Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 10

KU BANGUN PADA JAM SEMBILAN PAGI DENGAN KEPALA pu¬sing. Ada sesuatu yang mendenyut-denyut di atas mataku. Sebuah biji palakia tanpa setahuku telah me- rembesi kulit, sekarang sedang menumbuhkan akar pada otakku untuk mengubah diri jadi pohon dalam kepalaku.
Teringat aku pada berita-berita koran yang memashurkan obat pelenyap pening paling mujarab dalam sejarah ummat manusia. Katanya Jerman yang menemukan, dinamai: Aspirin. Tapi obat itu baru berupa berita. Di Hindia belum lagi kelihatan, atau aku yang tidak tahu. Uh, Hindia, negeri yang hanya dapat menung¬gu-nunggu hasil keija Eropa!
Mevrouw Telinga telah beberapa kali mengompres kepalaku dengan cuka-bawangmerah. Seluruh kamar berbau cuka.
“Ada surat untukku barangkali, Mevrouw?”
“Ha, sekarang Tuanmuda baru menanyakan surat. Biasanya membaca pun segan. Sungguh sudah berubah. Barangkali juga ada. Tadi orangnya masih menunggu. Aku bilang kau masih ti¬dur. Tak tahu aku siapa namanya. Mungkin juga sudah pergi. Aku bilang padanya: kan Tuanmuda Minke tinggal diWonokro- mo? Rupanya dia tak memperhatikan, malah minta ijin seben¬tar untuk pergi ke rumah sebelah, rumah Tuan Marais.”
Rumah pemondokan itu lengang. Teman-teman lain sudah berangkat ke sekolah.
Dan perempuan baikhati itu menarik mejamakan dan mende-katkan pada tempat tidurku, kemudian meletakkan susucoklat serta kue di atasnya. Yang kumaksud dengan kue adalah: cucur.
“Tuanmuda mau makan apa hari ini?”
“Mevrouw ada uang belanja?”
“Kalau tak ada toh minta pada Tuanmuda?”
“Barangkali pernah datang polisi kemari menanyakan aku?”
“Ada. Bukan polisi. Orang muda sebaya Tuanmuda. Aku kira teman Tuanmuda, jadi kuceritakan saja apa adanya.”
“Indo? Totok atau Pribumi?”
“Pribumi.”
Aku tak tanya lebih lanjut. Kira-kira dia tak lain dari agen polisi itu juga.
“Jadi makan apa Tuanmuda hari ini?”
“Sup makaroni, Mevrouw.”
“Baik. Baru sekali ingin sup makaroni. Tahu berapa harganya satu bungkus? Lima sen,Tuanmuda. Jadi....”
“Dua bungkus tentunya cukup.”
Ia tertawa lega menerima uang belanja limabelas sen, kemu¬dian gopoh-gapah pergi ke kerajaannya: dapur.
Pagi ini memang lengang. Kadang saja terdengar lonceng dokar. Hanya dalam kepalaku teijadi kesibukan: para pembunuh dan calon pembunuh berbaris panjang dengan berbagai muka, bermacam resam, malahan Magda Peters ikut tampil membawa belati telanjang teramang. Magda Peters — guru kesayanganku! Hampir gila rasanya, hanya karena ketakutan pada berita. Berita saja! Masa aku patut begini ketakutan pada sesuatu yang tidak menentu kebenaran dan duduk perkaranya? Aku, seorang ter¬pelajar? Sekiranya berita itu benar, patutkah ketakutan terkutuk ini dibenarkan?
Kau akan merugi dua kali, Minke, kalau berita itu benar. Pertama: kau sudah ketakutan. Kedua: kau toh terbunuh. Satu kerugian pun sudah cukup, Minke. Ambillah salah satu. Bangun. Mengapa mesti kau ambil dua-duanya sekaligus? Goblok kau sebagai terpelajar.
Pikiran itu membikin aku tertawa sendirian. Jadi bangunlah aku dari ranjang, berdiri sempoyongan dan mencoba pergi ber¬jalan ke belakang. Pengelihatanku berayun-ayun. Kuraih pung¬gung kursi. Kumantapkan lagi pengelihatanku dan keluar dari kamar.Tak jadi ke belakang aku duduk di ruangdepan dan mulai mencoba membaca koran. Peningku memang berkurang, tapi bau cuka-bawangmerah betul-betul jadi gangguan.
Badan manja, kataku dalam hati.
Akhirnya aku pergi juga ke belakang dan mandi dengan air hangat di bawah protes MevrouwTelinga yang keliwat bawel itu.
Betapa sayang dia padaku, wanita mandul itu. Ia seorang Indo Eropa yang lebih Pribumi daripada Eropa, tak ada sisa kecantik¬an, gemuk seperti bantal. Biar Belandanya sangat buruk justru itulah bahasanya sehari-hari, juga bahasa-keluarga. Ia tak pernah menginjakkan kaki di halaman sekolah: butahuruf.Anak-angkat- nya seekor anjing gladak jantan, pandai mencuri ikan dari pasar, dua-tiga kali dalam sehari, diserahkan pada ibu angkatnya untuk dipanggangkan. Setelah memakannya ia tidur di tengah-tengah pintu, untuk kemudian bangun dan berangkat mencuri lagi. Anak-angkat ini tidak menggonggongi orang tak dikenal yang datang, sebaliknya ia pandangi tamu dengan mata kelap-kelip mengawasi seperti menunggu digonggong lebih dulu.
Setelah berpakaian dan bersisir aku pergi ke rumah Jean Marais. Gambar ibu May dalam adegan perkelahian itu belum juga selesai. Nampaknya ia sedang berusaha mengeijakan sebaik mungkin. Dengan lukisan itu ia hendak membikin karya- tamanya.
May duduk di pangkuanku dengan manjanya. Ia rindu tak bertemu denganku dalam beberapa hari belakangan ini. Biasa¬nya kubawakan ia gula-gula. Sekarang tak ada sesuatu dalam kantongku.
“Kita tak jalan-jalan, Oom?”
“Sedang tak enak badan, May.”
“Kau pucat, Minke,”Jean Marais menegur dalam Prancis.
“Tak kuperhatikan,” kata May dalam Prancis pula, kemudian bangkit dari pangkuan dan memandangi aku. “Benar, Oom, pucat.”
“Kurang tidur,” jawabku.
“Sejak punya hubungan dengan Wonokromo ada-ada saja yang menimpa dirimu. Minke,” tegur Jean. “Dan kau tak lagi cari order baru selama ini.”
“Kalau kau tahu pengalamanku selama ini, Jean, kau takkan sampaihati bicara seperti itu. Sungguh.”
“Kau dalam kesulitan lagi,” tuduhnya. “Matamu tidak tenang begitu. Tidak seperti biasanya.”
“Masa mengetahui orang dari matanya?”
“May, coba belikan rokok.”
Dan gadis cilik itu keluar.
“Nah Minke, ceritakan apa kesulitanmu.”
Tentu saja kuceritakan kecurigaanku tentang si Gendut. Bah¬wa aku merasa ada seseorang yang sedang mencari kesempatan untuk membunuh diriku yang sebatang ini. Bahwa aku merasa, di mana-mana ada orang sedang memata-matai, siap hendak mengayunkan parangnya pada tubuhku.
“Tepat seperti kuduga. Memang itu risiko orang yang tinggal di rumah nyai-nyai. Dulu kau ikut dengan pendapat umum yang mengutuk nilai dan tingkat susila nyai-nyai. Apa kataku dulu? Jangan ikut-ikut jadi hakim tentang sesuatu yang kau tak ketahui dengan pasti. Kuanjurkan dua-tiga kali datang lagi ke sana, sak¬sikan sendiri sebagai terpelajar.”
“Aku masih ingat, Jean.”
“Nah, kau datang ke sana memang. Bukan hanya datang, malah tinggal.”
“Betul.”
“Kau tinggal di sana, tidak untuk menyelidiki pendapat umum dan kenyataannya, kau justru melaksanakan pendapat umum itu - terseret ke tingkat dan nilai susila rendah, tidak terpuji. Ke¬mudian kau mendapat ancaman entah dari siapa. Barang tentu dari pihak yang paling berkepentingan - yang kau rugikan. Sekarang kau merasa diburu-buru orang, Minke. Kau lebih ba¬nyak diburu perasaan-bersalahmu sendiri.”
“Apa lagi, Jean?”
“Apa aku keliru?”
“Mungkin sekali kau yang benar.”
“Mengapa mungkin?”
“Ialah kalau benar telah kulakukan perbuatan tidak terpuji itu.”
“Jadi kau tak lakukan itu?”
“Sama sekali.”
“Setidak-tidaknya aku senang mendengar itu, Minke, sa¬habatku.”
“Lagipula ternyata Nyai bukan wanita sembarangan. Dia ter-pelajar, Jean. Aku kira wanita Pribumi terpelajar pertama-tama yang pernah kutemui dalam hidupku. Mengagumkan, Jean. Lain kali akan kubawa kau ke sana, berkenalan. Kita akan bawa May Dia akan senang di sana. Sungguh.”
“Jadi dari mana datangnya perasaan akan dibunuh orang ka¬lau bukan dari perbuatan buruk? Kau terpelajar, cobalah berse- tia pada katahati. Kau pun termasuk terpelajar Pribumi perta¬ma-tama. Perbuatan baik dituntut dari kau. Kalau tidak, terpe¬lajar Pribumi sesudahmu akan tumbuh lebih busuk dari kau sendiri.”
“Diam, Jean. Jangan bicara kosong. Aku benar-benar dalam kesulitan.”
“Hanya bayangan sendiri.”
May datang membawa seikat rokok daun jagung dan Jean segera merokok.
“Kau terlalu banyak merokok.”
Ia hanya tertawa.
Pada hari itu orang Prancis ini sungguh tak menyenangkan. Ia tidak benar. Dan diusiknya aku dengan dugaan tidak berdasar. Juga Ayahanda sudah pada awal pertemuan mendakwa. Bunda meragukan diri ini dengan caranya sendiri. Sekarang Jean Ma- rais nampak tak yakin pada kebenaranku: ia menggunakan ukur¬an umum juga akhirnya, menganggap aku telah dikalahkan, terseret oleh yang tak terpuji. Rasanya sudah tak ada guna me¬neruskan pembicaraan.
May aku tuntun kubawa pulang. Dan kami duduk di bangku panjang serambi.
“Mengapa kau tak bersekolah, May?”
“Papa menyuruh aku menungguinya melukis.”
“Lantas apa saja kau kerjakan?”
“Melihat Papa melukis, melihat saja.”
“Tidak bicara apa-apa padamu?”
“Ada tentu. Katanya: semestinya di bawah rumpun bambu itu udara sejuk karena angin terus-menerus bertiup. Hanya kasihan orang yang diinjak Kompeni itu, Oom.”
Dia tidak tahu, yang diinjak itu ibunya sendiri.
“Nyanyi, May!” dan anak itu langsung menyanyikan lagu kesayangannya. “Nyanyi Prancis saja, May. Yang Belanda aku sudah tahu semua.”
“Prancis?” ia mengingat-ingat. Kemudian: “Ran, ran pata plan! Ran, plan, plan,” dari Joli Tambour. “Tak dengarkan sih, Oom ini.”
Mataku mengawasi seorang gendut berkalung sarung sedang duduk di bawah pohon asam di seberang jalan sana, di samping penjual rujak. Ia berpici, tak bersandal apalagi bersepatu, berba¬ju blacu dan bercelana kombor hitam, berikat pinggang lebar dari kulit dengan barisan kantong tebal. Bajunya tak dikancing¬kan. Resam dan kulit dan sipitnya tak dapat menipu aku. Mung¬kin dia calon pembunuhku. Si Gendut! tangan-tangan Robert karena tak berhasil menggunakan Darsam.
Antara sebentar, sambil makan rujak, ia melihat ke arah kami berdua.
“Panggil Papa, May.”
Gadis cilik itu lari. Dan Jean muncul dengan tubuhnya yang jangkung kurus, berpincang-pincang pada tongkat-ketiak meng-hampiri, duduk di sampingku.
“Kira-kira aku tak salah, Jean, itu dia orangnya. Dia ikuti aku sejak dari B. Memang sekarang lain lagi pakaiannya.”
“Stt. Hanya bayanganmu sendiri, Minke,” ia justru memarahi aku.
Tepat pada waktu itu Tuan Telinga datang entah dari mana. Pada tangan satu ia menjinjing kranjang entah apa isinya. Pada tangan lain ia membawa satu meter pipa besi, entah habis dipu¬ngutnya dari mana.
“Daag, Jean, Minke, tumben pada duduk-duduk berdua se¬pagi ini,” sapa Tuan Telinga dalam Melayu.
“Begini,” Jean Marais memulai dan bercerita ia tentang ke-takutanku. Kemudian dengan dagu ia menuding ke arah orang yang aku duga si Gendut.
Pendatang baru itu menaruh kranjang di atas tanah, dan ter¬nyata berisi kedondong muda. Pipa besi tetap dipegangnya. Ma¬tanya liar terarah ke seberang jalan sana.
“Biar aku lihat dari dekat. Ayoh, Minke, kau yang tahu orang¬nya. Barangkali memang dia. Biar aku kemplang kepalanya ka¬lau perlu.”
Beijalanlah aku di belakangnya dan Jean Marais berpincang- pincang mengikuti.
Semakin dekat semakin jelas memang si Gendut. Sekarang pun pasti dia sedang memata-matai aku. Dan ia pura-pura tidak tahu kami semakin mendekat juga. Ia terus menikmati rujaknya, namun jelas matanya melirik-lirik waspada. Pakaian samaran itu memperkuat dugaanku.
“Memang dia, kataku tanpa ragu.”
Telinga mendekatinya dengan sikap mengancam. Dan dengan pipa besi tetap di tangan. Aku sendiri kehilangan sikap. Jean Marais masih berpincang-pincang di belakang kami.
“Hai, Man,” gertaknya dalam Jawa, "kau memata-matai ru-mahku?”
Orang itu pura-pura tak dengar dan meneruskan makannya.
“Kau pura-pura tak dengar, ya?” gertak pensiunan Kompeni itu, sekarang dalam Melayu. Ia rebut pincuk rujak dan melem¬parkannya ke tanah.
Nampaknya si Gendut tidak gentar pada orang Indo. Ia ber¬diri, menyeka tangan yang masih berlumuran sambal pada kulit batang asam, menelan sisa rujak, membungkuk mencuci tangan dalam ember si penjual, baru kemudian bicara, tenang, dalam Jawa Kromo:
“Sahaya tidak memata-matai apa pun dan siapa pun,” ia men¬coba melirik padaku dan tersenyum.
Kurangajar memang! Dia tersenyum padaku. Calon pem- bunuhku itu! Dia tersenyum.
“Pergi dari sini!” bentak Telinga.
Penjual rujak, wanita tua itu, menyingkir ketakutan. Dari kejauhan orang-orang mulai menonton, ingin tahu tentu: ada Pribumi berani hadapi Indo Eropa.
“Sahaya membeli rujak di sini hampir setiap hari, Ndoro Tuwan.”
“Tak pernah aku lihat kau. Pergi! Kalau tidak,” ia ayunkan pipanya.
Dan ternyata si Gendut tidak takut. Ia tidak mengangkat ke¬pala dan hanya tunduk dengan mata waspada:
“Belum pernah ada larangan makan rujak di sini, Ndoro Tu¬wan,” bantahnya.
“Membantah? Tak tahu kau aku Belanda bekas Kompeni?”
Tentu si Gendut ini pendekar. Ia tak takut pada Belanda be¬kas Kompeni. Mungkin jago silat, atau kuntow.
“Biar begitu tidak ada larangan polisi. Pengumuman larangan juga tidak ada, Ndoro Tuwan. Biarkan sahaya duduk-duduk di sini makan rujak. Belanja sahaya pun belum sahaya bayar,” dan ia bersiap hendak duduk lagi.
Termasuk aku menjadi curiga mendengar orang itu menye¬but larangan. Jelas dia tahu peraturan. Semestinya Telinga ber¬buat lebih hati-hati.Tetapi bekas serdadu yang hanya dapat ber¬pikir dengan kekerasan itu telah melayangkan tangan, menem¬peleng. Dan si Gendut menangkis, dan tidak balas menyerang.
“Sudah, sudah,” Jean Marais mencoba menengahi.
“Jangan teruskan, Ndoro Tuwan,” pinta si Gendut.
Telinga naik pitam ada orang berani menantang diri dan pe-rintahnya. Ia sudah tak hiraukan lagi duduk-perkara. Gengsinya sebagai Indo bekas serdadu terluka. Dengan tangan-kanannya ia ayunkan pukulan maut pada kepala si Gendut. Dan pembang¬kang itu mengelak tenang. Telinga terhuyung ke depan oleh ayunan sendiri yang luput. Sebenarnya Gendut dapat memasuk¬kan tinju pada iga-iga lawannya, tapi ia tak lakukan. Elakan demi elakan membikin Telinga semakin kalap dan terus menegang. Si Gendut mundur-mundur kemudian lari. Telinga mengejar. Gendut menghilang ke dalam gang sempit yang menjadi tempat penimbunan sampah.
“Telinga gila!” gerutu Jean Marais, “lagaknya seperti masih Kompeni.”
Yang digerutui masih terus memburu, juga hilang ke dalam gang.
“Buat apa semua ini? Mari pulang, Minke. Kaulah biangkela- di,” ia menyalahkan aku.
Ia menolak aku papah. May dan Mevrouw Telinga gopoh- gapah menyambut dan menanyakan apa sedang terjadi. Tak ada yang menerangkan. Kami pun duduk menunggu kedatangan si berangsang. Dengan gelisah tentu.
Sepuluh menit kemudian Tuan Telinga muncul, bermandi keringat, muka kemerahan dan nafas sengal-sengal. Ia rubuhkan diri di kursi malas dari kain tenda.
“Jan,” tegur istrinya, “bagaimana kau ini? Lupa kau kalau invalid? Cari-cari musuh. Apa kau kira kau masih muda?” ia dekati suaminya, merampas pipa besi dari tangannya, dan mem¬bawanya ke dalam.
Tuan Telinga tak bicara. Dan seakan sudah tegadi persetujuan rahasia antara kami. Tak ada yang lebih menyesal dari diriku. Dalam hati aku bersyukur tidak terjadi sesuatu drama. Juga merasa beruntung tak pernah menyampaikan cerita Darsam. Benar-benar aku bisa jadi biangkeladi.
“Tuanmuda masih sakit,” seru Mevronw dari dalam, “jangan duduk berangin-angin. Tidur lebih baik. Sebentar lagi makan siap.”
“Pulang saja kau, May,” perintah Jean, dan May pulang.
Kami bertiga duduk diam-diam sampai Telinga mendapatkan nafasnya kembali.
“Lupakan saja peristiwa tadi,” aku mengusulkan. Uh, kalau sampai jatuh ke tangan polisi, dan berlarut. Uh, benar-benar aku biangkeladi memalukan. “Kepalaku pening lagi, Jean. Maafkan Tuan Telinga, Jean....”
Di dalam kamar aku semakin yakin: memang si Gendut se¬dang memata-matai aku. Jelas dia tangan-tangan Robert. Ceri¬ta Darsam harus kuterima bukan sebagai omongkosong. Hati-hati kau, diri!
Untuk pertama kali pintu kukunci dari dalam pada sianghari begini. Juga jendela. Sebatang tongkat kayu keras bekas tangkai pel lantai kusediakan di pojok. Setiap waktu akan dapat kuraih. Setidak-tidaknya, sekali pun masih tingkat kias kambing, aku pun pernah belajar beladiri di T. dulu.
Sebagai terpelajar kenyataan ini harus kuterima: ada seseorang menginginkan nyawaku, dan melapor pada Polisi tidak mung¬kin. Tidak bijaksana menyulitkan Nyai, Annelies, Ayah yang baru diangkat jadi bupati, dan terutama Bunda. Semua harus dihadapi dengan diam-diam, tapi waspada.
Empat hari lamanya peningku belum juga hilang. Memang kurang tidur. Dan setiap pagi susu kiriman terus juga datang.
Tetap tak ada berita dari Darsam
Rasanya sudah terlalu lama aku tak masuk kias. Dokter mem¬beri sertifikat untuk tiga minggu. Buah palakia dalam kepala tumbuh jadi pohon tanpa seijin diriku sebagai pemilik tunggal dan syah. Betul kau, pohon palakia dalam kepala, memang aku harus lupakan Nyai dan Annelies. Hubungan harus putus! Tak ada guna. Hanya kesulitan saja buahnya.Tanpa mengenal keluar¬ga seram dan aneh itu pun hidupku tidak merugi, tidak kena kusta. Aku harus sembuh. Cari order seperti sediakala. Menulis untuk koran. Menamatkan sekolah sebagai diharapkan banyak orang. Bagaimana pun aku masih suka bersekolah. Bergaul se¬cara terbuka dengan semua teman. Bebas. Menerima ilmu baru yang tiada kan habisnya. Dan: menampung segala dari bumi manusia ini, dulu, sekarang dan yang akan datang. Pada akhir bulan mendatang Juffrouw Magda Peters akan membuka disku¬si, menyuluhi bumi manusia dari segala seginya yang mungkin. Dan aku sakit begini.
Liburan darurat sia-sia. Segumpal waktu yang padat dengan ketegangan. Kadang terpikir: sudah perlukah diri semuda ini dibuntingi ketegangan intensif macam ini? Kadang aku jawab sendiri: belum perlu. Juffrouw Magda pernah bercerita tentang pengarang Multatuli dan sahabatnya, penyair-wartawan Roorda van Eysinga’: mereka hidup dalam ketegangan intensif karena kepercayaan dan perjuangan intensif dan pribadi, untuk meri¬ngankan nasib bangsa-bangsa Hindia. Penindasan serba-Eropa dan serba-Pribumi sekaligus! Dalam pembuangan, untuk bang¬sa-bangsa Hindia yang tidak mengenal sesuatu tentang dunia, Minke, tanpa sahabat datang menengok, tanpa tangan terulur memberikan bantuan. Baca syair Roorda van Eysinga, meng¬gunakan nama Sentot, Hari Terakhir Ollanda di Jawa    itu. Setiap katanya padat dengan ketegangan dari satu individu yang berseru-seru memperingatkan.
Multatuli dan van Eysinga mengalami ketegangan intensif karena perbuatan besar. Dan ketegangan yang menyiksa aku sekarang? Hanya salah-tingkah seorang philogynik. Aku harus lepaskan Annelies. Harus dan harus bisa. Dan hati ini tak juga mau diyakinkan. Dara secantik itu! Dan Nyai — pribadi menga¬gumkan dan mengesankan itu — seorang ratu pemilik dayasihir. Ya-ya: sĆ¼ka tak kurang puji, benci tak kurang cela.
Lambat-lambat tapi pasti aku mulai mengerti: segala ketegang¬an ini hanya akibat keogahan membayar karcis untuk memasuki dunia kesenangan, dunia di mana impian jadi kenyataan. Mul- tatuli dan van Eysinga hanya membayar karcis. Mereka tak menghendaki sesuatu untuk diri sendiri. Apa arti tulisanku dibandingkan dengan karya mereka? Dan aku mengharapkan dan bernafsu mendapatkan segala untuk diri sendiri. Me¬malukan.
Ya, harus kulepaskan Annelies. Adieu, ma belle! Selamat ber-pisah, impian, untuk takkan bertemu kembali, kapan dan di mana pun. Ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya ke¬cantikan seorang dara dan kewibawaan seorang nyai. Tak ada guna mati tanpa arti. Dan nyawaku dan tubuhku modal utama dan satu-satunya.
Keputusan itu memerosotkan sang pening. Biar pun tidak sekaligus. Memang begitu hukum penyakit: datang mendadak, pergi bermalas. Buah palakia itu berhenti menjalarkan akar dan semian. Kemudian pun menjadi mati hanya karena datangnya sepucuk surat: dari Miriam de la Croix. Tulisannya lembut dan kecil-kecil, rapi.
Tulisnya:
Sahabat,
Tentu kau sudah sampai di Surabaya dengan selamat. Kunan¬tikan beritamu tapi tak juga kunjung tiba. Jadi aku yang mengalah.
Jangan kau heran, Papa mempunyai perhatian besar terhadap¬mu. Sampai dua kali ia bertanya, ada atau belum surat dari kau. Papa ingin sekali mengetahui kemajuanmu. Sungguh ia terke¬san oleh sikapmu. Kau, katanya, orang Jawa dari jenis lain, ter¬buat dari bahan lain, seorang pemula dan pembaru sekaligus.
Dengan senanghati aku tulis surat ini, malah merasa menda¬pat kehormatan dapat menyampaikan pendapat Papa. Mir, Sa- rah, katanya lagi pada kami, begitu kiranya wajah Jawa nanti yang terasuki peradaban kita, tidak lagi melata seperti cacing kena matari. Maaf, Minke, kalau Papa menggunakan perban¬dingan sekasar itu. Ia tidak bermaksud menghina. Kau tak ma¬rah, bukan? Jangan, jangan marah, sahabat. Tak ada pikiran ja¬hat pada Papa mau pun kami berdua terhadap Pribumi apalagi terhadap pribadimu.
Papa merasa iba melihat bangsa Jawa yang sudah sedemikian dalam kejatuhannya. Dengarkan kata Papa lagi, sekali pun tetap menggunakan perbandingan kasar tsb.:Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini? Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derajad mereka kembali. Kau dapat mengikuti aku, sahabat? Jangan terburu gusar sebelum memahami, pintaku.
Tidak semua orang Eropa peserta dan penyebab kejatuhan bangsamu. Papa, misalnya, sekali pun seorang assisten residen, tidak termasuk golongan itu. Memang ia tidak bisa berbuat apa- apa sebagaimana halnya aku atau pun Sarah, sekali pun, ya, sekali pun ingin sekali kami mengulurkan tangan. Kami hanya men¬duga tahu apa mesti kami lakukan. Kau sendiri suka pada Mul- tatuli, bukan? Nah, pengarang yang diagungkan oleh kaum radikal itu memang sudah sangat berjasa pada bangsamu. Ya, Multatuli, di samping Domine Baron von Hdevell itu, dan se¬orang lagi, yang barangkali saja gurumu lupa menyampaikan, yakni Roorda van Eysinga. Hanya saja mereka tidak pernah bi¬cara pada bangsamu, cuma pada sebangsanya sendiri, yakni Be¬landa. Mereka minta perhatian pada Eropa agar memperlakukan bangsamu secara patut.
Sahabat,
Segala apa yang telah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19 ini sudah termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri yang harus berbuat se¬suatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dulu kita bicara 
tentang usaha Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan. Sarjana tsb. menempati kedudukan terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami memuji assosiasi yang jus¬tru kau tertawakan itu. Jadi mengertilah, sahabat, mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah Papa dan kami berdua menemui orang Jawa seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Eropa, telah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Eropa menginjakkan kaki di bumi kelahiranmu.
Di malam sunyi dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak lelah, sukalah kami mendengarkan urai¬annya tentang nasib bangsamu, yang pernah melahirkan beratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang pun pernah memenangkan perang. Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jengkel dengan kelakuan para pembesarmu yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda kekroposan watak dan jiwanya. Pahlawan-pahlawanmu, dalam cerita Papa, bermunculan dari latarbelakang penjualan konsessi, begitu terus-menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu hanya ulangan dari yang sudah-sudah, semakin lama semakin kecil dan semakin kerdil. Dan begitulah, kata Papa, suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan hartabenda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.
Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena mereka tak mengerti tentang kodratnya. Bangsa be¬sar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat ke¬pala dari permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa mempe¬rosokkan kembali kepalanya ke bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat ke¬agungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri.
Menurut Papa, kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Se¬mua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Me¬lawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
Maka Papa menyetujui assosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk Pribumi. Ia mengharapkan, juga kami berdua, kau kelak duduk setingkat dengan orang Eropa, bersama-sama memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri sudah mulai. Pasti kau bisa memahami maksud kami. Kami sangat mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar seorang ayah, juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan me¬mahami dunia, seorang sahabat yang masak dan berisi, seorang administrator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh- kesah bawahan.
Mari aku ceritai kau tentang kata-katanya setelah kau pulang dari kunjunganmu yang pertama. Kau sendiri pergi dengan hati mangkel atau sebal, bukan? Kami dapat mengerti, karena kau belum mengerti maksud kami. Papa memang sengaja mening¬galkan kau, agar kau bisa bicara bebas dengan kami.Tapi sayang, kau bersikap begitu kaku dan tegang. Begitu kau pergi Papa menanyakan pendapat kami tentang kau. Pada akhirnya Minke marah Sarah melaporkan, Doktor Snouck Hurgronje dan asso- siasinya sudah tiga ratus tahun ketinggalan, jadi tepat seperti kau katakan. Papa terkejut dan terpaksa mendengarkan keterangan lebih jauh dari aku. Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan hargadiri sebagai pribadi mau pun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bila berada di antara mereka sendiri. Begitu di dekat seorang Eropa, seorang saja, sudah melata, bahkan meng¬angkat pandang pun tak ada keberanian lagi. Aku setuju dengan pujian untukmu. Selamatlah untukmu, sahabat.
Kemudian, sahabat, dari gedung wayang-orang mulai terde¬ngar suara gamelan. Sudah lebih dua tahun ini Papa menyuruh kami memperhatikan musik menurut pengucapan bangsamu itu. Kalian memang sudah lama belajar mendengarkan dan mungkin sudah bisa menikmatinya, katanya lagi. Perhatikan, semua nada bercurahan rancak menuju dan menunggu bunyi gung. Begitu dalam musik Jawa, tetapi tidak begitu dalam kehidupannya yang nyata, karena bangsa yang mengibakan ini dalam kehidupannya tak juga mendapatkan gungnya, seorang pemimpin, pemikir, yang bisa memberikan kataputus.
Sahabat, aku minta dengan amat sangat kau sudi memahami ucapan yang takkan kau dapatkan dari siapa pun kecuali ayahku itu, juga tidak dari saijana besar Snouck Hurgronje. Maka kami bangga punya ayah seperti dia. Papa yakin, kau suka pada gamelan, lebih daripada musik Eropa, karena kau dilahirkan dan dibesarkan — dalam ayunan gamelanmu yang agung itu.
Minke, sahabatku, di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini? Kaulah itu bakalnya? Gung yang agung itu? Bolehkah kami berdoa untukmu?
Dengarkan gamelan itu, kata Papa lagi. Begitulah berabad- abad belakangan ini. Dan gung kehidupan Jawa tak juga tiba. Gamelan itu lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias — merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menterjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar- putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran, membawa orang ke alam lesu yang menye¬satkan, tidak ada pribadi. Itu tanggapan dari seorang Eropa, sa¬habat. Satu orang Jawa pun takkan punya tanggapan demikian. Kata Papa lagi: kalau dalam dua puluh tahun mendatang dia masih tetap begitu, tanpa perubahan, itulah tanda bangsa ini masih tetap tak mendapatkan Messias-nya.
Aduh, sahabat, bagaimana gerangan wajah bangsamu yang mengibakan sekarang ini pada dua puluh tahun mendatang? Pada suatu kali kelak kami akan pulang ke Nederland. Aku akan ber¬gerak di lapangan politik, Minke. Cuma sayang sekali Neder¬land belum membenarkan seorang wanita jadi anggota Tweede Kamer . Aku punya impian, sahabat, sekiranya kelak sudah tidak demikian lagi, dan aku menjadi Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, aku akan banyak bicara tentang negeri dan bangsamu. Kalau aku datang ke Jawa pertama-tama akan kude¬ngarkan kembali gamelanmu, gamelan yang indah dalam kesa¬tuan bunyi tiada duanya itu. Kalau temanya tetap saja, suatu dambaan tanpa usaha itu, berarti belum ada Messias datang atau dilahirkan. Artinya juga: kau belum muncul jadi gung, atau me¬mang tiada seorang Jawa pun akan muncul, hanya akan tengge¬lam terus dalam curahan nada-nada ulangan dan lingkaran se-tan. Kalau ada teijadi perubahan, aku akan cari kau, khusus un¬tuk mengulurkan tangan hormat padamu.
Sahabat, dua puluh tahun! itu terlalu amat lama dalam jaman yang menderap berlumba ini, juga cukup panjang biar pun di¬lihat dari hidup seseorang. Nah, sahabatku Minke, inilah surat pertama yang kau terima dari sahabatmu yang tulus dan berpeng¬harapan baik: Miriam de la Croix.
Waktu aku lipat surat itu kuketahui airmataku telah mening¬galkan bercak biru di sana-sini, melelehkan tinta. Mengapa aku menangis membaca surat seorang gadis yang baru dua kali kute¬mui dalam hidupku? bukan sanak bukan saudara, bahkan bukan sebangsa? Dia berpengharapan atas diriku. Dan diri ini — justru sedang kacau karena salah-tingkah sendiri. Dia menghendaki aku berharga bagi bangsaku sendiri, bukan bangsanya. Benarkah ada Multatuli dan van Eysinga gaya baru?
Bagaimana harus menjawab surat seindah ini? sedang aku sudah merasa diri seorang pengarang pula? telah dipuji Tuan Maarten Nijman, Kepala Redaksi S.N.v/d D? Aku merasa kecil untuk dapat mengimbangi pikiran Miriam. Namun kupaksa juga menulis jawaban. Terimakasih, dan tak lebih dari terimakasih dalam curahan kata begitu banyak, barangkali juga seperti curah¬an nada-nada Jawa yang rancak menuju dan menunggu gung. Di dalamnya kunyatakan keherananku, betapa Multatuli dan van Eysinga yang baru saja kukenang-kenang ternyata disebut dalam suratnya. Mungkin, tulisku, karena kita hidup dalam arus jaman liberal yang sama, arus jaman yang sama, dengan:
Miriam yang baik, beruntung aku mendapatkan seorang sa¬habat pada dirimu. Aku tak tahu apa akan teijadi pada dua pu¬luh tahun mendatang. Aku sendiri tak pernah punya perasaan akan menjadi gung. Menjadi gendang pun tak pernah terimpi¬kan, tak pernah terpikirkan, mungkin takkan terpikirkan seki¬ranya tak datang suratmu yang indah mengharukan itu. Lebih- lebih lagi karena datangnya bukan dari sebangsaku sendiri. Da¬mai dan sejahtera untukmu, Miriamku yang tulus. Semoga jadi¬lah kelak seorang Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer.
Kutelungkupkan muka pada meja. Surat Miriam kuresapkan mencoba untuk takkan melupakan seumur hidup. Persahabatan ternyata indah. Dan peningku merosot dan merosot, kemudian lenyap sama sekali, entah ke mana. Miriam, kau bukan sekedar mengirimkan surat. Lebih dari itu: ajimat pelenyap tegang. Kalau saja kau tahu: mendadak kini aku merasa berani, dan dunia jadi lebih terang dan gemilang. Jadilah gung! terdengar bergaung- gaung.
“Tuanmuda!”
Kuangkat kepala. Melihat orang di depanku sekaligus palakia dalam kepala kembali menjalarkan akar dan semian. Lebih ber-semangat. Dia: Darsam!
“Maaf, Tuanmuda. Nampaknya sangat terkejut, sampai begi¬tu pucat.”
Aku mencoba tersenyum, mata melirik pada parang dan ta¬ngannya. Ia sendiri tertawa ramah sambil membelai kumis.
“Tuanmuda curiga padaku,” katanya, “padahal Darsam ini sahabat Tuanmuda.”
“Jadi ada apa?” tanyaku pura-pura tak tahu sesuatu.
“Surat dari Nyai. Noni sakit keras.”
Aku terbeliak. Ia masih juga berdiri di seberang meja. Di-ulurkannya surat itu. Kubaca sambil antara sebentar melirik pada parang dan tangannya. Benar, Annelies sakit keras dalam pera¬watan Dokter Martinet. Nyai telah menceritakan asal-muasal sakitnya, dan minta dengan amat sangat, bukan sekedar mengan¬jurkan seperti dulu, agar aku segera datang sesuai dengan nasi¬hat dokter. Kata Dokter Martinet, tanpa kehadiranku Annelies tak punya harapan sembuh, boleh jadi akan semakin melarut.
“Mari, Tuanmuda, ke Wonokromo, sekarang juga.”
Kepalaku mendenyut seperti hendak pecah. Tegakku meliuk. Segera kuraih ujung meja. Kutatap pendekar itu dengan pandang goyang. Darsam menangkap bahuku.
“Jangan kuatir. Sinyo Robert tidak bakal bisa ganggu. Dar¬sam masih tegak berdiri. Mari.”
Miriam de la Croix lenyap, meruap, hilang dari peredaran. Kekuatan sihir dari Wonokromo menguasai segala. Dalam pa¬pahan Darsam kaki ini membawa diriku ke bendi yang telah menunggu.
“Tidak minta diri dari orang rumah?”
Langkahku terhenti. Kupanggil-panggil Mevrouw Telinga, pamit hendak pergi. Ia berdiri di pintu dan nampak tak ber- senanghati.
“Jangan lama-lama, Tuanmuda,” pesannya. “Kesehatanmu.” “Tuanmuda akan segera baik di Wonokromo,” jawab Darsam. Takut pada permunculannya yang seram Mevrouw tak me¬nambahi kata-katanya.
“Mana barang-barangnya, Tuanmuda?”
Aku tak menjawab.
Dan tak tahulah aku apa dalam peijalanan di atas bendi itu aku pingsan atau tidak.Yang kuketahui: hanya karena ajakan Robert Suurhof semua ini teijadi, melibatkan banyak orang dan mene-gangkan hidupku yang semuda ini. Sedang yang kudengar hanya satu suara, satu kalimat, keluar dari mulut pendekar Madura itu:
“Bendi dan kuda ini milik Tuanmuda sejak sekarang.”

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02