Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 08

GAR CERITAKU INI AGAK URUT. BIAR KUUTARAKAN DULU yang tegadi atas diri Robert sepeninggalku dari Wonokromo dibawa agen polisi kias satu itu ke B.
Cerita di bawah ini aku susun berdasarkan kisah dari Anne- lies, Nyai, Darsam, dan yang lain-lain, dan begini jadinya:
Waktu dokar yang kutumpangi telah hilang ditelan kegelapan subuh Annelies menangis memeluk Mama. (Tak tahulah aku mengapa ia begitu penangis dan manja seperti bocah).
“Diam, Ann, dia akan selamat,” kata Nyai.
“Mengapa Mama biarkan dia dibawa?” protes Annelies.
“Hamba hukum itu, Ann, dia tak bisa dilawan.”
“Mari ikuti dia, Ma.”
“Tidak perlu. Masih terlalu pagi. Lagipula jelas ia akan diba¬wa ke B.”
“Mama, ah Mama.”
“Sayang betul kau padanya?”
“Jangan kau siksa aku begini macam, Ma.”
“Lantas apa harus kuperbuat? Tak sesuatu, Ann. Kita hanya harus menunggu. Jangan turutkan kemauan sendiri.”
“Usahakan, Ma, usahakan.”
“Kau anggap Minke bonekamu saja, Ann. Dia bukan boneka.
Usahakan, usahakan! Tentu akan kuusahakan. Sabarlah. Masih terlalu pagi.”
“Kau biarkan aku begini, Ma? Kau hendak bunuh aku?”
Nyai menjadi bingung. Ratapan seperti itu tak pernah ia de¬ngar dari anaknya yang tak pernah mengeluh itu. Ia mengerti Annelies sedang dalam keadaan genting. Annelies: kompanyon kerja terpercaya. Ia tahu: ia harus lakukan segala yang dike¬hendakinya, yang dianggapnya sebagai haknya. Ia bawa anaknya masuk untuk diistirahatkan di kamar.
Dan Annelies menolak. Ia hendak tunggu Minke sampai kembali.
“Tidak mungkin begitu, Ann.Tidak mungkin. Mungkin lusa atau lusanya lagi dia baru kembali.”
Dan Annelies mulai membisu.
Mama semakin bingung. Ia tahu: sejak kecil anaknya tak per¬nah meminta. Baru dalam minggu-minggu belakangan ia me¬minta — bukan hanya meminta, mendesak, memaksa — semua tentang Minke. Selamanya ia seorang penurut, berlaku manis, jadi buahhati. Sekarang ia mulai jadi pembangkang.
Annelies menuntut kembalinya bonekanya. Dan ia hanya tahu ibunya.
Nyai kuatir kalau-kalau anaknya akan jatuh sakit. Ia semakin melihat munculnya gejala ketidakberesan pada anaknya. Mung-kinkah anak penurut ini juga tak tahan guncangan seperti ayahnya?
Dan dengan lambatnya matari mulai terbit.
Darsam datang untuk membukai pintu dan jendela. Ia terkejut melihat tingkah-laku noninya. Menghadapi masalah yang tak membutuhkan otot dan parang ia tidak berdaya.
“Ya, ini urusan Gubermen,” desah Mama. Urusan yang tak bisa diraba atau dilihat, urusan para jin negeri jabalkat.
Sekilas Mama teringat pada sulungnya. Pada kilasan lain ia juga mencurigainya telah mengirimkan surat kaleng pada polisi. Ia mencurigainya! Kilasan berikutnya: ia hendak menyelidikinya.
“Panggil Robert kemari,” perintah Mama pada Darsam.
Dan Robert datang sambil mengocok mata. Ia berdiri diam- diam. Sekiranya tak ada Darsam ia takkan datang menghadap. Itu semua orang tahu. Dan ia berdiri tanpa bicara sepatah pun. Matanya memancarkan ketidakpedulian.
“Sudah berapa kali dan kepada siapa saja kau pernah kirim¬kan surat kaleng?”
Ia tak menjawab. Darsam menghampirinya.
“Jawab, Nyo,” desak pendekar itu.
Annelies masih juga berpegangan pada Nyai seakan mencari sandaran.
“Tak ada urusanku dengan surat kaleng,” jawabnya sengit, mukanya dihadapkan pada Darsam. “Apa aku nampak seperti pembikin surat kaleng?”
“Jawab pada Nyai, bukan padaku,” dengus Darsam.
“Tak pernah membikin, apalagi mengirimkan,” sekarang mukanya ditujukan pada Mama.
“Baik. Aku selalu berusaha mempercayai mulutmu. Apa sebab kau membenci Minke? Karena ia lebih baik dan lebih terpelajar daripadamu?”
“Tak ada urusan dengan Minke. Dia hanya Pribumi.”
“Justru Pribumi kau membencinya.”
“Lantas, apa guna darah Eropa?” tantang Robert.
“Baik. Jadi kau membenci Minke hanya karena dia Pribumi dan kau berdarah Eropa. Baik. Memang aku tak mampu menga¬jar dan mendidik kau. Hanya orang Eropa yang bisa lakukan itu untukmu. Baik, Rob. Sekarang, aku, ibumu, orang Pribumi ini, tahu, orang yang berdarah Eropa tentu lebih bijaksana, lebih terpelajar daripada Pribumi.Tentu kau mengerti aku. Sekarang, aku minta darah Pribumi dalam tubuhmu - bukan Eropa dalam dirimu - pergi ke Kantor Polisi Surabaya. Carikan keterangan tentang Minke. Darsam takkan mungkin melakukannya. Aku tidak. Pekeijaan di sini tidak memungkinkan. Kau pandai Be¬landa dan bisa baca-tulis. Darsam tidak. Aku ingin tahu apa yang kau bisa kerjakan. Naik kuda, biar cepat.”
Robert tak menjawab.
“Berangkat, Nyo!” perintah Darsam.
Tanpa menjawab Robert Mellema berbalik dan beijalan menyeret sandal masuk ke dalam kamar dan tak keluar lagi.
“Peringatkan, Darsam!” perintah Mama.
Darsam menyusul Robert masuk ke dalam kamar.
Di luar dunia sudah mulai terang. Robert meninggalkan ka¬mar dalam iringan pendekar Madura itu. Ia pergi ke belakang, ke kandang kuda. Ia telah mengenakan celana kuda, bersepatu larsa tinggi dan pada tangannya cambuk kulit.
“Kau tidur saja, Ann,” hibur Nyai.
“Tidak.”
Nyai rasai suhu Annelies mulai naik. Anak itu memang jatuh sakit. Dan ibunya sangat cemas.
“Taruh sofa di kantor, Darsam. Biar aku tunggui sambil be- keija. Jangan lupa selimut. Kemudian kau panggil Dokter Mar- tinet.” Ia dudukkan anaknya di kursi. “Sabar, Ann, sabar. Cinta benar kau padanya?”
“Mama, Mamaku seorang,” bisik Annelies.
“Kau jadi sakit begini, Ann. Tidak, Mama tidak melarang kau mencintai dia. Tidak, sayang. Kau boleh kawin dengannya, kapan pun kau suka dan dia mau. Sekarang ini, sabarlah.”
“Mama,” panggil Annelies dengan mata tertutup. “Mana pi¬pimu, Ma, sini, Ma, biar aku cium,” dan diciumnya pipi ibunya.
“Tapi kau jangan sakit. Siapa akan bantu aku? Tega kau meli¬hat Mama bekerja sendirian seperti kuda?”
“Mama, aku akan selalu bantu kau.”
“Karena itu jangan kau sakit begini, sayang.”
“Aku tidak mau sakit, Ma.”
“Badanmu bertambah panas begini, Ann. Belajar bijaksana, Nak, dalam soal begini orang hanya bisa berusaha, dan hanya bisa bersabar menunggu hasilnya.”
Seorang diri Darsam memindahkan sofa ke dalam kantor.
Annelies menolak dipindahkan sebelum melihat Robert per¬gi dengan kudanya. Dan abangnya belum juga kelihatan.
“Susul Robert, Darsam!” pekik Mama.
Darsam lari ke belakang. Sepuluh menit kemudian nampak pemuda jangkung ganteng itu memacu kudanya tanpa mene¬ngok lagi, langsung menuju ke jalan besar. Dan seperempat jam kemudian Darsam pergi pula mengusiri bendi menjemput Dok¬ter Martinet.
Baru Annelies mau dituntun masuk ke dalam kantor. Dan Nyai mengompresnya dengan cuka-bawangmerah.
“Maafkan, Ann, aku tak kuat menggendong kau. Tidurlah. Sebentar lagi Dokter datang, dan Robert akan pulang memba¬wa keterangan.”
Nyai pergi ke pojokan kantor, membuka kran, mencuci muka dan bersisir.
Dari bawah selimutnya Annelies bertanya berbisik:
“Suka kau padanya, Ma?”
“Tentu, Ann, anak baik,” jawab Nyai sambil masih bersisir. “Bagaimana Mama takkan suka kalau kau sendiri sudah suka. Orangtua tentu bangga punya anak seperti dia. Dan wanita sia¬pa takkan bangga jadi istrinya nanti? istri syah? Mama pun bang¬ga punya menantu dia.”
“Mama, Mamaku sendiri!”
“Karena itu tak perlu kau kuatirkan sesuatu.”
“Suka dia padaku, Ma?”
“Pemuda siapa takkan tergila padamu? Totok, Indo, Pribumi. Semua. Mama mengerti, Ann. Takkan ada gadis secantik kau. Sudah, tidur. Jangan pikirkan apa-apa. Tutup matamu.”
Sudah sejak tadi gadis itu menutup matanya. Bertanya:
“Kalau orangtuanya melarang, Ma, bagaimana?”
“Jangan kau pikirkan apa-apa, kataku. Mama akan mengatur semua.Tidur. Diam-diam di situ. Biar aku ambilkan susu. Ingat, kau harus sehat. Apa kata Minke nanti kalau kau jadi kuyu tidak menarik? Gadis secantik apa pun takkan menarik kalau sakit.”
Nyai berseru dari kantor memanggil orang dapur. Tak lama kemudian yang dipanggil masuk membawa susu panas.
“Nah, minum sekarang. Mama akan mandi dulu. Kemudian cobalah tidur, Ann.”
Nyai pergi mandi. Waktu kembali ia membawa air hangat dan anduk dan mengurus anaknya.
Annelies sudah tak bicara sepatah pun.
Dokter Martinet datang, memeriksa sebentar, kemudian me-rawatnya. Ia berumur empatpuluhan, sopan, tenang dan ramah. Ia berpakaian serba putih kecuali topinya yang dari laken kela¬bu. Matanya yang sebelah kanan menggunakan kaca monokel, yang terikat pada rantai emas pada lubang kancing baju sebelah atas.
Darsam gopoh-gapah menyediakan sarapan untuk Tuan Dok¬ter di kantor. Dan bersarapan tamu itu dengan Nyai.
“Nanti sore aku akan datang lagi, Nyai. Beri dia sarapan lu¬nak sebelum tidur. Jangan sampai ada banyak bising. Pertahan¬kan ketenangan. Hanya tidur saja obat dia. Pindahkan dia ke kamarnya sendiri. Jangan di kantor begini. Atau mari angkat sofa ini ke ruangtengah. Jendela dan pintu tutup saja.”
*
DAN BAGAIMANA dengan Robert Mellema?
Menurut cerita orang-orang Boerderij, juga menurut saksi-saksi serta terdakwa di depan sidang pengadilan di kemudianhari ke-jadiannya adalah seperti yang kususun di bawah ini:
Setelah meninggalkan kandang ia memacu kudanya ke jalan besar. Kemudian berbelok kanan, ke arah Surabaya. Sesampai di jalan besar ia hentikan kendaraannya, menengak ke kiri dan ke kanan, dan dipelankannya kudanya sambil menikmati peman¬dangan pagihari. Boleh jadi ia merasa sebal. Buat kepentingan seorang petualang Minke ia harus bangun sepagi itu! ke Kantor Polisi pula. Buat apa? Biar saja Minke lenyap buat selamanya. Dunia tanpa dia pun takkan lebih miskin, takkan lebih sengsara, sebutir debu yang datang dibawa angin entah dari mana, dan mau bercokol dalam rumahnya entah untuk berapa lama.
Kuda itu melangkah tak senang hati karena memang belum 
makanpagi, belum lagi minum manis. Robert juga belum sarap¬an, dan sekarang sudah harus berangkat keija.
Pagi itu lebih dari hanya sejuk. Grobak-grobak yang meng¬angkuti tong minyakbumi dari Wonokromo belum juga mun¬cul seperti biasanya dalam iringan panjang seakan tiada kan putus-putusnya. Hanya para pedagang dari desa sudah mulai berbaris memikul hasilbuminya ke pasar-pasar Surabaya.
Dan kuda itu sudah dalam langkahnya yang lambat barang lima puluh meter. Pikirannya melayang ke mana-mana. Dari balik pagar hidup sebelah kanannya terdengar seseorang menyapa:
“Tabik, Sinyo Lobelllllll.”
Ia hentikan kuda, meninjau melalui puncak-puncak pagar ke sebaliknya. Dilihatnya seorang Tionghoa dalam piyama serba lorek sedang tersenyum manis padanya. Rambutnya begitu jarang sehingga kuncirnya pun begitu tipis. Waktu tersenyum pipinya terangkat naik, matanya semakin sipit. Kumisnya pun tipis, panjang, jatuh tak berdaya di samping-menyamping mu¬lut. Jenggotnya sangat tipis pula, dan pada setotol tahilalat bagi¬an jenggot itu merimbun dan agak lebih hitam.
“Tabik, Nyo,” ulangnya waktu melihat Robert nampak ragu untuk menjawab.
“Tabik, Babah Ah Tjong!” jawab Robert sopan, mengangguk disertai senyum.
“Tabik, tabik, Nyo. Bagaimana kabal Nyai?”
“Baik, Babah. Baru kali ini kulihat Babah. Di mana saja sela¬ma ini?”
“Biasa, Nyo, banyak ulusan. Bagaimana kabal Tuan?”
“Baik, Babah.”
“Sudah lama tak kelihatan.”
“Biasa, Bah, banyak urusan. Kelihatan pintu rumah Babah terbuka hari ini. Juga jendela. Ada apa hari ini, Bah? Luar biasa barangkali?”
“Hali bagus, Nyo, hali plesil sekalang. Ayoh, Nyo, mampil,” senyum Ah Tjong pagi ini membikin tawar kesebalan Robert, juga kebenciannya pada yang serba Tionghoa. Tak pernah ia ingin berkenalan dengan orang Tionghoa. Ditegur pun ia tak¬kan sudi menjawab pada kesempatan lain. Apalagi memasuki pekarangan dan rumahnya. Tapi sekarang ia sungguh-sungguh tertarik untuk mengetahui sesuatu.
“Baik, Bah, aku mampir sebentar,” dan Robert membelok¬kan kudanya masuk ke pelataran tetangganya.
Ia belum pernah mengenal Babah Ah Tjong, hanya mengira saja itulah orangnya. Belum lagi turun tetangganya telah berla¬rian menyambutnya. Ia lihat orang berkuncir itu bertepuk ta¬ngan. Seorang Sinkeh tukangkebun datang dan mengambil kuda dari tangannya, kemudian menuntun binatang itu ke belakang.
Robert dan Ah Tjong berjalan sejajar, pelan, melalui jalanan batu cadas menuju ke gedung yang biasa terbuka pintu dan jen¬delanya itu. Mereka masuk. Semua jenjang tangga depan sekarang tertutup anyaman tali sabut kelapa. Dan ruang depan rumah tak berserambi itu sangat luas, diperaboti beberapa sitje jati berukir. Di sebuah pojokan terdapat sitje bambu betung belang-bonteng coklat. Dinding dihiasi cermin dari berbagai ukuran berisikan kalligrafi Tionghoa berwarna merah. Sebuah rana kayu berukir-tembus menutup mulut korridor yang terda¬pat di tengah-tengah gedung. Beberapa jambang besar dari tem¬bikar menghiasi ruangan itu tanpa isi, berdiri di atas kaki dengan naga melingkar. Tak ada hiasan lantai. Juga tak ada potret Sri RatuWilhelmina. Bunga-bungaan juga tak terdapat di mana pun di ruangdepan ini.
Ah Tjong membawanya ke sitje bambu yang terdiri atas tiga kursi dan sebuah bangku panjang yang menghadap ke pelataran depan. Tuanrumah duduk di situ dan Robert di tentangnya.
“Ah, Nyo, sudah lama beltetangga begini tidak pelnah datang belkunjung.”
“Bagaimana mungkin kalau pintu dan jendela terus-menerus tertutup?”
“Ah, Nyo, yang benal saja. Mana bisa lumah ini telus tel- tutup?”
“Baru hari ini kulihat terbuka.”
“Kalau buka sepelti ini, Nyo Lobellll, tentu aku ada di lumah.”
“Kalau tidak, di rumah mana?”
“Di lumah mana?” ia tertawa senang. “Minum apa, Nyo? Biasanya apa? Wiski, blandy, cognag, bolsh, ciu atau alak biasa? Sausing balangkali?Yang putih, kuning, hangat, dingin saja. Atau malaga? Atau keling?”
“Wah, Bah, sepagi ini.”
“Apa salah? Dengan kacanggoleng bagaimana?”
“Setuju, Bah, sangat setuju.”
“Bagus, Nyo. Senang dapat tamu sepelti Sinyo: ganteng, gagah, tidak pemalu, muda.... semua ada pada Sinyo. Kaya.... wah,” ia bertepuk tangan dengan gaya anggun, tanpa meneleng tanpa menoleh, seperti maharaja.
Dari belakang rana muncul seorang gadis Tionghoa bergaun panjang tanpa lengan. Samping bagian bawah gaun berbelah tinggi menampakkan sebagian dari tungkainya. Rambutnya dikelabang dua.
Robert membelalak melihat gadis berkulit pualam itu. Ma¬tanya seperti tak dapat dipindahkan dari belahan gaun sampai gadis itu begitu dekat dengannya dan menaruh botol wiski, gelas-gelas sloki dan kacanggoreng sangan di atas meja.
AhTjong bicara cepat dalam Tionghoa pada perempuan itu, yang kemudian segera berdiri tegak di hadapan Robert.
“Nah, Nyo, coba taksil sendili pelempuan ini.”
Dan Robert malu tersipu. Ia tak dapat bicara. Mata dan mu¬kanya jatuh ke tempat lain seperti direnggutkan setan.
“Ini si Min Hwa. Tak suka Sinyo padanya?” ia mendeham. “Balu datang dali Hongkong.”
Min Hwa membungkuk, meletakkan talam ke atas meja dan duduk di kursi dekat Robert.
“Sayang sekali, Nyo, Min Hwa tak bisa Melayu, Belanda tidak, Jawa juga tidak. Hanya Tionghoa saja. Apa boleh buat. Sinyo diam saja? Mengapa? Dia sudah ada di samping Sinyo. Ai-ai, Si-
181
nyo jangan pula-pula tidak belpengalaman begitu. Ayoh, Nyo, masa mesti malu sama Babah?”
Min Hwa menyodorkan gelas wiski pada bibir Robert yang menerimanya tanpa kemantapan.
Dan Ah Tjong sengaja tersenyum manis memberanikan.
Min Hwa tertawa genit melengking dengan kepala didongak- kan, otot muka pada tertarik, mulut terbuka dan gigi mutiara¬nya dengan satu gingsul berparade dalam mulutnya. Kemudian perempuan itu bicara keras dan cepat memberi komentar tanpa koma tanpa titik. Dan Robert tidak mengerti, malah semakin kehilangan kemantapan waktu perempuan itu mendekatkan kursi padanya.
Melihat Robert menjadi pucat dan gelas di tangannya hampir jatuh, Min Hwa mendorong sloki itu pada bibir pemuda jang¬kung itu. Dan Robert meneguknya tanpa ragu
Tiba-tiba ia terbatuk-batuk — ia tak pernah minum minuman keras. Wiski menyemburi Ah Tjong dan Min Hwa. Mereka tak marah, tertawa-tawa senang.
“Satu sloki lagi, Nyo,” tuanrumah menyarankan.
Min Hwa menuangkan wiski lagi dan sekali lagi menyuruh tamu muda itu minum. Pemuda itu menolak dan menyeka mulut dengan setangan. Ia semakin malu.
“Masa ya Sinyo pula-pula belum pelnah minum wiski?” Dan meledeknya, “Tidak suka wiski tidak suka Min Hwa?” ia lam¬baikan tangan dan perempuan itu pergi, menghilang ke balik rana berukir-tembus. Ia bertepuk tangan lagi.
Sekarang muncul gadis Tionghoa lain, berbaju dan bercelana panjang sutra bersulam aneka gambar dan warna. Ia berjalan bergeol-geol mendekati sitje bambu membawa talam bambu berisi penganan dan meletakkan di atas meja, di atas talam yang ditinggalkan Min Hwa.
Ia membungkuk pada Robert dan tersenyum memikat. Se-bagaimana halnya dengan perempuan pertama ia juga bergincu. Belum lagi selesai menata penganan Min Hwa sudah datang lagi
membawa air bening dalam gelas di atas talam kaca, meletak¬kannya di hadapan Robert. Kemudian duduk di tempatnya yang tadi.
“Wah, Nyo, sekalang dua. Mana lebih menalik? Ayoh, jangan malu-malu. Yang ini Sie-sie.”
Di depan rumah beberapa kereta mulai berdatangan. Tamu- tamu pada langsung masuk ke dalam. Sebagian berpakaian Tionghoa, sebagian lagi piyama. Semua lelaki dan berkuncir. Tanpa mengindahkan tuanrumah ada atau tidak mereka langsung duduk dan mulai ramai bercericau, berdahak, dan membuka permainan judi.
“Tak ada yang disukai lupanya Sinyo ini,” desau AhTjong dan menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi untuk melayani para tamu.“Juga Sie-sie Sinyo tak suka,” ia berdiri dan memang¬gil Sie-sie.
Begitu wanita itu datang lagi AhTjong menariknya dan men-dudukkannya di samping Robert.
“Siapa tahu Sinyo lebih suka ini.”
Dan Robert nampak masih sangat malu, kacau antara mau dan takut. Babah meneruskan tawanya, asyik melihat pemuda yang kebingungan itu. Dan tamu-tamu lain sama sekali tak meng¬indahkan mereka yang di pojokan.
Sekarang Sie-sie ribut bercericau dengan suara keras, cepat, kemudian mulai merayunya, memperbaiki letak kemeja dan sa¬buk, menjentik-jentik gombak kemeja. Babah mengawasi dan terus juga tertawa. Robert makin meriut. Kemudian dua orang Tionghoa itu bicara ribut. Dan Robert tetap tak mengerti ba¬rang sepatah.
“Baik, Nyo, memang Sinyo tak suka dua-duanya.”
Sie-sie bangkit dan menghilang di balik rana dan Ah Tjong bertepuk empat kali.
Robert menyesal setengah mati barangkali. Ia menunduk.
Dari balik rana muncul seorang wanita Jepang dalam kimono berbunga-bunga besar. Wajahnya kemerahan. Ia melangkah pendek-pendek dan cepat. Mukanya bundar dan bibirnya tergin- cu dan selalu tersenyum. Rambutnya terkondai. Ia langsung duduk di samping tuanrumah. Waktu tertawa nampak salah se¬buah gigi serinya dari emas.
“Lihat sini, Nyo, ini pelempuan lagi.”
Barangkali karena tak mau menyesal untuk ke sekian kali Robert memberanikan diri memandangi wanita Jepang itu.
“Nah, Nyo, ini Maiko. Baru dua bulan datang dali Jepang.”
Belum sampai habis bicara Maiko telah bicara cepat bernada tinggi dalam Jepang. Juga Robert tidak mengerti. Namun ia telah memberanikan diri menatapnya.
Ah Tjong menutupkan tangannya pada mulut wanita itu dan berkata:
“Ini kepunyaanku sendili. Boleh juga kalau Sinyo suka. Duduk saja sini, dekatnya.”
Seperti anjing diamangi tongkat majikan Robert berdiri, lambat-lambat bergerak pindah duduk di kursi panjang, menga¬pit Maiko.
“Jadi Sinyo setuju yang ini? Maiko? Baik,” ia tertawa mengerti. “Kalau begitu aku pelgi saja. Telselah pada Sinyo.”
Tamu itu mengikuti tuanrumah pergi dengan matanya.
Dan Ah Tjong mencampurkan diri dengan para tamu yang makin banyak juga, bermain kartu, karambol atau mahyong. Ia berjalan lambat meneliti meja demi meja, kemudian datang lagi ke sitje bambu, berdiri di hadapan dua sejoli yang tak dapat berhubungan kata satu dengan yang lain itu.
“Ya, memang susah, Nyo. Maiko tak mengelti Melayu. Apa lagi Belanda. Bagaimana bisa Sinyo tak pelnah belgaul dengan noni-noni Jepang? Tak pelnah ke Kembang Jepun balangkali?”
“Lihat pun baru sekali ini, Bah,” baru Robert memperde¬ngarkan suaranya.
“Lugi, Nyo, lugi jadi anak muda beduit. Di setiap lumahplesil- anTionghoa sepelti ini hampil selalu ada noni Jepang. Lugi, Nyo, lugi. Tidak pelnah masuk lumah lampu melah di kota? Di Kembang Jepun? Di Betawi? Memang benal-benal lugi, Nyo Lobellll.... Noni Jepang melulu. Kasihan. Mali....,” ia menyilakan dengan gaya kaisar.
Mereka bertiga beijalan. Babah di depan. Robert Mellema di belakang. Maiko terakhir. Kuncir Ah Tjong bergoyang sedikit pada setiap langkah karena tipisnya dan menyapui baju piyama¬nya. Mereka melewati rana berukir-tembus. Maiko terus-me¬nerus bicara dengan suara memikat dan melangkah pendek- pendek cepat. Bau minyakwangi memenuhi udara.
Mereka memasuki korridor, yang diapit oleh kamar-kamar pada kiri dan kanannya, tanpa perabot kecuali hiasan dinding. Beberapa perempuan Tionghoa muda sedang bicara satu sama lain di sana-sini. Semua berdandan dan berhias rapi dan me¬nyambut Ah Tjong dengan sangat hormat, kemudian juga pada Robert, dan tidak pada Maiko.
Robert memperhatikan setiap orang. Yang jangkung-pendek, kurus-gemuk, montok-krempeng semua berbibir merah, ter¬senyum atau tertawa.
“Pelempuan-pelempuan cantik begini hibulan hidup, Nyo. Sayang Sinyo tidak suka yang Tionghoa,” ia tertawa menusuk. “Nah, semua kamal belhadap-hadapan. Sinyo boleh pakai yang mana saja, selama tidak telkunci.”
Ia buka sebuah pintu dan menunjukkan pedalamannya. Baik perabot mau pun kebersihannya sebanding dengan kamarnya sendiri, hanya kurang luas, dengan peralatan lebih indah.
“Buat Sinyo ada kamal laja, kamal keholmatan, kalau Sinyo suka,” ia berjalan lagi dan membuka pintu kamar lain. “Nah, ini kamal laja yang kumaksud. Hanya Tuan Majool boleh pakai ini. Kebetulan dia sedang pigi ke Hongkong.”
Perabot di dalamnya semua baru dan dengan gaya yang Ro¬bert tak tahu namanya, juga tak mengurusi. Di pintu Babah ber¬tanya pada tamunya tentang pendapatnya. Dan Robert tak pu¬nya sesuatu pendapat kecuali mengiakan kebagusannya. Ah Tjong masuk. Robert dan Maiko mengikuti.
“Pelabot telbaik, Nyo. Balu selesai dibuat, gaya Plancis sejati. Memang Tuan Majool suka segala yang Plancis. Ini buatan tukang-tukang Plancis kenamaan. Pelabot paling mahal, Nyo, dalam gedung ini. Di pojokan sana ada lemali kecil, di atas kenap itu. Ada-wiski dan sake, apa saja Sinyo suka. Sitje, lemali gan¬tung, sofa, kulsi panjang,” katanya sambil menunjuk perabot itu satu demi satu. “Lanjang belukil begini bikin tidul lebih tenang dan senang. Bukan, Maiko?”
Dan Maiko menjawab dengan bungkukan dan suara pelahan, cepat, genit, seperti murai.
“Nah, Nyo, senang belplesil!”
Robert dengan mata mengikuti AhTjong melangkah keluar, memperhatikan kuncirnya sampai ia hilang dari balik daun pintu.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02