Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 07

YAH DAN BUNDA SANGAT BANGGA AKU MENDAPAT UN- dangan dari Tuan Assisten Residen Herbert de la Croix.
Di rumah masih berdatangan undangan dari para pembesar Pribumi setempat.
Kedua orangtuaku lebih baik tak tahu bagaimana putra ke¬banggaan ini diplonco.
Setengah mati kutolak desakan mereka untuk menceritakan. Malah aku nyatakan akan segera balik ke Surabaya.
Undangan-undangan membikin aku sibuk membalas.
Ayahanda tak lagi gusar padaku. Undangan dari Tuan Assisten Residen membikin semua dosaku dengan sendirinya terampuni.
Telah kukirimkan telegram lagi ke Wonokromo, mengabar¬kan hari dan jam kembaliku ke Surabaya mendatang, dan agar dijemput dengan kereta.
Ayahanda dan Bunda tak dapat dan mungkin juga merasa tak layak menahan keberangkatanku. Persoalan Nyai Ontosoroh tak pernah digugat lagi. Seorang yang telah mendapat undangan dari Tuan Assisten Residen dengan sendirinya memiliki kekebalan, tak mungkin bersalah, bahkan jabatan tinggi dan penting yang sudah terpampang di ambang pintu kehidupannya. Mereka ha¬nya berpesan agar aku minta diri dari pembesar Eropa itu.
Aku segan tapi berangkat juga. Sekali lagi aku mesti bertemu dengan Sarah dan Miriam de la Croix. Ternyata di dekat ayah¬nya mereka tidak agresif malah tertib dan sopan.
“Direktur sekolahmu dulu teman sekolahku,” kata pembesar itu. “Kalau sudah masuk sekolah lagi sampaikan salam dan hormatku.
Kemudian ia bercerita: anak-anaknya ingin pulang ke Ne- derland. Mereka tak punya ibu barang sepuluh tahun yang lalu. Kalau mereka pergi, tentu ia akan sangat kesepian. Karena itu:
“Sering-sering kirimi aku surat tentang kemajuanmu. Aku akan senang membacanya. Juga berkorespondensilah dengan Sarah dan Miriam,” pesannya. “Kan sudah sepatutnya ada per¬tukaran pikiran antara muda-mudi terpelajar? Siapa tahu, kelak bisa jadi dasar kehidupan yang lebih baik? Apalagi kalau kalian semua kelak jadi orang penting?”
Aku berjanji akan melaksanakan.
“Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa se¬umumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi pemuka, perintis, contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri.”
Kata-katanya menyakitkan. Ya setiap kali ujud Jawa disakiti orang luar, perasaanku ikut tersakiti. Aku merasa sepenuhnya Jawa. Pada waktu ketidaktahuan dan kebodohan Jawa dising¬gung, aku merasa sebagai orang Eropa. Begitulah pesan-pesan yang menimbulkan banyak pikiran itu aku bawa serta dalam hati, aku bawa serta dalam kereta cepat, yang membawa aku kembali ke Surabaya.
Sekiranya Tuan de la Croix seorang Jawa, mudah bagiku un¬tuk menduga maksudnya: hendak mengambil diri jadi menan¬tu. Tapi dia orang Eropa, maka tidak mungkin. Apalagi baik Sarah mau pun Miriam lebih tua beberapa tahun daripadaku.
Pembesar itu mengharapkan aku jadi contoh, pemuka, perintis bangsaku sendiri. Seperti dongengan! Tak pernah yang demiki¬an tersebut dalam cerita-cerita nenek-moyangku.Apa mungkin ada orang Eropa benar-benar menghendaki? Dalam sejarah Hin¬dia pun tak pernah teijumpai. Kompeni Belanda tak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tiba-tiba ada seorang Eropa yang mengharap¬kan diri jadi perintis, pemuka, contoh bangsa. Dongengan tidak menarik. Lelucon tidak lucu. Rupanya dia hendak membikin diri jadi kelinci percobaan dalam rangka teori assosiasi Doktor Snouck Hurgronje. Prek persetan! Bukan urusanku. Beruntung aku suka mencatat, mempunyai perbendaharaan yang setiap waktu bisa memberi petunjuk dan peringatan.
Kugagapi tas untuk membacai surat-surat yang belum juga kubaca itu. Benar saja, isinya pemberitahuan tentang akan adanya resepsi pengangkatan Ayahanda, juga perintah dan permintaan agar aku segera pulang. Pada surat abang malah dilampirkan permohonan cuti untuk Direktur sekolah. Uh, semua sudah berlalu dengan kemenangan pada pihakku.
Hei-hei, mengapa si Gendut agak sipit itu mengawasi aku saja? Ia berpakaian drill coklat.baik kemeja mau pun celana panjang¬nya. Juga bersepatu coklat — sepatu sebagaimana layaknya di gerbong kias satu.Topinya, dari laken dengan pita sutra, tak juga lepas dari kepala, kadang diturunkan sampai menutup kening untuk mendapatkan kebebasan menebarkan pandang ke mana saja ia suka. Bawaannya sebuah kopor kulit kecil yang terletak di atas kepalanya. Dan ia duduk di bangku di samping sana. Waktu kondektur memeriksa karcis ia menyerahkan karcisputihnya, tetapi matanya melirik padaku.
Dari B. ke Surabaya hanya ada beberapa stasiun singgahan dengan kereta cepat ini. Dan si Gendut tidak turun, tak ada persiapan.Jelas ia pun menuju stasiun terakhir. Stop! tak mau aku memperhatikan dia. Peijalanan sekali ini hendak kunikmati se¬bagai liburan. Tidur nyenyak. Aku membutuhkan kekuatan dan kesehatanku sendiri.
Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore Surabaya telah ada di bawah roda kereta. Kuburan panjang itu mulai diterjang, dan kereta berhenti. Perron nampak lengang. Hanya beberapa orang sedang berdiri atau duduk menunggu atau berjalan mondar-mandir.
“Ann, Annelies!” seruku dari jendela. Ia menjemput.
Dara itu berlarian ke gerbongku, berhenti di bawahnya dan mengulurkan tangan:
“Tak ada apa-apa, Mas?” tanyanya.
Si Gendut melewati aku dengan menjinjing kopor kecilnya. Ia turun lebih dahulu, sejenak memperhatikan Annelies, kemu¬dian beijalan pelahan menuju ke pintu keluar. Aku ikuti dia dengan mataku. Dan ia tak jadi keluar, berhenti dan menoleh ke belakang, pada kami.
“Ayoh, turun. Menunggu apa lagi?” desak Annelies.
Aku turun. Kuli itu mengikuti dengan membawa barang. “Mari, Darsam sudah lama menunggu.”
Ternyata si Gendut belum juga keluar dari pintu perron sam¬pai kami melewatinya. Kulitnya langsat cerah, mukanya keme¬rahan. Dalam gerbong mau pun sekarang antara sebentar ia menyeka leher dengan setangan biru. Begitu kami lewati ia ber¬gerak, seakan sengaja hendak membuntuti.
“Tabik,Tuanmuda!” seru Darsam dari samping andong. (Oleh Mama ia dilarang memanggil aku Sinyo).
Si Gendut memperhatikan kami naik andong. Sekarang benar-benar aku mulai curiga. Siapa dia? Mengapa tak juga per¬gi dan tetap mengawasi? Dan begitu kami naik ia nampak buru-buru menyewa dokar.
Begitu andong kami beijalan, dokarnya bergerak mengikuti. Jelas punya maksud tertentu.
Ia sedang menyeka leher waktu aku menoleh ke dokarnya. Ia tidak memperhatikan kami. Pada kedua kalinya ia sedang menga¬wasi kami.
“Hei, Darsam! Mengapa tak membelok ke kanan?” protesku. “Mengapa ke kiri, Darsam?” tanya Annelies dalam Madura.
“Ada keperluan sedikit,” jawabnya pendek.
Andong membelok ke kiri meninggalkan lapangan stasiun, kemudian ke kanan melewati lapangan hijau keresidenan. Mau ke mana pula Darsam ini? Ia pun kelihatan bersungguh-sungguh.
“Mengapa tak juga ke kanan lagi?” protes Annelies. “Hari sudah sore begini.”
“Sabar, Non, hari belum lagi gelap. Lentera sudah dipersiap¬kan. Jangan kuatir.”
Dan ternyata dokar si Gendut memang mengikuti andong kami. Waktu aku menengok untuk kesekian kalinya ia sedang menunduk, melindungi muka di balik punggung kusir.
“Lambatkan sedikit, Darsam,” perintahku.
Andong mulai memasuki jalanan kias tiga, beijalan lambat. Dokar di belakang juga dilambatkan. Terpaksa, jalanan terlalu sempit. Tapi dokarnya bisa membunyikan lonceng kalau minta jalan. Dia tak minta. Juga tidak berusaha menyalib.
Andong kami mendadak berhenti.
“Mengapa di sini?” protes Annelies.
“Sebentar, Non. Ada sedikit keperluan,” jawab Darsam sam¬bil melompat turun dan menuntun kudanya meminggir, mengikat lis pada tiang pagar.
Dokar si Gendut ragu untuk melewati, tapi terpaksa lewat ju¬ga. Penumpang itu sendiri membuang muka sambil menyeka hi¬dung dengan setangan birunya. Melihat dari permunculannya ia bukan Tionghoa, juga bukan Peranakan Tionghoa, juga bukan pedagang. Kalau tohTionghoa Peranakan boleh jadi dari kalang¬an terpelajar, mungkin pegawai pada kantor Majoor der Chinee- zenJ. Atau Peranakan Eropa-Tionghoa yang habis berlibur dan
1. Majoor der Chineezen (Belanda): Majoor Tionghoa. Pemuka masyarakat Tionghoa di suatu tempat diberi pangkat militer titu-ler: letnan, kapten dan mayoor, mengingat pada jumlah jiwa yang dipimpin (diwakilinya). Mereka terutama ditugaskan melakukan pemungutan pajak di kalangan bangsanya sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di bidang administrasi langsung di bawah pemerintahan Eropa.
kini kembali ke tempat pekeijaan di Surabaya. Tapi mengapa mesti memperhatikan aku terus-menerus sejak B.? Ia jelas bu¬kan pedagang. Bukan begitu pakaian pedagang. Atau ia seorang jurubayar pada Borsumij atau Geowehrij? Atau mungkin sendi¬ri Mayoor der Chineezen?Tapi seorang mayoor biasanya angkuh dan merasa setara dengan orang Eropa, tak perlu memperhati¬kan diriku, bahkan takkan peduli pada Pribumi siapa pun. Atau Annelies yang diperhatikannya? Tidak. Ia sudah berlaku seperti itu sejak dari B.
“Non, tunggu sebentar di sini. Darsam ada sedikit urusan di warung itu,” kata Darsam dengan mata ditujukan padaku, me¬neruskan, “Tuanmuda, silakan turun sebentar.”
Aku turun. Dengan sikap waspada tentu. Kami memasuki warung kecil, sebuah gubuk bambu beratap genteng.
“Ada apa ke situ, Darsam?” tanya Annelies curiga dari atas andong.
Darsam menoleh, menjawab:
“Mulai kapan Non tidak percaya sama Darsam?”
Aku sendiri juga menjadi curiga. Si Gendut dan dokarnya berhenti di kejauhan sana. Sekarang Darsam pula bikin tingkah.
“Tinggal duduk di situ, Ann,” kataku menenteramkan. Na¬mun mataku terus juga mengawasi tangan dan parang pendekar Madura itu.
Dalam warung terdapat hanya seorang langganan yang sedang duduk minum kopi. Ia tak menoleh waktu kami masuk. Nam¬paknya sedang melamun. Atau pura-pura tak tahu? Atau sekutu si Gendut juga seperti Darsam ini?
Dengan sikap perintah ia silakan aku mengambil tempat di bangku panjang di seberang langganan itu. Ia duduk begitu dekat padaku sampai dapat kudengar nafasnya dan tercium bau ke¬ringatnya.
“Antarkan teh dan kue ke andong di luar sana,” perintah Darsam pada wanita pewarung. Matanya tajam mengawasi pe¬rempuan itu sampai ia pergi membawa pesanan itu di atas nam¬pan kayu.
Dengan mata liar ia dekatkan kumis-bapangnya padaku, ber¬bisik dalam Jawa yang kaku dan berat:
“Tuanmuda, sesuatu telah terjadi di rumah. Hanya aku yang tahu. Noni dan Nyai tidak. Begini, Tuanmuda, jangan terkejut. Sementara ini jangan Tuanmuda tinggal di Wonokromo. Ber¬bahaya.”
“Ada apa, Darsam?”
Suaranya kini agak tenang:
“Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang di-sayangi Nyai, disayangi Darsam. Apa yang diperintahkan, Dar¬sam lakukan. Tak peduli macam apa perintah itu. Nyai sudah perintahkan Darsam menjaga keselamatan Tuanmuda. Aku ker¬jakan, Tuanmuda. Keselamatan Tuanmuda jadi pekeijaanku. Tidak perlu percaya, Tuanmuda, hanya ikuti saja nasihatku.”
“Aku mengerti tugasmu. Terimakasih atas kesungguhanmu. Hanya, apa sesungguhnya telah teijadi?”
“Nyai majikanku. Noni majikanku juga, hanya yang kedua. Sekarang Noni berkasih-kasihan sama Tuanmuda. Darsam juga harus menjaga jangan sampai teijadi sesuatu. Jadi nasihat ini aku sampaikan. Bukan karena parang Darsam ini sudah tak bisa menjamin. Tidak, Tuanmuda. Ada sesuatu yang belum lagi jelas benar bagi Darsam.”
“Aku mengerti. Tapi apa yang sedang teijadi?”
“Pendeknya Tuanmuda akan kuantarkan pulang ke pemon¬dokan di Kranggan, tidak ke Wonokromo.”
“Aku harus tahu sebabnya.”
Ia terdiam dan mengawasi pewarung itu datang.
“Sudah selesai-belum, Darsam?”
“Sabar, Tuanmuda,” jawab Darsam tanpa menengok keluar. Melihat pewarung lewat ia meneruskan bisikannya. “Sinyo Robert, Tuanmuda. Dengan banyak janji dia perintahkan si Darsam ini membunuh Tuanmuda.”
Aku sama sekali tidak heran. Tanda-tanda niat jahat pemuda itu telah kukenal. Hanya:
“Apa dosaku terhadapnya?”
“Hanya cemburu kiraku. Nyai lebih sayang pada Tuanmuda. Dia merasa tak senang ada lelaki lain di dalam rumah.”
“Dia bisa bilang terang-terangan padaku. Mengapa menem¬puh jalan seperti itu?”
“Anak kurang pikir, Tuanmuda. Justru karena itu berbahaya. Sekarang Tuanmuda sudah tahu, mengerti nasihatku. Jangan bilang pada Noni atau Nyai. Sungguh, jangan. Nah, mari be¬rangkat.” Ia bayar belanja tanpa menanyakan pendapatku.
Dokar si Gendut sudah tak tampak. Andong kami berangkat. Dan di Wonokromo — kalau Darsam benar — seseorang meng¬hendaki nyawaku yang cuma satu ini. Sepotong hari ini si Gen¬dut telah memata-matai aku sejak dari B. Barangkali memang tidak begitu salah marah Ayahanda padaku. Juga tidak percuma peringatan Bunda agar berani menerima segala akibat perbuat¬an sendiri. Ya-ya, Robert Mellema memang berhak mengang¬gap aku menyerbu ke dalam kerajaannya. Paling tidak aku men¬jadi tambahan beban bagi pikirannya. Dia sepenuhnya berhak.
Annelies tak hendak melepaskan pegangannya pada tanganku, seakan aku ikan licin yang tiap saat bisa melompat keluar dari andong. Ia tak bicara. Matanya merenung jauh.
“Ann, aku dapatkan uangmu dalam koporku,” kataku.
“Ya, memang aku taruh di situ. Kau akan memerlukannya. Kau dalam kepergian tidak menentu, dan kau harus segera kembali padaku.”
“Terimakasih, Ann. Aku tidak menggunakannya.”
Untuk pertama kali ia tertawa. Dan tawanya tak menarik perhatianku. Lampu andong tak memantulkan sinarnya ke dalam andong. Gelap. Kecantikan Annelies ditelan oleh kehitaman. Sekali pun tidak pun takkan menarik. Pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan. Robert? memang aku mengenalnya. Si Gendut? Aku telah mengenal bentuknya, juga sekiranya dalam kegelapan. Dalam melakukan kejahatan orang lain yang tak kukenal, tak kuduga, bisa jadi pelaksananya. Surabaya terkenal dengan banyaknya pembunuh bayaran dengan upah setengah sampai dua rupiah. Dalam setiap minggu ada saja bangkai menggeletak di pantai, di hutan, di pinggir jalan, di pasar, dan pada tubuhnya tertinggal bekas senjata tajam.
Andong menuju ke Kranggan.
“Mengapa sekarang ke sini?” Annelies memprotes lagi.
“Masih ada urusan lain, Non. Sabar.”
Apa sekarang harus kukatakan pada Annelies? Belum lagi mendapatkan alasan andong telah berhenti di depan rumah ke¬luarga Telinga. Tanpa bicara Darsam telah menurunkan barang-barangku.
“Mengapa diturunkan?” Annelies memprotes lagi.
“Ann,” kataku lunak. “Dalam seminggu ini aku harus me¬nyiapkan pelajaran. Sementara itu, sayang sekali, aku tak bisa te¬mani kau pulang. Terimakasih atas jemputanmu, Ann. Mintakan maaf pada Mama, ya? Benar-benar aku belum bisa ke Wono- kromo. Harus tinggal di sini agar lebih dekat pada guru-guruku. Salam dan terimakasih pada Mama. Kalau sudah senggang aku pasti datang.”
“Kan selama ini Mas juga bisa belajar di sana? Tak ada yang mengganggu kau. Maafkan sekiranya aku jadi pengganggu,” suaranya setengah menangis.
“Tidak, tentu saja tidak.”
“Katakan kalau aku telah jadi pengganggu, biar aku tahu ke-salahanku,” suaranya semakin mendekati tangis.
“Tidak, Ann, sungguh, tidak.”
Benar-benar tak bisa dihindari. Ia menangis. Menangis seperti anak kecil.
“Mengapa menangis? Hanya seminggu, Ann, seminggu saja. Setelah itu aku pasti datang. Kan begitu, Darsam?”
“Benar, Non. Jangan menangis di tempat orang begini.”
Pada waktu itu hilang perasaanku sebagai seorang satria Jawa, satria tanpa tandingan dalam angan sendiri, tinggal hanya seorang pengecut — telah menjadi takut hanya karena berita, berita saja, bahwa sang nyawa sedang terancam.
“Jangan turun, Ann, duduk saja kau dalam andong,” dan ku¬cium dia pada pipinya dalam kegelapan kendaraan. Aku rasai ke¬basahan pada mukanya.
“Mas harus segera pulang ke Wonokromo,” pesannya dalam tangisnya, mengalah.
“Jadi kau mengerti, bukan?” Ia mengangguk. “Kalau semua sudah selesai tentu aku akan segera datang. Sekarang aku harap kau mau dengarkan aku dan memahami keadaanku.”
“Ya, Mas, aku tidak membantah,” jawabnya sayup.
“Sampai beijumpa lagi, dewiku.”
“Mas.”
Aku turun. Darsam masih menunggu di depan pintu.
Hari telah malam dan lampu berpancaran di mana-mana. Hanya pikiran diri juga yang tanpa terang.
“Mengapa tak kau sampaikan pada Mama?” bisikku pada Darsam.
“Tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya. Darsam harus urus sendiri pekeijaan ini. Tuanmuda sabar saja.”
*
SUAMI-ISTRI TELINGA duduk di sitje menunggu aku keluar dari kamar untuk bercerita. Pasangan yang rukun dan baik itu! Tak tahu aku bagaimana perasaannya terhadapku. Aku tak keluar, pintu kamar kukunci dari dalam, ganti pakaian dan naik ke ran¬jang tanpa makanmalam. Waktu hendak memadamkan lampu minyak masih kuperlukan memandangi potret Ratu Wilhelmi- na. Bumi manusia! Betapa seorang bisa menjadi kekasih para dewa begini. Aman dalam istananya. Tak ada sesuatu kesulitan, kecuali mungkin, dengan hati dan pikiran sendiri. Sedang aku? Kawulanya? yang dijanjikan oleh perbintangan akan bernasib sama, bahkan di sudut-sudut bilik mungkin mengintip maut bikinan Robert Mellema.
Kamar diliputi kegelapan. Percakapan di ruangtengah sayup memasuki kupingku. Tanpa makna. Uh, diri semuda ini, dan nyawanya sudah ada yang menghendaki. Janji jaman modem, gemilang dan menyenangkan seperti dikatakan guru itu, tak sesuatu pun tanda dan alamat yang diperlihatkannya. Robert, mengapa kau segila itu? Pembunuhan karena cemburu soal as¬mara memang terjadi di seluruh dunia — sisa kehidupan hewani pada manusia. Khas. Pembunuhan karena kemakmuran juga warisan hewani yang khas pula. Kan? Kan begitu? Tapi kau le¬bih majemuk. Kau benci ibumu, asalmu, dan tidak mendapat¬kan kasih-sayang daripadanya. Kau melata mengemis kasihsa- yang ayahmu, dan kau tidak digubris. Kau cemburu, Robert, karena kasih-sayang ibumu melimpah padaku. Karena kau takut hak-hakmu sebagai ahliwaris jangan-jangan juga melimpah padaku — orang yang tidak berhak - seperti banyak disebutkan dalam cerita-cerita Eropa. Kiranya di matamu aku hanya seorang kriminil.
Kan aku sudah cukup jujur pada diri sendiri? Dan terhadap dunia? Lihat: aku hanya menghendaki nikmat dari jerihpayahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan. Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri. Keretakan dengan keluargaku sendiri yang selama ini mengajar aku demikian. Uh, masalah yang lebih pelik dari semua pelajaran sekolah.
Dan kau pula, Darsam. Semoga mulutmu tak dapat dipercaya. Semoga Robert tidak sejahat itu.Tapi kau sendiri yang menyem-bunyikan maksud tertentu dan jahat pula.
Dan kau, si Gendut berkulit langsat cerah bermata agak sipit - sambar geledek! — apa pula urusanmu denganku? Orang senecis kau, mungkinkah hanya pembunuh bayaran semata? Karena menghendaki harta dan anak Mellema?
Dan Sarah, dan Miriam de la Croix, dan Tuan Assisten Re¬siden .... dan assosiasi ....
Hatiku meriut kecil. Mengapa aku sepengecut ini?

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02