Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 01

ORANG MEMANGGIL AKU: MlNKE1.
Namaku sendiri.... Sementara ini tak perlu kusebut- kan. Bukan karena gila mysteri. Telah aku timbang:
belum perlu benar tampilkan diri di hadapan mata orang lain.
Pada mulanya catatan pendek ini aku tulis dalam masa ber¬kabung: dia telah tinggalkan aku, entah untuk sementara entah tidak. (Waktu itu aku tak tahu bagaimana bakal jadinya). Hari depan yang selalu menggoda! Mysteri! setiap pribadi akan da¬tang padanya — mau-tak-mau, dengan seluruh jiwa dan raganya. Dan terlalu sering dia ternyata maharaja zalim. Juga akhirnya aku datang padanya bakalnya. Adakah dia dewa pemurah atau jahil, itulah memang urusan dia: manusia terlalu sering bertepuk hanya sebelah tangan
Tigabelas tahun kemudian catatan pendek ini kubacai dan kupelajari kembali, kupadu dengan impian, khayal. Memang menjadi lain dari aslinya. Tak kepalang tanggung. Dan begini kemudian jadinya:
ALAM HIDUPKU, BARU SEUMUR JAGUNG, SUDAH DAPAT kurasai: ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya.
Sekali direktur sekolahku bilang di depan kias: yang disampai-kan oleh tuan-tuan guru di bidang pengetahuan umum sudah cukup luas; jauh lebih luas daripada yang dapat diketahui oleh para pelajar setingkat di banyak negeri di Eropa sendiri.
Tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke Ero¬pa. Benar-tidaknya ucapan Tuan Direktur aku tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cenderung mempercayainya. Lagi pula semua guruku kelahiran sana, dididik di sana pula. Rasanya tak layak tak mempercayai guru. Orang tuaku telah memperca¬yakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar Eropa dan Indo dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh Hindia Belanda. Maka aku harus mempercayainya.
Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umum¬nya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmu-pengetahuan Eropa yang mendorong aku suka men¬catat-catat. Suatu kali akan berguna, seperti sekarang ini.
Salah satu hasil ilmu-pengetahuan yang tak habis-habis ku-kagumi adalah percetakan, terutama zincografi. Coba, orang sudah dapat memperbanyak potret berpuluh ribu lembar dalam sehari. Gambar pemandangan, orang besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung pencakar langit Amerika, semua dan dari seluruh dunia — kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran- lembaran kertas cetak. Sungguh merugi generasi sebelum aku - generasi yang sudah puas dengan banyaknya jejak-langkah sendi¬ri di lorong-lorong kampungnya itu. Betapa aku berterimakasih pada semua dan setiap orang yang telah berjerih-payah untuk melahirkan keajaiban baru itu. Lima tahun yang lalu belum lagi ada gambar tercetak beredar dalam lingkungan hidupku. Me¬mang ada cetakan cukilan kayu atau batu, namun belum lagi dapat mewakili kenyataan sesungguhnya.
Berita-berita dari Eropa dan Amerika banyak mewartakan penemuan-penemuan terbaru. Kehebatannya menandingi ke¬saktian para satria dan dewa nenek-moyangku dalam cerita wa¬yang. Kereta api — kereta tanpa kuda, tanpa sapi, tanpa kerbau, — belasan tahun telah disaksikan sebangsaku. Dan masih juga ada keheranan dalam hati mereka sampai sekarang! Betawi-Surabaya telah dapat ditempuh dalam tiga hari. Diramalkan akan cuma seharmal’! Hanya seharmal! Deretan panjang gerbong sebesar rumah, penuh arang dan orang pula, ditarik oleh kekuatan air semata! Kalau Stevenson pernah aku temui dalam hidupku akan kupersembahkan padanya karangan bunga, sepenuhnya dari anggrek. Jaringan jalan kereta api telah membelah-belah pu¬lauku, Jawa. Kepulan asapnya mewarnai langit tanah airku de¬ngan garis hitam, semakin pudar untuk hilang dalam ketiadaan. Dunia rasanya tiada beijarak lagi - telah dihilangkan oleh kawat. Kekuatan bukan lagi jadi monopoli gajah dan badak. Mereka telah digantikan oleh benda-benda kecil buatan manusia: torak, sekrup dan mur.
1. harmal = hari malam.
Dan di Eropa sana, orang sudah mulai membikin mesin yang lebih kecil dengan tenaga lebih besar, atau setidaknya sama de¬ngan mesin uap. Memang tidak dengan uap. Dengan minyak bumi. Warta sayup-sayup mengatakan: Jerman malah sudah membikin kereta digerakkan listrik. Ya Allah, dan aku sendiri belum lagi tahu membuktikan apa listrik itu.
Tenaga-tenaga alam mulai diubah manusia untuk diabdikan pada dirinya. Orang malah sudah merancang akan terbang seperti Gatotkaca, seperti Ikarus. Salah seorang guruku bilang: sebentar lagi, hanya sebentar lagi, dan ummat manusia tak perlu lagi membanting tulang memeras keringat dengan hasil sedikit. Me¬sin akan menggantikan semua dan setiap macam pekerjaan. Manu¬sia akan tinggal bersenang. Berbahagialah kalian para siswa, ka¬tanya, akan dapat menyaksikan awal jaman modern di Hindia ini.
Modem! Dengan cepatnya kata itu menggelumbang dan mem¬biak diri seperti bakteria di Eropa sana. (Setidak-tidaknya menu¬rut kata orang). Maka ijinkanlah aku ikut pula menggunakan kata ini, sekalipun aku belum sepenuhnya dapat menyelami maknanya.
Pendeknya dalam jaman modern ini potret sudah dapat diper-banyak sampai puluhan ribu sehari.Yang penting: ada di antara¬nya yang paling banyak kupandangi: seorang dara, cantik, kaya, berkuasa, gilang-gemilang, seorang pribadi yang memiliki segala, kekasih para dewa.
Sassus, sembunyi-sembunyi diucapkan di antara teman-teman sekolah: bankier-bankier terkaya di dunia pun tiada berpeluang untuk merayunya. Ningrat gagah dan ganteng pada tunggang- langgang untuk mendapatkan perhatiannya. Hanya perhatian!
Pada waktu-waktu menganggur sering aku pandangi wajah¬nya sambil mengandai-andai: betapa, betapa, betapa. Dan beta¬pa tinggi tempatnya. Jauh pula, sebelas atau dua belas ribu mil laut dari tempatku: Surabaya. Pelayaran sebulan naik kapal, mengarungi dua samudra, lima selat dan satu terusan. Itu pun belum tentu dapat bertemu dengannya. Tak berani aku menya¬takan perasaanku pada siapa pun. Orang mentertawakan dan menamai aku gila.
Di kantorpos-kantorpos, kata sang sassus pula, kadang dida-patkan surat lamaran yang ditujukan pada dara yang jauh dan tinggi di sana itu. Tak ada yang sampai. Sekiranya aku bergila memberanikan diri, sama saja: pejabat pos akan menahannya untuk dirinya sendiri.
Dara kekasih para dewa ini seumur denganku: delapanbelas. Kami berdua dilahirkan pada tahun yang sama: 1880. Hanya satu angka berbentuk batang, tiga lainnya bulat-bulat seperti kelereng salah cetak. Hari dan bulannya juga sama: 31 Agustus. Kalau ada perbedaan hanya jam dan kelamin. Orangtuaku tak pernah mencatat jam kelahiranku. Jam kelahirannya pun tidak aku ke¬tahui. Perbedaan kelamin? Aku pria dia wanita. Mencocokkan jam yang tidak menentu itu juga memusingkan. Setidak-tidaknya bila pulauku diselimuti kegelapan malam negerinya dipancari surya. Bila negerinya dipeluk oleh kehitaman malam pulauku gemerlapan di bawah surya khatulistiwa.
Guruku, Magda Peters, melarang kami mempercayai astrolo¬gi. Omong kosong, katanya. Thomas Aquinas, sambungnya, pernah melihat dua orang yang lahir pada tahun, bulan, hari dan jam, malah tempat yang sama. Ia angkat telunjuk dan menan¬tang kami dengan: lelucon astrologi - nasib keduanya sungguh tidak pernah sama, yang seorang tuan tanah besar, yang lain jus¬tru budaknya!
Dan memang aku tidak percaya. Bagaimana akan percaya? Dia tidak pernah jadi petunjuk untuk kemajuan ilmu dan penge¬tahuan manusia. Kalau dia benar, cukuplah kita takluk padanya, selebihnya boleh dilempar ke kranjang babi. Dia tidak akan mampu meramalkan siapa dara itu, di mana tempatnya. Tak bakal. Pernah aku ramalkan diri untuk iseng. Horoskop dibolak dan dibalik. Sang peramal buka mulut. Nampak dua gigi-emas- nya: bila Tuan ada kesabaran, pasti .... Dengan demikian aku lebih mempercayai akalku. Dengan kesabaran-seluruh-ummat- manusia menemuinya pun aku tak bakal mungkin.
Aku lebih mempercayai ilmu-pengetahuan, akal. Setidak- tidaknya padanya ada kepastian-kepastian yang bisa dipegang.
TANPA MENGETUK pintu kamar pemondokanku Robert Suurhof — di sini tak kupergunakan nama sebenarnya — masuk. Didapati¬nya aku sedang mencangkungi gambar sang dara, kekasih para dewa itu. Ia terbahak, diri menggerabak dan tersipu. Lebih kurangajar lagi justru seruannya:
“Ahoi, si philogynik, mata kranjang kita, buaya kita! Bulan mana pula sedang kau rindukan?”
Memang aku berhak mengusirnya. Tapi:
“Husy!” dengusku, “siapa tahu?”
“Astrolog itu tahu segala, kecuali dirinya sendiri ....,” kemu¬dian seperti biasa ia lanjutkan dengan seringai.
Biar aku ceritakan: dia temanku sekolah di H.B.S., jalan H.B.S., Surabaya. Ia lebih tinggi daripadaku. Dalam tubuhnya mengalir darah Pribumi. Entah berapa tetes atau gumpal.
“Jangan, jangan yang itu,” bujuknya dengan suara rintihan. “Juga ada seorang dewi di Surabaya ini. Cantik tiada bandingan, tidak kalah dari gambar itu. Itu toh hanya gambar.”
“Apa yang kau maksudkan dengan cantik?”
“Apa? Kan kau sendiri sudah rumuskan? Letak dan bentuk tulang yang tepat, diikat oleh lapisan daging yang tepat pula.”
“Benar,” terusku setelah kehilangan kekikukan. “Apa lagi?”
“Apa lagi? Kulit yang halus-lembut. Mata yang bersinar, dan bibir yang pandai berbisik.”
“Kau sudah tambahi dan ubah dengan pandai berbisik. ”
“Jadi bibir itu hanya harus bisa memekik dan mengutuki kau?
Kan biar pun mengutuki asal berbisik tidak apa?”
“Tsss, tsss,” aku mendiamkannya.
“Pendeknya, kalau memang jantan, philogynik sejati, mari aku bawa kau ke sana. Aku ingin lihat bagaimana akan solah dan tingkahmu, apa kau memang sejantan bibirmu.”
“Aku masih banyak pekeijaan.”
“Kecut sebelum turun gelanggang,” tuduhnya.
Aku tersinggung. Aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert Suurhof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah Eropa dalam tubuhku. Sungguh-sungguh dia sedang bikin rencana jahat terhadap diriku.
“Jadi!” jawabku.
Itu barang beberapa minggu yang lalu, awal tahun pelajaran baru.
Dan sekarang seluruh Jawa berpesta-pora, mungkin juga se¬luruh Hindia Belanda. Triwarna berkibar riang di mana-mana: dara yang seorang, Dewi Kecantikan kekasih para dewa itu, kini naik tahta. Ia sekarang ratuku. Aku kawulanya. Tepat seperti cerita Juffrouw Magda Peters tentang Thomas Aquinas. Ia adalah Sri Ratu Wilhelmina. Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran telah memberikan kesempatan pada astrolog untuk mengangkatnya jadi ratu dan menjatuhkan aku jadi kawulanya. Dan ratuku itu malahan tidak pernah tahu, aku benar-benar ada di atas bumi ini. Sekiranya ia lahir satu atau dua abad sebelum atau sesudah aku barangtentu hati ini takkan jadi begini nelangsa.
7 September 1898. Hari Jum’at Legi. Ini di Hindia. Di Ne¬derland sana: 6 September 1898, hari Kamis Kliwon.
Para pelajar seakan gila merayakan penobatan ini: pertanding¬an, pertunjukan, pameran ketrampilan dan kebiasaan yang dipe¬lajari orang dari Eropa — sepakbola, standen, kasti. Dan semua itu tak ada yang menarik hatiku. Aku tak suka pada sport.
Dunia sekelilingku ramai. Meriam pun berdentuman. Arak- arakan dan panembrama. Di hati aku tetap nelangsa. Jadi pergi¬lah aku seperti biasa ke tetangga sebelah, Jean Marais , orang Prancis berkaki satu itu.
“Alleluya, Minke, apa kabar hari ini?” tegurnya dalam Prancis yang memaksa aku menggunakan bahasanya.
“Ada, Jean, ada pekerjaan untukmu. Satu perangkat perabot kamar,” aku berikan padanya gambar sebagaimana dikehendaki pemesan.
Ia mempelajarinya sebentar dan tersenyum senang.
“Beres. Akan kuperhitungkan biayanya. Dengan ukiran motif Jepara, Minke.”
“Tuanmuda Minke,” panggil ibu pemondokanku dari sebelah.
Melongok melalui jendela aku lihat Mevrouw  Telinga melambai padaku.
“Jean, aku pergi. Mevrouw bawel ini barangkali hendak me-nyuguh tarcis. Jangan terlalu lama pesanan itu, Jean.”
Di rumah tak kutemui tarcis. Hanya Robert Suurhof.
“Ayoh,” katanya, “kita pergi sekarang.”
Sebuah dokar model baru, karper, telah menunggu di pintu gerbang. Kami naik; kuda mulai bergerak; kusir seorang Jawa tua.
“Jelas sewanya lebih mahal,” kataku dalam Belanda.
“Jangan main-main, Minke, ini bukan dokar sembarang dokar, bukan kretek, dokar dengan per — barangkali yang perta¬ma menjelang akhir abad ini. Barangkali juga pernya lebih ma¬hal dari seluruh dokar.”
“Percaya, Rob. Ngomong-ngomong, Rob, ke mana kita?”
“Ke tempat di mana semua pemuda mengimpikan undangan. Karena bidadarinya, Minke. Dengar, aku beruntung mendapat¬kan undangan dari abangnya.Tak ada yang pernah dapat undang¬an ke sana kecuali ini,” dengan ibujari ia menuding dadanya sendiri. “Dengar, kebetulan nama abangnya juga Robert ...”
“Banyak benar anak bernama Robert sekarang...”
Ia tak menggubris dan meneruskan:
Hanya karena kami berdua pernah bertemu dalam pertandingan bola. Di rumahnya ada kelahiran beberapa sapi jantan yang tidak dikehendaki. Itu yang terpenting bagiku,” ia melirik padaku.
“Sapi jantan?” aku tak mengerti.
“Sapi jantan untuk sarapan, maksudku. Itu soalku. Soalmu,” ia berkecap-kecap, matanya tajam menyelidik mataku, “soalmu sih: adik si Robert itu. Aku ingin lihat sampai di mana kejan- tananmu, hai philogynik!”
Bingkai besi roda karper itu gemeratak menggiling jalanan batu Jalan Kranggan, ke Blauran, menuju ke Wonokromo.
“Ayoh, nyanyikan Vidi, Vici — Datang, Lihat, Menang,” ajaknya di antara gemeratak roda. “Ha-ha, kau pucat sekarang. Tak lagi yakin akan kejantanan sendiri. Ha-ha.”
“Mengapa tak kau ambil semua untuk dirimu sendiri? Santap¬an pagi dan dewi itu?”
“Aku? Ha-ha. Untukku — hanya dewi berdarah Eropa tulen!” Jadi dewi yang akan kami kunjungi adalah gadis Indo, Peranak¬an, Indisch. Robert Suurhof — sekali lagi kuperingatkan: yang kupergunakan bukan namanya yang sebenarnya - juga Indo. Waktu mamanya, seorang Indo juga, hendak melahirkan, ayah¬nya, juga Indo, buru-buru membawanya ke Tanjung Perak, naik ke atas kapal Van Heetnskerck yang sedang berlabuh, melahirkan di sana, dan: ia bukan hanya kawula Belanda, ia mendapat ke- warganegaraan Belanda. Begitulah sangkanya, tetapi belakangan aku tahu lahir di atas kapal Belanda tidak ada akibat hukum apa-apa. Dan: barangkali seperti itu juga tingkah orang-orang Yahudi dengan kewarganegaraan Romawi. Ia menganggap di¬rinya lain dari saudara-saudara sekandung. Ia menganggap diri bukan Indo. Kalau ia dilahirkan satu km dari kapal itu, barangkali di atas dermaga Perak, barangkali di atas sampan Madura, dan mendapatkan kewarganegaraan Madura, barangkali akan lain pula solahnya. Setidak-tidaknya aku mulai mengerti mengapa ia suka memperlihatkan sikap tidak menyukai gadis-gadis Indo. Dalam persangkaan bahwa dia kawula Belanda, ia berprilaku seakan-akan warganegara Belanda untuk kepentingan anak- cucunya kelak. Setidak-tidaknya dalam bualan dan keseakanan. Dia berharap kelak kedudukan dan gajinya akan lebih tinggi daripada yang Pribumi.
Pagi itu sangat indah memang. Langit biru cerah tanpa awan. Hidup muda hanya bernafaskan kesukaan semata. Segala yang kuusahakan berhasil.Tak ada kesulitan dalam pelajaran. Dan hati pun cerah tanpa komplex. Yang telah naik tahta biarlah sudah. Semua pajangan pada gedung dan gapura-gapura itu sudah un-tuknya. Pertemuan-pertemuan resmi semua juga untuknya. Kekasih para dewa! Dewi kahyangan! Dan sekarang Suurhof sedang hendak mempermain-mainkan aku di hadapan gadis dunia yang ia kehendaki aku taklukkan.
Orang-orang desa, ke kota beijalan kaki, tak masuk dalam perhatianku. Jalan raya batu kuning itu lurus langsung ke Wonokromo. Rumah, ladang, sawah, pepohonan jalanan yang dikurung dengan kranjangan bambu, bagian-bagian hutan yang bermandikan sinar perak matari, semua, semua beterbangan riang. Di kejauhan sana samar-samar nampak gunung-gemu- nung berdiri tenang dalam keangkuhan, seperti pertapa berba¬ring membatu.
“Jadi kita berangkat ke pesta dengan pakaian begini?”
“Tidak, kataku tadi, aku hanya untuk bersantap, kau untuk menaklukkan.”
“Kita pergi ke mana?”
“Tepat ke sasaran.”
“Rob?” kutinju bahunya karena rasa ingin tahuku. “Ayoh katakan.” Dan ia tak mau mengatakan.
“Jangan meringis! Kalau kau betul jantan,” ia berkecap-kecap, “akan aku hormati kau lebih daripada guruku sendiri. Kalau kau kalah, awas, untuk seumur hidup kau akan jadi tertawaanku. Ingat-ingat itu, Minke.”
“Kau memperolok aku, Rob.”
“Tidak. Pada suatu kali kau akan jadi bupati, Minke. Mungkin kau akan mendapat kebupatian tandus. Aku doakan kau akan mendapat yang subur. Kalau dewi itu kelak mendampingimu jadi Raden Ayu, aduhai, semua bupati di Jawa akan demam kapialu karena iri.”
“Siapa bilang aku akan jadi bupati?”
“Aku. Dan aku akan meneruskan sekolah ke Nederland.Aku akan jadi insinyur. Pada waktu itu kita akan bisa bertemu lagi. Aku akan berkunjung padamu bersama istriku. Tahu kau per¬tanyaan pertama yang bakal kuajukan?”
“Kau mimpi. Aku takkan jadi bupati.”
“Dengarkan dulu. Aku akan bertanya: Hai, philogynik, mata kranjang, buaya darat, mana haremmu?”
“Rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai Jawa yang be¬lum beradab.”
“Mana ada Jawa, dan bupati pula, bukan buaya darat?”
“Aku takkan jadi bupati.”
Ia tertawa melecehkan. Dan dokar itu tak juga berhenti, makin lama makin jauh meninggalkan Surabaya. Aku agak ter¬singgung sebenarnya. Y a, aku memang mudah tersinggung. Rob tidak peduli. Memang dia pernah berkata: satu-satunya bukti pembesar Jawa tidak berniat punya harem hanya dengan beristri orang Eropa, Totok atau Indo. Dengannya ia tak bakal bermadu.
Karper mulai memasuki daerah Wonokromo.
“Lihat ke kiri,” Rob menyarani.
Sebuah rumah bergaya Tiongkok berpelataran luas dan terpe-lihara rapi dengan pagar hidup. Pintu dan jendela depan tertu¬tup. Catnya serba merah.Tidak menarik perasaan keindahanku. Dan siapa tidak tahu rumah siapa dan apa itu? Rumahpelesir, suhian, Babah Ah Tjong punya.
Tapi dokar beijalan terus.
“Tetap lihat ke kiri.”
Barang seratus atau seratus lima puluh meter di sebelah kiri rumahpelesir itu nampak kosong tanpa rumah. Kemudian menyusul rumah loteng dari kayu, juga berpelataran luas. De¬kat di belakang pagar kayu terpasang papan nama besar dengan tulisan: Boerderij Buitenzorg .
Dan setiap penduduk Surabaya dan Wonokromo, kiraku, tahu belaka: itulah rumah hartawan besar Tuan Mellema - Herman Mellema. Orang menganggap rumahnya sebuah istana pribadi, sekali pun hanya dari kayu jati. Dari kejauhan sudah nampak atap sirapnya dari kayu kelabu. Pintu dan jendela terbuka lebar. Tidak seperti pada rumahpelesir Ah Tjong. Berandanya tidak ada. Se¬bagai gantinya sebuah konsol cukup .luas dan lebar melindungi anaktangga kayu yang lebar pula, lebih lebar daripada pintu depan.
Sampai sejauh itu orang hanya mengenal nama Tuan Melle¬ma. Orang sekali-sekali saja atau sama sekali tak pemah melihat¬nya lagi. Sebaliknya orang lebih banyak menyebut-nyebut gun¬diknya: Nyai Ontosoroh — gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. Dari nama Buitenzorg itu ia mendapatkan nama Ontosoroh — sebutan Jawa.
Kata orang, keamanan keluarga dan perusahaan dijaga oleh seorang pendekar Madura, Darsam, dan pasukannya. Maka tak ada orang berani datang iseng ke istana kayu itu.
Aku terhenyak.
Dokar tiba-tiba membelok, melewati pintu gerbang, melewati papan nama Boerderij Buitenzorg, langsung menuju ke tangga depan rumah. Aku bergidik. Darsam yang belum pernah aku lihat itu muncul dalam benakku. Hanya kumis, tak lain dari kumis, sekepal dan clurit .Tak pernah ada cerita orang menda¬pat undangan dari istana angker-sangar ini.
“Ke sini?”
Ia hanya mendengus.
Seorang pemuda Indo-Eropa membuka pintu kaca, menuruni anaktangga, menyambut Suurhof. Nampaknya ia seumur denganku. Ia berwajah Eropa, berkulit Pribumi,jangkung, tegap, kukuh.
“Hai, Rob!”
“Oho, Rob!” sambut Suurhof.“Aku bawa temanku, Rob.Tak apa toh? Kau tak ada keberatan, kan?”
Pemuda itu tidak menyambut aku — pemuda Pribumi — li- rikannya tajam menusuk. Aku mulai gelisah. Tahu sedang me-masuki awal babak permainan. Kalau dia menolak Suurhof akan tertawa, dan dia akan tunggu aku merangkak ke jalan raya dalam halauan Darsam. Dia belum menolak, belum mengusir. Sekali saja bibirnya bergerak menghalau — God, ke mana mesti aku sembunyikan mukaku? Tapi tidak, mendadak ia tersenyum mengulurkan tangan:
“Robert Mellema,” ia memperkenalkan diri.
“Minke,” balasku.
Ia masih juga menjabat tanganku, menunggu aku menyebut¬kan nama keluargaku. Aku tak punya, maka tak menyebutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali dianggapnya aku anak yang tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan; tanpa nama keluarga, adalah Indo hina, sama dengan Pribumi. Dan aku memang Pribumi. Tapi tidak, ia tak menuntut nama keluargaku.
“Senang berkenalan denganmu; mari masuk.”
Kami menaiki jenjang. Hatiku tetap curiga melihat lirikan- nya yang tajam. Pemuda macam apa pula Robert Mellema ini?
Kecurigaan tiba-tiba hilang sirna. Suasana baru menggantikan: di depan kami berdiri seorang gadis berkulit putih, halus, ber¬wajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman. Kalau gadis ini yang dimak¬sudkan Suurhpf, dia benar: bukan saja menandingi malah me¬ngatasi Sri Ratu. Hidup, dari darah dan daging, bukan sekedar gambar.
“Annelies Mellema,” ia mengulurkan tangan padaku, kemu¬dian pada Suurhof.
Suara yang keluar dari bibirnya begitu mengesani, tak mung¬kin dapat kulupakan seumur hidup.
Kami berempat duduk di sitje rotan. Robert Suurhof dan Robert Mellema segera terlibat dalam percakapan tentang se- pakbola, pertandingan besar yang pernah mereka saksikan di Surabaya. Aku merasa kikuk untuk mencampuri.Tak pernah aku suka pada sepakbola. Mataku mulai menggerayangi ruangtamu yang luas itu: perabot, langit-langit, kandil-kandil kristal yang bergelantungan, lampu-lampu gas gantung dengan kawat pe¬nyalur dari tembaga — entah di mana sentralnya - potret Sri Ratu Emma yang telah turun tahta terpasang pada pigura kayu berat. Dan untuk ke sekian kali pandang ini berhenti pada wajah An¬nelies juga. Sebagai penjual perabot rumahtangga, sekali caup sudah dapat aku menentukan, barang-barang itu mahal belaka, dikeijakan oleh para tukang yang mahir. Permadani di bawah sitje bergambarkan motif yang tak pernah kutemui. Mungkin pesanan khusus. Lantainya terbuat dari parket, tegel kayu, yang mengkilat oleh semir kayu.
“Mengapa diam saja?” tegur Annelies dengan suara manis dalam Belanda pergaulan.
Sekali lagi kutatap wajahnya. Hampir-hampir aku tak berani menentang matanya.Tiadakah dia jijik padaku sudah tanpa nama keluarga dan Pribumi pula? Aku hanya bisa menjawab dengan senyum — senyum manis tentu — dan sekali lagi melepas pandang pada perabot. Dan:
“Semua serba bagus di sini.”
“Suka kau di sini?”
“Suka sekali,” dan sekali lagi kupandangi dia.
Sesungguhnya: kecantikannya memang memukau. Di te¬ngah-tengah kemewahan ini ia nampak agung, merupakan bagi¬an yang mengatasi segala yang indah dan mewah.
“Mengapa kau sembunyikan nama-keluargamu?” tanyanya.
“Tak ada kusembunyikan,” jawabku, dan mulai gelisah lagi. “Apa perlu benar kusebutkan?” aku lirik Robert Suurhof. Ia tidak tertikam oleh lirikanku. Ia sedang asyik tenggelam dalam sepakbolanya dengan Robert Mellema. Sebelum aku tarik li¬rikanku mendadak ialah yang justru melepaskan lirikannya.
“Tentu,” sambut Annelies.“Nanti disangka kau tak diaku oleh ayahmu.”
“Aku tak punya. Betul-betul tak punya,” jawabku nekad.
“Oh!” serunya pelan.“Maafkan aku.” Ia terdiam sejenak. “Tak punya pun baik,” katanya kemudian.
“Aku bukan Indo,” tambahku dengan nada membela diri.
“Oh?” sekali lagi ia berseru. “Bukan?”
Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Dia sudah tahu sekarang: aku Pribumi. Pengusiran setiap saat bisa terjadi. Tanpa melihat dapat aku rasai lirikan Robert Suurhof sedang menaksir-naksir bagian-bagian tubuhku yang tak tertutup. Ya, seperti gagak sedang menaksir-naksir calon bangkai. Waktu aku angkat pandangku kulihat Robert Mellema menikam Annelies dengan pandangnya. Dan pada waktu itu beralih padaku bibir¬nya menjadi garis tipis lurus.Astaga, mau jadi apa aku ini? Harus¬kah aku terusir seperti anjing dari rumah yang serba mewah ini, di bawah derai tawa Robert Suurhof? Tak pernah aku merasa secemas sekarang. Lirikan Sunrhof menikam batang leherku. Pandang pemuda Mellema padaku masih belum ditarik, bahkan berkedip pun ia tidak.
Annelies menatap Robert Suurhof, kemudian pada abangnya, kemudian kembali padaku. Sejenak penglihatanku kabur. Yang nampak hanya gaun panjang putih Annelies, tanpa wajah, tanpa anggota badan. Dan gaun itu tidak berlengan, berkilauan pada setiap gerak.
Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksud¬nya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat menunggu meledaknya pengusiran. Sebentar lagi si Darsam pendekar akan dipanggil, disuruh lemparkan aku ke jalan raya.
Jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut mendengar lengking tawa Annelies. Lambat-lambat kunaikkan pandang padanya. Giginya gemerlapan, nampak, lebih indah dari semua mutiara yang tak pernah kulihat. Ahoi, philogynik, dalam keadaan begini pun kau masih sempat mengagumi dan memuja kecantikan.
“Mengapa pucat?” tanya Annelies seperti sedang memberi ampun. “Pribumi juga baik,” katanya masih tertawa.
Pandang Robert Mellema sekarang tertuju pada adiknya, dan Annelies menantangnya dengan pandang terbuka. Sang abang menghindari.
Permainan sandiwara apakah semua ini? Robert Suurhof tak bicara sesuatu. Robert Mellema juga tidak. Apakah dua pemuda itu sedang bermain mata memaksa aku untuk minta maaf? Hanya karena aku tak punya nama keluarga dan Pribumi pula? Puh! mengapa aku harus melakukannya? Tidak!
“Pribumi juga baik,” ulang Annelies bersungguh.“Ibuku juga Pribumi — Pribumi Jawa. Kau tamuku, Minke,” suaranya me-ngandung nada memerintah.
Baru aku menghembuskan nafas lega.
“Terimakasih.”
“Nampaknya kau tak suka pada sepakbola. Aku pun tidak. Mari duduk di tempat lain,” ia berdiri menyilakan, mengulur¬kan tangan, dengan manjanya minta digandeng.
Aku berdiri, mengangguk minta maaf pada abangnya dan Suurhof. Mereka ikuti kami dengan pandang. Annelies menoleh dan meninggalkan senyum maaf pada tamu yang ditinggal¬kannya.
Ruangtamu luas itu kami lintasi. Terasa olehku, langkahku tidak tetap. Pandang dua pemuda itu terasa menusuk pung¬gungku. Kami memasuki ruangbelakang yang lebih mewah lagi.
Juga di sini dinding seluruhnya terbuat dari kayu jati yang dipolitur coklatmuda. Di pojokan berdiri seperangkat meja- makan dengan enam kursi. Di dekatnya terdapat tangga naik ke loteng. Kenap bertugur di tiga pojok lainnya. Di atasnya berdiri jambang bunga dari tembikar bikinan Eropa. Bunga-bungaan bersembulan dari dalamnya dalam karangan yang serasi.
Annelies mengikuti pandangku, berkata:
“Aku sendiri yang merangkai.”
“Siapa gurunya?”
“Mama, Mama sendiri.”
“Bagus sekali.”
Melihat mataku terpancang pada lemari pajangan ia bawa aku ke sana. Lemari itu berdiri pada dinding di tentang mejamakan. Di dalamnya terpajang benda-benda seni — tak pernah kulihat sebelumnya.
“Tak ada kubawa kuncinya,” kata Annelies. “Itu yang paling kusukai,” ia menuding pada patung kecil dari perunggu. “Kata Mama, itu Fir’aun Mesir,” ia berpikir sejenak. “Kalau tak salah namanya Nefertiti, seorang putri yang sangat cantik.”
Apa pun nama patung itu aku heran juga seorang Pribumi, gundik pula, tahu nama seorang Fir’aun.
Di dalamnya terdapat juga patung Erlangga ukiran Bali, duduk di atas punggung garuda. Berbeda dari yang lain-lain patung ini tidak terbuat dari kayu sawoh, tapi sejenis kayu yang aku tak pernah tahu.
Pada papan pertama terdapat deretan topeng kecil-kecil dari gerabah bergambarkan aneka muka binatang.
“Itu topeng-topeng cerita SieJin Kuie,”ia menerangkan.“Per¬nah dengar ceritanya?”
“Belum.”
“Suatu kali akan aku ceritai. Mau kau kiranya?”
Pertanyaan itu terdengar ramah dan semanak, menenggelam¬kan seluruh kemewahan dan perbedaan yang ada.
“Dengan senang hati.”
“Kalau begitu kau tentu suka datang lagi kemari.”
“Suatu kehormatan.”
Tak ada kulit kerang besar pada kaki kenap seperti halnya di gedung-gedung kebupatian yang pernah kulihat. Sebuah pho- nograf terletak di atas meja pendek beroda kecil pada empat kakinya. Bagian bawah phonograf dipergunakan untuk tempat tabung musik. Meja itu sendiri berukir berlebihan dan nampak¬nya barang pesanan.
Semua indah. Dan yang terindah tetap Annelies.
“Mengapa kau diam saja?” tanyanya lagi. “Kau bersekolah?”
“Kawan sekolah Robert Suurhof.”
“Rupa-rupanya abangku bangga punya teman dia, seorang murid H.B.S. Sekarang aku sendiri juga punya teman murid H.B.S. Kaulah itu.” Tiba-tiba ia menengok ke pintu belakang dan berseru: “Mama! Sini! Mama, ada tamu.”
Dan segera kemudian muncul seorang wanita Pribumi, ber¬kain, berkebaya putih dihiasi renda-renda mahal, mungkin bi¬kinan Naarden seperti diajarkan di E.L.S. dulu. Ia mengenakan kasut beledu hitam bersulam benang perak. Permunculannya begitu mengesani karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan riasnya yang terlalu se¬derhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat. Dan yang mengagetkan aku adalah Belandanya yang baik, dengan tekan¬an sekolah yang benar.
“Ya, Annelies, siapa tamumu?”
“Ini, Mama, Minke namanya. Pribumi Jawa, Mama.”
Ia berjalan menghampiri aku dengan sederhananya. Dan inilah rupanya Nyai Ontosoroh yang banyak dibicarakan orang, buah- bibir penduduk Wonokromo dan Surabaya, Nyai penguasa Boer- derij Buitenzorg.
“Pelajar H.B.S., Mama.”
“O-ya? betul itu?” tanya Nyai padaku.
Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia seperti wanita Pribumi - jadi aku harus tidak peduli? Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku terheran-heran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat Pribumi; Eropa! Kalau begini caranya tentu aku akan mengulurkan tangan lebih dahulu.
“Tamu Annelies juga tamuku,” katanya dalam Belanda yang fasih. “Bagaimana aku harus panggil? Tuan? Sinyo? Tapi bukan Indo....”
“Bukan Indo, ....,” apa aku harus panggil dia? Nyai atau Mevrouw?
“Betul pelajar H.B.S.?” tanyanya, tersenyum ramah.
“Betul, ...”
“Orang memanggil aku Nyai Ontosoroh. Mereka tidak bisa menyebut Buitenzorg. Nampaknya Sinyo ragu menyebut aku demikian. Semua memanggil begitu. Jangan segan.”
Aku tak menjawab. Dan nampaknya ia memaafkan keki- kukanku.
“Kalau Sinyo pelajar H.B.S. tentu Sinyo putra bupati. Bupati mana itu, Nyo?”
“Tidak, eh, eh ...”
“Begitu segannya Sinyo menyebut aku. Kalau ragu tak meng-hinakan diri Sinyo, panggil saja Mama, seperti Annelies juga.”
“Ya, Minke,” gadis itu memperkuat. “Mama benar. Panggil saja Mama. ”
“Bukan putra bupati mana pun, Mama,” dan dengan memu¬lai sebutan baru itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku de¬ngannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap.
“Kalau begitu tentu putra patih,” Nyai Ontosoroh menerus¬kan. Ia masih berdiri di hadapanku. “Silakan duduk. Mengapa berdiri saja?”
“Putra patih pun bukan, Mama.”
“Terserahlah. Setidak-tidaknya senang juga ada teman Anne¬lies datang berkunjung. Hei, Ann, yang benar layani tamumu.”
“Tentu, Mama,” jawabnya riang seakan mendapat restu.
Nyai Ontosoroh pergi lagi melalui pintu belakang. Aku masih terpesona melihat seorang wanita Pribumi bukan saja bicara Belanda begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu kom¬plex terhadap tamu pria. Di mana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia? Apa sekolahnya dulu? Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik? Siapa pula yang telah mendidiknya jadi begitu bebas seperti wanita Eropa? Keangkeran istana kayu ini berubah menjadi maligai teka-teki bagiku.
“Aku senang ada tamu untukku,” Annelies semakin riang mengetahui ibunya tidak berkeberatan. “Tak ada yang pernah mengunjungi aku. Orang takut datang kemari. Juga teman-te¬man sekolahku dulu.”
“Apa sekolahmu dulu?”
“E.L.S., tidak tamat, belum lagi kelas empat.”
“Mengapa tak diteruskan?”
Annelies menggigit jari, memandangi aku:
“Ada kecelakaan,” jawabnya tak meneruskan. Tiba-tiba ia bertanya: “Kau Islam?”
“Mengapa?”
“Supaya tak termakan babi olehmu.”
“Terimakasih. Ya.”
Seorang pelayan wanita menghidangkan susucoklat dan kue.
Dan pelayan itu tidak datang merangkak-rangkak seperti pada majikan Pribumi. Malah dia melihat padaku seperti menyatakan keheranan. Tak mungkin yang demikian teijadi pada majikan Pribumi: dia harus menunduk, menunduk terus. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.
“Tamuku Islam,” kata Annelies dalam Jawa pada pelayannya. “Katakan di belakang sana, jangan sampai tercampur babi.” Ke-mudian dengan cepatnya ia berpaling padaku dan bertanya, “Mengapa kau masih juga diam saja?”
“Mengagumi rumah ini,” kataku, “serba indah.”
“Betul-betul senang kau di sini?”
“Tentu, tentu saja.”
“Kau tadi pucat. Mengapa?”
Keramahannya cukup mempesonakan dan memberanikan.
“Mengapa? Tidak tahu?” aku kembali bertanya. “Karena tak pernah menyangka akan bisa berhadapan dengan seorang dewi secantik ini.”
Ia terdiam dan menatap aku dengan mata-kejoranya. Aku menyesal telah mengucapkannya. Ragu dan pelahan ia bertanya:
“Siapa kau maksudkan dewi itu?”
“Kau,” desauku, juga ragu.
Ia meneleng. Airmukanya berubah. Matanya membeliak.
“Aku? Kau katakan aku cantik?”
Aku menjadi berani lagi, menegaskan:
“Tanpa tandingan.”
“Mama!” pekik Annelies dan menoleh ke pintu belakang. Celaka! pekikku mengimbangi — dalam hati saja tentu.
Gadis itu pergi ke pintu belakang. Dia akan mengadu pada Nyai. Anak sinting! tak sebanding dengan kecantikannya. Dan dia akan mengadu: aku telah berbuat kurangajar. Memang ru¬mah celaka ini! Tidak, tidak, bukan kecelakaan. Kalau teijadi sesuatu, itu hanya akibat perbuatan sendiri.
Nyai muncul di pintu. Annelies menggandengnya. Berdua mereka beijalan ke arahku.
Jantungku kembali berdebaran kencang. Barangkali aku me¬mang telah bersalah. Hukumlah si-lancang-mulut ini, asal jangan permalukan aku di hadapan Robert Suurhof.
“Ada apa lagi, Ann? Apa dia mengajak bertengkar, Nyo?”
“Tidak, tidak bertengkar,” sambar gadis itu, kemudian me¬ngadu dengan manjanya,“Mama,” tangannya menunjuk padaku. “Coba, Mama, masa Minke bilang aku cantik?”
Nyai menatap aku. Kepalanya agak meneleng. Kemudian memandangi anaknya. Berkata ia dengan suara rendah sambil meletakkan dua belah tangan pada bahu Annelies:
“Kan aku sudah sering bilang, kau memang cantik? Dan can¬tik luarbiasa? Kau memang cantik, Ann. Sinyo tidak keliru.”
“Oh, Mama!” Annelies berseru sambil mencubit ibunya. 
Wajahnya kemerahan dan matanya memandangi aku, berkilau berbinar-binar.
Dan terbebaslah aku dari kekuatiran.
Sekarang Nyai duduk di kursi sampingku. Berkata cepat:
“Karena itu aku senang kau datang, Nyo. Kan nama Sinyo Minke? Dia tak pernah bergaul wajar seperti anak-anak Indo lain. Dia tidak menjadi Indo, Nyo.”
“Aku bukan Indo,” bantah si gadis. “Tak mau jadi Indo. Aku mau hanya seperti Mama.”
Aku semakin heran. Apa yang hidup dalam keluarga ini?
“Nah, Nyo, kau dengar sendiri: dia lebih suka jadi Pribumi. Mengapa Sinyo diam saja? Tersinggung barangkali kusebut ha¬nya dengan kau dan Sinyo? Tanpa gelar?”
“Tidak, Mama, tidak,” jawabku gopoh.
“Kau kelihatan bingung.”
Siapa pula tidak bingung dalam keadaan seperti ini? Bahkan dia sendiri, Nyai Ontosoroh, menampilkan diri di hadapanku seakan seorang yang sudah kenal begitu lama dan baik tapi aku terlupa siapa — seorang wanita yang seakan pernah melahirkan aku dan lebih dekat padaku daripada Bunda, sekali pun nampak lebih muda.
Aku tunggu-tunggu meledaknya kemarahan Nyai karena puji- pujian itu. Tapi ia tidak marah. Tepat seperti Bunda, yang juga tidak pernah marah padaku. Terdengar peringatan pada kuping batinku: awas, jangan samakan dia dengan Bunda. Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak tidak syah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan untuk kehidupan senang dan me¬wah. Dan tak dapat aku katakan dia bodoh. Bahasa Belandanya cukup fasih, baik dan beradab; sikapnya pada anaknya halus dan bijaksana, dan terbuka, tidak seperti ibu-ibu Pribumi; tingkah- lakunya tak beda dengan wanita Eropa terpelajar. Ia seperti se¬orang guru dari aliran baru yang bijaksana itu. Beberapa orang guruku yang kranjingan kata modern sering mengedepankan contoh tentang manusia baru di jaman modern ini. Mungkin¬kah Nyai mereka masukkan ke dalam daftarnya?
“Itulah, Ann,” ia menambahi, “kau, tidak punya pergaulan, maunya di dekat Mama saja; sudah besar, tapi tetap seperti bocah cilik.” Secepat kilat kata-katanya kemudian ditujukan padaku, “Nyo, kau biasa memuji-muji gadis?”
Pertanyaan itu menyambar sebagai kilat. Melihat gelagat yang baik itu aku pun didorong untuk menangkis secara kilat dan baik-baik pula:
“Kalau gadis itu memang cantik, kan tiada buruk me¬mujinya?”
“Gadis Eropa atau Pribumi?”
“Bagaimana gadis Pribumi bisa dipuji? Didekati saja pun su¬lit, Mama. Tentu saja gadis Eropa.”
“Berani Sinyo lakukan itu?”
“Kami diajar untuk secara jujur menyatakan perasaan hati kami.”
“Jadi kau berani memuji-muji kecantikan gadis Eropa di hadapan orangnya sendiri?”
“Ya, Mama, guru kami mengajarkan adab Eropa.”
“Kalau dia kau puji, apa jawabannya? Makian?”
“Tidak, Mama. Tak ada orang yang tidak suka pada pujian, kata guruku. Kalau orang merasa terhina karena dipuji, katanya pula, tandanya orang itu berhati culas.”
“Lantas bagaimana jawab gadis Eropa itu?”
“Jawabnya, Mama: te-ri-tna-ka-sih.”
“Jadi seperti dalam buku-buku itu?”
Dia membaca buku-buku Eropa, Nyai yang seorang ini!
“Benar, Mama, seperti dalam buku-buku cerita.”
“Nah, Ann, jawablah: te-ri-ma-ka-sih. ”
Seperti pada gadis Pribumi Annelies merah tersipu, ia tetap membisu.
“Kalau gadis Indo bagaimana?” tanya Nyai.
“Kalau mendapat didikan Eropa yang baik sama saja, Mama.”
“Kalau tidak?”
“Kalau tidak, apalagi sedang jengkel, kadang memaki.”
“Sering Sinyo kena maki?”
Aku tahu sekarang, mukaku yang merah. Ia tersenyum, ber¬paling pada anaknya:
“Kau dengar sendiri itu, Ann. Ayoh, katakan terimakasihmu. Hmm, nanti dulu. Begini, Nyo, coba ulangi lagi puji-pujianmu, biar aku ikut dengar.”
Sekarang aku jadi malu terpental-pental. Manusia apa yang aku hadapi ini? Terasa benar ia pandai menawan dan menggeng¬gam aku dalam tangannya.
“Tidak boleh dengar?” tanyanya kemudian melihat pada wa-jahku. “Baiklah.”
Ia pergi menyingkir. Aku dan Annelies mengawasinya sam¬pai ia hilang di balik pintu. Dan berpandang-pandangan kami seperti dua orang bocah yang sama-sama kaget. Aku meledak dalam tawa lepas. Ia menggigit bibir dan melengos.
Keluarga macam apa ini? Robert Mellema dengan lirikannya yang seram menusuk. Annelies Mellema yang kekanak-kanakan. Nyai Ontosoroh yang pandai menawan dan menggenggam hati orang, sehingga aku pun kehilangan pertimbangan, bahwa ia hanyalah seorang gundik. Bagaimana pula Tuan Herman Melle¬ma, pemilik seluruh kekayaan melimpah ini?
“Mana ayahmu?” tanyaku menyingkiri percakapan sambung¬an sebelumnya.
Annelies mengerutkan kening. Kecerahannya hilang:
“Tak perlu kau ketahui. Untuk apa? Sedang aku sendiri tak ada keinginan untuk tahu. Mama pun tidak ingin tahu.”
“Mengapa?” tanyaku.
“Suka kau mendengarkan musik?”
“Tidak sekarang.”
Dan begitulah percakapan berlarut sampai makan siang di-hidangkan. Robert Mellema, Robert Suurhof, Annelies dan aku duduk mengepung meja. Seorang pelayan muda, wanita, berdi-
ri di dekat pintu, menunggu perintah. Suurhof duduk di sam¬ping temannya dan antara sebentar mencuri pandang padaku dan pada Annelies. Mama duduk pada kepala meja.
Hidangan itu berlebih-lebihan.Yang pokok adalah sapi muda, makanan yang baru untuk pertama kali kucicipi dalam hidupku.
Annelies duduk di sampingku dan melayani aku dalam segala hal, seakan aku seorang tuan Eropa atau seorang Indo yang sa¬ngat terhormat.
Nyai makan tenang-tenang seperti wanita Eropa tulen lulus¬an boarding school Inggris.
Kuperhatikan sungguh-sungguh letak sendok dan garpu, penggunaan sendok sup dan pisau-pisau, garpu daging, juga Service untuk lima orang itu. Semua tiada celanya. Pisau baja putih itu pun nampak tak terasah pada batu, tapi pada asahan roda baja, sehingga tak barut-barut. Bahkan juga letak serbet dan kobokan, serta letak gelas dalam lapisan pembungkus perak tidak ada cacatnya.
Robert Suurhof makan dengan lahap seakan belum makan dalam tiga hari belakangan ini. Aku ragu sekali pun lapar. Anne¬lies hampir-hampir tak makan, hanya karena memperhatikan dan melayani aku yang seorang ini.
Waktu Nyai berhenti makan aku pun berhenti, apalagi Anne¬lies. Robert Suurhof meneruskan makannya dan nampak tak begitu mengindahkan Nyai. Dan sampai sebegitu jauh belum juga aku dengar wanita itu bicara pada anak-lelakinya.
“Minke,” panggil Nyai, “benarkah orang sudah mulai bisa bikin es? Es yang benar-benar dingin seperti dalam buku-buku itu? seperti yang membeku di musimsalju di Eropa?”
“Betul, Mama, setidak-tidaknya menurut suratkabar.” Suurhof menelan sambil mendelik padaku.
“Aku hanya mau tahu apa berita koran itu benar.”
“Nampaknya semua akan bisa dibikin oleh manusia, Mama,” jawabku, tapi dalam hati aku heran ada orang bisa meragukan berita koran.
“Semua? Tidak mungkin,” bantahnya.
Percakapan berhenti seperti di-rem. Robert Mellema menga¬jak temannya pergi. Mereka berdiri dan pergi tanpa memberi hormat pada wanita Pribumi itu.
“Maafkan temanku itu, Mama.”
Ia tersenyum, mengangguk padaku, berdiri kemudian juga pergi. Pelayan membereskan meja.
“Mama meneruskan pekeijaannya di kantor,” Annelies me-nerangkan, “sehabis makan siang begini aku pun harus bekeija di belakang.”
“Apa kau keijakan?”
“Mari ikut.”
“Bagaimana temanku nanti?”
“Tak perlu kau risaukan. Abangku pasti akan mengajaknya pergi. Sehabis makan siang biasa ia pergi berburu burung atau tupai dengan senapan-angin.”
“Mengapa mesti sehabis makan siang?”
“Burung-burung dan tupai juga sudah kenyang dan mengan¬tuk, tidak gesit. Ayoh, mari ikut, setidak-tidaknya kalau kau tak ada keberatan.”
Seperti seorang bocah membuntuti ibunya aku begalan di belakangnya. Dan sekiranya ia tak cantik dan menarik, mana mungkin yang demikian bisa teijadi? Ai, philogynik!
Melalui pintu belakang kami memasuki ruangan berisikan tong-tong kayu bergelang-gelang besi. Pada sebuah yang terbe¬sar terdapat pesawat pengaduk di atasnya. Bau susu sapi meme¬nuhi ruangan. Orang berkeija tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka menyeka badan dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan kain pengikat rambut berwar¬na putih. Semua berbaju putih dengan lengan tergulung sepu¬luh sentimeter di bawah sikut. Tidak semua lelaki. Sebagian perempuan, nampak dari kain batik di bawah baju putihnya. Perempuan bekeija pada perusahaan! Mengenakan baju blacu pula! Perempuan kampung berbaju! Dan tidak di dapur ru- mahtangga sendiri! Apakah mereka berkemban juga di balik baju blacu itu?
Aku perhatikan mereka seorang demi seorang. Mereka hanya sekilas memperhatikan aku.
Annelies mendekati mereka seorang demi seorang, dan mere¬ka memberikan tabik, tanpa bicara, hanya dengan isyarat. Itulah untuk pertama kali kuketahui, gadis cantik kekanak-kanakan ini ternyata seorang pengawas yang harus diindahkan oleh para pekeija, lelaki dan perempuan.
Aku sendiri masih termangu melihat perempuan meninggal¬kan dapur rumahtangga sendiri, berbaju-keija, mencari peng¬hidupan pada perusahaan orang, bercampur dengan pria! Apa ini juga tanda jaman modern di Hindia?
“Kau heran melihat perempuan bekeija?” 5
Aku mengangguk. Ia menatap aku seakan hendak membaca keherananku.
“Bagus kan? semua berbaju putih? Semua? Itu hanya mengi¬kuti kebiasaan di Nederland sana. Hanya di sini cukup dengan blacu, bukan lena. Aturan pemerintah kota di sana.” Ia tarik ta¬nganku dan diajaknya keluar ke sebuah lapangan terbuka, tem¬pat penjemuran hasilbumi. Beberapa orang bekeija membalik kedelai, jagung pipilan, kacanghijau dan kacangtanah. Begitu kami datang, semua berhenti bekeija dan memberi tabik dengan anggukan dan tangan sebelah dinaikkan ke atas. Semua bercaping bambu.
Annelies bertepuk-tepuk dan memperlihatkan dua jari pada siapa aku tak tahu. Sebentar kemudian datang seorang bocah pekeija membawakan dua buah topi bambu. Sebuah ia kenakan pada kepalaku, sebuah dikenakannya sendiri. Dan kami beijalan terus beberapa ratus meter ke belakang melalui jalanan yang dilapisi krikil kali.
“Sekarang sedang ada pesta besar,” kataku. “Mengapa mereka tak diberi libur?"’
“Mereka boleh berlibur kalau suka. Mama dan aku tak per¬nah berlibur. Mereka pekeija harian.”
Di jalanan depan kami, agak jauh, nampak dua orang Robert, masing-masing menyandang bedil pada bahu.
“Apa pekeijaanmu sesungguhnya?”
“Semua, kecuali pekerjaan kantor. Mama sendiri yang laku¬kan itu.”
Jadi Nyai Ontosoroh melakukan pekerjaan kantor. Pekeijaan kantor macam apa yang dia bisa?
“Administrasi?” tanyaku mencoba-coba.
“Semua. Buku, dagang, surat-menyurat, bank.”
Aku berhenti melangkah. Annelies juga. Aku tatap dia dengan pandang tak percaya. Ia tarik tanganku dan kami beijalan lagi sampai pada deretan kandang sapi. Dari kejauhan bau kotoran¬nya telah tercium olehku. Hanya karena seorang gadis cantik membawaku aku tak lari menghindar, malah ikut masuk ke dalam kandang. Baru sekali ini seumur hidup. Sungguh.
Deretan kandang itu sangat panjang. Di dalamnya orang-orang sedang sibuk mengurus umpan dan minum sapi perahan. Bau kotoran dan rumput layu menyesakkan nafas. Aku tahan rang¬sangan untuk muntah.
“Sering dokter hewan datang kemari?” aku bertanya.
“Kalau dipanggil. Setahun yang lalu hampir saban hari, Tuan Domschoor itu. Mama tetap tak mau katakan ramuan yang dibikin oleh perempuan penjual jamu, obat pelawan mastitis.”
“Apa mastitis itu?”
Ia tak menjawab. Dengan menjinjing tepi gaun-satinnya An¬nelies menghampiri beberapa ekor sapi dan menepuk-nepuk pada jidat di antara dua tanduk, bicara berbisik pada mereka, bahkan juga tertawa-tawa. Aku perhatikan dia dari suatu jarak. Ia begitu lincah, memasuki kandang dan beramahan dengan sapi, bergaun satin seperti itu!
Juga di sini terdapat pekeija-pekeija wanita. Hanya tidak ber¬baju keija. Orang-orang memberikan tabik dengan mem¬bungkuk dan mengangkat tangan pada kami berdua. Dan aku sendiri mundur-mundur mendekati pintu, mendekati udara segar.
Ia menengok ke belakang padaku dan dengan isyarat menyu¬ruh aku mendekat. Aku pura-pura tak mengerti. Sebaliknya aku mulai memperhatikan para pekerja yang nampak terheran-he- ran melihat kehadiranku. Mereka menyapu, menyiram lantai kandang, menggosok dengan sapu yang sangat panjang tang¬kainya. Semua wanita.
Annelies berjalan sepanjang para-para, dan aku begalan seja¬jar dengannya. Ia berhenti. Kulihat ia bicara dengan seorang pekerja. Dara itu antara sebentar menggeleng sambil mencari aku dengan matanya. Mungkin mereka berdua sedang membicarakan diriku yang seorang ini.
Seorang gadis pekerja berjalan miring-miring di depanku membawa dua ember kosong dari seng. Wajahnya manis dan menarik. Sebagai yang lain-lain ia berkemban dan berkain, te-lanjang kaki, basah, kotor, dengan jari-jari kaki menerompet keluar. Buahdadanya padat dan menyolok dan dengan sendiri¬nya menarik perhatian. Ia menunduk, melirik padaku dari bawah kening dan tersenyum mengundang.
“Tabik, Sinyo!” tegurnya bebas, lunak dan memikat.
Tak pernah aku temui wanita Pribumi sebebas itu, memberi tabik pada seorang pria yang belum pernah dikenalnya. Ia ber¬henti di hadapanku, bertanya dalam Melayu:
“Kontrol, Nyo?”
“Ya,” kataku.
“Ya,Yu Minem,” tiba-tiba Annelies sudah ada di belakangku. “Sudah berapa ember perahanmu sehari?” Sekarang ini meng-gunakan Jawa.
“Tetap saja, Non,” jawab Minem dalam Jawa kromo.
“Mana bisa jadi mandor-perah kalau begitu?”
“Kalau Non sudi kan bisa saja?”
“Kalau hasil perahanmu tidak lebih banyak dari yang lain-lain kau takkan bisa memberi contoh keija yang baik. Tak mungkin bisa jadi mandor, Yu.”
“Tapi kami tak punya mandor,” bantah Minem.
“Kan aku mandor kalian?”
Annelies menarik tanganku dan kami beijalan terus sepanjang kepala-kepala sapi.
“Kau memandori mereka?” tanyaku.
“Perahanku sendiri tetap lebih banyak,” jawabnya. “Nampak¬nya kau tak suka pada sapi. Mari ke kandang kuda kalau kau suka; atau ke ladang.”
Tak pernah aku pergi ke ladang. Apa yang menarik pada ladang? Namun aku ikuti juga dia.
“Atau kau lebih suka naik kuda?”
“Naik kuda?” seruku. “Kau naik kuda?”
Gadis kekanak-kanakan yang belum pernah menamatkan sekolah dasar ini tiba-tiba muncul di hadapanku sebagai gadis luarbiasa: bukan hanya dapat mengatur pekeijaan begitu banyak, juga seorang penunggang kuda, dapat memerah lebih banyak daripada semua pemerah.
“Tentu. Bagaimana bisa mengawasi panen seluas itu kalau tidak berkuda?”
Kami memasuki ladang yang habis dipanen. Kacangtanah. Di mana-mana nampak panenan tergelar di atas tanah dan tumpuk¬an-tumpukan rendeng  yang telah siap diangkut untuk makan¬an ternak.
“Tanah di sini sangat bagus, bisa menghasilkan kacangtanah kering glondongan tiga ton setiap hektar. Kalau tidak membuk¬tikan sendiri boleh jadi orang takkan percaya,” Annelies mene¬rangkan. “Tanah baik. Kwalitas satu. Menguntungkan. Ren¬dengnya pun baik buat pupuk dan buat ternak.”
Nampaknya ia dapat membaca pikiranku: peduli apa dua atau lima ton setiap hektar? Terdengar suaranya:
“Kau tak punya perhatian pada ladang. Mari berpacu kuda. Setuju?”
Sebelum aku menjawab ia telah tarik tanganku. Diseretnya aku sambil lari. Kudengar nafasnya sampai terengah-engah. Dibawanya aku masuk ke sebuah bangsal lebar dan besar, yang ternyata kandang kereta, andong, grobak, bendi. Pada dinding- dinding bergelantungan abah-abah dengan sanggurdi aneka macam. Sebagian besar ruangan kosong.
Melihat aku terheran-heran menyaksikan kandang kereta se¬luas gedung kebupatian ia tertawa, kemudian menuding pada sebuah bendi yang dihiasi dengan serba kuningan mengkilat dan berlampu karbid.
“Pernah melihat bendi sebagus itu?”
Tak pernah aku memperhatikan kebagusan pada bendi. Kepu-nyaan siapa pun. Sekarang, karena tunjukannya, tiba-tiba aku melihat kebagusannya. Mungkin karena sarannya, mungkin juga karena memang bagus.
“Belum, belum pernah,” jawabku sambil mendekati ken¬daraan itu.
Annelies menarik aku lagi. Kami memasuki kandang kuda yang lebar dan panjang. Hanya ada tiga ekor di dalamnya. Seka¬rang bau kuda yang memadati ruangan itu menubruk pen¬ciumanku. Ia hampiri seekor yang berwarna kelabu. Dirangkul¬nya leher binatang itu dan membisikkan sesuatu pada kupingnya.
Binatang itu meringkik lemah seperti tertawa menanggapi. Kemudian ia meringis memperlihatkan giginya yang perkasa waktu moncongnya ditepuk.
Annelies tertawa riang. Suaranya berderai.
“Tidak, Bawuk,” katanya dalam Belanda pada si peringkik. “Sore ini kita takkan beijalan-jalan.” Kemudian dengan suara mengesankan setengah berbisik sambil memeluk leher Bawuk ia melirik padaku, “Sedang ada tamu. Itu orangnya. Minke nama¬nya. Nama samaran, kan? Tentu saja. Dia Islam, Bawuk, Islam. Tapi namanya bukan Jawa, juga bukan Islam, juga bukan Kris¬ten kiraku. Nama samaran. Kau percaya namanya Minke?”
Gadis itu membelai bulu suri Bawuk, dan kembali binatang itu meringkik menanggapi.
“Nah,” katanya, sekarang padaku, “dia bilang namamu me¬mang samaran.”
Mereka nampaknya memang sedang membikin perse¬kongkolan. Aku sasaran. Dan dua ekor yang lain ikut meringkik memandangi aku dengan mata besar tak berkedip. Mendakwa.
“Mari keluar dari sini,” kataku mengajak.
“Sebentar,” jawabnya. Ia datangi dua ekor yang lain, mem¬belai punggung mereka masing-masing, baru kemudian berkata padaku, “Ayoh.”
“Kau berbau kuda,” tuduhku.
Ia hanya tertawa.
“Nampaknya kau tak merasa terganggu.”
“Tidak apa,” jawabnya ketus, “sudah terbiasa sejak dia masih kecil. Mama akan marah kalau aku tak menyayanginya. Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekali pun dia hanya seekor kuda.”
Tak kuteruskan gangguanku tentang bau kuda itu.
“Mengapa kau tak percaya namaku Minke?”
Matanya bersinar tak percaya, menuduh, mendakwa, menu¬ding. Dan aku terpaksa membela diri
Memang bukan mauku bernama atau dinamai Minke. Aku sendiri tak kurang-kurang heran. Ceritanya memang agak ber¬belit, dimulai kala aku memasuki E.L.S. tanpa mengetahui Be¬landa sepatah pun. Meneer Ben Rooseboom, guruku yang pertama-tama, sangat jengkel padaku. Tak pernah aku dapat menjawab pertanyaannya kecuali dengan tangis dan lolong. Namun setiap hari seorang opas mengantarkan aku ke sekolah terbenci itu juga.
Dua tahun aku harus tinggal di kias satu. Meneer Rooseboom tetap jengkel padaku dan padanya aku takut bukan buatan. Pada tahun pengajaran baru aku sudah agak bisa menangkap Belanda. Teman-temanku sudah pada pindah ke kias dua. Aku tetap di kias satu, ditempatkan di antara dua orang gadis Belanda, yang selalu usil mengganggu. Gadis Vera di sampingku mencubit pahaku sekuat dia dapat sebagai tanda perkenalan. Aku? Aku menjerit kesakitan.
Meneer Rooseboom melotot menakutkan, membentak:
“Diam kau, monk.... Minke!”
Sejak itu seluruh kias, yang baru mengenal aku, memanggil aku Minke, satu-satunya Pribumi. Kemudian juga guru-guruku. Juga teman-teman semua kias. Juga yang di luar sekolah.
Pernah aku tanyakan pada kakekku apa arti nama itu. Ia tak tahu. Bahkan ia menyuruh aku bertanya pada Meneer Roose¬boom sendiri. Jelas aku tak berani. Kakekku bukan hanya tak tahu Belanda menulis dan membaca tulisan Latin pun tak bisa. Ia hanya tahu Jawa, tulisan dan lisan. Ia malah setuju menerima julukan itu sebagai nama tetap: kehormatan dari seorang guru yang baik dan bijaksana. Maka hampir lenyaplah nama-asliku.
Sampai tamat E.L.S. aku masih tetap percaya nama itu me-ngandung sesuatu yang tidak menyenangkan. Waktu menyebut-kannya untuk pertama kali mata guruku itu melotot seperti mata sapi. Alisnya terangkat seperti sedang mengambil ancang-ancang hendak melompat dari mukanya yang lebar. Dan penggaris di tangannya jatuh di atas meja. Sama sekali tak ada kasih-sayang, Kebaikan dan kebijaksanaan? Jauh.
Dalam kamus Belanda tak aku dapatkan kata itu.
Kemudian masuklah aku ke H.B.S, Surabaya. Juga guru-gu¬ruku tak tahu arti dan ethymologinya. Mereka pun merasa tak punya dasar untuk mengira-ngira dengan perasaannya. Malah mereka kembali bertanya kepadaku. Salah seorang di antara mereka yang tidak bisa menjawab malah memberi komentar: apalah arti nama, begitu kata pujangga Inggris itu.... (Disebut¬nya sesuatu nama, dan untuk waktu lama aku tak dapat meng¬ingatnya).
Kemudian mulailah kami mendapat pelajaran Inggris. Enam bulan lamanya, dan aku temukan kesamaan bunyi dan huruf pada namaku. Aku mulai kenangkan kembali: mata melotot dan alis yang hendak copot dari muka yang lebar itu pasti menyatakan 
sesuatu yang buruk. Dan aku teringat pada Meneer Rooseboom yang agak ragu menyebutkan nama itu. Dengan kecut pikiranku menduga, dulu ia mungkin bermaksud memaki aku dengan kata tnonkey.
Dan tak pernah dugaanku yang kira-kira tepat itu aku cerita¬kan pada orang lain. Salah-salah, aku bisa jadi bahan lelucon seumur hidup - tak dibayar pula. Juga pada Annelies bagian ini tak pernah kuceritakan padanya.
“Nama Minke juga bagus,” kata Annelies. “Mari pergi ke kampung-kampung. Di atas tanah kami ada empat buah kam¬pung. Semua kepala keluarga penduduk bekeija pada kami.”
Di sepanjang jalan orang-orang kampung menghormati kami. Mereka memanggil gadis itu Non atau Noni.
“Jadi berapa hektar saja tanahmu ini?” tanyaku tak acuh.
“Seratus delapan puluh.”
Seratus delapan puluh! Tak dapat aku bayangkan sampai sebe-rapa luas. Dan ia meneruskan:
“Sawah dan ladang. Hutan dan semak-semak belum ter¬masuk.”
Hutan! Dia punya hutan. Gila. Punya hutan! Untuk apa?
“Hanya untuk sumber kayu bakar,” ia menambahkan.
“Rawa juga punya, barangkali?”
“Ya. Ada dua rawa kecil.”
Rawa pun dia punya.
“Bukit bagaimana?” tanyaku.
“Bukit? Kau mengejek,” ia cubit aku.
“Barangkali untuk diambil apinya kalau meletus.”
“liiih!” ia mencubit lagi.
“Apa yang menggerombol di sana itu?” tanyaku menye¬leweng.
“Hanya rumpunan glagah. Kau tak pernah melihat glagahr’ “Mari ke sana,” aku mengajak.
“Tidak,” jawabnya tegas dan bahunya diangkat. Kepalanya nampak bergidik.
“Kau takut pada tempat itu,” aku menuduh.
Ia gandeng tanganku dan kurasai tangan itu dingin. Matanya tiba-tiba saja jadi gugup dan berusaha secepat mungkin melepas¬kan diri dari rumpunan glagah itu. Bibirnya pucat. Aku menoleh ke belakang. Ia tarik tanganku, berbisik gugup:
“Jangan perhatikan. Ayoh, jalan cepat sedikit.”
Kami memasuki sebuah kampung, meninggalkannya dan memasuki yang lain. Di mana saja sama: bocah-bocah kecil te-lanjang bulat bermain-main, sebagian besar dengan ingus tergan-tung pada hidung. Ada juga di antaranya yang suka menjilati. Di tempat-tempat teduh wanita-wanita bunting tua sedang menja¬hit sambil menggendong anak terkecil atau dua-tiga wanita duduk berbaris mencari kutu kepala.
Beberapa orang perempuan menahan Annelies dan menga¬jaknya bicara, minta perhatian dan bantuan. Dan gadis luarbiasa ini seperti seorang ibu melayani mereka dengan ramah. Jangan¬kan pada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih-sayang selama mereka semua memberinya kehidupan. Ia nampak begi¬tu agung di antara penduduk kampung, rakyatnya. Mungkin lebih agung daripada dara yang pemah kuimpikan selama ini dan kini telah marak ke atas tahta, memerintah Hindia, Suriname, Antillen dan Nederland sendiri. Kulitnya pun mungkin lebih halus dan lebih cemerlang. Lebih bisa didekati.
Begitu terbebas dari rakyatnya kami beijalan lagi. Di sekitar kami alam luas terbentang dan langit cerah tiada awan. Panas sengangar. Pada waktu itulah kubisikkan padanya kata-kata ini:
“Pernah kau lihat gambar Sri Ratu?”
“Tentu saja. Cantik bukan alang kepalang!”
“Ya. Kau tak salah.”
“Mengapa?”
“Kau lebih daripadanya?”
Ia berhenti beijalan, hanya untuk menatap aku, dan: “Te-ri-ma-ka-sih, Minke,” jawabnya tersipu.
Jalan itu semakin panas dan semakin sunyi. Aku lompati selok¬an hanya untuk mengetahui ia akan ikut melompat atau tidak.
Ia angkat gaun-panjangnya tinggi-tinggi dan melompat. Aku tangkap tangannya, aku dekap dan kucium pada pipinya. Ia nam¬pak terkejut, membeliak mengawasi aku.
“Kau!” tegurnya. Mukanya pucat.
Dan aku cium dia sekali lagi. Kali ini terasa olehku kulitnya halus seperti beledu.
“Gadis tercantik yang pernah aku temui,” bisikku sejujur ha¬tiku. “Aku suka padamu, Ann.”
Ia tak menjawab, juga tak menyatakan terimakasih. Hanya dengan isyarat ia mengajak pulang. Dan ia berjalan membisu dan tetap membisu, sampai kami tiba di belakang komplex perumah¬an. Firasat pun datang padaku: kau akan mendapat kesulitan karena perbuatanmu yang belakangan ini, Minke. Kalau dia mengadu pada Darsam boleh jadi kau akan dipukulnya tanpa kau bisa menggonggong.
Ia beijalan menunduk. Baru pada waktu itu aku mengetahui sandalnya tertinggal sebelah di seberang selokan. Dan aku pura- pura tidak tahu. Kemudian aku merasa malu pada diri sendiri karena pura-pura tidak tahu itu. Memperingatkan:
“Sandalmu tertinggal, Ann.”
Ia tidak peduli. Tidak menjawab. Tidak menoleh. Ia beijalan lebih cepat.
Aku bercepat menghampirinya:
“Kau marah, Ann? Marah padaku?”
Ia tetap membisu.
Dari kejauhan nampak istana kayu itu tinggi di atas atap yang lain. Pada sebuah jendela loteng nampak Nyai sedang menga¬wasi kami. Annelies yang beijalan menunduk tidak tahu. Mata pada jendela itu tetap mengikuti kami sampai atap-atap gudang menutup pemandangan.
Kami memasuki rumah dan duduk lagi di silje ruangdepan. Annelies duduk diam-diam, membiarkan beku semua perta¬nyaanku. Mendadak ia merentak bangun. Tanpa bicara pergi masuk ke dalam rumah. Aku semakin gelisah di tempat-duduk- ku. Dia pasti akan mengadu. Dan aku akan menerima hukuman setimpal! Tidak, aku takkan lari.
Tak lama kemudian ia muncul kembali membawa sebuah bungkusan besar kertas. Diletakkannya benda itu di atas meja. Dengan nada dingin ia berkata:
“Sudah sore, beristirahadah. Pintu itu,” ia menunjuk ke bela¬kang pada sebuah pintu, “kamarmu. Di dalam bungkusan ini ada sandal, anduk, piyama. Kau mandi di sini. Aku masih ada pe- keijaan.”
Sebelum pergi ia menghampiri pintu yang ditunjuknya tadi, membukanya dan menyilakan aku masuk.
“Kau sudah tahu di mana kamarmandi,” tambahnya. Dan dengan lembutnya ia sorong aku masuk ke dalam, ditutupnya pintu dari luar dan tertinggallah aku seorang diri di dalamnya.
Ketegangan kecil dan besar ini membikin aku sangat lelah. Duga-sangka tentang segala yang mungkin terjadi karena kelan- canganku mengganggu ketenteraman hatiku. Biar begitu aku tak dapat menyalahkan diriku. Bagaimana dapat salahkan? Apa pe¬muda lain takkan sama tingkahnya denganku di dekat dara can¬tik luarbiasa? Kan guru biologi itu .... Ih, persetan dengan biologi.
Memasuki kamarmandi adalah menikmati kemewahan lain lagi. Dinding-dinding dilapis dengan cermin 3 mm. berdiri di atas landasan tegel tembikar creme. Baru kali ini aku melihat kamarmandi begini luas, bersih, menyenangkan. Biar dalam komplex kebupatian sekali pun takkan pernah orang dapatkan. Air yang kebiruan di dalam bak berlapis porselen itu memang¬gil-manggil untuk diselami. Dan barang ke mana mata diarah¬kan, diri sendiri juga yang nampak: depan, belakang, samping, seluruhnya.
Air jernih, sejuk, kebiruan ini melenyapkan kegelisahan dan duga-sangka.
Dan kalau kelak aku sempat menjadi kaya, akan kubangun kemewahan seperti ini juga. Tidak kurang dari ini.
MAMA MEMPERSILAKAN aku duduk di ruangbelakang. Ia sendiri duduk di sampingku dan mengajak aku bicara tentang perusa¬haan dan perdagangan. Ternyata pengetahuanku tentangnya tia¬da artinya. Ia mengenal banyak istilah Eropa yang aku tak tahu. Kadang ia malah menerangkan seperti seorang guru. Dan ia bisa menerangkan! Nyai apa pula di sampingku ini?
“Sinyo punya perhatian pada perusahaan dan perdagangan,” katanya kemudian, seakan aku sudah mengerti semua yang dika-takannya. “Tak biasa itu teijadi pada orang Jawa, apalagi putra pembesar. Atau barangkali Sinyo kelak hendak jadi pengusaha atau pedagang?”
“Selama ini aku sudah mencoba-coba berusaha, Mama.” “Sinyo? Putra bupati? mencoba-coba berusaha bagaimana?” “Mungkin juga karena bukan anak bupati itu,” bantahku. “Apa Sinyo usahakan?”
“Mebel dari kias teratas, Mama,” aku mulai berpropaganda “dari gaya dan model terakhir Eropa. Biasa aku tawarkan di kapal pada pendatang baru, juga di rumah-rumah orangtua teman- teman sekolah.”
“Dan sekolah Sinyo? tidak tercecer?”
“Belum pernah, Mama.”
“Menarik. Bagiku siapa pun berusaha selalu menarik. Sinyo punya bengkel mebel sendiri? Berapa tukangnya?”
“Tak ada. Hanya menawar-nawarkan dengan membawa gambar.”
“Jadi kedatanganmu ini juga hendak berdagang? Coba lihat gambar-gambarmu.”
“Tidak. Datang kemari aku tak membawa sesuatu. Hanya, kalau Mama memerlukan lain kali akan kubawakan: lemari, misalnya, seperti dalam istana raja-raja Austria atau Prancis atau Inggris — renaissance, baroc, roccoco, victoria,...”
Ia dengarkan ceritaku dengan hati-hati. Dua kali kudengar ia berkecap-kecap, entah memuji entah mengejek. Kemudian ber¬kata pelan:
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri ber- suka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.”
Nadanya terdengar seperti keluar dari rongga dada seorang pendeta dalam cerita wayang. Kemudian ia berseru:
“Bukan main!” ia melihat ke atas pada tangga loteng. “Ah!”
Dari tangga itu turun bidadari Annelies, berkain batik, berke¬baya berenda. Sanggulnya agak ketinggian sehingga menampak¬kan lehernya yang jenjang putih. Leher, lengan, kuping dan dadanya dihiasi dengan perhiasan kombinasi hijau-putih zamrud- mutiara dan berlian. (Sebetulnya aku tak tahu betul mana intan mana berlian, asli atau tiruan).
Aku terpesona. Pasti dia lebih cantik dan menarik daripada bidadarinyaJakaTarub dalam dongengan BabadTanahJawi. Nam¬pak ia tersenyum-senyum malu. Perhiasan yang dikenakannya agak atau memang berlebihan, terlalu mewah. Dan aku merasa: dia berhias untuk diriku yang seorang.
Dan untuk paras dan resam seindah itu rasanya tak diperlukan sesuatu perhiasan. Bahkan telanjang bulat pun masih akan tetap indah. Keindahan karunia para dewa itu masih tetap lebih ung¬gul daripada rekaan orang. Dengan segala perhiasan dari laut dan bumi ia kelihatan jadi orang asing. Sedang pakaian yang tiada biasa dikenakannya itu membikin gerak-geriknya menjadi seperti boneka kayu. Keluwesannya hilang. Segala yang ada padanya diliputi keseakanan. Tapi tak apalah, yang indah akan tetap in¬dah. Hanya aku yang harus pandai menyingkirkan keber- lebihannya.
“Dia bersolek untukmu, Nyo!” bisik Nyai.
Perempuan hebat, nyai yang seorang ini, pikirku.
Annelies beijalan menghampiri kami sambil masih tersenyum dan mungkin telah menyediakan te-ri-ma-ka-sih dalam hatinya. Belum lagi aku sempat memuji, Nyai telah mendahului:
“Dari siapa kau belajar bersolek dan berdandan seperti itu?”
“Ah, Mama ini!” serunya sambil memukul pundak ibunya dan melirik padaku dengan mata besar. Wajahnya kemerahan.
Aku juga tersipu mendengar percakapan ibu dan anak yang terlalu intim untuk didengar oleh orang lain itu. Namun di dekat Mama ini aku merasa berhak untuk berhati tabah. Dan memang aku harus meninggalkan kesan sebagai seorang pria yang tabah, menarik, gagah, penakluk tak terdamaikan dari sang dewi ke-cantikan. Di depan Sri Ratu pun rasa-rasanya aku harus bersikap demikian pula. Itulah bulu-hias bagi ayam, tanduk bercabang bagi rusa, tanda kejantanannya.
Tak aku campuri urusan anak dan ibu itu.
“Lihat, Ann, Sinyo sudah mau berangkat pulang saja. Berun¬tung dapat dicegah. Kalau tidak, dia akan merugi tidak melihat kau seperti ini!”
“Ah, Mama ini!” sekali lagi Annelies bermanja dan memukul ibunya. Juga matanya melirik padaku.
“Bagaimana, Nyo? Mengapa kau diam saja? Lupa kau pada adatmu?”
“Terlalu cantik, Mama. Apa kata yang tepat untuk cantiknya cantik? Ya, begitulah kau, Ann.”
“Ya,” tambah Nyai, “pantas untuk jadi Ratu Hindia, bukan Nyo?” dan berpaling padaku.
“Ah, Mama ini,” seru gadis itu untuk kesekian kali.
Hubungan anak-ibu ini terasa aneh olehku. Boleh jadi akibat perkawinan dan kelahiran tidak syah. Barangkali memang begi¬ni suasana kekeluargaan nyai-nyai. Bahkan mungkin juga dalam keluarga modern Eropa di Eropa dewasa ini dan pada Pribumi Hindia jauh di kemudianhari. Atau barangkali juga memang tidak wajar, aneh, tidak jamak. Namun aku senang. Dan berun¬tung puji-memuji itu akhirnya selesai tanpa arah.
Hari semakin gelap. Mama semakin banyak bicara. Kami ber¬dua hanya mendengarkan. Bagiku bukan saja aku menjadi se¬makin yakin pada kepatutan dan kekayaan Belandanya, juga ter¬lalu banyak hal baru, yang tak pernah kuketahui dari guru-gu¬ruku, keluar dari bibirnya. Mengagumkan. Walhasil aku tetap belum juga diperkenankan pulang.
“Dokar?” katanya. “Di belakang banyak dokar, andong. Ka¬lau Sinyo suka boleh juga pulang naik grobak dorong.”
Seorang bujang lelaki mulai menyalakan lampu gas yang aku tak tahu di mana pusatnya tangki.
Pelayan mulai menutup mejamakan.
Dua orang Robert disilakan masuk ke ruangbelakang. Maka makanmalam dimulai dengan diam-diam.
Seorang pelayan lain masuk ke ruangdepan, menutup pintu. Lampu ruangbelakang taram-temaram tertutup kap kaca putih susu.Tak seorang membuka kata. Hanya mata berpendaran dari piring ke basi, dari basi ke bakul. Bunyi sendok, garpu dan pi¬sau berdentingan menyentuh piring.
Nyai mengangkat kepala. Memang ada terdengar pintu depan dibuka tanpa ketukan tanpa pemberitahuan. Kuangkat pandang melihat pada Nyai. Matanya memancarkan kewaspadaan ke arah ruangdepan.
Robert Mellema melirik ke arah yang sama. Matanya bersi¬nar senang dan bibirnya memancarkan senyum puas. Ingin juga aku menengok ke belakang, ke arah pandang mereka tertuju. Kucegah keinginan itu, tidak sopan, tidak baik, bukan gentle- man. Maka kulirik Annelies. Dalam tunduknya bola-matanya terangkat ke atas. Jelas kupingnya sedang ditajamkan.
Sengaja aku berhenti menyuap dan mengarahkan pendengar¬an ke belakang.Terdengar langkah sepatu beijalan menyeret pada lantai. Makin lama makin jelas. Makin dekat. Nyai berhenti makan. Robert Suurhof tak jadi menyuap; ia letakkan sendok- garpunya di atas piring. Yang terdengar olehku: langkah itu makin mendekat, mengalahkan bunyi ketak-ketik pendule.
Robert Mellema meneruskan makannya seperti tiada teijadi sesuatu.
Akhirnya Annelies yang duduk di sampingku menengok Ke belakang juga. Ia menggeragap kaget. Sendoknya jatuh terpe¬lanting di lantai. Aku berusaha memungutnya. Pelayan datang berlarian dan mengambilkan. Kemudian cepat-cepat menghin¬
dar, meninggalkan ruangan entah ke mana. Gadis itu berdiri seperti hendak menghadapi si pendatang yang semakin mendekat.
Kuletakkan sendok dan garpu di atas piring, mengikuti con¬toh Annelies, berdiri memunggungi mejamakan.
Nyai juga berdiri bersiaga.
Bayang-bayang pendatang itu disemprotkan oleh lampu ruangdepan, makin lama makin panjang. Langkah sepatu yang terseret semakin jelas. Kemudian muncul seorang lelaki Eropa, tinggi, besar, gendut, terlalu gendut. Pakaiannya kusut dan ram-butnya kacau, entahlah memang putih entahlah uban.
Ia melihat ke arah kami. Berhenti sebentar.
“Ayahmu?” bisikku pada Annelies.
“Ya,” hampir tak terdengar.
Tanpa mengubah arah pandang Tuan Mellema beijalan me¬nyeret sepatu langsung menuju padaku. Padaku seorang. Ia ber¬henti di hadapanku. Alisnya tebal, tidak begitu putih, dan wa¬jahnya beku seperti batu kapur. Sekilas pandangku jatuh pada se¬patunya yang berdebu, tanpa tali. Kemudian teringat olehku pada ajaran guruku: pandanglah mata orang yang mengajakmu bicara. Buru-buru aku angkat lagi pandangku dan beruluk tabik:
“Selamat petang,Tuan Mellema!” dalam Belanda dan dengan nada yang cukup sopan.
Ia menggeram seperti seekor kucing. Pakaiannya yang tiada bersetrika itu longgar pada badannya. Rambutnya yang tak bersi¬sir dan tipis itu menutup pelipis, kuping.
“Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!” dengusnya dalam Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga isinya.
Di belakangku terdengar deham Robert Mellema. Kemudi¬an terdengar olehku Annelies menarik nafas sedan. Robert Suurhof menggeserkan sepatu dan memberi tabik juga. Tapi raksasa di hadapanku itu tidak menggubris.
Aku akui: badanku gemetar, walau hanya sedikit. Dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat menunggu kata-kata Nyai.
Tak ada orang lain bisa diharapkan. Celakalah aku kalau dia diam saja. Dan memang dia diam saja.
“Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!”
“Tutup mulut!” bentak Nyai dalam Belanda dengan suara berat dan kukuh. “Ia tamuku.”
Mata Tuan Mellema yang tak bersinar itu berpindah pada gundiknya. Dan haruskah akan teijadi sesuatu karena Pribumi seorang yang tak diundang ini?
“Nyai!” sebut Tuan Mellema.
“Eropa gila sama dengan Pribumi gila,” sembur Nyai tetap dalam Belanda. Matanya menyala memancarkan kebencian dan kejijikan. “Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri!” Nyai menunjuk ke suatu arah. Dan telunjuk itu runcing seperti kuku kucing.
Tuan Mellema masih berdiri di hadapanku, ragu.
“Apa perlu kupanggilkan Darsam?” ancam Nyai.
Lelaki tinggi-besar-gendut itu kacau, menggeram sebagai jawaban. Ia memutar badan, beijalan menyeret kaki ke pintu di samping kamar yang tadi kutinggali, hilang ke dalamnya.
“Rob,” panggil Robert Mellema pada tamunya. “Mari keluar. Terlalu panas di sini.”
Mereka berdua keluar tanpa memberi hormat pada Nyai.
“Bedebah!” kutuk Nyai.
Annelies tersedan-sedan.
“Diam kau, Ann. Maafkan kami. Minke, Nyo. Duduklah kembali. Jangan bikin bising, Ann. Duduk kau di kursimu.”
Kami berdua duduk lagi. Annelies menutup muka dengan setangan sutra. Dan Nyai masih mengawasi pintu yang baru ter¬tutup itu, berang.
“Kau tak perlu malu pada Sinyo,” Nyai masih juga meradang tanpa menengok pada kami. “Dan kau, Nyo, memang Sinyo takkan mungkin dapat lupakan. Aku takkan malu, jangan Sinyo kaget atau ikut malu. Jangan gusar. Semua sudah kuletakkan pada tempatnya yang benar. Anggap dia tidak ada, Nyo. Dulu aku memang nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah tanpa harga. Orang yang hanya bisa bikin malu pada keturunannya sendiri. Itulah papamu, Ann.”
Puas mengumpat ia duduk kembali.Tak meneruskan makan. Wajahnya menjadi begitu keras dan tajam. Tenang-tenang aku pandangi dia. Wanita macam apa pula dia ini?
“Kalau aku tak keras begini, Nyo — maafkan aku harus mem-bela diri sehina ini — akan jadi apa semua ini? Anak-anaknya .... Perusahaannya .... semua sudah akan menjadi gembel. Jadi, aku tak menyesal telah bertindak begini di hadapanmu, Nyo.” Suaranya kemudian menurun seperti mengadu padaku,“Jangan kau anggap aku biadab,” katanya terus dalam Belanda yang patut. “Semua untuk kebaikan dia sendiri Dia telah ku¬perlakukan sebagaimana dia kehendaki. Itu yang dia kehenda¬ki memang. Orang-orang Eropa sendiri yang mengajar aku berbuat begini, Minke, orang-orang Eropa sendiri,” suaranya minta kepercayaanku.“Tidak disekolahkan, di dalam kehidup¬an ini.”
Aku diam saja. Setiap patah dari kata-katanya kupakukan dalam ingatanku: tidak di sekolahkan, di dalam kehidupan! ja¬ngan anggap biadab! orang Eropa sendiri yang mengajar begini
Sekarang Nyai berdiri, beijalan lambat-lambat ke arah jende¬la. Dari balik tabir pintu ia tarik seutas tambang lawe yang beru¬jung pada segumpal jumbai-jumbai. Dari kejauhan terdengar sayup bunyi giring-giring. Muncullah kembali pelayan wanita yang tadi telah kabur. Nyai memerintahkan mengundurkan makanan. Aku masih tetap tak tahu apa harus kukeijakan.
“Pulanglah kau, Nyo,” katanya sambil berpaling padaku.
“Ya, Mama, lebih baik aku pulang.”
Ia beijalan menghampiri aku. Matanya kembali jadi lembut sebagai seorang ibu.
“Ann,” katanya lebih lunak lagi, “biar tamumu pulang dulu. Seka airmatamu itu.”
“Aku pulang dulu, Ann. Senang sekali aku di sini,” kataku.
“Sayang sekali, Nyo, sayang sekali suasana sebaik itu jadi ru¬sak begini,” Nyai menyesali.
“Maafkan kami, Minke,” bisik Annelies tersendat-sendat.
“Tak apa, Ann.”
“Kalau liburan nanti, berpakansi kau di sini saja, Nyo. Jangan ragu. Takkan terjadi apa-apa. Bagaimana? Setuju? Sekarang Si- nyo pulang saja, biar Darsam antarkan dengan dokar.”
Ia beijalan lagi ke jendela dan menarik tambang tadi. Kemu¬dian ia duduk di tempatnya lagi. Dalam pada itu aku masih mengherani hebatnya nyai seorang ini: manusia dan lingkungan memang berada dalam genggamannya, juga aku sendiri. Lulus¬an sekolah apa dia maka nampak begitu terpelajar, cerdas dan dapat melayani beberapa orang sekaligus dengan sikap yang berbeda-beda? Dan kalau dia pernah lulus suatu sekolah, bagai¬mana mungkin bisa menerima keadaan sebagai nyai-nyai? Tak dapat aku temukan kunci untuk mengetahui.
Seorang lelaki Madura datang. Ia tak dapat dikatakan muda, tinggi lebih-kurang satu meter enampuluh, umur mendekati empatpuluh, berbaju dan bercelana serba hitam, juga destar pada kepalanya. Sebilah parang pendek terselit pada pinggang. Kumis¬nya bapang, hitam-kelam dan tebal.
Nyai memberinya perintah dalam Madura. Aku tak mengerti betul artinya. Kira-kira saja memerintahkan mengantarkan aku dengan dokar sampai selamat di rumah.
Darsam berdiri tegak. Tanpa bicara ia pandangi aku dengan mata menyelidik, seperti hendak menghafalkan wajahku, tanpa berkedip.
“Tuanmuda ini tamuku, tamu Noni Annelies,” kata Nyai dalam Jawa. “Antarkan. Jangan teijadi apa-apa di jalanan. Hati- hati!” Rupa-rupanya hanya terjemahan dari Madura se¬belumnya.
Darsam mengangkat tangan, tanpa bicara, kemudian pergi. “Sinyo, Minke,” Nyai merajuk, “Annelies tak punya teman. Dia senang Sinyo datang kemari. Kau memang tak punya banyak waktu. Itu aku tahu. Biar begitu usahakan sering datang kemari. Tak perlu kuatir pada Tuan Mellema. Itu urusanku. Kalau Sinyo suka, kami akan senang sekali kalau Sinyo mau tinggal di sini. Sinyo bisa diantar dengan bendi setiap hari pulang balik. Itu kalau Sinyo suka.”
Rumah dan keluarga aneh dan seram ini! Pantas orang menganggapnya angker. Dan aku menjawab:
“Biar kupikir-pikir dulu, Mama. Terimakasih atas undangan pemurah itu.”
“Jangan tidak, Minke,” Annelies merajuk.
“Ya, Nyo, pikirlah. Kalau tidak ada keberatan, biar semua nan¬ti diurus oleh Annelies. Kan begitu, Ann?”
Annelies Mellema mengangguk mengiakan.
Kereta itu telah terdengar melewati beijalan ke ruangdepan, mendapatkan Robert Mellema sedang duduk diam-diam me-mandangi kegelapan luar. Kereta berhenti di depan tangga ru¬mah. Aku dan Suurhof turun dari tangga, naik ke kereta.
“Selamat malam semua, dan terimakasih banyak, Mama, Ann, Rob,” kataku.
Dan kereta mulai bergerak.
“Brenti dulu!” perintah Mama. Kereta berhenti. “Sinyo Minke! Coba turun dulu.”
Seperti seorang sahaya aku sudah tergenggam dalam tangan- nva.Tanpa berpikir apa pun aku turun dan menghampiri anak- tangga. Nyai turun satu jenjang, juga Annelies, berkata pelahan pada kupingku:
“Annelies bilang padaku, Nyo - jangan gusar - benarkah itu, kau telah menciumnya?”
Petir pun takkan begitu mengagetkan. Kegelisahan meram- bat-rambat ke seluruh tubuh, sampai pada kaki, dan kaki pun jadi salah tingkah.
“Benarkah itu?” desaknya. Melihat aku tak dapat menjawab ia tarik Annelies dan didekatkan padaku. Kemudian, “Nah, jadi benar. Sekarang, Minke, cium Annelies di hadapanku. Biar aku tahu anakku tidak bohong.”
Aku menggigil. Namun perintah itu tak terlawankan. Dan kucium Annelies pada pipinya.
“Aku bangga, Nyo, kaulah yang telah menciumnya. Pulang¬lah sekarang.”

DALAM PERJALANAN pulang aku tak mampu berkata barang se-suatu. Nyai kurasakan telah menyihir kesedaranku. Annelies memang cantik gilang-gemilang. Namun ibunya yang pandai menaklukkan orang untuk bersujud pada kemauannya.
Robert Suurhof menggagu.
Dan kereta beijalan gemeratak menggiling batu jalanan. Lam¬pu karbid kereta menyibak kegelapan dengan cara yang tak ke¬nal damai. Hanya kereta kami yang lewat pada malam itu. Nam¬paknya orang telah mengalir ke Surabaya, merayakan penobatan dara Wilhelmina.
Darsam mengantarkan aku sampai ke rumah pemondokan di Kranggan. Ia memerlukan melihat aku masuk sebelum berangkat lagi mengantarkan Suurhof.
“Ai-ai, Tuanmuda Minke!” sambut Mevrouw Telinga bawel itu. “Jadi Tuanmuda tak makan di rumah lagi? Tadi sudah ku- taruh surat pos di dalam kamarmu. Aku lihat surat-surat sebe¬lum itu juga belum kau baca. Sampulnya belum lagi terbuka. Ingat-ingat Tuanmuda, surat-surat itu ditulis, diprangkoi, diki¬rimkan untuk dibaca. Siapa tahu ada urusan penting? Nampak¬nya semua datang dari kota B. Eh, Tuanmuda, bagaimana ini? Besok sudah tak ada uang belanja nih.”
Kuserahkan setalen untuk ibu bawel yang baikhati itu. Ia ucap-kan terimakasih berulang kali seperti biasa, tanpa perlu keluar dari hatinya.
Di dalam kamar telah tersedia coklatsusu hangat yang segera kuminum habis. Kulepas sepatu dan baju, melompat ke ranjang untuk segera mengenangkan kembali segala yang telah teijadi. Tapi pandangku tertumbuk pada potret dara impian di atas meja, dekat pada lampu teplok. Aku turun lagi, memandanginya baik-baik, kemudian kubalik. Dan kembali aku naik ke ranjang.
Koran terbitan Surabaya dan Betawi, yang biasanya diletakkan di atas bantalku, kusorong ke samping. Telah jadi adatku mem¬baca koran sebelum tidur. Tak tahulah aku namun aku suka mencari-cari berita tentang Jepang. Aku senang mengetahui adanya pemuda-pemuda yang dikirimkan ke Inggris dan Ameri¬ka untuk belajar. Boleh jadi aku seorang pengamat Jepang. Tapi sekarang ada yang lebih menarik — keluarga kaya-raya yang aneh itu: Nyai yang pandai menggenggam hati orang seakan ia dukun sihir; Annelies Mellema yang cantik, kebocah-bocahan, namun seorang berpengalaman yang pandai mengatur para pekerja; Robert Mellema dengan lirikannya yang tajam, tak peduli segala-gala kecuali sepakbola, bahkan juga tidak pada ibunya sendiri; Tuan Herman Mellema yang sebesar gajah, pembere- ngut, tapi tak berdaya terhadap gundiknya sendiri. Masing-ma¬sing seperti tokoh dalam sebuah sandiwara. Keluarga macam apa ini? Dan aku sendiri? Aku sendiri pun tiada berdaya terhadap Nyai. Sampai aku tergolek di ranjang ini suaranya masih terasa memanggil-manggil: Annelies tak punya teman! Dia senang Si- nyo datang kemari. Kau memang tak punya banyak waktu. Biar begitu usahakan sering datang kemari kami akan senang sekali kalau Sinyo tinggal di sini....
Rasanya belum lagi lama aku tertidur. Satu keributan terjadi di luar rumah. Kunyalakan lampu minyak dalam kamarku. Jam lima pagi.
“Ada kiriman. Untuk Tuanmuda Minke,” kudengar suara seseorang lelaki, “susu, keju dan mentega. Juga ada surat dari Nyai Ontosoroh sendiri....”

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02