Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 02

EHIDUPAN BERJALAN SEPERTI BIASA. HANYA AKU YANG mungkin berubah. Boerderij Buitenzorg di Wonokromo sana rasanya terus juga memanggil-manggil, setiap hari, setiap jam. Apa aku terkena guna-guna? Banyak gadis Ero¬pa,Totok dan Indo yang aku kenal. Mengapa Annelies juga yang terbayang? Dan mengapa suara Nyai tak mau pergi dari kuping batinku? Minke, Sinyo Minke, kapan kau datang?
Pikiranku kacau.
Setiap pagi aku berangkat ke sekolah membawa May Marais. Aku gandeng gadis kecil itu sampai ke sekolahannya di E.L.S. Simpang. Kemudian aku berjalan kaki sendirian menuju ke sekolahanku di Jalan H.B.S. Setiap kusir kereta di hadapanku kuperhatikan, jangan-jangan Darsamlah dia. Dan bila kereta hendak melewati aku dari belakang kuperlukan menengok. Seakan aku mempunyai kepentingan dengan semua kereta yang lewat.
Juga di dalam kias Annelies terus-menerus muncul. Dan lagi-lagi suara Nyai: kapan kau datang? dia telah berdandan untukmu. Kapan kau datang?
Robert Suurhof tak pernah mengganggu aku dengan per¬soalan Wonokromo. Ia selalu menghindari aku. Ia enggan me¬lunasi janjinya untuk menghormati aku bila aku berhasil. Dan 
aku sendiri merasa seperti sedang hidup dalam selubung kelabu. Semua tidak jelas, dan perasaan tidak menentu. Semua teman sekolahku, Eropa Totok atau pun Indo, laki dan perempuan, rasanya sudah berubah semua. Dan mereka pun melihat peru¬bahan pada diriku. Ya, aku telah kehilangan kelincahan dan keramahanku.
Pulang dari sekolah aku langsung memasuki bengkel Jean Marais. Kulihat para tukang baru memulai kerja sore.Jean sendiri seperti biasa sedang tenggelam dalam lukisan, sketsa atau ran-cangan yang sedang disiapkan. Hari ini aku tiada pulang dulu ke pemondokan. Juga tidak pergi ke pelabuhan. Juga tidak ke kan¬tor koranlelang untuk membikin teks iklan. Menulis sesuatu untuk koran umum pun aku tiada bernafsu. Juga tak timbul niat pergi ke rumah para kenalan untuk menawar-nawarkan perabot atau mencari order lukisan potret.
Tidak, tak ada hasrat padaku untuk mengeijakan sesuatu. Maunya badan ini bergolek-golek di ranjang dengan menge¬nangkan Annelies. Hanya Annelies, dara kebocah-bocahan itu.
Di rumah, Mevrouw Telinga tak jemu-jemu minta diceritai tentang kunjunganku ke Boerderij Buitenzorg, untuk kemudian memperdengarkan ejekannya yang kasar dan itu-itu juga: “Tuan- muda, Tuanmuda, tentu Tuanmuda menghendaki anaknya; tapi ibunya juga yang lebih bernafsu! Semua orang memang memuji- muji kecantikan anaknya. Tak ada yang berani datang ke sana. Beruntung benar Tuanmuda ini. Tapi ingat-ingat, salah-salah Tuanmuda diterkam oleh si Nyai!”
Bukan hanya Mevrouw Telinga atau aku, rasanya siapa pun tahu, begitulah tingkat susila keluarga nyai-nyai: rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya pada soal-soal berahi se¬mata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi, dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas. Tapi Nyai Ontosoroh ini, dapatkah dia dikenakan pada anggapan umum ini? Justru itu yang membikin aku bimbang. Tidak bisa! Atau aku seorang yang memang kurang periksa? Boleh jadi memang aku seorang yang tak mau tahu. Semua lapisan kehi¬dupan menghukum keluarga nyai-nyai; juga semua bangsa: Pribumi, Eropa, Tionghoa, Arab. Masakan aku seorang akan bilang tidak? Perintahnya padaku untuk mencium Annelies, kan itu juga pertanda rendahnya tingkat susila? Mungkin. Namun ejekan MevrouwTelinga terasa menyinggung per dalam hatiku. Tentu, mungkin karena aku punya impian yang bukan-bukan. Dalam beberapa hari ini telah aku coba yakinkan diriku: apa yang terjadi antara diriku dengan Annelies hanyalah suatu keja¬dian umum dalam kehidupan muda-mudi; terjadi dalam keluar¬ga apa pun: raja, pedagang, pemimpin agama, petani, pekerja, bahkan juga di kahyangan para dewa. Benar. Tapi ada telunjuk gaib yang menuding: soalnya kaulah yang berusaha membenar¬kan impianmu sendiri.
Begitulah sore itu aku terpaksa bertanya pada Jean Marais. Suatu percakapan bersungguh-sungguh dengannya belum bisa diharapkan, sekali pun bahasa Melayunya semakin hari semakin baik juga. Dia tak tahu Belanda. Itu sulitnya. Bahasa Melayunya terbatas. Bahasa Prancisku sangat payah. Ia setengah mati meno¬lak belajar Belanda, sekali pun lebih empat tahun jadi serdadu Kompeni, berperang di Aceh. Bahasa Belanda yang diketahui¬nya terbatas pada aba-aba militer.
Tapi dia sahabatku yang lebih tua, kompanyon dalam berusa¬ha. Sudah sepatutnya aku bertanya padanya.
Para tukang di bengkel sedang merampungkan perabot kamar yang dipesan dengan nama Ah Tjong. Mungkin yang punya rumah-plesiran tetangga Nyai Ontosoroh. Hanya karena pesan¬an itu bergaya Eropa orang Tionghoa tidak memesan pada se- bangsanya sendiri. Kuterima order itu melalui orang lain.
Jean sedang memainkan pensil membikin sketsa untuk lukisan yang akan datang.
“Aku hendak mengganggumu, Jean,” kataku dan duduk di kursi pada meja-gambarnya. Ia mengangkat muka memandangi aku. “Tahu kau artinya sihir?”
Ia menggeleng.
“Guna-guna?” tanyaku.
“Tahu - sejauh pernah kudengar. Orang-orang Zanggi biasa lakukan itu, kata orang. Itu pun kalau pendengaranku benar.”
Mulai, kuceritakan padanya tentang keadaanku yang serba ter- sihir. Juga pendapat umum tentang keluarga nyai-nyai pada umumnya, dan keluarga Nyai Ontosoroh khususnya.
Ia letakkan pensilnya di atas kertas gambar, menatap aku, mencoba menangkap dan memahami setiap kataku. Kemudian, tenang dan campur-aduk dalam beberapa bahasa:
“Kau dalam kesulitan, Minke. Kau jatuh cinta.”
“Tidak, Jean. Tak pernah aku jatuh cinta. Memang dara itu sangat menarik, menawan, tapi jatuh cinta aku tidak.”
“Aku mengerti. Kau dalam kesulitan, itu parahnya kalau orang tak dapat dikatakan jatuh cinta. Dengar, Minke, darahmudamu ingin memiliki dia untuk dirimu sendiri, dan kau takut pada pendapat umum.” Lambat-lambat ia tertawa. “Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti ter¬pelajar itu. Datanglah kau padanya barang dua-tiga kali lagi, nanti kau akan dapat lebih mengetahui benar-tidaknya pendapat umum itu.”
“Jadi kau anjurkan aku datang lagi ke sana?”
“Aku anjurkan kau menguji benar-tidaknya pendapat umum itu. Ikut dengan pendapat umum yang salah juga salah. Kau akan ikut mengadili satu keluarga yang mungkin lebih baik daripada hakimnya sendiri.”
“Jean, kau memang sahabatku. Aku kira kau akan adili aku.” “Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk-perkara.” “Jean, aku diminta tinggal di sana.”
“Datanglah ke sana. Hanya jangan lupa kau pada pelajaran¬mu. Kau tak begitu perlu mencari order baru. Lihat, masih ada lima potret yang harus diselesaikan. Dan ini,” ia menepuk ker¬tas sketsa, “Aku hendak melukis sesuatu yang sudah lama aku inginkan.”
Aku tarik kertas sketsa di hadapannya. Gambar itu membikin aku lupa pada persoalanku. Seorang serdadu Kompeni, nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayo¬net pada dada kurbannya. Dan bayonet itu menekan baju hitam kurbannya, dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh teijurai di atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri men¬coba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas mereka berdua memayungi rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angin kencang. Di selu¬ruh alam ini seakan hanya mereka berdua saja yang hidup: yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh.
“Kejam sekali, Jean.”
“Ya,” ia mendeham, kemudian menghisap rokoknya.
“Kau suka bicara tentang keindahan, Jean. Di mana keindah¬an suatu kekejaman, Jean?”
“Tidak sederhana keterangannya, Minke. Gambar ini bersifat sangat pribadi, bukan untuk umum. Keindahannya ada di dalam kenang-kenangan.”
“Jadi kaulah serdadu ini, Jean? Kau sendiri?”
“Aku sendiri, Minke,” ia mengangkat muka.
“Telah kau lakukan kebiadaban ini?” ia menggeleng. “Kau pembunuh wanita muda ini?” ia menggeleng lagi. “Jadi kau le-paskan dia?” ia mengangguk.“Dia akan berterimakasih padamu.”
“Tidak, Minke, dia yang minta dibunuh - gadis Aceh kelahir¬an pantai ini. Dia malu telah terjamah oleh kafir.”
“Tapi kau tak bunuh dia.”
“Tidak, Minke, tidak,” jawabuya lesu, dan seakan tidak ditu-jukan padaku, tapi pada masa lalunya sendiri yang telah jauh tak terjangkau lagi.
“Di mana perempuan itu sekarang?” tanyaku mendesak.
“Mati, Minke,” jawabnya berdukacita.
“Jadi kau sudah membunuhnya. Seorang wanita muda tidak berdaya “
“Tidak, bukan aku. Adiknya lelaki menyusup ke dalam tang¬si, menikamnya dengan rencong dari samping. Dia mati seketi¬ka. Rencong itu beracun. Pembunuh itu sendiri terbunuh di bawah pekikan sendiri: mampus kafir, pengikut kafir!
“Mengapa adiknya menikamnya?” Sudah lupa sama sekali aku pada kesulitanku pribadi.
“Adiknya tetap beijuang untuk negerinya, untuk kepercayaan-nya. Kakaknya ini tidak setelah dia menyerah. Dia mati tanpa saksi, Minke. Waktu itu anaknya sedang diajak jalan-jalan oleh tetangga. Suaminya sedang pergi bertugas.”
“Jadi perempuan ini kemudian hidup dalam tangsi Kompeni? Jadi tawanan? Jadi tawanan sampai beranak?”
“Tadinya jadi tawanan. Kemudian tidak,” jawabnya cepat.
“Jadi dia lantas kawin dengan seseorang?”
“Tidak. Dia tidak kawin.”
“Dan anak yang diajak jalan-jalan oleh tetangga itu, dari mana asalnya?”
“Anak itu bayi yang diberikannya padaku, anakku sendiri Minke.”
“Jean!”
“Ya, Minke, jangan sampaikan pada May cerita ini.”
Mendadak saja aku jadi perasa. Aku lari mencari May yang sedang tidur dengan aman di atas ambin kayu tanpa seprai ang¬kat dia dan kuciumi. Ia terkejut, membelalak melihat padaku. Ia tak berkata sesuatu pun.
“May! May!” seruku sentimentil. Aku gendong dia keluar mendapatkan Jean Marais kembali. “Jean, inilah anakmu. Inilah bayi itu, Jean. Kau tidak bohongi aku, Jean? Kau bohongi aku, kan?”
Orang Prancis yang sedang bertompang dagu itu memandang jauh keluar rumah. Ia tak mau mengulangi ceritanya. Ia tak mau menjawab.
Betapa mengibakan nasib gadis kecil ini, juga ibunya, lebih- lebih sahabatku Jean Marais sendiri - di negeri asing, tanpa haridepan, kehilangan sebelah kaki pula. Ia sering bercerita sa¬ngat mencintai istrinya. Dan anak ini adalah anak tunggal — kini tanpa ibu untuk selama-lamanya, hanya punya seorang ayah berkaki satu.
“Itu sebabnya kau anjurkan aku datang lagi ke Wonokromo?” tanyaku.
“Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini,” katanya murung dan diambilnya May dari gendonganku, kemudian dipangkunya.
Gadis itu mencium pipi ayahnya yang tiada bercukur. Dan Jean meneruskan bicaranya dalam Prancis pada anaknya:
“Kau terlalu lama tidur, May.”
“Akan jalan-jalan kita, Papa?” tanya May dalam Prancis.
“Ya, mandilah dulu.”
May berlonjak-lonjakan riang pergi mendapatkan pengasuh¬nya. Kupandangi si gadis kecil yang tak pernah mengenal ibu¬nya itu.
“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.”
“Tentang diriku, Jean, belum tentu aku mencintai gadis Wonokromo itu. Bagaimana kau tahu kau mencintai ibu May?”
“Barangkah kau tidak atau belum mencintai gadis itu. Bukan aku yang menentukan. Lagi pula tak ada cinta muncul men¬dadak, karena dia adalah anak kebudayaan, bukan batu dari la¬ngit. Setidak-tidaknya bukan aku yang menentukan, yang men¬jalani sendiri. Kau harus uji dirimu, hatimu sendiri. Boleh jadi gadis itu suka padamu. Ibunya jelas sayang padamu sejauh sudah kau ceritakan. Sudah sayang pada perkenalan pertama. Aku tak percaya pada guna-guna. Barangkah memang ada, tapi aku tak perlu mempercayainya, karena itu hanya bisa berlaku dalam ke¬hidupan yang masih terlalu sederhana tingkat peradabannya. Apalagi kau sudah bilang, Nyai melakukan segala pekerjaan kan¬tor. Orang begitu tidak akan bermain guna-guna. Dia akan le¬bih percaya pada kekuatan pribadi. Hanya orang tidak berpri¬badi bermain sihir, bermain dukun. Nyai itu tahu apa yang diperlukannya. Barangkali dia mengenal kesunyian hidup anaknya.
“Ceritai aku tentang ibu May,” kataku mengelak.“Tentu luar- biasa, dari seorang yang hendak kau bunuh jadi seorang yang kau cintai. Ayoh, Jean.”
“Lain kali sajalah. Hatiku belum lagi bersuasana cerita. Coba lihat sketsa ini saja. Bagaimana pendapatmu?”
“Aku tak tahu soal-soal beginian, Jean.”
“Kau pemuda terpelajar. Sepatutnya mulai Belajar mengertU’ “Hatiku belum lagi bersuasana untuk belajar mengerti, Jean.” “Baiklah. Kau mau mengajak jalan-jalan May sore ini, kan?” “Kau tak pernah membawanya!” tuduhku menyesali. “Dia ingin beijalan-jalan denganmu.”
“Belum bisa, Minke. Kasihan dia. Orang akan menonton kami berdua. Pada suatu kali dia akan dengar mereka bilang: Lihat Belanda buntung pincang dengan anaknya itu! Jangan, Minke. Jiwa semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacat ayahnya sendiri. Dia hendaknya tetap mencintai aku dan memandang aku sebagai ayahnya yang men¬cintainya, tanpa melalui suara dan pandang orang lain.”
Tak pernah ia bicara sebanyak itu. Juga tak pernah semurung itu. Apa sebenarnya sedang teijadi dalam dirinya? Boleh jadi ia rindu pada masalalu yang telah hilang tak tergapai lagi? Atau pada negeri di mana ia pernah dilahirkan, dibesarkan dan untuk per¬tama kali melihat matari? Tapi tak berani pulang karena cacat, punya anak kelahiran negeri lain? Atau merindukan satu karya yang akan membikin negerinya menyambutnya dengan segala kebesaran sebagai pelukis?
“Kau tak pernah setuju dengan perasaan kasihan, Jean,” aku menegur.
“Kau benar, Minke. Pernah kuceritai kau, kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang ter¬puji memang dia yang mampu melakukan kemauan-baiknya. Aku tak punya kemampuan, Minke. Makin lama kurenungkan, kata itu sangat indah terasa di Hindia ini, tidak di Eropa.”
Nada suaranya semakin murung juga.
“Itu bukan pribadi seorangJean Marais,” tegurku. “Aku kuatir kau mulai menjadi bukan dirimu sendiri lagi, Jean.”
“Terimakasih atas perhatianmu, Minke. Aku lihat kau se¬makin hari semakin cerdas.”
“Terimakasih, Jean. Aku harap kau jangan semurung itu. Kau masih punya sahabat - aku.”
May datang. Mengetahui ayahnya tak ikut berjalan-jalan sekaligus airmukanya berubah.
“Pergilah, May, dengan Oom Minke. Sayang masih ada pe- keijaan harus diselesaikan. Jangan memberengut begitu, Manis.”
Aku gandeng gadis kecil Peranakan Prancis-Aceh ini mening-galkan rumah.
“Papa tak pernah mau jalan-jalan denganku,” gadis itu menga¬du dalam Belanda, “dia tak percaya aku kuat menuntunnya, Oom. Aku mampu menjaganya jangan sampai jatuh.”
“Tentu saja kau kuat, May. Papamu memang lagi banyak ker¬ja hari ini. Lain kali tentu dia mau kau ajak.”
Ia kubawa ke tanah-lapang Koblen, dan mulai lupa pada kekecewaannya. Kami duduk di rumputan menonton orang- orang beradu layang-layang. Ia mulai bercericau dalam Jawa bercampur Belanda, kadang juga Prancis. Tak kuperhatikan apa yang dicericaukannya. Hanya aku iakan. Pikiranku sendiri se¬dang kacau diserbu berbagai hal: keluarga Mellema, keluarga Marais, sikap teman-teman sekolah yang berubah terhadapku, dan aku sendiri yang juga jadi berubah. Beberapa layang-layang putus, mengimbak-imbak di angkasa tanpa tujuan
May menarik tanganku, menuding pada segumpal mendung yang muncul di ufuk.
“Kau mencintai papamu, May?”
Ia pandangi aku dengan mata terheran-heran. Pada wajahnya nampak olehku Jean Marais. Tak ada aku dapatkan sedikit pun garis-garis dari wanita muda yang menjelempah di bawah rum- punan bambu dalam ancaman bayonet itu. Wajah ini mungkin wajah Jean sendiri semasa kecil. Dan Marais kecil ini sama sekali belum lagi tahu siapa ayahnya sebenarnya.
Jean, katanya sendiri, pernah belajar di Sorbonne. Ia tak per¬nah bercerita dari jurusan apa atau sampai tingkat berapa. Men¬dengarkan suarahati sendiri ia tinggalkan kuliah dan mencurah¬kan kekuatan sepenuhnya pada senilukis. Ia mengakui belum pernah berhasil. Kemudian ia tinggal di Quartier Latin di Paris, menjajakan lukisan-lukisannya di pinggir jalan. Karya-karyanya selalu laku, tapi tak pernah menarik perhatian masyarakat dan dunia kritik Paris. Sambil menjajakan lukisan ia mengukir, juga di pinggir jalan itu. Lima tahun telah berlalu. Ia tak juga menda¬pat kemajuan. Ia bosan pada lingkungannya, pada gerombolan penonton yang melihat ia membuat patung Afrika atau mengu¬kir, pada Paris, pada masyarakatnya sendiri, pada Eropa. Ia rin¬dukan sesuatu yang baru, yang bisa mengisi kekersangan hidup. Ditinggalkannya Eropa, pergi ke Maroko, Lybia, Aljazair dan Mesir. Ia tak juga menemukan sesuatu yang dicarinya dan tidak diketahuinya itu; tidak pernah merasa puas; tetap gelisah-resah. Ia tetap tak dapat menciptakan lukisan sebagaimana ia impikan. Ia tinggalkan Afrika. Sampai di Hindia uangnya tumpas. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hidup adalah masuk Kompe¬ni. Ia masuk, mendapat latihan beberapa bulan, dan berangkat ke medan-perang di Aceh. Juga dalam kesatuannya ia tetap hidup dalam dirinya sendiri, hampir-hampir tak punya kontak dengan siapa pun kecuali melalui komando dalam bahasa Belanda. Dan ia segan mempelajari bahasa itu.
May Marais tidak tahu atau belum tahu semua itu.
Aku akan melukis sambil jadi serdadu, Jean Marais bertekad. Pribumi Hindia sangat sederhana.Takkan ada perang yang bakal mereka menangkan. Apa arti parang dan tombak di hadapan senapan dan meriam? pikirnya. Ia dikirimkan ke Aceh sebagai spandri . Komandan regunya, Kopral Bastiaan Telinga, seorang Indo-Eropa. Sekiranya ia bukan Totok, tak bisa tidak ia akan tinggal jadi serdadu kias dua. Mulailah ia hidup di antara serdadu- serdadu Eropa Totok seperti dirinya sendiri, yang juga tak tahu Belanda: orang Swiss, Jerman, Swedia, Belgia, Rusia, Honga¬ria, Romania, Portugis, Spanyol, Italia - hampir semua bangsa Eropa - semua sampah buangan dari kehidupan negeri masing- masing. Mereka adalah orang-orang putus-asa, atau bandit-ban¬dit pelarian, atau orang yang lari dari tagihan hutang, atau bangkrut karena peijudian dan spekulasi, semua saja petualang. Dan tak ada di antara mereka di bawah spandri. Serdadu kias dua hanya pangkat untuk Indo dan Pribumi - dan umumnya orang- orang Jawa dari Purworejo.
Mengapa pada umumnya Pribumi dari Purworejo? sekali waktu aku pernah bertanya. Mereka itu, jawabnya, orang-orang yang tenang. Kompeni memilih mereka untuk menghadapi bangsa Aceh yang bukan saja pandai menggertak, juga ulet dan keras seperti baja, bangsa perbuatan. Orang-orang berangsangan, terutama dari daerah kapur yang tangguh pada awalnya saja, akan tumpas di Aceh.
Pengalaman di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang Pribumi ternyata keliru. Kemam¬puan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasi juga tinggi. Sebaliknya ia juga mengakui kehebat¬an Belanda dalam memilih tenaga perang.
Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi senapan dan meriam, juga keliru. Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan ke¬percayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan.
Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka mem¬bela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
Waktu aku bertugas di sana, pada lain kali ia bercerita dengan bahasa yang campur-aduk itu, pertahanan orang Aceh sudah terdesak jauh ke pedalaman dan selatan, di daerah Takengon. Seorang panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan daerah, namun tetap dapat mempertahankan ke¬tinggian semangat pasukannya - suatu rahasia yang tak dapat aku pecahkan. Mereka tetap bertempur, bukan hanya melawan Kompeni, juga melawan kehancurannya sendiri. Hubungan la- lulintas Kompeni selalu jadi sasaran empuk: jembatan, jalanan, kawat telegrap, kereta api dan relnya, peracunan air minum, serangan dadakan, ranjau bambu, penyergapan, penikaman tak terduga, pengamukan dalam tangsi....
Para jendral Belanda hampir-hampir tak sanggup meneruskan operasi penumpasan. Yang tertumpas selalu kanak-kanak, kakek-nenek, orang sakit, wanita bunting. Dan orang-orang tak berdaya itu, Minke,justru merasa beruntung bila dibunuh Kom¬peni. Sassus dari atasan mengatakan: memang kurban di antara serdadu Eropa tak pernah mencapai tiga ribu orang seperti dalam perang Jawa, tapi ketegangan syaraf menguasai seluruh pasukan Kompeni - di setiap jengkal tanah yang diinjaknya.
Dan Jean Marais mulai belajar mengagumi dan mencintai bangsa Pribumi yang gagah-perwira ini, berwatak dan berpri¬badi kuat ini. Dua puluh tujuh tahun mereka sudah berperang, berhadapan dengan senjata paling ampuh pada jamannya, hasil ilmu-pengetahuan dan pengalaman seluruh peradaban Eropa.
Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, katanya. Ia masih juga belum bercerita bagaimana ia dapat mengubah wanita musuh¬nya jadi wanita yang dicintai dan boleh jadi mencintainya juga, jadi wanita yang memberinya seorang anak kesayangan, May - sekarang duduk bercericau di pangkuanku.
Aku belai rambutnya. Berapa bulan ibumu sempat membe¬rimu air dada padamu, anak manis? Kau tak pernah melihat pasang mata ibumu, wanita Aceh kelahiran pantai itu! Kau tak¬kan pernah bisa berbakti padanya. Kau, semuda ini, May, telah kehilangan sesuatu yang tak mungkin akan tergantikan oleh apa dan siapa pun!
“Lihat sana itu, Oom,” serunya dalam Belanda, “di atas men¬dung mendatang itu, masa layang-layang seperti kepiting!”
“Memang tidak cocok kalau kepiting terbang di langit. Men¬dung semakin tebal, May, mari pulang.”
*
JEAN MARAIS masih mencangkungi meja-gambar. Ia angkat pan¬dang waktu kami masuk. May segera menghampiri ayahnya dan bercericau tentang layang-layang kepiting di atas mendung. Jean mengangguk memperhatikan. Dan aku mondar-mandir meli¬hat-lihat lukisan jadi yang besok atau lusa harus kuantarkan pada para pemesan.
Jean takkan mungkin mampu melayani kebawelan mereka. Ada saja perubahan yang mereka kehendaki agar lukisan lebih sesuai dengan anggapan mereka sendiri. Dan itulah pekeijaanku — pekeijaan berat tentu — meyakinkan mereka: pelukisnya ada¬lah pelukis besar Prancis, cukup jadi jaminan akan keabadian¬nya, lebih abadi dari pemesannya sendiri. Kalau diubah lagi, keabadiannya akan rusak dan akan jadi potret kimia biasa. Ke¬bawelan paling gigih selamanya datang dari pemesan wanita. Beruntung aku banyak mendengar keterangan dari Jean sendiri: wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ke¬tuaan; mereka dicengkam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu. Umur sungguh aniaya bagi wanita. Maka juga setiap ke¬bawelan wanita harus dilawan dengan kebawelan lain: lukisan ini adalah warisan terbaik untuk anak-anak Mevrouw, bukan semata-mata untuk Mevrouw. (Beruntung semua pemesan wanita itu bukan dari golongan mandul). Biasanya kebawelanku menang. Kalau toh kalah juga terpaksa aku mengancam: baik, kalau Mevrouw tak suka, lukisan ini akan kutebus sendiri, akan kupasang di rumahku sendiri. Biasanya ancaman demikian me¬nimbulkan rasa ingin tahu. Orang segera bertanya: untuk apa? Dan kujawab: kalau sudah jadi milikku aku apakan juga takkan ada halangan. Diapakan, misalnya? Ya, memang bisa aku beri berkumis (tapi tak pernah aku nyatakan demikian). Pendeknya sampai sekarang aku tak pemah kalah dalam kebawelan, apalagi setelah tahu: kebawelan banyak kali dianggap wanita sebagai ukuran kelihaian.
“Sudah sore, Jean, aku pulang.”
“Terimakasih, Minke, atas segala dan semua kebaikanmu,” ia lambaikan tangan meminta aku mendekat. “Bagaimana sekolah¬mu? Buat kepentingan May dan aku kau tak pernah sempat belajar di rumah. Aku kuatir....”
“Beres, Jean. Ujian selalu aku lalui dengan selamat.”
Menyeberangi pagar hidup di samping rumah sampailah aku di pelataran pemondokan. Darsam sudah lama menunggu aku dengan sepucuk surat.
“Tuanmuda,” ia memberi tabik, kemudian bicara Jawa, “Nyai menunggu jawaban. Darsam menunggu, Tuanmuda.”
Surat itu memberitahukan: keluarga Wonokromo menantikan kedatanganku. Annelies sekarang jadi pelamun, tak suka makan, pekerjaannya banyak terbengkalai, dan salah. “Sinyo Minke, alangkah akan berterimakasih seorang ibu yang banyak peker¬jaan ini kalau Sinyo sudi memperhatikan kesulitannya. Annelies satu-satunya pembantuku. Aku takkan mampu keijakan semua seorang diri. Aku kuatir sekali akan kesehatannya.
Kedatangan Sinyo adalah segala-galanya bagi kami berdua. Datanglah, Nyo, biar pun hanya sebentar. Satu-dua jam pun memadai. Namun kami mengharapkan dengan sangat agar Si¬nyo suka tinggal pada kami. Selanjutnya terimakasih tak berhing¬ga untuk perhatian dan kesudian Sinyo.”
Surat itu tertulis dalam Belanda yang patut dan benar. Rasa¬nya tak mungkin ditulis oleh seorang lulusan sekolah dasar tan¬pa pengalaman. Entahlah, mungkin ditulis oleh orang lain. Setidak-tidaknya bukan oleh Robert Mellema.Tapi apa penting¬nya siapa penulisnya? Surat itu memberanikan aku, mengembali¬kan kepribadianku: bukan aku saja telah tergenggam oleh mere¬ka, mereka sebaliknya pun tergenggam olehku. Genggam- menggenggamlah, kalau tak dapat dikatakan sihir-menyihir. Seorang ibu yang bijaksana dan berwibawa seperti Nyai memang dibutuhkan oleh setiap anak, dan dara cantik tiada bandingan dibutuhkan oleh setiap pemuda. Lihat: mereka membutuhkan aku demi keselamatan keluarga dan perusahaan. Kan aku terma¬suk hebat juga? Aduh, sekarang ini betapa banyak alasan dapat aku bariskan untuk membenarkan diri sendiri.
Baik. Aku akan datang.

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02