Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 03

URAT NYAI MEMANG TIDAK BERLEBIHAN. ANNELIES KELIHAT- an susut. Ia sambut aku pada tangga depan rumah. Ma¬tanya bersinar-sinar menghidupkan kembali wajahnya yang pucat waktu ia menjabat tanganku.
Robert Mellema tidak nampak. Aku pun tak menanyakan.
Nyai muncul dari pintu di samping ruangdepan.
“Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus abangmu itu, Ann, aku masih banyak keija, Nyo.”
Aku masih sempat melirik ke dalam ruangan di samping ruangdepan. Ternyata tak lain dari kantor perusahaan. Nyai menutup kembali pintu, hilang di baliknya.
Seperti pada kedatanganku yang pertama juga sekarang tim¬bul perasaan itu dalam hati: seram. Setiap waktu rasanya bisa terjadi peristiwa aneh.Waspada, hati ini memperingatkan.Jangan lengah. Seperti dulu juga sekarang sepantun suara bertanya padaku: mengapa kau begitu bodoh berkunjung kemari? Sekarang hendak coba-coba tinggal di sini pula? Mengapa tidak pulang pada keluarga sendiri kalau memang bosan tinggal di pemondokan? Atau cari pemondokan lain? Mengapa kau mengikuti tarikan rumah seram ini, tidak melawan, bahkan menyerahkan diri mentah-mentah?
Annelies membawa aku masuk ke kamar yang dulu pernah kutempati. Darsam menurunkan kopor dan tasku dari bendi dan membawanya ke dalam kamar.
“Biar kupindahkan pakaianmu ke dalam lemari,” kata gadis itu. “Mana kunci kopormu? Sini!”
Aku serahkan kunci koporku dan ia mulai sibuk. Buku-buku dari kopor ia deretkan di atas meja, pakaian ke dalam lemari. Kemudian tas dibongkarnya. Darsam menaruh kopor dan tas kosong di atas lemari. Dan Annelies kini memperbaiki deret buku itu sehingga nampak seperti serdadu berbaris.
"Mas!” itulah untuk pertama kali ia memanggil aku — pang¬gilan yang mendebarkan, menimbulkan suasana seakan aku be¬rada di tengah keluarga Jawa. “Ini ada tiga pucuk surat. Kau belum lagi membacanya. Mengapa tak dibaca?”
Rasanya semua orang menuntut aku membacai surat-surat yang kuterima.
“Tiga pucuk, Mas, semua dari B.”
“Ya, nanti kubaca.”
Ia antarkan surat-surat itu padaku, berkata:
“Bacalah. Barangkali penting.”
Ia pergi untuk membuka pintu luar. Dan surat-surat itu ku-letakkan di atas bantal. Kususul dia. Di hadapan kami terbentang taman yang indah, tidak luas, hampir-hampir dapat dikatakan kecil-mungil, dengan kolam dan beberapa angsa putih berceng¬kerama - seperti dalam gambar-gambar. Sebuah bangku batu berdiri di tepi kolam.
“Mari,” Annelies membawa aku keluar, melalui jalan beton dalam apitan gazon hijau.
Duduklah kami di atas bangku batu itu. Annelies masih juga memegangi tanganku.
“Apa Mas lebih suka kalau aku bicara Jawa?”
Tidak, aku tak hendak menganiayanya dengan bahasa yang memaksa ia menaruh diri pada kedudukan sosial dalam tatahidup Jawa yang pelik itu.
“Belanda sajalah,” kataku.
“Lama betul kami harus tunggu kau.”
“Banyak pelajaran, Ann, aku harus berhasil.”
“Mas pasti berhasil.”
“Terimakasih. Tahun depan aku harus tamat. Ann, aku selalu terkenang padamu.”
Ia pandangi aku dengan wajah bersinar-sinar dan dirapatkan- nya tubuhnya padaku.
“Jangan bohong,” katanya.
“Siapa akan bohongi kau? Tidak.”
“Betul itu?”
“Tentu. Tentu.”
Aku pelukkan tanganku pada pinggangnya dan kudengar na-pasnya terengah-engah. Ya Allah, Kau berikan dara tercantik di dunia ini kepadaku. Aku pun berdebar-debar.
“Di mana Robert?” tanyaku untuk penenang jantung.
“Apa guna kau tanyakan dia? Mama pun tak pernah bertanya di mana dia berada.”
Nah, satu masalah sudah mulai timbul. Dan aku merasa tak patut untuk mencampuri.
“Mama sudah merasa tak sanggup, Mas,” ia menunduk dan suaranya mengandung duka. “Sekarang ini semua kewajibannya aku yang harus lakukan.”
Aku perhatikan bibirnya yang pucat dan seperti lilin tuangan itu.
“Dia tak menyukai Mama. Juga tidak menyukai aku. Dia jarang di rumah. Kan Mas sendiri pernah saksikan aku bekeija?”
Kudekap tubuhnya untuk menyatakan sympati:
“Kau gadis luarbiasa.”
“Terimakasih, Mas,” jawabnya senang. “Kau tak perlu perha-tikan Robert. Dia benci pada semua dan segala yang serba Pribu¬mi kecuali keenakan yang bisa didapat daripadanya. Rasa-rasa¬nya dia bukan anak sulung Mama, bukan abangku, seperti orang asing yang tersasar kemari.”
Jelas ia banyak memikirkan abangnya, dan memikirkannya dengan prihatin — anak semuda ini.
“Aku juga tak melihat Tuan Mellema,” kataku mencari pokok lain.
“Papa? Masih juga takut padanya? Maafkan malam buruk itu. Dia pun tak perlu kau perhatikan. Papa sudah menjadi begitu asing di rumah ini. Seminggu sekali belum tentu pulang, itu pun hanya untuk pergi lagi. Kadang tidur sebentar, kemudian meng¬hilang lagi entah ke mana. Maka seluruh tanggungjawab dan pekeijaan jatuh ke atas pundak Mama dan aku.”
Keluarga macam apa ini? Dua orang wanita, ibu dan anak, bekeija dengan diam-diam mempertahankan keluarga dan pe-rusahaan sebesar itu?
“Bekerja di mana Tuan Mellema?”
“Jangan perhatikan dia, pintaku, Mas. Tak ada yang tahu be¬keija di mana. Dia tak pernah bicara, seperti sudah-bisu. Kami pun tak pernah bertanya. Tak ada orang bicara dengannya.
Sudah beijalan lima tahun sampai sekarang. Rasa-rasanya memang sudah seperti itu sejak semula kuketahui. Dia dulu memang begitu baik dan ramah. Setiap hari menyediakan wak¬tu untuk bermain-main dengan kami. Waktu aku duduk di kias dua E.L.S. mendadak semua jadi berubah. Beberapa hari peru¬sahaan tutup. Dengan mata merah Mama datang ke sekolah menjemput aku, Mas, mengeluarkan aku dari sekolah untuk selama-lamanya. Mulai hari itu aku harus membantu pekeijaan Mama dalam perusahaan. Papa tak pernah muncul lagi, kecuali beberapa menit dalam satu atau dua minggu. Sejak itu pula Mama tak pernah menegurnya, juga tak mau menjawab perta¬nyaannya.”
Cerita yang tidak menyenangkan.
“Juga Robert dikeluarkan dari sekolah?” tanyaku mengalih.
“Pada waktu aku dikeluarkan dia duduk di kias tujuh — tidak, dia tidak dikeluarkan.”
“Meneruskan sekolah mana dia kemudian?”
“Dia lulus tapi tak mau meneruskan. Juga tak mau bekeija. Sepakbola dan berburu dan berkuda. Itu saja.”
“Mengapa dia tidak membantu Mama?”
“Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama. Bagi dia tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua Pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja untuknya, termasuk Mama dan aku.”
“Kau juga dianggapnya Pribumi?” tanyaku hati-hati.
“Aku Pribumi, Mas,” jawabnya tanpa ragu. “Kau heran? Memang aku lebih berhak mengatakan diri Indo. Aku lebih mencintai dan mempercayai Mama, dan Mama Pribumi, Mas.”
Memang keluarga teka-teki, setiap orang menduduki tempat¬nya sebagai peran dalam sandiwara seram. Banyak Pribumi mengimpi jadi Belanda, dan gadis yang lebih banyak bertampang Eropa ini lebih suka mengaku Pribumi.
Annelies terus bicara dan aku hanya mendengarkan.
“Kalau itu yang kau kehendaki,” terusnya, “mudah, Robert,” kata Mama, “sekarang kau sudah dewasa. Kalau papamu mati, pergi kau pada advokat, mungkin kau akan dapat kuasai seluruh perusahaan ini.” Kata Mama pula: “Tapi kau harus ingat, kau masih punya saudara tiri dari perkawinan syah, seorang insinyur bernama Maurits Mellema, dan kau takkan kuat berhadapan dengan seorang Totok. Kau hanya Peranakan. Kalau betul kau hendak menguasai perusahaan dengan baik-baik, belajarlah kau bekeija seperti Annelies. Memerintah pekeija pun kau tidak bisa karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena kau tak tahu bekeija.”
“Lihat angsa itu, Ann, putih seperti kapas,” kataku mengalih¬kan. Tapi dia bicara terus. “Mengapa rahasia keluarga kau sam¬paikan padaku?”
“Karena Mas tamu kami dalam lima tahun ini. Tamu kami, tamu keluarga. Memang ada beberapa tamu, hanya semua ber¬hubungan dengan perusahaan. Ada juga tamu keluarga, tapi dia dokter keluarga kami. Karena itu kaulah tamu pertama itu. Dan kau begitu dekat, begitu baik pada Mama mau pun aku,” suara¬nya mendesah sunyi, tak kekanak-kanakan. “Lihat, tak segan-se¬gan aku ceritakan semua itu padamu, Mas. Kau pun jangan segan-segan di sini. Kau akan jadi sahabat kami berdua.” Suara¬nya menjadi semakin sentimentil dan berlebihan: “Segala milikku jadilah milikmu, Mas. Kau bebas sekehendak hati dalam rumah ini.”
Betapa sunyi hati gadis dan ibunya di tengah-tengah kekayaan melimpah ini.
“Nah, mengasohlah. Aku hendak bekeg'a sekarang.”
Ia berdiri hendak berangkat. Ia pandangi aku sebentar, ragu, mencium pipiku, kemudian beijalan cepat meninggalkan aku seorang diri
*
BERAPA LAMA sudah ia simpan perasaannya. Sekarang akulah tem-pat tumpahan curahan.
Dari tempat dudukku terdengar deru pabrik beras yang sedang bekeija. Bunyi andong-andong pengantar susu yang berangkat dan datang. Derak-derik grobak-grobak mengangkuti sesuatu dari dan ke gudang. Pukulan-pukulan gebahan orang melepas kacang-kacangan dari kulitnya, sambil bergurau.
Aku masuk ke kamar, membuka-buka buku catatanku dan mulai menulis tentang keluarga aneh dan seram ini, yang karena suatu kebetulan telah membikin aku terlibat di dalamnya. Siapa tahu pada suatu kali kelak bisa kubuat cerita seperti Bila Mawar pada Layu cerita bersambung menggemparkan tulisan Hertog Lamoye? Ya, siapa tahu? Selama ini aku hanya menulis teks iklan dan artikel pendek untuk koranlelang. Siapa tahu? Dengan nama sendiri terpampang dan dibaca oleh umum? Siapa tahu?
Semua kata-kata Annelies telah kucatat. Bagaimana tentang Darsam si pendekar? Aku belum tahu banyak tentangnya. Ber¬pihak pada siapa dia di antara tiga golongan dalam keluarga se¬ram ini? Tiadakah dia justru bahaya terdekat bagi ketiga-tiga pihak? Bahaya? Adakah bahaya itu sesungguhnya? Kalau ada kan aku sendiri pun ikut terancam? Kalau benar ada, untuk apa pula aku tinggal di sini? Kan lebih baik aku pergi?
Pergi begitu saja aku tak kuasa. Gadis mempesonakan ini ke mana pun terbawa dalam pikiran.
Ketukan pada pintu itu membikin aku menggeragap. Nyai telah berdiri di hadapanku.
“Tak terkirakan gembira Annelies dan aku Sinyo sudi datang. Lihat, Nyo, dia sudah mulai bekeija lagi, mendapatkan kegesitan- nya yang semula. Kedatangan Sinyo bukan sekedar membantu kelancaran perusahaan, terutama untuk kepentingan Annelies sendiri. Dia mencintai Sinyo. Dia membutuhkan perhatianmu. Maafkan keterus-teranganku ini, Minke.”
“Ya, Mama,” jawabku takzim, rasanya lebih daripada kepada ibuku sendiri. Dan kembali kurasai daya sihirnya mencekam.
“Sudahlah, tinggal di sini saja. Kusir dan bendi bisa disedia¬kan khusus untuk keperluan Sinyo. “
“Terima-kasih, Mama.”
“Jadi Sinyo bersedia tinggal di sini, bukan? Mengapa diam saja? Ya-ya, pikirlah dulu. Pendeknya, sekarang ini Sinyo sudah ting¬gal di sini.”
“Ya, Mama,” dan genggamannya atas diriku semakin terasa.
“Baik. Istirahatlah. Biar terlambat, tentunya tak ada buruknya aku ucapkan selamat naik kias.”
Dengan demikian aku mulai menjadi batih baru keluarga ini. Dengan catatan tentu, aku harus tetap waspada, terutama ter¬hadap Darsam. Aku takkan terlalu dekat padanya. Sebaliknya harus selalu sopan padanya. Robert barangtentu akan memben¬ci aku sebagai Pribumi tanpa harga.Tuan Herman Mellema tentu akan menyembur aku pada setiap kesempatan yang didapatnya. Pendeknya aku harus waspada — kewaspadaan sebagai bea keba¬hagiaan hidup di dekat gadis cantik tanpa bandingan: Annelies Mellema. Dan apa bisa diperoleh dalam hidup ini tanpa bea? Semua harus dibayar, atau ditebus, juga sependek-pendek ke¬bahagiaan.
PADA WAKTU makanmalam Robert tak muncul. Bayang-bayang dan langkah menyeret Tuan Mellema pun tiada.
“Minke, Nyo,” Nyai memulai,“Kalau suka bekeija dan beru¬saha, kau cukup di sini saja bersama kami. Kami pun akan merasa lebih aman dengan seorang pria di dalam rumah ini. Maksud¬ku, pria yang dapat diandalkan.”
“Terimakasih, Mama. Semua itu baik dan menyenangkan, sekali pun harus kupikirkan dulu,” dan kuceritakan keadaan keluarga Jean Marais yang masih membutuhkan jasa-jasaku.
“Itu baik,” kata Nyai, “manusia yang wajar mesti punya sa¬habat, persahabatan tanpa pamrih. Tanpa sahabat hidup akan terlalu sunyi,” suaranya lebih banyak tertuju pada diri sendiri. Mendadak:“Nah, Ann, Sinyo Minke sudah ada di dekatmu. Lihat baik-baik. Dia sudah ada di dekatmu. Sekarang kau mau apa?”
“Ah, Mama,” desau Annelies dan melirik padaku.
“Ah-Mama, ah-Mama saja kalau ditanyai. Ayoh, bicara seka-rang, biar aku ikut dengarkan.”
Annelies melirik padaku lagi dan mukanya merahpadam. Nyai tersenyum bahagia. Kemudian menatap aku, berkata:
“Begitulah, Nyo, dia itu - seperti bocah kecil. Sedang kau sendiri, Nyo, apa katamu sekarang setelah di dekat Annelies?”
Sekarang giliranku tersipu tak bisa bicara. Dan barangtentu aku takkan mungkin berseru ah-Mama seperti Annelies. Perem¬puan ini memang berpikiran cepat dan tajam, langsung dapat menggagapi hati orang, seakan ia dengan mudah dapat menge¬tahui apa yang hidup dalam dada. Barangkali di situ letak kekuat¬annya yang mencekam orang dalam genggamannya, dan mam¬pu pula mensihir orang dari kejauhan. Apalagi dari dekat.
“Mengapa kalian berdua pada diam seperti sepasang anak ku¬cing kehujanan?” ia tertawa senang pada perbandingannya sendiri.
Memang bukan nyai sembarang nyai. Dia hadapi aku, siswa H.B.S. tanpa merasa rendahdiri. Dia punya keberanian menya¬takan pendapat. Dan dia sadar akan kekuatan pribadinya.
Kami lewatkan malam itu dengan mendengarkan waltz Aus¬tria dari phonograf. Mama membaca sebuah buku. Buku apa aku 
tak tahu. Annelies duduk di dekatku tanpa bicara. Pikiranku justru melayang pada May Marais. Dia akan senang di sini, kira¬ku. Dia senang mendengarkan lagu-lagu Eropa. Tak ada pho- nograf di rumahnya, pun tidak di pemondokanku.
Mulailah aku ceritakan padanya tentang gadis cilik yang ke-hilangan ibunya. Dan nasib ibunya. Dan kebaikan hati Jean Marais. Dan kebijaksanaannya. Dan kesederhanaannya.
Nyai berhenti membaca, meletakkan buku di pangkuan dan ikut mendengarkan ceritaku. Phonograf dilayani oleh seorang pelayan wanita.
Aku teruskan ceritaku tentang Jean Marais. Pada suatu kali ia dengar regunya mendapat perintah menyerbu sebuah kampung di Biang Kejeren. Mereka berangkat pagi-pagi dan sampai di kampung itu sekitar jam sembilan pagi. Dari jauh mereka telah menghamburkan peluru ke udara agar semua pelawan me¬nyingkir, dan dengan demikian tidak perlu terjadi pertempuran. Mereka menembak-nembak lagi ke udara sambil berteduh di bawah pepohonan. Beberapa kemudian mereka beijalan lagi, siap memasuki kampung. Betul saja kampung itu telah kosong. Regunya masuk tanpa perlawanan. Tak seorang pun dapat dite¬mukan. Seorang bayi pun tidak. Orang mulai memasuki rumah- rumah dan mengobrak-abrik apa saja yang bisa dirusak.
Penduduk sudah begitu melaratnya selama lebih dua puluh tahun berperang. Tak ada didapatkan sesuatu untuk kenang- kenangan. Kopral Telinga telah memerintahkan membakar se¬mua rumah. Tepat pada waktu itu orang-orang Aceh nampak seperti rombongan semut, laki dan perempuan. Semua berpa¬kaian hitam. Berseru-seru dalam berbagai macam nada memang¬gil-manggil Allah. Beberapa orang saja nampak berikat-pinggang selendang merah. Di dalam kampung itu sendiri tiba-tiba mun¬cul beberapa orang lelaki muda Aceh, menegang. Mengamuk dengan parang. Entah dari mana datangnya. Senapan tak bisa dipergunakan lagi. Dan semut hitam di kejauhan itu makin mendekat juga. Regu Telinga kocar-kacir, sekali pun sebagian besar para pengamuk tewas. Sisanya melarikan diri. Dengan 
mengangkuti teman-teman sendiri yang terluka regu itu tergesa meninggalkan kampung.Jean Marais terjebak dalam ranjau bam¬bu. Sebilah yang runcing telah menembusi kakinya. Juga Teli¬nga terkena ranjau, hanya kurang parah. Orang mencabut bilah bambu dari kakinya, dan Jean pingsan. Mereka lari dan lari dan lari. Orang tak dapat menduga apa yang sedang dipersiapkan di luar rombongan semut yang mendatang itu. Orang Aceh pandai bermain muslihat. Bisa saja mendadak muncul pasukan pelawan baru. Hanya lari dan lari yang mereka bisa. Dan membawa kur¬ban yang bisa dibawa. Para kurban dirawat di rumah sakit Kom¬peni. Lima belas hari kemudian ketahuan kaki Jean Marais terserang gangreen pada perbukuan lutut. Beberapa bulan yang lalu ia telah kehilangan kekasihnya, sekarang ia kehilangan se¬buah dari kakinya, dipotong di atas lutut.
“Bawalah anak itu kemari,” kata Nyai. “Annelies akan suka sekali mendapatkan adik. Bukan, Ann? Oh, tidak, kau tidak membutuhkan adik, kau sudah mendapatkan Minke.”
“Ah, Mama ini!” serunya malu.
Dan aku sendiri tidak kurang dari itu. Tak ada peluang lain. Sudah kucoba bangunkan diri sebagai pria berpribadi dan utuh di hadapan wanita luarbiasa ini. Tak urung setiap kali ia bicara usahaku gagal. Kepribadianku terlindungi oleh bayang-bayang¬nya. Memang aku tahu: yang demikian tak boleh berlarut terus.
“Mama, ijinkan aku bertanya,” begitu usahaku untuk keluar dari bayang-bayangnya, “lulus sekolah apa Mama dulu?”
“Sekolah?” ia menelengkan kepala seperti sedang mengintai langit, menjernihkan ingatan. “Seingatku belum pernah.”
“Mana mungkin? Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?”
“Apa salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.”
Sungguh aku terperanjat mendengar jawaban itu. Tak pernah itu dikatakan oleh setiap orang di antara guru-guruku.
Maka malam itu aku sulit dapat tidur. Pikiranku bekeija keras memahami wanita luarbiasa ini. Orang luar sebagian meman¬
dangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang nyai, se-orang gundik. Atau orang menghormati hanya karena kekayaan¬nya. Aku melihatnya dari segi lain lagi: dari segala apa yang ia mampu kerjakan, dari segala apa yang ia bicarakan. Aku benar¬kan peringatan Jean Marais: harus adil sudah sejak dalam pikir¬an, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.
Memang ada sangat banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyai Ontosoroh yang pernah kutemui. Menurut cerita Jean Marais wanita Aceh sudah terbiasa turun ke medan-perang melawan Kompeni. Dan rela berguguran di samping pria. Juga di Bali. Di tempat kelahiranku sendiri wanita petani bekeija bahu-membahu dengan kaum pria di sawah dan ladang. Namun semua itu tidak seperti Mama — dia tahu lebih daripada hanya kampung-halaman sendiri.
Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribu¬mi yang hebat seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J. - wanita Pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya yang pertama diumumkan ia berumur 17. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat di majalah keilmuan? Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. Kan telah kubuktikan aku juga bisa melaku-kan? Biar pun masih taraf coba-coba dan kecil-kecilan? Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis. Dan di dekatku kini ada wanita lebih tua. Dia tidak menulis, tapi ahli mencekam orang dalam genggamannya. Dia mengurus perusahaan besar secara Eropa! Dia menghadapi sulungnya sendiri, menguasai tuannya, Herman Mellema bangunkan bungsunya untuk jadi calon admi-nistratur, Annelies Mellema - dara cantik idaman semua pria.
Aku akan pelajari keluarga aneh dan seram ini. Dan bakal kutulis.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02