Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 11

EGITU DARSAM MEMIMPIN AKU MENAIKI TANGGA NAMPAK Nyai Ontosoroh datang gopoh-gapah menyambut: “Keterlaluan kau, Nyo, ditunggu-tunggu begitu lama.
Annelies sakit keras merindukan kau, kau!”
“Tuanmuda juga sakit, Nyai, kuangkat juga kemari.”
“Tak apa. Kalau dua-duanya sudah bertemu dan kumpul, se¬mua akan beres. Penyakit akan hilang.”
Memalukan kata-kata itu, namun terasa sebagai antitoksin yang mulai mencabarkan si palakia dalam kepala. Nyai menang¬kap bahuku, berbisik lunak pada kupingku sambil tersenyum.
“Suhumu memang agak naik. Tidak apa. Mari ke atas, Nak. Adikmu sudah terlalu lama menunggu. Kau mengirimkan ka¬bar pun tidak.”
Suaranya begitu lembut, langsung masuk ke dalam hati, se¬akan ia ibuku sendiri, Bundaku tersayang, dan aku tak lain bocah kecil dalam bimbingannya. Namun tak urung mataku jalang ke sana-sini. Robert setiap waktu bisa meloncat dari kegelapan dan menerkam aku dengan otot-ototnya yang perkasa.
“Di mana Robert, Ma?” tanyaku waktu mendaki tangga.
“Sst. Tak perlu kau tanyakan. Dia anak bapaknya.”
Mengapa aku jadi begini lunak di tangan wanita seorang ini? Seakan segumpal lempung yang bisa dibentuknya sesuka hatinya?
Mengapa tak ada perlawanan dalam diriku? Bahkan kehendak untuk bertahan pun tiada? Seakan ia tahu dan dapat menguasai pedalaman diriku, dan memimpinku ke arah yang aku sendiri kehendaki?
Loteng itu jauh lebih mewah. Hampir seluruh lantai korri- dor digelari permadani. Rasanya diri menjadi seekor kucing, dapat melangkah tanpa meninggalkan bunyi. Jendela-jendela yang terbuka melelakan pemandangan sampai jauh-jauh pada batas nun jauh di sana. Sawah dan ladang dan hutan memben¬tang sambung-menyambung. Serombongan kecil orang sedang menyelesaikan panen taraf terakhir. Sawah yang tertinggal tiada tergarap sedang menunggu penghujung akhir musim kemarau.
Memang koran-koran mengabarkan penen besar tahun ini berlimpahan. Tak perlu mendatangkan beras bermutu rendah dari Siam, sekali pun sawah-sawah tersubur di Jawa Timur dan Tengah praktis hanya menghasilkan gula. Pertanda, kata salah seorang jurutinjau: Ratu Wilhelmina direstui Tuhan sebagai ratu termuda, pada usia sangat muda sebagai ratu.
Kami berdiri di depan ranjang. Nyai memperbaiki letak se¬limut Annelies. Buahdada dara itu nampak menjulang dari bawahnya. Dan Nyai mengalihkan tangan anaknya pada tanganku.
“Annelies sayang.”
Dengan beratnya gadis itu membuka mata.Tak menoleh.Juga tak melihat. Mata, pandang berat itu disapukannya pada langit- langit, kemudian tertutup lagi.
“Minke, Nyo, Nak, jagalah buahhatiku ini,” bisik Nyai. “Ka¬lau kau sendiri sakit, sembuhlah sekarang juga. Bawa anakku sembuh bersamamu,” suaranya terdengar seperti doa.
Ia pandangi aku dengan mata memohon dengan amat sangat.
“Terserah padamu, Nak.Asal anakku bisa sembuh... Kau ter-pelajar. Kau mengerti maksudku,” ia menunduk seperti malu melihat padaku. Kedua belah tangannya memegangi lenganku. Mendadak ia berbalik, pergi keluar kamar.
Kugagapi tangan Annelies di bawah selimut. Dingin. Kude¬katkan mulutku pada kupingnya dan kupanggil-panggil nama¬nya, pelan. Ia tersenyum, tapi matanya tetap tertutup. Suhu badannya tak terlalu tinggi. Dan kuketahui pada kala itu: buah palakia dalam kepalaku telah terpental keluar, tercerabut bersa¬ma akar dan semian, jatuh terpelanting entah di mana.
Begini dekat dara ini. Dengan cepatnya jantungku berdebar- an memompa darah panas ke seluruh badan dan mulai ber¬keringat.
“Kan kau tunggu-tunggu kedatangan Minke?”
Entah karena bayanganku, entah sesungguhnya demikian, aku lihat ia mengangguk lemah. Matanya tetap tertutup. Juga mulutnya.
“Rindu kau padanya, Ann? Tentu, kau rindu. Juga dia rindu padamu. Sungguh. Kalau saja kau tahu betapa dia ingin selalu ada didekatmu, Ann, menyuntingkan kau dalam hidupnya, se¬luruh dunia ini akan terasa jadi miliknya, karena kebahagiaan ini adalah kau sendiri. Buka matamu, Ann, karena Minke sudah ada di dekatmu.”
Terdengar keluhan Annelies. Matanya tetap tertutup. Juga bibirnya.
Adakah gadis ini sudah tak mengenal suaraku lagi? Jadi kube¬lai wajahnya, pipinya, rambutnya. Ia menelengkan kepala dan mengeluh lagi. Akan matikah anak ini? Dara secantik ini? Aku peluk tubuhnya dan aku kecupi bibirnya. Dengan jantung dalam dadanya kudengar terlalu lambat. Jari-jarinya bergerak pelan, hampir tidak.
“Ann, Annelies!” akhirnya aku berseru pada kupingnya. “Bangun, kau, Ann,” dan aku guncang-guncangkan bahunya.
Ia membuka mata. Pasang bola yang memandang jauh itu tak melihat dan tak sampai pada mukaku.
“Tak kenal lagi kau padaku, Ann? Aku? Minke?”
Ia tersenyum. Pandang matanya tetap melewati mukaku.
“Ann, Ann, jangan begini kau. Tak suka kau kalau Minke 
datang? Aku sudah datang. Atau aku harus pergi lagi mening¬galkan kau? Ann, Annelies, Annneliesku!”
Jangan-jangan gadis ini nanti mati dalam pelukanku. Berdiri aku sekarang di depan ranjang. Menyeka keringat dari dahi yang basah.
“Teruskan, Nyo,” Nyai memberanikan dari pintu. “Ajak dia bicara terus. Memang itu yang dianjurkan Dokter Martinet.”
Aku menoleh. Nyai sedang menutup pintu dari luar. Hatiku lega karena anjuran itu. Jelas Annelies tidak sedang menghadapi ajalnya. Ia hanya belum sadar akan dirinya.
Sekarang aku duduk pada tepi ranjang. Ia masih juga mem¬buka mata tanpa melihat.
“Tidak bisa begini terus, Ann,” kataku meyakinkan diri sendi¬ri. Aku sisihkan selimutnya. Aku tarik kedua belah tangannya. Aku paksa ia duduk. Tapi badan itu begitu lemasnya, dan ia ter¬jatuh ke atas bantal waktu kulepas. Aku lakukan berulang. Ia tak juga dapat duduk
Apa harus kulakukan lagi?
Sekali lagi kukecup bibirnya. Tangannya mulai bergerak tak kentara, namun lebih banyak. Aku pindahkan lehernya pada le¬ngan kiriku. Mulai lagi aku ajak bicara:
“Kalau kau sakit begini, Ann, siapa bantu Mama? Tak ada. Jadi kau jangan sakit. Kau harus sehat. Biar bisa bekerja dan jalan- jalan denganku. Naik kuda, Ann, keliling kota Surabaya.”
Aku perhatikan matanya yang memandang jauh dan dapat kulihat mukaku sendiri pada kekelaman bola matanya. Tapi ia tetap tidak melihat aku. Aku kira tadinya bayangan mukaku tak ada pada mata itu.
Nyai Ontosoroh datang lagi membawa susu hangat dua ge¬las. Segelas diletakkannya di atas meja. Yang lain dibawanya padaku dan disugukannya pada bibirku agar segera kuminum.
“Habiskan, Nyo, Nak, Minke,” aku minum sampai habis tan¬das. “Biar kau menjadi sehat dan kuat. Tak ada guna bagi siapa pun orang sakit dan lemah.” Kemudian pada Annelies,“Bangun, Ann, Minke sudah ada di dekatmu. Siapa lagi kau tunggu?”
Tanpa mengindahkan ada-tidaknya reaksi ia pergi lagi.
Dalam keadaan seperti itu pula Dokter Martinet datang di¬antarkan Nyai. Kuletakkan kepala Annelies ke bantal untuk menyambutnya.
“Ini Minke, tuan Dokter, yang menjaga Annelies hari ini,” dan kami bersalaman. Mata Nyai mengawasi kami sebentar ke¬mudian meneruskan, “Maafkan, aku mesti turun.”
“Jadi Tuan Minke ini, siswa H.B.S.? Bagus. Berbahagia se¬orang pemuda mendapatkan cinta mendalam dari dara secantik ini,” katanya dalam Belanda yang terkulum.
“Baru kira-kira sejam lalu di sini, Tuan Dokter. Seperti ini juga keadaan Annelies waktu aku datang. Aku kuatir,Tuan....”
Lelaki berumur empatpuluhan itu tertawa lepas, bergeleng dan mengguncangkan bahuku.
“Tuan suka pada gadis ini? Jawab terus-terang.”
“Suka, Tuan Dokter.”
“Tidak punya maksud mempermainkan, kan?” ia menetak- kan pandang padaku.
“Mengapa mesti mempermainkan?”
“Mengapa? Karena siswa H.B.S. biasanya jadi pujaan para gadis. Selamanya begitu sejak sekolah itu berdiri. Juga di Betawi, juga di Semarang. Aku ulangi, Tuan Minke, Tuan tidak bermak¬sud mempermainkannya?” Melihat aku diam ia meneruskan, “Hanya satu yang dibutuhkan gadis ini:Tuan sendiri. Dia mem¬punyai semuanya, kecuali Tuan.”
Aku menunduk. Kekacauan berkecamuk dalam dada. Me¬mang tak ada maksudku mempermainkan Annelies. Juga tak pernah terniat untuk bersungguh-sungguh dengan seorang ga¬dis. Sekarang Annelies menghendaki diriku seutuhnya untuk dirinya. Sungguh: aku sedang diuji oleh perbuatan sendiri. Dan pertimbangan batin yang memaksa aku mengiakan apa yang belum lagi kuyakini.
“Kan Tuan suka kalau dia sadarkan diri lagi?”
“Tentu saja, Tuan, suka sekali, dan terimakasih banyak.”
“Dia akan sadar kembali. Memang terus-menerus kubius sam¬pai Tuan datang. Jadi Tuan sebenarnya yang menyebabkan dia terlalu lama dibius.Tanpa ada Tuan dalam keadaan sadar dia akan menanggung kerusakan. Tanpa Tuan dengan biusan terlalu lama bisa rusak jantungnya. Semua kembali pada Tuan — Tuan yang menyebabkan.”
“Maafkan.”
“Memang Tuan yang dipilihnya untuk menerima risiko.”
Aku tak menyambut. Dan ia bicara terus. Kemudian:
“Sebentar lagi dia akan sadar. Seperempat jam lagi kira-kira. Kalau sudah mulai agak sadar, mulailah Tuan bicara padanya yang manis-manis saja. Jangan ada kata keras atau kasar. Semua ter-gantung pada Tuan. Jangan kecewakan dia. Jangan dibikin ha¬tinya jadi kecil.”
“Baik, Tuan Dokter.”
“Tuan naik dalam tahun pelajaran baru ini?”
“Naik, Tuan.”
“Selamat.Tuan tunggui terus dia sampai bebas dari pengaruh bius. Siapa nama keluarga Tuan kalau aku boleh bertanya?”
“Tak ada, Tuan.”
Ia mendeham tanpa menelannya. Pandangnya menyeka wa¬jahku. Sekilas saja. Kemudian ia pergi ke jendela, melihat per¬ladangan dan taman di samping rumah.
“Mari Tuan kemari,” undangnya tanpa menoleh.
Dan aku berdiri di sampingnya di belakang jendela.
“Mengapa Tuan sembunyikan nama keluarga Tuan?”
“Memang tak punya.”
“Apa nama Kristen Tuan?”
“Tak punya, Tuan.”
“Bagaimana mungkin di H.B.S. tanpa nama keluarga, tanpa nama Kristen? Kan Tuan tidak bermaksud mengatakan Pribumi?”
“Memang Pribumi, Tuan.”
Ia menoleh padaku. Suaranya menyelidik:
“Bukan begitu adat Pribumi sekali pun sudah di H.B.S.Tuan menyembunyikan sesuatu.”
“Tidak.”
Agak lama ia berdiam diri. Barangkali sedang memantapkan hati sendiri.
“Satu pertanyaan lagi kalau Tuan tak ada keberatan. Sanggup kiranya Tuan tetap ramah dan tulus pada Annelies?”
“Tentu saja.”
“Untuk selama-lamanya?”
“Mengapa, Tuan?”
“Kasihan anak ini. Dia tak bisa menghadapi kekerasan. Dia mengimpikan seorang yang mengasihi, menyayanginya dengan tulus. Dia merasa hidup seorang diri, tanpa pelindung, tak tahu dunia. Digantungkannya sepenuh harapannya pada Tuan.”
Tentu dia berlebih-lebihan. Maka:
“Dia ada ibu yang memimpin, mendidik, menyayang.”
“Hatikecilnya tidak mempercayai kelestarian sikap ibunya. Setiap saat ia menunggu datangnya ketika ibunya meledak dan memutuskan diri daripadanya.”
“Hmm.”
“Mama wanita bijaksana, Tuan.”
“Tak ada yang dapat pungkiri. Tapi hatikecil Annelies tidak yakin. Boleh jadi dengan diam-diam ia menilai ibunya lebih terpaut pada perusahaan daripada dirinya. Ini pembicaraan khusus antara Tuan dan aku saja.Yang lain tak perlu tahu. Tuan mengerti.”
Agak lama ia berdiam diri. Mendadak:
“Jadi Tuan mengerti.”
“Tak boleh ada kata keras, kasar, mengecewakan. Dia men¬cintai Tuan. Terutama ini kukatakan karena pria Pribumi belum terbiasa memperlakukan wanita dengan lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus. Setidak-tidaknya begitu yang dapat kuketahui, kudengar, juga kubaca. Tuan telah mempelajari adab Eropa selama ini, tentu Tuan tahu perbedaan antara sikap pria Eropa dan pria Pribumi terhadap wanita. Kalau Tuan sama de¬ngan pria Jawa pada umumnya, anak ini takkan berumur pan¬jang. Terus-terang saja,Tuan, setidak-tidaknya dia bisa mati dalam keadaan hidup. Sekiranya, sekiranya, kataku, Tuan peristri dia, akan Tuan madu dia bakalnya?”
“Memperistrinya?”
“Ya, setidak-tidaknya, demikian impian gadis ini. Kan Tuan akan memperistrinya? Tuan sekarang di kias terakhir, kan?”
“Belum lagi terniat untuk melamar, Tuan.”
“Kalau diperlukan aku sendiri yang akan bertindak sebagai pelamar Tuan demi keselamatan gadis ini.”
Aku tak dapat bicara sesuatu.
“Jadi Tuan akan memperistri dia. Dan Tuan takkan memadu¬nya,” ia ulurkan tangan padaku untuk mengambil kepastian jan¬ji dari mulutku.
Aku jabat tangannya. Memang tak pernah terniat olehku untuk kelak beristri lebih dari seorang. Terngiang suara perem¬puan tua itu, Nenenda: setiap lelaki yang beristri lebih dari se¬orang pasti seorang penipu, dan menjadi penipu tanpa semau sendiri.
“Hati gadis ini terlalu lunak, terlalu lembut, tidak mampu menahan singgungan, harus selalu diemong, dijaga, dibelai, di¬lindungi. Kepribadiannya nampaknya telah terambil dari dirinya.”
“Terambil?”
“Oleh orang yang terdekat dengannya.”
“Siapa itu, Tuan?”
“Tak tahulah aku. Tuan akan tahu sendiri. Paling tidak oleh keadaan sekelilingnya. Hatinya penuh dengan persoalan terpen¬dam, gadis semuda ini, tak pernah dinyatakan. Maka dia hidup sebagai yatim-piatu. Dan merasa selalu tergantung. Merasa tidak pernah kukuh di tengah lingkungan sendiri. Dia membutuhkan seorang penunjang. Sebagai gadis yang tumbuh di tengah kekayaan dia tak menginsafi kekuatan kekayaan. Baginya kekayaan bukan apa-apa. Itu yang dapat kufahami dari keadaan anak ini. Tuan mendengar, kan?”
Dokter Martinet menarik monokel dari saku atas dan me¬masang pada mata-kanannya. Setelah melihat arloji ia tatap aku.
“Terimakasih atas kesungguhan Tuan. Lihat pemandangan yang tenang dan damai itu. Beruntung gadis ini hidup di tengah kemewahan dan kedamaian. Sekiranya dua-duanya tak ada tak tahu aku apa akan jadinya.”
Biji palakia dalam kepalaku diganti oleh biji lain lagi: duga- sangka tentang makna sesungguhnya dari ucapan dokter itu.
“Maaf. Aku bukan ahlijiwa. Sudah kucoba banyak bicara de¬ngan ibunya — wanita luarbiasa itu. Setiap katanya sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari hati seorang pendendam yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai wanita pun sudah suatu keluarbiasaan.Juga di Eropa sana. Aku kira memang bukan secara sadar dia telah menjadi demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang jadi penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya sangat keras, berpikiran tajam, tetapi dari semua itu: sukses dalam segala usahanya yang membikin dia jadi seorang pribadi yang kuat, dan berani.Tetapi dia pun satu kegagalan besar dalam satu hal tertentu. Bisa dimengerti: setiap otodidak punya kegagalan menyolok.”
Dokter Martinet tak meneruskan. Ia mengharap aku mencari sendiri makna ucapannya.
“Dia sudah mulai akan sadar, Annelies itu,” katanya tiba-tiba. Ia menengok, meninggalkan aku dan mendekati pasiennya. Diperiksa desakan darah pada pergelangan, kemudian melambai padaku. “Ya,Tuan. Beberapa menit lagi dia akan menjadi Anne¬lies sebagaimana Tuan kenal. Semoga dia akan sehat tak kurang suatu apa dengan kehadiran Tuan. Sejak detik ini,Tuan, gadis ini bukan pasienku, tapi pasien Tuan. Semua sudah kusampaikan pada Tuan secara pribadi. Selamat siang.”
Ia tinggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya dan hi¬lang dari pemandangan.
Sekarang datang kesempatan untuk merasa iba pada diri sendi¬ri. Betapa! Pengalaman mengguncangkan yang silih-berganti menimpa diri pada hari-hari belakangan ini. Belum lagi yang masih harus kuhadapi: Annelies!
Seniman besar, Minke, kata Jean Marais dulu, entah dia pe¬lukis, entah apa, entah pemimpin, entah panglima perang, ada¬lah karena hidupnya disarati dan dilandasi pengalaman-penga¬laman besar, intensif: perasaan, batin atau badan. Itu dikatakan¬nya sehabis kuceritakan padanya riwayat hidup penyair Belanda Vondel dan Multatuli. Tanpa pengalaman besar kebesaran sese¬orang khayali semata; kebesarannya dibuat karena tiupan orang- orang mataduitan.
Jean Marais sendiri belum pernah tahu, tulisan-tulisanku sudah mulai diumumkan. Kalau kata-katanya benar, barangkali saja kelak aku bisa jadi pengarang besar. Seperti Hugo sebagai¬mana diharapkan Nyai. Atau pemimpin, atau penganjur bangsa seperti diharapkan keluarga de la Croix. Atau justru hanya jadi daging busuk seperti dikehendaki Robert Mellema (kalau be¬nar cerita Darsam), dan si Gendut.
Kudengar Annelies mengeluh dan menggerakkan jari. Dia akan baik, takkan mati di bawah mataku. Aku menjauh dan duduk di kursi mengawasinya. Memang cantik gemilang biar¬pun dalam keadaan sakit: kulitnya lembut, hidung, alis, bibir, gigi, kuping, rambut.... Semua. Dan aku menjadi ragu pada keterangan Dokter Martinet tentang pedalaman gadis secantik ini. Apa mungkin pedalamannya serapuh itu dalam selaputan tubuh secantik ini? Dan aku — seorang luaran, seorang kenalan sahaja - kini harus ikut bertanggungjawab hanya karena kecan¬tikannya semata. Kecantikan kreol. Betapa membelit begini peijalanan hidupku. Akibat tingkah philogynikku sendiri.
“Mama!” sebut Annelies. Sekarang kakinya mulai bergerak.
“Ann!”
Ia membuka mata. Dan mata itu masih juga memandang jauh. Dia pasienku sejak saat ini, kata Dokter Martinet. Kutahan tawa, mengerti bahwa maksudnya sekarang akulah dokter yang harus menyembuhkannya.
Kuambil susu dari meja. Kuangkat lehernya dengan lenganku dan kuminumkan sedikit pada mulutnya. Ia mulai mencicip dan berkecap. Betul, dia mulai akan sadar diri. Lebih banyak lagi kuminumkan. Ia mulai meneguk.
“Ann, Anneliesku, minum sampai habis,” kataku dan kumi-numkan lebih banyak.
Ia meneguk dan meneguk.
Nyai masuk membawa makansiang untuk dua orang.
“Mengapa mesti keijakan sendiri, Ma?”
“Bukan begitu. Tak ada orang lain boleh masuk atau naik kemari. Jadi betul kata dokter — dia sudah harus akan bangun sekarang.”
“Hampir, Ma.”
“Ya, Minke, kata Tuan Dokter hanya kau yang harus mera¬watnya. Terserahlah padamu,” ia keluar lagi.
Annelies membuka mata lagi dan mulai melihat padaku.
“Apamu yang sakit, Ann?”
Ia tak menjawab, hanya memandang padaku jua. Kuletakkan kembali kepalanya ke bantal. Bentuk hidungnya yang indah itu menarik tanganku untuk membelainya. Ujung-ujung rambut¬nya berwarna agak coklat jagung, dan alisnya lebat subur seakan pernah dipupuk sebelum dilahirkan. Dan bulu matanya yang lengkung panjang membikin matanya seperti sepasang kejora bersinar di langit cerah, pada langit wajahnya yang lebih cerah.
Kecantikan kreol yang sempurna, dalam keserasian bentuk seperti yang aku hadapi sekarang ini, di mana dapat ditemukan lagi di tempat lain di atas bumi manusia ini? Tuhan mencipta- kannya hanya sekali saja dan pada tubuh yang seorang ini saja. Aku takkan lepaskan kau, Ann, bagaimanapun keadaan peda¬lamanmu. Aku akan bersedia hadapi apa dan siapa pun.
“Pada hari ini, Ann,” kataku padanya, “udara sangat indah. Memang lebih panas dari biasa, tapi nyaman, tak terlalu lembab.”
Dara itu masih juga memandangi aku.Titik pusat pandangnya adalah puncak hidungku. Dia tetap belum juga bicara. Kedipan matanya begitu lambat. Namun kecantikannya tetap agung, le¬bih agung daripada segala perbuatan yang pernah dilakukan orang, lebih kaya daripada semua dan seluruh makna yang ter¬kandung dalam perbendaharaan bahasa. Ia adalah karunia Allah tiada duanya, satu-satunya. Dan dia hanya untukku.
“Bangun dan sadar, kau, Puspita Surabaya! Apa kau tak tahu? Iskandar Zulkarnain, Napoleon, pun akan berlutut memohon kasihmu? Bahwa untuk dapat menyentuh kulitmu mereka akan bersedia mengurbankan seluruh bangsa dan negerinya? Bangun, Puspitaku, karena kehidupan ini merugi tanpa kesaksianmu,” dan tanpa setahuku telah kukecup bibirnya dalam keadaan sepenuh sadarku.
Nafas, panjang yang dihembuskannya memuputi mukaku. Kembali kupandangi dia. Bibirnya tersenyum. Juga matanya. Hanya belum bisa bicara. Maka aku terus juga mengobral kata, seperti Soleman dalam puji-pujiannya pada para perawan Israil: dagu, buahdada, pipi, betis, pandang mata, mata itu sendiri. Leher, rambut, semua dan segala. Baru aku berhenti waktu ter¬dengar:
“Mas!”
“Ann,Anneliesku!” seruku memutuskan, “kau baik sekarang. Mari bangun. Mari beijalan. Mari, Dewi.”
Ia mulai bergerak. Tangannya melambai. Dan aku sambut ta¬ngan itu.
“Mari kugendong,” dan aku gendong dia. Aku gendong. Ya, aku gendong. Dan aku tidak kuat. Badan apa ini, tak kuat menggendong dara! Kuturunkan. Kakinya melangkah gemetar, badannya terhuyung. Aku papah. Persetan dengan kursi, meja, ranjang. Aku bawa dia ke jendela, tempat sebentar tadi aku ber¬diri di samping dokter Martinet dan mengangkat aku jadi dok¬ter. Pemandangan perladangan yang luas terbentang di depan mata. Dan matari sudah mulai miring.
“Lihat sana, Ann, sayup hutan itu membatasi pemandangan kita. Dan gunung-gemunung, dan langit, dan bumi. Kau lihat, Ann? Lihat betul?”
Ia mengangguk. Angin keras meniup, menegang dari alam luas, seperti dicorongi memasuki lubang jendela. Annelies meng¬gigil-
“Dingin, Ann?”
“Tidak.”
“Lebih baik kau tidur lagi.”
“Aku ingin di dekatmu begini. Lama sekali, dan kau tak juga datang.”
“Aku sudah datang, Ann.”
“Jangan kendorkan peganganmu, Mas.”
“Kau kedinginan begini.”
“Cukup hangat sekarang. Hutan di kejauhan sana nampak lain dari biasanya. Juga angin. Juga gunung-gunung itu. Juga burung- burung.”
“Kau sudah sembuh, Ann. Kau sudah mulai sehat.”
“Aku tak mau sakit. Aku tidak sakit. Hanya menunggu keda-tanganmu.”
“Sakitku sendiri juga hilang, Ann, kalau kau ingin tahu.” Se¬suatu menarik kepalaku untuk berpaling. Dan kulihat sekilas Nyai dan Dokter Martinet pada kiraian daun pintu. Mereka tak jadi masuk dan menutupnya kembali....

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02