Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 09


UGA KARENA MENGUTAMAKAN URUTAN WAKTU AKU SUSUN bagian ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di ke- mudianhari. Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban- jawaban Maiko melalui penteijemah tersumpah dan kutuhs dengan kata-kataku sendiri.
Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hongkong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan Tionghoa di Hongkong. Aku sudah tidak ingat siapa nama majikan kedua itu. Beberapa rninggu di tangannya terlalu pendek untuk dapat mengingat namanya yang sulit diucapkan. Ia menjual diriku pada majikan lain, juga orang Tionghoa, dan dengan begitu aku dibawa bela- yar ke Singapura. Majikan ketiga ini kukenal hanya pada nama¬nya Ming. Selebihnya aku tak tahu. Ia sangat puas dan senang padaku karena tubuhku dan layananku mendatangkan banyak keuntungan baginya.
Majikanku yang keempat seorang Jepang Singapura. Ia sangat bernafsu untuk memiliki diriku. Tawar-menawar yang cukup lama. Akhirnya dibelinya aku seharga tujuh puluh lima dollar Singapura, harga tertinggi untuk wanita-umum Jepang di Singa¬pura. Memang aku bangga tubuhku lebih mahal dari wanita- umum dari Sunda, yang biasanya menduduki tempat tertinggi dan termahal dalam dunia plesiran di Asia Tenggara. 
Tetapi kebanggaanku tidak terlalu lama umurnya. Hanya lima bulan. Majikanku, orang Jepang itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok. Soalnya karena langgananku se¬makin berkurang juga. Memang demikian risiko yang dapat menimpa diriku bukan sekedar sipilis biasa. Dalam dunia pela¬curan yang terkutuk ini dinamai: sipilis “Birma”. Aku tak tahu mengapa dinamai demikian. Dia mashur tak terobati, dan lelaki dirusak dan dihancurkan lebih cepat dan lebih sakit. Perempuan bisa tak merasa sesuatu untuk waktu agak lama.
Maka majikanku menjual aku dengan harga dua puluh dollar pada majikan Tionghoa, majikan kelima. Dibawanya aku ke Betawi. Sebelum jual-beli teijadi majikanku yang lama memba¬wa aku masuk ke dalam kamar. Dipukulinya dadaku dan ping¬gangku sampai pingsan. Setelah siuman aku ditelanjanginya dan ditotoknya bagian-bagian tubuh: untuk mematikan syahwat. Ia bernama Nakagawa. Pada keesokannya baru aku diserahkan pada majikan lain itu.
Pada hari pertama majikan-baruku hendak mencoba aku. Aku menolak. Kalau dia tahu aku berpenyakit terkutuk itu tentu aku akan kena aniaya lagi. Mungkin sampai mati. Bukan sesuatu yang luarbiasa seorang pelacur dibunuh oleh majikannya dan disem¬bunyikan atau dihancurkan entah di mana mayatnya. Pelacur mahluk lemah tanpa pelindung. Lagipula aku tahu gejala kelemahan sudah mulai menyerang syahwatku. Padanya aku minta disewakan sinsei penotok. Tiga kali sinsei memperbaiki tubuhku dan syahwatku mulai pulih. Namun aku tetap meno¬lak dicoba oleh majikanku. Beruntunglah dia mengalah.
Baru saja tiga bulan dan majikanku tahu juga aku punya pe¬nyakit*. Ia marah. Itu kuketahui hanya dari airmukanya dan nada suaranya karena aku tak mengerti Tionghoa. Langganan semakin berkurang. Orang menghindari tubuhku dan ia menjadi jengkel. Siang-malam aku berdoa jangan kiranya ia menganiaya diriku. Tidak. Boleh juga ia menganiaya diriku asal jangan simpananku dirampasnya. Tahun mendatang aku harap akan bisa pulang kembali ke Jepang dan kawin dengan Nakatani, yang menung¬gu aku pulang membawa modal.
Majikanku tak menganiaya aku, juga tidak merampas tabunganku. Waktu aku pindah tangan pada Babah Ah Tjong dengan harga senilai dengan sepuluh dollar Singapura, ia beri aku persen setengah gulden dan kata-kata ini, diucapkan dalam Jepang yang patah-patah:
“Sebenarnya aku suka mengambil kau jadi gundik.”
Aku sangat menyesal mendengar ucapannya itu. Jadi gundik lebih ringan daripada jadi pelacur dan dapat hidup agak wajar, lebih bebas daripada jadi istri seorang pemuda Jepang yang mengharapkan modal dari calon bininya. Apa boleh buat, pe¬nyakit terkutuk ini telah mendekam dalam diriku.
Babah Ah Tjong sangat bernafsu padaku. Aku sudah berusaha menyangkalnya, takut pada datangnya bencana baru. Kalau sekali ini terbongkar lagi, harga badanku mungkin akan hanya tinggal senilai lima dollar, dan jadilah aku sampah jalanan di negeri orang.Jadi aku minta disewakan seorang sinsei ahli penotok. Sin- sei itu menjamin aku bisa sembuh dengan totok selama sebulan dengan sepuluh totokan pada menjelang malam. Babah berke¬beratan dengan waktu yang selama itu dan upahnya yang mahal pula. Aku hanya mendapat totokan sekali, totokan percobaan.
Sebelum berangkat ke Surabaya tak ada alasan lain padaku untuk menyangkal majikanku. Aku dipergunakannya untuk di¬rinya sendiri semata sampai aku ditempatkan di rumahplesiran- nya di Wonokromo dan mendapat kamar terbaik.
Bila berada di rumahplesirannya hampir selalu ia tinggal di kamarku, tidak di kamar lain, yang empat belas banyaknya.
Babah nampaknya tak tertulari penyakitku. Maka aku merasa tenang dan senang. Memang ada sejenis lelaki yang kalis dari penyakit dunia plesiran. Boleh jadi memang karena totokan yang sekali itu penyakitku kehilangan keganasannya, maka tidak menular. Siapa tahu? Dan harga tubuhku boleh jadi akan naik lagi? Ya, siapa tahu? Kalau Babah menggundik diriku aku akan bersyukur dan akan mengabdi padanya sebaik-baik seorang gun¬dik. Kalau tidak, sebelas bulan lagi cukuplah waktuku jadi pe¬lacur, dan aku akan pulang. Setidak-tidaknya aku sudah terlalu mampu untuk menebus diriku dari majikan terakhir.
Bulan itu pun habis. Babah ternyata terkena sipilis “Birma” juga. Ia tak tahu, tak kenal penyakit aneh itu. Ia tak langsung menuduh aku karena ada banyak wanita lain dalam kehidupan plesirannya. Lagi pula kami berdua tak bisa bicara satu pada yang lain.
Bahwa ia mengidap penyakit kuketahui waktu pada suatu hari empatbelas orang pelacurnya dari berbagai bangsa dibariskannya telanjang bulat di hadapannya dan ditanyai seorang demi seorang tentang penyakit mereka. Pada tangan-kanannya ia membawa cambuk tali kulit dan tangan kiri mengukur suhu yang men¬curigakan yang keluar dari kelamin para wanita celaka itu.
Aku sebagai perempuan Jepang satu-satunya tidak dicurigai. Di dunia plesiran di atas bumi ini pelacur Jepang selalu diang¬gap paling bersih dan pandai menjaga kesehatan, senyawa dengan jaminan bebas penyakit. Maka aku tak diperiksa.
Tiga orang disingkirkan dari barisan. Ah Tjong memerintah¬kan pada para perempuan sisanya, kecuali aku, untuk mengikat mereka dengan tali. Mulut mereka disumbat. Ah Tjong sendiri yang menghajar tubuh mereka dengan cambuk kulit, tanpa mengeluarkan suara dari mulut mereka yang tersumbat dengan selendang. Mereka adalah kurbanku. Dan aku diam saja.
Memang susah jadi pelacur. Bila terkena sakit kotor harus segera melapor dan majikan segera menganiaya. Sebaiknya orang membisu sampai dia mengetahui melalui jalan yang tersedia.Tapi penganiayaan juga yang bakal datang.
Setelah tiga wanita itu sembuh dari penganiayaan mereka di¬jual pada seorang tengkulak Singapura untuk dibawa ke Medan. Aku tetap tidak tergugat di rumahplesiran Ah Tjong. Sampai sejauh itu hanya dia seorang saja yang kulayani, maka aku tak terlalu lelah. Kesehatan dan kesegaranku rasa-rasanya hendak pulih. Juga kecantikanku.
Hampir setiap orang Tionghoa kayaraya mempunyai suhian, rumahplesirnya sendiri. Di Hongkong, Singapura, Betawi mau pun Surabaya sama saja adat mereka, yaitu menggilirkan rumah¬plesirnya masing-masing di antara mereka. Begitulah maka pada suatu hari rumahplesiran Babah Ah Tjong mendapat giliran
Pagi-pagi tepukan tangan Babah telah memanggil aku keluar. Keluarlah aku. Memang ada rencana untuk beijudi pagi. Sore dan malamhari baru untuk plesiran. Beberapa orang tamu sudah berdatangan di ruangdepan, bermain kartu, mahyong dan karambol.
Sebenarnya aku sudah gelisah. Giliran pada rumahplesiran ini jangan-jangan membikin majikanku melepas aku pada tamu- tamunya. Siapa pun tahu, perempuan Jepang sangat disukai mereka. Berapa orang harus kulayani bila Babah sampaihati melepas aku?
Ternyata memang ia perintahkan aku melayani tamunya: se¬orang anak muda jangkung bertubuh besar, kuat dan ganteng, sehat dan menarik — seorang keturunan Eropa. Namanya: Ro- bert. Sebenarnya iba hatiku melihat kemudianharinya.
Sepintas kelihatan ia seorang plonco yang belum banyak pengalaman. Siapa tidak kasihan melihat anak semuda itu harus terkena penyakit celaka, sebentar nanti, kalau dia menghendaki tubuhku, menanggung seumur hidup, mungkin juga cacat atau mati muda karenanya?
Aku perhatikan airmuka majikanku, ia main-main atau sung-guh-sungguh. Nampaknya ia tak menyesal melepas diriku un¬tuk Robert. Sekaligus aku mulai mengerti: dia telah tahu juga aku yang menularinya dengan penyakit itu. Sebentar lagi ia akan jual aku pada orang lain, atau ia akan paksa aku menebus diriku sendiri dengan entah berapa puluh dollar. Aku merasa sangat, sangat sedih pada pagi itu.
Setelah Babah membawa Robert dan aku ke dalam kamar dan 
Ifi menguncinya dari luar, tahulah aku, aku harus bekerja, dan be- keija sebaik-baiknya. Aku harus buang segala kesedihan dan was¬wasku.
Robert duduk di kursi panjang. Segera aku berlutut di ha¬dapannya dan mencabut larsa dari kakinya. Sepagi itu! Kaus ka¬kinya kotor dan nampak tak terawat sebagaimana mestinya. Dari lemari kuambilkan sepasang sandal.Tak ada yang cocok ukuran¬nya. Kaki itu sangat hesar. Apa boleh buat. Baru kemudian aku tarik kaus dari kakinya yang kokoh dan kuat itu. Sandal hanya kuletakkan di depannya, tidak kupasangkan. Sandal jerami itu akan hancur kemasukan kakinya.
Ia tidak mengenakannya. Nampaknya ia seorang yang banyak bertimbang-timbang.
Robert tidak bicara apa-apa, hanya memandangi aku dan se¬gala tingkah-lakuku dengan mata terheran-heran.
Kulepas kemejanya yang bersaku dua. Ia diam saja. Kuketahui dua-dua kantong itu kosong. Kupersilakan ia berdiri dan kule¬pas celana-kudanya. Aku lipat dan kugantung di dalam lemari, sekali pun aku tidak rela karena kotor dan baunya. Pakaian- dalamnya nampak telah lebih seminggu tidak diganti. Terlalu kotor. Ia kelihatan agak malu.
Itulah pemuda Robert, tidak mempunyai sesuatu kecuali ke-mudaan dan kesehatan, kegantengan dan nafsu-berahinya sen¬diri. Aku mulai berpikir lagi: apa sebab Babah melepas aku pada pemuda tak punya sesuatu apa ini? Pasti ia takkan menjual di¬riku, juga takkan memaksa aku menebus diriku karena penyakit terkutuk ini. Nampaknya ia tetap belum tahu tentang penyakit- ku. Aku agak senang dan tenang dengan pesangon pikiran itu.
Dari dalam lemari lain kuambilkan untuknya selembar kimo¬no Tuan Majooru. Aku lepas pakaian-dalamnya dan aku kimo- noi dia. Ia masih duduk diam-diam. Kuambilkan untuknya cawan anggur penguat, biar takkan terlalu menyesal ia di kemu- dianhari terkena penyakit yang akan bersarang abadi dalam tu¬buhnya. Biar ia mendapat kenang-kenangan indah dari pende- 
ritaan tanpa batas kelak, suatu keindahan dan kenikmatan yang telah jadi haknya.
Diteguknya anggur penguat itu dengan masih tetap menga¬wasi aku dengan mata terheran-heran. Dalam pada itu aku terus juga bicara lunak tanpa henti agar tak merusak suasana hatinya. Memang itu merupakan bagian dari pekeijaanku yang majemuk sebagai pelacur.
Tentu saja ia tidak mengerti barang sepatah pun. Walau begi¬tu tak ada kata-kata buruk kuucapkan. Dan lelaki mana tidak suka mendengarkan perempuan Jepang bicara dan mengucap¬kan kata-katanya? dan melihat cara dan gaya jalannya? dan me¬nikmati pelayanan di dalam dan di luar kamar?
Jam setengah sembilan pagi kami naik ke atas ranjang. Ro- bert menolak makansiang. Tubuhnya sangat kuat. Tubuhnya yang bermandi keringat membikin ia seperti terbuat dari tem¬baga tuangan. Tak pemah ia melepaskan aku. Tingkahnya ge¬lisah dari seorang pemuda yang belum banyak pengalaman. Kalau bukan karena anggur penguat itu ia telah melepas darah dan takkan mampu turun sendiri. Biarlah. Sebentar lagi tubuh¬nya yang hebat itu akan rusak-binasa. Segala yang ada padanya akan musnah: kemudaan, kegantengan, kekuatan - ah-ah-ah, karunia yang tidak datang pada setiap orang itu. Karena itu aku totok ia pada bagian-bagian tubuhnya sebagaimana pemah di¬lakukan oleh sinsei Tionghoa atas diriku. Ia tak tahu maksudku namun manda saja seperti bocah kecil dungu, dan aku lakukan ini dalam pelukannya yang perkasa.
Pada jam empat sore ia baru lepaskan aku dan turun dari ran¬jang. Aku pun turun dan menyeka badannya yang bermandi keringat dengan anduk basah beberapa kali dengan air mawar. Lima lembar anduk! Ia telah kehabisan tenaga. Lenyap kekuatan dan kegagahannya, seperti selembar pakaian tua mengelumpruk di kursi. Ia minta pakaiannya. Aku ambilkan dan kukenakan padanya selembar demi selembar, juga kaus kaki dekil-bau itu dan larsanya yang berat dari kulit talenta. Setelah itu aku gosok rambutnya dan aku pijiti kepalanya biar tidak pening, aku sisiri sampai rapi, baru kemudian aku sendiri berpakaian setelah lebih dahulu menggosok tubuh dengan anduk basah pula.
Nampaknya ia sangat puas. Ia masih menyempatkan diri menyambar lenganku dan memangku aku dan bicara dengan suara dalam dan lambat. Aku tak mengerti artinya, namun senang mendengar kedalaman suaranya. Dan aku meronta menolak, kuatir nafsunya akan bangkit kembali. Aku sendiri belum lagi sarapan atau pun makansiang. Aku pun akan rusak bila melaya¬ninya. Mungkin ia sendiri pun kosong-perutnya.
Ia sudah begitu pucat seperti baru bangun sakit.Tak sampaihati melihatnya. Kuambilkan lagi anggur penguat untuknya biar mukanya agak berdarah. Kemudian ia kuantarkan keluar dari kamar.
Ia ragu dan berhenti di tengah-tengah pintu.Tiba-tiba ia ba¬lik lagi masuk ke dalam, memeluk dan mencium bernafsu. Dengan hormat dan sopan ia kudorong keluar dan pintu terkun¬ci dari dalam. Aku sangat lelah....
*
Di BAWAH INI jawaban-jawaban Babah Ah Tjong di depan Pengadilan, diucapkan dalam Melayu, dibelandakan oleh pen- teijemah tersumpah, dan setelah kususun sendiri menjadi begini:
Pada waktu itu aku sedang berada di kantor rumahplesiranku. Kira-kira jam empat sore lonceng dari kamar raja berdenting minta dibukakan pintunya dari luar.
Aku sendiri yang keluar dari kantor untuk melayani. Sinyo Lobel sesungguhnya tamuku yang istimewa. Aneh sekali kalau ditanyakan mengapa. Dia anak tetanggaku sendiri dan sudah menjadi adat kami untuk selalu bertetangga baik. Apalagi Sinyo Lobel pada suatu kali akan jadi tetanggaku sepenuhnya, bukan hanya sekedar anak tetangga.
Dia keluar. Mukanya pucat. Segala yang menarik padanya sudah lebur. Hampir-hampir tak mampu mengangkat kepala sendiri. Nampak benar dia seorang pemuda yang tak kenal ba¬tas, seorang yang kelak akan menyerahkan seluruh jiwa dan ra¬ganya pada sang nafsu. Biar begitu ia kelihatan puas. Itu nampak jelas dari bibirnya yang berbunga senyum rela. Tentu saja aku senang melihat itu.
“Nyo,” tegurku, “Kita beltetangga baik mulai hali ini dan untuk setelusnya. Bukan?”
Mendadak ia pandangi aku dengan mata membelalak curiga. Ia meriut-kecut. Orang berpengalaman seperti aku tentu tahu: ia menjadi sadar harus mengeluarkan banyak uang untuk mene¬bus kesenangannya sebentar tadi.
“Biar aku tandatangani bonnya,” katanya ragu.
“Ai, Nyo, kita beltetangga baik. Sinyo tak pellu kelualkan apa-apa. Jangan kuatil. Siapa tahu kelak kita bisa jadi engko ? Pendeknya setiap saat boleh datang kemali. Boleh pakai kamal mana saja selama tidak telkunci, tanpa batas waktu, siang atau malam. Boleh pilih olang mana saja. Kalau pintu dan jendela depan telkunci Sinyo masuk saja dali pintu belakang. Tukangke- bun dan penjaga nanti kubilangi.”
Keraguannya hilang. Kontan ia menjawab:
“Terimakasih banyak, Babah.Tidak sangka Babah sebaik ini.” “Memang sudah lama Sinyo mestinya datang. Balu sekalang.” “Tentu aku akan kembali lagi.”
“Tentu saja!”
Sebagai tetangga baik tentu tak mungkin aku menolak keda-tangannya. Apalagi ia seorang muda yang sedang pada puncak pertumbuhan. Jadi bukan saja harus kucadangkan pikiran untuk memberinya kesempatan untuk melepaskan berahi, juga terpaksa menyerahkan Maiko untuknya sampai ia merasa puas dan bosan.
Ia minta diri untuk pulang.
“Hari sudah sore,” katanya.
Dan aku tak menghalang-halanginya. Sebelum pergi aku bawa ia ke kantorku. Sampai di sini matanya menjadi liar melihat wanita-wanita lain. Ia sudah berubah, bukan lagi pemuda pemalu sepagi. Aku pura-pura tak lihat. Kalau aku layani bisa rusak se¬mua aturan. Maka aku panggil seorang wanita pemangkas dan kuperintahkan memangkasnya sesuai dengan contoh yang ku¬berikan.
Sinyo tak menolak dipangkas. Ia dipangkas dengan gaya Spa¬nyol bersibak tengah. Rambutnya diberi minyakrambut khusus yang termahal. Setelah itu ia kusuruh minum arak khusus pula, simpanan pribadi.
“Dengan begini Sinyo kelihatan segal lagi,” kataku.
Bukan itu saja. Aku berikan padanya seringgit. Seringgit tulen putih seperti matari, tanpa cacat. Ia menerimanya dengan malu, mengangguk berterimakasih, tanpa bunyi, hanya:
“Babah memang tetangga paling baik.”
Kuantarkan ia keluar melalui para tamu yang semakin banyak juga. Beberapa orang di antara mereka menahan kami untuk meminta Maiko. Sinyo memberengut dan aku tolak mereka semua. Aku iringkan ia keluar pelataran. Waktu kudanya telah memasuki jalan raya dan membelok ke kiri, baru aku masuk lagi dan terus pergi mendapatkan Maiko.
Setelah itu tak tahu aku apa yang kemudian terjadi dengan Sinyo.
DAN DI BAWAH ini cerita yang kususun dari cerita Nyai dan An- nelies tentang Robert Mellema:
Pada jam dua sore Annelies bangun dari tidur. Panas badannya telah turun. Segera ia menanyakan apakah Robert sudah pulang.
“Belum, Ann. Tak tahulah aku ke mana saja ia pergi.”
Nyai sudah sedemikian jengkel dan marah pada sulungnya. Ia perintahkan Darsam untuk tidak meninggalkan tempat. Pengan¬taran susu, keju dan mentega ke kota diserahkan pada kusir-kusir lain. Bahkan pengawasan keija di belakang diserahkan pada orang yang belum lagi layak menjadi mandor.
“Biar dia kutunggu di depan, Ma,” ujar Annelies.
“Tidak. Kau tunggu di sini atau di luar sana sama saja. Di ruangdepan sana lebih baik, sambil menemani Mama.”
Nyai memapah Annelies, dan mereka duduk begajar di kursi.
Dan Robert belum juga datang. Bunyi pendule itu meng¬ganggu suasana menunggu. Antara sebentar Nyai meninjau pe¬lataran. Dan sulung itu belum juga muncul.
“Bagaimana bisa jadi, Ann, kau, baru beberapa hari bertemu sudah jatuh tergila-gila begini? Semestinya dia yang tergila-gila padamu.”
Annelies tak menjawab. Nampaknya ia tersinggung.
“Aku ambilkan makan, ya?”
“Tak usah Ma,” tapi Nyai pergi juga ke belakang mengambil dua piring nasi ramas, sendok-garpu dan minum.
Nyai makan sambil menyuapi Annelies dengan paksa.
“Kalau malas mengunyah, telan saja,” perintahnya.
Dan Annelies benar-benar tidak mengunyah, hanya menelan. Dan Robert belum juga datang.
Dua kali Nyai memanggil Darsam untuk melayani langgan¬an. Dan Annelies duduk diam-diam dengan memandang jauh - jauh sekali.
Dua jam lagi telah lewat.
“Nah anak gila itu datang juga!” sebut Nyai.
Baru Annelies memusatkan pandang ke jalan raya.
“Darsam!” seru Nyai dari tempatnya. Waktu yang dipanggil datang ia meneruskan, “Kunci pintu kantor. Kau berdiri di sini,” ia menunjuk pada pintu yang menghubungkan kantor dengan ruangdepan.
Robert mengendarai kudanya, tenang tak tergesa. Ia berhenti pada tangga rumah, melepas kuda tanpa mengikatnya dan naik, berdiri di hadapan Nyai dan Annelies.
Nyai mengernyit melihat sulungnya telah berpangkas dan bersibak tengah. Ia lihat muka dan badan Robert tidak ber¬keringat juga tidak berdebu. Cambuk kuda tak ada di tangan¬nya. Juga ia tak mengenakan topi. Entah di mana semua itu ke¬tinggalan.
“Sibak rambut itu,” bisik Nyai, “kepucatan itu...,” ia tutup mukanya dengan tangan. “Lihat, Ann, lihat macam abangmu. Se¬perti itu juga papamu waktu pulang dari pengembaraannya dan sudah jadi begitu. Bau minyakwangi itu.... Sama juga. Kalau dia bicara, mungkin bau araknya juga sama dengan lima tahun lewat itu...”
Dan Nyai tak menegur Robert.
Annelies memandangi abangnya dengan mata mengimpi. Darsam berdiri diam-diam. Melihat tak ada seorang pun me¬mulai pendekar Madura itu mendeham. Dan seperti mendapat perintah Robert mengangkat pandang pada Darsam, kemudian dipindahkan pandang itu pada ibunya:
“Polisi tak tahu-menahu ke mana Minke dibawa. Mereka tak mengenal nama itu.”
Nyai berdiri dan meradang. Mukanya merah-padam. Telun¬juknya menuding sulungnya, mendesau:
“Penipu!”
“Aku sudah berkeliling ke mana-mana mencari keterangan.” “Sudah. Tak perlu bicara. Bau mulutmu, bau minyakwangi itu, sibak rambut itu sama dengan papamu lima tahun yang lalu dan seterusnya. Lihat baik-baik, Ann, begitulah permulaan pa¬pamu tak kenal mata-angin lagi. Menyingkir pergi, kau, peni¬pu! Tak ada anakku seorang penipu.”
Di depan pintu penghubung kantor Darsam mendeham lagi.
“Jangan lupakan hari ini, Ann. Begitu macamnya papamu dulu datang, dan harus kuanggap lenyap dari kehidupanku. Begitu juga abangmu pada hari ini. Dia sedang mengikuti jejak Tuan. Biar.”
Annelies tak menanggapi.
“Karena itu, Ann, kau harus kuat. Kalau tidak, orang akan sangat mudah jadi permainan, dan terus dipermainkan oleh orang-orang semacam dia itu. Berhenti kau menangis. Apa kau juga mau ikuti abangmu dan ayahmu?”
“Mama, aku ikut kau, Mama.”
“Karena itu jangan manja, kuatkan hatimu.”
Annelies terdiam melihat Nyai sudah sampai pada puncak kekecewaannya.
Kuda di depan rumah itu meringkik. Robert keluar lagi dari kamarnya dalam pakaian lain, necis dan gagah. Ia begalan cepat meninggalkan rumah tanpa mengindahkan ibu, adik dan Dar- sam. Juga kuda ditinggalkannya lepas.
Sejak hari itu sulung itu hampir-hampir tak pernah lagi meng-injakkan kaki di rumah keluarga.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02