Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer - 06

ASANYA BELUM LAGI LAMA AKU TERTIDUR. PUKULAN gugup pada pintu kamarku membikin aku mengge- ragap bangun.
“Minke, bangun,” suara Nyai.
Kudapati Mama berdiri di depan pintuku membawa lilin. Rambutnya agak kacau. Bunyi ketak-ketik pendule merajai ruangan di pagi gelap itu.
“Jam berapa, Ma?”
“Empat. Ada yang mencari kau.”
Di sitje telah duduk seorang dalam kesuraman. Makin dekat lilin padanya makin jelas agen polisi! Ia berdiri menghormat, kemudian langsung bicara dalam Melayu berlidah Jawa:
“Tuan Minke?”
“Benar.”
“Ada surat perintah untuk membawa Tuan. Sekarang juga,” ia ulurkan surat itu. Yang dikatakannya benar. Panggilan dari Kantor Polisi B., dibenarkan dan diketahui oleh Kantor Polisi Surabaya. Namaku jelas tersebut di dalamnya. Mama juga telah membacanya.
“Apa yang sudah kau perbuat selama ini, Nyo?” tanyanya.
“Tak sesuatu pun,’’jawabku gugup. Namun aku jadi ragu pada perbuatanku sendiri. Kuingat dan kuingat, kubariskan semua dari seminggu lewat. Kuulangi: “Tak sesuatu pun, Ma.” 
Annelies datang. Ia bergaun panjang dari beledu hitam. Ram-butnya kacau. Matanya masih layu.
Mama menghampiri aku:
“Agen itu tak pernah menyatakan kesalahanmu. Dalam surat juga tidak tertulis.” Dan kepada agen polisi itu: “Dia berhak mengetahui soalnya.”
“Tak ada perintah untuk itu, Nyai. Kalau tiada tersebut di dalamnya jelas perkaranya memang belum atau tidak boleh diketahui orang, termasuk oleh yang bersangkutan.”
“Tidak bisa begitu,” bantahku, “aku seorang Raden Mas, tak bisa diperlakukan asal saja begini,” dan aku menunggu jawaban. Melihat ia tak tahu bagaimana mesti menjawab aku teruskan, “Aku punya Forum Privilegiatum .”
“Tak ada yang bisa menyangkal, Tuan Raden Mas Minke.”
“Mengapa anda perlakukan semacam ini?”
“Perintah untukku hanya mengambil Tuan. Pemberi perintah tak akan lebih tahu tentang semua perkara, Tuan Raden Mas,” katanya membela diri. “Silakan Tuan bersiap-siap. Kita akan se¬gera berangkat. Jam lima sudah harus sampai di tujuan.”
“Mas, mengapa kau hendak dibawa?” tanya Annelies ketakut¬an. Aku rasai gigilan dalam suaranya.
“Dia tak mau mengatakan,” jawabku pendek.
“Ann, urus pakaian Minke dan bawa kemari,” perintah Nyai, “dia akan dibawa entah untuk berapa hari. Kan dia boleh mandi dan sarapan dulu?”
“Tentu saja, Nyai, masih ada sedikit waktu.”
Ia memberi waktu setengah jam.
Di ruangbelakang kudapati Robert sedang menonton kejadi¬an itu dari tempatnya. Ia hanya menguap menyambut aku. Di dalam kamarmandi mulai kutimbang-timbang kemungkinan: Robert penyebab gara-gara ini, menyampaikan laporan palsu yang bukan-bukan. Semalam dan kemarin malam dia tidak muncul untuk makan. Satu demi satu ancamannya terkenang kembali. Baik, kalau benar kau yang membikin semua keonaran ini. Aku takkan melupakan kau, Rob.
Kembali ke ruangdepan kopi telah tersedia dengan kue. Agen polisi itu sedang menikmati sarapan pagi. Ia kelihatan lebih sopan setelah mendapat hidangan. Dan nampak tak punya sikap per-musuhan pribadi terhadap kami semua. Malah ia bercerita sam¬bil tertawa-tawa.
“Tak ada teijadi sesuatu yang buruk, Nyai,” katanya akhirnya, “Tuan Raden Mas Minke paling lama akan kembali dalam dua minggu ini.”
“Bukan soal dua minggu atau sebulan. Dia ditangkap di ru¬mahku. Aku berhak tahu persoalannya,” desak Nyai.
“Betul-betul aku tak tahu. Maafkan. Itu sebabnya pengambil¬an dilakukan pada begini hari, Nyai, biar tak ada yang tahu.”
“Tak ada yang tahu? Bagaimana bisa? Kan Tuan telah mene¬mui penjaga rumah sebelum dapat bertemu denganku?”
“Kalau begitu urus saja penjaga itu biar tidak bicara.”
“Tak bisa aku dibikin begini,” kata Mama, “penjelasan akan kupinta dari Kantor Polisi.”
“Itu lebih baik lagi. Nyai akan segera mendapat penjelasan. Dan pasti benar.”
Annelies yang masih berdiri menjinjing kopor mendekati aku, tak bisa bicara. Kopor dan tas diletakkan di lantai. Tanganku diraih dan dipegangnya. Tangannya agak gemetar.
“Sarapan dulu, Tuan Raden Mas,” agen itu memperingatkan. “Di Kantor Polisi barangkali tak ada sarapan sebaik ini. Tidak? Kalau begitu mari kita berangkat.”
“Aku akan segera kembali, Ann, Mama. Tentu telah terjadi kekeliruan. Percayalah.”
Dan Annelies tak mau melepaskan tanganku.
Agen polisi itu mengangkatkan barang-barangku dan dibawa keluar. Annelies tetap mengukuhi tanganku waktu mengikuti agen keluar rumah. Aku cium pada pipinya dan kulepaskan pe¬gangannya. Dan ia masih juga tak bicara.
“Semoga selamat-selamat saja, Nyo,” Nyai mendoakan. “Sudah, Ann. Berdoalah untuk keselamatannya.”
Dokar yang menunggu ternyata bukan kereta polisi — dokar preman biasa. Kami naik dan berangkat ke jurusan Surabaya. Agen ini akan membawa aku ke B. Dan dalam gelap pagi itu kubayangkan setiap rumah yang pernah kulihat di B. Yang mana di antara semua itu menjadi tujuan? Kantor Polisi? Penjara? Losmen? Rumah-rumah preman barangtentu tidak masuk hitungan.
Di jalanan hanya dokar kami yang mewakili lalulintas. Grobak- grobak minyak bumi, yang biasanya bergerak pada subuh-hari dari kilang D.P.M. dalam iringan dua puluh sampai tiga puluh buah sekali jalan, sekarang tidak kelihatan. Seorang dua memikul sayuran untuk dijual di Surabaya. Dan agen itu menutup mulut seakan tak pernah belajar bicara dalam hidupnya.
Boleh jadi Robert memang telah memfitnah aku.Tapi menga¬pa B. jadi tujuan?
Lampu minyak dokar kami segan menembusi kegelapan su¬buh berhalimun itu. Seakan hanya kami, agen, aku, kusir, dan kuda, yang hidup di atas jalanan ini. Dan aku bayangkan Anne¬lies sedang menangis tak terhibur. Dan Nyai bingung, kuatir penangkapan atas diriku akan memberi nama buruk pada peru¬sahaan. Dan Robert Mellema akan mendapat alasan untuk berkaok: Nah, kan benar kata Suurhof?
Dokar membawa kami ke Kantor Polisi Surabaya. Aku diper-silakan duduk menunggu di ruangtamu. Sudah timbul keingin¬anku untuk menanyakan persoalanku. Nampaknya dalam udara pagi berhalimun orang tak berada dalam suasana memberi ke¬terangan. Aku tak jadi bertanya. Dan dokar masih tetap menung¬gu di depan kantor. Agen itu malah meninggalkan aku seorang diri tanpa berpesan.
Betapa lama. Matari tak juga terbit. Dan waktu terbit tidak mampu mengusir halimun. Butir-butir air yang kelabu itu me¬rajai segalanya, malah juga di pedalaman paru-paruku. Lalulintas di depan kantor mulai ramai: dokar, andong, pejalan kaki, pen¬jaja, pekeija. Dan aku masih juga duduk seorang diri di ruang- tamu.
Jam sembilan pagi kurang seperempat agen itu baru muncul. Nampaknya telah tidur barang sejam dan mandi air hangat. Ia kelihatan segar. Sebaliknya aku merasa lesu, lelah menunggu. Dan, masih tetap tak sempat bertanya.
“Mari, Tuan Raden Mas,” ajaknya ramah.
Kembali kami naik dokar, ke stasiun. Juga dia lagi yang meng-angkatkan barang-barangku, juga menurunkan dan mengiring¬kan ke loket. Ke dalamnya ia menyorongkan surat dan menda¬pat dua karcis putih — kias satu. Jam ini bukan masa keberangkat- an kereta express. Uh, naik kereta lambat pula. Benar saja, kami naik gerbong kereta yang membosankan itu, jurusan barat. Aku sendiri tak pernah naik kereta semacam ini. Selalu express kalau ada. Kecuali, yah, kecuali dari B. ke kotaku sendiri, T.
Agen itu kembali tidak bicara. Aku duduk pada jendela. Ia di hadapanku.
Gerbong itu sedikit saja penumpangnya. Selain kami berdua hanya tiga orang lelaki Eropa dan seorangTionghoa. Nampaknya semua dalam suasana kebosanan. Pada perhentian pertama pe-numpang sudah berkurang dengan dua, termasuk orang Tiong¬hoa itu. Penumpang baru tak ada.
Sudah berpuluh kali aku menempuh jarak ini. Maka peman-dangan sepanjang peijalanan tak ada yang menarik. Di B. biasa¬nya aku menginap di losmen untuk keesokan harinya menerus¬kan perjalanan ke T. Sekarang bukan menuju ke losmen lang¬ganan. Paling tidak di Kantor Polisi.
Pemandangan tambah lama tambah membosankan: tanah kersang, kadang kelabu, kadang kuning keputihan. Aku tertidur dengan perut lapar. Apa pun bakal teijadi, teijadilah. Uh, bumi  
manusia! Kadang muncul kebun tembakau, kecil, dan hilang tersapu kelajuan. Muncul lagi, kecil lagi, hilang lagi. Dan sawah dan sawah dan sawah, tanpa air, ditanami palawija menjelang panen. Dan kereta merangkak lambat, menyemburkan asap tebal, hitam, dan lebu, dan lelatu. Mengapa bukan Inggris yang me¬nguasai semua ini? Mengapa Belanda? Dan Jepang? Bagaimana Jepang?
Sentuhan tangan agen itu menyebabkan aku terbangun. Di sampingku telah tergelar bawaannya: kain pembungkus terbuka jadi landasan. Di atasnya: nasi goreng berminyak mengkilat, dengan sendok dan garpu, dihias matasapi dan sempalan goreng ayam di dalam wadah takir daun pisang. Mungkin sengaja dise¬diakan untukku. Seorang agen akan berpikir dua kali untuk menjamu makan demikian; terlalu mewah. Botol putih berisi susucoklat berdiri langsing di samping takir — minuman yang belum banyak dikenal Pribumi.
Dan kota B. yang suram itu akhirnya muncul juga di depan mata menjelang jam 5 sore. Ia tetap tak bicara. Tapi tetap mem¬bawa barang-barangku. Dan aku tak mencegahnya. Apa arti se¬orang agen polisi kias satu dibanding dengan siswa H.B.S.? Paling-paling dia hanya bisa sedikit baca dan tulis Jawa dan Melayu.
Dokar membawa kami meninggalkan stasiun. Ke mana? Aku kenal jalan-jalan putih batu cadas yang menyakitkan mata ini. Tidak ke hotel, tidak ke losmen langganan. Juga tidak ke Kan¬tor Polisi B.
Alun-alun itu nampak lengang dengan permadani rumputnya yang kecoklatan dan botak dan bocel di sana-sini. Ke mana hendak dibawa? Dokar sewaan menuju ke gedung bupati dan berhenti agak jauh di tentang pintu gerbang batu. Apa hubung¬an perkara ini dengan Bupati B.? Pikiranku mulai gila berge¬rayangan.
Dan agen itu turun dahulu, mengurus barang-barangku se¬perti sebelumnya.
“Silakan,” katanya tiba-tiba dalam Jawa kromo.
Kuiringkan dia memasuki Kantor Kabupaten, terletak di depan sebelah samping gedung bupati. Kantor yang lengang dari hiasan dinding, sunyi dari perabot yang patut, tanpa seorang pun di dalam. Semua perabot kasar, terbuat dari jati dan tidak dipo- litur, nampak tanpa ukuran kebutuhan dan tanpa perencanaan guna, asal jadi. Dari rumah mewah Wonokromo memasuki ruangan ini seperti sedang meninjau gudang palawija. Boleh jadi lebih mewah sedikit saja dari kandang ayam Annelies. Ini agak¬nya ruang pemeriksaan. Hanya ada beberapa meja, sedikit kursi dan beberapa bangku panjang. Di sana ada rak-rak dengan be¬berapa tumpuk kertas dan beberapa buah buku. Tak ada alat penyiksaan. Hanya botol-botol tinta di atas semua meja.
Agen itu meninggalkan aku seorang diri lagi. Dan untuk ke¬dua kalinya aku menunggu dan menunggu. Matari telah tengge¬lam. Dia belum juga muncul. Bedug masjid agung telah berta- lu, menyusul suara azan yang murung. Lentera jalanan sudah dinyalakan oleh tukanglampu. Kantor ini semakin gelap juga. Dan nyamuk yang keranjingan ini, mereka mengerubut, me¬nyerang satu-satunya orang di dalamnya. Kurangajar! sumpah¬ku. Begini orang mengurus seorang Raden Mas dan siswa H.B.S. pula? seorang terpelajar dan darah raja-raja Jawa?
Dan pakaian ini sudah terasa lengket pada tubuh. Badan sudah mulai diganggu bau keringat.Tak pernah aku mengalami aniaya semacam Ini.
“Beribu ampun, Ndoro Raden Mas,” agen itu menyilakan aku keluar dari kantor gelap penuh nyamuk itu. “Mari sahaya antarkan ke pendopo.”
Sekali lagi ia angkati barang-barangku.
Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. God! urusan apa pula? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskah merangkak di hadap¬annya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal? Dalam beijalan ke pendopo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri.Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek!
Nah, kan benar? Agen itu sudah mulai kurangajar menyila¬kan aku mencopot sepatu melepas kauskaki. Permulaan aniaya yang lebih hebat. Suatu kekuatan gaib telah memaksa aku mengikuti perintahnya. Lantai itu terasa dingin pada telapak kaki. Ia memberi isyarat, dan aku menaiki jenjang demi jenjang, melangkah ke atas. Ia tunjukkan padaku tempat aku harus duduk menekur: di depan sebuah kursi goyang. Kata salah seorang guruku: kursi goyang adalah peninggalan terindah dari Kompe¬ni sebelum mengalami kebangkrutannya. Aduhai, kursi goyang, kau akan jadi saksi bagaimana aku harus menghinakan diri sendi¬ri untuk memuliakan seorang bupati yang tak kukenal. Terku¬tuk! Apa teman-teman akan bilang bila melihat aku jalan berlu¬tut begini sekarang ini, seperti orang tak punya paha, merangkak mendekati peninggalan V.O.C. menjelang bangkrutnya? — kursi yang tak bergerak dekat pada dinding dalam pendopo itu?
“Ya, jalan berlutut, Ndoro Raden Mas,” agen itu seperti mengusir kerbau ke kubangan.
Dan jarak yang hampir sepuluh meter itu aku tempuh dengan menyumpah dalam lebih tiga bahasa.
Dan di kiri-kananku bersebaran hiasan lantai berupa kerang- kerangan. Dan lantai itu mengkilat terkena sinar empat lampu minyak. Sungguh, teman-teman sekolah akan mentertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek-moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam? Tak per¬nah terpikir olehmu, nenek-moyang yang keterlaluan! Ketu¬runanmu bisa lebih mulia tanpa menghinakan kau! Sial dangkal! Mengapa kau sampaihati mewariskan adat semacam ini?
Di depan kursi goyang aku berhenti. Duduk bersimpuh dan menekuri lantai sebagaimana diadatkan. Terus juga menyumpah dalam lebih tiga bahasa. Yang dapat kulihat di depanku adalah bangku rendah berukir dan di atasnya bantal alas kaki daripada beledu hitam. Sama dengan gaun Annelies sepagi tadi.
Baik, sekarang aku sudah menekuri lantai di hadapan kursi goyang keparat ini. Apa urusanku dengan Bupati B.? Tak ada. Sanak tidak, keluarga tidak, kenalan bukan, apalagi sahabat. Dan sampai berapa lama lagi aniaya dan hinaan ini masih harus ber-langsung? Menunggu dan menunggu sambil dianiaya dan dihi¬na begini?
Terdengar pintu-angin mengerait terbuka. Langkah selop kulit terdengar semakin lama semakin jelas. Dan teringat aku pada langkah sepatu menyeret Tuan Mellema pada malam menyeramkan dulu. Dari tempatku, selop yang melangkah-lang- kah itu mulai kelihatan, lambat-lambat. Di atasnya sepasang kaki bersih. Kaki lelaki. Di atasnya lagi kain batik berwiru lebar.
Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilaku¬kan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sem¬bah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia se¬bagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi um- mat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah - pengagungan pada leluhur dan pem¬besar melalui perendahan dan penghinaan diri! sampai sedatar ranah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini. 
Orang itu, Bupati B., mendeham. Kemudian lambat-lambat duduk di kursi goyang melepas selop di belakang bangku kaki dan meletakkan kakinya yang mulia di atas bantal beledu. Kursi mulai bergoyang-goyang sedikit. Keparat! Betapa lambat waktu belaian. Sebuah benda yang kuperkirakan agak panjang telah dipukul-pukulkan lembut pada kepalaku yang tak bertopi. Be¬tapa kurangajarnya makhluk yang harus kumuliakan ini. Setiap pukulan lembut harus kusambut dengan sembah terimakasih pula. Keparat!
Setelah lima kali memukul, benda itu ditariknya, kini tergan¬tung di samping kursi: cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi jantan dengan tangkai tertutup kulit pilihan, tipis.
“Kau!” tegurnya lemah, parau.
“Sahaya Tuanku Gusti Kanjeng Bupati,” kata mulutku, dan seperti mesin tanganku mengangkat sembah yang kesekian kali dan hatiku menyumpah entah untuk ke berapa kali.
“Kau! Mengapa baru datang?” suaranya makin jelas keluar dari tenggorokan yang sedang pada akhir selesma.
Rasanya aku pernah dengar suara itu. Pileknya juga yang menghalangi untuk dapat mengingat dengan baik. Tidak, tidak mungkin dia! Tak mungkin! Tidak! Dan aku tetap masih tidak mengerti duduk-perkara. Maka aku diam saja.
“Kanjeng Gubermen tak percuma punya dinas pos — mampu menyampaikan suratku dengan tepat pada alamat yang tepat dan selamat padamu.”
Benar, suara dia. Tidak mungkin! Tak ada syarat untuk itu. Tidak mungkin: aku hanya mengandai.
“Mengapa diam saja? Karena sudah tinggi sekolahmu sekarang merasa hina membaca suratku?”
Benar, suara dia! Aku angkat sembah sekali lagi, sengaja sedi¬kit mendongak dan melepas mata. Ya Allah, memang benar dia.
“Ayahanda!” pekikku, “ampuni sahaya.”
“Jawab! Kau merasa hina membalas suratku?”
“Beribu ampun, Ayahanda, tidak.”
“Surat Bundamu, mengapa tak juga kau balas?”
“Ayahanda, beribu ampun.”
“Dan surat abangmu....”
“Ampun, Ayahanda, beribu ampun, sahaya kebetulan tidak di tempat, tidak di alamat, ampun, beribu ampun.”
“Jadi untuk dapat menipu kau disekolahkan sampai setinggi pohon kelapa itu?”
“Beribu ampun, Ayahanda.”
“Kau kira semua orang ini buta, tak tahu sesuatu pada tanggal berapa kau pindah ke Wonokromo? Dan kau bawa serta surat-surat itu tanpa kau baca?”
Cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi itu berayun- ayun. Bulu ronaku mulai merinding menunggu jatuhnya pada tubuhku, sebagai kuda binal.
“Apa masih perlu dihinakan kau di depan umum dengan cam¬buk ini?”
“Hinalah sahaya ini terkena cambuk kuda di depan umum,” jawabku nekad, tak tahan pada aniaya semacam ini. “Tapi kehor-matan juga bila perintah itu datang dari seorang ayah,” terusku lebih nekad lagi. Dan aku akan bersikap seperti Mama terhadap Robert, Herman Mellema, Sastrotomo dan istrinya.
“Buaya!” desisnya geram. “Kukeluarkan kau dari E.L.S. di T. dulu juga karena perkara yang sama. Semuda itu! Makin tinggi sekolah makin jadi buaya bangkong! Bosan main-main dengan gadis-gadis sebaya sekarang mengeram di sarang nyai. Mau jadi apa kau ini?”
Aku terdiam. Hanya hati meraung: jadi kau sudah menghina aku, darah raja! suami ibuku! Baik, aku takkan menjawab. Te¬ruskan, ayoh, teruskan, darah raja-raja Jawa! Kemarin kau masih mantri pengairan. Sekarang mendadak jadi bupati, raja kecil. Lecutkan cambukmu, raja, kau yang tak tahu bagaimana ilmu dan pengetahuan telah membuka babak baru di bumi manusia ini!
“Ditimang Nenendamu jadi bupati, ditimang dihormati se¬ 
mua orang .... anak terpandai dalam keluarga .... terpandai di seluruh kota .... ya Tuhan, bakal apa jadinya anak ini!”
Baik, ayo teruskan, raja kecil!
“Satu-satunya pengampunan hanya karena kau naik kias.”
Sampai ke kias sebelas pun aku bisa naik! raungku kesakitan. Ayoh, lepaskan semua kebodohanmu, raja kecil.
“Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai? Kalau tuan¬nya jadi matagelap dan kau ditembak mati, mungkin dihajar dengan parang, atau pedang, atau pisau dapur, atau dicekik.... bagaimana akan jadinya? Koran-koran itu akan mengumumkan siapa kau, siapa orangtuamu. Malu apa bakal kau timpakan pada orangtuamu? Kalau kau tak pernah berpikir sampai ke situ...”
Seperti Mama aku siap meninggalkan semua keluarga ini, raungku lebih keras, keluarga yang hanya membebani dengan tali pengikat yang memperbudak! Ayoh, teruskan, teruskan, darah raja-raja Jawa! Teruskan! Aku pun bisa meledak.
“Apa tidak kau baca di koran-koran, besok malam ini ayah¬mu akan mengadakan pesta pengangkatan jadi bupati? Bupati B.? Tuan Assisten Residen B.,Tjuan Residen Surabaya,Tuan Kon¬trolir dan semua bupati tetangga akan hadir. Apa mungkin se¬orang siswa H.B.S. tidak membaca koran? Kalau tidak, apa mungkin tak ada orang lain memberitakan? Nyaimu itu, apa dia tidak bisa membacakan untukmu?”
Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku: pengangkatan, pemecatan, perpindahan, pensiun. Tak ada urus¬an! Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurang¬an? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.
“Dengar, kau, anak mursal!?” perintahnya sebagai pembesar baru yang lagi naik semangat. “Kau sudah jadi linglung mengu¬rusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak. Barangkali kau memang sudah ingin beristri. Baik, lain kali dibicarakan. Sekarang ada soal lain. Perhatikan. Besok malam kau bertindak sebagai penteijemah. Jangan bikin malu aku dan keluarga di depan umum, di depan Residen, Assisten Residen, Kontrolir dan para bupati tetangga.”
“Sahaya, Ayahanda.”
“Kau sanggup jadi pentegemah?”
“Sanggup, Ayahanda.”
“Nah, begitu, sekali-sekali melegakan hati orangtua. Aku sudah kuatir Tuan Kontrolir yang akan melakukan tugas ini. Coba, bagaimana kalau dalam resepsi pengangkatan ada anak lelaki tidak hadir dalam kesaksian para pembesar? Kapan kau harus mulai dikenal oleh para beliau? Ini kesempatan terbaik bagimu. Sayang kau begitu mursal. Barangkali tidak mengerti bagaimana orangtua merintis jalan pangkat untukmu. Kau, anak lelaki, dimashurkan terpandai dalam keluarga. Atau barangkali kau sudah lebih berat pada nyai daripada pangkat?”
“Sahaya, Ayahanda.”
“Biar terang jalanmu ke arah jabatan tinggi.”
“Sahaya, Ayahanda.”
“Sana, pergi menghadap Bundamu. Kau memang sudah tidak bermaksud pulang. Memalukan, sampai-sampai harus minta tolong Tuan Assisten Residen. Senang, kan, ditangkap seperti maling kesiangan? Tak ada perasaan malu barang sedikit. Bersu¬jud pada Bundamu sendiri pun sudah bertekad melupakan. Putuskan hubungan dengan nyai tak tahu diuntung itu!”
Tentu aku tak menjawab. Hanya menyembah. Selanjutnya: jalan setengah kaki dengan bantuan tangan merangkak memba¬wa beban kedongkolan di punggung seperti kerang. Tujuan: tempat di mana sepatu dan kauskaki kulepas, tempat di mana pengalaman terkutuk ini kumulai.Tak ada Pribumi bersepatu di lingkungan gedung bupati. Dengan sepatu di tangan aku ber¬jalan di samping pendopo, masuk ke pelataran dalam. Lentera- lentera suram menunjukkan jalan ke arah dapur. Kurebahkan badan di kursi malas bobrok, tak mengindahkan barang bawaan.
Seseorang datang menjenguk. Aku pura-pura tak tahu. Se¬cangkir kopi hitam disugukan. Kuteguk habis.
Kalau bukan karena kedatangan abang, mungkin aku sudah tertidur di tempat. Dengan menarik airmuka sengit ia bicara Belanda padaku:
“Rupanya kesopanan pun sudah kau lupakan maka tak segera sujud pada Bunda?”
Aku bangun dan mengiringkannya, seorang siswa S.I.B.A. , seorang calon ambtenar Hindia Belanda. Ia terus juga menggeru¬tu seakan sedang jadi pengawal langit jangan sampai merobohi bumi. Karena Belandanya terbatas ia lanjutkan mengatai aku dalam Jawa sebagai anak tak tahu adat.Tentu aku tak menangga¬pi. Kami memasuki gedung bupati, melewati beberapa pintu kamar. Akhirnya di depan sebuah pintu ia berkata:
“Masuk situ kau!”
Pintu kuketuk pelan. Aku tak tahu kamar siapa, membukanya dan masuk. Bunda sedang duduk bersisir di depan cermin. Se¬buah lampu minyak berkaki tinggi berdiri di atas sebuah kenap di sampingnya.
“Bunda, ampuni sahaya,” kataku mengembik, bersujud di hadapannya dan mencium lututnya. Tak tahulah aku mengapa tiba-tiba hati diserang rindu begini pada Bunda.
“Jadi kau pulang juga akhirnya, Gus. Syukur kau selamat begini,” diangkatnya daguku, dipandanginya wajahku, seperti aku seorang bocah empat tahun. Dan suaranya yang lunak me¬nyayang, membikin aku jadi terharu. Mataku sebak berkaca- kaca. Inilah bundaku yang dulu juga, Bundaku sendiri.
“Inilah putra Bunda yang nakal,” sembahku parau.
“Kau sudah jantan. Kumismu sudah mulai melembayang. Kata orang kau sedang menyenangi seorang nyai kaya dan cantik,” dan sebelum sempat membantah ia telah meneruskan. “Terserah padamu kalau memang kau suka dan dia suka. Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan tanggungjawabnya, tidak lari seperti kriminil.” Ia menghela nafas dan membelai pipiku seperti bayi. “Gus, kabarnya sekolahmu maju. Syukur. Kadang heran juga aku bagaimana mungkin sekolahmu maju kalau kau sedang kalap dengan nyai itu. Atau mungkin kau ini memang sangat pandai? Ya-ya, begitulah lelaki,” suaranya terdengar mu¬rung, “semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging. Baiklah. Gus, sekolahmu maju, tetaplah maju.”
Lihat. Bunda tak menyalahkan aku.Tak ada yang perlu kuban- tah memang.
“Lelaki, Gus, soalnya makan, entah daun entah daging. Asal kau mengerti, Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti sema¬kin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri.”
Ah, Bunda, betapa banyak kata-kata mutiara telah dipaterikan dalam diriku.
“Kau masih diam saja, Gus. Apa akan kau beritakan pada Bunda? Kan tidak sia-sia penungguanku?”
“Tahun depan sahaya akan tammat, Bunda.”
“Syukur, Gus. Orangtua hanya bisa mendoakan. Mengapa kau baru datang? Ayahandamu sudah begitu kuatir, Gus, marah- marah setiap hari karena kau. Mendadak saja Ayahandamu di¬angkat jadi bupati. Tak ada yang menduga secepat itu. Kau pun kelak akan sampai setinggi itu. Kau pasti dapat. Ayahanda hanya tahu Jawa, kau tahu Belanda, kau siswa H.B.S. Ayahandamu hanya dari Sekolah Rakyat. Kau punya pergaulan luas dengan Belanda. Ayahandamu tidak. Kau pasti jadi bupati kelak.”
“Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin.”
“Tidak? Aneh. Ya, sesuka hatimulah. Jadi kau mau jadi apa? Kalau tamat kau bisa jadi apa saja, tentu.”
“Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda.”
“Ha? Ada jaman seperti itu, Gus? Aku baru dengar.”
Seperti semasa bocah dulu dengan semangat kuceritakan padanya keterangan para guru dari sekolah. Juga sekarang. Ten¬tang Juffrouw Magda Peters yang bisa begitu menarik ceritanya: Revolusi Prancis, maknanya, azasnya.
Bunda hanya tertawa, tak membantah. Juga seperti semasa aku bocah dulu.
“Uh, kau begini kotor, bau keringat. Mandi, jangan lupa dengan air hangat. Hari sudah begini malam. Mengasoh. Besok kau bekerja berat. Sudah tahu kewajibanmu besok?”
*
GEDUNG ITU belum kukenal. Kumasuki kamar yang disediakan untukku. Lampu minyak telah menyala di dalam. Nampaknya abang juga di kamar itu. Ia sedang duduk membaca di bawah lampu duduk. Aku melintas untuk membenahkan barang- barangku. Dan abang, yang selalu menggunakan haknya sebagai anak yang lahir terdahulu, sama sekali tak mengangkat kepala, seakan aku tak ada di atas dunia ini. Apa dia hendak mengesani sebagai siswa yang rajin?
Aku mendeham. Ia tetap tak memberikan sesuatu reaksi. Aku lirik bacaannya. Bukan huruf cetak: tulisan tangan! Dan aku curiga melihat sampul buku itu. Hanya aku punya buku bersam¬pul indah buatan tangan Jean Marais. Pelan aku berdiri di bela¬kangnya. Tidak salah: buku catatan harianku. Kurebut dia dan meradang:
“Jangan sentuh ini. Siapa kasih kau hak membukanya? Kau! Begini sekolahmu mengajar kau?”
Ia berdiri, mendelik padaku.
“Memang sudah bukan Jawa lagi.”
“Apa guna jadi Jawa kalau hanya untuk dilanggar hak-haknya? Tak mengerti kau kiranya, catatan begini sangat pribadi sifatnya? Tak pernah gurumu mengajarkan ethika dan hak-hak per¬seorangan?”
Abang terdiam, mengawasi aku dengan amarah tanpa daya. “Atau memang begitu macam latihan bagi calon ambtenar? Menggerayangi urusan orang lain dan melanggar hak siapa saja? Apa kau tidak diajar peradaban baru? peradaban modern? Mau jadi raja yang bisa bikin semau sendiri, raja-raja nenek-mo- yangmu?”
Kesebalan dan kemarahanku tertumpah-tumpah sudah.
“Dan begitu itu peradaban baru? Menghina? Menghina amb- tenar? Kau sendiri bakal jadi ambtenar!” ia membela diri.
“Ambtenar? Orang yang kau hadapi ini tak perlu jadi.”
“Mari, aku antarkan pada Ayahanda, dan bilang kau sendiri padanya.”
“Jangankan hanya bilang, dengan atau tanpa kau, kutinggal¬kan semua keluarga ini pun aku bisa. Dan kau! Menjamah yang jadi hakku minta maaf pun tidak mengerti. Apa kau tak pernah bersekolah? Atau memang tak pernah diajar adab?”
“Tutup mulut! Kalau aku tak pernah bersekolah, kau sudah kusuruh merangkak dan menyembah aku.”
“Hanya kepala kerbau bisa berpikir begitu tentang aku. Bu- tahuruf!”
Dan Bunda masuk, menengahi:
“Baru bertemu sekali dalam dua tahun mengapa mesti ribut seperti anak desa?”
“Siapa pun melanggar hak-hak pribadi akan sahaya tentang, Bunda, jangankan hanya seorang abang.”
“Bunda, dia sudah mengakui segala kejahatannya dalam buku catatannya. Akan sahaya persembahkan tulisannya pada Ayahan¬da. Dia ketakutan, lantas mengamuk pada sahaya.”
“Kau belum lagi ambtenar yang berhak menjual adikmu un¬tuk sekedar dapat pujian,” kata Bunda. “Kau sendiri belum ten¬tu lebih baik dari adikmu.”
Aku angkuti barang-barangku.
“Lebih baik sahaya kembali ke Surabaya, Bunda.”
“Tidak. Kau besok mendapat pekeijaan dari Ayahandamu.”
“Dia bisa lakukan itu,” kataku dengan pandang terarah pada abangku.
“Abangmu bukan dari H.B.S.” £
“Kalau sahaya diperlukan, mengapa diperlakukan begini?”
Bunda memerintahkan abang pindah ke kamar lain. Setelah ia pergi Bunda meneruskan:
“Kau memang sudah bukan Jawa lagi. Dididik Belanda jadi Belanda, Belanda coklat semacam ini. Barangkah kau pun sudah masuk Kristen.”
“Ah, Bunda ini ada-ada saja. Sahaya tetap putra Bunda yang dulu.”
“Putraku yang dulu bukan pembantah begini.”
“Dulu putra Bunda belum lagi tahu buruk-baik.Yang diban¬tahnya sekarang hanya yang tidak benar, Bunda.”
“Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa yang lebih berkuasa.”
“Ah, Bunda, jangan hukum sahaya. Sahaya hormati yang le¬bih benar.”
“Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkua¬sa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang harus berani mengalah, Gus. Nyanyian itu pun mungkin kau sudah tak tahu lagi barangkali.”
“Sahaya masih ingat, Bunda. Kitab-kitab Jawa masih sahaya bacai. Tapi itulah nyanyian keliru dari orang Jawa yang keliru. Yang berani mengalah terinjak-injak, Bunda.”
“Gus!”
“Bunda, berbelas tahun sudah sahaya bersekolah Belanda un¬tuk dapat mengetahui semua itu. Patutkah sahaya Bunda hukum setelah tahu?”
“Kau terlalu banyak bergaul dengan Belanda. Maka kau sekarang tak suka bergaul dengan sebangsamu, bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan Ayahandamu pun. Surat-surat tak kau balas. Mungkin kau pun sudah tak suka padaku.”
“Ampun, Bunda,” kata-kata itu tajam menyambar. Kujatuh¬kan diri, berlutut di hadapannya dan memeluk kakinya, “Jangan katakan seperti itu, Bunda. Jangan hukum sahaya lebih berat dari kesalahan sahaya. Sahaya hanya mengetahui yang orang Jawa tidak mengetahui, karena pengetahuan itu milik bangsa Eropa, dan karena memang sahaya belajar dari mereka.”
Ia jewer kupingku, kemudian berlutut, berbisik:
“Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu sendi¬ri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali.Tempuh¬lah jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orang- tuamu, dan orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu.”
“Sahaya tidak pernah berniat menyakiti siapa pun, Bunda.”
“Ah, Gus, begini mungkin kodrat perempuan. Dia mende¬ritakan sakit waktu melahirkan, menderita sakit lagi karena ting¬kahnya”
“Bunda, ampun, kesakitan karena tingkah sahaya hanya keme-wahan berlebihan. Kan Bunda selalu berpesan agar sahaya bela¬jar baik-baik? Telah sahaya lakukan sepenuh bisa. Sekarang Bun¬da menyesali sahaya.”
Dan seakan aku masih bocah kecil dulu Bunda membelai- belai rambut dan pipiku.
“Pada waktu aku hamilkan kau, aku bermimpi seorang tak kukenal telah datang memberikan sebilah belati. Sejak itu aku tahu, Gus, anak dalam kandungan itu bersenjata tajam. Berhati- hati menggunakannya. Jangan sampai terkena dirimu sendiri....”
SEJAK PAGIHARI orang telah sibuk menyiapkan tempat untuk re¬sepsi pengangkatan Ayahanda. Penari-penari tercantik dan ter¬baik seluruh kebupatian kabarnya telah disewa untuk keperluan itu. Ayahanda telah mendatangkan gamelan terbaik dari perung¬gu tulen dari kota T, gamelan Nenenda,yang selalu terbungkus beledu merah bila tak ditabuh. Setiap tahun bukan hanya dilaras kembali, juga dimandikan dengan air bunga.
Bersamaan dengan gamelan datang juga jurularas. Ayahanda menghendaki bukan saja gamelannya, juga larasnya harus murni Jawa-Timur. Maka sejak pagi pendopo telah bising dengan bu¬nyi orang mengikir dalam melaras.
Pekeijaan administrasi kantor kebupatian B. berhenti seluruh¬nya. Semua membantu Tuan Niccolo Moreno, seorang dekora¬tor kenamaan yang didatangkan dari Surabaya. Ia membawa serta kotak besar alat-alat hias yang selama itu tak pernah kukenal. Dan pada waktu itu juga baru aku tahu: memajang adalah satu ke¬ahlian. Tuan Niccolo Moreno datang atas saran Tuan Assisten Residen B., dibenarkan dan ditanggung oleh Tuan Residen Surabaya.
Pagi itu juga aku harus menemuinya. Dengan tangannya sendiri ia ukur tubuhku, seperti hendak membikinkan pakaian untukku. Setelah itu dibiarkannya aku pergi.
Pendopo itu telah diubahnya menjadi arena dengan titik be¬rat pada potret besar Sri Ratu Wilhelmina, dara cantik yang pernah aku impikan — dibawa dari Surabaya, dilukis oleh seorang dengan nama Jerman: Hiissenfeld. Aku masih tetap mengagumi kecantikannya.
Bendera Triwarna dipasang di mana-mana, tunggal atau dua bersilang. Juga Triwarna pita panjang beijuluran dari potret Sri Ratu ke seluruh pendopo, dan bakalnya meraih para hadirin dengan kewibawaannya. Tiang-tiang pendopo dicat dengan cat tepung yang baru kuperhatikan waktu itu pula, dan dapat ke¬ring dalam hanya dua jam. Daun beringin dan janur kuning dalam keserasian warna tradisi mengubah dinding dan tiang- tiang yang kering-kerontang menjadi sejuk dan memaksa orang untuk menikmati dengan pengelihatannya. Maka mata pun di¬ayunkan oleh permainan warna bunga-bungaan kuning, biru, merah, putih dan ungu — indah meresap — bunga-bungaan yang dalam kehidupan sehari-hari berpisahan dan dengan diam-diam berjengukan pada pagar-pagar.
Malam kebesaran dalam hidup Ayahanda tiba juga. Gamelan sudah lama mendayu-dayu pelahan. Tuan Niccolo Moreno si¬buk dalam kamarku: merias aku! Siapa pernah sangka aku yang sudah dewasa ini dirias oleh orang lain? orang kulit putih pula! seakan aku dara akan naik ke puadai pengantin?
Selama merias tak hentinya ia bicara dalam Belanda yang kedengaran aneh, datar, seperti keluar dari rongga mulut Pribu¬mi. Jelas ia bukan Belanda. Menurut ceritanya: ia sering merias para bupati, termasuk ayahku sekarang ini, para raja di Jawa dan sultan di Sumatra dan Borneo. Ia telah banyak membikin renca¬na pakaian mereka, dan masih tetap dipergunakan sampai sekarang. Katanya pula: pakaian pasukan pengawal para raja di Jawa ia juga yang merencanakan.
Diam-diam aku mendengarkan, tidak mengiakan juga tidak membantah, sekali pun tak percaya sepenuhnya.
Ia telah kenakan padaku kemeja-dada berenda, kaku, seperti terbuat dari selembar kulit penyu. Tak mungkin rasanya mem-bongkok dengan kemeja-dada ini. Gombaknya yang kaku seperti kulit sapi juga membikin leher segan untuk menengok. Memang maksudnya supaya badan tetap tegap, tidak sering menoleh, pan-dang lurus seperti gentlemen sejati. Kemudian ia kenakan padaku kain batik dengan ikat pinggang perak. Gaya pengenaan kain itu diatur sedemikian rupa sehingga muncul watak ke-jawa-timur- annya yang gagah. Itu yang kiranya dikehendaki Ayah. Aku tetap manda seperti anak dara. Sebuah blangkon, dengan gaya per¬paduan antara Jawa-Timur dan Madura, sama sekali baru, kreasi Niccolo Moreno sendiri, terpasang pada kepalaku. Menyusul sebilah keris bertatahkan permata. Kemudian baju lasting hitam berbentuk jas pendek dengan cowak pada bagian punggung, sehingga keindahan keris bisa dikagumi semua orang. Dasi kupu-kupu hitam membikin leherku, yang biasa giat mengan¬tarkan mataku mencari sasaran, serasa hendak dijerat hidup- hidup. Keringat panas mulai membasahi punggung dan dada.
Pada cermin kutemui diriku seperti satria pemenang dalam cerita Panji. Di bawah bajuku menjulur selembar kain beledu tersulam benang emas.
Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga. Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah? dan ganteng? Mengapa orang Eropa? Mungkin Italia? mungkin tak pernah mengenakannya sendiri? Sudah sejak Amangkurat I pakaian raja-raja Jawa dibikin dan direncanakan oleh orang Eropa, kata Tuan Moreno, maaf, Tuan hanya punya selimut sebelum kami datang. Pada bagian bawah, bagian atas, kepala, hanya selimut! Sungguh menyakitkan.
Apa pun ceritanya, benar atau tidak, pada cermin itu muncul kegagahan dan kegantenganku. Mungkin nanti orang akan mengatakan: dandananku Jawa tulen, melupakan semua unsur Eropa pada kemeja-dada, gombak, dasi, malah lupa pada lasting dan beledu yang semua bikinan Inggris.
Pakaian dan permunculanku sekarang ini aku anggap produk bumi manusia akhir abad sembilanbelas, kelahiran jaman mo¬dern. Dan terasa benar olehku: Jawa dan manusianya hanya se¬buah pojokan tidak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia. Twente telah menenunkan untuk orang Jawa, juga memilihkan bahannya. Tenunan desa tinggal dipakai orang desa. Hanya yang membatik tinggal orang Jawa. Dan tubuhku yang sebatang ini — tetap asli!
Tuan Moreno pergi. Dan aku duduk.Waktu aku sadari bunyi gamelan Jawa-Timur, yang mengayunkan suasana malam itu, aku terbangun dari renungan, berkaca lagi dan tersenyum puas - sangat puas.
Menurut aturan aku jadi pengiring Ayahanda dan Bunda waktu memasuki sidang resepsi. Abang akan jadi pembuka jalan, sedang saudari-saudariku tak mendapatkan sesuatu tugas di depan umum. Mereka sibuk di belakang.
Tamu telah pada berdatangan. Ayahanda dan Ibunda keluar. Abang di depan, aku di belakang mereka. Begitu memasuki ruang resepsi di pendopo, datang Tuan Assisten Residen B., kare¬na begitu menurut acara.
Semua berdiri menghormat. Tuan Assisten Residen beijalan langsung mendapatkan Ayahanda, memberi tabik, kemudian membungkuk pada Bunda, menyalami abang dan aku. Baru set¬elah itu duduk di samping Ayahanda. Gamelan memainkan Kebo Giro, lagu selamat datang, menggebu-gebu memenuhi ruangan resepsi dan hati. Dan pendopo telah penuh dengan hadirin den¬gan wajah dipancari sinar kesukaan dan sinar-lampu gas. Di be¬lakang mereka di pelataran sana, duduk berbanjar para lurah dan punggawa desa, di atas tikar.
Protokol, Patih B., mulai membuka acara. Gamelan padam setelah ragu sebentar, seperti ditekan tenaga gaib.
Lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, dinyanyikan. Orang ber-diri. Sangat sedikit yang ikut menyanyi. Sebagian terbesar me¬mang tidak bisa. Pribumi hanya seorang-dua.Yang lain-lain ber¬diri terlongok-longok mungkin sedang menyumpahi melodi yang asing dan mengganggu perasaan itu.
Tuan Assisten Residen B. sebagai wakil Tuan Residen Sura¬baya mulai angkat bicara. Tuan Kontrolir Willem Emde tampil untuk menjawakan. Tuan Assisten Residen menggeleng dan melambaikan tangan menolak. Aku yang ditunjuknya sebagai penterjemah.
Sejenak aku gugup, tapi secepat kilat kudapatkan kepriba¬dianku kembali. Tidak, mereka takkan lebih dari kau sendiri! Dan suara itu memberanikan diri. Lakukan tugas ini sebagaimana kau selesaikan ujianmu.
Aku tampil, lupa pada bungkuk dan apurancang dalam adat Jawa. Rasanya diri sedang berada di depan kias. Ke mana saja pandang kulayangkan pasang mata para bupati juga yang tertum¬buk olehku. Mungkin mereka sedang mengagumi satria Panji berpakaian setengah Jawa setengah Eropa ini. Mungkin juga sedang memanjakan antipatinya karena kurangnya kehormatan dari diriku untuk mereka.
Tuan Assisten Residen selesai berpidato. Aku pun selesai men-jawakan. Ia menyalami Ayahanda. Dan sekarang giliran Ayahan¬da yang angkat bicara. Ia tak tahu Belanda, dan itu masih lebih baik daripada para bupati yang butahuruf. Ia berbahasa Jawa dan aku membelandakan. Sekarang dengan lagak Eropa sepenuhnya, tertuju pada Tuan Assisten Residen B. dan hadirin Eropa. Aku lihat Tuan Assisten Residen mengangguk-angguk mengawasi aku, seakan tidak lain dari diri yang berpidato, atau mungkin juga sedang menikmati sandiwaraku sebagai monyet di tengah kalangan. Pidato Ayahanda selesai dan terjemahan pun habis. Para pembesar memberi salam selamat pada Ayahanda, Bunda, abang dan aku.
Waktu Tuan Assisten Residen menyalami aku ia memerlukan memuji bahasa Belandaku:
“Sangat baik,” kemudian dalam Melayu, “Tuan Bupati, ber-bahagia Tuan berputrakan pemuda ini. Bukan hanya Belanda¬nya, terutama sikapnya.” Dan kembali dalam Belanda, “Kau siswa H.B.S., kan? Bisa besok sore jam lima datang ke rumah kami?”
“Dengan senanghati, Tuan.”
“Kau akan dijemput dengan kereta.”
Salaman ucapan selamat itu tak lama. Lurah-lurah tak layak menyalami bupati. Maka Ayahanda menghemat tangannya dari barang seribu dua ratus jabatan para punggawa desa. Mereka tinggal duduk di atas tikarnya di pelataran sana.
Gamelan kembali menderu riuh. Seorang penari dengan badan berisi seperti terbang memasuki gelanggang, membawa talam berisi sampur. Dengan talam perak itu langsung ia datang pada Tuan Assisten Residen. Dan pembesar putih itu berdiri dari kursinya, mengambil sampur dan menyelendangkan pada bahu¬nya sendiri.
Orang bersorak, bertepuk menyetujui. Ia mengangguk pada Ayahanda, minta ijin membuka tayub. Kemudian pada para ha¬dirin. Dengan langkah tanpa ragu, dalam iringan penari itu, ia masuk ke tengah kalangan di bawah sorak berderai. Dan menari ia dengan jari-jari menjempit ujung sampur, berpacakgulu pada setiap jatuh gung. Di hadapannya penari cantik menarik dengan badan berisi itu menari mengigal.
Beberapa menit kemudian seorang penari lain datang berla¬rian, juga cantik gemilang. Dengan talam perak di tangan seper¬ti terbang ia memasuki gelanggang membawa gelas kristal kecil berisi minuman keras. Ia mengambil tempat di samping Tuan Assisten Residen dan ikut menari.
Pembesar itu berhenti menari berdiri tegak di hadapan penari baru. Di ambilnya gelas kristal dan meneguk isinya sampai tiga perempat. Yang seperempat sisanya ia sentuhkan pada bibir te-manya menari, yang menghabiskannya setelah berusaha meno¬lak sambil menari, kemudian menunduk malu tersipu.
Hadirin bersorak girang. Lurah-lurah dan para punggawa desa berdiri menyumbangkan keriuhan.
“Minum manis! Minum, hoseeeee!”
Penari baru yang cantik rupawan dengan bahu telanjang berkulit langsat padat bersinar itu mengambil gelas dari tangan pembesar itu dan menaruhnya di atas talam kembali.
Tuan Assisten Residen mengangguk senang, bertepuk girang tertawa. Kemudian ia kembali ke kursinya.
Sekarang penari lain lagi datang mempersembahkan sampur pada Ayahanda. Dan ia menari dengan indahnya. Juga tarian itu kemudian dihentikan oleh minuman keras dari talam penari lain lagi.
Tuan Assisten Residen pulang setelah itu. Para bupati pun pulang seorang demi seorang dibawa oleh kereta kebesaran masing-masing. Para lurah, wedana, mantri polisi, menyerbu pendopo, dan tayub berlangsung sampai pagi dengan seruan hoseee setiap teguk minuman keras ....
*
PAGINYA BARU aku ketahui ada sebungkus tumpukan pendek uang perak rupiahan di dalam koporku. Bungkus kertas dengan tulisan Annelies:Jangan kau biarkan kami terlalu lama tak men¬dengar beritamu. Annelies.
Uang itu sebanyak lima belas gulden, cukup untuk makan satu keluarga di desa selama sepuluh bulan, bahkan dua puluh bulan bila belanjanya benar dua setengah sen sehari.
Pagi itu juga aku berangkat ke kantorpos. Sepnya, entah siapa namanya, seorang Indo menjabat tanganku dan menyampaikan pujian untuk Belandaku yang sangat bagus dan tepat dalam re¬sepsi semalam. Semua pegawai kantor kecil itu berhenti bekerja hanya untuk mendengarkan percakapan kami dan untuk meng¬ingat tampangku.
“Kami akan sangat senang dan bangga kalau Tuan sudi beker¬ja di sini. Tuan siswa H.B.S., bukan?”
“Aku hanya hendak mengirimkan telegram,” jawabku.
“Kan tak ada kabar buruk?”
“Tidak.”
Sep itu sendiri yang melayani aku mengambilkan formulir. Ia menyilakan duduk pada mejanya, dan aku mulai menulis, kemu¬dian menyerahkan padanya. Kembali ia melayani sendiri.
“Kalau Tuan sempat, boleh kiranya kami mengundang makan?”
Rupanya undangan Tuan Assisten Residen telah menjadi be¬rita penting di kota B. Dapat diramalkan semua pejabat akan mengundang, putih dan coklat. Dengan demikian tiba-tiba saja aku berubah jadi seorang pangeran tanpa kerajaan. Hebatnya, siswa H.B.S! kias akhir! di tengah masyarakat butahuruf ini. Se¬mua bakal memanjakan aku. Kalau assisten residen sudah mulai mengundang, orang sudah tanpa cacat, semua tingkahnya benar, tak ada sesuatu dapat dikatakan menyalahi adat Jawa.
Dugaan itu tak perlu lebih lama ditunggu kenyataannya. Wak¬tu meninggalkan kantor kecil itu pandangku kutebarkan ke se¬luruh ruangan. Semua orang membungkuk menghormat. Mungkin di antara mereka sudah ada yang menaksir akan mengambil diri jadi menantu atau ipar. Coba: siswa H.B.S. Dan benar saja. Sampai di rumah telah datang beberapa pucuk surat berbahasa dan bertulisan Jawa - mengundang!
Tak seorang pun di antara para pengirim pernah kukenal. Dugaanku tetap: semua mereka mencalonkan diri jadi mertua atau ipar. Coba: anak bupati, dianggap calon bupati, siswa H.B.S., kias akhir. Semuda ini telah diindahkan seorang assisten residen.Tuan Kontrolir pun sudah dikalahkannya! Kota B.! ah, pojokan kelabu bumi manusia. Demi kehormatan orang tua saja waktuku sepagi habis untuk minta maaf dalam surat balasan, tak dapat memenuhi undangan, harus segera kembali ke Surabaya.
Dan pada sorehari itu kereta yang dijanjikan sudah datang menjemput. Aku berpakaian Eropa seperti biasa di Surabaya sekali pun Bunda tidak setuju.
Rupanya berita undangan memang sudah menjalari seluruh kota. Orang memerlukan melihat diri menempuh jarak pendek antara gedung kebupatian dengan gedung assisten-keresidenan. Wajah-wajah tak kukenal, dalam pakaian Jawa yang necis tanpa alas kaki, membungkuk memberi hormat. Yang bertopi di atas blangkonnya memerlukan mengangkatnya.
Kereta membawa aku langsung ke belakang gedung keresiden¬an, berhenti di serambi belakang.
Tuan Assisten Residen bangkit berdiri dari kursi kebun, juga dua orang dara di sampingnya. Ia mendahului memberi salam.
“Ini sulungku,” ia mengenalkannya, “Sarah. Ini bungsuku, Miriam. Dua-duanya lulusan H.B.S.Yang bungsu satu sekolah¬an dengan kau, sebelum kau masuk tentu. Nah, maafkan, ada pekerjaan mendadak,” dan ia pergi.
Begini jadinya sekarang undangan terhormat yang menggem-parkan seluruh kota itu. Diperkenalkannya aku pada putri-pu- trinya kemudian ia pergi.
Boleh jadi Sarah dan Miriam lebih tua daripadaku. Dan se¬tiap siswa H.B.S. tahu benar: senior selalu mencari kesempatan berlagak, jual tampang, mengejek dan menunggingkan si junior.
Hati-hati kau, diri. Lihat, Sarah sudah mulai:
“Guru bahasa dan sastra Belanda Miriam itu, Meneer Mahler, apa masih mengajar? si bawel sinting itu?”
“Sudah digantikan Juffrouw Magda Peters,” jawabku.
“Tentunya lebih bawel dan cuma pandai tentang istilah dapur,” usulnya. 
“Tahu benar kau dia seorang juffrouw?” tanya Miriam.
“Semua memanggilnya juffrouw. ”
Dan Miriam tertawa terkikik. Kemudian juga Sarah. Sungguh aku tak tahu apa yang ditertawakan.
Menjawab membabi-buta:
“Aku kira dia bukan hanya mengetahui istilah-istilah dapur. Dia guruku yang terpandai, paling kusayangi.”
Sekarang mereka berdua tertawa cekikikan sambil menutup mulut dengan setangan. Aku agak bingung, tak tahu di mana lucunya. Sekilas kulihat lirikan bersinar datang dari kiri dan kananku.
“Menyayangi guru?” ledek Miriam. “Tak pernah ada guru bahasa dan sastra Belanda disayangi orang. Tukangobat semua. Dapat apa kau dari dia?”
“Dia pandai menerangkan tentang gaya tahun delapan puluh¬an dan pintar membandingkannya dengan gaya sekarang.”
“Wah-wah,” seru Sarah, “Kalau begitu coba deklamasikan salah sebuah sajak Kloos, biar kami lihat apa benar gurumu memang jagoan.”
“Dia pandai menerangkan latarbelakang psikologi dan sosial dari karya-karya delapanpuluhan,” aku meneruskan membabi buta juga. “Sangat menarik.”
“Apa yang kau maksudkan dengan latarbelakang psikologi dan sosial?”
Sarah dan Miriam mulai cekikikan lagi.
Sekarang aku sudah mulai jengkel dengan apegieren, cekikikan, mereka. Aku pindah duduk di kursi bekas Tuan Assisten Residen untuk menghindari lirikan mereka. Sekarang aku hadapi mere¬ka. Dan nampaknya mereka gadis Totok yang lincah dan bukan tidak menarik. Namun seorang junior tak bisa tidak harus selalu waspada terhadap seniornya.
“Sekiranya diperlukan keterangan tentang itu,’’jawabku sam¬bil menarik tampang penting, “tentu diperlukan literatur di bawah mata.” 
Melihat aku mulai memasuki pojokan mereka semakin ceki¬kikan dan saling melirik.
“Masa ya, ada guru bahasa dan sastra Belanda bicara tentang latarbelakang psikologi dan sosial? Kedengaran kembung! Mau jadi apa dia, itu Jufirouw Magda Peters? Paling-paling dia mam¬pu mengedepankan pujangga-pujangga Angkatan Delapanpuluh yang menggonggong-gonggong meratapi langitnya yang diru- sak asap pabrik, ladang-ladangnya yang dibisingi lalulintas, kena terjang jalanan dan rel kereta api,” Miriam yang lebih agresif itu mulai menyerang. “Kalau mau bicara tentang latarbelakang so¬sial semestinya dia tak bicara tentang Angkatan cengeng itu. Dia akan bicara tentang Multatuli dan Hindia!”
“Ya, itu baru bicara tentang sastra gagah di mana lumpur dapat menumbuhkan teratai.”
“Dia bicara juga tentang Multatuli.”
“Mana bisa Multatuli diajarkan di sekolah? Yang benar saja. Dalam buku pelajaran tak pernah disebut,” Miriam meneruskan serangan.
“Miriam betul,” Sarah memperkuat, “latarbelakang sosial memang Multatuli contoh typikal,” kemudian melirik pada adiknya.
“Juffrouw Magda Peters bukan hanya sekedar mengedepan- kannya sebagai seorang typikal. Sampai-sampai ia menyoroti.”
“Menyoroti!” seru Sarah tak percaya. “Guru H.B.S. Hindia menyoroti Multatuli! Bisa itu teijadi dalam sepuluh tahun men-datang, Miriam?” dan Miriam menggeleng tak percaya. “Atau mungkin kalian sudah berganti buku pelajaran?”
“Tidak.”
“Gurumu itu memang kembung. Kau hanya muridnya.” Sa¬rah menindas aku.
“Tidak.”
“Gurumu itu sungguh nekad. Kalau benar, dia bisa celaka,” Miriam mulai bersungguh-sungguh.
“Mengapa?”
“Betapa sederhananya kau ini. Jadi kau tidak tahu. Dan kau perlu dan harus tahu,” Miriam meneruskan. “Karena gurumu itu, kalau benar ceritamu boleh jadi dia dari golongan radikal .”
“Kan golongan radikal baik? Dia membawa kemajuan pada Hindia?” Pada waktu itu aku merasa diri benar-benar pandir.
“Kan baik belum tentu benar, juga belum tentu tepat? Malah bisa salah pada waktu dan tempat yang tidak cocok?” desak Miriam.
Sarah mendeham. Ia tak bicara.
“Coba, tulisan siapa saja yang dikedepankannya dengan lebih bersemangat?”
Mereka semakin menjengkelkan. Dan seorang junior, entah siapa yang mula pertama mengatur, selalu harus tetap hormat. Jadi:
“Karyatamanya tentu,” jawabku, “Max Havelaar atau De Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij . "
“Dan siapa Multatuli itu kiramu?” Sekarang Sarah yang me-nerjang aku.
“Siapa? Eduard Douwes Dekker.”
“Bagus. Juga kau harus tahu Douwes Dekker lain. Itu wajib,” Sarah meneruskan tegangannya.
Senior gila ini semakin menjadi. Dan mengapa menegang aku sambil melirik pada adiknya pula sedang bibir kejang menahan tawa? Mereka sedang bersandiwara mempermainkan budak Pribumi. Sungguh kurangajar. Hanya ada seorang Douwes Dekker yang dikenal sejarah.
“Jadi kau tak tahu,” Sarah mengejek. “Atau ragu?”
Miriam meledak dalam tawa cekikikan, tak terkendali.
Baik, persekongkolan setan ini akan aku hadapi. Dan begini kiranya harga undangan terhormat dan menggemparkan dari Tuan Assisten Residen. Baik, karena tidak tahu aku jawab sewa¬jar mungkin:
“Hanya Eduard Douwes Dekker dengan nama-pena Multa- tuli yang kukenal. Kalau ada Douwes Dekker lain sungguh aku tidak tahu.”
“Memang ada,” Sarah lagi yang meneruskan. Miriam me-nenggelamkan muka dalam setangan sutra. “Lebih penting. Sia¬pa dia? Jangan bingung, jangan pucat,” ia meledek. “Sebenarnya kau tahu, hanya pura-pura tidak tahu.”
“Benar tidak tahu,” jawabku resah.
“Kalau begitu gurumu Juffrouw Magda Peters, yang kau agungkan itu, kurang beres pengetahuan umumnya. Dengarkan, dan ingat-ingat jangan sampai memalukan senior. Jangan sam¬pai lupa. Douwes Dekker yang lain itu, yang lebih penting dari Multatuli, adalah seorang pemuda.”
“Sekarang ini masih pemuda??”
“Tentu saja masih pemuda. Dia sedang belayar. Mungkin juga sudah berada di Afrika Selatan, ikut berperang melawan Inggris di pihak Belanda. Pernah dengar?”
“Tidak. Apa saja karyanya?” tanyaku rendahhati.
“Dia masih pemuda. Tentu dapat dimaafkan kalau belum pu¬nya karya,” jawab Sarah, kemudian juga cekikikan.
“Jadi apanya yang harus dikenal?” protesku. “Kan orang dike¬nal karena karyanya?” sekarang aku mulai sempat membela diri. “Ratusan juta orang di atas bumi ini tidak berkarya yang mem¬bikin mereka dikenal, maka tidak dikenal.”
“Sebetulnya dia punya banyak karya juga. Hanya saja yang membacanya cuma seorang. Inilah dia pembacanya yang paling setia: Miriam de la Croix. Dia pacarnya, mengerti?”
Kurangajar! sumpahku dalam hati. Apa urusanku dengan dia? kalau hanya pacar Miriam? Dua orang noni ini pun takkan tahu siapa Annelies Mellema. Berani bertaruh!
“Ayoh, Mir, bercerita kau tentang pacarmu,” desak Sarah berkobar-kobar.
“Tidak.Tak ada urusan dengan tamu kita. Baik kita bicara soal lain,” tolak Miriam. “Kau Pribumi tulen, kan, Minke?” Aku diam tak menjawab, merasa pintu penghinaan mulai dibuka tan¬pa ketukan. “Seorang Pribumi yang mendapat didikan Eropa. Bagus. Dan sudah begitu banyak kau ketahui tentang Eropa. Mungkin kau tak tahu banyak tentang negerimu sendiri. Barangkali. Bukan? Aku tak salah, kan?”
Penghinaan itu sekarang sedang berlangsung, pikirku.
“Nenek-moyangmu,” Miriam de la Croix meneruskan, “Maaf, bukan maksudku hendak menghina, turunan demi tu¬runan percaya, petir adalah ledakan dari sang malaikat yang beru¬saha menangkap iblis. Begitu, kan? Mengapa diam saja? Malu kau pada kepercayaan nenek-moyang sendiri?”
Sarah de la Croix berhenti tertawa. Ia menarik wajah serius, mengamati aku seperti pada binatang ajaib.
“Tidak perlu nenek-moyangku,” tolakku, “nenek-moyang Eropa dan Belanda jaman purba tidak akan kurang dungu dari¬pada nenek-moyangku.”
“Nah,” Sarah menengahi. “Sudah kuperkirakan juga. Kalian akan bertengkar juga tentang nenek-moyang itu.”
“Ya, kita ini seperti sapi, Minke,” Miriam meneruskan. “Ber-kelahi pada pertemuan pertama, bersahabat kemudian, barangka¬li untuk selamanya. Begitu, kan?”
Gadis lincah! Kecurigaanku mereda.
“Nenek-moyangku mungkin lebih dungu daripada nenek- moyangmu, Minke. Waktu nenek-moyangmu sudah bisa bikin sawah dan irigasi, leluhurku masih tinggal dalam gua. Tapi bu¬kan itu yang hendak kita bicarakan. Begini, di sekolah kau di¬ajar: petir hanya perbenturan awan positif dengan negatif. Malah Benjamin Franklin bisa membikin penangkal petir. Begitu, kan? Sedang leluhurmu punya dongengan indah — sejauh yang per¬nah kudengar ceritanya - tentang Ki Ageng Sela yang dapat menangkap sang petir, kemudian menyekapnya dalam kurung¬an ayam.”
Sarah meledak dalam tawa bebas. Miriam semakin jadi ber- sungguh, mengawasi wajahku dalam rembang senja itu untuk dapat melontarkan teka-tekinya:
“Aku percaya pikiranmu dapat menerima pelajaran tentang awan positif dan negatif itu. Soalnya, kau membutuhkan angka untuk dapat lulus. Terus-terang saja, percaya kau pada kebenar¬an pelajaran itu?”
Tahulah aku sekarang: ia sedang menguji pedalamanku. Ya, betul-betul ujian. Terus-terang saja, aku tak pernah bertanya tentang ini pada diri sendiri. Rasanya semua sudah beijalan baik dan dengan sendirinya.
Sekarang Sarah ikut menimbrung:
“Tentu saja aku yakin kau mengetahui dan menguasai pelajar¬an ilmu alam itu. Soalnya sekarang: kau percaya-tidak?”
“Aku harus percaya,” jawabku.
“Harus percaya hanya agar lulus ujian. Harus! Jadi kau belum percaya.”
“Guruku,Juffrouw Magda Peters ...”
“Lagi-lagi Magda Peters,” potong Sarah.
“Dia guruku. Menurut dia: semua datang dari pelajaran,” jawabku,“dan latihan. Juga kepercayaan datang dari situ. Kan kau tidak mungkin percaya Jesus Kristus tanpa pelajaran dan latihan percaya?”
“Ya-ya, barangkali benar juga gurumu itu,” Sarah bimbang.
Miriam sebaliknya mengawasi aku seperti sedang menonton potret kekasih.
Aku merasa agak lega setelah mulai menangkis serangan.
“Tahun ini kita mulai mengenal kata baru: modern. Tahu kau apa artinya?” Miriam yang agresif memulai lagi, meninggalkan soal petir. 
“Tahu. Hanya dari keterangan Juffrouw Magda Peters.” “Rupanya kau tak punya guru lain,” sela Sarah.
“Apa boleh buat. Dia yang bisa menjawab pertanyaan-per¬tanyaan kalian.”
“Jadi apa arti modern menurut gurumu yang jagoan itu?” Miriam menetak.
“Tak ada kata itu dalam kamus. Hanya menurut guruku yang jagoan itu adalah nama untuk semangat, sikap, pandangan, yang mengutamakan syarat keilmuan, estetika dan effisiensi. Kete¬rangan lain aku tak tahu. Dia berasal dari kelompok skisma dalam Gereja Katholiek yang dikucilkan oleh Sri Paus. Barangkali ada keterangan lain?” tanyaku akhirnya.
Sarah dan Miriam berpandang-pandangan. Aku tak dapat melihat jelas muka mereka. Senja sudah datang sekali pun sangat lambat rasanya. Dan mereka sekarang hanya diam-diam berpan¬dang-pandangan, malah mulai sibuk membinasakan nyamuk yang meramahi kulit.
“Nyamuk ini,” Sarah menggerutu,“diri ini dianggapnya resto¬ran saja.”
Sekarang aku yang meledak dalam tawa.
“Ah, kita sampai lupa minum,” kata Sarah. “Silakan.”
Ketegangan semakin kendor juga. Nafas panjang mulai dapat kuhela. Dan teringat aku pada jongos berbaju dan bercelana putih tadi menyusun gelas dan kue di atas meja kebun kami. Untuk pertama kali aku menyenyumi diri sendiri. Bukan hanya karena kendornya ketegangan, juga karena aku tahu mereka tak lebih tahu dari diriku sendiri.
“Tahu kau siapa Doktor Snouck Hurgronje?” sekali lagi Mi¬riam menegang.
Kalau sekarang ini Tuan Assisten Residen datang, berakhirlah aniaya ini. Di mana kau juruselamatku? Mengapa kau tak kun¬jung muncul? Dan anak-anakmu ini tak kurang galak dari nya¬muk senja? Apa memang kau sengaja mengundang aku untuk digulung oleh anak-anakmu, seniorku? Pikiran itu mendadak membikin aku mengerti:Tuan Assisten Residen memang sengaja menghadapkan aku pada dua orang putrinya untuk diuji. Kira- kira dia mempunyai maksud tertentu.
“Bagaimana sekarang sekiranya aku yang ganti bertanya?”
Sarah dan Miriam tertawa tak terkendali.
“Nanti dulu,” tegah Miriam. “Jawab dulu.Juffrouw kesayang-anmu memang hebat. Kau sendiri murid yang tidak kurang hebat. Pantas kau sayang padanya. Mungkin aku pun akan sa¬yang padanya. Sekarang, barangkali pertanyaan terakhir, juga barangkali guru kesayangan itu sudah banyak omong.”
“Sayang tidak,” jawabku pendek. “Cobalah terangkan.”
Rupanya sudah lama ia menunggu kesempatan untuk tampil jadi guru. Dengan tangkasnya ia bercerita:
“Dia seorang sarjana yang brilian: berani berpikir, berani bertindak, berani mempertaruhkan diri sendiri untuk kemajuan pengetahuan, termasuk penyaran penting dalam menentukan Perang Aceh untuk kemenangan Belanda. Sayang sekarang dia terlibat dalam pertengkaran dengan Van Heutsz. Pertikaian ten¬tang Aceh. Apa arti pertikaian itu? Tak ada,” kata Miriam. “Yang terpenting, ia telah membikin satu percobaan mahal dengan tiga orang pemuda Pribumi. Maksud: hanya untuk mengetahui, apa benar Pribumi bisa menghayati dan dihayati ilmu-pengetahuan Eropa. Setiap minggu ia memerlukan menginterpiu mereka untuk dapat mengetahui perubahan pedalamannya sebagai siswa sekolah Eropa, dan kemampuan mereka menyerapnya. Apa ilmu pengetahuan dari sekolah hanya selaput tipis kering yang mudah tanggal, atau benar-benar berakar. Saijana itu belum dapat mengambil kesimpulan.”
Kembali aku yang sekarang tertawa. Dua noni di depanku ini sedang memonyetkan sang sarjana. Dan aku sebagai kelinci yang dapat ditangkapnya dari pinggir jalan. Eilok! Haibat! Tapi kare¬na ini mungkin perintah ayahnya, yang belum tentu bermaksud jahat, kukendalikan keinginanku untuk membikin serangan pembalasan. Aku dengarkan terus cerita Miriam. Bukan sebagai junior, bukan juga sebagai murid - sebagai seorang pengamat.
Suasana hening tenang. Sarah tak ikut bicara. Kemudian:
“Pernah kau dengar tentang teori assosiasi?”
“JuSrouw Miriam, kaulah sekarang guruku,”jawabku menge¬lak cepat.
“Bukan, bukan guru,” tiba-tiba ia jadi rendahhati. “Sudah pada galibnya ada pertukaran pikiran antara kaum terpelajar. Begitu, kan? Jadi belum pernah dengar tentangnya?”
“Belum.”
“Baik.Teori itu berasal dari saijana itu.Teori baru. Dia punya pikiran, kalau percobaannya berhasil, Pemerintah Hindia Belan¬da bisa mulai mempraktekkannya. Begitu, kan, Sarah?”
“Teruskan sendiri,” Sarah mengelak.
“Yang dimaksudkan dengan assosiasi adalah keijasama ber-dasarkan serba Eropa antara para pembesar Eropa dengan kaum terpelajar Pribumi. Kalian yang sudah maju diajak memerintah negeri ini bersama-sama.Jadi tanggung-jawab tidak dibebankan pada bangsa kulit putih saja. Dengan demikian tak perlu lagi ada jabatan kontrolir, penghubung antara pemerintahan Eropa de¬ngan pemerintahan Pribumi. Bupati bisa langsung berhubungan dengan pemerintahan putih. Kau mengerti?”
“Teruskan,” kataku.
“Bagaimana pendapatmu?”
“Sederhana saja,” jawabku. “Orang Pribumi seperti aku ini membaca apa yang kalian tidak baca: kitab Babad Tanah Jawi. Memang membaca dan menulis Jawa mata pelajaran tambahan dalam keluarga kami. Lihat, dalam mata pelajaran E.L.S. sampai H.B.S. kita diajar mengagumi kehebatan balatentara Kompeni dalam menundukkan kami, Pribumi.”
“Balatentara Kompeni memang hebat. Itu kenyataan,” Miriam membela bangsanya.
“Ya, kenyataan memang. Tahu, kau, dalam banyak babad tu¬lisan Pribumi, Pribumi telah bertahan selama berabad terhadap kalian?”
“Dan kalah terus?” tegang Miriam.
“Ya, kalah terus memang,” tiba-tiba hilang keberanianku untuk meneruskan kata-kataku. Yang keluar justru pertanyaan: “Mengapa teori itu tidak lahir dan dilaksanakan tiga ratus tahun yang lalu? Pada waktu Pribumi tidak ada yang akan berkeberat¬an kalau bangsa Eropa ikut memikul tanggung-jawab bersama Pribumi?”
“Aku kurang memahami maksudmu,” sela Sarah.
“Maksudku, itu saijana hebat Doktor siapa pula namanya? - sudah ketinggalan tiga ratus tahun daripada Pribumi pada jaman-nya/’jawabku melagak.
Dan dengan itu aku minta diri, meninggalkan dua orang noni senior yang menjengkelkan itu.... 

Comments

Membaca dimana & kapan saja

DAFTAR BUKU

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 00

Soros Unauthorized Biography - Robert Slater - 27

Sapiens - Yuval Noah Harari - 01

Intelligent Investor - Benjamin Graham - 01

A Man for All Markets - Edward O.Thorp - 01

The Subtle Art Of No Giving a Fuck - Mark Manson - 02