Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 05

IMA HARI SUDAH AKU TINGGAL DI RUMAH MEWAH DI WONO- kromo. Dan: Robert Mellema mengundang aku ke kamarnya.
Dengan waspada aku masuk. Perabotnya lebih banyak dari¬pada kamarku. Di dalamnya ada mejatulis berlapis kaca. Di bawah kaca terdapat gambar besar sebuah kapal pengangkut Karihou berbendera Inggris.
Ia kelihatan ramah. Matanya liar dan agak merah. Pakaiannya bersih dan berbau minyakwangi murahan. Rambutnya mengki¬lat dengan pomade dan tersibak di sebelah kiri. Ia seorang pe¬muda ganteng, bertubuh tinggi, cekatan, tangkas, kuat, sopan, dan nampak selalu dalam keadaan berpikir. Hanya matanya yang coklat kelereng itu juga yang suka melirik sedang bibirnya yang suka tercibir benar-benar menggelisahkan aku.Tak tenang rasa¬nya berdua saja dalam kamarnya.
“Minke,” ia memulai, “rupa-rupanya kau senang tinggal di sini. Kau teman sekolah Robert Suurhof, kan? Dalam satu kias di H.B.S.?” Aku mengangguk curiga.
Kami duduk di kursi, berhadapan.
“Semestinya aku pun di H.B.S. sudah tammat pula.”
“Mengapa tidak meneruskan?”
“Itu kewajiban Mama, dan Mama tidak melakukannya."
“Sayang. Barangkali kau tak pernah minta padanya.”
“Tak perlu dipinta. Sudah kewajibannya.”
“Mungkin Mama menganggap kau tak suka meneruskan.”
“Nasib tak bisa diandai, Minke. Begini jadinya diri sekarang. Kalah aku olehmu, Minke, seorang Pribumi saja — siswa H.B.S. Eh, apa guna bicara tentang sekolah?” ia diam sebentar, me¬ngawasi aku dengan mata coklat kelereng. “Aku mau bertanya, bagaimana bisa kau tinggal di sini? Nampaknya senang pula? Karena ada Annelies?”
“Betul, Rob, karena ada adikmu. Juga karena dipinta.”
Ia mendeham waktu kuperhatikan airmukanya.
“Kau punya keberatan barangkali?” tanyaku.
“Kau suka pada adikku?” tanyanya balik.
“Betul.”
“Sayang sekali, hanya Pribumi.”
“Salah kalau hanya Pribumi?”
Sekali lagi ia mendeham mencari kata-kata. Matanya mengembara keluar jendela. Pada waktu itu mulai kuperhatikan keadaan kamarnya.
Ranjangnya tidak berklambu. Di kolong berdiri botol dengan masih ada sisa obat nyamuk pada lehernya. Di bawah botol ber-serakan abu rontokan. Lantai belum lagi disapu.
Aku berhenti memperhatikan kolong waktu terdengar lagi suaranya:
“Rumah ini terlalu sepi bagiku,” ia mengalihkan pembicaraan. “Kau suka main catur barangkali?”
“Sayang tidak, Rob.”
“Ya, sayang sekali. Berburu bagaimana? Mari berburu.”
“Sayang, Rob, aku membutuhkan waktu untuk belajar. Se-benarnya aku suka juga. Bagaimana kalau lain kali?”
“Baik, lain kali,” ia tembuskan pandangnya pada mataku. Aku tahu ada ancaman dalam pandang itu. Ia jatuhkan telapak tangan kanan pada paha. “Bagaimana kalau jalan-jalan saja sekarang?”
“Sayang, Rob, aku harus belajar.”
113
Agak lama kami berdiam diri. Ia bangkit dan membetulkan kedudukan daun pintu. Mataku gerayangan untuk dapat mene¬mukan sesuatu buat bahan bicara sementara aku selalu waspada, siap-siap terhadap segala kemungkinan. Yang jadi perhatianku adalah jendela. Sekiranya tiba-tiba ia menyerang, ke sana aku akan lari dan melompat. Apa lagi tepat di bawahnya terdapat sebuah kenap yang tiada beijambang bunga.
Di atas kursi yang tidak diduduki Robert tergeletak sebuah majalah berlipat paksa. Nampaknya bekas dipergunakan ganjal kaki lemari atau meja.
“Kau tak punya bacaan?” tanyaku.
Ia duduk di kursinya lagi sambil menjawab dengan tawa tan¬pa suara. Giginya putih, terawat baik dan gemerlapan.
“Maksudmu dengan bacaan, kertas itu?” matanya menuding pada majalah berlipat paksa itu. “Memang pernah kubalik-balik dan kubaca.”
Barang itu diambilnya dan diserahkan padaku. Pada waktu itu aku menduga ia sedang ragu untuk berbuat sesuatu. Matanya tajam menembusi jantungku dan aku bergidik. Kertas itu me¬mang majalah. Sampulnya telah rusak, namun masih terbaca potongan namanya: Indi
“Bacaan buat orang malas,” katanya tajam. “Bacalah kalau kau suka. Bawalah.”
Dari kertas dan tintanya jelas majalah baru.
“Kau mau jadi apa kalau sudah lulus H.B.S.?” tiba-tiba ia bertanya. “Robert Suurhof bilang kau calon bupati.”
“Tidak benar. Aku tak suka jadi pejabat. Aku lebih suka bebas seperti sekarang ini. Lagi pula siapa akan angkat aku jadi bupati? Dan kau sendiri, Rob,” aku balik bertanya.
“Aku tak suka pada rumah ini. Juga tak suka pada negeri ini. Terlalu panas. Aku lebih suka salju. Negeri ini terlalu panas. Aku akan pulang ke Eropa. Belayar. Menjelajahi dunia. Begitu nanti aku naik ke atas kapalku yang pertama, dada dan tanganku akan kukasih tattoo.”
“Sangat menyenangkan,” kataku. “Aku pun ingin melihat negeri-negeri lain.”
“Sama. Kalau begitu kita bisa sama-sama pergi belayar men¬jelajah dunia. Minke, kau dan aku. Kita bisa bikin rencana, bu¬kan? Sayang kau Pribumi.”
“Ya, sayang sekali aku Pribumi.”
“Lihat gambar kapal ini.Temanku yang memberi ini,” ia nam¬pak bersemangat. “Dia awak kapal Karibou. Aku pernah berte¬mu secara kebetulan di Tanjung Perak. Dia bercerita banyak, terutama tentang Kanada. Aku sudah sedia ikut. Dia menolak. Apa guna jadi kelasi bagimu, katanya. Kau anak orang kaya; Tinggal saja di rumah. Kalau kau mau kau sendiri bisa beli ka¬pal.” Ia tatap aku dengan mata mengimpi. “Itu dua tahun yang lalu. Dan dia tak pernah lagi berlabuh di Perak. Menyurati pun tidak. Barangkali tenggelam.”
“Barangkali Mama takkan ijinkan kau pergi,” kataku. “Siapa nanti mengurus perusahaan besar ini?”
“Huh,” ia mendengus. “Aku sudah dewasa, berhak menentu¬kan diri sendiri. Tapi aku masih juga ragu. Entah mengapa.”
“Lebih baik bicarakan dulu dengan Mama.” Ia menggeleng. “Atau dengan Papa,” aku menyarankan.
“Sayang,” ia mengeluh dalam.
“Tak pernah aku lihat kau bicara dengan Mama. Kiranya baik kalau aku yang menyampaikan?”
“Tidak. Terimakasih. Dari Suurhof aku dengar kau seorang buaya darat.”
Aku rasai mukaku menggerabak karena jompakan darah. Sekaligus aku tahu: aku telah memasuki sudut hatinya yang ter¬peka. Itu pun baik, karena keluarlah maksudnya yang terniat.
“Setiap orang pernah dinilai buruk atau baik oleh orang ke¬tiga. Juga sebaliknya pernah ikut menilai. Aku pernah. Kau per¬nah. Suurhof pernah,” kataku.
“Aku? Tidak,” jawabnya tegas. “Tak pernah aku peduli pada kata dan perbuatan orang. Apalagi kata orang tentang dirimu.
Lebih-lebih lagi tentang diriku. Cuma Suurhof bilang: hati-hati pada Pribumi dekil bernama Minke itu, buaya darat dari kias kambing.”
“Dia benar, setiap orang wajib berhati-hati. Juga Suurhof sendiri. Aku tak kurang berhati-hati terhadapmu, Rob.”
“Lihat, aku tak pernah mengimpi untuk menginap di tempat lain karena wanita. Biar pun memang banyak yang meng¬undang.”
“Sudah kubilang sebelumnya, aku suka pada adikmu. Mama minta aku tinggal di sini.”
“Baik. Asal kau tahu bukan aku yang mengundang.”
“Tahu betul, Rob. Aku masih simpan surat Mama itu.”
“Coba aku baca.”
“Untukku, Rob, bukan untukmu. Sayang.”
Makin lama sikap dan nada suaranya makin mengandung permusuhan. Lirikannya mulai bersambaran untuk menanamkan ketakutanku. Dan aku sendiri juga sudah marasa kuatir.
“Aku tidak tahu apa pada akhirnya kau akan kawin dengan adikku atau tidak. Nampaknya Mama dan Annelies suka pada¬mu. Biar begitu kau harus ingat, aku anak lelaki dan tertua dalam keluarga ini.”
“Aku di sini sama sekali tak ada hubungan dengan hak-hak¬mu, Rob. Juga tidak untuk mengurangi. Kau tetaplah anak le¬laki dan tertua keluarga ini. Tak ada yang bisa mengubah.” Ia mendeham dan menggaruk kepalanya dengan hati-hati, takut merusakkan sisiran.
“Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di sini pada memusuhi aku. Tak ada yang menggubris aku. Ada yang membikin semua ini. Sekarang kau datang kemari. Sudah pasti kau seorang di antara mereka. Aku berdiri seorang diri di sini. Hendaknya kau jangan sampai lupa pada apa yang bisa dibikin oleh seorang yang berdiri seorang diri,” katanya mengancam dengan bibir tersenyum.
“Betul, Rob, dan kau pun jangan sampai lupa pada kata-kata¬mu sendiri itu, sebab itu juga tertuju pada dirimu sendiri.” Matanya sekarang nampak mengimpi menatap aku. Menaksir- naksir kekuatanku. Dan aku mengikuti contohnya, juga ter¬senyum. Semua gerak-geriknya aku perhatikan. Begitu nanti nampak ada gerak mencurigakan, hup, aku sudah melompat keluar dari jendela. Dia takkan dapatkan aku di dalam kamar ini.
“Baik,” katanya sambil mengangguk-angguk. “Dan jangan pula kau lupa, kau hanya seorang Pribumi.”
“Oh, tentu saja aku selalu ingat, Rob. Jangan kuatir. Kau pun jangan lupa, dalam dirimu ada juga darah Pribumi. Memang aku bukan Indo, bukan Peranakan Eropa, tapi selama belajar pada sekolah-sekolah Eropa, ada juga ilmu-pengetahuan Eropa dalam diriku, yaitu, kalau yang serba Eropa kau anggap lebih tinggi.”
“Kau pandai, Minke, patut bagi seorang siswa H.B.S.”
Percakapan pendek itu terasa memakan waktu beijam-jam penuh ketegangan. Kemudian kuketahui, hanya sepuluh menit berlangsung. Beruntung Annelies memanggil dari luar kamar, dan aku minta diri.
Tak kusangka sambil masih tetap duduk Robert berkata sa¬ngat tenang:
“Pergilah, nyaitnu sedang mencarimu.”
Aku terhenti di pintu dan memandanginya dengan heran. Ia cuma tersenyum.
“Dia adikmu, Rob. Tak patut itu diucapkan. Aku pun punya kehormatan ...”
Annelies buru-buru menarik aku ke ruangbelakang seakan suatu kejadian penting telah terjadi dalam kamar itu. Kami duduk di atas sofa berkasur tinggi dan bertilam bunga-bunga warna-warni di atas dasar warna creme. Ia begitu melengket padaku, berbisik hati-hati:
“Jangan suka bergaul dengan Robert. Apa lagi masuk ke ka¬marnya. Aku kuatir. Makin hari ia makin berubah.Telah dua kali ini Mama menolak membayar hutang-hutangnya, Mas.”
“Perlukah kau bermusuhan dengan abangmu sendiri?”
“Bukan begitu. Dia harus bekeija untuk mendapatkan nafkah¬nya sendiri. Dia bisa kalau mau. Tapi dia tidak mau.”
“Baik, tapi mengapa kalian berdua mesti bermusuhan?”
“Tidak datang dari pihakku. Itu kalau kau mau percaya. Dalam segala hal Mama lebih benar dari dia. Dia tak mau mengakui kebenaran Mama, hanya karena Mama Pribumi. Lan¬tas harus apa aku ini?”
Aku tahu, tak boleh mencampuri urusan keluarga. Maka tak kuteruskan. Sementara itu terpikir olehku: Apa yang didapat pemuda ganteng ini dari kehidupan keluarganya? Dari ibunya tidak, dari bapaknya pun tidak. Dari saudarinya apa lagi. Kasih tidak, sayang pun tidak. Aku datang ke rumah ini, dan dia cem¬burui aku. Memang sudah sepantasnya.
“Mengapa kau tak bertindak sebagai pendamai, Ann?”
“Buat apa? Perbuatannya yang keterlaluan sudah bikin aku mengutuk dia.”
“Mengutuk? Kau mengutuk?”
“Melihat mukanya pun aku tidak sudi. Dulu memang aku masih sanggup berbaik dengannya. Sekarang, untuk seumur hidup - tidak. Tidak, Mas.”
Aku menyesal telah mencoba mencampuri urusannya. Dan wajahnya yang mendadak kemerahan menterjemahkan ama¬rahnya.
Nyai datang menyertai kami. Selembar koran S.N.u/d D ada di tangannya. Ia tunjukkan padaku sebuah cerpen Een Buitenge- woon Gewoone Nyai die Ik ken .
“Kau sudah baca cerita ini, Nyo?”
“Sudah, Ma, di sekolah.”
“Rasanya aku pernah mengenal orang yang ditulis dalam ce¬rita ini.”
Barangkali aku pucat mendengar omongannya. Walau judul- nya telah diubah, itulah tulisanku sendiri, cerpenku yang perta¬ma kali dimuat bukan oleh koranlelang. Beberapa patah kata dan kalimat memang telah diperbaiki, tapi itu tetap tulisanku. Ba¬han cerita bukan berasal dari Annelies, tapi khayal sendiri yang mendekati kenyataan sehari-hari Mama.
“Tulisan siapa, Ma?” tanyaku pura-pura.
“Max Tollenaar. Benar kau hanya menulis teks iklan?” Sebelum pembicaraan jadi berlarut segera kuakui: “Memang tulisanku sendiri itu, Ma.”
“Sudah kuduga. Kau memang pandai, Nyo. Tidak seorang dalam seratus bisa menulis begini. Cuma kalau yang kau mak¬sudkan dalam cerita ini aku ...”
“Mama yang kukhayalkan,” jawabku cepat menyambar.
“Ya. Patut banyak tidak benarnya. Sebagai cerita memang bagus, Nyo. Semoga jadi pujangga, seperti Victor Hugo.”
Masyaallah, dia tahu Victor Hugo. Dan aku malu bertanya siapa dia. Dan dia bisa memuji kebagusan cerita. Kapan dia be¬lajar ilmu cerita? Atau hanya sok saja?
“Sudah pernah baca Francis? G.Francis?”
Sungguh aku merasa kewalahan. Itu pun aku tak tahu.
“Rupanya Sinyo tak pernah membaca Melayu.”
“Buku Melayu, Ma? Ada?” tanyaku mengembik.
“Sayang kalau tak tahu, Nyo. Banyak buku Melayu sudah dia tulis. Aku kira dia orang Totok atau Peranakan, bukan Pribu¬mi. Sungguh sayang, Nyo, kalau tidak ada perhatian.”
Ia masih banyak bicara lagi tentang dunia cerita. Dan semakin lama semakin meragukan. Boleh jadi ia hanya membualkan se¬gala apa yang pernah didengarnya dari Herman Mellema. Gu¬ruku cukup banyak mengajar tentang bahasa dan sastra Belanda. Tak pernah disinggung tentang segala yang diomongkannya. Dan guru kesayanganku, Juffrouw Magda Peters, pasti jauh le¬bih banyak tahu daripada hanya seorang nyai. Nyai yang seorang ini malah mencoba bicara tentang bahasa tulisan pula!
“Francis, Nyo, dia telah menulis Nyai Dasima, benar-benar dengan cara Eropa. Hanya berbahasa Melayu. Ada padaku buku itu. Barangkali kau suka mempelajarinya.”
Aku hanya mengiakan.Tahu apa dia tentang dunia cerita. Lagi pula mengapa dia suka membaca cerita, dan mencoba mencam¬puri urusan para tokoh khayali para pengarang, bahkan juga bahasa yang mereka pergunakan, sedang di bawah matanya sendiri anaknya, Robert, kapiran? Meragukan.
Seperti dapat membaca pikiranku ia bertanya:
“Boleh jadi kau hendak menulis tentang Robert juga.”
“Mengapa, Ma?”
“Karena kemudaanmu. Tentu kau akan menulis tentang orang-orang yang kau kenal di dekat-dekatmu.Yang menarik¬mu. Yang menimbulkan sympati atau antipatimu. Aku kira Rob pasti menarik perhatianmu.”
Untung saja percakapan yang tak menyenangkan itu segera tersusul oleh makanmalam. Robert tidak serta. Baik Mama mau pun Annelies tidak heran, juga tidak menanyakan. Pelayan juga tak menanyakan sesuatu.
Tengah makan temiat olehku untuk menyampaikan keingin¬an Robert jadi pelaut, pulang ke Eropa. Pada waktu itu juga justru Nyai berkata:
“Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya.Ya, biar pun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap hari bertambah saja. Aku sendi¬ri tak banyak tahu tentang ini. Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kira katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar pengelihatan- mu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, pera¬baanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.” Mama sama sekali sudah berhenti makan. Sendok berisi itu tetap tergantung di bawah dagunya. “Memang dalam sepuluh tahun belakangan ini lebih banyak cerita kubaca. Rasanya setiap buku bercerita ten¬ung daya-upaya seseorang untuk keluar atau mengatasi kesulitan¬nya. Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak teijadi di atas bumi kita ini.”
Mama meneruskan makannya. Perhatianku telah kukerahkan untuk menangkap setiap katanya. Pada waktu ini ia sungguh seorang guru tidak resmi dengan ajaran yang cukup resmi.
Ternyata selesai makan ia masih meneruskan:
“Karena itu kau pasti tertarik pada Robert. Ia selalu mencari- cari kesulitan dan tidak dapat keluar daripadanya. Kira-kira itu yang dinamakan: tragis. Sama seperti ayahnya. Barangkali mela¬lui tulisanmu — kalau dia mau membacanya — dia akan bisa berka¬ca dan melihat dirinya sendiri. Mungkin bisa mengubah kelakuannya. Siapa tahu? Hanya, pintaku, sebelum kau umum¬kan biarlah aku diberi hak untuk ikut membacanya lebih dulu. Itu kalau kau tak berkeberatan tentu. Barangkali saja gambaran dan anggapan keliru bisa lebih dihindari.”

MEMANG AKU sedang mempersiapkan tulisan tentang Robert. Peringatan Nyai agak mengejutkan. Aku rasai ia sebagai mata elang yang pengawas. Pandangannya kurasai menyerbu mahligai hak-hakku sebagai perawi cerita. Terbitnya ceritaku yang perta¬ma telah menaikkan semangatku.Tapi tulisan tentang Robert tak bisa lebih maju karena tiupan semangat sukses. Mama dengan mata elangnya telah menyebabkannya tersekat di tengah jalan.
Semua yang tercurah semasa makan itu membikin diri tengge¬lam dalam renungan. Barangtentu ia sudah sangat banyak mem¬baca. Kira-kira Tuan Herman Mellema tadinya seorang guru yang benar-benar bijaksana dan penyabar. Nyai seorang murid yang baik, dan mempunyai kemampuan berkembang sendiri setelah mendapatkan modal pengertian dari tuannya. Apa yang tak kudapatkan dari sekolah dapat aku paneni di tengah keluar-
ga seorang gundik. Siapa bakal menyangka? Mungkin juga ia seorang yang lebih mengerti Robert Mellema. Pesannya tentang pemuda pembenci Pribumi itu menunjukkan kedalaman kepri¬hatinan tentang sulungnya.
Tentang pemuda jangkung itu aku belum lagi banyak me¬ngenal. Barangkali ia pun banyak membaca seperti ibunya. Ma¬jalah yang diberikannya padaku ternyata bukan bacaan sem- barangan. Boleh jadi berasal dari perpustakaan rumah, atau di¬ambilnya dari tangan opaspos dan tidak diserahkan pada Mama. Bisa jadi juga pemuda itu tidak pernah menamatkannya. Aku tak tahu betul. Karangan-karangan di dalamnya semua tentang negeri, penduduk dan persoalan Hindia Belanda. Sebuah di antaranya tentang Jepang dengan hubungannya — sedikit atau banyak — dengan Hindia.
Tulisan itu memperkaya catatanku tentang negeri Jepang yang banyak dibicarakan dalam bulan-bulan terakhir ini. Tak ada di antara teman sekolahku mempunyai perhatian pada negeri dan bangsa ini sekali pun barang dua kali pernah disinggung dalam diskusi-sekolah. Teman-teman menganggap bangsa ini masih terlalu rendah untuk dibicarakan. Secara selintas mereka me¬nyamaratakan dengan pelacur-pelacurnya yang memenuhi Kembang Jepun, warung-warung kecil, restoran dan pangkas rambut, verkoper, dan kelontongnya yang sama sekali: tak dapat mencerminkan suatu pabrik yang menantang ilmu dan penge¬tahuan modern.
Dalam suatu diskusi-sekolah, waktu guruku, Tuan Lasten¬dienst, mencoba menarik perhatian para siswa, orang lebih ba¬nyak tinggal mengobrol pelan. Ia bilang: di bidang ilmu Jepang juga mengalami kebangkitan. Kitasato telah menemukan kuman pes, Shiga menemukan kuman dysenteri - dan dengan demiki¬an Jepang telah juga beijasa pada ummat manusia. Ia memban¬dingkannya dengan sumbangan bangsa Belanda pada peradaban. Melihat aku mempunyai perhatian penuh dan membikin catat¬an Meneer Lastendienst bertanya padaku dengan nada mendak¬
wa: Eh, Minke wakil bangsa Jawa dalam ruangan ini, apa sudah disumbangkan bangsamu pada umat manusia? Bukan saja aku menggeragap mendapat pertanyaan dadakan itu, boleh jadi se¬luruh dewa dalam kotak wayang ki dalang akan hilang semangat hanya untuk menjawab. Maka jalan paling ampuh untuk tidak menjawab adalah menyuarakan kalimat ini:Ya, Meneer Lasten- dienst, sekarang ini saya belum bisa menjawab. Dan guruku itu menanggapi dengan senyum manis — sangat manis.
Itu sedikit kutipan dari catatanku tentang Jepang. Dengan adanya tulisan dari majalah pemberian Robert catatanku menda¬patkan tambahan yang lumayan banyaknya. Tentang kesibukan di Jepang untuk menentukan strategi pertahanannya. Aku tak banyak mengerti tentang hal demikian. Justru karena itu aku catat. Paling tidak akan menjadi bahan bermegah dalam diskusi- sekolah.
Dikatakan adanya persaingan antara Angkatan Darat dengan Angkatan Laut Jepang. Kemudian dipilih strategi maritim un¬tuk pertahanannya. Dan Angkatan Darat dengan tradisi samu¬rainya yang berabad merasa kurang senang.
Bagaimana tentang Hindia Belanda sendiri? Di dalamnya di-nyatakan: Hindia Belanda tidak mempunyai Angkatan Laut; hanya Angkatan Darat. Jepang terdiri dari kepulauan. Hindia Be¬landa setali tiga uang. Mengapa kalau Jepang mengutamakan laut Hindia mengutamakan darat? Bukankah masalah pertahanan (terhadap luar) sama saja? Bukankah jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Inggris nyaris seabad yang lalu juga karena lemahnya Angkatan Laut di Hindia? Mengapa itu tak dijadikan pelajaran?
Dari majalah itu juga aku tahu: Hindia Belanda tidak mem¬punyai Angkatan Laut. Kapal perang yang mondar-mandir di Hindia bukanlah milik Hindia Belanda, tetapi milik kerajaan Belanda. Daendels pernah membikin Surabaya menjadi pang¬kalan Angkatan Laut pada masa Hindia Belanda tak punya ar¬mada satu pun! Nyaris seratus tahun setelah itu orang tak per¬nah memikirkan gunanya ada Angkatan Laut tersendiri untuk Hindia. Tuan-tuan yang terhormat mempercayakan pertahanan laut Inggris di Singapura dan pertahanan laut Amerika di Filipina.
Tulisan itu membayangkan sekiranya terjadi perang dengan Jepang. Bagaimana akan halnya Hindia Belanda dengan perair¬an tak terjaga? Sedang Angkatan Laut Kerajaan Belanda hanya kadang-kadang saja datang meronda? Tidakkah pengalaman tahun 1811 bisa berulang untuk kerugian Belanda?
Aku tak tahu apakah Robert pernah membaca dan mempe¬lajarinya. Sebagai pemuda yang ingin berlanglang buana sebagai pelaut boleh jadi ia telah mempelajarinya. Dan sebagai pemuja darah Eropa kiranya dia mengandalkan keunggulan ras putih.
Tulisan itu juga mengatakan: Jepang mencoba meniru Inggris di perairan. Dan pengarangnya memperingatkan agar menghen¬tikan ejekan terhadap bangsa itu sebagai monyet peniru. Pada setiap awal pertumbuhan, katanya, semua hanya meniru. Setiap kita semasa kanak-kanak juga hanya meniru.Tetapi kanak-kanak itu pun akan dewasa, mempunyai perkembangan sendiri
Sedang pembicaraan yang dapat kusadap antara Jean Marais dengan Télinga tentang perang dapat kucatat demikian:
Jean Marais: peranan berpindah-pindah, dari generasi ke ge¬nerasi yang lain, dari bangsa yang satu ke bangsa yang lain. Dahu¬lu kulit berwarna menjajah kulit putih. Sekarang kulit putih menjajah kulit berwarna.
Télinga: Tak pernah kulit putih dikalahkan kulit berwarna dalam tiga abad ini. Tiga abad! Memang bisa teijadi kulit putih mengalahkan kulit putih yang lain. Tapi kulit berwarna takkan dapat mengalahkan yang putih. Dalam lima abad mendatang ini, dan untuk selamanya.
Dan Robert ingin jadi awak kapal sebagai orang Eropa. Dia bermimpi belayar dengan Karibou, di bawah naungan Inggris — negeri tak berapa besar, dengan matari tak pernah tenggelam

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02