab atas
permasalahan saya dan berusaha memper¬baikinya. Saya bertanggung jawab atas
peran saya dalam hubungan yang tidak sehat itu dan berusaha memperbaikinya di
hubungan yang berikutnya.
Dan tahukan Anda? Diputus oleh
pacar, menjadi salah satu peng¬alaman yang paling menyakitkan yang pemah saya
rasakan, sekaligus menjadi salah satu pengalaman hidup yang paling penting dan
berpengaruh. Saya bersyukur karena im menginspirasi pertumbuhan pribadi saya
secara signifikan. Saya belajar lebih banyak hal dari satu masalah itu daripada
kombinasi puluhan kesuksesan saya.
Kita semua senang untuk ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan dan kebahagiaan. Malahan, kita justru lebih
sering berebut menjadi yang bertanggung jawab atas sebuah keberhasilan dan
kebahagiaan. Ingat, bertanggung jawab atas permasalahan kita jauh lebih
penting, karena dari sanalah pembelajaran yang sesungguhnya berasal.
Menyalahkan orang lain hanya akan melukai diri sendiri.
Menanggapi Tragedi
Lain bagaimana dengan peristiwa
yang teramat buruk? Banyak orang tidak kesulitan untuk mengambil tanggung jawab
terhadap masalah yang terkait dengan pekerjaan mereka, dan yang ten kait dengan
kelalaian mereka atas penelantaran anak-anak atau kemalasan akibat terlalu
sering menonton TV. Namun ketika ini
menyangkut suatu tragedi yang
fatal, mereka menarik rem darurat “tanggung jawab” mereka, dan turun dari
“kereta” setelah berhenti. Beberapa peristiwa terasa amat menyakitkan untuk
diterima.
Tetapi pikirkan hal ini:
kefatalan suatu peristiwa tidak mengubah kebenaran yang mendasarinya. Jika
Anda, katakan saja, baru saja dirampok, jelas kesalahan tidak terletak pada
Anda. Tidak ada orang yang memilih untuk mengalaminya. Namun, sama halnya
dengan bayi yang terbaring di depan pintu rumah Anda, Anda dipaksa untuk
mengambil tanggung jawab dalam situasi hidup-mati seperti itu. Apakah Anda
melawan? Apakah Anda panik? Apakah Anda terpaku? Apakah Anda menghubungi
polisi? Apakah Anda berusaha untuk melupakannya, dan pura-pura itu tidak pemah
terjadi? Itu semua adalah pilihan dan tanggapan yang, dalam tanggung jawab
Anda, Anda terima atau Anda tolak. Anda tidak memilih untuk dirampok, namun
tetap saja Anda bertanggung jawab untuk mengelola dampak emosional dan
psikologis (serta hukum) dari pengalaman tersebut.
Pada 2008, Taliban mengambil
kendali lembah Swat, sebuah daerah terpencil di sebelah Timur Laut Pakistan.
Mereka segera melaksanakan agenda ekstremis mereka. Tidak ada televisi. Tidak
ada film. Tidak ada wanita yang berada di luar rumah tanpa didampingi pria.
Tidak ada anak perempuan yang pergi ke sekolah.
Memasuki 2009, seorang gadis
Pakistan berusia 11 tahun bernama Malala Yousafzai mulai bersuara melawan
larangan untuk bersekolah bagi anak perempuan. Dia tetap masuk ke sekolah
setempat, dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri dan nyawa ayahnya; dia juga
mengikuti pertemuan-pertemuan di kota-kota terdekat. Dia menulis secara online,
“Beraninya Taliban merampas hak saya untuk mendapatkan pendidikan?”
Pada 2012, saat berusia 14 tahun,
di suatu hari dia ditembak tepat di wajahnya saat naik bis dari rumah menuju
sekolah. Seorang tentara Taliban bertopeng dengan bersenjata laras panjang
menaiki bus, dan bertanya, “Mana Malala? Katakan, atau kutembak semua orang di
sini.” Malala menunjukkan dirinya (sebuah pilihan yang menakjubkan), lalu pria
itu menembaknya di kepala di depan semua penumpang lainnya.
Malala koma dan hampir meninggal
dunia. Taliban mengancam di depan publik bahwa kalaupun dia selamat, mereka
akan membunuhnya dan ayahnya.
Hingga hari ini, Malala masih
hidup. Dia masih berbicara dengan lantang melawan kekerasan dan tekanan
terhadap para wanita di negara-negara Muslim, dan saat ini dia menjadi seorang
penulis buku terlaris. Pada 2014, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian
atas usahanya. Tampak bahwa kejadian ditembak di muka justru membuat suaranya
didengar lebih luas, dan membuat dirinya lebih termotivasi daripada sebelumnya.
Akan mudah baginya untuk bersembunyi dan berkata, “Saya tidak bisa melakukan
apa-apa,” atau Saya tidak punya pilihan.” Yang, ironisnya, tetap menjadi
pilihannya. Namun dia memilih sebaliknya.
Beberapa tahun lalu, saya
menuliskan sejumlah ide dalam bab ini di blog saya, dan ada seorang pria yang
memberi komentar. Dia berkata bahwa saya berpikiran dangkal, kemudian
menambahkan kalau saya tidak punya pemahaman yang nyata tentang permasalahan
kehidupan atau tanggung jawab manusia. Dia bercerita kalau anak laki-lakinya
barn saja meninggal akibat kecelakaan mobil. Dia menuduh saya tidak tahu rasa
sakit yang sesungguhnya dan mencaci saya karena menyarankannya untuk bertanggung
jawab atas rasa sakit yang dirasakannya sepeninggal anaknya.
Laki-laki ini jelas sekali
merasakan penderitaan yang sangat besar dibandingkan dengan yang pemah
dirasakan sebagian besar orang dalam hidup mereka. Dia tidak pemah memilih agar
anaknya meninggal, atau karena kesalahannya anaknya meninggal. Tanggung jawab
atas kehilangan itu diberikan kepadanya meskipun, secara jelas dan dapat
dipahami, itu tidak diinginkan. Meskipun demikian, dia masih bertanggung jawab
atas emosi, keyakinan, dan tindakannya sendiri. Bagaimana dia bereaksi terhadap
kematian putranya adalah pilihannya sendiri. Rasa sakit, apa pun bentuknya,
tidak bisa kita hindari, namun kita hams memutuskan apa maknanya bagi kita.
Bahkan ketika mengklaim bahwa dia tidak punya pilihan dalam kejadian itu dan
hanya ingin anaknya kembali, itu adalah sebuah pilihan—salah satu pilihan yang
diambihrya.
Tentu saja, saya tidak mengatakan
ini kepadanya. Saya terlalu takut dan mulai berpikir bahwa ya, mungkin saya
sudah kehilangan akal sehat dan tidak tahu apa pun yang saya bicarakan. Itu
adalah bahaya yang mengancam dalam pekerjaan saya. Sebuah masalah yang telah
saya pilih. Dan permasalahan yang saya pilih menjadi tanggung jawab saya.
Awalnya, saya merasa sangat
bersalah. Namun kemudian, setelah beberapa menit, saya mulai marah. Tuduhannya
sungguh tidak beralasan, sama sekali lain dengan apa yang saya maksud, kata
saya pada diri saya sendiri. Persetan! Hanya karena anak saya tidak meninggal
lantas saya dituduh tidak pemah mengalami rasa sakit yang hebat.
Tapi kemudian saya menerapkan
nasihat saya sendiri. Saya memilih masalah saya. Saya bisa saja marah kepada
pria ini dan berdebat dengannya, mencoba membalaskan rasa sakit saya, yang
hanya akan membuat kami berdua tampak tolol dan tidak peka.
Atau saya bisa saja memilih,
masalah yang lebih baik, lebih bersabar, memahami pembaca saya dengan lebih
baik, dan terus mengingat pria ini setiap kali menulis artikel berikutnya
tentang rasa sakit dan trauma. Dan itulah yang saya coba.
Balasan saya pada pria tersebut
sederhana, bahwasanya saya turut berbelasungkawa atas kehilangannya, itu saja.
Apa lagi yang bisa Anda katakan?
Genetika dan Warisan
Di 2013, BBC mengumpulkan lusinan
remaja dengan obsessive-com¬pulsive disorder (OCD) dan mengikuti mereka saat
menjalani terapi intensif untuk membantu mereka mengatasi munculnya pikiran
yang tidak diinginkan dan perilaku yang diulang-ulang.
Ada gadis remaja berusia 17 tahun
bemama Imogen yang memiliki kebutuhan kompulsif untuk selalu menepuk setiap
permukaan objek yang dilaluinya; jika dia gagal melakukannya, dia 'akan
dibanjiri oleh pikiran yang menyeramkan bahwa keluarganya akan sekarat Ada
Josh, yang memiliki kebutuhan untuk melakukan segala hal dengan dua sisi
tubuhnya—bersalaman dengan tangan kanan dan kiri, makan dengan tangan kanan dan
kiri, melangkah melalui pintu dengan kaki Jfanan dan kiri, dan semacamnya. Jika
ia tidak “menye- imbangkari’ dua sisi tubuhnya, dia akan mengalami serangan
kepanikan yang mengerikan. Ada juga Jack, contoh klasik seorang germo- phobe yang
menolak untuk meninggalkan rumahnya tanpa memakai sarung tangan, merebus air
sebelum meminumnya, dan tidak mau makanan yang tidak dibersihkan atau
disiapkannya sendiri.
OCD merupakan penyimpangan syaraf
dan genetika yang Pa' rail dan tidak bisa disembuhkan. Hal terbaik vang bisa
dilakukan
adalah dengan mengelolanya. Dan,
seperti yang kita semua lihat, mengelola perilaku yang menyimpang dimulai
dengan pengelolaan nilai yang dimiliki seseorang.
Hal pertama yang dilakukan
psikiater dalam proyek ini adalah mengatakan kepada anak-anak tersebut untuk
menerima ketidak- sempumaan dari keinginan mereka yang kompulsif. Yang artinya,
sebagai satu contoh, bahwa ketika Imogen dibanjiri pikiran yang mengerikan
bahwa keluarganya sekarat, dia diajak untuk menerima kalau keluarganya memang
akan meninggal suatu hari nanti dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk
mencegahnya; mengatakan kepadanya bahwa apa yang terjadi terhadapnya bukanlah
kesalahannya. Josh dipaksa untuk menerima, dalam jangka panjang, bahwa tindakan
“menyeimbangkan” semua perilakunya sehingga simetris sesungguhnya malah lebih
menghancurkan hidupnya ketimbang serangan kepanikan yang kadang muncul. Dan
Jack diingatkan bahwa entah apa pun yang dia lakukan, kuman akan selalu ada dan
menyerangnya.
Sasaran terapi ini adalah untuk
membuat anak-anak ini menyadari bahwa nilai-nilai yang mereka miliki tidak
rasional bahwa sesungguhnya nilai-nilai tersebut tidak muncul dari diri mereka
sendiri, melainkan lebih merupakan penyimpangan dan bahwa dengan mengikuti
nilai yang irasional ini, mereka sebenarnya membahayakan fimgsi mereka dalam
kehidupan.
Langkah berikutnya adalah
menyemangati anak-anak untuk memilih suatu nilai yang lebih penting daripada
nilai OCD mereka, dan berfokus pada nilai tersebut. Bagi Josh, ini adalah peluang
untuk tidak selalu menyembunyikan perilaku menyimpang yang dimilikinya dari
teman-teman dan keluarga, harapan untuk memiliki Aatu kehidupan sosial yang
normal. Bagi Imogen, idenya adalah untuk mengambil alih kendali atas pikiran
dan perasaannya sendiri serta kembali ceria. Dan untuk Jack, targetnya adalah
ia mampu meninggalkan rumahnya dalam periode waktu yang lama tanpa mendapatkan
pengalaman traumatis yang menyiksa.
Dengan nilai-nilai barn yang ada
di benak mereka, para remaja ini berlatih mengatasi keresahan mereka yang
intensif dengan memaksa diri mereka untuk menghidupi nilai hidup mereka yang
barn. Serangan kepanikan terjadi; tangis pecah; Jack memukuli pajangan yang ada
di dekatnya dan kemudian segera mencuci tangannya. Dan di akltir program dokumenter
itu, tampak kemajuan besar yang diraih. Imogen tidak lagi butuh menyentuh
setiap permukaan benda yang ditemuinya. Dia berkata, “Masih ada monster di
pikiran saya, dan mungkin akan selalu ada, tapi monster itu menjadi lebih
tenang sekarang.” Josh mampu melewati 25 hingga 30 menit tanpa harus
“menyeimbangkan” tubuh kanan dan kirinya. Dan Jack, yang mungkin mengalami
perkembangan paling pesat, sekarang mampu pergi ke restoran dan minum dari
botol dan gelas tanpa harus mencucinya terlebih dahulu. Jack merangkum semua
yang telali dipelajarinya dengan baik: “Saya tidak memilih kehidupan yang
seperti ini; Saya tidak memilih kondisi yang sangat mengerikan ini. Namun saya
harus memilih bagaimana untuk menghidupinya; Saya harus memilih bagaimana saya
bisa hidup dengan keadaan ini.”
Banyak orang terlahir dengan
kekurangan, entah OCD atau bertubuh kecil atau sesuatu yang sangat berbeda,
seakan-akan mereka menyimpang dan sesuatu yang sangat bemilai. Mereka merasa
tidak ada yang dapat mereka lakukan, jadi mereka menghindari tanggung jawab
atas situasi mereka. Mereka tahu, “Saya tidak memilih genetik yang buruk ini,
jadi bukan salah saya jika terjadi hal-hal yang buruk.”
Dan benar, itu bukan salah
mereka.
Tetapi mereka tetap harus
bertanggung jawab.
Dulu di masa-masa kuliah saya,
saya punya fantasi menjadi seorang pemain poker profesional. Saya memenangkan
uang dan segalanya, dan itu menyenangkan, namun setelah hampir setahun
menggeluti bidang ini, saya berhenti. Kebiasaan begadang menatap layar
komputer, memenangkan ribuan dolar sehari, dan kehilangan hampir semuanya
keesokan hari, jelas bukan untuk saya, dan itu juga bukan cara mendapatkan
penghasilan yang paling stabil secara kesehatan dan emosional. Namun permainan
poker secara mengejutkan memiliki pen gar uh yang kentara pada cara saya
memandang kehidupan.
Keindahan permainan poker ada
pada bahwa sekalipun bersandar pada keberuntungan, keberuntungan itu tidak
menentukan hasil akhir pertandingan. Seseorang bisa saja mendapatkan kartu yang
jelek, dan mengalahkan seseorang dengan kartu yang sangat bagus. Tentu, orang
yang mendapatkan kartu yang bagus di atas kertas sepertinya memiliki kesempatan
menang lebih besar, tetapi pada akhimya sang pemenang ditentukan oleh—ya, bisa
Anda tebak—pilihan yang dibuat setiap pemain selama permainan berjalan.
Saya memandang kehidupan dengan
cara yang kurang lebih sama. Kita semua mendapatkan kartu. Beberapa dari antara
kita mendapat kartu yang lebih bagus daripada lainnya. Dan meskipun mudah saja
untuk menyerah, dan merasa bahwa kita telah dikalahkan, permainan yang
sebenamya terletak pada pilihan yang kita buat terhadap kartu tersebut, pilihan
risiko yang akan kita ambil, dan pilihan konsekuensi yang akan kita jalani.
Orang-orang yang secara konsisten membuat pilihan terbaik dalam situasi apa pun
adalah mereka yang pada akhimya
memenangkan permainan ini, seperti halnya dalam kehidupan. Dan itu tidak harus
mereka yang memiliki kartu terbaik.
Benar ada beberapa orang yang
secara psikologis dan emosional menderita akibat kelainan syaraf dan/atau
genetik. Tetapi itu tidak mengubah apa pun. Tentu, mereka mewarisi sesuatu yang
buruk, dan tidak boleh disalahkan. Kita tidak bisa menyalahkan seorang pria
pendek yang ingin berkencan, hanya karena dia pendek. Atau korban perampokan
disalahkan karena dia dirampok. Meski demikian itu masih tetap menjadi tanggung
jawab mereka. Entah mereka memilih untuk mendapatkan bantuan psikiater, terapi,
atau tidak melakukan apa pun, pada akhimya mereka tetap harus membuat pilihan.
Ada orang-orang yang menderita karena masa kanak-kanak yang buruk. Ada yang
dilecehkan dan mengalami kekerasan bahkan dihancurkan secara fisik, emosional,
finansial. Mereka tidak dapat disalahkan atas masalah dan hambatan mereka,
tetapi mereka tetap bertanggung jawab—senantiasa bertanggung jawab—untuk
melanjutkan hidup, apapun permasalahan yang mereka hadapi, dan membuat pilihan
terbaik semampu mereka dalam situasi apa pun.
Dan marilah kita jujur di sini.
Seandainya Anda berusaha meng- umpulkan siapa saja yang mengalami penyimpangan
kejiwaan, bertarung melawan depresi dan pikiran untuk bunuh diri, yang
terabaikan atau diperlakukan dengan kejam, dilanda tragedi atas meninggalnya
orang tercinta, dan mampu bertahan dari berbagai isu kesehatan yang parah,
kecelakaan, atau trauma—jika Anda mengumpulkan semua orang itu dalam satu
ruangan, maka, sepertinya Anda akan memasukkan setiap orang di muka bumi,
karena tidak seorang pun dapat melalui kehidupan tanpa membawa bekas Iuka di
pintu keluar.
Tentu, beberapa orang terbebani
dengan masalah yang lebih parah ketimbang orang lain. Dan beberapa orang
ditimpa aneka bencana secara mengerikan. Namun meskipun sedikit banyak ini
mungkin membuat kita jengkel atau terganggu, pada akhimya ini tidak mengubah
apa pun mengenai tanggung jawab yang melekat pada situasi pribadi kita.
"Tren Menjadi Korban"
Salah kaprah tentang tanggung
jawab/rasa salah membuat orang- orang melemparkan tanggung jawab untuk
menyelesaikan masalah mereka kepada orang lain. Kemampuan untuk melepaskan
tanggung jawab dengan cara menyalalikan orang lain, memberikan kenikmatan yang
cuma sementara, juga memberikan sensasi kenikmatan menjadi orang yang
benar/baik secara moral.
Sayangnya, salah satu efek
samping dari Internet dan media sosial adalah semakin mudahnya, dibandingkan
masa-masa sebelumnya, melemparkan tanggung jawab—bahkan mengenai pelanggaran
kecil—kepada kelompok atau orang lain. Faktanya, permainan
menyalahkan/mempermalukan di lingkup publik ini telah menjadi populer; dalam
kalangan tertentu ini bahkan dipandang sebagai sesuatu yang “keren”.
Menyebarkan “ketidakadilan” kepada publik memanen perhatian dan emosi yang
jauli lebih banyak dan menarik ketimbang sebagian besar peristiwa lain di media
sosial, serta mampu memberikan imbalan berupa perhatian dan simpati yang
berlimpah ruah, kepada orang-orang yang mampu secara terus- menerus merasa
menjadi korban.
“Tren Menjadi Korban” merupakan
tren yang berlaku baik untuk mereka yang berpandangan kanan atau kiri sekarang
nu, mere-
0 0 J n bak di antara yang kaya
dan yang miskin. I'nkinnya, ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah manusin
bnhwn setiap kelompok demografik merasa menjadi korban ketidakadilan secara
terus menerus. Dan mereka semua dengan sengaja menunggangi kugeram- an. moral
yang menyertainya.
Sekarang ini, siapa pun yang
merasa diserang tentang apa pun entah bahwa faktanya buku tentang rasisme
diberikan di bangku kuliah, atau bahwa pohon Natal dilarang dipajang di mal
setempat, atau fakta bahwa pajak dinaikkan setengah persen untuk dana
investasi—merasa seakan-akan mereka sedang ditekan dengan cara sedemikian rupa,
dan karena itu berhak meluapkan amarah mereka, dan untuk mendapatkan sejumlah
perhatian tertentu.
Iklim media saat ini secara
bersamaan mendorong sekaligus me- langgengkan reaksi semacam ini karena itu
menguntungkan untuk bisnis. Penulis dan komentator media Ryan Holiday menyebut
hal ini sebagai “pornografi kemarahan”: ketimbang melaporkan kisah dan masalah
yang sesungguhnya, media tahu bahwa akan lebih mudah (dan lebih menguntungkan)
mencari sesuatu yang bersifat sedikit menyerang suatu pihak, menyebarkan kepada
audiens luas, menciptakan kemarahan, dan kemudian menyiarkan kembali kemarahan
itu ke seluruh populasi manusia dengan sebuah cara yang memicu kemarahan
sebagian populasi lainnya. Ini memicu semacam gaung omong kosong yang memantul
bolak balik di antara dua sisi imajiner, dan di saat yang bersamaan mengalihkan
setiap orang dari masalah sosial yang sebenamya. Tidak mengherankan kita
semakin terpolarisasi secara politik dibanding sebelum- sebelumnya.
Masalah terbesar dari “Tren
Menjadi Korban” adalah bahwa ini semakin menjanhkan perhatian kita dari korban
yang sesungguhnya. Ini seperti bocah laki-laki yang menirukan lolongan
serigala. Se
makin banyak orang yang
menyatakan dirinya korban atas suatu pelanggaran kecil, akan semakin sulit
untuk melihat siapa korban yang sebenamya.
Orang-orang pun menjadi
kecanduan; merasa dirinya tak henti- hentinya diserang karena ini memberi
mereka kenikmatan; menjadi pihak yang dibenarkan, dan secara moral menjadi
superior itu terasa enak. Seperti yang di gambar seorang kartunis politik Tim
Kreider di New York Times op-ed: “Luapan kemarahan seperti banyak hal lainnya
terasa enak tapi setelah beberapa lama itu akan menelan kita dari dalam. Dan
ini bahkan lebih berbahaya daripada kejahatan itu sendiri karena kita bahkan,
secara tidak sadar, mengakui kalau itu sebuah kenikmatan.”
Namun bagian dari hidup dalam
sebuah masyarakat yang demokratis dan bebas adalah bahwa kita semua hams
berhadapan dengan berbagai pandangan dan orang yang berseberangan dengan kita.
Itulah harga yang kita bayar—Anda bahkan dapat berkata kalau memang itulah
seluruh inti dari sistem demokrasi. Dan kelihatannya semakin banyak orang yang
melupakan hal tersebut.
Kita disarankan untuk memilih
pertempuran kita dengan hati- hati, sambil terus menerus mencoba sedikit
berempati terhadap mereka yang kita sebut musuh. Sebaiknya kita mendahulukan
nilai- nilai kejujuran, memelihara keterbukaan, dan menerima keraguan yang
muncul atas nilai-nilai seperti merasa paling benar, merasa enak, dan membalas
dendam. Nilai-nilai “demokratis” di atas akan sulit dipertahankan di
tengah-tengah selalu bisingnya dunia yang terhubung satu sama lain. Tetapi
kita, suka tidak suka, harus menerima tanggung jawab tersebut dan merawatnya.
Stabilitas sistem politik kita di masa depan bisa saja bergantung pada hal ini.
Tidak Ada "Bagaimana"
Banyak orang mungkin mendengar
semua hal ini, dan kemudian mengatakan sesuatu seperti, “Oke, tapi bagaimana?
Saya sadar bahwa nilai yang saya miliki payah, dan bahwa saya menghindari
tanggung jawab dari semua permasalahan saya, dan bahwa saya orang cengeng yang
berpikir bahwa dunia harus mengitari saya beserta setiap ketidaknyamanan yang
saya alami—namun bagaimana saya bisa berubah?”
Dan mengenai hal ini saya
katakan, dengan menirukan gaya bi cara Yoda sepersis mungkin: “Lakukan, atau
jangan lakukan; tidak ada‘bagaimana’.”
Anda sudah memilih, di setiap
momen di setiap hari, apa yang Anda pedulikan, jadi berubah itu sesederhana
memilih untuk me- medulikan hal lain.
Sungguh sesederhana itu. Tapi itu
tidak mudah
Ini tidak mudah karena pada
awalnya Anda akan merasa seperti seorang pecundang, penipu, tolol. Anda akan
merasa gugup. Anda akan ketakutan. Anda mungkin akan marah kepada istri atau
teman atau ayah Anda dalam proses ini. Itu semua adalah efek samping dari
mengubah nilai, mengubah apa yang Anda pedulikan. Tetapi itu tidak bisa
dihindari.
Ini sederhana namun sungguh,
sungguh berat.
Mari kita lihat beberapa efek
sampingnya. Anda akan merasa tidak yakin; saya jamin. “Haruskah saya sungguh
merelakan ini- Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?” Melepaskan suatu
nilai yang telah melekat pada Anda selama bertahun-tahun akan membuat Anda
mengalami disorientasi, karena Anda tidak tahu lagi mana yang baik
Berikutnya, Anda akan merasa
telah gagal. Anda telah meng- habiskan separuh hidup Anda mengukur diri Anda
menggunakan nilai yang lama tersebut, jadi ketika Anda mengganti prioritas,
mengubah ukuran Anda, dan berhenti melakukan perilaku yang sama, Anda akan
gagal menemukan ukuran lama vang tepercaya itu dan karenanya Anda akan segera
merasakan semacam kepalsuan atau merasa tidak menjadi siapa pun. Ini juga
merupakan hal yang normal dan juga tidak nyaman.
Dan Anda pasti akan mengalami
penolakan. Banyak hubungan dalam hidup Anda dibangun di atas nilai-nilai yang
Anda jaga, jadi momen saat Anda mengubah nilai tersebut—momen Anda memutuskan
bahwa belajar lebih penting daripada berpesta, bahwa menikah dan membangun
sebuah keluarga lebih penting daripada gonta-ganti pasangan seks, bahwa
melakukan pekerjaan yang Anda yakini lebih penting daripada uang—perubahan Anda
ini akan menggema dalam seluruh hubungan Anda, dan banyak di antaranya akan
meledak di muka Anda. Ini juga hal yang normal dan tidak akan membuat nyaman.
Ini penting, meskipun
menyakitkan, efek samping dari membuat pilihan untuk memindahkan kepedulian
Anda ke tempat lain, di tempat yang jauh lebih penting dan layak bagi energi
Anda. Ketika Anda menyortir ulang nilai-nilai Anda, Anda akan menemui penolakan
secara internal dan ekstemal dalam perjalanan Anda. Lebih dari itu, Anda akan
merasa tidak yakin; Anda akan bertanya- tanya apakah yang Anda lakukan salah.
Namun seperti yang akan kita
lihat, ini adalah hal yang baik.
Comments
Post a Comment