Intelligent Investor - Benjamin Graham - 02

BAB 2
Investor dan Inflasi


Inflasi, dan usaha untuk mengatasinya, telah menjadi bahan pemikiran khalayak pada tahun-tahun terakhir ini. Menciutnya daya beli dolar di masa lalu, dan terutama ketakutan (atau harapan para spekulator) akan adanya penurunan tajam di masa datang, sangat memengaruhi cara berpikir di Wall Street. Jelas sekali bahwa orang berpendapatan tetap akan menderita ketika biaya hidup meningkat, dan hal yang sama juga terjadi pada dana pokok fixed. Pemegang saham, di sisi lain, memiliki kemungkinan untuk mengompensasi penurunan daya beli uang melalui dividen yang mereka terima dan harga saham mereka.

Atas dasar fakta-fakta yang tak bisa dibantah ini, banyak otoritas keuangan menyimpulkan bahwa (1) obligasi adalah bentuk investasi yang secara inheren tidak menarik dan (2) dengan demikian, saham biasa secara natural merupakan investasi yang lebih disukai ketimbang obligasi. Kami pernah mendengar sejumlah institusi sosial disarankan untuk menyusun portofolio mereka dengan komposisi 100% saham dan 0% obligasi.* Ini cukup bertentangan dengan masa-masa sebelumnya ketika investasi trust dibatasi oleh hukum untuk hanya membeli obligasi kelas-atas (dan sebagian kecil saham preferen pilihan).

Pembaca harus cukup pintar untuk mengetahui bah­wa, bahkan saham kualitas-tinggi sekalipun belum tentu lebih baik ketimbang obligasi dalam semua kondisi-yang artinya, tidak peduli seberapa tinggi kondisi pasar saham dan seberapa rendah return dividen berjalan berbanding tingkat return obligasi. Pernyataan seperti ini sama absurd dengan kebalikannya—sering sekali terdengar bertahun-tahun silam—bahwa obligasi mana pun lebih aman ketimbang saham mana pun. Di bab ini kami akan mencoba menerapkan berbagai macam pengukuran terhadap faktor inflasi, untuk memperoleh sejumlah kesimpulan tentang sejauh mana investor akan terpengaruh oleh ekspektasi kenaikan tingkat harga di masa datang.

Dalam hal ini, seperti juga dalam aspek lain ilmu keuangan, kita harus mendasarkan pandangan tentang kebijakan masa datang pada pengalaman dari masa lalu. Apakah inflasi merupakan sesuatu yang baru bagi negara ini, setidaknya dalam bentuk fatal yang telah terjadi sejak tahun 1965? Jika kita pernah merasakan inflasi yang setara (atau lebih buruk) dalam hidup, pelajaran apa yang bisa diperoleh dari peristiwa tersebut untuk menghadapinya di masa sekarang? Mari kita mulai dengan Tabel 2-1, tabulasi historis dipadatkan yang berisi



informasi tentang perubahan tingkat harga umum, laba, dan nilai pasar saham biasa. Angka-angka tersebut dimulai dari tahun 1915 hingga 55 tahun kemudian, disajikan dengan interval lima tahun. (Kami menggunakan tahun 1946, bukan 1945, untuk menghindari harga terkendali pada tahun terakhir perang.)
Hal pertama yang terlihat adalah bahwa kita pernah mengalami inflasi di masa lalu—sering sekali. Inflasi lima tahunan tertinggi terjadi antara 1915 dan 1920, ketika biaya hidup meningkat hampir dua kali lipat. Angka ini dapat dibandingkan dengan peningkatan sebesar 15% antara tahun 1965 sampai dengan 1970.

Di antara kedua tahun tersebut, kita pernah mengalami tiga kali periode penurunan harga dan enam kali kenaikan dengan tingkat bervariasi, beberapa di antaranya cukup kecil. Dari gambaran ini, jelaslah bahwa investor harus memperhitungkan kemungkinan berlanjut atau ber­ulangnya inflasi di masa datang.

Bisakah Anda menentukan berapa tingkat inflasi nanti? Tidak ada jawaban jelas yang bisa diberikan oleh tabel kita; hanya bermacam variasi. Namun, masuk akal kiranya jika kita menggunakan catatan 20 tahun terakhir yang cukup konsisten sebagai panduan. Rata-rata kenaikan tahunan tingkat harga konsumen pada periode ini adalah 2,5%; antara 1965-1970 adalah 4,5%; dan 5,4% hanya untuk tahun 1970 saja. Kebijakan resmi pemerintah jelas sekali menentang inflasi berskala tinggi, dan cukup alasan bagi kita untuk yakin bahwa kebijakan Federal akan lebih efektif di masa datang dibandingkan tahun-tahun terakhir.* Kami pikir masuk akal jika seorang investor pada titik ini mendasarkan pemikiran dan keputusannya pada kemungkinan (jauh dari kepastian) tingkat inflasi, katakan, 3% per tahun. (Bandingkan dengan tingkat inflasi tahunan sekitar 21/2% sepanjang periode 1915-1970. )i

Kira-kira apa implikasi kenaikan inflasi tersebut? Itu akan memangkas, pada tingkat biaya hidup lebih tinggi, sekitar setengah dari pendapatan yang bisa diperoleh sekarang dari obligasi berjangka menengah bebas pajak yang berkualitas baik (atau ekuivalen return setelah pajak obligasi korporat kelas-atas.) Ini merupakan penyusutan tajam, namun tidak berarti harus dibesar besarkan. Belum tentu bahwa nilai sesungguhnya, atau daya beli, dari kekayaan investor berkurang dalam jangka panjang. Walaupun si investor membelanjakan setengah pendapatan bunga setelah pajak, ia masih bisa menjaga daya belinya tetap utuh, dengan inflasi 3% per tahun sekalipun.

Tapi pertanyaan yang timbul berikutnya tentu saja, "Cukup yakinkah si investor bahwa ia lebih baik membeli dan memegang surat berharga apa pun selain dari obligasi kelas-atas, bahkan pada tingkat return di luar dugaan yang ditawarkan pada tahun 1970-1971?" Tidakkah, misalnya saja, program saham penuh (tanpa obligasi) akan lebih menguntungkan ketimbang program campuran saham-obligasi? Bukankah saham biasa otomatis terproteksi dari inflasi, dan hampir pasti memberikan return yang lebih baik dari tahun ke tahun dibandingkan obligasi? Bukankah saham telah terbukti memberikan keuntungan yang jauh lebih tinggi bagi investor ketimbang obligasi selama periode studi 55 tahun kami?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya cukup rumit. Saham biasa memang memiliki kinerja lebih baik dibandingkan obligasi dalam periode panjang di masa lalu. Kenaikan indeks DJIA dari rata-rata 77 pada tahun 1915 menjadi rata-rata 753 pada tahun 1970 setara dengan tingkat komposit (gabungan) tahunan hanya sekitar 4%, yang bisa kita tambahkan lagi dengan 4% return dividen rata-rata. (Angka-angka terkait untuk indeks komposit S&P menunjukkan nilai kurang lebih sama.) Jumlah total 8% per tahun ini tentu saja jauh lebih baik dibandingkan return dari kepemilikan obligasi dalam periode 55 tahun yang sama. Namun, return tersebut tidak melebihi yang sekarang ditawarkan oleh obligasi berkualitas tinggi. Hal ini membawa kita pada pertanyaan logis berikutnya: Apakah ada alasan yang persuasif untuk meyakini bahwa saham biasa akan jauh lebih baik di tahun-tahun mendatang dibandingkan dengan lima setengah dasawarsa terakhir?

Jawaban kita atas pertanyaan penting ini adalah dengan tegas tidak. Saham biasa bisa jadi lebih baik di masa datang dibandingkan dengan di masa lalu, namun itu jauh dari pasti. Di sini, kita mesti berhadapan dengan dua elemen waktu yang berbeda dari hasil investasi. Yang pertama berhubungan dengan apa yang kemungkinan besar terjadi di masa depan dalam jangka panjang-katakan, 25 tahun mendatang. Yang kedua berhubungan dengan apa yang bisa terjadi pada diri si investor—baik secara finansial maupun psikologis—dalam jangka pendek atau menengah, katakan lima tahun atau kurang. Kerangka pikir, harapan dan kekhawatiran,
kepuasan dan ketidakpuasan atas apa yang telah ia lakukan, dan terutama semua keputusan tentang apa yang akan ia lakukan nanti, semuanya ditentukan tidak dari retrospeksi investasi seumur hidup, namun lebih didasarkan pada pengalamannya dari tahun ke tahun.

Pada titik ini kita bisa yakin. Tidak ada kaitan waktu yang erat antara kondisi inflasioner (atau deflasioner) dengan pergerakan laba dan harga dari saham biasa. Contoh yang jelas adalah periode mutakhir, 1966-1970. Biaya hidup meningkat 22%, kenaikan tertinggi untuk periode lima tahunan sejak 1946-19S0. Namun, baik laba maupun harga saham secara keseluruhan menurun sejak tahun 1965. Kontradiksi naik-turun yang serupa tercatat pada periode-periode lima tahunan sebelumnya.


Inflasi dan Laba Perusahaan

Pendekatan lain dan sangat penting terhadap masalah ini adalah melalui sebuah studi tentang tingkat laba berbanding modal (earnings rate on Capital} yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Nilainya berfluktuasi, tentu saja, sesuai tingkat aktivitas ekonomi secara umum, namun tidak menunjukkan kecenderungan untuk meningkat seiring harga Wholesale (harga grosir) atau biaya hidup. Sebenarnya, nilai ini telah turun cukup besar dalam 20 tahun terakhir terlepas dari inflasi yang terjadi dalam periode tersebut. (Hingga derajat tertentu, penurunan disebabkan oleh penerapan tingkat depresiasi yang lebih liberal. Lihat Tabel 2-2.) Studi ekstensif yang kami lakukan memberikan kesimpulan bahwa investor tidak bisa mengharapkan jumlah terlalu tinggi di atas tingkat laba lima tahunan
mutakhir yang diperoleh grup DJIA—kurang lebih 10% atas aktiva berwujud netto (nilai buku) melalui investasi saham.2 Oleh karena nilai pasar sekuritas-sekuritas ini jauh lebih tinggi dibandingkan nilai bukunya—katakan, nilai pasar 900 berbanding nilai buku 560 pada pertengahan 1971—laba pada harga pasar berjalan (current market price') hanya 6%%. (Hubungan ini biasanya ditunjukkan dengan cara sebaliknya, atau "kelipatan laba"—misalnya bahwa harga DJIA 900 setara dengan 18 kali laba aktual untuk 12 bulan yang berakhir pada bulan Juni 1971.)

Angka-angka yang kami sajikan sesuai dengan pembahasan pada bab sebelumnya- bahwa investor bisa mengasumsikan return dividen rata-rata sekitar 3,5% dari nilai pasar saham yang dipegangnya, ditambah dengan apresiasi, katakan, 4% per tahun yang berasal dari laba yang diinvestasikan kembali. (Dengan catatan bahwa tiap dolar yang ditambahkan ke nilai buku di sini diasumsikan meningkatkan harga pasar sekitar $1,60.)

Pembaca akan keberatan bahwa pada akhirnya kalkulasi kami tidak memperhitungkan kemungkinan kenaikan laba serta nilai saham biasa yang berasal dari inflasi tahunan perkiraan kami, yakni sebesar 3%. Pertimbangan kami adalah tak adanya tanda apa pun yang menunjukkan bahwa inflasi dengan nilai yang sebanding di masa lalu memiliki efek langsung terhadap laba per saham (earnings per share) yang dilaporkan. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa semua laba besar yang diperoleh unit DJIA selama 20 tahun terakhir disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penanaman modal yang berasal dari laba yang diinvestasikan kembali (reinvested profits). Andaikan inflasi bertindak sebagai faktor terpisah yang menguntungkan, efeknya akan meningkatkan "nilai” modal yang telah ada sebelumnya; ini kemudian akan menaikkan tingkat laba modal lama dan dengan demikian menaikkan laba modal lama dan modal baru sekaligus. Namun, tak satu pun hal seperti itu benar-benar terjadi pada 20 tahun terakhir, pada masa ketika tingkat harga Wholesale meningkat mendekati 40%. (Laba usaha seharusnya lebih dipengaruhi oleh harga Wholesale ketimbang "harga konsumen".) Satu-satunya cara inflasi bisa menambah nilai saham biasa adalah melalui kenaikan tingkat laba atas modal yang diinvestasikan. Bila kita melihat catatan masa lalu, hal ini takkan terjadi.

Dalam siklus ekonomi masa lalu, bisnis bagus di­barengi kenaikan tingkat harga dan bisnis buruk diikuti oleh jatuhnya harga. Secara umum, "inflasi kecil" masih berguna bagi laba usaha. Pandangan ini tak bertentangan dengan sejarah 1950-1970, yang menunjukkan suatu kombinasi antara kenaikan kemakmuran dan kenaikan harga-harga secara umum. Namun, catatan numerik menunjukkan bahwa efek dari semua ini terhadap daya laba (earning power) modal saham-biasa ("modal ekuitas") tidak banyak; bahkan tak punya pengaruh untuk menjaga tingkat laba atas investasi. Itu menunjukkan terdapat sejumlah perimbangan kekuatan penting yang menghalangi terjadinya peningkatan profitabilitas riil perusahaan-perusahaan AS secara keseluruhan. Barangkali, kekuatan paling penting antara lain (1) kenaikan tingkat upah yang melebihi kenaikan produktivitas dan (2) kebutuhan modal baru dalam jumlah besar, sehingga mempersulit kenaikan rasio penjualan berbanding modal.

Angka-angka yang ditampilkan di Tabel 2-2 me­nunjukkan bahwa inflasi, jangankan menguntungkan perusahaan dan para pemegang saham, pengaruhnya justru sebaliknya. Angka yang paling mencolok dalam tabel tersebut adalah angka-angka pertumbuhan utang perusahaan antara 1950 dan 1969. Mengejutkan melihat rendahnya perhatian yang diberikan para ekonom dan Wall Street terhadap perkembangan ini. Utang perusahaan telah meningkat hingga hampir lima kali lipat, sementara laba sebelum pajaknya hanya sedikit lebih dari dua kali lipat. Dengan adanya peningkatan tajam tingkat bunga pada periode ini, terbukti bahwa agregat utang perusahaan sekarang adalah faktor ekonomi yang cukup mengkhawatirkan dan menjadi masalah besar tersendiri bagi banyak perusahaan. (Perhatikan bahwa pada tahun 1950 laba bersih setelah bunga tetapi sebelum pajak besarnya sekitar 30% dari utang perusahaan, sementara pada tahun 1969 nilainya hanya 13,2% dari utang perusahaan. Rasio tahun 1970 pasti bahkan lebih buruk lagi.) Ringkasnya, terlihat bahwa bagian terbesar dari 11% rasio laba terhadap ekuitas korporat secara keseluruhan diperoleh melalui penggunaan besar-besaran utang baru dengan bunga 4% atau kurang setelah dikredit pajak. Andaikan perusahaan mempertahankan rasio utang tahun 1950, rasio laba terhadap modal saham akan tetap jatuh lebih rendah, terlepas dari adanya pengaruh inflasi.


Pasar modal menganggap bahwa perusahaan- perusahaan layanan publik adalah korban inflasi yang paling parah, terjebak antara kenaikan tajam biaya peminjaman uang dan kesulitan untuk menaikkan harga karena adanya peraturan yang mengikat. Namun perlu rasanya ditekankan di sini, fakta bahwa biaya per unit jasa listrik, gas, dan telepon yang meningkat jauh lebih rendah daripada kenaikan indeks harga umum menjadikan perusahaan-perusahaan tersebut memiliki posisi strategis
yang kuat di masa datang.3 Hukum mengatur mereka agar hanya memasang tarif yang bisa menghasilkan return memadai terhadap modal yang ditanamkan,dan ini barangkali akan melindungi pemegang sahamnya di masa datang seperti ketika terjadinya inflasi di masa lalu.

Semua diskusi di atas membawa kita kembali pada kesimpulan bahwa investor tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengharapkan return di atas rata-rata ke­seluruhan, katakan, 8% dari kepemilikan portofolio saham biasa tipe-DJIA yang dibeli dengan tingkat harga akhir tahun 1971. Namun, walaupun ekspektasi ini terbukti terlalu rendah, hal ini tidak berlaku untuk program investasi saham penuh (tanpa obligasi). Kalau pun ada yang bisa dijamin di masa datang, maka itu adalah bahwa laba dan ratarata nilai pasar tahunan dari suatu portofolio saham tidak akan tumbuh dalam tingkat seragam 4%, dan tidak akan seragam pada angka mana pun. Meminjam kata kata bijak dari J.P. Morgan, "Semua akan berfluktuasi."- Maksudnya, pertama, bahwa pembeli saham biasa atas dasar harga hari ini—atau pun besok—akan menghadapi risiko besar mendapat hasil yang tidak memuaskan sejak hari saham tersebut dibeli hingga hitungan sekian tahun ke depan. Butuh 25 tahun bagi General Electric (dan DJIA sendiri) untuk pulih dari kerugian karena bencana 1929-1932. Selain itu, jika investor mengonsentrasikan portofolionya dalam bentuk saham biasa, maka ia sangat mungkin jadi salah sasaran, baik karena kenaikan besar atau penurunan tajam. Hal ini benar-benar bisa terjadi jika penalarannya terlalu didasarkan pada ekspektasi inflasi di masa datang. Jika demikian, saat pasar bullish terjadi lagi, ia akan menganggap kenaikan besar tidak sebagai sinyal bahaya akan adanya penurunan yang tidak bisa dicegah, bukan pula sebagai suatu kesempatan untuk mengeruk keuntungan besar, namun dijadikan sebagai pembenaran hipotesis inflasi dan sebagai alasan untuk terus membeli saham biasa, tidak peduli seberapa tinggi level pasar sekarang atau seberapa rendah return dividennya. Di sana ada bahaya yang mengintai.


Alternatif dari Saham Biasa untuk Pemagar [Hedge) Inflasi

Kebijakan standar semua orang di seluruh dunia yang tidak percaya pada mata uangnya adalah membeli dan menyimpan emas. Tindakan ini melanggar hukum bagi masyarakat AS sejak 1935—untungnya. Dalam 35 tahun terakhir, harga emas di pasar terbuka telah meningkat dari 535 per ons menjadi 548 per ons pada awal tahun 1972—naik hanya 35%. Namun, dalam kurun waktu tersebut pemilik emas tidak mendapatkan return pendapatan atas kepemilikannya. Sebaliknya, ia harus menanggung biaya penyimpanan tahunan. Jelas, ia akan memperoleh hasil yang jauh lebih besar jika ia menyimpan uangnya di bank dengan bunga, terlepas dari kenaikan tingkat harga umum.

Kegagalan emas yang nyaris-total untuk bisa melindungi kerugian karena hilangnya daya beli dolar telah memunculkan keraguan besar akan kemampuan investor
awam untuk melindungi dirinya dari inflasi dengan menanam uangnya dalam berbagai bentuk "benda".* Hanya sebagian kecil benda-benda berharga yang nilai pasarnya naik dengan pesat selama tahun-tahun berlalu— misalnya berlian, lukisan karya maestro, edisi pertama berbagai buku, perangko atau koin langka, dan sebagainya. Namun, dalam kebanyakan, barangkali hampir semua, hal-hal di atas sepertinya ada elemen harga pasar yang sifatnya artifisial, tidak jelas, bahkan tidak nyata. Bagaimanapun sulit membayangkan untuk mengeluarkan $67.500 pada uang dolar perak AS keluaran 1804 (tetapi bahkan tidak dicetak pada tahun itu) sebagai "kegiatan investasi".4 Kami akui bahwa ini bukan bidang keahlian kami. Sangat sedikit dari pembaca kami yang mendapati bahwa tindakan tersebut mudah dan aman.

Kepemilikan total atas real estate telah lama di­anggap sebagai investasi jangka panjang yang stabil karena memiliki perlindungan memadai terhadap inflasi. Sayangnya, nilai real estate juga sangat rentan terhadap fluktuasi besar; kesalahan serius bisa terjadi pada pemilihan lokasi, harga yang dibayar, dan sebagainya; juga ada masalah tindakan curang dari penjualnya. Terakhir, diversifikasi tidaklah praktis bagi investor dengan modal moderat, kecuali dengan berbagai bentuk partisipasi bersama investor lain dan dengan risiko bahaya tertentu yang ada pada sekuritas terbitan baru—tidak terlalu berbeda dengan kepemilikan saham biasa. Yang ini juga bukan bidang kami. Apa yang bisa kami katakan kepada investor adalah, "Yakinkan diri Anda sebelum Anda terjun ke dalamnya."


Kesimpulan

Logisnya, kami kembali pada kebijakan yang kami rekomendasikan di dalam bab sebelumnya. Hanya karena ketidakpastian masa depanlah, investor tidak akan sanggup ambil risiko meletakkan semua dananya ke dalam satu keranjang—tidak dalam keranjang obligasi, terlepas dari return tinggi yang di luar dugaan ditawarkan obligasi akhir-akhir ini; tidak juga di dalam keranjang saham, terlepas dari prospek adanya inflasi yang berkelanjutan.

Makin bergantung seorang investor pada porto­folionya berikut pendapatan yang diperoleh dari situ, makin penting baginya untuk melindungi diri dari ketidakpastian dan kekacauan kehidupannya dalam aspek ini. Jelas sudah bahwa investor konservatif sebaiknya bertindak untuk meminimalisasi risiko yang diambilnya. Kami yakin sekali bahwa risiko yang ada dalam pembelian, katakan, obligasi perusahaan telepon dengan imbal hasil sekitar 7Vz%, adalah lebih rendah ketimbang risiko pembelian saham DJIA pada posisi 900 (atau portofolio lain yang ekuivalen dengan itu). Namun, kemungkinan
adanya inflasi dalam skala besar tetap ada, dan investor harus memiliki asuransi untuk melindungi diri. Tidak ada kepastian bahwa suatu komponen saham akan bisa memberi keamanan secara memadai dari inflasi macam itu, namun saham biasanya memiliki perlindungan lebih dibandingkan dengan komponen obligasi.

Kami pernah menyinggung topik ini dalam edisi tahun 1965 (hal. 97), dan kami akan menulis hal yang sama sekarang:

Jelas bagi para pembaca bahwa kami tidak punya antusiasme pada saham biasa pada level ini (892 untuk DJIA). Karena berbagai alasan yang telah diberikan, kami merasa bahwa investor defensif tidak akan bisa ambil risiko untuk tidak menyimpan saham biasa dalam jumlah memadai dalam portofolionya, walaupun kami menganggap saham sebagai pilihan sekunder—risikonya akan lebih besar jika semua kepemilikan berbentuk obligasi.



KOMENTAR BAB 2


Orang Amerika makin kuat. Dua puluh tahun lalu, perlu dua orang untuk membawa bahan makanan seharga sepuluh dolar. Sekarang, anak umur lima tahun bisa melakukannya.

—Henny Youngman


Inflasi? Siapa peduli?

Pada akhirnya, kenaikan tahunan harga barang dan jasa rata-rata kurang dari 2,2% antara tahun 1987 dan 2002—dan ekonom percaya bahwa bahkan tingkat yang sudah sangat rendah itu pun mungkin terlalu dibesar- besarkan.* (Pikirkan, misalnya, bagaimana harga komputer dan barang-barang elektronik turun—dan bagaimana kualitas berbagai barang meningkat, yang berarti bahwa konsumen memperoleh manfaat makin besar dari uang yang mereka belanjakan.) Pada tahun-tahun terakhir, tingkat inflasi riil AS berkisar pada angka 1% per tahun—peningkatan harga yang begitu kecilnya sehingga banyak ahli menyatakan bahwa "inflasi telah mati".*


ILUSI UANG

Ada alasan lain mengapa para investor mengabaikan pentingnya inflasi: apa yang disebut oleh psikolog sebagai "ilusi uang". Jika Anda memperoleh kenaikan penghasilan 2% dalam suatu tahun ketika terjadi inflasi 4%, Anda pasti akan merasa lebih baik ketimbang menerima penghasilan yang berkurang sebesar 2% ketika inflasi nol. Tapi sebenarnya, kedua perubahan penghasilan tersebut menempatkan Anda pada posisi yang persis sama—2% lebih buruk setelah terjadi inflasi. Selama perubahan nominal (atau absolut) bernilai positif, kita menganggapnya sebagai hal baik—walau hasil riil (atau setelah inflasi) bernilai negatif. Di samping itu, setiap perubahan yang terjadi pada pendapatan Anda akan terlihat lebih nyata dan spesifik dibandingkan dengan perubahan harga umum dalam perekonomian secara keseluruhan.« Begitu pula, investor merasa senang saat memperoleh 11% dari sertifikat deposito bank (certificates of deposit/CD) pada 1980 dan kecewa sekali saat memperoleh kenaikan pendapatan hanya sekitar 2% pada 2003—walaupun sebenarnya mereka kehilangan uang setelah inflasi pada 1980 itu, dan sebenarnya mampu mengimbangi inflasi sekarang. Tingkat nominal yang kita peroleh tercetak pada iklan bank dan dipajang di jendelanya, bila angkanya tinggi kita akan merasa senang. Namun, inflasi dengan diam-diam menggerogoti
angka-angka tinggi tersebut. Tanpa diiklankan, inflasi menghabiskan kekayaan kita. Itulah sebabnya mengapa inflasi dengan mudah dilupakan— dan itu pula sebabnya penting adanya untuk mengukur keberhasilan kegiatan investasi Anda tidak hanya berdasarkan apa yang Anda peroleh, tetapi seberapa cepat Anda berpacu dengan inflasi.

Lebih mendasar lagi, seorang investor pintar harus selalu waspada dari segala kejadian tak diharapkan dan dianggap remeh. Ada tiga alasan kuat untuk yakin bahwa inflasi tidak mati:

• Sekitar tahun 1973-1982, AS mengalami kenaikan inflasi paling buruk dalam sejarah kita. Diukur dengan Indeks Harga Konsumen, harga-harga meningkat lebih dari dua kali lipat pada periode tersebut, naik dengan tingkat tahunan hampir 9%. Pada 1979 saja, inflasi mencapai 13,3%, melumpuhkan ekonomi dalam peristiwa yang dikenal sebagai "stagfJasi"—dan membuat banyak komentator mempertanyakan apakah Amerika mampu bersaing di pasar global.« Barang dan jasa yang berharga $100 pada awal 1973 menjadi 3230 pada akhir 1982, menyusutkan nilai satu dolar hingga kurang dari 45 sen. Tak ada seorang pun yang mengalami masa-masa tersebut akan meremehkan kehilangan kekayaan seperti itu; orang yang berhati-hati tidak akan gagal melindungi diri dari risiko yang bisa berulang tersebut. Sejak tahun 1960, 69% dari negara-negara berorientasi pasar pernah mengalami setidaknya satu kali inflasi yang tingkat tahunannya mencapai 25% atau lebih. Secara rata-rata, berbagai periode inflasi tersebut menghancurkan 53% daya beli investor. +


• Adalah gila untuk tidak berharap Amerika tidak akan terkena bencana seperti itu. Namun, kita akan lebih gila lagi jika menyimpulkan bahwa hal itu tak akan pernah terjadi di AS.« Kenaikan harga-harga membuat Paman Sam melunasi utangnya dengan dolar yang telah menjadi lebih murah karena inflasi. Inflasi yang sepenuhnya bersifat menghancurkan bertentangan dengan kepentingan ekonomi pemerintah yang secara teratur meminjam uang.


SETENGAH HEDGING

Jadi apa yang dapat dilakukan seorang investor pintar untuk melindungi diri dari inflasi? Jawaban standar adalah "beli saham"—namun, seperti kebanyakan jawaban standar, itu tidak selalu benar.

Gambar 2-1 menunjukkan hubungan antara inflasi dan harga saham untuk setiap tahun dari tahun 1926 sampai 2002.

Seperti bisa Anda lihat, pada tahun-tahun ketika harga barangbarang konsumen dan jasa menurun, seperti pada sisi kiri gambar, return saham sangat buruk—pasar kehilangan hingga 43% nilainya.* Ketika inflasi naik melebihi 6%, seperti pada tahun-tahun di ujung kanan gambar, saham juga memburuk. Pasar modal mengalami kerugian dalam delapan dari 14 tahun ketika inflasi melampaui 6%; return rata-rata untuk 14 tahun tersebut hanya 2,6%.

Inflasi rendah memungkinkan perusahaan untuk membebankan kenaikan biaya bahan baku mereka kepada pelanggan, sementara inflasi tinggi menimbulkan bencana—memaksa pelanggan untuk memangkas belanja mereka dan menekan aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Bukti-bukti historis cukup jelas: Sejak munculnya data pasar modal yang akurat pada 1926, telah terjadi 64 kali periode lima tahunan (di antaranya 1926-1930, 1927 1931, 1928-1932, dan seterusnya hingga 1998-2002). Dalam 50 dari 64 periode lima tahunan tersebut (atau 78% dari waktu keseluruhan), saham tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan inflasi. + Ini impresif, tetapi tidak
sempurna; yang berarti, saham gagal mengimbangi inflasi dalam sekitar seperlima dari total periode.




DUA AKRONIM PENYELAMAT

Untungnya, Anda bisa memperkuat pertahanan Anda terhadap inflasi dengan memperlebar investasi Anda dalam bentuk selain saham. Sejak tulisan Graham terakhir, dua instrumen peredam-inflasi telah tersedia luas bagi investor:

RE ns. Real Estate Investment Trusts, (Dana Amanah Investasi Real Estate) atau REITs (baca: reets) adalah perusahaan yang memiliki dan memungut sewa atas properti komersial atau rumah tinggal.- Tergabung dengan mutual funds real estate, REIT cukup ampuh memerangi inflasi. Pilihan terbaik adalah Vanguard REIT Index Fund; pilihan lain yang relatif murah di antaranya: Cohen & Steers Realty Shares, Columbia Real Estate Equity Fund, dan Fidelity Real Estate Investment Fund.* Walau REIT bukannya tanpa cacat dalam meredam inflasi, dalam jangka panjang REIT akan memberi Anda semacam pertahanan terhadap erosi daya beli tanpa menghambat return keseluruhan Anda.

TTPS. Treasury Inflation-Protected Securities, (Kumpulan Sekuritas Terproteksi Inflasi) atau TIPS, adalah obligasi pemerintah AS, pertama kali diterbitkan pada 1997, yang nilainya akan otomatis naik ketika inflasi
naik. Karena ditopang oleh kepercayaan dan kehormatan penuh pemerintah AS, semua obligasi pemerintah aman dari risiko gagal bayar (atau tidak mampu membayar bunga). Namun, TIPS juga menjamin bahwa nilai investasi Anda tidak akan digerogoti inflasi. Hanya dengan satu paket mudah, Anda melindungi diri Anda dari kerugian finansial dan penurunan daya beli.«

Namun, ada satu cacat. Ketika nilai obligasi TIPS Anda meningkat seiring dengan peningkatan inflasi, Internal Revenue Service (Departemen Pajak Amerika Serikat) menganggap kenaikan nilai tersebut sebagai pendapatan kena pajak—walaupun itu hanya keuntungan di atas kertas (kecuali Anda menjual obligasi itu dengan harga baru setelah kenaikannya). Bagaimana mungkin hal ini bisa masuk akal bagi IRS? Seorang investor pintar pasti ingat kata-kata bijak dari analis keuangan Mark Schweber: "Satu pertanyaan yang jangan pernah Anda tanyakan kepada seorang birokrat adalah 'Mengapa?1" Karena komplikasi pajak yang menjengkelkan ini, TIPS sangat cocok bagi rekening pensiunan tangguh-pajak seperti IRA, Keogh, atau 401(k), hingga mereka tak akan mendongkrak penghasilan kena pajak Anda.

Anda bisa membeli TIPS langsung dari pemerintah AS di www.publicdebt.treas.gov/of/ofinflin.htm, atau mutual fund murah seperti Vanguard Inflation-Protected Securities atau Fidelity Inflation-Protected Bond Fund.*  Baik secara langsung atau melalui perusahaan fund, 

TIPS adalah pengganti ideal untuk proporsi dana pensiun yang simpan dalam bentuk tunai. Jangan perjualbelikan: TIPS bisa bergejolak dalam jangka pendek, jadi paling baik jika dimiliki sebagai pegangan permanen seumur hidup. Bagi sebagian besar investor, pengalokasian setidaknya 10% dari aset pensiun Anda ke dalam TIPS adalah cara pintar untuk menjaga agar sebagian uang Anda tetap aman—dan sepenuhnya di luar jangkauan cakar-cakar panjang siluman inflasi.


Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02