Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 04

AK DAPAT AKU MENAHAN KECUCUKANKU  UNTUK MENGE- tahui siapa sebenarnya Nyai Ontosoroh yang hebat ini. Beberapa bulan kemudian baru kuketahui dari cerita lisan Annelies tentang ibunya. Setelah kususun kembali cerita itu jadi begini:
Kau tentu masih ingat pada kunjunganmu yang pertama, Mas. Siapa pula bisa melupakan? Aku pun tidak. Seumur hidup pun tidak. Kau gemetar mencium aku di depan Mama. Aku pun gemetar. Kalau tiada diseret oleh Mama aku masih terpukau pada anak-tangga. Kemudian bendi merenggut kau daripadaku.
Ciumanmu terasa panas pada pipiku. Aku lari ke kamar dan kuperiksa mukaku pada kaca cermin. Tiada sesuatu yang beru¬bah. Makan kita malam itu tak bersambal, hanya sedikit lada. Mengapa begini panas? Kugosok dan kuhapus. Masih juga panas. Ke mana pun mata kulayangkan selalu juga tertumbuk pada matamu.
Sudah gilakah aku? Mengapa kau juga yang selalu nampak, Mas? dan mengapa aku senang di dekatmu, dan merasa sunyi dan menderita jauh daripadamu? Mengapa tiba-tiba merasa kehilang¬an sesuatu setelah kepergianmu?
Aku berganti pakaian-tidur dan memadamkan lilin, masuk ke ranjang. Kegelapan justru semakin mempeijelas wajahmu. Aku ingin menggandengmu seperti sesiang tadi. Tapi tanganmu tak ada. Kumiringkan badan ke kiri dan kanan, tak juga mau tidur. Berjam-jam. Dalam dadaku terasa ada sepasang tangan yang jari-jarinya menggelitik memaksa aku berbuat sesuatu. Berbuat apa? Aku sendiri tak tahu. Kulemparkan selimut dan guling. Kutinggalkan kamar.
Tanpa sadarku panas pada pipi itu tiada terasa lagi.
Aku menyerbu ke kamar Mama tanpa mengetuk pintu. Se¬perti biasa ia belum tidur. Ia sedang duduk pada meja membaca buku. Ia berpaling padaku sambil menutup buku, dan sekilas terbaca olehku beijudul Nyai Dasirna.
“Buku apa, Ma?”
Ia masukkan benda itu ke dalam laci.
“Mengapa belum juga tidur?”
“Malam ini ingin tidur sama Mama.”
“Perawan sebesar ini masih mau tidur sama biang.”
“Ma, ijinkanlah.”
“Sana, naik dulu!”
Aku naik dulu ke ranjang. Mama turun untuk memeriksai pintu dan jendela. Kemudian naik lagi, mengunci pintu kamar, menurunkan klambu, memadamkan lilin. Gelap-gelita di dalam kamar.
Di dekatnya aku merasa agak tenang dengan harap-cemas menunggu kata-katanya tentang kau, Mas.
“Ya, Annelies,” ia memulai, “mengapa takut tidur sendirian?
- kau yang sudah sebesar ini?”
“Mama, pernah Mama berbahagia?”
“Biar pun pendek dan sedikit setiap orang pernah, Ann.”
“Berbahagia juga Mama sekarang?”
“Yang sekarang ini aku tak tahu.Yang ada hanya kekuatiran, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut-paut dengan keba-hagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak? Kau yang kukuatirkan.Aku ingin lihat kau berbahagia....”
Aku menjadi begitu terharu mendengarkan itu. Aku peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada orang lebih baik.
“Kau sayang pada Mama, Ann?”
Pertanyaan, untuk pertama kali itu diucapkan, membikin aku berkaca-kaca, Mas. Nampaknya saja ia selalu keras.
“Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-la- manya.Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu.Tak menga¬lami kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat. Mengapa tiba-tiba datang membawa ke-bahagiaan?"
“Jangan tanyai aku, Ma, ceritalah.”
“Ann, Annelies, mungkin kau tak merasa, tapi memang aku didik kau secara keras untuk bisa bekeija, biar kelak tidak harus tergantung pada suami, kalau — ya, moga-moga tidak — kalau- kalau suami itu semacam ayahmu itu.”
Aku tahu Mama telah kehilangan penghargaannya terhadap Papa. Aku dapat memahami sikapnya, maka tak perlu bertanya tentangnya. Yang kuharapkan memang bukan omongan tentang itu. Aku ingin mengetahui adakah ia pernah merasai apa yang kurasai sekarang.
“Kapan Mama merasa sangat, sangat berbahagia?”
“Ada banyak tahun setelah aku ikut Tuan Mellema, ayahmu.” “Lantas, Ma?”
“Kau masih ingat waktu kau kukeluarkan dari sekolah? Itulah akhir kebahagiaan itu. Kau sudah besar sekarang, sudah harus tahu memang. Harus tahu apa sebenarnya telah teijadi. Sudah beberapa minggu ini aku bermaksud menceritakan. Kesempat¬an tak kunjung tiba juga. Kau mengantuk?”
“Mendengarkan, Ma.”
“Pernah Papamu bilang, dulu, waktu kau masih sangat, sangat kecil: seorang ibu harus menyampaikan pada anak-perempuan- nya semua yang dia harus ketahui....
“Pada waktu itu....”
“Betul, Ann, pada waktu itu segala dari Papamu aku hormati, aku ingat-ingat, aku jadikan pegangan. Kemudian ia berubah, jadi berlawanan dengan segala yang pernah diajarkannya. Ya, waktu itu mulai hilang kepercayaan dan hormatku padanya.”
“Ma, pandai Papa dulu, Ma?”
“Bukan saja pandai, juga baikhati. Dia yang mengajari aku segala tentang pertanian, perusahaan, pemeliharaan hewan, pe- keijaan kantor. Mula-mula diajari aku bahasa Melayu, kemudi¬an membaca dan menulis, setelah itu juga bahasa Belanda. Pa¬pamu bukan hanya mengajar, dengan sabar juga menguji semua yang telah diajarkannya. Ia haruskan aku berbahasa Belanda dengannya. Kemudian diajarinya aku berurusan dengan bank, ahli-ahli hukum, aturan dagang, semua yang sekarang mulai kuajarkan juga padamu.”
“Mengapa Papa bisa berubah begitu, Ma?”
“Ada, Ann, ada sebabnya. Sesuatu telah teijadi. Hanya sekali, kemudian ia kehilangan seluruh kebaikan, kepandaian, kecer¬dasan, ketrampilannya. Rusak, Ann, binasa karena kejadian yang satu itu. Ia berubah jadi orang lain, jadi hewan yang tak kenal anak dan istri lagi.”
“Kasihan, Papa.”
“Ya. Tak tahu diurus, lebih suka mengembara tak menentu.”
Mama tak meneruskan ceritanya. Kisahnya seakan jadi peri-ngatan terhadap haridepanku, Mas. Dunia menjadi semakin se¬nyap. Yang kedengaran hanya nafas kami berdua. Sekiranya Mama tidak bertindak begitu keras terhadap Papa — begitu berkali-kali diceritakan oleh Mama — tak tahu aku apa yang akan teijadi atas diriku. Mungkin jauh, jauh lebih buruk daripada yang dapat kusangkakan.
“Tadinya terpikir olehku untuk membawanya ke rumahsakit jiwa. Ragu, Ann. Pendapat orang tentang kau, Ann, bagaimana nanti? Kalau ayahmu ternyata memang gila dan oleh Hukum ditaruh onder curateele?  Seluruh perusahaan, kekayaan dan keluar¬
ga akan diatur seorang curator yang ditunjuk oleh Hukum. Mamamu, hanya perempuan Pribumi, akan tidak mempunyai sesuatu hak atas semua, juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk anakku sendiri, kau, Ann. Percuma saja akan jadinya kita berdua membanting tulang tanpa hari libur ini. Percuma aku telah lahir¬kan kau, karena Hukum tidak mengakui keibuanku, hanya kare¬na aku Pribumi dan tidak dikawin secara syah. Kau mengerti?” “Mama!” bisikku.Tak pernah kuduga begitu banyak kesulit¬an yang dihadapinya.
“Bahkan ijin-kawinmu pun akan bukan dari aku datangnya, tapi dari curator itu — bukan sanak bukan semenda. Dengan membawa Papamu ke rumahsakit jiwa, dengan campurtangan pengadilan, umum akan tahu keadaan Papamu, umum akan.... kau, Ann, nasibmu nanti, Ann. Tidak!”
“Mengapa justru aku, Ma?”
“Kau tidak mengerti? Bagaimana kalau kau dikenal umum sebagai anak orang sinting? Bagaimana akan tingkahmu dan ting-kahku di hadapan mereka?”
Aku sembunyikan kepalaku di bawah ketiaknya, seperti anak ayam.Tiada pernah aku sangka keadaanku bisa menjadi seburuk dan senista itu.
“Ayahmu bukan dari keturunannya menjadi begitu,” kata Mama meyakinkan. “Dia menjadi begitu karena kecelakaan. Hanya orang mungkin akan menyamakan saja, dan kau bisa di¬anggap punya benih seperti itu juga.” Aku menjadi kecut. “Itu sebabnya dia kubiarkan. Aku tahu di mana dia selama ini bersa¬rang. Cukuplah asal tidak diketahui umum.”
Lambat-lambat persoalan pribadiku terdesak oleh belaska- sihanku pada Papa.
“Biarlah, Ma, biar kuurus Papa.”
“Dia tidak kenal kau.”
“Tapi dia Papaku, Ma.”
“Stt. Belas-kasihan hanya untuk yang tahu. Kaulah yang le¬bih memerlukannya — anak orang semacam dia. Ann, kau harus mengerti: dia sudah berhenti sebagai manusia. Makin dekat kau dengannya, makin terancam hidupmu oleh kerusakan. Dia te¬lah menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk.Tidak lagi bisa beijasa pada sesamanya. Sudah, jangan tanyakan lagi.”
Kumatikan keinginanku untuk mengetahui lebih jauh. Bila Mama sudah bersungguh begitu tidak bijaksana untuk berulah. Aku tak tahu ibu dan anak orang-orang lain. Kami berdua tak punya teman, tak punya sahabat. Hidup hanya sebagai majikan terhadap buruh dan sebagai taoke terhadap langganan, dikelilingi orang yang semata karena urusan perusahaan, membikin aku tak bisa membanding-banding. Bagaimana kaum Indo lainnya aku pun tidak tahu. Mama bukan saja melarang aku bergaul, juga tidak menyediakan sisa waktu untuk memungkinkan. Mama adalah kebesaran dan kekuasaan satu-satunya yang aku kenal.
“Kau harus mengerti, jangan lupakan seumur hidupmu, kita berdua ini yang berusaha sekuat daya agar tak ada orang tahu, kau anak seorang yang sudah rusak ingatan,” Mama menutup persoalan.
Kami berdua diam untuk waktu agak lama. Aku tak tahu apa sedang ia pikirkan atau bayangkan. Di dalam dadaku sendiri jari-jari itu mulai lagi menggelitik. Tiada tertahankan. Masih juga ia belum bicara tentang kau, Mas. Adakah dia setuju de¬nganmu atau tidak, Mas? Atau kau akan dianggap sebagai unsur baru saja dalam perusahaan?
Kegelapan itu serasa tiada. Yang ada hanya kau. Tak lain dari-pada kau! Maka aku harus hentikan ceritanya yang tak me-nyenangkan itu. Jadi:
“Mama, ceritai aku bagaimana kau bertemu dan kemudian hidup bersama Papa.”
“Ya. Itu memang harus kau ketahui, Ann. Hanya saja kau ja¬ngan sampai tergoncang. Kau anak manja dan berbahagia di¬bandingkan dengan Mamamu ini pada umur yang lebih muda. Mari aku ceritai kau, dan ingat-ingat selalu.”
Dan mulailah ia bercerita:
AKU PUNYA seorang abang: Paiman. Dia lahir pada hari pasaran Paing, maka dinamai dia dengan suku depan Pai. Aku tiga tahun lebih muda, dinamai: Sanikem. Ayahku bernama Sastrotomo setelah kawin. Kata para tetangga, nama itu berarti: Jurutulis yang utama.
Kata orang, ayahku seorang yang rajin. Ia dihormati karena satu-satunya yang dapat baca-tulis di desa, baca tulis yang diper¬gunakan di kantor. Tapi ia tidak puas hanya jadi jurutulis. Ia impikan jabatan lebih tinggi, sekali pun jabatannya sudah cukup tinggi dan terhormat. Ia tak perlu lagi mencangkul atau meluku atau berkuli, bertanam atau berpanen tebu.
Ayahku mempunyai banyak adik dan saudara sepupu. Sebagai jurutulis masih banyak kesulitan padanya untuk memasukkan mereka bekeija di pabrik. Jabatan lebih tinggi akan lebih me-mudahkan, lagi pula akan semakin tinggi pada pandangan du¬nia. Apalagi ia ingin semua kerabatnya bisa bekeija di pabrik tidak sekedar jadi kuli dan bawahan paling rendah. Paling tidak mandorlah. Untuk membikin mereka jadi kuli tak perlu orang punya sanak jurutulis — semua orang bisa diterima jadi kuli ka¬lau mandor setuju.
Ia bekeija rajin dan semakin rajin. Lebih sepuluh tahun. Jabat¬an dan pangkatnya tak juga naik. Memang gaji dan persen tahunan selalu naik. Jadi ditempuhnya segala jalan: dukun, jam¬pi, mantra, bertirakat memutih, berpuasa senin-kamis. Tak juga berhasil.
Jabatan yang diimpikannya adalah j urubayar: kassier pemegang kas pabrikgula Tulangan, Sidoaijo. Dan siapa tidak berurusan dengan jurubayar pabrik? Paling sedikit mandortebu. Mereka datang untuk menerima uang dan membubuhkan cap jempol. Ia bisa menahan upah mingguan kesatuan si mandor kalau mere¬ka menolak cukaian atas penghasilan para kulinya. Sebagai ju¬rubayar pabrik ia akan menjadi orang besar di Tulangan. Peda¬gang akan membungkuk menghormati. Tuan-tuan Totok dan Peranakan akan memberi tabik dalam Melayu. Guratan penanya berarti uang! Ia akan termasuk golongan berkuasa dalam pabrik. Orang akan mendengarkan katanya: tunggu di bangku situ untuk dapat menerima uang dari tangannya.
Mengibakan. Bukan kenaikan jabatan, kehormatan dan ke- takziman yang ia dapatkan dari luar impiannya. Sebaliknya: ke-bencian dan kejijikan orang. Dan jabatan jurubayar itu tetap tergantung di awang-awang. Tindakannya yang menjilat dan merugikan teman-temannya menjadikannya tersisih dari per¬gaulan. Ia terpencil di tengah lingkungan sendiri. Tapi ia tidak peduli. Ia memang kerashati. Kepercayaannya pada kemurahan dan perlindungan tuan-tuan kulit putih tak terpatahkan. Orang muak melihat usahanya menarik tuan-tuan Belanda itu agar sudi datang ke rumah. Seorang-dua memang datang juga dan disu- gunya dengan segala apa yang bisa menyenangkan mereka.
Tapi jabatan itu tak juga tiba.
Malah melalui dukun dan tirakat ia berusaha menggendam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa, agar sudi datang ke ru¬mah. Juga tak berhasil. Sebaliknya ia sendiri sering berkunjung ke rumahnya. Bukan untuk menemui pembesarnya karena se¬suatu urusan. Untuk membantu keija di belakang! Tuan Admi¬nistratur tak pernah mempedulikannya.
Aku sendiri merasa risi mendengar semua itu. Kadang dengan diam-diam kuperhatikan ayahku dan merasa iba. Betapa jiwa dan raganya disesah oleh impian itu. Betapa ia hinakan diri dan martabat sendiri. Tapi aku tak berani bicara apa-apa. Memang kadang aku berdoa agar ia menghentikan kelakuannya yang memalukan itu. Para tetangga sering bilang: lebih baik dan pa¬ling baik adalah memohon pada Allah; sampai berapalah kekua¬saan manusia, apalagi orang kulit putih pula. Doaku untuknya bukan agar ia mendapatkan jabatan itu - agar ia dapat menge¬baskan diri dari kelakuannya yang memalukan. Waktu itu me¬mang aku tidak akan mampu bercerita seperti ini. Hanya merasa¬kan dalam hati. Dan semua doaku juga tanpa hasil.
Tuan Besar Kuasa adalah seorang bujangan sebagai biasanya orang Totok pendatang baru. Umurnya mungkin lebih tua dari ayahku, jurutulis Sastrotomo itu. Orang bilang pernah juga ayah¬ku menawarkan wanita padanya. Orang itu bukan saja tidak menerima tawaran dan berterimakasih, malah memaki, mengan¬cam akan memecatnya. Sejak itu ayah jadi tertawaan umum. Ibuku menjadi kurus setelah mendengar sindiran orang: Jangan- jangan anaknya sendiri nanti ditawarkan. Yang mereka maksud¬kan tak lain dari aku.
Tentu kau bisa mengerti bagaimana sesak hidup ini mende¬ngar itu. Sejak itu aku tak berani keluar rumah lagi. Setiap wak¬tu mataku liar melihat ke ruangdepan kalau-kalau ada tamu orang kulit putih. Syukur tamu itu tidak ada.
Tidak seperti pegawai Belanda lainnya Tuan Besar Kuasa tidak suka ikut bertayub dalam pesta giling. Setiap hari Minggu ia pergi ke kota Sidoaijo untuk bersembahyang di gereja Protestan. Pada jam tujuh pagi orang bisa melihat ia pergi naik kuda atau kereta. Aku sendiri pernah melihatnya dari kejauhan.
Waktu berumur tigabelas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruangbelakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanak- kanak dulu. Malah duduk di pendopo aku tak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak.
Bila pabrik berhenti kerja dan pegawai dan buruh pulang sering aku lihat dari dalam rumah orang lalulalang menoleh ke rumah kami. Tentu saja. Tamu-tamu wanita yang berkunjung selalu memuji aku sebagai gadis cantik, bunga Tulangan, kem¬bang Sidoaijo. Kalau aku bercermin, tak ada alasan lain daripa¬da membenarkan sanjungan mereka. Ayahku seorang yang gan¬teng. Ibuku — aku tak pernah tahu namanya — seorang wanita cantik dan tahu memelihara badan. Semestinya, sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi ayah mempunyai tanah yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain. Ia tidak demikian. Ia merasa cukup dengan seorang istri yang cantik. Di samping itu ia hanya mengimpikan jabatan ju- rubayar, pemegang kas pabrik, Pribumi paling terhormat di kemudianhari.
Begitulah keadaannya, Ann.
Waktu berumur empatbelas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah mempunyai rencana tersendiri ten¬tang diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran datang me¬minang aku. Semua ditolak. Aku sendiri beberapa kali pernah mendengar dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan. Pernah ibu bertanya pada ayah, menantu apa yang ayah harap¬kan. Dan ayah tidak pernah menjawab.
Tidak seperti ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagai¬mana harusnya macam menantuku kelak. Kau yang menentu¬kan, aku yang menimbang-nimbang. Begitulah keadaanku, keadaan semua perawan waktu itu, Ann — hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang beruntung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itu keluar- biasaan dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelaki yang mengambil dari rumah itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu teijadi perem¬puan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada lelaki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak ada jalan lain yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi atau pemabuk. Orang takkan bakal tahu sebelum jadi istrinya. Akan beruntung bila yang da¬tang itu seorang budiman.
Pada suatu malam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa itu, datang ke rumah. Aku sudah mulai cemas. Ayahku gopoh-ga- pah memerintahkan ini-itu pada Ibu dan aku untuk kemudian dibantahnya sendiri dengan perintah baru. Ia perintahkan aku mengenakan pakaian terbaik dan sekali-dua mengawasi sendiri aku berhias. Memang aku curiga, jangan-jangan benar bisik- desus orang itu. Ibuku lebih curiga lagi. Belum apa-apa, dan ia sudah menangis tersedan-sedan di pojokan dapur dan membisu seribu logat.
Ayahku, jurutulis Sastrotomo, memerintahkan aku keluar menyugukan kopisusu kental dan kue. Ayah memang sudah berpesan: bikin yang kental.
Keluarlah aku menanting talam. Kopisusu dan kue di atasnya. Tak tahu aku bagaimana wajah Tuan Besar Kuasa. Tak layak se-orang gadis baik-baik mengangkat mata dan muka pada seorang tamu lelaki tak dikenal baik oleh keluarga. Apalagi orang kulit putih pula. Aku hanya menunduk, meletakkan isi talam di atas meja. Biar bagaimana pun nampak pipa celananya, putih dari kain drill. Dan sepatunya, besar, panjang. Menandakan orang¬nya pun tinggi dan besar.
Aku rasai pandang Tuan Besar Kuasa menusuk tangan dan leherku.
“Ini anak sahaya, Tuan Besar Kuasa,” kata ayahku dalam Melayu.
“Sudah waktunya punya menantu,” sambut tamu itu. Suara¬nya besar, berat dan dalam, seperti keluar dari seluruh dada. Tak ada orang Jawa bersuara begitu.
Aku masuk lagi untuk menantikan perintah baru. Dan perin¬tah itu tidak datang. Kemudian Tuan Besar Kuasa pergi bersa¬ma ayah. Ke mana aku tak tahu.
Tiga hari kemudian, pada tengah hari Minggu sehabis makan- siang, Ayah memanggil aku. Di ruangtengah ia duduk bersama Ibu. Aku berlutut di hadapannya.
“Jangan, Pak, jangan,” Ibu menegah.
“Kem, Ikem,” Ayah memulai. “Masukkan semua barang mi¬lik dan pakaianmu ke dalam kopor Ibumu. Kau sendiri berpa¬kaian baik-baik, yang rapih, yang menarik.”
Ah, betapa banyak pertanyaan sambar-menyambar di dalam hati. Aku harus lakukan semua perintah orangtuaku, terutama ayah. Dari luar kamarku kudengar Ibu menyangkal dan me¬nyangkal tanpa mendapat pelayanan. Telah kumasukkan semua pakaian dan barang milikku. Dibandingkan dengan gadis-gadis lain barangkali pakaianku termasuk banyak dan mahal, maka kupelihara baik-baik. Kain batikku lebih dari enam. Di antaranya batikanku sendiri.
Dan keluarlah aku membawa kopor tua coklat yang sudah penyok di sana-sini itu. Ayah dan Ibu masih duduk di tempat semula. Ibu menolak berganti pakaian. Kemudian kami bertiga naik dokar yang telah menunggu di depan rumah.
Di atas kendaraan ayah bilang, suaranya terang tanpa keraguan:
“Tengok rumahmu itu, Ikem. Mulai hari ini itu bukan ru¬mahmu lagi.”
Aku harus dapat memahami maksudnya. Kudengar Ibu tersedan-sedan. Memang aku sedang dalam pengusiran dari ru¬mah. Aku pun tersedu-sedu.
Dokar berhenti di depan rumah Tuan Besar Kuasa. Kami se¬mua turun. Itulah untuk pertama kali Ayah berbuat sesuatu untukku: menjinjingkan koporku.
Tak berani aku melihat sekelilingku. Namun aku merasa ada beribu-ribu pasang mata melihatkan kami dengan terheran- heran.
Aku berdiri saja di atas jenjang tangga rumah batu itu. Pikir¬an dan perasaan telah menjadi tambahan beban, menghisap se¬gala dari tubuh. Badan tinggal jadi kulit. Jadi ke sini juga akhirnya aku dibawa, ke rumah Tuan Besar Kuasa, seperti sudah lama disindirkan. Sungguh, Ann, aku malu mempunyai seorang ayah jurutulis Sastrotomo. Dia tidak patut jadi ayahku.Tapi aku masih anaknya, dan aku tak bisa berbuat sesuatu. Airmata dan lidah Ibu tak mampu jadi penolak bala. Apalagi aku yang tak tahu dan tak memiliki dunia ini. Badan sendiri pun bukan aku punya.
Tuan Besar Kuasa keluar. Ia tersenyum senang dan matanya berbinar. Ada kudengar suaranya. Dengan bahasa isyarat yang
S7
asing ia silakan kami naik. Sekilas menjadi semakin jelas bagiku betapa tinggi-besar tubuhnya. Mungkin beratnya tiga kali Ayah. Mukanya kemerahan. Hidungnya begitu mancungnya, cukup untuk tiga atau empat orang Jawa sekaligus. Kulit lengannya kasar seperti kulit biawak dan berbulu lebat kuning. Aku ker- takkan gigi, menunduk lebih dalam. Lengan itu sama besarnya dengan kakiku.
Jadi benar aku diserahkan pada raksasa putih berkulit biawak ini. Aku harus tabah, kubisikkan pada diri sendiri. Takkan ada yang menolong kau! Semua setan dan iblis sudah mengepung aku.
Untuk pertama kali dalam hidupku, karena silaanTuan Besar Kuasa, aku duduk di kursi sama tinggi dengan Ayah. Di hadap¬an kami bertiga: Tuan Besar Kuasa. Ia bicara Melayu. Hanya sedikit kata dapat kutangkap. Selama pembicaraan semua terasa timbul-tenggelam dalam lautan. Tak ada senoktah pun tempat teguh. Dari kantongnya Tuan Besar Kuasa mengeluarkan sam¬pul kertas dan menyerahkannya pada Ayah. Dari saku itu pula ia keluarkan selembar kertas berisi tulisan dan Ayah membubuh¬kan tandatangan di situ. Di kemudianhari kuketahui, sampul itu berisikan uang dua puluh lima gulden, penyerahan diriku ke¬padanya, dan janji Ayah akan diangkat jadi kassier setelah lulus dalam pemagangan selama dua tahun.
Begitulah, Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo.Yang di¬jual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apa pun.
Aku masih tetap menunduk, tahu takkan ada seorang pun tempat mengadu. Di dunia ini hanya Ayah dan Ibu yang berkua¬sa. Kalau Ayah sendiri sudah demikian, kalau Ibu tak dapat membela aku, akan bisa berbuat apa orang lain?
Kata-kata terakhir Ayah:
“Ikem, kau tidak keluar dari rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau tidak kembali ke rumah tanpa seijinnya dan tanpa seijinku.”
Aku tak melihat pada mukanya waktu dia mengatakan itu. Aku masih tetap menunduk. Itulah suaranya yang terakhir yang pernah aku dengar.
Ayah dan Ibu pulang dengan dokar yang tadi juga. Aku ter¬tinggal di atas kursi bermandi airmata, gemetar tak tahu apa harus kuperbuat. Dunia terasa gelap. Samar-samar nampak dari bawah keningku Tuan Besar Kuasa naik lagi ke rumah setelah mengantarkan orangtuaku. Diangkatnya koporku dan dibawa¬nya masuk. Ia keluar lagi, mendekati aku. Ditariknya tanganku disuruh berdiri. Aku menggigil. Bukan aku tak mau berdiri, bukan aku membangkang perintah. Aku tak kuat berdiri. Kain¬ku basah. Kedua belah kakiku malah begitu menggigilnya sea¬kan tulang-belulang telah terlepas dari perbukuan. Diangkatnya aku seperti sebuah guling tua dan dibopongnya masuk, diletak¬kannya tanpa daya di atas ranjang yang indah dan bersih. Duduk pun aku tiada mampu. Aku tergolek, mungkin pingsan. Tapi mataku masih dapat melihat pemandangan sayup-sayup dalam kamar itu. Tuan Besar Kuasa membuka koporku yang tiada berkunci dan memasukkan pakaianku ke dalam lemari besar. Kopor ia seka dengan lap dan ia masukkan dalam bagian bawah.
Kembali ia hampiri diriku yang tergolek tanpa daya.
“Jangan takut,” katanya dalam Melayu. Suaranya rendah se¬perti guruh. Nafasnya memuputi mukaku.
Aku tutup mataku rapat-rapat. Akan berbuat apa raksasa ini terhadap diriku? Ternyata ia angkat dan digendong aku kian kemari seperti boneka kayu dalam kamar itu. Ia tak peduli pada kainku yang basah. Bibirnya menyentuhi pipi dan bibirku. Aku dapat dengarkan nafasnya yang menghembusi kupingku begitu keras. Menangis aku tak berani. Bergerak pun tak berani. Selu¬ruh tubuh bercucuran keringat dingin.
Didirikannya aku di atas ubin. Ia segera tangkap aku kembali
melihat aku meliuk hendak roboh. Diangkatnya aku lagi dan dipeluk dan diciuminya. Aku masih ingat kata-katanya yang di¬ucapkannya, tapi waktu itu aku belum mengerti maksudnya:
“Sayang, sayangku, bonekaku, sayang, sayang.”
Dilemparkannya aku ke atas dan ditangkapnya kemudian pada pinggangku. Ia goncang-goncang aku, dan dengan jalan itu aku dapatkan sebagian dari kekuatanku. Ia dirikan aku kembali ke lantai. Aku terhuyung dan ia menjaga dengan tangan agar aku tak jatuh. Aku terus juga terhuyung, teijerembab pada tepian ranjang.
Ia melangkah padaku, membuka bibirku dengan jari-jarinya. Dengan isyarat ia perintahkan mulai sejak itu menggosok gigi. Maka ia tuntun aku pergi ke belakang, ke kamarmandi. Itulah untuk pertama kali aku melihat sikatgigi dan bagaimana meng¬gunakannya. Ia tunggui aku sampai selesai, dan gusiku rasanya sakit semua.
Dengan isyarat pula ia perintahkan aku mandi dan menggosok diri dengan sabunmandi yang wangi. Semua perintahnya aku laksanakan seperti perintah orangtua sendiri. Ia menunggu di depan kamarmandi dengan membawa sandal di tangannya. Ia pasang sandal itu pada kakiku. Sangat, sangat besar - sandal per¬tama yang pernah aku kenakan dalam hidupku - dari kulit, berat.
Ia gendong aku masuk ke rumah, ke kamar. Didudukkannya aku di depan sebuah cermin. Ia gosok rambutku dengan selem¬bar kain tebal, yang kelak aku ketahui bernama anduk, sampai kering, kemudian ia minyaki — begitu wangi baunya. Aku tak tahu minyak apa. Dialah juga yang menyisiri aku seakan aku tak bisa bersisir sendiri. Ia mencoba mengkondai rambutku, tapi tak bisa dan membiarkan aku menyelesaikan.
Kemudian ia suruh aku berganti pakaian, dan ia mengawasi segala gerakku. Rasanya aku sudah tak beijiwa lagi, seperti selembar wayang di tangan ki dalang. Selesai itu aku dibedaki¬nya. Kemudian bibirku diberinya sedikit gincu. Dibawanya aku keluar kamar. Dipanggilnya dua orang bujangnya perempuan.
“Layani nyaiku ini baik-baik!”
Begitulah hari pertama aku menjadi seorang nyai, Ann. Dan ternyata perlakuannya yang menyayang dan ramah telah mem¬buat sebagian dari ketakutanku menjadi hilang.
Setelah berpesan pada bujang-bujangnya Tuan Besar Kuasa terus pergi. Ke mana aku tak tahu. Dua wanita itu dengan cekikikan menyindir aku sebagai orang beruntung diambil jadi nyai.Tidak, aku tak boleh dan tak mau bicara sesuatu pun. Aku tak mengenal rumah ini atau pun kebiasaannya. Memang ada terniat dalam hati untuk lari. Tapi pada siapa aku harus melin- dungkan diri? Apa harus aku perbuat setelah itu? Aku tak bera¬ni. Aku berada dalam tangan orang yang sangat berkuasa, lebih berkuasa daripada Ayah, daripada semua Pribumi di Tulangan.
Mereka menyediakan untukku makan dan minum. Sebentar- sebentar mengetuk pintu dan menyilakan dan menawarkan ini itu. Aku diam membisu, duduk saja di lantai, tak berani men¬jamah barang sesuatu dalam kamar itu. Mataku terbuka, tapi takut melihat. Mungkin itu mati dalam hidup.
Pada malam hari Tuan datang. Kudengar langkah sepatunya yang makin mendekat. Ia langsung masuk ke dalam kamar. Aku gemetar. Lampu, yang tadi sore, dinyalakan oleh bujang, me¬mantulkan cahaya pada pakaiannya yang serba putih dan menyi¬laukan. Ia dekati aku. Diangkatnya badanku dari lantai, diletak¬kannya di ranjang dan digolekkan di atasnya. Bernafas pun rasa¬nya aku tak berani, takut menggusarkannya.
Aku tak tahu sampai berapa lama bukit daging itu berada bersama denganku. Aku pingsan, Annelies. Aku tak tahu lagi apa yang telah terjadi.
Begitu aku siuman kembali, kuketahui aku bukan si Sanikem yang kemarin. Aku telah jadi nyai yang sesungguhnya. Di kemu- dianhari aku ketahui nama Tuan Besar Kuasa itu: Herman Melle- ma. Papamu, Ann, Papamu yang sesungguhnya. Dan nama Sa¬nikem hilang untuk selama-lamanya.
Kau sudah tidur, belum? Belum?
Mengapa aku-ceritakan ini padamu. Ann? Karena aku tak ingin melihat anakku mengulangi pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seorang yang kau sukai dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak boleh diperlaku¬kan seperti hewan semacam itu. Anakku tak boleh dijual oleh siapa pun dengan harga berapa pun. Mama yang menjaga agar yang demikian takkan teijadi atas dirimu. Aku akan berkelahi untuk hargadiri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahan¬kan aku, maka dia tidak patut jadi ibuku. Bapakku menjual aku sebagai anak kuda, dia pun tidak patut jadi bapakku. Aku tak punya orangtua.
Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap ter¬hadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa badan diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawin¬an syah.
Aku telah bersumpah dalam hati: takkan melihat orangtua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku sudah tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa penghinaan itu. Mereka telah bikin aku jadi nyai begini. Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang sebaik-baiknya. Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuan¬ku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa.Ya, Ann, aku telah mendendam orang¬tua sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apa pun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai.
Ann, satu tahun lamanya aku hidup di rumah Tuan Besar Kuasa Herman Mellema. Tak pernah keluar, tak pernah diajak jalan-jalan atau menemui tamu. Apa pula gunanya? Aku sendiri pun malu pada dunia. Apalagi pada kenalan, tetangga. Bahkan malu punya orangtua. Semua bujang kemudian aku suruh per¬
gi. Semua pekerjaan rumah aku lakukan sendiri.Tak boleh ada saksi terhadap kehidupanku sebagai nyai. Tak boleh ada berita tentang diriku: seorang wanita hina-dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri ini.
Beberapa kali jurutulis Sastrotomo datang menengok. Mama menolak menemui. Sekali istrinya datang melihatnya pun aku tak sudi. Tuan Mellema tidak pernah menegur kelakuanku. Se¬baliknya ia sangat puas dengan segala yang kulakukan. Nampak¬nya ia juga senang pada kelakuanku yang suka belajar. Ann, pa¬pamu sangat menyayangi aku. Namun semua itu tak dapat mengobati kebanggaan dan harga diri yang terluka. Papamu tetap orang asing bagiku. Dan memang Mama tak pernah menggan¬tungkan diri padanya. Ia tetap kuanggap sebagai orang yang tak pernah kukenal, setiap saat bisa pulang ke Nederland, mening¬galkan aku, dan melupakan segala sesuatu di Tulangan. Maka diriku kuarahkan setiap waktu pada kemungkinan itu. Bila Tuan Besar Kuasa pergi aku sudah harus tidak akan kembali ke rumah Sastrotomo. Mama belajar menghemat, Ann, menyimpan. Pa¬pamu tak pernah menanyakan penggunaan uang belanja. Ia sendiri yang berbelanja bahan ke Sidoaijo atau Surabaya untuk sebulan.
Dalam setahun telah dapat kukumpulkan lebih dari seratus gulden. Kalau pada suatu kali Tuan Mellema pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan berdagang apa saja.
Setelah setahun hidup bersama dengan Tuan Mellema, kon¬trak papamu habis. Ia tidak memperpanjangnya. Sudah sejak di Tulangan ia menternakkan sapi perah dari Australia dan diajari¬nya aku bagaimana memeliharanya. Di malamhari aku diajari¬nya baca-tulis, bicara dan menyusun kalimat Belanda.
Kami pindah ke Surabaya. Tuan Mellema membeli tanah luas di Wonokromo tempat kita ini, Ann. Tapi dulu belum seramai sekarang, masih berupa padang semak dan rumpun-rumpun hutan muda. Sapi-sapi dipindahkan kemari.
Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sederajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa berte¬mu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukeija- kan dalam setahun itu telah mengembalikan hargadiriku. Tetapi sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergan¬tung pada siapa pun.Tentu saja sangat berlebihan seorang perem¬puan Jawa bicara tentang hargadiri, apalagi semuda itu. Papamu yang mengajari, Ann. Tentu saja jauh di kemudianhari aku dapat rasakan wujud hargadiri itu.
Juga ke tempat baru ini beberapa kali ayah datang menengok, dan aku tetap menolak menemuinya.
“Temui ayahmu,” sekali Tuan Mellema menyuruh, “dia toh ayahmu sendiri.”
“Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bu¬kan tamu Tuan, sudah aku usir.”
“Jangan,” tegah Tuan.
“Lebih baik pergi dari sini daripada menemuinya.”
“Kalau pergi, bagaimana aku? Bagaimana sapi-sapi itu? Tak ada yang bisa mengurusnya.”
“Banyak orang bisa disewa buat mengurusnya.”
“Sapi-sapi itu hanya mengenal kau.”
Begitulah aku mulai mengerti, sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Mellema. Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. Tuan tidak pernah menolak. Ia pun tak pernah memaksa aku kecuali dalam belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tapi baik, aku seorang murid yang taat dan juga baik. Mama tahu, semua yang diajarkannya pada suatu kali kelak akan berguna bagi diriku dan anak-anakku kalau Tuan pulang ke Nederland.”
Tentang Sastrotomo ia tidak mendesak-desak lagi. Beberapa kali jurutulis itu menyampaikan pesan melalui Tuan, kalau sekiranya aku segan menemuinya, hendaklah menulis sepucuk surat. Aku tak pernah laksanakan. Biar pun hanya sebaris-dua. Biar pun aku sudah pandai menulis, juga dalam Melayu dan Belanda. Berkali-kali Sastrotomo menyurati. Tak pernah aku membacanya, malah kukirim balik.
Pada suatu kali Ibu bersama Ayah datang keWonokromo.Tuan merasa gelisah, mungkin malu, karena aku tetap tidak mau menemui. Tamu itu, menurut Tuan, telah merajuk minta berte¬mu. Ibu sampai menangis. Melalui Tuan aku katakan:
“Anggaplah aku sebagai telornya yang telah jatuh dari peta- rangan. Pecah. Bukan telor yang salah.”
Dengan itu selesai persoalan antara diriku dengan orangtuaku.
Mengapa kau mencekam lenganku, Ann? Kau kudidik jadi pengusaha dan pedagang. Tidak patut melepas perasaan dan mengikutinya. Dunia kita adalah untung dan rugi. Kau tidak setuju terhadap sikap Mama, bukan? Hmm, sedang ayam pun, terutama induknya tentu, membela anak-anaknya, terhadap elang dari langit pun. Mereka patut mendapat hukuman yang setimpal. Kau sendiri juga boleh bersikap begitu terhadap Mama. Tapi nanti, kalau sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Tuan kemudian mendatangkan sapi baru. Juga dari Australia. Pekegaan semakin banyak. Pekeija-pekeija harus disewa. Semua pekerjaan di dalam lingkungan perusahaan mulai diserahkan kepadaku oleh Tuan. Memang mula-mula aku takut memerin¬tah mereka. Tuan membimbing. Katanya: Majikan mereka ada¬lah penghidupan mereka, majikan penghidupan mereka adalah kau! Aku mulai berani memerintah di bawah pengawasannya. Ia tetap keras dan bijaksana sebagai guru. Tidak, tak pernah ia memukul aku. Sekali saja dilakukan, mungkin tulang-belulangku berserakan. Bagaimana pun sulitnya lama kelamaan dapat ku¬lakukan apa yang dikehendakinya.
Tuan sendiri melakukan pekeijaan di luar perusahaan. Ia per¬gi mencari langganan. Perusahaan kita mulai beijalan baik dan lancar.
Pada waktu itu Darsam datang sebagai orang gelandangan tanpa pekerjaan. Ia seorang yang mencintai kerja, apa saja yang diberikan padanya. Pada suatu malam seorang maling telah di¬tangkapnya melalui pertarungan bersenjata. Ia menang. Maling itu tewas. Memang ada terjadi perkara, tetapi ia bebas. Sejak itu ia mendapat kepercayaanku kuangkat jadi tangan-kananku. Se¬mentara Tuan semakin jarang tinggal di rumah.
Hampir saja Mama lupa menceritakan, Ann. Tuan juga yang mengajari aku berdandan dan memilih warna yang cocok. Ia suka menunggui waktu aku berhias. Pernah pada saat-saat seperti itu ia bilang:
“Kau harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian berantakan juga pencerminan perusahaan yang kusut-berantakan, tak dapat dipercaya.”
Lihat, kan semua keinginannya telah kupenuhi? Kupuaskan segala kebutuhannya? Aku selalu dalam keadaan rapi. Malah akan tidur pun kadang masih kuperlukan berhias. Cantik menarik sungguh lebih baik daripada kusut, Ann. Ingat-ingat itu. Dan setiap yang buruk tak pernah menarik. Perempuan yang tak dapat merawat kecantikan sendiri, kalau aku lelaki, akan kuka¬takan pada teman-temanku: jangan kawini perempuan semacam itu; dia tak bisa apa-apa, merawat kulitnya sendiri pun tidak kuasa.
Tuan bilang:
“Kau tidak boleh berkinang, biar gigimu tetap putih gemer¬lapan. Aku suka melihatnya, seperti mutiara.”
Dan aku tidak berkinang.
Ann, hampir setiap bulan datang kiriman buku dan majalah dari Nederland.Tuan suka membaca. Aku tak mengerti menga¬pa kau tidak seperti ayahmu, padahal aku pun suka membaca. Tak sebuah pun dari bacaannya berbahasa Melayu. Apalagi Ja¬wa. Bila pekeijaan selesai, di senjahari, kami duduk di depan pondok kami, pondok bambu, Ann — belum ada rumah indah kita ini - dia suruh aku membaca. Juga koran. Dia dengarkan 
bacaanku, membetulkan yang salah, menerangkan arti kata yang aku tidak mengerti. Begitu setiap hari sampai kemudian diajari¬nya aku menggunakan kamus sendiri. Aku hanya budak belian. Semua harus kulakukan sebagaimana dia kehendaki. Setiap hari. Kemudian diberinya aku jatah bacaan. Buku, Ann. Aku harus dapat menamatkan dan menceritakan isinya.
Ya, Ann, Sanikem yang lama makin lama makin lenyap. Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan pengelihatan dan pandangan baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan bebe¬rapa tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masalalu lagi. Kadang aku bertanya pada diri sendiri: adakah aku sudah jadi wanita Belanda berkulit coklat? Aku tak berani menjawab, sekalipun dapat kulihat betapa terkebelakangnya Pribumi seke¬lilingku. Mama tak punya pergaulan banyak dengan orang Ero¬pa kecuali dengan Papamu.
Pernah aku tanyakan padanya, apa wanita Eropa diajar se-bagaimana aku diajar sekarang ini? Tahu kau jawabannya?
“Kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang Peranakan.”
Ah, betapa berbahagia dengannya, Ann. Betapa dia pandai memuji dan membesarkan hati. Maka aku rela serahkan seluruh jiwa dan ragaku padanya. Kalau umurku pendek, aku ingin mati di tangannya, Ann. Aku benarkan tindakan telah putuskan se¬gala dengan masalalu. Dia tepat seperti diajarkan orang Jawa:^wrw laki, guru dewa. Barangkali untuk membuktikan kebenaran ucapannya ia berlangganan beberapa majalah wanita dari Ne¬derland untukku.
Kemudian Robert lahir. Empat tahun setelah itu kau, Ann. Perusahaan semakin besar. Tanah bertambah luas. Kami dapat membeli hutan liar desa di perbatasan tanah kita. Semua dibeli atas namaku. Belum ada sawah atau ladang pertanian. Setelah perusahaan menjadi begitu besar, Tuan mulai membayar tena¬gaku, juga dari tahun-tahun yang sudah. Dengan uang itu aku beli pabrik beras dan peralatan keija lainnya. Sejak itu perusa¬
haan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga mi¬likku. Kemudian aku mendapat juga pembagian keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang pe¬rusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.
Kau sudah tidur? Belum? Baik.
Setelah lama mengikuti majalah-majalah wanita itu dan men-jalankan banyak dari petunjuknya, pada suatu kali kuulangi per-tanyaanku pada Tuan:
“Sudahkah aku seperti wanita Belanda?”
Papamu hanya tertawa mengakak, dan:
“Tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti yang sekarang. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua. Semua!” Ia tertawa mengakak lagi.
Barangtentu dia melebih-lebihkan. Tapi aku senang, dan ber-bahagia. Setidak-tidaknya aku takkan lebih rendah daripada mereka. Aku senang mendengar puji-pujiannya. Ia tak pernah mencela, hanya pujian melulu. Tak pernah mendiamkan per¬tanyaanku, selalu dijawabnya. Mama semakin berbesar hati, se¬makin berani.
Kemudian, Ann, kemudian kebahagiaan itu terguncang dah- sat, menggeletarkan sendi-sendi kehidupanku. Pada suatu hari aku dan Tuan datang ke Pengadilan untuk mengakui  Robert dan kau sebagai anak Tuan Mellema. Pada mulanya aku men¬duga, dengan pengakuan itu anak-anakku akan mendapatkan pengakuan hukum sebagai anak syah. Ternyata tidak, Ann. Abangmu dan kau tetap dianggap anak tidak syah, hanya diakui sebagai anak Tuan Mellema dan punya hak menggunakan nama¬nya. Dengan campurtangan Pengadilan hukum justru tidak mengakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi, walau Mama ini yang melahirkan. Sejak pengakuan itu kalian, menurut hukum, hanya anak dari Tuan Mellema. Menu¬rut hukum, Ann, hukum Belanda di sini, jangan kau keliru. Kau tetap anakku. Pada waktu itu baru aku tahu betapa jahatnya hukum. Kalian mendapatkan seorang ayah, tapi kehilangan ibu.
Kelanjutannya, Ann,Tuan menghendaki kalian berdua dibap¬tis. Aku tidak ikut mengantarkan kalian ke gereja. Kalian pulang lebih cepat. Pendeta menolak pembaptisan kalian. Papamu men¬jadi murung.
“Anak-anak ini berhak mempunyai ayah,” kata Tuan. “Me¬ngapa mereka tidak berhak mendapatkan karunia pengampunan dari Kristus?”
Aku tak mengerti soal-soal itu, dan diam saja. Setelah menge-tahui, kalian bisa menjadi syah hanya pada waktu perkawinan kami di depan Kantor Sipil, untuk kemudian bisa dibaptis, mulailah aku setiap hari merajuk Tuan supaya kami kawin di Kantor. Aku merajuk dan merajuk. Papamu yang murung dalam beberapa hari belakangan itu mendadak menjadi marah. Marah pertama kali dalam beberapa tahun itu. Ia tak menjawab. Juga tak pernah menerangkan sebabnya. Maka kalian tetap anak-anak tidak syah menurut hukum. Tidak pernah dibaptis pula.
Aku tak pernah mencoba lagi, Ann. Mama sudah harus senang dengan keadaan ini. Untuk selamanya takkan ada orang akan memanggil aku Mevrouw. Panggilan Nyai akan mengikuti aku terus, seumur hidup. Tak apa asal kalian mempunyai ayah cukup terhormat, dapat dipegang, dapat dipercaya, punya kehormatan. Lagi pula pengakuan itu mempunyai banyak arti di tengah-te¬ngah masyarakatmu sendiri. Kepentinganku sendiri tak perlu orang menilai, asal kalian mendapatkan apa seharusnya jadi hak kalian. Kepentinganku? Aku dapat urus sendiri. Ah, kau sudah tidur.
“BELUM, MA,” bantahku.
Aku masih juga menunggu kata-katanya tentang kau, Mas. Di waktu lain, pada kesempatan lain, mungkin ia tak dapat bicara sebanyak ini. Jadi aku harus bersabar sampai ia bercerita tentang hubungan kita berdua, Mas.
Jadi aku bertanya untuk ancang-ancang:
“Jadi akhirnya Mama mencintai Papa juga.”
“Tak tahu aku apa arti cinta. Dia jalankan kewajiban dengan baik, demikian juga aku. Itu sudah cukup bagi kami berdua. Kalau pun dia nanti pulang ke Nederland aku tidak akan meng¬halangi, bukan saja karena memang tidak ada hak padaku, juga kami masing-masing tidak saling berhutang. Dia boleh pergi setiap waktu. Aku telah merasa kuat dengan segala yang telah kupelajari dan kuperoleh, aku punya dan aku bisa. Mama toh hanya seorang gundik yang dahulu telah dibelinya dari orangtua- ku. Simpananku sudah belasan ribu gulden, Ann.”
“Tak pernah Mama menengok keluarga di Tulangan?”
“Tak ada keluargaku di Tulangan. Ada hanya di Wonokromo. Beberapa kali Abang Paiman datang berkunjung dan memang aku terima. Dia datang untuk minta bantuan. Selalu begitu. Terakhir kedatangannya untuk mengabarkan: Sastrotomo mati dalam serangan wabah kolera bersama yang lain-lain. Istrinya meninggal terlebih dahulu entah karena apa.”
“Mungkin lebih baik kalau kita pernah menengoknya, Ma?”
“Tidak. Sudah baik begitu. Biar putus semua yang sudah- sudah. Luka terhadap kebanggaan dan hargadiri tak juga mau hilang. Bila teringat kembali bagaimana hina aku dijual Aku
tak mampu mengampuni kerakusan Sastrotomo dan kelemahan istrinya. Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.”
“Kau terlalu keras, Ma, terlalu.”
“Bakal jadi apa kau ini kalau aku tidak sanggup bersikap keras? Terhadap siapa saja. Dalam hal ini biar cuma aku yang jadi kur¬ban, sudah kurelakan jadi budak belian. Kaulah yang terlalu lemah, Ann, berbelas-kasihan tidak pada tempatnya.”
Dan Mama masih juga belum bicara tentang kau. Nampaknya Mama tak pernah mencintai Papa, maka aku malu bicara ten¬tang itu, Mas. Papa tetap orang asing bagi Mama. Sedang kau, Mas, mengapa kau begitu dekat padaku sekarang? Selalu dan selalu kau terbayang dan terbayang, dan aku sendiri selalu ingin di dekatmu?
“Kemudian datang pukulan kedua terhadap diriku, Ann,” Mama meneruskan. “Tak tersembuhkan.”

PEMERINTAH MEMUTUSKAN melakukan perbaikan dan peningkat¬an atas pelabuhan Tanjung Perak. Rombongan ahli bangunan- air didatangkan dari Nederland. Pada waktu itu perdagangan susu kita berkembang dengan baiknya. Setiap bulan bertambah- tambah saja permintaan untuk jadi langganan baru. Komplex D.P.M.  sepenuhnya berlangganan pada kita. Mendadak, seperti petir, bencana datang menyambar. Petir bencana.
Mama turun dari ranjang untuk minum. Kamar itu gelap.Tak ada orang mendengarkan kami berdua di kamar loteng itu. Malam itu senyap. Sayup datang suara ketak-ketik pendule mela¬lui pintu terbuka, datang dari persada. Dan bunyi itu lenyap ketika Mama masuk lagi dan menutup pintu itu.
Dalam rombongan ahli itu terdapat seorang insinyur muda. Mula-mula aku baca namanya dalam koran: Insinyur Maurits Meliema. Sedikit dari sejarah-hidupnya diperkenalkan. Dia se¬orang insinyur yang keras hati. Dalam kariernya yang masih pendek ia telah menunjukkan prestasi besar, katanya.
Mungkin dia keluarga Papamu, pikirku. Aku tak suka ada orang lain akan mencampuri kehidupan kami yang sudah te¬nang, mapan, dan senang. Perusahaan tak boleh tersentuh oleh siapa pun. Maka koran itu kusembunyikan sebelum ia sempat membacanya. Kukatakan koran belum juga datang, mungkin pengantarnya sakit.Tuan Meliema tak menanyakan lebih lanjut.
Tiga bulan kemudian, Mama meneruskan, waktu itu kau dan Robert sudah pergi bersekolah, datang seorang tamu, meng¬gunakan kereta Gubermen yang besar dan bagus, ditarik dua ekor kuda. Papamu sedang bekerja di belakang. Mama sendiri sedang bekeija di kantor. Memang suatu kesialan mengapa Tuan tidak di kantor dan aku di belakang pada hari itu.
Kereta Gubermen itu berhenti di depan tangga rumah. Aku tinggalkan kantor untuk menyambut. Barangkali saja ada jawat¬an memerlukan barang-barang dari susu. Masih dapat kulihat seorang Eropa muda turun dari dalamnya. Ia berpakaian serba putih. Jasnya putih, tutup, jas seorang opsir Marine. Ia mengena¬kan pet Marine, tapi tak ada tanda pangkat pada lengan baju atau bahunya. Badannya tegap dan dadanya bidang. Ia mengetuk pin¬tu beberapa kali tanpa ragu. Wajahnya mirip Tuan Mellema. Kancing-kancing perak pada bajunya gemerlapan dengan gam¬bar jangkar.
Dengan Melayu buruk ia berkata pendek dan angkuh, yang sudah sejak pertama kurasai sebagai kurang ajar dan bertentang¬an dengan kesopanan Eropa yang kukenal:
“Mana Tuan Mellema,” tanyanya tanpa tanda tanya.
“Tuan siapa?” tanyaku tersinggung.
“Hanya Tuan Mellema yang kuperlukan,” katanya lebih kasar daripada sebelumnya.
Kembali aku merasa sebagai seorang nyai yang tak punya hak untuk dihormati di rumah sendiri. Seakan aku bukan pemegang saham perusahaan besar ini. Mungkin dia menganggap aku menumpang hidup pada Tuan Mellema. Tanpa bantuanku Tuan takkan mungkin mendirikan rumah kita ini, Ann. Tamu itu tak punya hak untuk bersikap seangkuh itu.
Aku tak silakan dia duduk dan aku tinggalkan dia berdiri. Seseorang kusuruh memanggil Tuan.
Papamu mengajari aku untuk tidak membacai surat dan men-dengarkan pembicaraan yang bukan hak. Tapi sekali ini aku memang curiga. Pintu yang menghubungkan kantor dengan ruangdepan kukirai sedikit. Aku harus tahu siapa dia dan apa yang dikehendakinya.
Orang muda itu masih tetap berdiri waktu Tuan datang. Dari kiraian kulihat papamu berdiri terpakukan pada lantai.
“Maurits!” tegur Tuan, “kau sudah segagah ini.”
Sekaligus aku tahu itulah kiranya Insinyur Maurits Mellema, anggota rombongan ahli bangunan-air di Tanjung Perak.
Dia tak menjawab sapaan, Ann, tapi membetulkannya dengan tak kurang angkuh:
“In-si-nyur Maurits Mellema,Tuan Mellema!”
Papamu nampak terkejut mendapat pembetulan itu.Tamu itu sendiri tetap berdiri. Papamu menyilakan duduk, tapi ia tidak menanggapi, juga tidak duduk.
Kau harus dengar cerita ini baik-baik, Ann, tak boleh kau lupakan. Bukan saja karena anak-cucumu kelak harus menge¬tahui, juga karena kedatangannya merupakan pangkal kesulitan Mama dan kau, dan perusahaan ini.
Kata tamu Belanda muda itu:
“Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting daripada duduk. Dengarkan, Tuan Mellema! Ibuku, Mevrouw Amelia Mellema-Hammers, setelah Tuan ting¬galkan secara pengecut, harus membanting-tulang untuk meng¬hidupi aku, menyekolahkan aku, sampai aku berhasil jadi in¬sinyur. Aku dan Mevrouw Mellema-Hammers sudah bertekad tak mengharapkan kedatangan Tuan, Tuan Mellema. Tuan lebih kami anggap telah lenyap ditelan bumi. Kami tak mencari be¬rita di mana Tuan berada.”
Dari kiraian pintu nampak olehku bagian samping muka pa¬pamu. Ia mengangkat kedua belah tangan. Bibirnya bergerak- gerak tapi tak ada suara keluar dari mulutnya. Pipinya menggele¬tar tak terkendali. Kemudian kedua tangannya jatuh terkulai.
Ann, Insinyur Mellema mengatakan begini:
“Tuan telah tinggalkan pada Mevrouw Amelia Mellema- Hammers satu tuduhan telah berbuat serong. Aku, anaknya, ikut merasa terhina. Tuan tak pernah mengajukan soal ini ke depan Pengadilan. Tuan tidak memberi kesempatan pada ibuku untuk membela diri dan kebenarannya. Entah pada siapa lagi tuduhan kotor terhadap ibuku telah Tuan sampaikan atau ceritakan. Ke-betulan sekarang ini aku sedang berdinas di Surabaya, Tuan Mellema. Kebetulan pula pada suatu kali terbaca olehku dalam koranlelang sebuah iklan penawaran barang-barang susu dan dari susu bikinan Boerderij Buitenzorg dan nama Tuan terpampang di bawahnya. Telah aku sewa seorang tenaga penyelidik untuk mengetahui siapa Tuan. Betul, H. Mellema adalah Herman Mellema, suami ibuku, Nyonya Amelia Mellema-Hammers. Ibuku sebenarnya bisa kawin lagi dan hidup berbahagia, tetapi Tuan telah menggantung perkaranya.”
“Dari dulu dia bisa datang ke Pengadilan kalau membutuh¬kan cerai,” jawab Papamu, lemah sekali seakan takut pada anak¬nya sendiri yang sudah jadi segalak itu.
“Mengapa mesti Mevrouw Mellema-Hammers kalau yang menuduh Tuan? Kalau betul yakin ibuku serong, mengapa Tuan tidak majukan tuntutan cerai sekarang juga pada Pengadilan?”
“Kalau aku yang mengajukan perkara, ibumu akan kehilang¬an semua haknya atas perusahaan-susuku di sana.”
“Jangan mengandai dan mengagak, Tuan Mellema. Nyatanya Tuan tidak pernah menjadikannya perkara. Mellema-Hammers telah jadi kurban pengandaian dan pengagakan Tuan.”
“Kalau ibumu sejak dulu tak keberatan skandal itu diketahui umum, tentu aku telah lakukan tanpa nasihatmu.”
“Dahulu ibuku belum mampu menyewa pengacara. Sekarang anaknya sanggup, bahkan yang semahal-mahalnya. Tuan bisa buka perkara. Tuan juga cukup kaya untuk menyewa, juga cu¬kup berada untuk membayar alimentasi.”
Nah, Ann, jelaslah sudah, Insinyur Mellema tak lain dari anak tunggal papamu, anak syah satu-satunya dengan istrinya yang syah. Dia datang sebagai penyerbu untuk mengobrak-abrik ke¬hidupan kita. Aku gemetar mendengar semua itu. Sedangkan 
jurutulis Sastrotomo dan istrinya tak boleh menjamah kehidup¬an kita, Paiman pun tidak. Juga tidak oleh perubahan sikap Tuan Mellema sekiranya sikapnya berubah. Tidak oleh siapa pun di antara anak-anakku. Keluarga dan perusahaan harus tetap begi¬ni. Sekarang datang saudara-tirimu yang bukan saja hendak menjamah. Ia datang menyerbu untuk mengobrak-abrik.
Sampai waktu itu aku masih tidak ikut bicara.Tak tahan men-dengar ucapannya aku keluar untuk meredakan suasana. Tentu aku harus bantu Tuan.
“Penyelidik itu memberikan padaku keterangan yang sangat teliti dan dapat dipercaya,” ia meneruskan tanpa mengindahkan kehadiranku. “Aku tahu apa saja ada di dalam setiap kamar ru¬mah ini berapa pekeijamu, berapa sapimu, berapa ton hasil padi dan palawija dari ladang dan sawahmu, berapa penghasilanmu setiap tahun, berapa depositomu. Yang terhebat dari semua itu, Tuan Mellema, sesuatu yang menyangkut azas hidup Tuan te¬lah meninggalkan dakwaan serong pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers. Apa kenyataannya sekarang? Tuan secara hukum masih suami ibuku. Tapi Tuanlah yang justru telah mengambil seorang wanita Pribumi sebagai teman tidur, tidak untuk sehari-dua, sudah berbelas tahun! siang dan malam. Tan¬pa perkawinan syah. Tuan sudah menyebabkan lahirnya dua orang anak haram-jadah!”
Darahku naik ke kepala mendengar itu. Bibirku menggeletar kering. Gigiku mengkertak.Aku melangkah pelahan mendekati¬nya dan sudah siap hendak mencakar mukanya. Dia telah hina¬kan semua yang telah aku selamatkan, pelihara dan usahakan, dan aku sayangi selama ini.
“Ucapan yang hanya patut didengarkan di rumah Mellema- Hammers dan anaknya!” tangkisku dalam Belanda.
Bahkan melihat padaku ia tidak sudi, Ann, apalagi mende¬ngarkan suara geramku, si kurangajar itu. Airmukanya pun tidak berubah. Dianggapnya aku hanya sepotong kayubakar. Dia nilai aku menyerongi ayahnya dan ayahnya menyerongi aku.
Boleh jadi memang haknya dan hak seluruh dunia. Tetapi bahwa papamu dan aku dianggap berbuat curang terhadap se¬orang perempuan tak kukenal bernama Amelia dan anaknya kekurangajaran seperti itu sudah puncaknya. Dan tegadi di ru¬mah yang kami sendiri usahakan dan dirikan, rumah kami sendiri....
“Tak ada hak padamu bicara tentang keluargaku!” raungku kalap dalam Belanda.
“Tak ada urusan dengan kowe, Nyai,” jawabnya dalam Me¬layu, diucapkan sangat kasar dan kaku, kemudian ia tidak mau melihat padaku lagi.
“Ini rumahku. Bicara kau seperti itu di pinggir jalan sana, jangan di sini.”
Ayahmu juga aku beri isyarat untuk pergi, tapi ia tidak faham. Sedang si kurangajar itu tak mau melayani aku. Papamu malah hanya mendomblong seperti orang kehilangan akal. Ternyata kemudian memang demikian.
“Tuan Mellema,” katanya lagi dalam Belanda, tetap tak meng-gubris aku. “Biar pun Tuan kawini nyai, gundik ini, perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekiranya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrouw Amelia Mellema- Hammers, lebih dari semua kebusukan yang Tuan pernah tuduh¬kan pada ibuku. Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! mencampurkan darah Kristen Eropa dengan darah kafir Pribumi berwarna! dosa tak terampuni!”
“Pergi!” raungku. Dia tetap tak menggubris aku. “Bikin ka¬cau rumahtangga orang. Mengaku insinyur, sedikit kesopanan pun tak punya.”
Dia tetap tak layani aku. Aku maju lagi selangkah dan ia mun¬dur setengah langkah, seakan menunjukkan kejijikannya dide¬kati Pribumi.
“Tuan Mellema, jadi Tuan tahu sekarang siapa Tuan sesung-guhnya.”
Ia berbalik memunggungi kami, menuruni anak tangga, ma¬suk ke dalam keretanya, tanpa menengok atau pun mengucap¬kan sesuatu.
Papamu masih juga terpakukan pada lantai, dalam keadaan bengong.
“Jadi begitu macamnya anak dari istrimu yang syah,” raungku pada Tuan. “Begitu macamnya peradaban Eropa yang kau ajar¬kan padaku berbelas tahun? Kau agungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki pedalaman rumahtangga dan peng¬hidupan orang, menghina, untuk pada suatu kali akan datang memeras? Memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa menyelidiki urusan orang lain?”
Ann, Tuan ternyata tak mendengar raunganku. Waktu bola matanya bergerak, pandangnya diarahkan ke jalan raya tanpa mengedip. Aku ulangi raunganku. Ia tetap tak dengar. Beberapa orang pekerja datang berlarian hendak mengetahui apa sedang terjadi. Melihat aku sedang meradang murka pada Tuan mereka buyar mengundurkan diri.
Aku tarik-tarik dan aku garuki dada Tuan. Dia diam saja, tak merasai sesuatu kesakitan. Hanya kesakitan dalam hatiku sendiri yang mengamuk mencari sasaran. Aku tak tahu apa sedang di-pikirkannya. Barangkali ia teringat pada istrinya. Betapa sakit hati ini, Ann, lebih-lebih lagi dia tak mau tahu tentang kesakitan yang kuderitakan dalam dada ini.
Lelah menarik-narik dan menggaruki aku menangis, ter¬duduk kehabisan tenaga, seperti pakaian bekas teijatuh di kursi. Kutelungkupkan muka pada meja. Mukaku basah.
Kapan selesai penghinaan atas diri nyai yang seorang ini? Haruskah setiap orang boleh menyakiti hatinya? Haruskah aku mengutuki orangtuaku yang telah mati, yang telah menjual aku jadi nyai begini? Aku tak pernah mengutuki mereka, Ann. Apa orang tidak mengerti, orang terpelajar itu, insinyur pula, dia bukan hanya menghina diriku, juga anak-anakku? Haruskah anak-anakku jadi kranjang sampah tempat lemparan hinaan? Dan mengapa Tuan, Tuan Herman Mellema, yang bertubuh tinggi- besar, berdada bidang, berbulu dan berotot perkasa itu tak pu¬nya sesuatu kekuatan untuk membela teman-hidupnya, ibu anak-anaknya sendiri? Apa lagi arti seorang lelaki seperti itu? Kan dia bukan saja guruku, juga bapak anak-anakku, dewaku? Apa guna semua pengetahuan dan ilmunya? Apa guna dia jadi orang Eropa yang dihormati semua Pribumi? Apa guna dia jadi tuanku dan guruku sekaligus, dan dewaku, kalau membela dirinya sendi¬ri pun tak mampu?
Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. Didikan¬nya tentang hargadiri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam diriku. Dia tidak lebih dari seorang Sastrotomo dan istrinya. Kalau cuma sampai di situ bobotnya dalam menghadapi ujian sekecil itu, tanpa dia pun aku dapat urus anak-anakku, dapat lakukan segalanya seorang diri. Betapa sakit hatiku, Ann, lebih dari itu takkan mungkin terjadi dalam hidupku.
Waktu kuangkat kepala, pandangku yang terselaputi airmata menampak Tuan masih juga berdiri tanpa berkedip, bengong, memandang jauh ke arah jalan raya. Melihat pada diriku, teman- hidup dan pembantu utamanya ini, ia tidak. Kemudian ia ter¬batuk-batuk, melangkah, lambat-lambat. Ia berseru-seru pelan, seperti takut kedengaran oleh iblis dan setan:
“Maurits! Maurits!”
Ia begalan menuruni anaktangga, melintasi pelataran depan. Sampai dijalan raya ia membelok ke kanan, ke jurusan Surabaya. Ia tak bersepatu, dalam pakaian kega ladang, hanya berselop.
Papamu tak pulang dalam sisa hari itu. Aku tak peduli. Masih sibuk aku mengurusi hatiku yang kesakitan. Malamnya ia juga tak pulang. Keesokannya juga tidak. Tiga harmal, Ann. Selama itu sia-sia saja airmata yang membasahi bantal.
Darsam melakukan segalanya. Pada akhir hari ketiga ia mem-beranikan diri mengetuk pintu. Kaulah, Ann, yang membuka¬kan pintu rumah dan mengantarkannya naik ke loteng.Tak per¬nah aku menyangka ia berani naik. Sakithati dan dukacita sekali¬gus berubah jadi amarah yang meluap. Kemudian terpikir oleh-
ku, barangkali ada sesuatu yang dianggapnya lebih penting dari¬pada dukacita dan sakithatiku. Pintu kamar itu memang tiada terkunci. Engkaulah, Ann, yang membukakannya. Mungkin kau sudah lupa pada peristiwa itu. Dan itulah untuk pertama dan akhir kali ia naik ke loteng.
Darsam bilang begini:
“Nyai, kecuali baca-tulis, semua sudah Darsam kerjakan,” ia bicara dalam Madura. Aku tak menjawab. Aku tak pikirkan urus¬an perusahaan. Aku tetap bergolek di ranjang memeluk bantal. “Jangan Nyai kuatir. Semua beres. Darsam ini, Nyai, percayalah padanya.”
Ternyata dia memang bisa dipercaya.
Pada hari keempat aku keluar dari rumah dan pekarangan. Kuambil engkau dan kukeluarkan dari sekolah. Perusahaan ha¬sil j erih-pay ah kami berdua ini tak boleh rubuh sia-sia. Dia ada¬lah segalanya di mana kehidupan kita menumpang. Dia adalah anak-pertamaku, Ann, abang tertua bagimu, perusahaan ini.
Mengakhiri cerita itu Mama tersedu-sedu menangis, merasai kembali sakitnya penghinaan yang ia tak dapat menangkis atau membalas. Setelah reda, ia meneruskan lagi:
“Kau tahu sendiri, sesampai kita pulang, berapa orang waktu itu? - lebih limabelas - aku usir dari pekerjaan dan tanah kita. Mereka itu yang telah menjual keterangan pada Maurits untuk mendapatkan setalen-dua. Barangkali juga tidak dibayar sama sekali. Juga Mama perlu meminta maaf padamu, Ann. Papamu dan aku sudah bersepakat menyekolahkan kau ke Eropa, belajar jadi guru. Aku merasa sangat, sangat berdosa telah mengeluar¬kan kau dari sekolah. Aku telah paksa kau bekerja seberat itu sebelum kau cukup umur, bekerja setiap hari tanpa liburan, tak punya teman atau sahabat, karena memang kau tak boleh punya demi perusahaan ini. Kau kuharuskan belajar jadi majikan yang baik. Dan majikan tidak boleh berteman dengan pekerjanya. Kau tak boleh dipengaruhi oleh mereka. Apa boleh buat, Ann.” 
SETELAH KEDATANGAN Insinyur Mellema, perubahan teijadi de-ngan hebatnya.Tentang Papa aku tahu sendiri tanpa diceritai oleh siapa pun. Pada hari yang ketujuh ia pulang. Anehnya ia berpakai¬an bersih, bersepatu baru. Itu teijadi pada sorehari sehabis keija. Mama, aku dan Robert sedang duduk di depan rumah. Dan Papa datang.
“Diamkan. Jangan ditegur,” perintah Mama.
Makin dekat makin kelihatan wajah Papa yang pucat tercukur bersih. Sisirannya sekarang sibak tengah. Bau minyakrambut yang tak dipergunakan dalam rumah ini merangsang penciuman kami. Juga bau minuman keras tercampur rempah-rempah. Ia melewati tempat kami tanpa menegur atau menengok, naik ke atas dan hilang ke dalam.
Tiba-tiba Robert bangkit, melotot pada Mama dan meng¬gerutu marah:
“Papaku bukan Pribumi!” ia lari sambil memanggil-manggil Papa.
Aku pandangi Mama. Dan Mama mengawasi aku, berkata pelan:
“Kalau suka, kau boleh ikuti contoh abangmu.”
“Tidak, Ma,” seruku dan kupeluk lehernya. “Aku hanya ikut Mama. Aku juga Pribumi seperti Mama.”
Nah, Mas, begitu keadaan kami sewajarnya. Aku tak tahu apa kau juga akan ikut menghinakan kami sebagaimana halnya de¬ngan Robert, abangku, dan Insinyur Maurits, abang tiriku.
Entah apa yang dilakukan Papa di dalam rumah. Kami tak tahu. Pintu-pintu kamar di loteng mau pun di persada semua terkunci.
Kira-kira seperempat jam kemudian ia keluar lagi. Sekali ini melihat pada Mama dan aku. Tak menegur. Di belakangnya mengikuti Robert. Papa kembali meninggalkan pelataran, turun ke jalan raya dan hilang. Robert masuk ke dalam rumah dengan wajah suram karena kecewa tak diindahkan Papa.
Sejak itu hampir aku tak pernah melihatnya dalam lima tahun
110
belakangan ini. Kadang saja ia muncul, tak bicara, dan pergi lagi tanpa bicara. Mama menolak dan tak mau mencari atau mengu-rusnya. Mama pun melarang aku mencarinya. Bahkan bicara tentangnya juga dilarang. Lukisan potret Papa diturunkan oleh Darsam dari dinding dan Mama memerintahkan membakarnya di pelataran, di bawah kesaksian seisi rumah dan pekeija. Barangkali itulah cara Mama melepaskan dendamnya.
Pada mulanya Robert diam saja. Setelah selesai baru ia mem-protes. Ia lari ke dalam rumah, menurunkan potret Mama dari bilik Mama dan membakarnya seorang diri di dapur.
“Ia boleh ikut papanya,” kata Mama pada Darsam.
Dan pendekar itu menyampaikan padanya dengan tambahan: “Siapa saja berani mengganggu Nyai dan Noni, tak peduli dia itu Sinyo sendiri, dia akan tumpas di bawah golok ini. Sinyo boleh coba kalau suka, sekarang, besok atau kapan saja. Juga kalau Sinyo coba-coba cari Tuan ....”
Dua bulan setelah peristiwa itu Robert lulus dari E.L.S. Dia tak pernah memberitakan pada Mama, dan Mama tidak ambil peduli. Ia keluyuran ke mana-mana. Permusuhan diam-diam antara Mama dan abangku beijalan sampai sekarang. Lima tahun.
Mula-mula Robert menjuali apa saja yang bisa diambilnya dari gudang, dapur, rumah, kantor, menjualnya untuk dirinya sendi¬ri. Mama mengusir setiap pekerja yang mau disuruhnya men¬curi buat kepentingannya. Kemudian Mama melarang Robert memasuki ruang mana pun kecuali kamarnya sendiri dan ruang- makan.
Lima tahun telah berlalu, Mas. Lima tahun. Dan muncul dua orang tamu: Robert untuk abangku, dan Minke untuk aku dan Mama. Kaulah itu, Mas, tidak lain dari kau sendiri.”

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02